You are on page 1of 4

AMUNGME

Opitawak, Desa banti, Pegunungan tengah Jayawijaya Seruan terdengan lantang diantara para lelaki Amungme yang menri dengan kaki telanjang ,wajah-wajah penuh semangat dengan jelas. Perempuan dan lelaki tua , muda bahkan anak-anak bebaur bersama. Para lelaki Amungme mengiringi pekikan yang menimbulkan irama dinamis menambah ramai suasana pesta Bakar batu. Mereka mengelililngi tumpukan kayu yang berada ditengah lapangan , bertumpuk lagi batu sebesar kepal manusia. Ada lubang besar tempat belasan ekor babi dan sayuran dimasak. Tradisi ini dipimpin langsung oleh Ondoafi sebagai kepala suku. Semua lelaki Amungme mengenakan celana sabatas lutut, hanya satu-dua orang yang mengunakan koteka itupun telah berusia lanjut. Kaum perempuan juga sedikit sekali yang bertelanjang dada. Hari ini akan berpasta, mereka menghias diri wajah dan bagian tubuh dilumuri kapur putih dan tanah merah. Hiasan itu hanya untuk mengambarkan bahwa mereka tengah berpesta. Janur daun sagu yang telah dianyam degan bulu burng kasuari dan cendrawasi yang melilit diatas kepala lelaki Amungme. Beberapa helai daun sagu yang dikeringkan diikat dibagian pergelangan tangan. Sementara semua orang larut dalam pesta, omabak masih duduk ditempat semula. Suasana yang sudah lama tak dirasakan, delapan tahun membuat kerinduan saat ia masih berada di jogya. Ia ingin pulang ke Otitawak, tapi ia tak munkin mengunakan jatah uang saju yang selam ini sudah didapat dari beasiswa. Ia benar-benar beruntung memiliki seorang ibu yang rela bolak-balik setiap hari, berjalan kaki 3 jam untuk berjualan sayur dipasar Tembagapura demi menyekolahkannya dulu. Banyak teman-teman sebayanya yang tidak bersekolah padahal mereka tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Buku-buku palajaran diberikan secar Cuma-Cuma oleh pemerintah. Bahkan disekolah menengah di Timika, ia dan anak Amungme yang mendapat beasiswa , termasuk dia dan beamal adiknya. Keuangan mereka membuatnya berat untuk pulang ke Opitawak, setelah lulus kuliah ia pun engan pulang. Dari waktu ke waktu tak ada perubahan yang berarti didesa mereka. Apa yang dilakukan nenek moyang mereka ratusan tahun lampau membuat Omabak sangat bangga dengan kebudayaan suku Amungme, tak banyak suku yang masih mempertahankan budaya mereka. Ia ingin mengubahnya menjadi yang lebih baik lagisehingga Amabak yang dulu lebih santu, tenang, dan menghargai orang lain. Tapi Omabak merasa tidak mampu mengubah itu semua. Ia sendiri sudah semakin mantap dengan pandangan hidup barunya. Omabak memutuskan untuk pulang membawa amanatyang besar, tapi sebuah tangan berwarna

hitam, otot yang terbentuk menariknya cukup kuat tubuh Amabak terangkat keatas, ia tak kehilangan keseimbangan ia tak menjadi seorang yang lemah. Ia tetap Amungme yang bertubuh kukuh dan bertenaga. Beamal, lelaki muda yang berteriak, tertawa lebar adalah adikkandung Amabak. Kerinduan terpencar dari mata Amabak, selama ini Beamal telah berburu di hutan untuk persiapan pesta Bakar Batu. Beamal yang dulunya seorang remaja kini telah berubah menjadi lelaki muda gagah, dan berotot kekar. Sepanjang perkataan mereka berdua terdengar suara Ninimbia dan Mainei berlari menuju mereka berdua sahabat mereka yang selalu bergantung kalung yang hiasan taring babi hutan. Omabak yakin mereka akan terkejut tak bisa menerima, ia tak takut bila dikualkan. Omabak tak melihat jalan lain saat ini, Omabak yang sekarang bukan Omabak yang ia kenal dulu ! Bangunan itu terbentuk seperti tabung kosong, berdinding dan berlantai kayu dengan pintu keluar masuk, itukah Honae sebutan orang Amungme untuk rumah mereka. Amabak beranjak keluar dari Honei , Honae khusus kaum laki-laki Amungme. Omabak bisa memastikan disekelilingnya adalah pegunungan Jaya wijaya, daerah berketinggian ekitar dua ribu meter diatas permukaan laut. Omabak menggerakkan tubuh seperti garakan senam dengan menikmati hijaunya rumput dan pepohonan didiekatnya, beda dengan jogya yang berseliweng kendaraan roda dua dengan asapnyayang tak hentinya. Omabak tersenyum sendiri mengingat jogya, yogyalah yang membuat ia menemukan jalan menuju kebenaran. Jauh disana tampak jalan setapak keluar dari Opitawak, jalan berliku dari lereng hingga menuju lembah Waa. Omabak tak menyadari bila Impamal , ibunya telah berada dibelakang yang berjarak 1 meter. Impamal wnita tua itu tak bisa menyembunyikan keherannanya melihat omabak sudah terbangun di pagi buta, biasanya dia agak sulit untuk dibangunkan. Sedari kecil perempuan Amungme di didik untuk bekerja keras layaknya kaum laki-laki, karena keyakinan Amungme hidup dan hasil kerja orang perempuan menentukan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat sukunya. Impamal terbauk beberapa kali jarang sekali omabak mendapati Impamal sakit wanita yang tak pernah mengeluh seberapa pun kerasnya ia mesti bekerja sejak Paiderow, ayah Omabat menikah kembali dengan wanita lain. Impamai tetap bekerja keras. Omabat melihat penerimaan terhadap perubahan dirinya. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan. Anak lelaki Amungme telah dibiasakan untuk memegang busur dan anak panah, bahkan mereka langsung berburu di hutan. Malam menjelang Honae mulai ramai, Honae dipenuhi paitua dan pemuda Amungme, jari-jari lingkaran Hanae biasanya digunakan sebagai rapat keluarga besar. Orang Amungme memiliki rumah yang berbentuk bulat. Karena mereka tinggal di daerah pegunungan, sering terjadi angin kencang, bentuk

Honae yang melingkar dapat menahan kencangnya angin. Para Paitua sibuk berbicara satu sama lain pestapun masih berlangsung. Impamai terbangun oleh suara kecipak air di Honae khusus dapur, ia memberanikan diri keluar mengintip siapa yang ada di Honae dapir. Impamai terkejut saat melihat bahwa yang di dalam Honae dapur adalah anaknya Omabat. Ia hanya membasuh wajahnya dengan air. Membasuh kedua lengan hingga siku, Impamai terus mengikuti Omabat. Ia menggelar kain tebal. Omabat mengangkat kedua tangan sehingga telinga Impamai melihat Omabat mencium kain tebal itu. Ia takut Omabat akan terkena hukuman dari Mam On. Dewa mereka, karena Omabat telah menyembah dewa lain. Suku Amungme selalu bercocok tanam. Walaupun udara pegunungan dingin. Zaman nenek moyang bercocok tanam adalah kehidupan mereka. Amungme memiliki kaki yang kekar dengan telapak lebar, bentuk kaki seperti itu membuat mereka lincah dalam berjalan. Mereka juga menanam sayuran kangkung, bayam dan labu siam. Anak Amungme juga mencari pohon sagu yang berisi sagu. Pohon yang telah ditebang, dibersihkan lumut yang menempel di pohon sagu. Mereka juga membakar daun, pelepah, ranting kering dan kulit batang sagu utuk mengusir nyamuk. Para Amungme mulai mengerjakan tugas mereka, ada yang memangkur sagu, menggali air, membangun saringan sagu dan menanam serta mengangkat sagu yang telah jadi. Omabat melayukan daun sagu, mereka juga menganyam daun sagu menjadi kerangka keranjang yang disebut Tumang, Tumang itu juga bisa memuat sekitar 20 kg sagu. Ternyata Omabat telah belajar mengaji dengan Ustadz Abdullah gurunya di Yogya. Omabat telah berbicara bahwa Islam adalah agama yang simpatik, yang menawarkan kerukunan antara sesamanya, yang menebarkan rasa saling menyayangi, bukannya kekerasan. Masayarakat Amungme memang ramah terhadap pendatangnya, tapi juga sangat kuat memegang tradisi. Para Amungme memiliki gigi yang putih karena mereka selalu memakan buah pinang. Omabat telah memutuskan untuk menganut islam walaupun ibunya tidak memintanya. Omabat juga melakukan shalat dan berdoa. Allah tak pernah marah pada hamba-Nya. Allah itu maha pengasih dan maha penyayang, kalau kita celaka kita itu bukan kutukan dari Allah tapi dari kesalahan kita sendiri. Para Amungme mengadakan tradisi kalau perempuan sudah beranjak dewasa ditandaiu dengan haid pertama, maka perempuan itu akan diasingkan selama 1 bulan. Konon menurut kepercayaan, pohon Yambu dapat mendengar jeritan hati manusia dan mengabulkan permohonan mereka. Pohon Yambu juga dianggap sebagai datangnya kutukan dan berkat, pohon yambu disebut juga sebagai pohon dewa. Mereka, warga Opitawat mengadakan perang suku yang disebut dengan ritual adat yang harus mereka lakukan. Upacara perang suku bermakna sebagai kesyukuran dan kesejahteraan juga menjaga kebesaran suku mereka. Jika tidak mengadakan upcara perang suku merekla

dianggap sebagai suku lemah dan tidak punya harga diri. Upacar perang suku diperagakan sebagai peperangan hanya tanpa melepaskan ke tubuh lawan. Para Amungme menggunakan Biah sebagai alat tukar yang sah. Para Amungme mengadakan upacara untuk menyambut kedatangan anak Ondoafi. Ondonafi yaitu Nebea dari masa pengasingan dan akan mengumumkan calon pengganti Ondoafi. Ondoafi Teknan telah menunggu calon menantunya yaitu Amobat, tapi Amobat tidak ada di upacara itu. Amobat, Bianal dan sahabatnya telah pergi ke hutan larangan untuk mengambil Ram keramat. Setelah mereka mendapat Ram keramat dan keluar dari hutan larangan itu dengan selamat. Amobat dan Bianal berdiri di tengah lapangan dengan membawa Ram Keramat. Setelah para Amongme percaya bahwa dewa Mam On tidak benar. Para Amongme memilih untuk menganut agama yang dianut oleh Amobat. Amobat disebut sebagai Ondoafi Omabat, manusia setengah dewa.....!!!

You might also like