You are on page 1of 3

(Oleh : Sugiarto) Jiwa itu rapuh, namun raganya sekokoh karang.

J a l a n s e t a p a k dengan batu tajam disisinya, wanita p a r u h b a y a i t u berjalan menuju rumah. Dengan sebungkus nasi digenggamannya berharap cukup u n t u k 3 o r a n g anaknya. Hidupnya susah namun ia tetap bersemangat untuk menghidupi anakanaknya. Anak pertamanya Putri usianya 11, Dimas 8 tahun, dan Fani 6 tahun.walau hidupnya susahnya ia tak mau anak-anaknya putus sekolah, karena ia yakin dia sengsara karena hanya memiliki sedikit ilmu, ia ingin anak-anaknya menjadi orang sukses, tidak susah seperti ini. Rumah petak dengan p e n e r a n g a n l e n t e r a t u a sementara kebutuhan hidup semakin bertambah. peninggalan suaminya, menjadi tempatnya berteduh. Berjuang sendiri menghidupi 3 orang anak terasa berat, Keadaan sulit ini membuat penampilannya lebih tua dibanding usianya. Lama ia termanggun hingga terlintas dibenaknya untuk memberikan anaknya pada orang yang iebih mampu, saat itu air matanya melelh tak terbendung, ia sangat menyayangi anak-anaknya namun ia sudah tak sanggup membiayai mereka. Lalu ia menoleh melihat anak-anaknya yang bersenda gurau sambil makan nasi yang ia bawakan."Bu Ibu kenapa ?" tanya Dimas. Sontak lamunannya terpecah. "Tak apa kok nak, ibu hanya senang melihat kamu dan adikadikmu tumbuh sehat dan saling menyayangi." Begitu tutur ibunya dengan mata berkaca-kaca. Di pagi hari yang cerah dan penuh semangat, ketiga anak itu beriring mengikuti jejak ibunya menuju kebun teh tempat ibunya bekerja. Dengan hati riang dan tekun ketiga anak itu membantu pekerjaan ibunya. Entah sebuah kebetulan atau memang takdir sang Kuasa. pada hari itu Pak Ilham yang jarang sekali datang hari itu datang kekebun tehnya itu. Melihat ketiga anak Bu Fitri yang sedang rajin membantu ibunya i t u p u n , r a s a h a r u p u n menyelimuti hati Pak Ilham. M a t a h a r i seakan berada diatas kepala. dan itu artinya waktu istirahat pekerja telah tiba. Bu Fitri beristirahat disebuah gubuk kecil, sementara ketiga buah hatinya sedang asyik bermain diantara pepohonan teh. "Ketiga nak ibu sangat lucu dan rajin ya bu ? Ibu pasti bangga memiliki anak-anak yang seperti itu ?" ucap Pak Ilham sambil menghampiri Bu Fitri. "Ya begitu lah pak, mereka adalah satu-satunya semangat hidup saya. Meskipun saya harus bekerja sendiri demi mereka saya rela." tutur Bu Fitri. "Lalu apa upah Bu Fitri

dikebun teh ini cukup untuk membiayai mereka ? pasti ibu sangat bekerja keras untuk mereka ?" begitu tanya Pak Ilham dengan lembut pada Bu Fitri. "Kalau dulu saya masih mampu m e m b i a y a i m e r e k a d o n sekolahnya, tapi sekarang saat mereka sudah beranjak dewasa saya seperti tak mampu lagi membiayai mereka, ditambah lagi biaya pendidikan yang semakin mahal. Tapi meski begitu saya tidak akan menyerah, saya tidak mau mereka putus sekolah." jawabnya dengan mata yang s u d a h b e r k a c a - k a c a . "Sebelumnya saya ingin meminta maaf. jujur saya sangat berkesan saat melihat ketiga anak ibu, apalagi setelah mendengar cerita Bu Fitri tadi. Jadi kalau Bu Fitri mengizinkan, saya ingin merawat ketiga anak ibu itu. Saya berjanji saya akan merawat mereka hingga mereka dapat meraih citacitanya kelak." Dan kalau ibu mengizinkan saya tunggu jawaban ibu tiga hari lagi." Begitu pinta duda tak beranak itu dengan penuh harap. Sejak kata-kata itu terlontar dari mulut Pak Ilham, sepertinya otak Bu Fitri hanya penuh dengan disatu sisi ia ingin anak-anaknya meraih cita-citanya tapi disisi lain ia tak ingin berpisah dari ketiga anaknya tersebut. Saat-saat yang mem beratkan itupun telah tiba, Bu Fitri tak tega memberi tahu anak-anaknya tentang hal itu. Bu Fitri meminta Pak Ilham untuk datang kerumahnya hari itu. Saat Pak Ilham tiba dirumah Bu Fitri hanya s a t u p e r t a n y a a n y a n g dilontarkannya, "Jadi bagaimana keputusan Bu Fitri ?. "Iya Pak !" dengan suara tersenggal-senggal akhirnya jawaban itu terucap juga. "Apa itu benar ? benarkah ibu mengizinkan ?" lagi-lagi Pak Ilham bertanya, seakan tak percaya. "Iya pak saya telah mernutuskan bahwa masa depan ketiga anak saya lebih penting dari apapun. Dan saya percayakan mereka kepada bapak." ucap Bu Fitri dengan air mata yang tak dapat dibendung lagi. Saat itu juga ketiga anak Bu Fitri dibawa oleh Pak Ilham. Dengan air mata bercucuran Bu Fitri m e m e l u h k e t i g a anaknya dan berpesan, "H ati- hati ya nak, belajarlah dengan rajir dan hormatilah orar tuamu nanti, dan janga lupakan Allah." Seaka tak ingin berpisah pula, ketiga anak itu juga tak hentinya menangis. Tak ingin lagi terlihat sedih didepan anak-anaknya. Bu Fitri meminta Pak Ilham segera membawa mereka pergi. Melihat l a n g k a h m e r e k a semakin jauh, semakin tak henti pula tangisan wanita itu. Hari demi hari telah ia lalui dengan kesepian, tak terasa telah lewat 10 tahun. Tubuh wanita itu sudah renta tak tegap seperti kala itu.Namun ia lega telah melakukan sesuatu yang berarti untuk anak-anaknya. Kebahagiaan kembali terdengar padanya saat ada kabar bahwa majikannya akan pulang dari luar negeri bersama ketiga anaknya. Meski terdengar mustahil, dalam hati kecilnya ia berharap jika anak-anaknya datang menjenguknya. la pegang teguh harapan itu, namun berita yang ia dengan membuatnya sedih, sang majikan meninggal.

Sepekan

kematian

majikannya ia tak mendengar kabar tentang anak-

anaknya. Saat menjelang senja, wanita itu duduk terpaku dihalaman rumahnya dan mulai memasuki dunia lamunan anak-anaknya, bayangan masa-masa kecil ketiga anaknya terulang lagi. la tersenyum dengan air mata yang mengalir. Assalamualaikum. Salam itu memecahkan lamunannya. Waalaikumsalam. Jawbnya sambil menengok kearah suara salam. "Ibu ... !!" suara itu terucap serempak dari 3 anak muda yang berdiri di pagar bambu di ujungsana. Wanita itu melihat dengan seksama karena penglihatannya yang sudah kabur seakan tak percaya, dia berjalan mendekati 3 anak itu yang juga berlari kecil menghampiri dirinya. "Putri, Dimas, Fani, apa itu kalian nak ?" "lya ibu, ini kami." "Ya Allah anak-anakku." Dengan penuh syukur, mereka bisa bersama kembali, mereka menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, pada saat terakhir ayah angkatnya itu hidup, ia berpesan agar mereka kembali p a d a i b u m e r e k a , i a j u g a mewariskan seluruh hartanya pada ke 3 anak angkatnya. Kini mereka bertiga telah menjadi orang sukses tanpa melupakan ibu mereka, maka diajaklah ibu mereka ke kota dan hidup bersama seperti sediakala dengan keadaan yang serba kecukupan.

You might also like