You are on page 1of 22

BAB II LANDASAN, PRINSIP DAN STRUKTUR PEMBUATAN KEPUTUSAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

Politik luar negeri sebagai salah satu komponen dari kebijakan politik nasional yang ditujukan kepada lingkungan internasional akan senantiasa berpijak pada landasan ataupun prinsip-prinsip yang menjadi dasar pelaksanaannya. Landasan dan prinsip-prinsip politik luar negeri dapat dianggap sebagai pedoman maupun nilai-nilai yang memberikan arahan bagi perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Berikut ini akan dipaparkan beberapa hal yang menjadi landasan dan prinsip pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.

2.1

Landasan Politik Luar Negeri Indonesia Sumber kebijakan luar negeri adalah textual sources (hukum dan legislasi,

doktrin, strategi) dan constextual sources (lingkungan pergaulan domestik dan lingkungan internasional).1 Menurut Johan Syahperi, manajemen dari hubungan dan politik luar negeri Indonesia harus berlandaskan pada idealisme yang kokoh. Idealisme tersebut terdiri dari landasan, prinsip dan tujuan pokok yang masingmasing dapat dijelaskan sebagai berikut:2

Yayan G.H. Mulyana(a), Grand Design Polugri dapat Merubah Tampilan Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Tabloid Diplomasi, No. 56 Tahum V (15 Juni 14 Juli 2012), hal. 6 2 Johan S. Syahperi, Dinamika Hubungan Internasional Pasca Perang Dingin dan Relevansi Pendekatan Lingkaran Konsentris Kebijakan Luar Negeri Indonesia, dalam Mieke Kumar, Etty R. Agoes & Eddy Damian (ed), Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, L.LM. (Bandung: Penerbit Alumni, 1999). Hal. 783-785.

34

a. Landasan konstitusional politik luar negeri Indonesia adalah UndangUndang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila merupakan landasan idiil. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia berdasar atas hukum dasar; yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang tidak lepas dari tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat.3 Hal ini berarti, pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan garis-garis besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia.4 Pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia haruslah merupakan pencerminan ideologi bangsa. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia merupakan landasan idiil yang mempengaruhi dan menjiwai pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia. Pancasila merupakan sumber preferensi kebijakan luar negeri yang menjadi pembimbing Indonesia dalam memilih pilihan-pilihan kebijakan dan tindakan dalam berbagai fora internasional. Pancasila pula yang telah mengarahkan Indonesia untuk memilih orientasi politik non-blok sekaligus mengarahkan Indonesia pada prinsip million friends zero enemy dalam politik luar negerinya dewasa ini.5

Lihat selengkapnya dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. 4 Athiqah Nur Alami, Landasan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia, dalam Ganewati Wuryandari (ed), op.cit. hal. 28. 5 Yayan G.H. Mulyana(b), Pancasila and Indonesias Foreign Policy, The Jakarta Post, 30 Juni 2011, <http://www.thejakartapost.com/news/2011/06/30/pancasila-and-indonesia%E2%80%99sforeign-policy.html>, [diakses 8 November 2011].

35

b. Prinsip dari politik luar negeri Indonesia adalah politik luar negeri bebas aktif yaitu suatu politik luar negeri yang pada hakikatnya bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara apriori pada satu kekuatan dunia. c. Tujuan dari politik luar negeri Indonesia adalah mendukung pelaksanaan pembangunan nasional. Aspek internasional dari pencapaian tujuan tersebut adalah menciptakan lingkungan internasional yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan nasional sebagaimana yang telah digariskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat.

Secara umum terdapat empat hal yang bisa digunakan sebagai dasar hukum atau landasan dalam pelaksanaan hubungan dan kebijakan luar negeri suatu negara, yaitu konstitusi, perundang-undangan dan peraturan lain, perjanjian dan persetujuan eksekutif, serta instrumen hukum internasional yang diratifikasi oleh negara tersebut.6 UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan politik luar negeri merupakan hal yang bersifat given dari para founding fathers Indonesia, namun setiap periode pemerintahan7 senantiasa menetapkan landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang disesuaikan dengan kepentingan nasional yang dirumuskan oleh para elit pembuat kebijakan. Pada Era Reformasi termasuk masa
6

Yayan G.H. Mulyana(c), Strengthening the Legal Foundation of Indonesias Foreign Policy, The Jakarta Post, 10 April 2011, <http://www.thejakartapost.com/news/2011/10/04/strengtheninglegal-foundation-indonesia%E2%80%99s-foreign-policy.html>, [diakses 16 November 2011]. 7 Pada masa Orde Lama, landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal yang juga dituangkan dalam bentuk TAP MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pembahasan mengenai landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru lihat selengkapnya dalam Athiqah Nur Alami, op. cit., hal. 29-34.

36

pemerintahan Presiden SBY, landasan operasional politik luar negeri Indonesia ditetapkan dalam bentuk undang-undang maupun Keputusan Presiden. Undangundang ataupun peraturan tertulis lainnya yang menjadi landasan operasional politik luar negeri Indonesia di era Presiden SBY antara lain:

1. Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Undang-undang ini dapat dianggap sebagai undang-undang yang paling komprehensif yang dimiliki Indonesia dalam mengatur penyelenggaraan hubungan luar negeri dan politik luar negeri Indonesia. Pokok-pokok utama yang termaktub dalam undang-undang ini adalah pengaturan mengenai hubungan internasional dan

implementasi kebijakan luar negeri; pembuatan dan ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional; perlindungan terhadap warga negara Indonesia; suaka dan pengungsi; aparat hubungan luar negeri; dan surat-surat kepercayaan diplomatik. Menurut undang-undang ini, politik luar negeri Indonesia didedikasikan sepenuhnya kepada kepentingan nasional dimana politik luar negeri yang dilakukan harus mendukung terwujudnya tujuan nasional sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945. Undang-undang ini juga menegaskan bahwa politik luar negeri harus dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif, tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes dalam pendekatan. Kemudian, diplomasi yang dilaksanakan harus mampu merefleksikan

37

gaya diplomasi yang mencari keharmonisan, keadilan dan keserasian dalam hubungan antarnegara, menjauhi sikap konfrontasi ataupun politik kekerasan/kekuasaan (power politics), menyumbang

penyelesaian bagi berbagai konflik dan permasalahan di dunia, dengan memperbanyak kawan dan mengurangi lawan.8

2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan atas Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang "pembuatan perjanjian-perjanjian dengan negara lain" yang digunakan sebagai pedoman untuk membuat dan mengesahkan perjanjian internasional sebelum Era Reformasi. Secara khusus undang-undang ini memberikan penekanan pada pentingnya untuk menciptakan kepastian hukum dalam perjanjian internasional. Hal-hal pokok yang dijelaskan dalam undang-undang ini adalah mengenai pembuatan perjanjian internasional, pengesahan perjanjian internasional, pemberlakuan

perjanjian internasional, penyimpanan perjanjian internasional, dan pengakhiran perjanjian internasional.9

Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Bab I Ketentuan Umum penjelasan Pasal 4. 9 Lihat selengkapnya dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

38

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025. Secara keseluruhan undang-undang ini berisi tentang visi, misi, dan arah pembangunan nasional yang menjadi pedoman pemerintah didalam penyelenggaraan pembangunan nasional 20 tahun ke depan terhitung dari tahun 2005 hingga 2025. Dalam bidang politik luar negeri, sasaran yang hendak dicapai dalam undang-undang tersebut adalah terwujudnya peranan Indonesia yang meningkat dalam pergaulan dunia yang ditandai oleh lima hal pencapaian.10 Pertama, memperkuat dan mempromosikan identitas nasional sebagai negara demokratis dalam tatanan internasional. Kedua, pulihnya Indonesia sebagai negara demokrasi besar yang ditandai oleh keberhasilan ekonomi dalam forum-forum internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah dan pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional. Ketiga, meningkatnya kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam kerja sama internasional dalam rangka mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan damai. Keempat, terwujudnya kemandirian nasional dalam konstelasi global. Kelima, meningkatnya investasi perusahaan-perusahaan Indonesia di luar negeri.

10

Lihat selengkapnya dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025

39

4. Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Peraturan Presiden ini merupakan sebuah pedoman dalam menyusun rencana strategi jangka pendek pembangunan nasional Indonesia pada masa pemerintahan Presiden SBY periode 2004-2009. Dalam bidang politik luar negeri, sasaran yang hendak dicapai adalah meningkatnya peranan Indonesia dalam hubungan internasional dan dalam menciptakan perdamaian dunia, serta pulihnya citra Indonesia dan kepercayaan masyarakat internasional serta mendorong terciptanya tatanan dan kerjasama ekonomi regional dan internasional yang lebih baik dalam mendukung pembangunan nasional.11 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 ini memiliki tiga program utama dalam pemantapan politik luar negeri dan peningkatan kerjasama internasional.12 Pertama, pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi. Tujuan program ini adalah meningkatkan kapasitas dan kinerja politik luar negeri dalam memberikan kontribusi bagi proses demokratisasi, stabilitas politik dan persatuan nasional dan lebih memperkuat kinerja diplomasi Indonesia. Kedua, peningkatan kerjasama internasional yang bertujuan untuk memanfaatkan secara optimal berbagai potensi positif yang ada pada forum-forum kerjasama internasional terutama melalui kerjasama ASEAN, APEC,

11

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, Bab 8 Pemantapan Politik Luar Negeri dan Peningkatan Kerjasama Internasional. 12 Ibid.

40

kerjasama multilateral lainnya, dan antara negara-negara yang memiliki kepentingan yang sejalan dengan Indonesia. Ketiga, penegasan terhadap komitmen perdamaian dunia serta pelaksaaan dan perumusan aturanaturan serta hukum internasional, mempertahankan pentingnya prinsipprinsip multilateralisme dalam hubungan internasional, serta menentang unilateralisme, agresi dan penggunaan segala bentuk kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan internasional

5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 merupakan tahap kedua dari pelaksanaan Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007. Dalam mencapai sasaran agenda pembangunan nasional, maka pelaksanaan politik luar negeri Indonesia diprioritaskan pada peningkatan diplomasi dan kerjasama internasional, dengan fokus prioritas: (1) Peningkatan peran dan kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN; (2) Peningkatan peran Indonesia dalam menjaga keamanan dan perdamaian dunia; (3) pemantapan pelaksanaan diplomasi perbatasan; (4) peningkatan pelayanan dan perlindungan WNI/BHI di luar negeri; (5) peningkatan Peran Indonesia dalam pemajuan demokrasi, HAM, lingkungan hidup, dan perlindungan kekayaan budaya; (6) pemantapan kemitraan strategis di

41

kawasan Asia-Pasifik-Afrika (Aspasaf) dan Amerika-Eropa (Amerop); (7) peningkatan pelaksanaan diplomasi ekonomi; dan (8) peningkatan kerja sama Selatan-Selatan.13

2.2

Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia Landasan konstitusional dari pelaksanaan politik luar negeri Indonesia

adalah Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam Pembukaan UUD 1945 apabila dicermati lebih dalam akan terlihat prinsip-prinsip dasar pelaksanaan politik luar negeri yang selanjutnya dimanifestasikan dalam bentuk politik bebas aktif. Di dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 dinyatakan:
...bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.14

Kemudian pada alinea keempat dinyatakan:


Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang mellindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.15

Berdasarkan kutipan alinea pertama dan keempat UUD 1945 diatas tampak adanya butir-butir penting tentang prinsip-prinsip dasar pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang berpegang teguh pada empat hal. Pertama, anti kolonialisme; kedua, menjunjungi tinggi persamaan dan kesederajadan antar bangsa-bangsa di dunia; ketiga, mengutamakan kepentingan nasional; keempat,

13 14

RPJMN 2010-2014, op. cit. hal. 58 Lihat selengkapnya dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 15 Ibid.

42

berpartisipasi aktif dalam penyelesaian-penyelesaian masalah-masalah global baik secara multilateral dan institusional.16 Prinsip politik luar negeri yang dianut secara konsisten oleh Indonesia adalah bebas aktif. Prinsip bebas aktif ini merupakan sebuah konsepsi yang dicetuskan oleh Mohammad Hatta dalam rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada 2 September 1948.17 Lahirnya prinsip bebas aktif dalam politik luar negeri Indonesia tidak dapat dipisahkan dari situasi

lingkungan internasional dan domestik yang berkembang pada saat itu. Pertentangan antara dua negara adidaya dengan latar belakang ideologi yang kontradiktif yaitu Amerika Serikat (liberalis-kapitalis) dan Uni Soviet (sosialiskomunis) telah membagi tatanan atau sistem dunia menjadi dua kutub kekuatan, yaitu Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok Komunis (Uni Soviet). Pertentangan antara dua blok kekuatan tersebut lazim disebut dengan istilah Perang Dingin. Pada sisi lain, di dalam negeri muncul tekanan dari kelompok-kelompok yang berhaluan ideologi kiri agar Indonesia masuk ke dalam aliansi pimpinan Uni Soviet (Blok Timur). Mohammad Hatta dalam pidatonya yang bertajuk mendayung diantara dua karang di depan BP-KNIP pada 2 September 1948 memandang bahwa dalam menyikapi situasi Perang Dingin, Indonesia harus berada dalam pihak yang netral dalam arti tidak memihak pada salah satu blok kekuatan. Inti dari pidato Hatta

16

Ikrar Nusa Bhakti, Reinterpretasi Politik Luar Negeri Indonesia dan Kemandirian Regional Asia Tenggara, dalam Studia Politica 2, (Jakarta: Yayasan Insan Politika dan Puslitbang Politik & Kewilayahan LIPI, 1998), hal. 4. 17 Yayan G.H. Mulyana(d), Does Indonesia Need a Foreign Policy White Paper?, The Jakarta Post, 2 Juli 2012, < http://www.thejakartapost.com/news/2012/02/07/does-indonesia-need-aforeign-policy-white-paper.html>, [diakses pada 11 Februari 2012]

43

tersebut adalah agar Indonesia dapat berperan sebagai subjek atau aktor yang independen dalam menghadapi berbagai masalah internasional. Prinsip bebas aktif merupakan tanggapan dan strategi Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaan menghadapi Perang Dingin, yang membelah dunia dalam dua blok ideologi yang saling bertentangan tersebut. Politik bebas aktif yang kemudian menjadi prinsip sekaligus orientasi politik luar negeri Indonesia oleh berbagai pihak kerap disebut sebagai politik netral. Mohammad Hatta selaku konseptor dari politik bebas aktif membantah bahwa politik luar negeri Indonesia bukan politik netral, karena politik luar negeri Indonesia tidak ditujukan kepada dua negara atau lebih yang berperang. Menurut Hatta, kata bebas dalam terminologi bebas aktif merujuk pada sikap Indonesia yang tidak ingin bersekutu dengan salah satu dari blok-blok yang bertentangan, Blok Barat dan Blok Komunis. Prinsip politik luar negeri yang bebas dalam pengertian yang lebih luas merefleksikan tingkat nasionalisme yang tinggi dan menolak keterlibatan atau ketergantungan terhadap pihak luar yang dapat mengurangi kedaulatan Indonesia.18 Aktif dimaksudkan bahwa Indonesia berusaha sekuat-kuatnya untuk memelihara perdamaian dan meredakan

pertentangan sesuai dengan cita-cita Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).19 Menurut Hatta, politik bebas aktif yang dipegang teguh oleh Indonesia dibangun atas dasar empat asumsi utama. Pertama, pelakasanaan politik luar negeri Indonesia harus dibangun berdasarkan fundamental ideologi negara, yaitu
18

Dewi Fortuna Anwar, Hatta dan Politik Luar Negeri, <www.kompas.com/kompascetak/0208/09/nasional/hatt39.htm>, [diakses pada 24 Juni 2012]. 19 Mohammad Hatta(a), Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, dalam Endang Basri Ananda, Sori Siregar & Mien Joebhaar (ed), Karya Lengkap Bung Hatta: Buku 3, Perdamaian Dunia dan Keadilan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 469.

44

Pancasila. Kedua, politik luar negeri harus ditujukan pada upaya-upaya untuk memenuhi dan melindungi kepentingan nasional sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945. Ketiga, pemenuhan kepentingan nasional harus dilakukan melalui kebijakan-kebijakan yang independen. Keempat, politik luar negeri Indonesia harus dilaksanakan secara pragmatis sesuai dengan situasi dan fakta yang dihadapi.20 Politik bebas aktif dan ketidakberpihakan Indonesia pada salah satu blok kekuatan tidak dapat diartikan bahwa Indonesia memiliki keinginan untuk membentuk blok ketiga dalam persekutuan dengan negara-negara Asia dan Afrika. Mohammad Hatta menegaskan bahwa pelaksanaan politik bebas aktif merupakan salah satu upaya Indonesia dalam menjalin persahabatan dan kerjasama dengan segala bangsa apapun ideologi dan bentuk pemerintahan yang dianut atas dasar saling menghormati.21 Politik bebas aktif kemudian menjadi panduan sekaligus diterapkan secara konsisten sebagai dasar pelaksanaan politik luar negeri Indonesia dari masa Orde Lama hingga Era Reformasi saat ini.

2.2.1

Politik Bebas Aktif Era Soekarno (1945-1965) Pada awal kepemimpinan Soekarno (1945-1949), politik luar negeri

Indonesia diarahkan untuk mempertahankan kemerdekaan serta upaya mencari pengakuan internasional atas kemerdekaan Republik Indonesia. Era Kepresidenan Soekarno merupakan awal mula dari munculnya prinsip bebas aktif dalam

20

Rizal Sukma, Indonesia and China: The Politics of a Troubled Relationship, (London: Routledge, 1999), hal. 20. 21 Mohammad Hatta(b), Indonesia diantara Blok-blok Negara Besar, dalam dalam Endang Basri Ananda, Sori Siregar & Mien Joebhaar (ed), ibid. Hal. 503.

45

diskursus politik luar negeri Indonesia (1948). Pada awalnya, pelaksanaan politik bebas aktif ditujukan untuk menjaga independensi Indonesia dalam konteks Perang Dingin, tetapi politik bebas aktif mengalami perubahan ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Soekarno menjadi aktor dominan dengan memperkenalkan tiga ideologi berbeda yaitu nasionalisme, agama dan komunisme (nasakom) dalam domain politik luar negeri Indonesia.22 Soekarno kemudian mengimplementasikan politik bebas aktif dalam suatu format yang nasionalistik dan revolusioner dengan memberikan penekanan pada sikap anti neo-kolonialisme, kolonolialisme dan imperialisme (nekolim). Politik luar negeri Soekarno yang anti nekolim tersebut diimplementasikan dalam pembentukan New Emerging Forces (NEFOS) sebagai antitesis dari Old Established Forces (OLDEFOS) yaitu Barat, melancarkan politik konfrontasi terhadap Irian Barat dan Malaysia, serta politik poros JakartaPeking-Pyongyang. Singkatnya, politik luar negeri era Soekarno lebih condong ke pihak Blok Komunis (Uni Soviet) dan anti Barat yang dianggap menjadi representasi nekolim oleh Soekarno.

2.2.2

Politik Bebas Aktif Era Soeharto (1966-1998) Pasca kejatuhan rezim Orde Lama Soekarno, Indonesia mengalami

instabilitas dalam bidang ekonomi, politik dan keamanan. Berawal dari kondisi domestik yang serba kacau-balau, maka merupakan suatu hal yang rasional jika Soeharto memiliki pemikiran bahwa politik luar negeri bebas aktif akan berjalan
22

Anak Agung Banyu Perwita, Indonesia Foreign Policy and the Muslim World in the Changing Global Environment, hal. 11. <http://www.niaspress.dk/files/excerpts/Perwita_extract.pdf>, [diakses 16 November 2011].

46

efektif jika Indonesia berhasil membangun kekuatan internal yang difokuskan pada stabilitas politik keamanan dan pembangunan ekonomi.23 Pemikiran inilah yang mendasari Indonesia melakukan pendekatan terhadap negara-negara Barat yang dipandang memiliki tingkat perekonomian yang lebih maju dari negaranegara Blok Komunis dalam rangka memperoleh bantuan ekonomi (berupa investasi maupun pinjaman luar negeri). Pembangunan ekonomi akan berjalan sukses apabila ditopang oleh stabilitas politik keamanan pada tingkat nasional dan regional Asia Tenggara. Secara strategis, suatu lingkungan kawasan yang stabil akan sangat mendukung bagi upaya pembangunan ekonomi Indonesia pada khususnya dan national building pada umumnya.24 Rezim Soeharto kemudian mengakhiri politik konfrontasi terhadap Malaysia dan berperan aktif dalam pembentukan forum kerja sama regional dalam format Association of South East Asia Nations (ASEAN). Stabilitas kawasan yang dipercaya menjadi faktor pendukung pembangunan ekonomi telah menempatkan ASEAN sebagai soko-guru dalam lingkaran konsentris politik luar negeri Indonesia (concentric circle policy).25

23

Rizal Sukma, The Evolution of Indonesias Foreign Policy: An Indonesia View, Asian Survey Vol. XXXV, No.3, Maret 1995, hal 310, seperti dikutip oleh Aleksius Jemadu, op. cit.,hal. 81. 24 Djohan S. Syahperi, op. cit., hal. 796. 25 Pendekatan concentric circle policy dicetuskan oleh Mochtar Kusumatmadja ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI. Lingkaran konsentris pertama adalah ASEAN. Lingkaran konsentris kedua adalah Australia dan negara-negara yang tercakup dalam kerjasam ASEAN+3. Diluar lingkaran tersebut, Indonesia mengkonsentrasikan kerjasama dengan negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa. Pendekatan concentric circle policy ini dipengaruhi oleh rasa ketidakamanan yang berkaitan langsung dengan kerawanan wilayah nusantara yang begitu luas, misalnya invansi terhadap Kerajaan Singasari oleh Kubilai Khan pada abad 13 dan invansi Jepang pada masa penjajahan Belanda memperlihatkan kerawanan batas wilayah bagian utara nusantara. Lihat selengkapnya dalam Siswo Pramono, Mythology and History of Indonesian Diplomacy, The Jakarta Post, 3 April 2010. <http://www.thejakartapost.com/news/2010/03/04/mythologyand-history-indonesian-diplomacy.html>, [diakses 21 Mei 2012].

47

Penekanan pada aspek pembangunan ekonomi nasional pada akhirnya telah menempatkan politik bebas aktif Indonesia pada orbit blok kapitalis Barat (Amerika Serikat). Pada masa itu terdapat simbiosis mutualisme dalam hubungan Indonesia-Amerika Serikat. Pada satu sisi, Indonesia membutuhkan bantuan ekonomi dari Amerika Serikat untuk menunjang pembangunan nasional, sementara Amerika Serikat beserta sekutunya membutuhkan Indonesia sebagai kekuatan pembendung penyebaran paham komunisme di Asia Tenggara. Pemikiran politik luar negeri Soeharto yang menekankan pada aspek pembangunan ekonomi serta stabilitas politik dan keamanan menjadi salah satu faktor yang mendorong Indonesia untuk berperan aktif dalam forum-forum kerjasama internasional. Dalam perjalanan politik luar negeri Soeharto sampai pertengahan 1990-an, terdapat puluhan organisasi internasional di berbagai bidang (ekonomi, politik-keamanan, dan sosial budaya) yang menempatkan Indonesia sebagai anggotanya.26

2.2.3

Politik Bebas Aktif Era Transisi (1998-2004) Krisis ekonomi pada 1997 yang berujung pada kejatuhan rezim Soeharto

pada 21 Mei 1998 telah menimbulkan instabilitas domestik Indonesia. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Indonesia di Timor Timur pasca refrendum 1999. Instabilitas domestik ini
26

Antara lain: APEC, ADAB, CCC, CP, ESCAP, FAO, G-15, G-19, G-77, IAFA, IBRD, ICAO, ICC, ICRM, IDA, IDB, IFAD, IFC, IFRCS, IHO, ILO , International Maritime, Organization, Inmarsat, Intelsat, Interpol, IOC, IOM (observer), ISO, ITU, OIC, OPCW, OPEC, UN, UNCTAD, UNESCO, UNINDO, UNIKOM, UNMBH, UNMOP, UNMOT, UNOMIG, UPU, WCL, WFTU, WHO, WIPO, WMO,WioO, dan WtrO. Foreign Relations of Indonesia <http://www.worldhistory.com/wiki/F/foreign-relations-of-Indonesia.htm> dalam Zainuddid Djafar, op. cit., hal. 78.

48

berakibat pada rusaknya citra dan kredibilitas Indonesia dimata dunia Internasional. Indonesia mengalami kesulitan untuk melaksanakan politik luar negeri bebas aktif karena terlalu dibebani oleh berbagai permasalahan domestik sehingga kurang efektif untuk terlibat aktif dalam penyelesaian masalah-masalah internasional.27 Berawal dari kondisi domestik yang serba kacau-balau, Presiden Habibie yang mengantikan Soeharto mengarahkan fokus politik luar negeri Indonesia pada upaya pemulihan citra, stabilisasi ekonomi dan keamanan Indonesia. Politik luar negeri Habibie tersebut diimplementasikan dalam bentuk pengesahan konvensi internasional yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)28,

mempersiapkan proses penyelenggaraan pemilihan umum, hingga pemberian opsi merdeka kepada Timor Timur melalui jejak pendapat atau refrendum. Ketika Abdurahman Wahid (Gus Dur) menduduki posisi sebagai Presiden Indonesia pada bulan Oktober 1999, kondisi domestik Indonesia belum menunjukan stabilitas bahkan cenderung mengarah kepada disintegrasi. Selain kondisi ekonomi dan keamanan nasional yang belum pulih sepenuhnya, konflikkonflik sosial (baik vertikal maupun horizontal) di berbagai daerah di Indonesia justru berkembang secara masif. Dalam konteks ini, selain agenda pemulihan ekonomi, demokratisasi dan hak asasi manusia, politik luar negeri Indonesia juga diarahkan untuk menjaga dan mempertahankan integritas teritorial dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gus Dur kemudian
27

Dino Patti Djalal, Indonesia Semakin Outward Looking, Tabloid Diplomasi, No. 9 Tahun I, (15 September 14 Oktober 2008), hal. 8. 28 Diantaranya pengesahan Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment melalui UU No. 5 Tahun 1998 dan pengesahan Convention on Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1969 melalui UU No. 29 Tahun 1999.

49

melakukan diplomasi persatuan dengan melakukan kunjungan ke 80 negara dengan tujuan memperoleh dukungan internasional terhadap kedaulatan wilayah Indonesia yang tengah menghadapi masalah disintegrasi.29 Pada periode Megawati Soekarnoputri, kepentingan nasional yang diperjuangkan di era pemerintahannya merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Pemerintahan Megawati mencoba untuk memperbaiki profil Indonesia di dunia internasional melalui kebijakan luar negeri yang ditujukan untuk mengatasi masalah domestik, khususnya perbaikan ekonomi dan menjaga integritas nasional. Pemerintahan Megawati memiliki komitmen untuk

membangun politik luar negeri dan diplomasi yang kuat, serta membangun kerjasama ekonomi internasional dalam kerangka bilateral, regional ataupun multilateral. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka politik luar negeri diarahkan pada perbaikan citra internasional Indonesia; meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat; memperkuat kesatuan, stabilitas, integritas, dan kedaulatan nasional; membangun kerjasama bilateral, khususnya dengan negara-negara yang mampu mendukung perdagangan, investasi, dan perbaikan ekonomi Indonesia; serta mempromosikan kerjasama internasional yang mendukung Indonesia dalam membangun dan memelihara perdamaian dunia.30

29

Dhororudin Mashad, Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi, dalam Ganewati Wuryandari (ed), op. cit., hal. 189. 30 Yanyan Mochamad Yani, Change and Continuity in Indonesian Foreign Policy, hal. 17, <http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/01/change_and_continuity_in_indonesia_foreign_policy.pdf>, [diakses 26 Maret 2012]

50

2.3

Struktur Pembuatan Keputusan Politik Luar Negeri Indonesia Pada Era Reformasi, terdapat sejumlah perubahan signifikan dalam

perumusan ataupun pelaksanaan politik luar negeri Indonesia, dimana hal tersebut tidak terjadi pada periode sebelumnya. Selama rezim Orde Baru, struktur pengambilan keputusan politik luar negeri didominasi oleh klik para elit, yaitu presiden sebagai pusat kekuasaan, militer (ABRI) sebagai jaring keamanan, departemen luar negeri sebagai jaring penghubung diplomasi, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) sebagai jaring penghubung ekonomi.31 Singkatnya, ranah kebijakan politik luar negeri dimonopoli oleh eksekutif dalam hal ini khususnya oleh presiden. Demokratisasi yang bergulir sejak 1998 telah memunculkan tuntutan untuk melakukan revitalisasi terhadap peran eksekutif yang terlalu besar dalam mekanisme pengambilan kebijakan luar negeri yang memiliki potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Perubahan struktur pengambilan keputusan dalam ranah politik luar negeri terlihat jelas dalam Pasal 13 UUD 1945 hasil amandemen yang menyatakan bahwa:32 1) Presiden mengangkat duta dan konsul. 2) Dalam hal mengangkat duta dan konsul, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. 3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Struktur pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia Era Refromasi telah diatur secara komprehensif dalam UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
31

Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia dibawah Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 1998) seperti dikutip Andre H. Pareira, Mendayung Antara Dua-Tiga Karang: Tantangan Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Parahyangan Center for Internasional Studies (PACIS), Vol.1 No.2 Mei 2005, hal. 154. 32 Atiqah Nur Alami, op. cit. hal. 38.

51

Negeri. Beberapa pasal yang memberikan penjelasan tetang struktur pengambilan kebijakan luar negeri diantaranya: Pasal 6 yang secara jelas menerangkan bahwa:33 1) Kewenangan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri berada ditangan Presiden. Sedangkan dalam hal menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain diperlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 2) Presiden dapat melimpahkan kewenangan penyelenggaran hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Menteri. 3) Menteri dapat mengambil langkah yang dipandang perlu demi dipatuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5.34 Kemudian pada pasal 9 disebutkan bahwa:35 1) Pembukaan dan pemutusan hubungan diplomatik atau konsuler dengan negara lain serta masuk ke dalam atau keluar dari keanggotaan organisasi internasional ditetapkan oleh Presiden dengan memperhatikan dengan memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Posisi presiden dalam Era Reformasi sebenarnya tetap menjadi aktor utama dalam struktur pemgambilan kebijakan luar negeri, tetapi peran legislatif (DPR) dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan politik luar negeri juga semakin besar. DPR melalui Komisi I yang membidangi masalah pertahanan dan hubungan luar negeri, secara aktif dan berkesinambungan melakukan pengawasan (hak kontrol) dan penentuan anggaran (hak budget) terhadap proses penyusunan, kebijakan dan implementasi politik luar negeri.36 DPR juga memiliki hak interpelasi, yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakannya di suatu bidang (termasuk dalam masalah kebijakan luar negeri)
33 34

Pasal 6 UU No. 37 Tahun 1999. Pada pasal 5 (1) disebutkan bahwa hubungan luar negeri diselenggarakan sesuai dengan politik luar negeri, perundang-undangan nasional dan hukum serta kebiasaan internasional. 35 Pasal 9 UU No. 37 Tahun 1999. 36 Andre H. Pareira, loc. cit.

52

yang telah diatur secara tegas dalam Pasal 20A Ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen: setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.37 Posisi kursi di DPR sebagian besar diduduki oleh Partai Demokrat yang menjadi kendaraan politik SBY dalam pemilihan umum dengan kalkulasi sebesar 148 dari total 560 kursi. Koalisi yang dibangun antara Partai Demokrat dengan partai-partai besar lain di DPR yang mencakup Partai Golkar (106 kursi), PKS (57 kursi), PAN (46 kursi), PPP (38 kursi), dan PKB (28 kursi) secara keseluruhan mencapai 423 kursi. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan luar negeri yang dilaksanakan oleh pemerintahan SBY akan mendapat dukungan yang sangat besar dan cenderung tidak akan mengalami resistensi yang tajam dari DPR selaku lembaga yang melakukan pengawasan terhadap kinerja eksekutif presiden dan jajaran kabinetnya. Salah satu tantangan besar yang timbul dari DPR adalah masih adanya sejumlah anggota parlemen baik dititngkat nasional (DPR) maupun daerah (DPRD) yang kurang memiliki pemamahan yang integral tentang masalah hubungan dan politik luar negeri, akibatnya mereka sering melakukan penilaian ataupun penafsiran yang kurang objektif mengenai kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintah Indonesia. Pandangan, pendekatan dan prioritas politik luar negeri Indonesia pada umumnya masih sangat dipengaruhi atau mendapat banyak pengaruh dari presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal ini dikarenakan orientasi rezim merefleksikan nilai-nilai dasar dan kepentingan ekonomi, sosial,
37

Reni Windiani, DPR Pasca Amandemen, <http://www.suaramerdeka.com/harian/0706/09/opi03.htm>, [diakses 3 September 2012].

53

dan politik dalam isu-isu yang sedang berkembang di lingkungan domestik dan internasional.38 Dalam menata pelaksanaan politik luar negeri, Presiden SBY tidak berusaha untuk mencitrakan dirinya ataupun menjadi aktor utama seperti pada era Soekarno, Habibie, dan Gus Dur. SBY justru memberi peran utama kepada Menteri Luar Negeri, tetapi sebagaimana kemunculannya sebagai kandidat presiden yang sukses, SBY pada saat yang sama juga berusaha menggunakan karisma pribadinya dengan mengambil sebagian peran Menlu di dalam melakukan pendekatan dengan setiap mitra dialog guna memperoleh kepercayaan mereka akan keseriusan SBY di dalam memenuhi setiap komitmennya.39 Kementrian Luar Negeri merupakan institusi yang memiliki

tanggungjawab dan wewenang dalam perumusan, pembuatan, dan pelaksanaan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Posisi Menteri Luar Negeri selaku sosok yang bertanggungjawab kepada presiden dalam penyelenggaran hubungan dan politik luar negeri dibantu oleh seorang Wakil Menteri Luar Negeri. Keberadaan Wakil Menlu dalam struktur kementrian luar negeri ini ditetapkan atas dasar hak prerogatif presiden pada tahun 2008 dengan pertimbangan kompleksitas isu-isu nasional dalam tataran global dan isu-isu global yang memiliki dampak nasional serta intensitas hubungan internasional yang kian tinggi, sehingga posisi Wakil Menlu yang dapat menopang tugas Menlu sangat dibutuhkan. Posisi Wakil Menlu juga dapat berfungsi untuk membantu koordinasi antardirjen di lingkungan Kementrian Luar Negeri (Kemlu) yang sejak restrukturisasi pada tahun 2002
38

Anak Agung Banyu Perwita, Pemilihan Presiden dan Politik Luar Negeri RI, Okezone.com, 6 Juli 2009, <http://www.okezone.com/read/2009/07/06/274/236044 >, [diakses 5 Juli 2012]. 39 Ratna Shofi Inayati, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri Indonesia, Jurnal Penelitian Politik, Vol. 2, No. 1 (2005), hal. 36.

54

diubah dari sektoral menuju kawasan. Wakil Menlu dengan demikian bertugas mengoordinasikan berbagai masalah lintas kawasan dan isu.40 Kendati presiden memberikan sebagian besar wewenang kepada Menlu dalam penyelenggaraan politik luar negeri, tetapi banyak inisiatif diplomasi dan arahan yang diberikan SBY setiap kali Menlu memerlukan keputusan politik tertinggi terhadap suatu masalah diplomasi. Dino Patti Djalal menyebut posisi SBY sebagai foreign policy president, yaitu tipe presiden yang memiliki perhatian besar pada dunia internasional dan memegang kendali diplomasi.41 Hal ini memperlihatkan bahwa presiden tetap memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan arah diplomasi dan politik luar negeri Indonesia.

40

Anak Agung Banyu Perwita, Ihwal Wakil Menlu, Kompas, 26 Maret 2008, <http://perwita.wordpress.com/kompas-25-maret-2008/>, [diakses 15 November 2011]. 41 Dino Patti Djalal, Harus Bisa!: Seni Memimpin ala SBY, (Jakarta: Red & White Publisihng, 2008), hal. 286.

55

You might also like