You are on page 1of 25

PEMAKNAAN METAFORIS TERHADAP HADITH NABI

OLEH : TAUFIKURRAHMAN

A. Pendahuluan
Hadith Nabi Muhammad SAW merupakan sumber kedua ajaran agama
Islam sesudah al Qur’an dan oleh karena itu ia menempati posisi yang sangat
urgen dan sentral dalam penetapan hukum Islam.1 Dalam upaya merealisasikan
ajaran Islam, hadith memegang peranan yang sangat penting. Salah satu faktor
urgensi hadith adalah karena al-Qur’an lebih memberikan satu aturan global di
mana penjelasannya secara mendetail ada di dalam hadith Nabi Muhammad
SAW.2 Urgensi kedudukan hadith ini kemudian melahirkan banyak studi dan
kajian terhadapnya, baik oleh orang Islam sendiri maupun non Islam dari
kalangan orientalis.3
Secara umum kajian terhadap hadith dibagi menjadi dua yaitu kajian
terhadap matan yang biasa disebut dengan naqd al-matn atau al-naqd al-
da>khili> (kritik interrnal) dan naqd al-sanad atau al-naqd al-kha>riji> (kritik
eksternal)4 Selama ini kajian yang dikembangkan oleh para ilmuwan muslim
lebih terfokus pada aspek sanad atau kritik eksternal sedangkan kajian terhadap
matan atau kritik internal masih sedikit dilakukan, padahal kajian terhadap matan
hadith sesungguhnya tidak kalah penting dalam upaya memahami hadith-hadith
Nabi Muhammad SAW dengan pemahaman yang lebih mendekatkan kepada
kebenaran.
Salah satu pendekatan yang dilakukan dalam rangka mengkaji hadith dari
sisi matannya adalah pendekatan stilistika. Pendekatan ini berusaha untuk
mengkaji hadith dari sudut pandang bahasa dan sastra. Hal ini dirasa sangat perlu

1
‘Ali> H}asb Alla>h, Us}u>l al-Tashri>’al-Isla>mi> (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, tt.), 139.
2
S}ubh}i> al-S}a>lih>, ‘Ulu>m al H}adi>th wa Must}ala>h}uh (Beirut: Da>r al-‘Ilm li
al-Mala>yi>n, 1977), 292.
3
Kajian orientalis terhadap hadith Nabi misalnya antara lain dilakukan oleh Ignas Goldziher dan
Joseph Schact. Lihat Ignas Goldziher, Muslim Studies (London: George Allen & Unwin Ltd.,
1971). Lihat juga Joseph Schact, Introduction to islamic Law (Oxford; University Press, 1989).
Juga Joseph Schact, The Origin of Muhammedan Jurisprudence (Oxford; University Press,1975).
4
M. Syuhudi Isma’il “Kriteria hadis S}ah}i>h} : Kritik Sanad dan Matan” dalam
Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis Ed. Yunahar Ilyas et. all (Yogyakarta: LPPI UMY,
1996), 4.

1
sebab bagaimanapun juga upaya untuk memahami petunjuk yang diberikan oleh
Rasulullah SAW dalam berbagai hadith, tidak bisa terlepas dari upaya untuk
memahami bagaimana kondisi sosio-historis yang ada pada masa tersebut.
Rasulullah SAW hidup pada zaman yang sangat mengagungkan kesusasteraan.
Ahmad Amin bahkan menyatakan bahwa sya’ir menempati posisi yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat Arab jahiliyah5 Karena itulah Rasulullah
dalam menyampaikan risalahnya kemudian dibekali dengan al-Qur’an yang
mengandung aspek sastra yang begitu tinggi dan memukau utamanya masyarakat
Arab pada saat itu.
Sebetulnya kajian stilistika terhadap teks keagamaan sudah cukup banyak,
akan tetapi pada umumnya lebih tertuju kepada al-Qur’an yang diakui memang
mempunyai aspek kesusasteraan dan bahasa yang sangat tinggi. Adapun terhadap
hadith Nabi ternyata relatif sedikit, padahal hadith Nabi juga banyak mengandung
aspek kesusateraan yang bagus. Gaya bahasa yang disampaikan oleh Nabi juga
diakui mengandung aspek balaghah yang begitu tinggi dan mempesona.6 Nabi
Muhammad SAW sendiri menyatakan bahwa ia diutus dengan diberi kemampuan
jawami’ al-kalim yaitu kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu dengan bahasa
yang singkat kata akan tetapi padat makna, sebagaimana sabdanya

‫بعثت بجوامع الكلم‬7


Dalam kaitannya dengan kemampuan balaghah yang dimiliki oleh
Rasulullah SAW ini maka tidak berlebihan kiranya jika upaya memahami sabda
Rasulullah SAW juga tidak boleh lepas kaitannya dengan upaya memahami
aspek-aspek balaghah dalam bahasa Arab. Yusuf al-Qardawi bahkan mengajak
kita untuk mencoba memahami hadith dari aspek kebahasaan ini dengan memilah
mana sebetulnya hadith yang mengandung makna yang hakiki dan mana yang
mengandung makna yang maja>zi>. Untuk itu, dalam makalah ini, penulis
mencoba untuk mengkaji hadith-hadith Nabi Muhammad SAW dalam
5
Ah}mad Ami>n, Fajr al-Isla>m (ttp; tp, 1975), 55
6
Must}afa> S}adiq al-Ra>fi’i>, I’ja>z al-Qur’a>n wa al-Bala>ghah al-Nabawi>yah (Beirut
: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1990), 213.
7
Abu ‘Abd Alla>h Muh}ammad b. Isma>’i>l Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri> Juz
IV (Beirut :Da>r al-Fikr, tth), 256.

2
pemaknaannya secara hakiki dan pemaknaannya secara maja>zi>. Hanya saja
karena keterbatasan literatur, penulis meminjam sebagian pembahasan dari ilmu-
ilmu al-Qur’an.

B. Penggunaan Majaz dalam Bahasa


Dalam bahasa Indonesia, majaz sering dipadankan dengan kata metafora.
Dalam kamus linguistik, “metafora” (metaphor) berarti pemakaian suatu kata
atau ungkapan untuk suatu obyek atau konsep, berdasarkan kias atau persamaan.” 8
Artinya di situ ada pengalihan satu makna kepada makna lainnya. Penggunaan
majaz ini pada dasarnya berkaitan erat dengan keterbatasan fungsi deskriptif
bahasa. Hal ini disebabkan karena pengalaman yang hendak diungkapkan dalam
bentuk bahasa, selalu lebih luas, lebih mendalam dan lebih kompleks daripada
bahasa itu sendiri. Keterbatasan bahasa akan tampak jika pengalaman yang
implisit itu dieksplisitkan. Dengan kata lain, ketika seseorang mencoba untuk
mendeskripsikan pengalamannya dengan menggunakan bahasa, maka deskripsi
tersebut selalu tidak sama dengan pengalaman itu sendiri.
Keterbatasan bahasa itu sendiri sebetulnya sudah tampak, baik pada
ungkapan maja>zi> (metaforis) maupun hakiki. Misalnya ungkapan “hatinya
berbunga-bunga” (maja>zi>) dan ungkapan “hatinya sangat bahagia” (hakiki)
secara sekilas tampak sama, akan tetapi perenungan secara mendalam akan
menunjukkan bahwa pengalaman bahagia antara seseorang dengan yang lainnya,
ataupun orang yang sama dalam waktu yang berbeda, ternyata tidaklah sama.
Karena itu dapat dikatakan bahwa gaya bahasa metaforis merupakan bentuk samar
yang memerlukan keterangan lebih lanjut dibandingkan dengan bentuk bahasa
hakiki walaupun yang terakhir ini juga seringkali memerlukan keterangan karena
fungsi deskripsi bahasa itu sendiri yang terbatas.9
Di samping fungsi deskriptif, bahasa juga mempunyai fungsi transformatif
yaitu dengan bahasa, manusia mentrasformasikan dunia. Dalam konteks
transformasi inilah dapat dilihat peran sentral majaz (metafora) dalam proses
8
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik,( Jakarta : Gramedia, 1983), 106
9
Sukamta, Majaz dalam al-Qur’an, Disertasi pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 1999,
10.

3
penyusunan segala bentuk pengetahuan manusia, yaitu bahwa manusia memahami
segala sesuatu dengan cara mempersamakannya dengan hal-hal yang lebih
dikenalnya. Penyusunan pengetahuan dalam diri manusia dengan cara
mempersamakan obyek yang dikajinya dengan sesuatu yang telah dikenal
sebelumnya ini dapat disebut dengan proses metaforis.10 Disebut demikian, karena
hal tersebut bukan pengertian yang sebenarnya, melainkan hanya
mempersamakan. Karena itu makna metaforis tidak bersifat konstatif melainkan
performatif, yaitu menuntut manusia untuk melakukan pemahaman yang lebih
mendalam lagi. Makna sebuah ungkapan metaforis adalah makna yang diciptakan
kembali oleh manusia yang analog dengan apa yang tersirat dalam ungkapan
tersebut.11

C. Aspek Metafora dalam Al Qur’an dan Hadith


Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa metafora merupakan
pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk suatu obyek atau konsep, berdasarkan
kias atau persamaan. Hal ini berarti bahwa suatu kosa kata atau susunan kata yang
pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara literal atau harfiah)
dialihkan kepada makna lain. Dalam disiplin ilmu al-Qur’an pengalihan arti itu
disebut ta’wil, atau oleh ulama-ulama sesudah abad ke 3 H., diartikan sebagai
“mengalihkan arti suatu kata atau kalimat dari makna asalnya yang hakiki ke
makna lain berdasarkan indikator-indikator atau argumentasi-argumentasi yang
menyertainya.”12
Salah satu cabang disiplin ilmu bahasa Arab yaitu ilmu al-Bayan
menggunakan istilah majaz untuk maksud di atas. Bahasa Arab mempunyai
ungkapan majaz yang sangat banyak. Ungkapan majaz bagi para ahli balaghah
bahkan lebih berkesan daripada ungkapan hakiki.13 Tidak dapat disangkal, setiap
bahasa mengenal kata atau ungkapan yang bersifat metaforis, termasuk bahasa

10
I Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996),
140.
11
Ibid. 107.
12
Muh}ammad H}usayn al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n Jilid 1 (Kairo: Da>r al-
Kutub al-H}adi>thah, 1963), 18
13
Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Tah}bi>r fi> ‘Ulu>m al-Tafsi>r (Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmi>yah, 1988), 94.

4
yang digunakan al-Qur’an dan hadith Nabi SAW. Tapi yang menjadi pertanyaan
adalah apakah benar Al Qur’an dan hadith juga mengandung majaz. Bukankah
al-Qur’an yang redaksi-redaksi merupakan susunan Ilahi? Al-Qur’an memang
menegaskan bahwa ia turun dalam bahasa Arab. Kosakata yang digunakan
umumnya digunakan pula oleh masyarakat Arab pada masa turunnya, tapi gaya
susunannya yang bukan prosa dan bukan pula puisi, serta keindahan nada yang
dihasilkannya menjadikan pakar-pakar bahasa Arab ketika itu mengakui bahwa
mereka tidak mampu menyusun semacam redaksi ayat-ayat al Qur’an. Hal ini
memberi petunjuk atau kesan bahasa al-Qur’an berbeda dengan bahasa yang
digunakan ketika itu.
Hadith Nabi Muhammad SAW juga demikian pula halnya. Dalam hal ini
Rasulullah SAW adalah orang yang paling fasih dalam ungkapan kata-kata dan
kata-katanya didasarkan kepada wahyunya yang diturunkan kepadanya. Karena
itu, tidaklah mengherankan jika sabda beliau dalam hadith-hadithnya banyak
menggunakan ungkapan majaz untuk menggambarkan makna yang dituju dengan
ungkapan yang indah dan sangat memikat.14
Al Qur’an dan hadith memang mempunyai unsur keindahan yang tiada
tara, terlebih lagi al-Qur’an yang merupakan susunan ilahi. Namun yang menjadi
pertanyaan adalah apakah unsur keindahan dalam al Qur’an dan hadith
mengandung unsur majaz atau metafora. Hal ini masih menjadi perdebatan di
kalangan ilmuwan muslim. Kontroversi penggunaan majaz atau metafora dalam
teks-teks keagamaan didasarkan atas hakikat metafora itu sendiri. Mereka yang
menolak pemahaman metaforis dalam teks-teks keagamaan, paling tidak
menggunakan dua argumentasi berikut:
Pertama, metafora bagi mereka sama dengan kebohongan, sedangkan al-
Qur’an adalah firman-firman Allah yang suci dari hal tertentu. Demikian juga
dengan hadith. Ia merupakan sabda Nabi Muhammad SAW yang tentunya bersih
dari segala bentuk kebohongan.
Kedua, seorang pembicara tidak menggunakan metafora kecuali jika ia
tidak mampu menemukan kosakata atau ungkapan yang bersifat hakiki, dan

14
Yusuf Qardawi, Studi Kritis As Sunnah ter. Bahrun Abubakar (Bandung: Trigenda, 1995), 185.

5
tentunya harus diyakini bahwa Allah maha mampu atas segala sesuatu. Nabi
Muhammad SAW sendiri juga merupakan orang yang sangat pandai dalam
mengungkapkan sesuatu. Dengan kemampuan jawami’ al-kalimnya, beliau pasti
mampu untuk mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata yang singkat kata namun
padat makna.
Kedua argumentasi di atas jelas sekali kekeliruannya, sehingga berbagai
ahli menolaknya. Ibnu Qutaibah menolak dengan menyatakan, “Seandainya
metafora atau majaz dinilai kebohongan, maka alangkah banyaknya ucapan-
ucapan kita yang merupakan kebohongan.” 15
Al-Suyuti (w. 911 H/1505 M) menulis dalam bukunya al-Itqan, “Metafora
adalah unsur keindahan bahasa dan jika ia ditolak keberadaannya dalam al-Qur’an
(dan tentunya juga dalam hadith), maka tentunya sebagian unsur keindahan pun
16
tidak akan ada padanya.” al Raghib al Asfahani sebagaimana dikutip oleh
Qardawi juga menyatakan hal serupa. Ia menyatakan bahwa “perlu diketahui
bahwa pembicaraan yang diungkapkan dengan perumpamaan (tamthil)
merupakan pelajaran, bukan berita bohong. Oleh karena itu, orang yang berhati-
hatipun tidak akan segan mengucapkannya”17
Sebagaimana telah dikemukakan pada awal uraian bahwa metafora dalam
istilah ilmu bahasa Arab dinamai majaz, atau dalam istilah ilmu-ilmu al-Qur’an
disebut ta’wil. Majaz menurut kaidah kebahasaan dapat dilakukan akibat adanya
satu dari dua hal berikut, pertama, terdapat persamaan antara makna yang
dikandung kosa kata atau ungkapan dalam arti literalnya dengan makna yang
dikandung oleh pengertian metaforis yang ditetapkan. Kedua, adanya perkaitan
atau hubungan antara dua hal dalam ungkapan, sehingga mengakibatkan
terjadinya penisbahan satu kalimat kepada sesuatu yang seharusnya bukan
kepadanya. Ia dinisbahkan, misalnya “langit menurunkan hujan.” Di sini terdapat

15
Sha>rid Al-Ra>d}i>, Talkhi>s al-Baya>n, Ed. Muh}ammad Abd al-Ghani> H}asan,
( Mesir : Al-Halabi>, 1955), 56.
16
Al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al- Qur’a>n (Kairo :Al-Azhar, 1318 H),. 36
17
Qardawi, Studi, 185

6
perkaitan antara langit dan hujan, karena langit atau awan adalah sumber
kedatangannya dan dengan demikian kepadanya ia dinisbahkan.18
Penggunaan kata-kata kiasan atau metaforis dalam teks keagamaan,
menurut al-Zamakhshari, ternyata juga merupakan sesuatu yang urgen. Hal ini
karena menurutnya, metafora akan menampakkan makna-makna yang
tersembunyi, menyingkap tirai penutup dari hakekat sesuatu sehingga bisa
menampakkan sesuatu yang ada dalam hayalan dalam bentuk yang nyata, sesuatu
yang diragukan menjadi sesuatu yang meyakinkan, bahkan yang ghaib seakan-
akan benar-benar ada.19 Adanya unsur metaforis juga akan lebih menyentuh
perasaan terutama dalam kaitannya dengan penyampaian dakwah.20
Mereka yang berpendapat adanya metafora sepakat tentang kebolehan
penafsiran metaforis. Mereka juga sepakat bahwa untuk mengalihkan satu makna
hakiki ke makna metaforis dibutuhkan dukungan petunjuk atau argumen yang
valid. Tanpa adanya petunjuk tersebut maka penta’wilan tidak dapat dilakukan.
Tapi bagaimana bentuk petunjuk atau argumen tersebut, masih diperselisihkan
oleh mereka.21
Dalam kaitannya dengan penggunaan majaz atau metafora dalam teks-teks
keagamaan (al-Qur’an dan hadith Nabi SAW), para ilmuwan Islam setidaknya
terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
Pertama, kelompok yang dikenal dengan “al-Z}ahiri>yah” yaitu
pengikut-pengikut Dawud al-Z}ahiri (w. 270 H) tidak membenarkan adanya
penta’wilan atau pengertian metaforis dalam teks-teks keagamaan, kecuali bila
pengertian yang ditetapkan itu telah populer di kalangan orang-orang Arab pada
masa turunnya al-Qur’an, serta terdapat petunjuk yang jelas yang mendukung
pengalihan makna atau penta’wilan tersebut. Ibn Hazm al-Andalu>si> (w. 456
H/1064 M) menegaskan,”Selama arti yang dipilih bagi satu kosa kata atau
ungkapan telah dikenal di kalangan sahabat dan tabi’in dan sejalan pula dengan

18
M.Quraish Shihab, Persoalan Penafsiran Metaforis atas Fakta-Fakta Tekstual
http://kajianislam.wordpress.com. 09 Maret 2008
19
Al Zamakhshari, al-Kashshaf Vol. I, (Beirut : tp., tt), 76
20
Sa>mih ‘A>t}if al-Zayn, al-Amth>al wa al-Mithl wa al-Tamaththul wa al-Mathulat fi al-
Qur’a>n al-Kari>m (Beirut : Da>r al-Kutub li al-Lubna>ni>, 1987), 33
21
Shihab, Persoalan, 2.

7
bahasa Arab klasik, maka arti tersebut harus diterima baik dalam pengertian
majaz, maupun hakiki.”22 Hanya perlu dicatat, satu kosa kata atau ungkapan, tidak
dialihkan ke makna metaforis kecuali setelah makna hakiki tidak dapat digunakan.
Kedua, Kelompok yang bersikap moderat yaitu mereka yang menerima
kemungkinan adanya pemaknaan metaforis, akan tetapi dalam batasan-batasan
tertentu. al-Sha>t}ibi> misalnya, mengemukakan dua syarat pokok bagi
penta’wilan ayat-ayat al-Qur’an”23 dan juga bagi hadith Nabi yaitu Pertama,
makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka
yang memiliki otoritas dalam bidangnya. Menurut al-Shatibi, adalah tidak tepat
memahami kata khali>la> dalam QS. al-Nisa’ 125: Allah menjadikan Ibrahim
khali>la> sebagai seorang “fakir” karena pengertian tersebut bertentangan
dengan nash al-Qur’an yang lain, yaitu bahwa “ia (Ibrahim) menjamu tamunya
dengan daging anak sapi yang dipanggang” (QS. Hud:69), yang menunjukkan
beliau bukan seorang fakir; di samping bahwa kenyatan sejarah membuktikan
bahwa Ibrahim as. bukan seorang fakir. Kedua, arti yang dipilih tersebut telah
dikenal oleh bahasa-bahasa Arab klasik. Dalam syarat ini terbaca bahwa syarat
“popularitas” artinya kosakata tidak disinggung lagi, bahkan lebih jauh al-Shatibi
menegaskan bahwa satu kosakata yang bersifat ambigu atau musytarak
(mempunyai lebih dari satu makna), maka kesemua maknanya dapat digunakan
bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Contoh kata “hidup” dan “mati.” Al-Qur’an menggunakan kata “hidup” dalam arti
berpisahnya Ruh dari badan dan juga dalam arti “kosongnya jiwa dari nilai-nilai
agama.” Firman Allah dalam QS. al-Rum 19, “Dia Allah mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup” dapat
diartikan dengan salah satu atau dengan kedua arti tersebut di atas, demikian pula
sebaliknya kata mati.
Ketiga, Kelompok yang terlalu longgar dalam pemaknaan metaforis.
Sebagian besar penganut aliran Rasional dinilai sementara oleh para ahli, telah
melakukan ta’wil dengan menitikberatkan tolok ukurnya pada akal mereka dan
22
Abu> Zahrah, Ibn Hazm Haya>tuh Wa As}ruh )Kairo :Da>r Al-Fikr, tt.), 226.
23
Lihat Abu> Isha>q al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi Us}u>l al-Shari>’ah, Vol 1 Ed.
Abdullah Da>r ra>z (Beirut:Da>r al-Ma’rifah, 1971), 99.

8
kalau pun menggunakan argumentasi kebahasaan, maka yang digunakan adalah
riwayat-riwayat yang sangat lemah atau dibuat-buat. Mereka juga dinilai sangat
memperluas penggunaan metafora dengan menggunakan pemahaman tamsil atau
perumpamaan bagi ayat-ayat al-Qur’an24 Hal ini misalnya seperti yang dilakukan
oleh Muhammad ‘Abduh dalam tafsir al-Manar yang banyak melakukan
penafsiran metaforis terhadap ayat-ayat al-Qur’an bahkan terhadap ayat-ayat
dialog yang ada di dalamnya.
dari ketiga golongan di atas mungkin sikap yang terbaik menurut penulis
adalah sikap yang moderat, yaitu tidak menolak sama sekali adanya penafsiran
metaforis terhadap teks-teks keagamaan namun juga tidak terlalu mudah untuk
menafsirkan satu nas dengan penafsiran maja>zi> atau metaforis sehingga
maknanya terasa jauh dan terkesan menafikan sama sekali makna hakiki.
Penafsiran metaforis dapat kita terima selama tidak mempersulit dan menyimpang
dan sepanjang masih ada hal yang mengharuskannya untuk ditakwilkan Apalagi
dalam kenyataan Nabi memang pernah menggunakan ungkapan metaforis.

D. Bentuk-Bentuk Ungkapan Metaforis dalam Hadith Nabi


Kalau ungkapan metaforis atau maja>zi> dalam hadith Nabi sudah
dapat diterima, sekarang yang menjadi pertanyaan adalah dalam bentuk apakah
ungkapan metaforis ini biasanya muncul. Menurut pengamatan dan prediksi
penulis, ungkapan metaforis dalam hadith Nabi Muhammad SAW, banyak
terdapat dalam hadith yang berbentuk perumpamaan (tamthi>l) dan ungkapan
simbolik25:
1. Perumpamaan (Tamthi>l)
Hadith Nabi Muhammad SAW yang banyak mengandung ungkapan
metaforis, pertama adalah dalam hadith yang berupa perumpamaan

24
Shihab, Persoalan, 4.
25
Dua bentuk ini penulis pinjam Da>r i pembagian bentuk matan hadith yang digagas oleh M.
Syuhudi Ismail. M. Syuhudi Ismail membagi matan hadith menjadi lima macam yaitu (1) jawami’
al-kalim (ungkapan yang singkat kata tapi padat makna (2)Perumpamaan (tamthil) (3) ungkapan
simbolik (4) dialog dan (5) analogi. Lihat M. Syuhudi Ismail, Pemahaman Hadis Nabi secara
Tekstual dan Kontekstual (Tela’ah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal,
Temporal dan Lokal) Pidato Pengukuhan Guru Besar 29 Maret 1994 di Kampus IAIN Alauddin
Ujung Pandang.

9
(tamthi>l). Ungkapan berbentuk perumpamaan atau tamthi>l diakui
memang banyak mengandung makna maja>zi> walaupun juga tidak
tertutup kemungkinan adanya makna yang hakiki. Hal ini bisa dilihat dari
contoh-contoh hadith di bawah ini
a. Sabda Nabi Muhammad SAW tentang perumpamaan seorang mukmin
dengan mukmin lainnya yaitu
26
‫المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا‬
“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya laksana sebuah bangunan
yang saling menguatkan”
Hadith di atas mengumpamakan kedudukan seorang mukmin dengan
mukmin lainnya ibarat sebuah bangunan yang saling memperkuat dan
saling melengkapi. Ungkapan yang ada dalam hadith di atas jelas
merupakan ungkapan metaforis karena bangunan yang terdiri dari orang-
orang mukmin merupakan bangunan abstrak bukan bangunan konkret.
b. Hadith Nabi tentang perumpamaan dunia bagi orang mukmin dan orang
kafir
27
‫الدنيا سجن المؤمن وجنة الكافر‬
“Dunia adalah penjara orang mukmin dan surga bagi orang kafir
Teks hadith di atas dapat dipahami secara hakiki atau tekstual dan dapat
pula dipahami secara maja>zi> atau metaforis. Namun pemahaman
metaforis mungkin lebih tepat diterapkan kepada hadith di atas. Bagi
seorang mukmin dunia laksana penjara, karena kegiatan hidupnya di
dunia dibatasi dengan norma-norma agama. Hal ini berbeda dengan
orang kafir yang merasa bebas melakukan apa saja tanpa adanya batasan
dari norma-norma agama, sehingga dunia seakan-akan merupakan surga
baginya
c. Hadith Nabi tentang pahala ibadah haji
28
‫من حج ل فلم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه‬

26
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} Juz IV, 55
27
Muslim, S}ah}i>h} Muslim Juz IV (Beirut: Da>r al-Fikr, 1988), 134
28
Al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ Juz.I, 265. Muslim, al-Jami’ Juz.II, 983-984

10
“Barang siapa menunakan haji karena Allah kemudian ia tidak
melakukan perbuatan rafath dan fusuq, maka ia kembali seperti saat
dilahirkan oleh ibunya’
Hadith inipun lebih tepat untuk dipahami secara maja>zi> atau
metaforis sebab makna hadith ini bukan menunjukkan bahwa seseorang
akan kembali menjadi bayi lagi, akan tetapi lebih menunjukkan bahwa
orang yang diterima ibadah hajinya oleh Allah akan diampuni segala
dosanya sehingga ia kembali suci seperti saat ia baru dilahirkan oleh
ibunya
2. Ungkapan simbolik
Sebagaimana halnya dalam al-Qur’an, dalam hadith Nabi juga dikenal adanya
ungkapan simbolik. Ungkapan-ungkapan simbolik ini lebih tepat dan lebih
mudah untuk dipahami secara maja>zi> atau metaforis seperti hadith Nabi:
29
‫المؤمن يأكل فى معى واحد والكافر يأكل فى سبعة أمعاء‬
“Seorang mukmin makan dengan satu usus sedang orang kafir makan
dengan tujuh usus”
Secara tekstual hadith ini menjelaskan bahwa usus orang mukmin berbeda
dengan usus orang kafir. Padahal dalam kenyataan biologis, perbedaan
anatomi tubuh tidak disebabkan oleh perbedaan iman. Karena itulah makna
hadith di atas harus dipahami secara metaforis dan kontekstual bahwa ada
perbedaan pandangan antara orang mukmin dengan orang kafir terhadap
nikmat Allah termasuk di antaranya adalah persoalan makan. Orang mukmin
tidak memandang makan sebagai tujuan hidup karena itu mereka makan
sekedarnya, sedangkan orang kafir menempatkan makan sebagai bagian dari
tujuan hidupnya sehingga mereka tampak rakus terhadap kehidupan dunia ini.
Demikian juga ungkapan Nabi SAW:
30
‫واعلموا أن الجنة تحت ظلل السيوف‬
“Ketahuilah bahwa Surga itu ada di bawah kilatan pedang”

29
Al-Bukha>ri>, al-Jami’ Juz. III, 293-294.
30
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al Bukha>ri> Bab al-Jiha>d wa al-Sayr No. 2801, CD
Maktabah H}adi>th

11
Ungkapan di atas bukan menunjukkan bahwa surga benar-benar ada di bawah
bayang-bayang pedang, akan tetapi ungkapan di atas merupakan ungkapan
simbolik bahwa mereka yang berjuang sungguh di jalan Allah akan lebih
mudah untuk mendapatkan jalan ke surga.

E. Faktor-faktor Pemaknaan Metaforis


Pemaknaan hadith secara metaforis harus dilakukan dengan pertimbangan
yang benar-benar matang atas dasar keilmuan yang benar dan bukan sekedar
memperturutkan hawa nafsu. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal yang bisa
mengalihkan suatu makna hakiki kepada makna maja>zi>nya. Yusuf al-
Qardawi menyatakan bahwa takwil yang mengartikan makna hadith sebagai suatu
kiasan tidaklah ditolak oleh agama selama tidak mempersulit dan menyimpang
dan sepanjang masih ada hal yang mengharuskannya untuk ditakwilkan.
Pengertian keluar dari makna hakiki kepada makna maja>zi> ialah apabila
terdapat suatu tanda yang menghalangi penyampaian makna hakiki menurut
penilaian akal, hukum syara’ yang benar dan ilmu pasti atau kenyataan yang
mendukungnya.31
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ada beberapa hal yang
menjadikan pergeseran makna dari makna hakiki kepada makna maja>zi>
(metaforis) yaitu:
1. Pertimbangan Akal (Rasionalitas)
Penafsiran metaforis terhadap hadith Nabi dapat dilakukan ketika kita
dihadapkan kepada teks-teks yang makna hakikinya seakan-akan bertentangan
dengan akal. Hal ini bisa dilihat misalnya dalam makna yang terkandung dalam
hadith qudsi berikut:
‫يقول ال تعالى أنا عند ظن عبدى بي و أنا معه إذا ذكرنى فإن ذكرنى فى نفسه ذكرته فى نفسى وإن ذكرنى‬
‫ى ذراعععا تقربععت إليععه باعععا‬
َ ‫ى بشبر تقربت إليه ذراعا وإن تقععرب إلع‬
َ ‫فى مل ذكرته فى مل أكثر وإن تقرب إل‬
32
‫وإن أتانى يمشى أتيته هرولة‬

31
Qardawi, Studi, 193.
32
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri> Bab al-Tawhi>d No. 6856. CD Maktabah
H}adi>th

12
Allah swt berfirman : “Aku sesuai prasangka hambaKu kepadaKu dan Aku
bersamanya jika ia mengingatKu. Jika ia mengingatKu dalam dirinya maka Aku
juga akan mengingatnya demikian. Jika ia mengingatKu di tengah halayak, Aku
akan mengingatnya di tengah khalayak yang lebih banyak. Jika Ia mendekatkan
diri kepadaKu sejengkal maka Aku akan mendekat padanya sehasta. Jika ia
mendekatkan diri kepada-Ku sehasta maka Aku akan mendekat padanya sedepa.
Jika ia mendatangiKu dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya
dengan berlari kecil”
Golongan Muktazilah mengecam ahli hadith karena meriwayatkan hadith
seperti yang mereka nisbahkan kepada Allah swt. Perkataan mereka seolah-olah
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dengan gambaran konkret dalam hal
berjalan dan berlari kecil. Bagi kaum muktazilah, hal seperti itu tidak layak bagi
Tuhan yang Maha Sempurna33 Namun hal ini dibantah oleh Ibn Qutaybah. Ia
menyatakan bahwa “ungkapan ini merupakan ungkapan perumpamaan (tamthil)
dan tashbih” bukan makna yang sesungguhnya. Maksudnya barangsiapa yang
mendatangi Allah secara cepat dengan ketaatan, maka Allah akan memberinya
balasan yang lebih cepat dari ketaatannya, hanya saja semuanya diungkapkan
dalam bahasa kiasan seperti berjalan dan berlari kecil.34 Hal ini serupa dengan
makna dalam ayat al-Qur’an
35
‫والذين سعوا فى آياتنا معاجزين أولئك أصحاب الجحيم‬
“Dan orang-orang yang berusaha dengan maksud menentang ayat-ayat Kami
dengan melemahkan (kemauan untuk beriman); mereka itu adalah penghuni-
penghuni neraka”
Dalam ayat di atas disebutkan kata al-sa’y yang artinya melangkah dengan
cepat. Namun makna ayat di atas bukan berarti bahwa mereka selalu berjalan akan
tetapi menunjukkan gerak mereka yang cepat dalam upaya menentang ayat-ayat
Allah.
Demikian juga dengan hadith Nabi di bawah ini

33
Qardawi, Studi , 189.
34
Ibn Qutaybah, Ta’wi>l Mukhtalaf al-Had>ith (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, tt.), 152
35
QS. Al Hajj (22) :51

13
‫إذا صار أهل الجنة إلى الجنة و صارأهل النار إلى النار أتي بالموت حتى يجعل بين الجنة و النار ثم يذبح ثم‬
‫ينادى مناد يا أهل الجنة ل موت ويا أهل النععار ل مععوت فيععزداد أهععل الجنععة فرحععا إلععى فرحهععم ويععزداد أهععل‬
36
‫النارحزنا إلى حزنهم‬
“Apabila Ahli surga telah berada di surga dan ahli neraka telah berada di
neraka maka didatangkanlah maut, diletakkan di antara surga dan neraka,
kemudian ia disembelih. Setelah itu terdengar suara yang menyeru “Wahai
penduduk surga tiada lagi kematian, wahai penghuni neraka tiada lagi kematian.
Penduduk surgapun semakin gembira sedangkan penghuni neraka semakin
sedih”
Sebagian ulama rasionalis menolak keberadaan hadith ini karena dianggap
bertentangan akal, karena maknanya sulit untuk dimengerti. Maut adalah sesuatu
yang abstrak. Bagaimana mungkin maut yang bersifat abstrak berubah menjadi
konkret sehingga bisa disembelih. Karena itulah sebagian ulama yang lain
menyatakan bahwa ungkapan tersebut merupakan tamthil dan tashbih, sebab dalil
aqli dan dalil naqli menyatakan bahwa maut merupakan terpisahnya ruh dari jasad
ketika manusia meninggalkan kehidupan. Pengungkapan hal abstrak dengan
sesuatu yang kongkret adalah supaya ungkapan tersebut mudah dipahami oleh
pemikiran manusia pada waktu nas tersebut diungkapkan.37 Pendapat ini rasanya
lebih baik daripada mengingkari hadith tersebut dan menolaknya padahal hadith
tersebut sudah terbukti secara sanad sebagai hadith sahih.
2. Kenyataan Alam atau Ilmu Pasti
Ungkapan Nabi SAW yang mungkin dapat dimaknai secara maja>zi>
adalah hadith yang dapat dihubungkan dengan kenyataan alam misalnya sabda
Rasulullah SAW:

‫اشتكت النار إلى ربها فقالت يا رب أكل بعضى بعضا فأذن لها بنفسين نفععس الشععتاء فععى ونفععس فععى الصععيف‬
38
‫فهو أشد ما تجدون من الحر وأشد ما تجدون من الزمهرير‬

36
Muslim, S}ah}i>h} Muslim Bab wa Sifah Na’i>mih wa Ahliha No. 5089. CD Maktabah
Hadith
37
Qardawi, Studi, 197.
38
Muslim, S}ah}i>h} Muslim Bab al-Masa>jid wa Mawa>d}i’ al-S}alah No. 977. CD
Maktabah Hadith

14
“Neraka mengadu kepada Tuhannya, “ Wahai Tuhanku, sebagian dariku
memakan sebagian yang lain. Maka neraka diberi izin untuk menghembuskan
nafas dua kali: sekali pada musim dingin dan sekali pada musim panas. Hal ini
dapat kalian rasakan pada saat panas yang sedang terik dan saat musim dingin
yang membeku.”
Hadith di atas akan sulit dipahami jika diartikan sesuai dengan pengertian
tekstual atau harfiahnya sebagaimana tersurat pada teks hadith tersebut. Namun
bila diartikan dengan makna maja>zi> dengan dihubungkan dengan
pengetahuan geografis tentang penyebab berubahnya musim, mulai musim panas,
musim dingin dan keadaan cuaca panas dan dingin, maka kesulitan ini akan hilang
dan makna hadith tersebut menjadi terbuka. Sebab dalam kajian geografi dapat
diketahui bahwa ada sebagian belahan bumi yang beriklim sangat dingin pada
musim panas dan ada pula belahan bumi yang beriklim sangat panas pada musim
dingin. Karena itu hadith di atas dapat dimaknai secara maja>zi> atau
metaforis bahwa hembusan yang panas tersebut seakan-akan merupakan
hembusan dari neraka sebagaimana juga hawa yang sangat dingin membeku juga
seakan-akan merupakan hembusan lain dari neraka, karena neraka memiliki dua
adzab yaitu ada yang sangat panas dan ada yang sangat dingin.39

3. Hukum Syara’ yang benar


Pemaknaan hadith secara metaforis juga dilakukan berdasarkan
pertimbangan dalam penetapan hukum syara’ yang benar. Hal ini misalnya
berkenaan dengan pemaknaan hadith Nabi SAW
‫س اْمعَرَأًة‬
ّ ‫ن َيَمع‬
ْ ‫ن َأ‬
ْ ‫خْيٌر َلُه ِمع‬
َ ‫حِديٍد‬
َ ‫ن‬
ْ ‫ط ِم‬
ٍ ‫خَي‬
ْ ‫حِدُكْم ِبِم‬
َ ‫س َأ‬
ِ ‫ن ِفي َرْأ‬
َ ‫طَع‬
ْ ‫ن ُي‬
ْ‫ل‬َ ":‫سّلَم‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫ل ا‬
ُ ‫سو‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫َقا‬
40
‫ل َلُه" أخرجه الطبرانى‬
ّ‫ح‬ِ ‫ل َت‬
“Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum
besi lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal
baginya”

39
Qardawi menceritakan bahwa ia pernah berkunjung ke Australia pada musim panas 1988 dan
ternyata di sana sedang musim dingin. Sebaliknya Ia juga pernah berkunjung ke Amerika selatan
pada musim dingin 1989 dan ternyata di sana sedang musim panas. Lihat Qardawi, Studi, 190.
40
Al-T}abra}ni>, al Mu’jam al-Kabi>r Juz XV (CD Program Maktabah Sha>milah), 143.
Hadith ini dinilai sebagai hadith S}ah}i>h} oleh al-Alba>ni>.

15
Menurut al Qardawi, jika diterima bahwa hadits itu sahih maka kalimat
"menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya" itu tidak dimaksudkan
semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang
biasa terjadi dalam berjabat tangan. Karena kata-kata al-mass (massa - yamassu -
mass: menyentuh) digunakan dalam nash-nash shar'iyah seperti Al-Qur'an dan
As-Sunnah sebagai kiasan dari hubungan biologis (jima') sebagaimana
diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah: "Laamastum an-
Nisat" (Kamu menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, "Lafal al-lams, al-
mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an dipakai sebagai kiasan untuk jima'
(hubungan seksual). Hal ini dapat dilihat dari firman Allah yang yang
mengabadikan ucapan Maryam:


 
 

 

 
 
 

 



Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin Aku mempunyai anak, padahal
Aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun.41

Demikian juga firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 237:



 




   

  
 
 
 
      

 
     
 
 

Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,


padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah
seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika Isteri-isterimu
itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan 42

Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan di bawah kategori jima', seperti


mencium, memeluk, merangkul, dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi

41
QS 3 : 47
42
QS 2 : 237

16
jima' (hubungan seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam
menafsirkan makna kata mulaamasah.

Pemaknaan kata al-mass dengan al-jima’ ini juga didukung oleh hadith
sahih dari Rasulullah saw., yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan
tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak
dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah terlarang yaitu:

ُ ‫حْي‬
‫ث‬ َ ‫سّلَم َفَتْنطَِلقُ ِبِه‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫ل ا‬
ِ ‫سو‬
ُ ‫خُذ ِبَيِد َر‬
ُ ‫ل اْلَمِديَنِة َلَتْأ‬
ِ ‫ن ِإَماءِ َأْه‬
ْ ‫لَمُة ِم‬
َْ ‫ت ا‬
ْ ‫ن َكاَن‬
ْ ‫ِإ‬
ْ ‫شاَء‬
‫ت‬ َ
"Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah
memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka."43
Hanya saja, menurut penulis, rasanya lebih baik kita berusaha menghindari
persentuhan antara pria dan wanita yang bukan muhrim untuk lebih menjaga diri
sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah swt dalam al Qur’an:




 

   


 

    

   
 
  
  
  
 
   
    
   
      
        
  
 
 
   
  
 
  

43
Al Bukha>ri>, S}ah}i>h} al Bukha>ri> Juz XIX CD Program Maktabah Sha>milah, 18.
Lihat Juga Ah}mad, Musnad Ah}mad Juz XXIV CD Program Maktabah Sha>milah, 49.

17
   
  
   
  
 
  


   
 

  
 
   
   
   
   
     

 
   

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah


mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-
anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah

18
mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
(QS al-Nur: 30-31)44

4. Kenyataan Historis
Pemaknaan hadith secara metaforis juga dilakukan ketika makna
hakikinya bertentangan dengan kenyataan historis yang ada. Salah contoh bahwa
hadith Nabi memang ada mengandung makna maja>zi> di antaranya adalah
sabda Rasulullah SAW kepada istri-istri beliau, ummahat al mu’minin, yaitu:
‫أسرعكن لحاقا بي أطولكن يدا‬45
“Orang yang paling cepat menyusulku di antara kalian nanti adalah yang paling
panjang tangannya”
Pada mulanya semua istri Nabi SAW memahami panjang tangan secara
hakiki sebagaimana pada makna lahirnya sehingga mereka sama-sama mengukur
tangan mereka dan hasilnya Saudah adalah Istri nabi yang paling panjang
tangannya. Namun kenyataan historis menunjukkan bahwa istri Nabi SAW yang
paling cepat meninggal dunia adalah Zainab yang terkenal dengan sifatnya yang
pemurah sehingga merekapun segera memahami bahwa ungkapan Rasulullah
SAW tentang tangan yang panjang adalah bermakna hakiki akan tetapi bermakna
metaforis yaitu yang paling banyak bersedekah, memberikan pertolongan kepada
orang lain.

F. Urgensi Penafsiran Metaforis terhadap Hadith


Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa penggunaan kata-kata
kiasan atau metaforis dalam teks keagamaan merupakan cukup urgen. Hal karena
menurutnya metafora akan menampakkan makna-makna yang tersembunyi,
menyingkap tirai penutup dari hakekat sesuatu sehingga bisa menampakkan
sesuatu yang ada dalam hayalan dalam bentuk yang nyata, sesuatu yang diragukan
menjadi sesuatu yang meyakinkan, bahkan yang ghaib seakan-akan benar-benar
44
QS.24: 30-31
45
Muslim, S}ah}i>h} Muslim Bab Fad}a>il al-S}ah}a>bah hadith no. 4490, CD Maktabah
al-H}adi>th

19
ada.46 Adanya unsur metaforis juga akan lebih menyentuh perasaan terutama
dalam kaitannya dengan penyampaian dakwah.47
Penafsiran metaforis terhadap hadith Nabi menjadi lebih urgen terutama
ketika kita dihadapkan kepada teks-teks yang makna hakikinya seakan-akan
bertentangan dengan akal, ilmu pasti ataupun kenyataan yang ada seperti yang
telah dicontohkan di atas. Adanya pemaknaan metaforis terhadap hadith-hadith
yang dicontohkan di atas membawa satu pemahaman baru yang lebih sesuai
dengan pemahaman manusia sehingga diharapkan hal tersebut bisa menjembatani
berbagai perselisihan dan kemusykilan yang selama ini mungkin terjadi dalam
upaya memahami sunnah-sunnah Nabi SAW.
Penafsiran metaforis tehadap hadith Nabi mungkin juga akan menyudahi
perselisihan tentang konsep penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki. Hal
ini dapat kita lihat dalam hadith yang membicarakan tentang penciptaan
perempuan yaitu :

‫من كان يؤمن بال واليوم الخر فإذا شهد أمرا فليتكلم بخيرأو ليسكت و استوصوا بالنساء فععإن المععرأة خلقععت‬
‫من ضلع وإن أعوج شىء فى الضععلع أعله إن ذهبععت تقيمععه كسعرته وإن تركتععه لعم يععزل أعععوج استوصععوا‬
48
‫بالنساء خيرا‬

Penafsiran tekstual terhadap hadith ini menyatakan bahwa perempuan


diciptakan dari tulang rusuk. Akan tetapi pemaknaan kontekstual secara metaforis
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan diciptakannya wanita dari tulang rusuk
adalah ungkapan tentang sifat wanita yang cukup sensitif. Kenyataan biologis dan
psikologis menunjukkan bahwa wanita memang lebih mendahulukan perasaan
daripada logika. Pemaknaan metaforis ini didukung oleh petunjuk Nabi agar laki-
laki memperlakukan wanita dengan baik, lemah lembut dan penuh kehati-hatian.
Tidak terlalu keras tetapi juga jangan terlalu lemah.
Dari uraian di atas dapat dipahami betapa urgennya penafsiran metaforis
terhadap hadith-hadith Nabi yang terasa sulit untuk dipahami dengan pemahaman
46
Al-Zamakhshari>, al-Kashsha>f Vol. I, 76
47
al-Zayn, al-Amtha>l, 33
48
Muslim, S}ah}i>h} Muslim Bab al-Rada’ No. 2671. Hadith juga diriwayatkan oleh al-
Bukha>ri> dalam bab Ahadith al-Anbiya’ dan al-Nikah, al-Turmudhi dalam bab al-Rad}a>’ dan
Tafsi>r al-Qur’a>n dan Ibn Majah dalam bab al-Nika>h}. CD Maktabah H}adi>th.

20
hakiki. Adanya pendekatan semacam ini selain membuka wawasan lebih luas,
juga berperan dalam memadukan pemikiran-pemikiran yang cenderung untuk
menolak secara a priori teks-teks hadith yang terasa musykil bagi sebagian
golongan.

G. Penutup
Pada dasarnya teks-teks keagamaan termasuk di dalamnya hadith Nabi
SAW mengandung makna hakiki dan makna maja>zi>. Penafsiran metaforis
terhadap hadith Nabi dapat diterima dan tidaklah ditolak oleh agama selama tidak
mempersulit dan menyimpang dan sepanjang masih ada hal yang
mengharuskannya untuk ditakwilkan, terlebih lagi jika terdapat suatu tanda yang
menghalangi penyampaian makna hakiki menurut penilaian akal, hukum syara’
yang benar dan ilmu pasti atau kenyataan yang mendukungnya. Dengan demikian
diharapkan pemahaman kita terhadap teks teks keagamaan bisa lebih mendekati
kebenaran

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ami>n, Ah}mad. Fajr al-Isla>m. ttp; tp, 1975.

Al-Bukha>ri>, Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad b. Isma>’i>l, al-Ja>mi’ al-


S}ah}i>h. Beirut : da>r al-Fikr, tth,

21
al-Dhahabi>, Muh}ammad H}usayn. al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n Vol. 1.
Kairo: Da>r al-Kutub al-H}adi>thah, 1963.

Goldziher, Ignas. Muslim Studies. London: George Allen & Unwin Ltd., 1971.

H}asb Alla>h ‘Ali>, Us}u>l al-Tashri>’al Isla>mi>. Kairo: da>r al-


Ma’a>rif, tt.

Isma’il M. Syuhudi “Kriteria hadis sahih : Kritik Sanad dan Matan” dalam
Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis Ed. Yunahar Ilyas et. Al.
Yogyakarta: LPPI UMY, 1996.

__________. Pemahaman Hadis Nabi secara Tekstual dan Kontekstual (Tela’ah


Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal
dan Lokal) Pidato Pengukuhan Guru Besar di Kampus IAIN
Alauddin Ujung Pandang. 29 Maret 1994.

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia, 1983.

Muslim, S}ah}i>h} Muslim Juz IV .Beirut: da>r al-Fikr, 1988.

Qardawi, Yusuf. Studi Kritis atas Sunnah ter. Bahrun Abubakar. Bandung:
Trigenda, 1995.

Qutaybah, Ibn. Ta’wil Mukhtalaf al-H}adi>th. Beirut: da>r al-Kitab al-‘Arabi,


tt.

Al-Ra>d}i>, Sha>rid. Talkhi>s al-Baya>n, Ed. Muh}ammad ‘Abd al-Ghani>


H}asan. Mesir : Al-H}alabi>, 1955.

al-Ra>fi’i>, Must}afa> S}a>diq. I’ja>z al-Qur’a>n wa al-Bala>ghah al-


Nabawi>yah. Beirut : da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1990.

al-S}a>lih}, S}ubh}i>. ‘Ulu>m al-H}adi>th wa Must}ala>h}uh. Beirut:


da>r al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1977.

Schact, Joseph. The Origin of Muhammedan Jurisprudence. Oxford; University


Press,1975.

__________. Introduction to Islamic Law. Oxford; University Press, 1989.

al-Sha>t}ibi>, Abu> Isha>q. al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah,


Vol. 1 Ed. Abdulla>h Da>rra>z. Beirut: da>r al-Ma’rifah, 1971.

Shihab, M. Quraish. Persoalan Penafsiran Metaforis atas Fakta-Fakta Tekstual


http://kajianislam.wordpress.com. 09 Maret 2008

22
Sukamta, Majaz dalam al-Qur’an, Disertasi pada IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Tahun 1999.

Sugiharto, I Bambang. Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta:


Kanisius, 1996

al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n. al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo : al-


Azha>r, 1318.

__________. al-Tah}bi>r fi ‘Ulu>m al-Tafsi>r. Beirut: da>r al-Kutub


al-‘Ilmi>yah, 1988.

Zahrah, Abu>. Ibn Hazm Haya>tuh Wa As}ruh. Kairo : da>r al-Fikr, tt.

al-Zamakhshari>. al-Kashsha>f Vol. I. Beirut : tp., tt.

al-Zayn, Sa>mih} ‘A>t}if. al-Amtha>l wa al-Mithl wa al-Tamaththul wa al-


Mathula>t fi> al-Qur’a>n al-Kari>m. Beirut : da>r al-Kutub li al-
Lubna>ni>, 1987.

23
BIODATA

Nama : Taufikurrahman
TTL : Sumenep, 15 Januari 1975
Alamat Rumah : Jl. KH Mansyur Gg IV/ 40D Pabian Sumenep
Madura
Telp. Rumah : 0328-7714753
Alamat Kantor : Institut Dirosat Islamiyah Al Amien (IDIA)
Prenduan
Jl. Raya Prenduan Sumenep Madura
Telp. Kantor : 0328-821015
HP ; 0817300289
Pendidikan
S1 : STAI Al Amien
Skripsi : Peranan Organisasi Remaja Masjid
Terhadap Peningkatan
Kesadaran Beragama Remaja Kec. Kota
Sumenep
S2 : IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tesis : Studi Pemikiran Al-Tabari tentang Tafsir bi
al-Ra’y
Mata Kuliah
1. Keahlian : Tafsir, MSI
2. Penunjang : Filsafat Umum, SPI

Karya yang dipublikasikan


Jurnal : Madhhab-madhhab Hukum Islam :
Asal-usul dan Relevansinya
Dinamika Ilmu

24
Motto :

25

You might also like