You are on page 1of 8

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1

LATARBELAKANG Bells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah disingkirkan. 1 Bells palsy paling sering terjadi pada kelompok umur 10-40 tahun. Terdapat 20 kasus per 100.000 orang.2 Angka kejadian pada laki-laki dan perempuan sama, tetapi insidensinya mungkin meningkat pada wanita hamil.2 Tujuan penatalaksanaan Bells palsy adalah untuk mempercepat

penyembuhan, mencegah kelum-puhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan seharusnya dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi pasien terhadap kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bells palsy membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu lama.1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Bells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal.1,3 Bells Palsy disebabkan oleh kelumpuhan fasialis LMN. Bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh.7 2.2 Epidemiologi Insiden Bells palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut.2,3 Prevalensi rata-rata berkisar antara 1030 pasien per 100.000 populasi per tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.1 2.3 Etiologi Penyebab dari bells palsy tidak diketahui, tetapi virus herpes merupakan penyebab inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulaum sehingga menyebabkan kompresi, iskemia, dan demielinasi saraf. Virus herpes simplex 1 terdeteksi hampir 50% pada kasus bells palsy menurut beberapa penelitian dan virus herpes zooster terdapat pada 13% kasus.2 2.4 Keluhan dan gejala klinis4,6 Keluhan dan gejala bergantung kepada lokasi lesi : a. Lesi di luar foramen stylomastoideus (gejala pada sisiyang terkena) Mulut turun dan menong kesisi yang lain,makanan berkumpul diantara pipi dan gusi dan sensasi wajah menghilang . Penderitanya tidak dapat bersuit , mengedip atau mengatupkan mata, atau mengerutkan dahi. Lacrimasi akan terjadi kalu mata tidak terlindung. Tipe paralisisnya lower motor neuron yang flaccid. Reaksi degenerasi timb dalam waktu 10-14 hari, tergantung pada luasanya kerusakan.

b.

Lesi pada cranialis fasialis dan mengenai nervs chorda tympani Seluruh gejala di atas terdapat, di samping hilangnya sensasi pengecap pada dua per tiga anterior lidah dan berkurangnya salivasi di sisi yang terkena.

c.

Lesi yang ebih tinggi dalam canalis facialis dan mengenai musculus stapedius Gejala pada a dan b terdapat di tambah hyperacusis

d.

Lesi lebih tinggi yang mengenai ganglion geniculatum Onsetnya acapkali akut dengan rasa yeri di belakang dan di dalam telinga.herpes pada tympanum dan conchadapat mendahului keadaan palsy. Sindroma ramsay hun merupakan bells palsy yang disertai herpes zoster pada ganglion geniculatum , lesilesi herpetic terlihat pada membran tympani, canalis auditorius eksterna dan pada pinna.

e.

Lesi di dalam meatus auditorius internus Gejala-gejala bells palsy dan ketulian akibat terkenanya nervus VIII

f.

Lesi pada tempat keluarnya nervus fasialis dari pons (misalnya meningitis) Bells palsy dengan terkenany nervus-nervus yang lain, yaitu V dan VIII , atau VI,XI dan XII. Pada fenomena marcus gunn yang terlihat pada ptosis kongenital, elevasi kelopak mata yang ptosis terjadi pada gerakan rahang ke sisi kontalateral. Sindroma marin-amat biasanya di jumpai setelah paralisis facialis perifer dan dihubungkan sebagai suatu inversi fenomena marcus gunn. Terjadi penutupan mata ketika pasien membuka mulutnya kuat-kuat dan maksimal.

2.5 patofisiologi Apapun etiologi Bells palsy, proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik Bells palsy adalah proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fasialis. Gangguan atau kerusakan pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi edema dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran darahsehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik dan pengaktifan kinin dan kallikrein akibat hancurnya nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang permanen. Mekanisme luka dari syaraf muka pada Bell's palsy adalah:

1. 2.

Infeksi virus primer ( herpes ) pada suatu waktu di masa lalu. Virus hidup di syaraf (trigeminal ganglion) dari waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.

3. 4. 5.

Virus menjadi aktif kembali di kemudian hari. Virus reproduksi dan berjalan sepanjang syaraf. Virus menginfeksi sel-sel yang mengelilingi syaraf (Schwann cells) berakibat pada peradangan.

6.

Sistim imun merespon pada sel-sel Schwann yang rusak yang dan menyebabkan peradangan dari syaraf dan kelemahan atau kelumpuhan dari muka yang berikut.

7. 2.6 Diagnosis3

Perjalanan dari kelumpuhan dan pemulihan akan tergantung pada derajat dan jumlah kerusakan pada syaraf.

Menentukan apakah kelumpuhan saraf wajah perifer atau pusat adalah sebuah langkah penting dalam diagnosis. Lesi yang melibatkan pusat motor neuron di atas tingkat inti wajah di pons menyebabkan kelemahan pada wajah bagian bawah. Secara menyeluruh pemeriksa harus melakukan pemeriksaan termasuk telinga, hidung, tenggorokan, dan saraf kranial. Diagnostik kriteria minimum termasuk kelumpuhan atau paresis semua otot pada satu sisi wajah, tiba-tiba, dan tidak adanya penyakit sistem saraf pusat (SSP). Dicatat bahwa diagnosis IFP dapat dilakukan hanya setelah penyebab lain dari akut perifer palsy telah dikecualikan. Jika temuan klinis yang meragukan atau jika kelumpuhan berlangsung lebih lama dari 6-8 minggu, penyelidikan lebih lanjut, termasuk ditingkatkan gadolinium pencitraan resonansi magnetis (MRI) dari tulang temporal dan pons, harus

dipertimbangkan.Electrodiagnostic tes (misalnya, stapedius refleks tes, membangkitkan saraf wajah Elektromiografi [EMG], audiography) dapat membantu untuk meningkatkan akurasi prognosis pada kasus yang sulit.

2.7 Penatalaksanaan5 Tujuan utama dari pengobatan pada fase akut bells palsy adalah untuk mempercepat pemulihan dan untuk mencegah komplikasi ke kornea. Pengobatan harus segera dimulai untuk menghambat replikasi virus dan efek berikutnya yang mempengaruhi saraf wajah. Dukungan psikologis juga penting dilakukan.
a.

Perawatan mata Perawatan mata pada pasien bells palsy bertujuan untuk melindungi kornea dari terjadinya pengeringan dan abrasi. Pelumas tetes mata harus di teteskan perjam pada siang hari dan salap mata pada malam hari.

b.

Kortikosteroid Dua alasan sistematis menyimpulkan bahwa bells palsy dapat diobati dengan mengguakan kortikosteroid dalam 7 hari pertama. Penelitian lain juga menunjukkan manfaat dari kortikosteroid pada pasien dengan bells palsy yang parah menunjukkan hasil yang meningkat setelah pengobatan 24 jam.

c.

Antiviral Pengobatan dengan antiviral pada bells palsy dapat dilakukan karena adanya keterlibatan dari virus herpes. Aciclovir dapat mengganggu DNA dari virus herpes dan menghambat replikasi DNA virus tersebut.

2.8 Prognosis Prognosis Bells palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien dan derajat kelumpuhan. kelumpuhan parsial (inkomplit), mempunyai prognosis yang lebih baik. Anakanak juga mempunyai prognosis yang baik dibanding orang dewasa dan sekitar 96,3% pasien Bells palsy dengan House-Brackmann kurang dari Derajat II dapat sembuh sempurna, sedangkan pada House-Brackmann lebih dari derajat IV sering terdapat deformitas wajah yang permanen.15 Pada pasien ini, hari ketiga pengobatan sudah terdapat perbaikan walaupun belum maksimal. Pada hari kesepuluh, kelumpuhan saraf fasialisnya sudah mencapai House-Brackmann derajat II, lokasinya setinggi infra khorda dan fungsi motorik yang terbaik meningkat menjadi 76%, setelah 3 minggu terapi kelumpuhan saraf fasialisnya sudah tidak terlihat lagi (HB I) dan fungsi motorik otot wajahnya sudah normal.8

BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan Bells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah disingkirkan. Insiden Bells palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut.2,3 Prevalensi rata-rata berkisar antara 1030 pasien per 100.000 populasi per tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini. Gejala Bells palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelum-puhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 17 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit. Dalam mendiagnosis kelum- puhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah. Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistim House-Brackmann dan metode Freyss. Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri Tujuan penatalaksanaan Bells palsy adalah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kelum-puhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan seharusnya dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi pasien terhadap kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bells palsy membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu lama.

Prognosis pasien Bells palsy umumnya baik, terutama pada anak-anak. Penyembuhan komplit dapat tercapai pada 85 % kasus, penyembuhan dengan asimetri otot wajah yang ringan sekitar 10% dan 5% penyembuhan dengan gejala sisa berat. Bells palsy biasanya dapat sembuh tanpa deformitas. Hanya 5% yang mengalami deformitas. 3.2 Saran Untuk mengurangi angka kematian pada Bells Palsy, harus ada kerjasama antara petugas kesehatan dengan keluarga pasien. Keluarga pasien harus tahu bagaimana cara deteksi Bells Palsy. Keluarga juga harus tahu bahwa Bells Palsy berbeda dengan Stroke

DAFTAR PUSTAKA 1. Munilson J, Edward Y, Triana W. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bells Palsy.Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP. Dr.M. Djamil Padang.2010;1-6 2. Holland J. Bells palsy. BMJ Publishing. 2008; 1-8 3. Taylor D.Bell Palsy. Medscape reference.2012. available from : http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview 4. Chusid J, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.1990.hal:176-177 5. Julian N, Weiner G. Recent Development In Bells Palsy. BMJ 2004;329:5537 6. Sukardi. Bells Palsy. http://www. kalbe.co.id/cdk/Spalsy.Pdf/spalsy.html 7. Mardjono M, Sidharta P.Neurologi Klinis Dasar.Jakarta : PT.Dian Rakyat.2009. hal 162 8. Fisterer J. Management Of Peripheral Facial Nerve Palsy.2008;1-10

You might also like