You are on page 1of 48

PRESENTASI KASUS

SEPSIS DAN INFEKSI JARINGAN LUNAK

Disusun oleh: Praisila Glory Florencia Jonathan FKUPH - 07120080090

Pembimbing: Dr. Soroy Lardo, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM PERIODE 7 JANUARI 16 MARET 2013 RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SUBROTO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

JAKARTA

BAB I STATUS PASIEN I. IDENTITAS PASIEN Nama Jenis kelamin Alamat Status marital Pekerjaan Agama Pendidikan terakhir Suku/ bangsa Tanggal MRS No. CM II. DATA DASAR A. ANAMNESIS Autoanamnesis dan alloanamnesis, tanggal 17 Januari 2013 Keluhan utama : Lenting-lenting pada tungkai bawah kaki kanan Keluhan tambahan : Demam, BAB berdarah Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD RSPAD dengan keluhan timbul lenting-lenting pada tungkai bawah kanan sejak 3 hari SMRS. Awalnya, sejak 5 hari SMRS pasien mengalami demam. Demam timbul secara tiba-tiba dirasakan terus menerus sepanjang hari, tanpa periode bebas demam. Demam dirasakan cukup tinggi, namun pasien tidak mengukur suhu tubuh dengan termometer. Demam disertai rasa menggigil yang timbul sewaktu-waktu, serta rasa panas pada tungkai bawah kanan. Riwayat mimisan maupun gusi berdarah disangkal. Adanya nyeri otot, nyeri pada belakang bola mata, lidah terasa pahit disangkal. Batuk dan pilek disangkal. Riwayat bepergian keluar pulau Jawa disangkal. 4 hari SMRS, tungkai bawah kanan pasien mulai memerah, tanpa disertai rasa nyeri maupun bengkak. 3 hari SMRS, timbul lenting-lenting berbentuk bulat, lonjong, dan tidak beraturan pada daerah yang berwarna kemerahan. Lenting-lenting tersebut diakui pasien 3 : Tn. SE : Laki-laki : Jalan Siak Raya no. 145 RT 02/09, Sukma Jaya, Depok : Menikah : PNS : Islam : SMU : Batak/Indonesia : 7 Januari 2013 : 36-89-83

Umur/ Tanggal lahir : 62 tahun/ 3 Juli 1950

timbul secara bersamaan dengan ukuran kurang lebih 5 hingga 15 cm. Pasien mengeluhkan rasa sakit yang berdenyut pada kedua tungkai, sakit dirasakan terus menerus sepanjang hari, dan tidak menjalar ke bagian lain. Rasa nyeri tersebut bertambah apabila pasien berjalan, namun tidak berkurang dengan aktivitas atau perlakuan tertentu. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma pada daerah tungkai. 2 hari SMRS pasien berobat ke klinik terdekat, dan mendapatkan obat penghilang rasa sakit, dan beberapa jenis obat lainnya (pasien tidak ingat nama obat tersebut), namun karena dirasakan tidak membaik, pasien akhirnya berobat ke IGD RSPAD. Sejak hari perawatan pertama di RSPAD hingga hari saat pemeriksaan dilakukan, istri pasien mengeluhkan BAB pasien berdarah. Awalnya tinja pasien mengandung darah segar hingga mencapai gelas aqua, namun semakin hari darah semakin berkurang. Pada saat pemeriksaan dilakukan, istri pasien mengaku BAB pasien mengandung sedikit darah berwarna gelap. Mencret disangkal, adanya lendir pada tinja disangkal. Pasien menyangkal adanya rasa sakit pada daerah perut maupun dubur. Pasien rutin memakan sayuran, serta tidak mempunyai riwayat suka mengejan. Saat hari dilakukan pemeriksaan gejala pasien seperti demam, menggigil, rasa panas pada tungkai bawah sudah membaik. Pasien hanya mengeluhkan beberapa kali terasa sakit berdenyut pada tungkai bawah kanan, serta BAB masih mengandung sedikit darah segar. Riwayat penyakit dahulu : - Riwayat penyakit serupa disangkal - Riwayat operasi disangkal - Riwayat dirawat di Rumah Sakit disangkal - Riwayat kencing manis disangkal - Riwayat penyakit ginjal disangkal - Riwayat darah tinggi disangkal - Riwayat asma disangkal - Riwayat penyakit paru disangkal - Riwayat tumor/kanker disangkal - Riwayat penyakit hati disangkal - Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat penyakit keluarga : - Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa. - Kakak pasien menderita darah tinggi - Ibu pasein menderita penyakit asma - Riwayat kanker/ tumor disangkal - Riwayat kencing manis disangkal - Riwayat penyakit jantung disangkal Riwayat kehidupan sosial : Riwayat merokok, minum minuman beralkohol, penggunaan obat-obatan terlarang, maupun riwayat hubungan promiskuitas disangkal. Riwayat penggunaan obat-obatan herbal disangkal. B. PEMERIKSAAN FISIK Dilakukan pada tanggal 17 Januari 2013, pukul 09.15 Keadaan umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis BB : 80 kg TB : 165 cm BMI : 29.38 (overweight) Tanda vital : Tekanan darah Nadi Laju pernafasan Temperatur Status generalis : Kepala Mata Normocephal konjugtiva pucat +/+ sclera ikterik -/refleks pupil +/+ Mulut oral hygiene sedang 120/ 80 mmHg 86 x/m, reguler 20 x/m 36.8C

caries gigi (+) stomatitis pada mukosa bibir dan lidah (-) oral thrush (-) THT Liang telinga lapang, serumen (+/+) Faring hiperremis (-), tonsil T1/ T1 Leher JVP 5 - 2 cm Deviasi trakea (-) Tidak teraba pembesaran KGB leher Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid Jantung I: tidak tampak ictus cordis P: ictus cordis teraba pada ICS 5, midclavicula sinistra, kuat angkat P: A: S1, S2 normal, reguler; murmur (-), gallop (-) Paru I: pergerakan dada simetris statis dan dinamis, benjolan (-) P: taktil fremitus dextra=sinistra, massa (-) P: sonor pada kedua lapang paru. Perbatasan paru hati pada ICS 5, midclavicula dextra A: suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/Abdomen I: buncit, caput medusa (-) A: bising usus (+) normal P: timpani, shifting dullness (-) P: supel, nyeri tekan epigastrik (+), hepar/lien tidak teraba, undulasi (-) Ekstremitas Akral hangat,, capillary refill < 2 detik, tungkai kanan bawah oedem, panas, nyeri tekan (+) C. Pemeriksaan Lab 7/01/13 11/08/12 14/01/13 Nilai Rujukan

Jenis Pemeriksaan HEMATOLOGI

Hb Ht RBC WBC Trombosit MCV MCH MCHC

12.4* 38* 3.9* 32,400* 395,000 96 32 33 Jenis Pemeriksaan Hitung jenis Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit RDW Jenis Pemeriksaan Koagulasi D-Dimer Kuantitatif

7.0* 21* 2.1* 39,300* 527,000* 96 33* 34 7/01/13 0 3 2 73* 15* 7 15.90* 8/01/13 930*

9.1* 29* 2.9* 21,800* 668,000* 98* 31 32

13 18 g/dL 40 52 % 4.3 6.0 juta/uL 4,800 10,800 / ul 150,000 400,000 /ul 80 96 fL 27 32 pg 32 36 g/dL

Nilai Rujukan 01% 13% 26% 50 70 % 20 40 % 28% 11.5 14.5 % Nilai Rujukan 0 500 ng/ml

Jenis Pemeriksaan Faal Hemostasis Koagulasi PT Kontrol Pasien APTT Kontrol Pasien

8/01/13

11/01/13 14/01/13

16/01/13

Nilai Rujukan

11.5 16.6*

13.3 19.7*

12.4 13.1*

10.8 14.2*

Detik 9.8-12.6

34.5 46.7*

28 16.3*

30.2 31.5

35.5 39.7*

Detik 27-39

Jenis Pemeriksaan Faal Hemostasis Koagulasi Fibrinogen

15/01/13

Nilai Rujukan

558* 13/01/13

136 - 384 mg/dL

Jenis Pemeriksaan KIMIA KLINIK Bilirubin Total SGOT SGPT Protein Total Albumin Globulin Kolesterol Total Trigliserida Kolesterol HDL Kolesterol LDL

8/01/13 0.84 29 41* 6.4 2.9* 3.5 125 97 20* 86

14/01/13

Nilai Rujukan <1.5 mg/dl

29 40*

<35 U/L <40 U/L 6-8.5 g/dL

3.0*

2.6*

3.5-5.0 g/dL 2.5-3.4 g/dL <200 mg/dL <160 mg/dL >35 mg/dL <100 mg/dL

Jenis Pemeriksaan

7/01/13

8/01/13

11/01/13

13/01/13

Nilai Rujukan

Ureum Kreatinin GDS HbA1C Na K Cl

137* 1.3 193*

122* 1.4

107* 1.5 81

33 0.6 88

20 50 mg/dL 0.5 1.5 mg/dL < 140 mg/dL 5.7 6.4 %

6.1 134* 5 103 139 5.1* 98 133* 5.5* 106* 136 4.7 104

135 147 mmol/L 3.5 5.0 mmol/L 95 105 mmol/L

Jenis Pemeriksaan CRP Semi Kuantitatif

17/01/13 Nilai Rujukan 12* <6 mg/L

Pemeriksaan Gambaran Darah Tepi Morfologi erythrocyte : Anisositosis, anulosit (+) Morfologi leukocyte : Neutrofilia, limfonemia, atypical lymphocyte Diff count : -/1/5/75/17/2 Morfologi thrombocyte : Bentuk bizarre, kesan jumlah banyak Kesan : Anemia normositik, leukocytosis, neutrofilia, limfonemia, thrombocytosis DD : Anemia e.c penyakit kronis + sepsis + reactive thrombocytosis Anjuran : CRP/Pro-kalsitonin Retikulosit Count

D. Pemeriksaan X-Ray Foto Pedis Dextra Proyeksi AP/Lateral : - Kedudukan tulang-tulang pedis dextra baik - Tak tampak fraktur maupun destruksi - Tampak spur formation di aspek plantar os pedis dekstra - Tak tampak penyempitan celah sendi Kesan : Spur formation aspek plantar os pedis dextra E. Pemeriksaan Kultur Darah Tanggal 10-01-2013 Jenis Pemeriksaan Jenis Bahan Hasil biakan Resistensi test F. Pemeriksaan Kultur Urin Tanggal 10-01-2013 Jenis Pemeriksaan Jenis Bahan Hasil biakan Resistensi test Tanggal 14-01-2013 Jenis Pemeriksaan Jenis Bahan Hasil biakan : Kultur Urine + Resistensi : Urine : Candida sp. : Kultur Urine + Resistensi : Urine : Tidak tampak pertumbuhan kuman : Tidak dilakukan : Kultur Darah + Resistensi : Darah : Tidak tampak pertumbuhan kuman : Tidak dilakukan

Sediaan Langsung Gram : Tidak diketemukan adanya kuman

Sediaan Langsung Gram : Tidak diketemukan adanya kuman

Sediaan Langsung Gram : Diketemukan adanya Sel Ragi

10

G. Pemeriksaan Kultur Pus dan Uji Resistensi Tanggal 10-01-2013 Jenis Pemeriksaan Jenis Bahan Hasil biakan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. Jenis Antibiotik Ampicilin Amikasin Ciprofloxacin Cefotaxim Cefpirom Ceftriaxone Doxycycline Gentamycin Kanamycin Nalidixic acid Trimetropim Cefoperazone Ceftazidime Clindamycin Meropenem Azfreonam Netilmycin Amoxicillin Cefalexin Chloromycetin Fosfomycin Cloxacillin Eritromycin Levofloxacin Tanggal 14-01-2013 Jenis Pemeriksaan Jenis Bahan Hasil biakan No. 1. 2. 3. Jenis Antibiotik Ampicilin Amikasin Ciprofloxacin : Kultur PUS + Resistensi : PUS : Pseudomonas aeroginosa Kode Disk 10 g 30 g 5 g R R R R Hasil I S : Kultur PUS + Resistensi : PUS : Klebsiella sp. Kode Disk 10 g 30 g 5 g 30 g 30 g 30 g 30 g 10 g 30 g 30 g 5 g 75 g 30 g 2 g 10 g 30 g 30 g 25 g 30 g 30 g 50 g 5 g 15 g 5 g R R R R R R R R R R R R R R S R S R R R I R I R Hasil I S S

Sediaan Langsung Gram : Batang Gram Negatif

Sediaan Langsung Gram : Batang Gram Negatif

11

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.

Cefotaxim Cefpirom Cefepime Cefuroxime Ceftriaxone Doxycycline Gentamycin Imipenem Kanamycin Nalidixic acid Trimetropim Cefoperazone Ceftazidime Clindamycin Meropenem Piperacillin / Tazobactam Azfreonam Netilmycin Amoxicillin Cefalexin Chloromycetin Tobramycin Fosfomycin Cefamandol Cephalothin Cloxacillin Eritromycin Ceftizoxime Levofloxacin Amoxicillin + Clavulanic Acid Tigecyclin H. Anus

30 g 30 g 30 g 30 g 30 g 30 g 10 g 10 g 30 g 30 g 5 g 75 g 30 g 2 g 10 g 100 g 30 g 30 g 25 g 30 g 30 g 10 g 50 g 30 g 30 g 5 g 15 g 10 g 5 g 30 g 15 g

R R R R R R R R R R R R R R R R R I R R R R R R R R R R R R R

Pemeriksaan Colonoscopy : Hemorrhoid eksterna

Persiapan tidak baik, banyak feses. Tingkat kesulitan : berat. Rektum : Lumen terbuka, mukosa normal Sigmoid : Lumen terbuka, mukosa normal Kolon descenden : Tampak feses keras, bersumpal-sumpal, menutupi lumen. Panjang : sepanjang lumen kolon Tindakan tidak dilanjutkan Diagnosa endoskopi : hemorrhoid eksterna

12

Anjuran III. RESUME

: persiapan kolonoskopi lebih baik lagi

Pasien laki-laki berusia 62 tahun datang ke IGD RSPAD dengan keluhan timbul lenting-lenting pada tungkai bawah kanan sejak 3 hari SMRS. Awalnya, sejak 5 hari SMRS pasien demam tiba-tiba, terus menerus, suhu cukup tinggi, menggigil (+), disertai rasa panas pada tungkai bawah kanan. 4 hari SMRS, tungkai bawah kanan pasien menjadi merah, nyeri (-), bengkak (-). 3 hari SMRS, timbul lenting-lenting berbentuk bulat, lonjong, dan tidak beraturan pada daerah yang berwarna kemerahan, berukuran 5 - 15 cm, nyeri berdenyut (+), tidak menjalar, bertambah apabila berjalan. Sejak hari perawatan pertama di RSPAD hingga hari saat pemeriksaan dilakukan, BAB pasien mengandung darah segar hingga mencapai gelas aqua, namun semakin hari darah semakin berkurang, nyeri (-) mencret (-) lendir (-). Dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak sakit sedang, overweight, compos mentis, tanda-tanda vital stabil, konjungtiva mata anemis +/+, nyeri tekan epigastrium (+). Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan anemia normositik normokrom, leukositosis, trombositosis, neutrofilia, limfonemia, peningkatan DDimer Kuantitatif, PT, APTT, fibrinogen, hipoalbuminemia, peningkatan kadar ureum serta peningkatan CRP semi kuantitatif. Dari pemeriksaan kultur urin, ditemukan sel ragi dan biakan jamur candida sp., dari pemeriksaan kultur pus, ditemukan bakteri gram negatif, yaitu klebsiella sp. dengan hasil uji resistensi, bakteri sensitive terhadap antibiotik amikasin, meropenem, dan netilmycin. Dari pemeriksaan kultur pus, ditemukan pula bakteri gram negatif pseudomonas aeruginosa, dengan hasil uji resistensi, bakteri tidak sensitive terhadap antibiotik yang diperiksakan, namun intermediate sensitive terhadap antibiotik netilmycin. Dari hasil pemeriksaan kolonoskopi, kesan hemorrhoid eksterna. IV. DAFTAR MASALAH 1. Sepsis e.c selulitis cruris dextra 2. DVT tungkai dextra 3. Melena e.c suspek gastritis erosif 4. AKI pre-renal e.c sepsis 5. Hipoalbuminemia 13

6. Hypercoagulable state 7. Anemia normocytic normochrom e.c ACD dd/ perdarahan 8. Hemorrhoid externa V. PENGKAJIAN 1. Sepsis e.c selulitis cruris dextra Atas dasar : Demam (-), nyeri kepala (+) Leukosit 32.400, Nadi 112x/menit, Nafas 20x/menit, Suhu 37 C CRP 12

Dx : Sepsis e.c selulitis cruris dextra Rdx : Rtx : 2. O2 3L/menit IVFD NaCl 0.9% 500ml/8jam + tramal 1 amp/8 jam Meropenem 3x1 gr drip dalam 100cc NS/1 jam Profenid supp PCT 3 x 750 mg kp

Melena e.c suspek gastritis erosif Atas dasar : BAB hitam (+) sedikit, sepsis (+), riwayat penggunaan jamu/NSAID tidak diketahui Nyeri ulu hati (+) Dx : Melena e.c stress ulcer dd/gastropati Rtx : Lactulax 3 x cI Omeprazole 2 x 40 mg IV Sucralfat 4 x cI

3.

DVT tungkai dextra Atas dasar : Edema unilateral dextra, nyeri (+), kolor (+), skor wells 4 imobilisasi, sepsis USG Doppler : DVT tungkai dextra D-dimer 1870 14

Dx : DVT tungkai dextra Rtx : Heparin 10.000 unit/24 jam 1 cc/jam 4. AKI pre-renal e.c sepsis perbaikan Atas dasar : Ureum 29, creatinine 1.0 Dx : AKI pre renal e.c sepsis Rtx : Observasi UMU 5. Hipoalbuminemia Atas dasar : Albumin 2,6 Dx : Hipoalbuminemia e.c inflamasi dd/ blood loss Rtx : Transfusi albumin 20% 100 ml, cek albumin post transfusi 6. Hypercoagulable state Atas dasar : D-Dimer 1870, Fibrinogen 558 Dx : Hypercoagulable state dengan kecurigaan DVT Rtx : Rencana Heparin 7. Anemia normocytic normochrom e.c ACD dd/ perdarahan Atas dasar : Riwayat melena dan hematochezia Hb 9,1

Rdx : DL serial/3 hari Rtx : Observasi 8. Hemorrhoid externa Atas dasar : VI. Riwayat BAB berdarah (darah segar) Kolonoskopi : kesan hemorrhoid eksterna

PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam : Dubia ad malam : Dubia ad malam : Dubia ad malam

15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SEPSIS DAN INFEKSI JARINGAN LUNAK Sepsis Sepsis merupakan respons sistemik penjamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam konsensus American College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992 yang mendefinisikan sepsis, sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome/SIRS), sepsis berat dan syok/renjatan septik.1 - Sindrom respons inflamasi sistemik, (SIRS : systemic inflammatory response syndrome) respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih keadaan berikut : 1. Suhu >38C atau <36C 2. Frekuensi jantung >90 kali/menit 3. Frekuensi nafas >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg 4. Leukosit darah >12.000/mm3, <4.000/mm3 atau batang >10% - Sepsis, Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS - Sepsis berat, Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran - Sepsis dengan hipotensi, Sepsis dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik >40 mmHg dan tidak ditemukan penyebab hipotensi lainnya - Renjatan septik, Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.1 Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Meskipun SIRS, sepsis dan syok septic biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia. Hal ini karena di dalam darah kemungkinan terdapat endo maupun eksotoksemia, sedangkan bakterinya bedada di jaringan. Bakteriemia adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan darah. Bakteriemia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa, primer (tanpa fokus infeksi teridentifikasi) atau seringkali sekunder terhadap fokus infeksi intravaskuler atau ekstravaskuler, sehingga biakan darah tidak harus positif. Berdasarkan pengamatan, biakan darah penderita sepsis yang positif di Indonesia berkisar antara 40-70%.2 Berdasarkan konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan terhadap kriteria sebelumya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang terpenting adalah dengan memasukkan petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan Predisposition, insult infection, Response, and Organ disfunction (PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan resko yang individual.2

16

Daniels tahun 2011 menyederhanakan cara mendiagnosis SIRS, sepsis, dan sepsis berat dalam suatu bagan sebagai berikut :3

Etiologi sepsis2,4 Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan presentase 60-70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. Lipopolisakarida merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada

17

penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20-40% dari keseluruhan kasus. Selain itu, jamur oportunistik, virus (Dengue dan herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang. Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian infus substansi ini pada binatan akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin. Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman, misalnya alfa-hemolisin (S. Aurens), E.Coli haemolisin (E. Coli) dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung. Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS endotoksin gram negatif dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS didalam darah akan berikatan dengan protein darah membentuk lipopolysaccharide binding protein (LBP). LBP dapat langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septicemia. LBP sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sespsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut faktor nekrosis tumor (Tumor necrosis factor / TNF) dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita immunocomppromise (IC) yang mengalami sepsis. Kondisi klinis yang dapat menyebabkan sepsis menurut Cunha adalah :

18

Patogenesis2

Gambar 1. Dikutip dari http://biosyncorp.com/fileadmin/biosyncorp/selenasepics/ringfolder/10.jpg

Sebagian besar penderita sepsis menunjukan fokus infeksi jaringan sebagai sumber bakteriemia, hal ini disebut sebagai bakteriemia sekunder. Sepsis gram negatif merupakan komensal normal dalam saluran gastrointestinal, yang kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti pada peritonitis setelah perforasi appendikal, atau bisa berpindah dari perineum ke urethra atau kandung kemih. Selain itu, sepsis gram negatif fokus primernya dapat berasal dari saluran genitourinarium, saluran empedu dan saluran gastrointestinum. Sepsis gram positif biasanya timbul dari infeksi kulit, saluran respirasi dan juga bisa berasal dari luka terbuka, misalnya pada luka bakar. Inflamasi sebagai tanggapan imunitas tubuh terhadap berbagai macam stimulasi imunogen dari luar. Inflamasi seungguhkan merupakan upaya tubuh untuk menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab. Berbagai jenis sel akan teraktivasi dan memproduksi berbagai jenis mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Mediator inflamasi sangat komplek karena melibatkan banyak sel dan mediator yang dapat mempengaruhi satu sama lain.

19

Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis. Masih banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat berperanan dalam menentukan perjalanan suatu penyakit. Respon tubuh terhadap suatu patogen melibatkan bermacam-macam komponen sistem imun dan berbagai macam sitokin baik itu yang bersifat proinflamasi dan antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, IGN-gamma, yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila keseimbangan kerja antara pro-inflamasi dan anti-inflamasi mediator ini tidak tercapai dengan sempurna maka dapat memberikan kerugian bagi tubuh. IL-6 adalah sitokin yang merupakan respon fase akut yang dapat sebagai sitokin proinflamatori karena IL-6 dihasilkan oleh makrofag yang teraktivasi dan dilain pihak sebagai sitokin anti-inflamatori karena IL-6 ini juga dihasilkan dari sel Th2 yang teraktivasi. Penyebab sepsis dan syok septic yang paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan antibody dalam serum darah penderita membentuk LBP. LBP yang berada dalam darah penderita akan bereaksi dengan makrofag melalui TLRs4 (Toll Like Receptors 4) sebagai reseptor transmembran dengan perantaraan reseptor CD14+ dan makrofag mengekspresikan imuno modulator, hal ini hanya dapat terjadi pada bakteri gram negatif yang mempunyai LPS dalam dindingnya. Padahal sepsis dapat terjadi pada rangsangan endotoksin, eksotoksin, virus dan parasit, maka mekanisme tersebut diatas masih kurang lengkap dan tidak dapat menerangkan patogenensis sepsis dalam arti keseluruhan, oleh karena konsep tersebut tidak melibatkan peran limfosit T dalam keadaan sepsis dan kejadian syok septik. Di Indonesia dan negara berkembang, sepsis tidak hanya disebabkan oleh gram negatif saja, tetapi juga disebabkan oleh gram positif yang mengeluarkan eksotoksin. Eksotoksin, virus, dan parasit yang dapat berperan sebagai superantigen setelah di fagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Processing Cell dan kemudian ditampilkan dalam Antigen Precenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan peptida MCH kelas II akan berikatan dengan CD4 (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T Cell Receptor). Sebagai usaha tubuh untuk beraksi terhadap sepsis maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu : IFNgamma, IL-2 dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IFN-gamma merangsang makrofag mengeluarkan IL-1beta dan TNF-alfa. IFN-gamma, IL-1beta dan TNF-alfa merupakan sitokin proinflamatori, sehingga pada keadaan sepsis terjadi peningkatan kadar IL-1beta dan TNF-alfa serum penderita. Pada beberapa kajian biasanya selama terjadi sepsis tingkat IL-1beta dan TNF-alfa berkolerasi dengan keparahan penyakit dalam kematian, tetapi ternyata sitokin IL-2 dan TNF-alfa selain merupakan reaksi terhadap sepsis dapat pula merusakkan endotel pembuluh darah yang mekanismenya sampai dengan saat ini belum jelas. IL-1beta sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endothelial termasuk di dalamnya pemberntukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitasi oleh GM-CSF akan mudah mengadakan ahesi. Interaksi endotel dengan neutrofil terdiri dari tiga langkah, yaitu : 1. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-

20

selektin neutrofil dalam mengikat ligan respektif. 2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel. 3. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel. Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang akan menyebabkan dinding endotel lisis, akibatknya endotel terbuka. Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs. Akibat dari proses tersebut endotel menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Ternyata kerusakan endotel pembuluh darah tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan vaskuler (Vascular leak) sehingga menyebabkan kerusakan oragan multipel sesuai dengan pendapat Bone bahwa kelainan organ multipel tidak disebabkan oleh infeksi tetapi akibat inflamasi yang sistemik dengan sitokin sebagai mediator. PEndapat tersebut diperkuat oleh Cohoen bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septic yang berakhir dengan kematian. Syok septic merupakan diagnosis klinik sesuai dengan sindroma sepsis disertai dengan hipotensi (tejanan darah turun <90 mmHg) atau terjadi penurunan tekanan darah diastolic <40 mmHg dari tekanan darah sebelumnya. Organ yang paling penting adalah hati, paru dan ginajl, angaka kematian sangat tinggi bila terjadi kerusakan lebih dari tiga organ tersebut. Dalam suatu penelitian disebutkan angka kematian syok septic adalah 72% dan 50% penderita meninggal bila terjadi syok lebih dari 72 jam, 20%-80% penderita dengan syok septic menderita ARDS (adult respiratory disease syndrome). Menurut Dale DC, bahwa pada penderita diabetes mellitus, sirosis hati, gagal ginjal kronik dan usia lanjut yang merupakan kelompok IC lebih mudah menderita sepsis. Pada penderita IC bila mengalami sepsis sering terjadi komplikasi yang berat yaitu syok septic dan berakhir dengan kematian. Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th-2 mengekspresikan IL-10 sebagai sitokin anti inflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-gamma, TNF-alfa dan fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10 meningkat lebih tinggi, kemungkinan kejadian syok septic pada sepsis dapat dicegah. Dengan mengetahui konsep patogenesis sepsis dan syok septic, maka kita dapat mengetahui, sitokin yang berperan dalam syok septic dan dapat diketahui apakah terdapat perbedaan peran sitokin pada beberapa penyakit dasar yang berbeda. Gejala Klinik2 Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malise, gelisha atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang paling sering : paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan diterminan penting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia. Yang diakui sering diikuti gejala Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MPDS) sampai dengan terjadinya syok sepsis.2 Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi : - sindroma distress pernafasan pada dewasa - koagulasi intravascular

21

- gagal ginjal akut - perdarahan usus - gagal hati - disfungsi sistem saraf pusat - gagal jantung - kematian Dari hasil penelitian, pada tahun 2004, dari penderita sepsis yang dirawat di bangsal penyakit dalam Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta dengan n-89, didapatkan bahwa sepsis banyak terjadi pada orang usia lanjut dengan distribusi umur >= 60 tahun (38%), 41-59 tahun (34%) dan <=40 tahun (28%). Dengan komorbid dan penyakit penyerta yang banyak menyebabkan sepsis adalah diabetes mellitus (DM), Gagal Ginjal Kronik (GGK), penyakit hati kronis (imunocompromise). Hal ini terlihat dari hasil penelitian dimana Underlying disease: DM (35%), penyakit hari kronis (18%), GGK (15,7%), Infeksi Saluran Kencing (6,7%), anemia (5,6%), kardiovaskuler (4,5%), penyakit paru (4,5%), gastrointestinal (4,5%), keganasan (2,3%), HIV (1,1%), typhoid (1,1%).2 Diagnosis2,4,5 Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status hemodinamik.

22

Riwayat Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau nosokomial dan apakah pasien imunokompromis. Rincian yang harus diketahui meliputi paparan pada hewan, pejalanan, gigitan tungau, bahaya di tempat kerja, penggunaan alkohol, kejang, hilang kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi : 1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi 2. Hipotensi, oliguria atau anuria 3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas 4. Perdarahan Pemeriksaan Fisik Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan rectum, pelvis, dan genital. Pemeriksaan tersebut akan mengungkap abses rectal, perirektal, dan/atau perineal, penyakit dan/atau abses inflamasi pelvis, atau prostatitis. Data Laboratorium Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatitnin, elektrolit, uji fungsi hari, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan ronsen dada. Biakan darah, sputum, utin dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan. Lakukan Gram stain di tempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular, ruang pleura) dengan aspriasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap 3) biakan darah harus diperoleh dalam periode 24 jam. Volume sample sering terdapat kurang dari 1 bakterium/ml pada dewasa (1-5 ml pada anak) dan inokulasikan dengan trypticase soy broth dan thioglycolate soy broth. Waktu sample untuk spike dmeam intermiten, bakteremia dominan 0,5 jam sebelum spike. Jika terapi antibiotik sudah dimulai, beberapa macam antibiotik dapat dideaktivasi di laboratorium klinis. Tergantung pada status klinis pasien dan resiko-resiko terkait, pemeriksaan dapat juga menggunakan foto ronsen abdomen, CT Scanning, MRI, ekokardiografi, dan/atau lumbar puncture. Temuan laboratorium lain : - SEPSIS AWAL. Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinema, dan proteinuria. Dapat terjadi leucopenia. Neutrofil mengandung granulasi toksik, badan Dohle, datau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis repirator. Hipoksemia dapat dikoreksi dengan oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat. - SELANJUTNYA. Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver) meningkat. Bila otot pernafasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolic (peningkatan gap anion) terjadi setelah alkalosis respirator. Hipoksemia tidak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi. Biomarker Prediktor Sepsis - Procalcitonin (PCT) Procalcitonin merupakan precursor polipeptida hormon calcitonin yang

23

berasal dari kelenjar thyroid, hormon calcitonin sendiri berfungsi merespons efek hiper atau hipocalcemia. Pada kondisi sepsis, didapatkan CTmRNA diseluruh tubuh dan berfungsi sebagai kelenjar endokrin penghasil CTpr (CT precursor). Peningkatan tersebut terjadi di liver, pulmo, ginjal, pancreas, otak, jantung dan usus kecil. Dari hasil penelitian Becker et al (2004), peningkatan PCT diinduksi oleh sitokin TNF-alfa. - C-Reactive Protein (CRP) C-Reactive Protein merupakan protein fase akut, di sintesis di hari dan iinduksi oleh IL-6. Fungsi biologis CRP adalah mengikat bahan eksogen dan endogen untuk kemudian dibuang dengan opsonisasi. Waktu paruhnya +- 19 jam. CRP meningkat dan mempresipitasi polisakarida C somatic kuman pneumococci. CRP berperan dalam mekanisme pertahanan alamiah ( innate immunity) terhadap penyakit microbial dan tidak dipengaruhi seks dan makanan. Penelitian Meisner dan Reinhart (2001), menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara tingginya skor SOFA (Sequential Organ Failure Assesment score) dengan peningkatan kadar PCT. Sedangkan peningkatan kadar CRP terlihat signifikan hanya antara skor SOFA 1-6 dengan 7-12, dan antara skor SOFA lainnya relatif kadar CRP sama dengan skor SOFA 7-12.

Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah gejala SIRS dan berat proses penyakit. Komplikasi : - Sindroma distress pernafasan dewasa (ARDS) - Koagulasi intravascular diseminata (DIC, disseminated intra-vascular coagulation) - Gagal ginjal akut (ARF, acute renal failure) - Perdarahan usus - Gagal hati 24

- Disfungsi sistem saraf pusat - Gagal jantung - Kematian Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada SIRS dan sepsis dalam penelitian berbeda adalah 19% untuk disfungsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk gagal hari, 9-23% untuk ARF, dan 8-18% untuk DIC. Pada syok septic, ARDS dijumpai pada sekitar 18%, DIC pada 38%, dan gagal ginjal 50%. Terapi2 Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu : 1. Stabilisasi Pasien Langsung Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis erat adalah pemulihan abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC : Airway, breathing, circulation). Perubahan status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan perlindungan langsung terhadap jalan napas pasien. Intubasi diperlukan juga untuk memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna pada tekanan darah ememrlukan terapi empirik gabungan yang agresif dengan cairan (ditambah kristaloid atau koloid) dan inotrop/vasopresor (dopamine, dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau norepinefrin). Pada sepsis berat diperlukan pemantauan peredaran darah. CVP (central venous pressure) normal 10-15cm dari 0.9% NaCl; PAW normal (wedge pressure arteri paru) 14-18 mmHg, pertahankan volume plasma yang adekuat dengan infus cairan. Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien (tekanan darah, denyut jantung, laju nafas, dan suhu badan) harus dipantau. Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vsoaktif, missal, dopamine, dobutamin, atau norepinefrin. 2. Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme Agen antimicrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini bahwa antimicrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien. Antimikrobial yang ridak menyebabkan pasien memburuk adalah: karbapenem, seftirakson, sefepim, glikopeptida, aminoglikosida, dan quinolon. Perlu segera diberikan perawatan empirik dengan anti-mikrobial. Pemberian antimicrobial secara dini diketahui menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sample didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimikrobialdengan spectrum aktivitas luas. Hal ini karena terapi antimicrobial hampir selalu diberikan sebelum organisme yang menyebabkan sepsis teridentifikasi. 3. Fokus infeksi awal harus diobati Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobic. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangren. 4. Penelitian terapi obat : Eli Lillu and Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis Phase III

25

menunjukkan drotecogin alfa (protein C teraktifkan rekombinan, Zovant) menurunkan resiko relatif kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut terkait (dikenal sebagai sepsis berat) sebesar 19,4 persen. Zovant merupakan antikoagulan. Penatalaksanaan Sepsis1,4,6 Karena kerusakan endothel pembuluh darah pada sepsis merupakan proses inflamasi imunologi, maka penatalaksanaan dari sepsi untuk mencegah terjadinya syok septic adalah sebagai berikut : 1. Pengobatan Dasar Perubahan dasar hemodinamika yang terjadi pada pasien sepsis adalah kelainan patologik arterial. Meskipun kadar katekolamin dalam darah pada sepsis meningkat, respon vaskuler terhadap stimulasi reseptor alfa adrenergic nampaknya terganggu. Beberapa mediator yang diduga bertanggung jawab terhadap mekanisme vasodilatasi tersebut, antara lain IL-1, Tumor Necrosis Factor (TNF), Nitric Oxide (NO), prostaglandin dan aktivasi komplemen (C3a, C5a). Disamping hal tersebut, kemungkinan lain sebagai penyebab adalah perubahan dalam metabolisme pembuluh darah sendiri. Gambaran yang khas pada pasien sepsis dengan syok adalah hipotensi yang terjadi karena dilatasi pembuluh darah arteri. Resistensi vaskuler sistemik sangat rendah dan curah jantung akan meningkat. Frekuensi denyut jantung akan meningkat pula, demikian juga resistensi vaskuler paru akan meningkat, karena kompensasi terhadap kekurangan O2. Keadaan ini disebabkan karena adanya produksi NO yang meningkat berlebihan. Terjadinya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah yang disebabkan karena peningkatan aktivitas komplemen (C3a, C5a), akan mengakibatkan cairan plasma banyak yang keluar (ekstravasasi). Secara umum tujuan dari resusitasi adalah memperbaiki oksigenasi pada jaringan atau sel. Resusitasi dilakukan secepat mungkin, secara intensif dalam 6 jam pertama. Terapi yang dilakukan mencakup tindakan airway (A), breathing (B), dan circulation (C), dengan oksigenasi, terapi cairan biasanya menggunakan kristaloid dan koloid, vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan. Resusitasi kristaloid menyebabkan ekspansi ruang interstisial, sedangkan koloid intravena yang bersifat hiperonkotik, karena tekanan onkotik cenderung untuk menyebabkan ekspansi volume intravaskuler dengan meminjam cairan dari ruang interstisial. Koloid isoonkotik dapat mengisi ruang intravaskuler tanpa mengurangi ruang interstisial. Dari pertimbangan fisiologis terlihat bahwa kristaloid menyebabkan lebih banyak edema daripada koloid, sehingga mungkin akan memperburuk. Pada keadaan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, koloid mungkin hanya sedikit sekali merembes ke dalam ruang interstisial, sehingga sebagian besar koloid akan tetap di dalam intravaskuler dan akhirnya koloid meningkatkan tekanan onkotik plasma. Hal ini akan menghambat kehilangan cairan selanjutnya dari sirkulasi, dan kemungkinan hal ini menguntungkan. Kelebihan koloid dalam respon metabolic dapat meningkatkan pengiriman O2 (DO2) ke jaringan dan konsmsi O2 (VO2), sera menurunkan laktat serum. Parameter-parameter tersebut merupakan indikator penting untuk mengetahui apakah penderita membaik atau akan jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk. Perbaikan volume darah bertujuan mengoptimalkan cardiac output tanpa

26

meningkatkan resiko terjadinya edema paru. Biasanya digunakan bergantian antara kristaloid dan koloid. Untuk meningkatkan oksigenasi jaringan dan mengurangi kebutuhan oksigen jaringan. Koreksi terhadap asidosis yang terjadi pada sepsis berat atau ayok septic dapat berlangsung cepat bila penyakit dasar membaik. Sodium bikarbonat disarnkan untuk diberikan hanya pada asidosis berat saja. Penelitian yang dilakukan Rivers dengan membandingkan tatalaksana yang disebut early goal directed therapy dengan terapi standar. Inti dari tatalaksana ini bahwa terapi mencakup penyesuaian beban jantung preload, afterload dan kontraktilitas dengan oxygen delivery dan demand. Protokol tersebut mencakup pemberian cairan kristaloid dan koloid bolus 500 ml tiap 30 menit untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg. Bila tekanan arteri ratarata (MAP) kurang dari 65 mmHg diberikan vasopressor hingga >65mmHg dan bila MAP >90 mmHg diberikan vasodilator. Dilakukan evaluasi saturasi oksigen vena sentral (ScvO2); bila ScvO2<70% dilakukan koreksi hematokrit hingga diatas 30%. Setelah CVP, MAP dan hematokrit optimal namun ScvO2 <70%, dimulai pemberian inotropik. Inotropik diturunkan bila MAP <65 mmHg atau frekuensi jantung >120 kali/menit.

27

Hasil penelitian pada 130 pasien dengan 133 kontrol didapatkan penurunan mortalitas pada kelompok early goal directed therapy 30,5% dibandingkan kontrol 46.5% dengan perbaikan pada parameter ScvO2, kadar laktat darah, defisit basa lebih rendah dan pH darah lebih tinggi. 2. Antibiotika merupakan terapi utama pada penderita sepsis Pemberian antibiotika satu jenis saja ridak dibenarkan dalam keadaan spsis. Dianjurkan kombinasi antibiotika yang rasional sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas. Apabila fasilitas kurang memungkinkan, dapat diberikan antibiotika secara empiris disertai dengan penatalaksanaan penyakit dasar seoptimal mungkin. Antibiotika yang biasanya diberikan secara empiris adalah Cefalosporin generasi III atau IV karena mempunyai efek terhadap bakteri gram (+) dan gram (-). Juga dapat diberikan Cefalosporin dengan kombinasi beta-laktam. Dalam pemberian jangan dilupakan pemberian terhadap adanya mikroorganisme lain sebagai penyebab sepsis, misalnya : parasit, jamur, virus, dsb.

28

3. Imunonutrisi Imunonutrisi adalah kumpulan beberapa nutrien spesifik seperti arginin, glutamin, nukleotida dan asam lemak omega 3, yang diberikan sendiri ataupun kombinasi yang memiliki pengaruh terhadap parameter imunologik dan inflamasi yang telah terbukti secara klinis dan laboratoris. Imunomodulasi yang pada saat ini dikembangkan pada pencegahan sepsis/CI (Critical Illness) berhasil menurunkan angka kematian. Salah satu enteral nutrisi adalah Enteral Feeding supplement dengan nutrisi yang terdiri atas glutamin, asam lemak tidak jenuh ganda dan nukleotid (Immunonutritions). Pada penderita sepsis dengan imuno nutrisi terjadi perkembangan penyakit yang membaik, terjadi penurunan komplikasi, jangka waktu perawatan, dan kematian. 4. Pengobatan suplementasi a. Strategi anti endo-eksotoksin dengan pemberian antibody monoclonal, tetapi pemberian ini masih banyak diperdebatkan sebab dari hasil beberapa penelitian masih belum meyakinkan b. Pemberian infus antibody monoclonal faktor-7 dapat menghambat terjadinya pembentukan trombin dan konversi fibrinogen. Sistem Anti trombin III (AT III)-heparin sulfat dapat mengikat dan mengurangi aktivitas generasi trombin dalam proses penjendalan darah, sehingga dapat mengatasi DIC. c. Kortikosteroid masih dalam perdebatan. Beberapa peneliti mengatakan bermanfaat untuk penderita dalam keadaan sepsis, tetapi dengan dosis yang adekuat. Tetapi peneliti lain mengatakan bahwa pemberian kortikosteroid kurang efektif dan kurang bermanfaat. Peneliti lain mengatakan pemberian kortikosteroid dapat memperbaiki gejala klinik sebab kortikosteroid dapat menghambat peran mediator serta sitokin IL-1 dan TNF-alfa. Sebaiknya, tidak diberikan setelah penderita mengalami syok septic. d. Strategi anti mediator. Ekspresi sitokin merupakan respon normal dari 29

e.

f. g. h.

inflamasi setelah mendapatkan stimulasi dan akan terjadi penurunan secara withdrawal apabila stimuli dihilangkan. Dalam studi eksperimental, penghambatan atau netralisasi mediator dalam keadaan sepsis dapat mengurangi angka kematian dan strategi ini sekarang dilakukan dalam uji klinik dan hasilnya masih dievaluasi dengan seksama. Sitokin IL-1 dan TNFalfa dapat dinetralkan dengan monoclonal antibody atau fragmen soluble pada reseptornya. Netralisasi NO. NO merupakan vasodilator yang dikeluarkan oleh endotel pembuluh darah pada saat sepsis. Apabila NO diproduksi berlebihan maka akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah tepid an penurunan resistensi, sehingga terjadi penurunan tekana darah sampai dengan syok. Maka NO yang berlebihan harus dinetralisasi dengan menggunakan metilen biru. Hemofiltrasi. MEtode ini dalam teori dinyatakan dapat mengeluarkan mediator inflamasi, toksin bakteri. Jenis yang sering digunakan adalah CVVH dan CAVH. Phyto Farmaka, banyak dilaporkan dalam penelitian dapat memacu imunomodulasi respons imun, tetapi masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Penggunaan IntraVenous ImunoGlobulin (IVIG) di ICU Amerika dan Eropa diyakini dapat menurunkan angka kematian sebesar 50%. Pemberian IVIG akan meningkatkan netralisasi, opsonisasi, aktifitas bakterisidal, menstimulasi fagositosis oleh leukosit dan netralisasi endo-ekso toksin. Pemberin IVIG mempunyai efek sinergis dengan antibiotika B-laktam dan membentuk laktamase antibody, serta dapat merusak membran sel bakteri gram (-). IVIG juga dapat menekan aktifitas mediator dan mengurangi pelepasan sitokin.

IVIG pada sepsis mempunyai peran sebagai berikut : 1. Penurunan aktivitas bakteri dan mediator inflamasi. Terapi IVIG menurunkan mortalitas sekitar 30%. Juga, dapat meningkatkan netralisasi ekso dan endotoksik, serta opsonisasi bakterisidal. a. Stimulasi fagositosis oleh leukosit b. Bersama dengan antibiotika beta-laktam membentuk antibody laktamase sehingga lebih mudah menghancurkan dinding sel bakteri gram (-) c. Penetrasi ke mediator inflamasi d. Penurunan ekspresi sitokin pro-inflamasi 2. Stimulasi pembentukan IL-1ra. Sitokin ditemukan oleh Aren pada tahun 1955 dan dapat menghambat aktivitas IL-1r. Ditemukan pada trombosit manusia yang diinkubasi dengan IgG. IVIG pada sepsis akan meningkatkan IgG yang akan menstimulasi pembentukan IL-1ra sehingga secara tidak langsung akan menghambat IL-1. 3. Potensiasi dengan IgG di dalam tubuh. Pada stadium sepsi, mediator antiinflamasi menekan Th2 sehingga jumlah IL-10 akan menurn dan menstimulasi sel limfosit B untuk membentuk IgG. Jadi IVIG akan berpotensiasi dengan fungsi IgG dalam tubuh manusia. Pencegahan2 - Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biaanya dihuni bakteri Gramnegatif - Gunakan trimetroprim-sulfametoksazol secara profilaktik pada anak penderita leukemia

30

- Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazine perak, atau sulfamilon secara profilaktik pada pasien luka bakar. - Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior untuk mencegah pneumonia Gram negatif nosokomial - Sterilisasi flora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gram-negatif pada pasien neutropenia - Lingkungan yang protektif bagi pasien beresiko kurang berhasil karena sebagian besar infeksi berasal dari dalam (endogen). - Untuk melindungi neonatus dari sepsis strep Grup B ambil apusan (swab) vagina/rectum pada kehamilan 35 hingga 37 minggu. Biakkan untuk Streptococcus agalactiae (penyebab utama sepsis pada neonatus). Jika positif untuk strep Grup B, berikan penisilin intrapartum pada ibu hamil. Hal ini akan menurunkan infeksi Grup B sebesar 78%. Berdasarkan guideline internasional untuk penanganan dan pencegahan sepsis berat dan syok septik tahun 2008 ( Surviving Sepsis Campaign), terapi sepsis dibagi menjadi 3, yaitu :7 1. Resusitasi dini

31

2. Hemodynamic support dan adjunctive therapy

32

3. Terapi suportif

33

Infeksi Jaringan Lunak Infeksi jaringan lunak ditandai dengan sifatnya yang akut, difus, menyebar, disertai edema, serta inflamasi supuratif dari jaringan dermis dan subkutan. Seringkali infeksi jaringan lunak ini disertai gejala sistemik seperti malaise, demam, dan menggigil. Terapi infeksi jaringan lunak non-nekrosis menggunakan antibiotik, drainase abses dan terapi suportif. Sedangkan infeksi jaringan lunak nekrosis seringkali mengancam nyawa dan membutuhkan operasi debridement lanjutan.8,9 Pada penjamu yang imunokompeten, infeksi ini seringkali disebabkan oleh streptokokus beta-hemolitik grup A, Staphylococcus aureus, dan untuk infeksi deep fascia dan otot, biasanya disebabkan oleh gabungan antara organisme gram positif dan negatif baik yang anaerobic maupun fakultatif. Sebaliknya bagi penjamu yang imunokompromais, organisme yang dapat menyebabkan infeksi jaringan lunak lebih sulit diprediksi. Organisme tersebut dapat mencakup bakteri komensal, jamur, sel ragi, bahkan parasit.8,9 Klasifikasi dan Definisi8,10 1. Erisipelas Merupakan selulitis yang mengenai permukaan kulit, ditandai dengan terlibatnya pembuluh limfatik kulit. Gejala yang ditimbulkan antara lain, adanya rasa nyeri, berwarna merah terang, menonjol, bengkak, plak berindurasi dengan tepi lebih 34

tinggi, bebrbatas tegas dari kulit sehat disekitarnya. Biasanya disebabkan oleh group A beta-hemolytic streptococcus (GAS) dan jarang disebabkan oleh S.aureus. 2. Selulitis Merupakan kelainan kulit berupa infiltrat yang difus di subktan dengan tandatanda radang akut. Memiliki gejala serupa dengan erisipelas, namun hingga mengenai jaringan subkutan. Selulitis dapat dibedakan dari erysipelas dalam 2 hal, yaitu : lesi selulitis biasanya tidak menonjol dan berbatas tidak tegas dari jaringan kulit sehat disekitarnya. Jaringannya pun teraba keras dan sangat nyeri. Dalam sebagian kasus, dapat terbentuk bulla atau nekrosis. Infeksi dapat terlokalisasi di jaringan lunak, dengan pembentukan abses dermis dan subkutan atau nekrosis fasciitis. S.aureus dan GAS sejauh ini adalah penyebab selulitis tersering, namun bakteri lain juga dapat menyebabkan selulitis. 3. Limfangitis Inflamasi pembuluh limfatik, biasanya bermula pada akral, seperti pada tangan dan kaki. Limfangitis timbul berupa kemerahan pada telapak atau punggung tangan pada proksimal jari. 4. Selulitis Gangren Karakteristiknya berupa nekrosis jaringan dermis, lemak subkutan (hypodermis), fascia, atau otot. Diklasifikasikan sebagai necrotizing fasciitis, clostridial soft tissue infections, dan progressive bacterial synergistic gangrene. 5. Infeksi Jaringan Lunak Nekrosis Dapat dibedakan dari jenis lain karena memiliki nekrosis jaringan yang berat, sedikit respon terhadap pemberian antibiotik, dan memerlukan debridement dari jaringan mati. Diawali dengan eritema dan nyeri indurasi pada jaringan lunak, kemudian dengan cepat berkembang menjadi black eschar, yang kemudian menjadi jaringan berwarna hitam dan lunak, disertai massa nekrotik dengan bau tidak sedap. Infeksi jaringan lunak nekrosis dibagi menjadi 3 kategori, yaitu : necrotizing cellulitis, necrotizing fasciitis, myonecrosis. Infeksi jaringan lunak pada daerah genital disebut Fournier gangrene. 6. Ektima Gangrenosum Merupakan infeksi jaringan lunak nekrosis, yang paling sering disebabkan oleh P. aeruginosa, ditandai dengan infark kulit yang progresif menjadi lesi ganggren dengan ulkus. 35

SELULITIS Epidemiologi8 Usia yang terkena biaanya anak-anak kurang dari 3 tahun, atau dapat pula orang tua. Etiologi8
Type of Infection Erysipelas Most Common Cause(s) Group A streptococcus (GAS) Uncommon Causes Group B, C, and G streptococci (GBS, GCS, GGS) S. aureus GBS, GCS, GGS Erysipelothrix rhusiopathiae Pneumococcus Haemophilus influenzae (children) Escherichia coli Campylobacter jejuni Moraxella Serratia, Proteus, other Enterobacteriaceae Cryptococcus neoformans Legionella pneumophila, L. micdadei Bacillus anthracis (anthrax) Aeromonas hydrophila Vibrio vulnificus, V. alginolyticus Cellulitis in children Facial/periorbital cellulitis Perianal cellulitis S. aureus, GAS GBS (neonates)

Cellulitis

S. aureus, GAS

H. influenzae (young children)

Neisseria meningitidis

GAS

S. aureus V. vulnificus Streptococcus pneumoniae, GAS, GBS

Cellulitis secondary P. aeruginosa to bacteremia

36

Crepitant cellulitis

Clostridia spp. (C. perfringens, C. septicum)

Bacteroides spp. Peptostreptococci E. coli, Klebsiella

Cellulitis associated E. rhusiopathiae (erysipeloid) with water exposure V. vulnificus Aeromonas hydrophila Mycobacterium marinum (nodular lymphangitis) M. fortuitum complex Gangrenous cellulitis (infectious gangrene) Necrotizing fasciitis (NF) Streptococcal gangrene Nonstreptococcal NF GAS

Seal finger (etiology unknown)

GBS, GCS, GGS

Mixed infection with one or more anaerobes (Peptostreptococcus or Bacteroides) plus at least one facultative species (non-group A streptococci; members of the Enterobacteriaceae such as Enterobacter or Proteus)

Bacillus cereus (agranulocytic patient)

Sumber infeksi8 1. Mukokutan Penyakit kulit yang mendasari, seperti penyakit bulla (pemfigus pemfigoid, sunburn), limfedema kronis, dermatofitosis (tinea pedis, tinea capitis, tinea barbae), infeksi virus (herpes simplex, varisela, herpes zoster), inflamasi (dermatitis atopic, dermatitis kontak, dermatitis statis, pyoderma gangrenosum), pyoderma superficial (impetigo, folikulitis, furunkulosis, karbunkel, ektima), ulkus (tekanan, insufisiensi vena kronik, iskemik, neuropati). Trauma, seperti abrasi, gigitan binatan/serangga/manusia, luka bakar, laserasi, luka tusuk. Luka operasi Infeksi mukosa, seperti infeksi orofaring, infeksi mukosa hidung dan

37

telinga tengah. Penggunaan obat suntik Ekspos terhadap air

2. Penyebaran infeksi dari jaringan sekitar, seperti osteomyelitis, infeksi abdomen, cutaneous odontogenic sinus. 3. Bakteriemia, berupa sepsis, infeksi endokarditis, bisa disebabkan oleh S.pneumoniae, V.vulnificus, dan C.neoformans. Faktor resiko8 Penyalahgunaan obat dan alkohol, kanker, kemoterapi, limfedema kronis (postmastektomi, post-coronary artery grafting, riwayat selulitis/erysipelas sebelumnya), sirosis, diabetes mellitus, sindrom nefritik, imunosupresi iatrogenic, neutropenia, sindroma imunodefisiensi, malnutrisi, gagal ginjal, aterosklerosis sistemik. Patogenesis9 Kulit normal yang intak memegang peranan penting untuk memberikan mekanisme pertahanan terhadap berbagai macam patogen. Interaksi penjamu-patogen secara detail memang masih belum sepenuhnya diketahui secara pasti, namun hal tersebut bergantung pada fungsi barrier, faktor bakteri, dan faktor penjamu. 1. Fungsi Barrier a. Penyakit kulit yang mendasari - dermatosis inflamatorik : dermatitis atopic, dermatitis kontak, dermatitis statis, psoriasis, lupus kutaneus kronik, pyoderma gangrenosum - penyakit bula : pemfigus, pemfigoid bulosa, sunburn, porphyria cutanea tarda - ulkus : tekanan, stasis, iskemik, diabetik - umbilical stump (pada neonatus) - pyoderma superficial : impetigo, folikulitis, furunkel, karbunkel, ektima - herpes simpleks, varicella, herpes zoster - dermatofitosis : tinea pedis, tinea kapitis, tinea barbae b. Trauma - abrasi, laserasi, luka tusuk - gigitan : hewan, serangga, manusia - luka bakar 38

c. Luka operasi - kateter intravascular - insisi operasi 2. Faktor Bakteri berkurang atau hilangnya flora normal meningkatnya pertumbuhan spesies patogen elaborasi toksin dan enzim

3. Faktor Penjamu a. Status imun menurun - diabetes mellitus - kanker - kemoterapi pada kanker - gagal ginjal - sindroma nefrotik - penyalahgunaan alkohol - penyalahgunaan obat-obatan - malnutrisi - neutropenia - imunosupresi iatrogenic - HIV - Imunodefisiensi kongenital b. Circulatory compromise - abnormalitas sistem limfatik - tromboflebitis - diabetes mellitus - limfedema - sindroma nefrotik Manifestasi Klinis8 Masa inkubasi : beberapa hari. Gejala prodromal : malaise, nafsu makan menurun, demam, menggigil yang timbul mendadak sebelum selulitis timbul. Demam tinggi (38.5C) dan menggigil biasanya berhubungan dengan bakteri GAS. Status imun : pasien dengan imunokompromis rentan terhadap infeksi oleh patogen 39

dengan patogenisitas rendah. Gejala : Nyeri setempat, bengkak. Lesi kulit : merah, panas, edema, plak mengkilat, nyeri, berbagai ukuran, berbatas tegas, irregular, sedikit menonjol. Vesikel, bula, erosi, abses, perdarahan dan nekrosis dapat timbul menyertai plak. Limfangitis. Kelenjar limfe regional dapat membesar dan terasa sakit. Distribusi Dewasa : tungkai bawah (daerah tersering), sela jari, lengan pada pasien laki-laki muda (pertimbangkan penggunaan obat-obatan intravena), wanita pada daerah post-mastektomi, daerah luka operasi, wajah (setelah rhinitis/konjungtivitis).

Anak : pipi, daerah periorbita, kepala, dan leher paling sering disebabkan oleh H. influenzae; pada ekstremitas paling sering disebabkan oleh S. aureus, GAS.

40

41

Pemeriksaan Laboratorium8 Mikroskopi : Pemeriksaan gram pada eksudat, pus, cairan bula, cairan aspirasi dapat menunjukkan adanya bakteri. GAS : kokus gram positif; S.aureus : kelompok kokus gram positif, Clostridia : batang gram negatif dan beberapa neutrofil. Biopsi lesi kulit yang dilihat pada mikroskop dengan penambahan potassium hidroksida menunjukan adanya sel ragi, apabila disebabkan oleh jamur seperti Candida, Cryptococcus, dan Mucor. Kultur : pada kultur cairan aspirasi atau biopsy daerah yang inflamasi akan mengidentifikasi patogen pada 20% kasus. Sedangkan pada kultur darah, hanya dapat mengidentifikasi kurang dari 2-4% kasus. Hematologi : Leukosit dan laju endap darah dapat meningkat. Radiografi : CT Scan, MRI dan USG dapat mendeteksi abses, adanya udara pada jaringan, adanya osteomyelitis. Terapi8,10 Profilaksis: pada tinea pedis : cuci dengan sabun yang mengandung benzoyl peroksida tiap hari atau krim topikal antifungal atau gel alkohol. Untuk Vibrio sp. Pada pasien diabetes, alkoholik, dan penderita sirosis : menghindari makan makanan yang tidak matang. Riwayat selulitis : penggunaan kaos kaki, antiseptik kulit, anti microbial profilaksis ( penicillin G, dicloxacilin, atau eritromisin, 500 mg/hari). Suportif : istirahat, imobilisasi, elevasi (tungkai bawah dan kaki yang diserang ditinggikan, tingginya sedikit lebih tinggi dari pada letak kor), lingkungan yang panas dan lembab, obat analgesia, jika terdapat edema, diberikan diuretika. Kompres : Kompres terbuka dengan larutan antiseptik atau normal saline steril dingin untuk membersihkan eksudat dan jaringan nekrosis. Terapi pembedahan : drainase abses, debridement jaringan nekrosis. Antibiotik :
Varlable Bacterial Spp. to Consider H. influenzae Aerobic gramnegative Standard Antimicrobial Therapy Alternative Antlmlcroblal Agent

Buccal cellulitis Limb-threatening diabetic foot ulcer

Ceftriaxone (12 g/d IV) Ampicillin-sulbactam (3 g IV q6 h)

Meropenem or imipenem-cilastatin Meropenem or imipenem-cilastatin clindamycin + a broad-spectrum

42

bacilli

fluoroquinolone (ciprofloxacin or levofloxacin); metronidazole + fluoroquinolone or ceftriaxone Amoxicillin-clavulanate (500 mg PO q8 h) Amoxicillin-clavulanate (500 mg PO q8 h) Doxycycline (200 mg IV initially, followed by 100200 mg/d IV in divided doses. Give along with antimicrobial agents for common pathogens) Ciprofloxacin (400 mg IV q12 h) or ceftazidime + sgentamycin Penicillin + a cephalosporin

Human bites

Oral anaerobes

Dog and cat bites

P. multocida etc

Moxifloxacin + clindamycin

Exposure to salt water at site of abrasion or laceration

V. vulnificus

Cefotaxime; ciprofloxacin

Exposure to fresh water at site of abrasion or laceration or after therapeutic use of leeches Working as butcher, fish or clam handler, veterinarian, housewife

Aeromonas spp.

Meropenem or simipenem-cilastatin

E. rhusiopathiae

Amoxicillin (500 mg PO q8 h for mild skin infections; penicillin G (12 million20 million U IV daily) for bacteremic infections or endocarditis

Ciprofloxacin or cefotaxime or imipenem-cilastatin

INFEKSI JARINGAN LUNAK PENYEBAB SEPSIS9 Menurut Cunha, infeksi kulit dan jaringan lunak yang dapat menyebabkan sepsis antara lain adalah complicated skin and skin-structure infection, necrotizing fasciitis, dan clostridial myonecrosis.4 Type I necrotizing fasciitis. Infeksi ini disebabkan oleh gabungan antara mikroba fakultatif dan anaerob, yang sering masuk ke dalam jaringan subkutan setelah proses operasi, perforasi usus yang disebabkan oleh neoplasma maupun divertikulitis, trauma, atau penyalahgunaan obat parenteral melalui kulit, dan juga sering terjadi pada pasien imunokompromais dengan diabetes atau malnutrisi. Organisme termasuk streptokokus, enterokokus, streptokokus anaerob, dan stafilokokus, Bacteroide spp., dan Enterobacteriaceae termasuk E. coli. Seringkali organisme penyebab adalah gabungan antara tiga hingga lima spesies. Type I necrotizing fasciitis paling sering terjadi pada ekstrimitas, dinding abdomen, perineum, dan di sekitar luka operasi. Secara klinis, type I necrotizing fasciitis sulit dibedakan dari gangren streptokokus. Walaupun perjalanan penyakit ini lebih

43

lambat, namun apabila infeksi mengenai daerah paha (sekitar otot psoas) atau otot abdomen, perlu diwaspadai bahwa sumbernya adalah dari daerah intestinal (divertikulitis, neoplasma rektosigmoid). Awalnya, area yang terkena dapat terasa nyeri, dan dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya edema, eritema, kalor, dan terdapat nyeri tekan. Dalam beberapa hari, warna kulit akan berubah menjadi keunguan, terbentuk bula, dan gangren kulit. Pada tahap ini, daerah yang terkena tidak lagi terasa nyeri (anestesi), sebagai hasil dari oklusi pembuluh darah kecil dan destruksi nervus superficial di jaringan subkutan. Krepitasi dapat ditemukan, terutama pada pasien dengan diabetes mellitus atau apabila ada bakteri anaerob pembentuk gas seperti Bacteroides spp. Streptococcal gangrene including type II necrotizing fasciitis. Patogen hampir selalu adalah streptokokus grup A, atau grup B pada neonatus. Pasien biasanya imunokompeten, walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa pasien imunokompromais juga dapat terkena. Lokasi predileksinya biasanya pada ekstremitas, dan jarang pada daerah wajah. Pada tahap awal, tanda dan gejala yang timbul antara lain nyeri, eritema dan edema, dengan pembentukan bula yang cepat dan gejala konstitusi seperti demam tinggi. Dua per tiga pasien mengalami bakteremia, dan proses nekrosis jaringan kulit dapat berlangsung sangat cepat dan mengenai struktur jaringan yang lebih dalam seperti tendon sheath dan otot. Dengan terbentuknya bula, diagnosis dapat ditegakan setelah pemeriksaan Gram terhadap cairan aspirasi bula. Terapi dengan penisilin dan klindamisin, serta debridement dan terapi suportif dapat menyelamatkan nyawa, namun prognosis tetap buruk. Anaerobic Myonecrosis (Gas Gangrene). Infeksi ini memiliki progress yang sangat cepat, toxemic, dan dapat berpotensi mematikan. Infeksi ini dapat berkembang sebagai komplikasi dari kerusakan otot, trauma jaringan otot dan jaringan lunak yang kotor, serta komplikasi operasi usus atau kandung empedu. C.perfringens adalah patogen yang paling sering, dan flora normal yang walaupun jarang, dapat menyebabkan pembentukan gas gangren spontan. Periode inkubasi myonekrosis anaerob ini biasanya singkat (antara 12-24 jam), namun dapat tertunda akibat adanya selulitis anaerob. Gejala pertama yang timbul biasanya nyeri lokal yang parah, diikuti dengan dmeam, takikardi, dan hipotensi. Pembentukan gas terjadi pada jaringan subkutan, dan dapat diperparah dengan adanya edema jaringan superficial. Sering terjadi diskolorasi warna kulit menjadi kuning gelap atau kekuningan, dengan pembentukan bleb atau bula yang berisi cairan berwarna coklat 44

gelap. Eksudat serous dapat diperoleh dari luka atau aspirasi bula. Pemeriksaan Gram pada eksudat tersebut memberikan hasil adanya bakteri gram positif berbentuk batang, dan tidak ditemukan sel darah putih mesikpun terjadi leukositosis sistemik. Jaringan kulit disekitarnya dapat mengalami nekrosis atau deskuamasi. Penanganan infeksi ini adalah dengan membuang jaringan nekrosis, antibiotik dan suportif terapi, bahkan amputasi ekstremitas terkadang harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa. Antitoksin sudah tidak tersedia, dan oksigen hiperbarik dapat digunakan pada daerah yang tidak dapat dilakukan debridement. Spontaneous, Nontraumatic Anaerobic Myonecrosis. Gas gangren dapat terbentuk secara spontan tanpa didahului luka eksternal, yang biasanya disebabkan oleh C. septicum dan biasanya berkaitan dengan keganasan hematologi atau keganasan pada kolon terutama daerah sekum. Pembentukan gas gangren oleh C.septicum ini merupakan penyakit yang fulminan dan angka mortalitasnya mencapai 100% dan ditandai dengan onset dan progress yang sangat cepat, pembentukan gas subkutan, myonekrosis, dan septicemia berat. Jaringan kulit disekitarnya menjadi merah kecoklatan dan epidermis terkelupas.

45

DAFTAR PUSTAKA 1. Chen, K., Pohan, H.T. Penatalaksanaan Syok Septik. Dalam: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi ke V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: FK UI; 2010, pp 252-256. 2. Hermawan, A.G. SIRS & SEPSIS Imunologi, Diagnosis, Penatalaksanaan. Surakarta: Sebelas Maret University Press; 2006 3. Daniels, R. (2011) 'Surviving the first hours in sepsis: getting the basics right (an intensivists perspective)', Journals of Antimicrobial Chemotherapy, (), pp. 11-23 [Online]. Available at: http://jac.oxfordjournals.org (Accessed: 29 January 2013). 4. Cunha, B.A. (2008) 'Sepsis and Septic Shock: Selection of Empiric Antimicrobial Therapy', Critical Care Clinics, 24, pp. 313-334 [Online]. Available at: http://criticalcare.theclinics.com (Accessed: 29 January 2013). 5. Acharya, S.P., Pradhan, B., Marhatta, M.N. (2007) 'Application of the Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) score in predicting outcome in ICU patients with SIRS', Kathmandu University Medical Journal, 5(20), pp. 475-483 [Online]. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (Accessed: 29 January 2013). 6. Rivers E et al. (2001) 'Early Goal-Directed Therapy in The Treatment of Severe Sepsis and Septic Shock', The New England Journal of Medicine, 345(19), pp. 13681377 [Online]. Available at: www.nejm.org (Accessed: 21 January 2013). 7. Dellinger R.P., et al. (2008) 'Surviving Sepsis Campaign: International guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2008', Critical Care Medicine, 36(1), pp. 296-327 [Online]. Available at: http://www.escmid.org/ (Accessed: 21 January 2013). 8. Wolff, K., Johnson, R.A. (2009) Fitzpatrick's Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology, 6th edn., Jakarta: Penerbit Salemba Medika. 9. Katz, S. (2003) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine , 6th edn., Volume II, United States: The McGraw-Hill. 10. Djuanda A. Pioderma. Dalam: Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: FK UI; 2010, pp 57-63.

46

LAMPIRAN

47

48

You might also like