You are on page 1of 6

Sebelum berlakunya KUHAP, sistem peradilan pidana Indonesia didasarkan pada HIR yang merupakan peninggalan Belanda.

Menurut beberapa pendapat, HIR menganut sistem inkuisitur. Namun pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar. Sistem inkuisitur pada awalnya berkembang di daratan eropa antara abad 13 sampai pertengahan abad 19. Sistem tersebut meletakkan posisi tersangka sebagai objek. Dalam sistem inkuisitur, penyelidikan dan pemeriksaan dilakukan dengan rahasia. Dalam proses penyelidikan itu sendiri, terdapat beberapa tahap. Tahap pertama yang dilakukan adalah menentukan apakah peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau bukan dan kemudian menentukan tersangka. Jika pelaku tindak pidana tersebut telah berhasil ditangkap, tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah memeriksa tersangka. Pemeriksaan terhadap diri tersangka dan para saksi yang terakit dengan perkara tersebut dilakukan secara terpisah, dan hasil pemeriksaan tersebut dicatat dalam berkas hasil pemeriksaan. Selain itu tersangka juga tidak diberi tahu mengenai tuduhan dan jenis kegiatan yang telah dilakukannya. Setelah tahap pertama dan kedua dilakukan, selanjutnya petugas pemeriksaan akan menyerahkan hasil pemeriksaan tersebut kepada pengadilan, dan pengadilan akan memeriksa perkara tersangka sesuai dengan berkas hasil pemeriksaan tersebut. Meskipun pada saat itu penuntut umum sudah ada, tetapi penuntut umum pada saat itu tidak memiliki peranan yang berarti. Sehingga dapat disimpulkan sistem inkuisitur, tujuan utama pemeriksaan hanya untuk mencari pengakuan dari tersangka dan apabila tersangka tidak mau mengakui perbuatannya, maka petugas pemeriksaan akan melakukan penyiksaan sampai diperolehnya pengakuan dari tersangka. Sehingga pada saat itu tidak ada jaminan hak asasi manusia bagi tersangka tindak pidana. Hal tersebut disebabkan karena kekaburan pengertian antara proses peradilan pidana dengan apa yang dikenal dengan The Holly Inquisition. Selain itu disebabkan juga adanya kesalahan paham bahwa di dalam sistem inkuisitur, penyiksaan merupakan hal yang harus dilakukan. Namun pada perkembangannya, muncul sistem baru yang menggantikan sistem inkuisitur, yaitu yang dikenal dengan sistem the mixed type. Sebenarnya, dalam sistem the mixed type, masih digunakan bentuk inkuisitur. Setelah pemeriksaan pendahuluan selesai selanjutnya digunakan sistem

akuisatur. Tahap tersebut dimulai dengan diserahkanya berkas perkara kepada public prosecutor. Hal yang membedakan sistem inkuisitur dengan sistem the mixed type ini adalah pada tahap pemriksaan pendahuluan dimana pada tahap tersebut tersangka dapat diperiksa oleh petugas pemeriksa tetapi tidak memiliki kewajiban untuk menjawab. Dalam hal pengumpulan barang bukti dapat dilakukan dan dihadiri oleh para pihak, yaitu tersangka dan jaksa yang bersangkutan. Dan yang paling penting adalah pada tahap pemeriksaan pendahuluan, tesangka dan penasihat hukumnya memiliki hak untuk memeriksa berkas perkara. Pada sistem ini pun, persidangan dilakukan secara terbuka sehingga para pihak dapat berdebat dan bebas mengajukan argumentasi, berbeda dengan sitem inkuisitur dimana persidangan dilaksanakan secara tertutup. Dalam the mixed type ini, persidangan merupakan tempat yang digunakan untuk menguji kembali barang bukti yang telah diperoleh dari hasil pemeriksaan pendahuluan. Pengujian tersebut dialkukan oleh seorang hakim professional yang secara aktif mengajukan pertanyaan pertanyaan kepada para saksi. Selain itu ia juga berwenang mengembangkan permasalah asal relevan dengan isi surat tuduhan. Bahkan jika diperlukan, hakim tersebut dapat meperhatikan bukti yang secara formal tidak diajukan oleh para pihak. Jadi sebenarnya, sistem the mixed type ini berkedudukan diantara sistem akusatur dan sistem inkuisitur. Apabila mencermati uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa HIR sebenarnya tidak menganut sistem inkuisitur melainkan sistem campuran atau yang dikenal sebagai the mixed type karena sejak pertengahan abad ke 19 di daratan Eropa sudah menganut sistem campuran tersebut. Ciri ciri yang menegaskan bahwa HIR tidak lagi menganut sistem inkuisitur yaitu, jaksa penuntut umum selain menjadi penuntut umum, ia juga dapat menjadi seorang penyidik. Selain itu di dalam HIR juga ditentukan salah satunya bahwa tertuduh diperbolehkan didampingi penasihat hukum. Ciri ciri tersebut tidak ditemukan dalam sistem peradilan pidana yang menganut sistem inkuisitur. Perkembangan selanjutnya di negara-negara yang menganut sistem common law, muncul dua sistem peradilan pidana yaitu the adversary model dan non-adversary model. Pada intinya, sistem peradilan pidana yang menganut model the adversary tersebut memiliki tujuan utama untuk melindungi

seseorang yang benar-benar tidak bersalah. Hal tersebut dapat dilihat dari ketatnya sistem pembuktian dalam adversary model tersebut. Dalam sistem tersebut diakui kesamaan kedudukan kedua pihak, yaitu antara tertuduh dan penuntut umum di hadapan hakim. Sehingga dalam persidangan seorang hakim bersikap pasif. Sistem ini sangat menggambarkan penyelesaian suatu perkara secara damai, sukarela dan memuaskan di bawah sumpah di hadapan hakim. Dari penjelasan tersebut, sebenarnya adversary model ini memiliki kesamaan tujuan dengan sistem akuisatur, yaitu menemukan kebenaran saat persidangan. Berbeda dengan non-adversary model, dimana sistem pembuktianya lebih mudah dan lebih difokusakan untuk mencari kebenaran materiil dari suatu perkara pidana. Nonadversary model ini lebih cenderung sama dengan sistem inkuisitur yang mengajarkan bahwa suatu kebenaran harus ditemukan pada saat proses penyidikan. Sistem ini juga berupaya untuk mendapat kebenaran secara obyektif, sehingga dalam hal mencari kebenaran negara berkewajiban melaksanakan penyidikan tersebut. Dalam masalah kebenaran ini sangat tergantung pada kemampuan dan integritas negara dalam memperoleh kebenaran dan tidak boleh terpengaruh oleh berbagai kepentingan . Di Inggris sejak ratusan tahun yang lalu dikenal adanya The right to remain silent atau hak untuk diam. Pada perkembangannya, hak untuk diam ini dicantumkan dalam Konstitusi Amerika Serikat dan juga dicantumkan dalam ICCPR. Namun, hal sebaliknya terjadi di Inggris. Hak untuk diam tersebut dibatasi yang kemudian dituangkan dalam UU baru yang dikenal sebagai The Criminal Justice and Public Order Act. Pembatasan tersebut bertujuan untuk mengurangi kejahatan. Sudah barang tentu, pembatasan atas hak untuk diam tersebut akan menggeser sistem peradilan pidana dari sistem akusatur ke sistem inkuisitur. Bahkan di Irlandia dan Singapura hak tersangka untuk memberikan kesaksian tanpa disumpah dan untuk menolak pemeriksaan silang telah dihapuskan. Pergeseran sistem peradilan pidana di ke tiga negara tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai kendala yang dihadapi oleh aparat dalam menyelesaikan suatu kasus pidana yang serius dan mengancam keamanan masyarakat. Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Indonesia, hak untuk diam tersebut sendiri tidak secara jelas dan tegas, sehingga pergeseran sistem

yang terjadi di ketiga negara tersebut tidak menimbulkan pengaruh yang berarti bagi perkembangan hukum acara pidana di Indonesia. Di sisi lain, pergeseran sistem peradilan tersebut juga harus menjadi perhatian. Hal tersebut perlu untuk mengahadapi perkembangan bentuk bentuk baru kejahatan yang berlevel internasional dan dapat membahayakan ketahanan nasional bangsa Indonesia. Sehingga dapat dikatakan, perubahan sistem peradilan pidana di ke tiga negara tersebut sangat dilematis bagi perkembangan pembaharuan Hukum Acara Pidana di Indonesia. Karena, pada prinsipnya KUHAP di Indonesia menganut nilai nilai yang terkandung dalam sistem akusatur. Dalam praktik peradilan pidana di Belanda, sistem pemisahan kekuasaan model Perancis tetap dianut akan tetapi mengurangi praktik pemisahan pembentukan undang-undang administrasi dan pembentukan undang-undang dan proses ajudikasi berangsur-angsur menghilang. Selain itu dalam sistem peradilan di Belanda kepentingan korban merupakan komponen yang telah lama diakui. Di Belanda sistem peradilan pidana lebih mengutamakan kebenaran subtantif daripada kebenaran prosedur. Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa dalam sistem inkuisitur negara berperan aktif dalam menemukan suatu kebenaran, yang dalam hal tersebut negara dibantu oleh penyidik professional dan ahli. Selain itu, hak yang dimiliki oleh penasihat hukum dibatasi oleh undang-undang dan posisinya tidak sejajar dengan penyidik atau penuntut umum. Namun, sebagai bentuk pengawasan terhadap setiap tahap proses pemeriksaan terdapat ketentuan pengaman atau disebut sebagai safeguarding roles. Dalam hal melakukan penghentian penuntutan (deponering), sebenarnya dalam sistem inkuisitur tidak ada ketentuan tersebut, melainkan suatu perkara harus berlanjut ke pengadilan. Namun di Belanda yang menganut sistem inkuisitur terdapat ketentuan mengenai deponering. Polisi dan penuntut umum memiliki wewenang tersebut yang apabila wewenang tersebut digunakan maka penyelesaian perkara diselesaikan diluar pengadilan dengan syarat maupun tidak dengan syarat. Ketentuan deponering demi kepentingan umum tersebut telah diatur dalam KUHP Belanda yang disebut dengan transaksi antara penyidik atau penuntut umum dan terdakwa. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan pidana tidak terlepas dari pengaruh dan intervensi negara

terutama pada tahap pra sidang dan persidangan yang pada prinsipnya dilakukan terbuka untuk umum. Jika melihat sistem peradilan di Indonesia dapat simpulkan bahwa sistem peradilan di Indonesia saat ini yang didasarkan atas KUHAP, UU Nomor 8 Tahun 1981, menganut mixed system, hal tersebut tampak pada tahap investigasi yang menganut sistem inkuisitur, akan tetapi pada tahap persidangan menganut sistem akusatur. Hal yang perlu diketahui juga yaitu, sejak berlakunya HIR sampai pada KUHAP tidak mengalami perubahan yang signifikan, kecuali sistem organisasi pendukung sistem peradilan telah berubah. Saat ini Polri tidak lagi dibawah super visi penuntut umum, artinya kedua lembaga tersebut berdiri sejajar. Namun diantara kedua lembaga tersebut sering terjadi konflik, sehingga menyebabkan hubungan yang tidak harmonis yang berdampak pada kepentingan para pencari keadilan. Sebagai contoh sering terjadi, pada saat menentukan suatu perkara pidana dapat dinyatakan lengkap buktinya dan siap dilimpahkan ke pengadilan, berkas perkara pidana kadang harus bolak-balik dari penyidik Polri ke penuntut umum. Permasalahan lain yang dihadapi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yaitu pemberlakuan KUHAP dalam penangkapan dan penahanan yang sering kali mengabaikan hak asasi tersangka. Apalagi tidak jarang penyidik menafsirkan alasan subyektif penahanan secara normative legalistic tanpa mempertimbangkan keadaan tersangka. Hal tersebut jelas bertentangan dengan undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan juga UUD 1945. Tapi sayangnya, pelanggaran praktik penahanan tersebut terus berlanjut tanpa sanksi, bahkan tidak jarang permohonan pra peradilan ditolak oleh majelis hakim yang memeriksa dengan alasan prosedur telah dipenuhi penyidik tanpa majelis hakim pro aktif menguji kebenaran materiil prosedur penahanan tersebut. Sehingga dapat dikatakan ketentuan di dalam KUHAP mengenai pra peradilan tidak berjalan secara efektif dalam mencegah pelanggaran hak asasi tersangka. Dan kalaupun permohonan pra peradilan tersebut diterima, tidak jarang pemenuhan ganti rugi dan rehabilitasi bagi tersangka tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh kejaksaan maupun Polri.

1.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan sistem peradilan yang menganut sistem inkuisitur dan bagaimana tahapan proses peradilan pidana yang menganut prinsip tersebut !

2.

Secara historis, peradilan pidana yang menganut sistem inkuisitur dianggap sebagai gambaran yang sangat buruk. Jelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi ! Jelaskan latar belakang munculnya model sistem peradilan pidana The mixed type ?

3.

4.

Jelaskan singkat gambaran pokok tentang sistem peradilan pidana yang menganut The mixed type !

5.

Jelaskan secara singkat tentang model sistem peradilan pidana yang dianut oleh HIR, dan tunjukkan buktinya !

6.

Jelaskan prinsip-prinsip sistem peradilan pidana yang menganut model Adversary model ! Jelaskan perbedaan antar sistem peradilan pidana Adversary model dengan non-Adversary model !

7.

8.

Jelaskan secara singkat mengenai hak untuk tidak menjawab yang dimiliki oleh Tersangka tindak pidana !

9.

Jelaskan apa yang anda ketahui tenatang deponering !

10. Sistem peradilan pidana di Indonesia di dasarkan pada UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), akan tetapi KUHAP ini dikatakan gagal dalam menjamin hak asasi tersangka suatu tindak pidana. Jelaskan dalam hal apa KUHAP dikatakan gagal menjamin hak asasi tersangka !

You might also like