Professional Documents
Culture Documents
A Akhlak
menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang
ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya
merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah
manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan
buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak
boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi.
Secara garis besar akhlak dapat dibagi dua bagian, yaitu; akhlak yang baik
(akhlak al-karimah), dan akhlak yang buruk (akhlak madzmumah). Berbuat adil,
jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk dalam akhlak yang
baik. Sedangkan berbuat yang dhalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan
diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut
kejadian, serta erat hubungan dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk
keutamaan yang harus dijadikan perhiasan atau perisai diri seseorang seperti jujur,
adil, terpercaya, dan sifat-sifat yang tercela yang harus dijauhi oleh seseorang
dan As-Sunnah dan secara Khusus dipelajari dalam Ilmu Akhlak (etika) dan Ilmu
Tasawuf.
Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas
dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak,
yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam
keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan
akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya,
tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang
dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah
perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena
Artinya: “Khuluk ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan
dua hal. Yang pertama, alamiah dan bertolak dari watak, seperti adanya orang yang
mudah marah hanya karena masalah yang sangat sepele, atau tertawa berlebihan
hanya karena suatu hal yang biasa saja, atau sedih berlebihan hanya karena
mendengar berita yang tidak terlalu memprihatinkan. Yang kedua, tercipta melalui
dikatakan bahwa akhlak merupakan manifestasi iman, Islam, dan ihsan yang
merupakan refleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada diri seseorang
sehingga dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada
pertimbangan berdasar interes tertentu. Sifat dan jiwa yang melekat dalam diri
seseorang menjadi pribadi yang utuh dan menyatu dalam diri orang tersebut
Tujuan
Orang yang mendapat rida Allah niscaya akan memperoleh jaminan kebahagiaan
Ruang lingkup
penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai
makhluk ciptaan Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi akhlak pribadi, akhlak
keluarga, akhlak sosial, akhlak politik, akhlak jabatan, akhlak terhadap Allah dan
B. Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani,
ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa
Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari
Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan
amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan
Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika
berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek
manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran
atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute
kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang
politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika
berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang
dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk,
mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan
Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat,
dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai
Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu
dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang
dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat
dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan
pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah
aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia.
C. Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu
jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa
Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan
dan kelakuan.
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk
yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya,
kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama,
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki
perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau
rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang
etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang
berkembang di masyarakat. Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam
moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit
perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai,
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa
moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau
diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh
Jadi semakin jelas bahwa etika merupakan cabang dari filsafat yang
dengan istilah akhlak, namun jika diteliti secara seksama antara keduanya terdapat
akhlak menggunakan parameter agama, yang dalam hal ini adalah Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
Istilah moral berasal dari bahasa latin mores, yaitu jamak dari mos yang
berarti adat kebiasaan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa
dapat diketahui bahwa baik buruknya suatu tindakan, secara moral hanya bersifat
lokal. Persamaannya dengan akhlak dan moral, ketiganya berbicara tentang nilai
tolak ukur Qur’an dan Sunnah, etika dengan pertimbangan akal pikiran,
sedangkan moral menggunakan tolak ukur adat istiadat yang berlaku dalam
masyarakat tertentu.
BAB II
tasawuf selalu mengiringi kondisi masyarakat Muslim yang tidak seimbang. Ataukah
terlalu sibuk dengan urusan dunia dan melupakan akhirat, terlalu semangat dengan
ilmu tanpa peduli amal, terlalu fanatik terhadap syariat tanpa peduli ruhnya, atau
merupakan jalan menuju Allah melalui akhlak yang mulia. Metode para sufi adalah
membersihkan hati dan memperhalus budi. Contoh dan teladan mereka adalah
Rasulullah SAW yang berbudi luhur dan menyatakan bahwa ia diutus Allah semata-
pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz dalam lembaran sejarah Dinasti Umayyah. Umar
sang khalifah, sebagai penguasa, telah berhasil 'mereformasi' diri-nya dengan meretas
diupayakan khalifah yang dijuluki Umar Kedua ini, setelah sebelumnya ditempatkan
di tempat yang terlalu tinggi dan penting. Maka, tidak heran apabila ada yang
menyebut Umar Ibn Abdul Aziz sebagai khalifah kelima dari Khulafa' Rasyidiin.
Bagi orang yang belum mengenal apa itu Ilmu Tasawwuf atau Sufi tentu akan
merasa asing untuk keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk menjauhi atau
enggan untuk mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal ini serupa dengan
awal kedatangan Islam tempo dulu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.:
“Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing pula, maka gembiralah orang-
orang yang dianggap asing (orang-orang Islam).” HR. Muslim dari Abi Hurairah.
Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-
sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para
shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka
Ilmu kesufian atau Ilmu Tasawwuf adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur’an
dan Hadits dengan tujuan utamanya amar ma’ruf nahi munkar. Sejak jaman sahabat
Nabi Saw. tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada, namun nama sufi dan ilmu
tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Hadits, Ilmu Kalam,
Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh dan lain sebagainya. Barulah pada tahun 150 H atau abad ke-8
M Ilmu Sufi atau Ilmu Tasawwuf ini berdiri sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang
bersifat Keruhanian. Kontribusi Ilmu Tasawwuf ini banyak dibukukan oleh kalangan
orang-orang Sufi sendiri seperti Hasan al-Basri, Abu Hasyim Shufi al-Kufi, al-Hallaj
bin Muhammad al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa’id ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad-Darani,
Abu Hafs al-Haddad, Sahl at-Tustari, al-Qusyairi, ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat,
Basyir al-Haris, as-Suhrawardi, Ain Qudhat al-Hamadhani dan masih banyak yang
Agama Islam yang sangat halus dan mendalam yang mampu menembus alam batin
serta sulit sekali untuk di ilmiahkan dan diterangkan secara kongkrit. Hal ini bukan
berarti tidak dapat dibuktikan secara ilmiah namun seseorang yang memiliki
kebersihan hati dan kecerdasan yang luar biasa yang mampu mecahkannya. Sebab
Tapi inilah keindahan Islam berlomba dalam kebaikan selama tidak menyimpang dari
aturan Islam.
Dalam kitab Ta’yad Al-Haqiqtul ‘Aliyya hal. 57, salah seorang ulama Fiqh
dan Ahli Tafsir Jalaluddin as-Suyuti mengatakan: “Tasawwuf dalam diri mereka
adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti
tokoh Sufi Mazhab Moderat yang berasal dari Baghdad menyatakan tentang ilmu
kesufian dalam syairnya: “Ilmu Sufi (Tasawwuf) adalah benar-benar ilmu, yang tidak
seorang pun dapat memperolehnya; Kecuali dia yang dikarunia kecerdasan alami, dan
berbakat untuk memahaminya. Tak seorang pun dapat berpura menjadi Sufi, kecuali
barangsiapa mempelajari fiqh tanpa tasawwuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari
tasawwuf dan fiqh dia meraih kebenaran).” Dengan demikian bahwa Ilmu Tasawwuf
dan Ilmu Fiqh umpama dua jemari yang tak dapat dipisahkan, dan tidak untuk
diabaikan dimana keduanya sama-sama penting suatu perpaduan antara akal dan hati.
juga sebagai ilmu yang mampu menembus vertikal kedalam. Dengan mempelajari
ketiganya maka akan kuatlah Iman, Islam dan Ihsan kita yang merupakan
kesempurnaan dalam Islam, sebagai wujud mempelajari Ilmu Tauhid, Fiqh dan
Tasawwuf.
sumber dari para Ulama Sufi, para orientalis maupun dari kitab-kitab yang berkait
dengan sejarah Tasawuf memunculkan berbagai definisi. Definisi ini pun juga berkait
dengan para tokoh Sufi setiap zaman, disamping pertumbuhan akademi Islam ketika
sebagai bentuk ekstrimitas dari aktivitas keagamaan di masa dinasti Umawy, sehingga
para aktivisnya melakukan Uzlah dan semata hanya demi Allah saja hidupnya.
Bahkan lebih radikal lagi Tasawuf muncul akibat dari sinkretisme Kristen, Hindu,
sebelumnya, sekaligus menepis bahwa definisi Tasawuf atau Sufi muncul melalui
akar-akar historis, akar bahasa, akar intelektual dan filsafat di luar dunia Islam.
dengan mengangkat sejumlah wacana para tokoh Sufi, menunjukkan betapa Sufi dan
Tasawuf tidak bisa dikaitkan dengan sejumlah etimologi maupun sebuah tradisi yang
diri dan dia berdzikir nama Tuhannya lalu dia shalat. (Q.s. Al-Alaa: 14-15).
Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,
dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu
Al-Junaidal-Baghdady:
Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu
Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak
menerima siapa pun.
Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia,
bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya
Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan
Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, siapakah, yang menurutmu Sufi itu? Lalu ia
menjaqwab, Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit.Dengan ucapannya
Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa
mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali rtidak memiliki sarana-sarana
duniawy. Mereka bersama Allah swt. tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah swt,
Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa
Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari
etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal
membuktikannya.
Terminologi Tasawuf
Di dalam dunia Tasawuf muncul sejumlah istilah-istilah yang sangat populer, dan
Sufi untuk memahami lebih dalam. Istilah-istilah dalam dunia Sufi, semuanya
bawah ini, yaitu: Marifatullah, Al-Waqt, Maqam, Haal, Qabdh dan Basth,
Haibah, Hudhur, Qurb dan Bud, Syariat dan Hakikat, dan yang lainnya.
antara lain: Taubat, Mujahadah, Khalwat, Uzlah, Taqwa, Wara, Zuhud, Tawadhu,
dan praktis (‘amali). Aspek praktis tasawuf meliputi tata cara hubungan manusia
untuk berkembangnya potensi seseorang agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
berikut;
2. Hadis-hadis Rasulullah
1.Akhlak meliputi hal-hal yang bersifat umum dan terperinci. Di dalam Al-Qur’an
ada ajaran akhlak yang dijelaskan secara umum, tetapi ada juga yang diterangkan
secara mendetail. Sebagai contoh, ayat yang menjelaskan masalah akhlak secara
umum adalah Q.S. An-Nahl (16):90 yang menyuruh perintah untuk berakhlak
secara umum: Untuk berbuat adil, berbuat kebaikan, melarang perbuatan keji,
Dalam konsep Islam, akhlak meliputi seluruh kehidupan muslim, baik beribadah
secara khusus kepada Allah maupun dalam hubungannya dengan sesama makhluk
seperti akhlak dalam mengelola sumber daya alam, menata ekonomi, menata
Akhlak memiliki karakter dasar yang berkaitan erat dengan masalah keimanan. Jika
iman dapat diibaratkan akar sebuah pohon, sedangkan ibadah merupakan batang,
ranting dan daunnya, maka akhlak adalah buahnya. Iman yang kuat akan
syariat sekalipun dengan maksud untuk mencapai tujuan yang baik. Hal tersebut
menjaga konsistensi cara mencapai tujuan tertentu dengan tujuan itu tersendiri.
Indikator
Dari zaman Immanuel Kant hingga masa kini, lahir berbagai bentuk
realitas eksistensi alam ini atau dengan metode keteraturan alam, tetapi dengan
pengalaman akhlak yang dialami oleh setiap manusia. Oleh sebab itu, secara umum
nasihat dan wejangan. Dalam konteks ini, argumen akhlak tidak hanya menetapkan
eksistensi Tuhan tetapi juga menetapkan sifat-sifat Tuhan, seperti yang mencipta,
dapat terhitung sebagai bagian dari dalil dan argumen penetapan eksistensi Tuhan dan
itupun harus bersandar pada argumen fitrah; karena argumen fitrah selain sebagai
Dengan demikian argumen akhlak bisa menjadi salah satu dari argumen untuk
adalah hal yang hanya dapat dijangkau dengan dalil-dalil yang berpijak pada akal
praktis dan bukan berdasar pada akal teoritis. Dan perkara-perkara tersebut telah
akan tetapi sesuatu yang obyektif dan universal; sebab akal sendiri yang
merupakan hal yang valid dan benar serta penerimaan terhadap "al-musallamah"
tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan tinggi akal praktis atas akal teoritis.
Derajatnya yang tinggi tersebut tidak bermakna bahwa dari jalan akal praktis
dihasilkan suatu ilmu terhadap "al-musallamah" itu, dimana akal teoritis tidak
berarti bahwa dengan perantaraan amal (praktiis) atau akhlak, kita menetapkan
keimanan kepada akhlak atau amal (praktis) tersebut, dimana keimanan ini
keberadaan pemberi perintah dan pengatur yang tetap dan mutlak dimana disebut
sebagai Tuhan. Dan sebagian lagi berdalil atas keberadaan sumber selain insan yang
mempunyai kehendak lebih tinggi dari kehendak manusia, dari perasaan kekuatan
akhlak dalam kondisi dan syarat dimana kehendak partikular manusia mengamalkan
Argumen akhlak dalam bentuk dan rumusan yang berbeda-beda berdiri diatas
prinsip bahwa pengalaman akhlak dan secara khusus berhubungan dengan perasaan
bertanggung jawab dimana merupakan sesuatu yang tak dapat diingkari oleh
Argumen akhlak bisa dipaparkan dalam bentuk konklusi logis dari realitas
ilahi), atau berangkat dari sebuah kenyataan adanya nilai-nilai akhlak atau nilai-nilai
universal yang bersumber dari nilai-nilai transenden, atau dari realitas fitrah
ketuhanan dimana seruan-Nya merupakan sumber nurani dan fitrah itu sendiri.
Asumsi dasar argumen adalah bahwa nilai-nilai akhlak tak dapat dijelaskan
berdasarkan sudut pandang fisika dan empiris serta sesuai dengan kebutuhan-
membutuhkan rujukan dan perantara non metafisik. Akan tetapi menggunakan asumsi
tersebut tak lain adalah "petitio principii" (proposisi yang masih membutuhkam
mengena untuk bentuk kedua ini, sebab pada dasarnya bentuk kedua ini secara makna
yang lebih dalam bukanlah suatu jenis argumen, akan tetapi statemen bahwa setiap
kehidupannya maka niscaya ia harus secara nyata mempercayai suatu realitas sebagai
sumber di atas manusia dan pangkal bagi nilai-nilai ini, yang agama menyebut itu
sebagai Tuhan. Berasaskan ini, Kant berpandangan bahwa keabadian ruh dan juga
yang setiap orang memandangnya sebagai tanggung jawab yang tidak berkait dan
bersyarat yang sudah diletakkan secara hak atas perjanjian manusia, itu semua mesti
pribadi, adalah suatu konklusi bermakna keyakinan terhadap realitas selain alam
material yang lebih tinggi dari kita dan layak untuk ditaati dan disembah. Ini adalah
suatu gerak minimum ke arah keyakinan pada Tuhan yang dalam tradisi agama
samawi dikenal sebagai hakikat akhlak mutlak. Akan tetapi ia tidak dapat berdiri
sebagai argumen penetapan eksistensi Tuhan, sebab bisa saja validitas kemutlakan
tanggung jawab akhlak menjadi tempat keraguan, dan bahkan sampai kita terima
bahwa nilai-nilai akhlak mengarah pada suatu sumber transendental, masih belum
dapat dikatakan diseluruh tempat dan tanpa kesalahan mengarah pada pencipta yang
tidak terbatas, melakukan apa yang ia kehendaki dan berdiri dengan zatnya sendiri,
rujukan universal akhlak, maka sesuai dengan realitas ini meniscayakan pandangan
tentang keberadaan realitas Tuhan, dimana hanya Dia yang dapat menjadi pembenar
dan pengabsah terhadap rujukan akhlak. Oleh sebab itu jika kita berpandangan
tentang eksistensi sumber rujukan akhlak, mesti sesuai dengan realitas ini, kita
berpandangan tentang eksistensi Tuhan sebagai penjamin dari nilai kebenaran dan
validitas hukum-hukum akhlak. Jadi pangkal dan sumber rujukan ini serta jaminan
validitasnya harus secara totalitas keluar dari kehendak dan pilihan manusia. Dengan
kata lain komprehensi undang-undang akhlak sebagai realitas dirinya sendiri tanpa
dirujukkan dan disandarkan pada Tuhan, adalah tidak sempurna dan nilainya kurang
Tuhan.
dan swa-bukti) dimana ia secara esensi diakui oleh akal praktis. Dengan tidak
akal praktis, tidak pernah ada suatu proposisi yang berhubungan dengan akal
praktis, tidak diambil konklusinya dari suatu proposisi yang berhubungan dengan
sampai pada kesimpulan-kesimpulan baru yang berada dalam wilayah akal praktis,
yakni hukum akal praktis setiap kali dalam bentuk mayor akan digabungkan dengan
satu proposisi lain yang berhubungan dengan akal teoritis, dari penggabungan dengan
proposisi itu yang berfungsi sebagai minor membentuk suatu silogisme akhlak
dimana konklusinya secara kuantitas dan kualitas serta juga secara teoritis dan
praktis, mengikuti premis yang "al-akhass" (yang lebih lemah dan lebih rendah,
seperti proposisi negatif lebih rendah dari proposisi positif) dari dua premis dan sebab
dalam silogisme ini, mayor adalah proposisi praktis, maka natijah juga adalah suatu
proposisi praktis dan tidak berhubungan dengan akal teoritis. Misalnya guru
mengajarkan ilmu kepada murid, setiap orang yang mengajarkan ilmu pada orang lain
maka nisbah terhadapnya mempunyai hak untuk dihormati, jadi guru dinisbahkan
Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika,
moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu
Perbedaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada
sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika
penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila
berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran
yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadist.
Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan
kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral
dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia
secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat local dan individual. Etika
Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan
membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral
dan susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif
diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia.
TUGAS
KELOMPOK 3 :
IRFAN HARYADI
130 270 013
TI.LW.4.1