You are on page 1of 40

5.

HUBUNGAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI DENGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA Hubungan Pemerintah Provinsi dengan Pemerintahan kabupaten/kota jelas harus diatur agar tidak terjadi tumpang tindih yurisdiksi. Wewenang mengatur dan mengurus berdasarkan azas desentralisasi dan tugas pembantuan harus dititikberatkan pada prinsip subsidiaritas (paling dekat dengan masyarakat). 6. PENGAWASAN DAN PEMBINAAN TERHADAP PEMERINTAHAN DAERAH DAN PERAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT. Kebutuhan untuk membangun pranata yang mampu bersinergi (synergizing institution) dalam kerangka penguatan kapasitas dan optimalisasi penyelenggaraan pemerintah daerah dapat dipahami adanya pengaturan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Akan tetapi harus dicegah penggunaan kekuasaan dan wewenang secara eksesif oleh Gubernur, misalnya dalam hal penjatuhan sanksi administratif oleh Gubernur terhadap bupati/walikota. 7. WAKIL GUBERNUR/WAKIL BUPATI/WAKIL WALIKOTA Perubahan proses penentuan Wakil Gubernur yang dalam RUU Pemerintah Daerah diangkat oleh Presiden, serta Wakil Bupati/Walikota diangkat oleh Menteri dari kalangan PNS yang memenuhi persyaratan, perlu dikaji secara le bih mendalam, mengingat dampaknya yang dapat menimbulkan konflik otoritas dengan Gubernur dan Bupati/Walikota yang dipilih secara langsung. Hal ini diperkuat oleh pasal yang memuat pelantikan dan pengucapan sum pah/janji sebagai wakil kepala daerah, terpisah dari pelantikan dan pengucapan sumpah/janji wakil kepala daerah. Pasal-pasal tersebut meneguhkan kecenderungan resentralisasi yang dapat merusak hubungan-hubungan kewenangan di daerah. 8. PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH RUU Pemerintah Daerah memuat sanksi pemberhentian kepala daerah secara sewenang-wenang sebagaimana tercermin antara lain dalam pasal 49. Kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional sebagaimana ditentukan dalam pasal 48 huruf F, dapat diberhentikan sementara atau diberhentikan sebagai kepala daerah, tanpa ada prosedur klarifikasi atau pembelaan dari dan kepala daerah.
81

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Kepastian hukum lebih tidak terjamin oleh karena apa yang dimaksud dengan program strategis nasional tidak dijelaskan. 9. PENATAAN DAERAH Pengaturan dalam RUU tentang Pembentukan Daerah Otonom yang didahului dengan masa persiapan selama 3 tahun, dan apabila tidak memenuhi syarat statusnya dikembalikan ke daerah induk jelas merupakan konstruksi hukum yang tepat. Persyaratan, kriteria dan mekanisme pembentukan Daerah Otonom Baru, se yogyanya dilengkapi dengan ketentuan lebih jelas dan rinci mengenai kewena ngan pengusulan daerah otonom baru yang pada dasarnya merupakan domain eksekutif, baik pusat maupun daerah. 10. KAWASAN KHUSUS Penetapan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsifungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus untuk kepentingan nasional perlu melibatkan Pemerintahan Daerah. Hal ini harus diatur secara lebih jelas dengan memperhatikan hubungan antar lembaga pengelola kawasan khusus dengan daerah, guna mencegah konflik yang berpotensi terjadi sehingga dapat merugikan kepentingan nasional maupun daerah.

82

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

11. TINDAKAN HUKUM TERHADAP APARATUR DAERAH Penjelasan RUU tentang Pemerintahan Daerah menyatakan dengan tegas menyatakan adalah tidak sepantasnya seorang pejabat pemerintah daerah dihukum karena melaksanakan serta aturan hukum terkait otonomi daerah yang ternyata berbeda dengan aturan hukum sektoral yang belum harmonis dengan aturan hukum otonomi daerah akan tetapi Penjelasan tersebut tidak termuat dalam pasal-pasal, sehingga pada dasarnya RUU Pemerintah Daerah tidak mengatur pasal yang mempunyai fungsi protektif terhadap aparatur pemerintah daerah yang tidak mempunyai fungsi protektif. Seharusnya, dirumuskan pasal sebagaimana aturan yang melandasi inovasi daerah (pasal 269 RUU Pemerintah Daerah) yang menegaskan dalam hal pelaksanan inovasi yang telah menjadi kebijakan Pemerintah Daerah dan inovasi tersebut tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparatur daerah tidak dapat dipidana. 12. DEWAN PERTIMBANGAN OTONOMI DAERAH Susunan keanggotaan dewan pertimbangan otonomi daerah dalam pasal 272 ayat (1) huruf a yang mengatur Wakil Presiden selaku Ketua adalah langkah maju guna optimalisasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Rincian lebih jauh diperlukan guna memberi kejelasan pasal 272 ayat (1) huruf j, mengenai perwakilan kepala daerah sebagai anggota, dengan menentukan wakil dari asosiasi pemerintah daerah provinsi, asosiasi pemerintah daerah kabupaten dan asosiasi pemerintah daerah kota.

POKOK-POKOK PIKIRAN RUU TENTANG DESA

Apkasi menyambut baik pengaturan tentang Desa yang dituangkan dalam perundang-undangan tersendiri yakni UU Tentang Desa, sesuai Ketentuan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkenaan dengan RUU tentang Desa, Apkasi menitikberatkan pada permasalahan, antara lain: 1. PEMBENTUKAN, PENGGABUNGAN, PENGHAPUSAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA RUU tentang Desa mengatur tugas dan wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam pembentukan desa, penggabungan, penghapusan dan perubahan status Desa atas prakarsa masyarakat maupun prakarsa Pemerintah/Pemerintah Daerah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota.

83

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal serta guna menghindari adanya keberatan atau tuntutan politik dalam proses pembentukan,penggabungan, penghapusan dan perubahan status Desa, seharusnya dalam mekanisme pembentukan Desa dimuat peranan DPRD Kabupaten/Kota dalam memberikan masukan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. 2. KEWENANGAN DESA Ketentuan dalam pasal 23-29 mengenai Kewenangan Desa serta pasal-pasal 30 37 tentang Pemerintahan Desa, perlu ditambah dengan tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam melakukan pembinaan dan pengawasan. Di samping itu, juga diperlukan pengaturan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam memberikan sanksi dan penghargaan terhadap Kepala Desa. 3. KEUANGAN DESA Dana alokasi desa paling sedikit 5 (lima) persen dari APBN sebagaimana dimaksud dalam pasal 129 ayat (1) huruf b RUU tentang Desa merupakan langkah maju dalam konteks pembangunan daerah dan percepatan pembangunan desa. Sebagai tambahan diperlukan pasal yang mengatur lebih rinci pertanggung jawaban Kepala Desa sebagai pemegang kekuasaaan pengelolaan keuangan desa. 4. CATATAN TAMBAHAN Dalam kerangka mencapai efektivitas pelaksanaan UU tentang Desa yang akan datang seharusnya dihindari peraturan-peraturan pelaksanaan seperti Peraturan Pemerintah mengenai pengaturan lebih lanjut pasal-pasal tertentu dengan memuat dalam pasal-pasal tersebut aturan yang lebih rinci dan spesifik.

84

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

TRANSFER DAERAH DAN UPAYA MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN DAERAH


PENDAHULUAN Referensi utama dari penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia adalah Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33 tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Kedua UU ini merupakan revisi dari UU 22 tahun 1999 dan UU 25 tahun 1999 yang menandai era baru desentralisasi di Indonesia sejak periode reformasi. UU 32 tahun 2004 saat ini merupakan sumber referensi utama pengaturan desentralisasi politik dan administrasi, sementara UU 33 tahun 2004 adalah sumber pengaturan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal dalam konteks Negara kesatuan adalah penyerahan kewena ngan fiskal dari otoritas Negara kepada daerah otonom. Kewenangan fiskal paling tidak meliputi kewenangan untuk mengelola pendapatan/perpajakan, keleluasaan untuk menentukan anggaran dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki daerah untuk membiayai pelayanan publik yang menjadi tugas daerah.

85

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Desentralisasi fiskal dimaksudkan sebagai salah satu instrumen yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah dan nasional. Melalui mekanisme hubungan keuangan yang lebih baik diharapkan akan tercipta kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga akan berimbas kepada kondisi perekonomian yang lebih baik. Sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat. Dari aspek Pendapatan; diberikannya kewenangan perpajakan kepada daerah dimaksudkan agar partisipasi masyarakat untuk mendanai pelayanan publik lebih tinggi karena masyarakat dapat merasakan langsung manfaat dari pembayaran pajak/retribusi tersebut.
86

Dari segi Belanja; diberikannya kewenangan fiskal kepada sebuah daerah otonom didasarkan kepada prinsip agar alokasi sumber daya lebih efisien dan efektif karena

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

keberadaan Pemerintah Daerah yang lebih dekat ke masyarakat sehingga diasumsikan pengalokasian sumber daya yang dilakukan oleh Pemda akan lebih tepat sasaran dan kemanfaatannya dapat menjawab kebutuhan masyarakat. Hal penting lainnya yang juga harus dipahami oleh semua pihak, bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia adalah sisi pengeluaran yang terutama bersumber dari transfer ke daerah. Dengan desain desentralisasi fiskal ini maka esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi (kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah. KONDISI SAAT INI 1. Sistem Dana Perimbangan Masalah strategis dari desentralisasi fiskal di Indonesia adalah pada sistem transfer antar tingkat pemerintahan. Transfer dari pemerintah pusat prakteknya masih merupakan sumber pembiayaan dominan pada sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia. Sampai saat ini, penerapan sistem transfer di Indonesia masih disertai beberapa permasalahan yaitu : a. Perhitungan DAU tidak transparan sehingga masing-masing daerah tidak mengetahui besaran DAU yang diterimanya mengacu pada sumber-sumber apa saja dan angka yang ditetapkan berasal darimana saja. b. Belum ada hubungan antara transfer dan pengeluaran di daerah yang dikaitkan pada target pencapaian SPM (Standar Pelayanan Minimum). c. Tidak seimbangnya pemberian dana DAU antara Kabupaten dan Kota di mana ada Kota yang mempunyai hanya dua kecamatan tapi DAU yang diperoleh 50% dari DAU Kabupaten yang mempunyai 14 Kecamatan. Ini sangat tidak seimbang untuk percepatan pembangunan di daerah antara Kabupaten dengan Kota karena tanggung jawab daerah Kabupaten jauh lebih banyak daripada Kota seperti panjang jalan, jumlah puskesmas, irigasi, sekolah, dan lain-lain.

87

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

d. Rata-rata Pemerintah Propinsi belanja pegawai hanya 30% dibandingkan dengan belanja publik karena Pemerintah Propinsi tidak membayar gaji guru (karena gaji guru sudah terbagi habis kepada pemerintah kabupaten/kota). Sementara itu, ada 124 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia yang belanja pegawainya di atas 60% (hanya 40% untuk belanja publik). Jumlah yang kecil tersebut tentu tidak akan dapat diandalkan untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah. Sekarang kami sangat berharap supaya keadilan fiskal daerah ini dapat dibuat berimbang antara pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten dan kota. Dengan demikian, percepatan pembangunan di daerah kabupaten untuk peningkatan ke sejahteraan masyarakat dapat terwujud. 2. Administrasi Pusat dan Penganggaran Daerah Desentralisasi fiskal tidak hanya terbatas pada sistem penerimaan untuk pemerintah daerah, yaitu sistem transfer, tetapi juga menyangkut efisiensi dari pengeluaran pemerintah. Efisiensi pada bagian pendapatan tidak akan efektif jika tidak ada disiplin fiskal dari pengeluaran pemerintah dan peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran pusat dan daerah. Secara singkat dapat dikatakan Program pemerataan fiskal dirancang untuk membantu daerah yang rendah pendapatannya dan/atau tinggi biaya penyedia an pelayanannya dengan pengorbanan dari daerah yang tinggi pendapatannya dan/atau rendah biaya pelayanannya. Semakin meningkatnya jumlah dana yang didesentralisasikan akan dapat me ningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta mempercepat pemerataan pembangunan. Namun sasaran dari desentralisasi dana ke daerah tidak terwujud karena terdapat nya beberapa permasalahan dalam akurasi data untuk penentuan besaran alokasi anggaran (transfer daerah). Sebagai komponen terbesar dari belanja untuk daerah, realisasi dana perimba ngan senantiasa menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. JENIS TRANSFER KE DAERAH Jenis transfer ke Daerah adalah 1. Dana Perimbangan, yang terdiri atas : a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum (DAU) c. Dana Alokasi Khusus (DAK)

88

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian a. Dana Otonomi Khusus b. Dana Penyesuaian Pengertian : Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. a. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. b. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuang an antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. c. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. PERMASALAHAN DANA TRANSFER 1. Dana Bagi Hasil Perhitungan dana bagi hasil tidak transparan, dimana daerah penghasil tidak mengetahui berapa sebenarnya sumber yang dihasilkan dari daerahnya sebagai dasar perhitungan dana bagi hasil tersebut. Hal ini berakibat daerah hanya me nerima berapapun alokasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan sulit memproyeksikan dana bagi hasil yang akan diterima pada tahun yang akan datang. 2. DAU a. Alokasi DAU di daerah yang kemampuan fiskal rendah, sebagian besar ter serap untuk belanja pegawai. Karena belanja pegawai dibiayai dari DAU tersebut. Jika di salah satu Pemkab memperoleh DAU sebesar Rp. 520 miliar, sekitar 85 %-nya atau sekitar Rp. 444 miliar digunakan untuk belanja pegawai. b. Perhitungan DAU dan data yang digunakan tidak transparan. c. Formula DAU (kebutuhan fiskal) terdiri dari jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, PDRB, indeks pembangunan manusia, masih menimbulkan ketimpangan.

89

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

3. DAK a. Ketentuan DAK yang mewajibkan daerah untuk menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10 % dari alokasi DAK. Dan apabila daerah tidak dapat menyediakan dana pendamping maka DAK tidak dapat di cairkan. Ketentuan tersebut memberatkan bagi daerah yang kemampuan keuangan daerahnya rendah, karena disamping dana pendamping 10% yang digunakan untuk menambah dana DAK, daerah juga harus menyediakan dana penunjang (operasional) sebesar 3% untuk perencanaan, pengawasan dan koordinasi. Bagi daerah yang APBD rendah, DAK ini akan mengurangi pengalokasian anggaran untuk program lain, karena dana untuk program pembangunan lain itu diambil untuk pendamping dan penunjang DAK ini. Contoh : Pemerintah Kabupaten A pada tahun anggaran 2012 mendapat alokasi DAK sebesar Rp. 47.980.000.000, sehingga harus menyediakan dana pendamping sebesar Rp.4.798.000.000 dan dana penunjang sebesar Rp.1.439.400.000 Seharusnya dana sebesar Rp.6.237.400.000 tersebut, dapat digunakan untuk program pembangunan yang menjadi prioritas daerah. b. Peruntukan penggunaan DAK sudah ditetapkan dari pusat (Kementerian Teknis Terkait), sehingga ada yang tidak sesuai dengan kebutuhan prioritas masingmasing daerah. Hal ini mengakibatkan tidak optimalnya penyerapan DAK di daerah dan tidak efektif pelaksanaan DAK di daerah. Misalnya DAK bidang pendidikan dapat digunakan diantaranya untuk ruang kelas baru, padahal daerah yang tidak perlu lagi membangun ruang kelas baru tetapi memerlukan biaya rehabilitasi kelas sehingga dana DAK tersebut tidak terserap semuanya. c. Ketentuan bahwa DAK hanya digunakan untuk membiayai kegiatan fisik tidak efektif. Karena untuk mencapai program pemerintah juga perlu didukung oleh kegiatan non fisik. Misalnya dalam pelayanan pendidikan, daerah tidak hanya membutuhkan gedung sekolah atau bangku dan meja

90

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

saja, tetapi juga membutuhkan biaya untuk pelatihan bagi guru. Begitu juga halnya dibidang kesehatan, disamping dibutuhkan peralatan kedokteran yang canggih juga diperlukan upaya-upaya peningkatan kemampuan SDM yang akan mengoperasikan peralatan tersebut. d. DAK dianggarkan secara tahunan, padahal berbagai proyek fisik memerlukan waktu penyelesaian lebih dari satu tahun anggaran. DAK yang hanya ditetapkan setiap tahun akan menyebabkan tidak efektifnya pencapaian tujuan DAK. Sebagai contoh, dengan penentuan tahunan, maka program yang ditetapkan daerah bisa terputus, jika tahun berikutnya tidak turun DAK maka program yang sudah berjalan akan terhenti. e. Formula DAK tidak jelas, karena hanya dicantumkan kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis yang ditetapkan oleh kementerian Negara/ lembaga teknis terkait ini tidak dapat dihitung oleh daerah secara pasti. f. Petunjuk teknis DAK keluar setelah APBD ditetapkan, sehingga program dan kegiatan yang dibiayai dari DAK terlambat dilaksanakan di daerah karena harus melakukan perubahan penjabaran APBD terlebih dahulu yang mengakibatkan rendahnya penyerapan DAK tersebut. Seringkali ada berita acara yang sudah ditandatangani oleh Kabupaten/Kota tentang menu/peruntukan DAK (DAK Bidang Kesehatan Tahun 2012), namun tidak diakomodir dalam petunjuk teknis. 4. Dana Insentif Daerah (DID) Tujuan DID adalah untuk mendorong agar daerah berupaya untuk mengelola keuangannya dengan lebih baik yang ditunjukkan dengan perolehan opini BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah dan mendorong agar daerah berupaya untuk selalu menetapkan APBD secara tepat waktu. Permasalahan : a. Pemberian DID berdasarkan pada kriteria utama, kriteria kinerja dan batas minimum kelulusan kinerja, dimana meskipun daerah sudah memenuhi kriteria utama belum tentu dapat DID. b. Kegunaan DID dibatasi untuk bidang pendidikan. Apabila pemberitahuan DID setelah PBD ditetapkan, hal ini akan menyulitkan daerah untuk mengalokasikan dana tersebut karena untuk bidang pendidikan sudah dialokasikan dana pada APBD.

91

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

92

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

5. DPPID (Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah) Permasalahan : a. Keterlambatan penetapan ke daerah (sekitar Juli) sehingga pelaksanaan tidak dapat menyerap 100%. b. Jika dana tidak terserap 100% dikembalikan ke Pusat. PEMECAHAN MASALAH 1. Dana Bagi Hasil Terhadap permasalahan Dana Bagi Hasil tersebut, disarankan perlu adanya transpa ransi perhitungan dana bagi hasil agar daerah dapat ikut serta menghitung dana bagi hasilnya masing-masing. 2. DAU Terhadap permasalahan DAU tersebut, disarankan sebagai berikut : a. Disarankan agar Pemerintah memperbesar alokasi DAU untuk daerah yang sebagian besar DAU terserap untuk belanja pegawai. Ini diperlukan karena kapasitas fiskal daerah rendah, sehingga belanja untuk pembangunan dapat ditingkatkan. b. Untuk meningkatkan kepastian dan transparansi perhitungan, perlu ada kejelasan tentang formula dan data yang digunakan sehingga daerah dapat memperkirakan alokasi DAU nya masing-masing. c. Formula DAU perlu diperbaiki terutama rumus untuk kebutuhan fiskal yang saat ini menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Indeks Pembangunan Manusia. Disarankan agar untuk penetapan DAU juga mempertimbangkan jumlah penduduk miskin yang terdapat di suatu daerah karena apabila jumlah penduduk miskin banyak maka kebutuhan dana untuk penyediaan layanan publik akan semakin besar pula dan PAD di daerah tersebut juga kecil. 3. DAK Berdasarkan permasalahan DAK tersebut diatas, disarankan agar: a. Daerah penerima DAK tidak wajib menyediakan dana pendamping, karena memberatkan bagi daerah, terutama bagi daerah yang APBD nya kecil. Dan jika tetap ada dana pendamping maka dana pendamping tersebut tidak untuk ditambahkan ke dana DAK tetapi untuk penunjang saja (pe rencanaan, pengawasan dan koordinasi) misalnya sebesar 5%.
Pokok-pokok Pikiran Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) tentang Transfer Daerah dan Upaya Mempercepat Pembangunan Daerah. Pada Rapat Dengar Pendapat di Banggar DPR RI, Kamis 7 Juni 2012 OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

93

b. Dalam rangka penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal perlu dipertimbangkan agar peruntukan penggunaan DAK diserahkan ke Daerah sesuai dengan kebutuhan daerah, lebih terbuka dan flexible, sepanjang digunakan untuk DAK bidang yang bersangkutan. Misalnya DAK bidang kesehatan, dapat digunakan oleh daerah untuk mendukung pelaksanaan program dan kegiatan di bidang kesehatan. c. Sebagai upaya untuk mendukung agar tercapai pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) berbagai pelayanan publik di seluruh Indonesia, maka dalam melakukan alokasi DAK kepada suatu daerah pemenuhan SPM perlu menjadi salah satu kriteria utama. d. Petunjuk teknis pelaksanaan DAK diterbitkan sebelum APBD ditetapkan dan perlu sinkronisasi antara kementerian/lembaga terkait. e. Untuk memberikan dampak yang signifikan dan optimal bagi pembangunan di daerah, maka alokasi DAK sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan : 1. Untuk pencapaian tujuan DAK, maka perhitungan alokasi DAK sebaiknya dilakukan untuk beberapa tahun anggaran sekaligus (multi years budgeting), dan dialokasikan tiap tahun dalam APBN. Pertimbangannya adalah bahwa pencapaian tujuan pencapaian SPM sebagai tujuan utama DAK tidak mungkin dapat dicapai hanya dalam satu tahun saja. Untuk mendukung usulan ini, daerah dimungkinkan untuk me ngusulkan DAK sesuai kebutuhan di daerah.

2. Jumlah DAK harus signifikan untuk bisa memberikan dampak terhadap pencapaian tujuan DAK. Oleh karena itu, diusulkan agar terjadi kenaikan signifikan dari jumlah DAK dalam APBN. 3. DAK tidak hanya membiayai kebutuhan fisik tapi juga dapat membiayai kebutuhan non-fisik. Dalam pelayanan pendidikan misalnya, daerah tidak hanya membutuhkan gedung sekolah atau bangku dan meja saja, akan tetapi juga membutuhkan pelatihan guru dan hal lain yang bersifat non fisik. 4. Perlu ada sinkronisasi antara berbagai petunjuk teknis yang berbedabeda yang diterbitkan oleh kementerian sektoral/teknis dan juga Kementerian Dalam Negeri. Bila memungkinkan, beberapa ketentuan tersebut dapat dicantumkan dalam Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai kepastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan DAK di daerah.

94

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

4. DID Berdasarkan permasalahan DID tersebut diatas, disarankan sebagai berikut : a. Untuk mendorong daerah agar mengelola keuangan daerah secara transparan dan akuntabel yang ditunjukan dengan perolehan opini WTP atau WDP dan agar pertumbuhan ekonomi di daerah terlaksana dengan cepat yaitu dengan ditetapkannya APBD tepat waktu, maka disarankan bagi daerah yang sudah memenuhi kriteria utama yaitu memperoleh opini WTP atau WDP dari BPK atas laporan keuangan dan penetapan APBD tepat waktu, agar Pemda tersebut diberikan Dana Insentif Daerah (DID) sebesar alokasi minimum, misalnya 0,5% dari alokasi DID yang ditetapkan dalam APBN. Dan bagi daerah yang memenuhi semua kriteria diberikan DID dalam jumlah yang lebih besar. b. Untuk optimalisasi penggunaan DID di daerah, penggunaannya tidak perlu dibatasi tetapi diserahkan ke daerah dalam rangka menunjang program dan kegiatan prioritas daerah. 5. DPPID Berdasarkan permasalahan DPPID tersebut diatas, disarankan: a. Agar dapat terserap 100%, maka dana DPPID ditetapkan pada awal-awal tahun anggaran. b. Jika sudah diterima daerah tetapi tidak terserap 100% karena gagal tender maka tidak perlu dikembalikan ke Pusat tetapi dilanjutkan pelaksanaannya ke tahun depan seperti pola DAK. KESIMPULAN Dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Daerah, sebaiknya dana transfer ke daerah diberikan secara adil dan tidak menyulitkan daerah dalam pelaksana annya. Untuk mencapai hal tersebut, perlu penyempurnaan regulasi transfer dana ke daerah, diantaranya penyempurnaan petunjuk teknis dengan mengakomodir kebutuhan di daerah dan revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

95

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

PENGURUSAN

PIUTANG NEGARA DAN PIUTANG DAERAH


PENDAHULUAN 1. Pengelolaan keuangan daerah sebagai sub sistem keuangan negara dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sebagai landasan hukum pengelolaan keuangan telah diundangkan pada Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai asas umum pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah sebagai sub sistem. Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur kaidah hukum administrasi keuangan dalam rangka pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan daerah yang ditetapkan oleh APBD 2. Pengelolaan piutang adalah bentuk penatausahaan yang bertujuan untuk pemulihan hak negara berupa penerimaan sebagai salah satu unsur pemenuhan dana pembangunan sesuai dengan pasal 34 ayat (1) Undang- Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan.

96

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

3. Piutang negara dan piutang daerah merupakan hal yang perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah dalam rangka pengelolaan penerimaan negara. Oleh sebab itu, kementerian keuangan mengajukan usulan draf RUU Piutang Negara dan Piutang Daerah mengingat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara belum memuat aturan dasar mengenai tata cara pengelolaan piutang negara dan piutang daerah yang dapat menunjang pencapaian tujuan pengelolaan piutang.

97

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

PANDANGAN Apkasi 1. Apkasi mendukung pembentukan undang-undang pengurusan piutang negara dan piutang daerah guna mencapai optimalisasi hasil pengurusan piutang daerah yang perlu ditempuh dengan cara profesional, efektif, efisien, transparan dan akuntabel, sehingga hak negara/daerah diterima serta terpenuhi dengan memperhatikan hak asasi manusia, asas keadilan, dan kepastian hukum. Cara pengurusan yang lebih efektif dan efisien dimaksud, perlu didasarkan pada undang-undang yang dapat secara utuh menjadi landasan hukum dalam pe ngelolaan dan pengurusan piutang negara atau piutang daerah. 2. Secara umum Apkasi menyepakati untuk kelancaran, efektifitas dan efisiensi tugas pengurusan piutang daerah, kepala daerah berwenang menunjuk pejabat pengurusan piutang untuk melaksanakan kegiatan pengurusan piutang daerah yang dimulai dari penyerahan pengurusan piutang daerah, sampai dengan piutang daerah tersebut lunas/selesai. Oleh karena itu, pejabat pengurusan piutang daerah perlu dilengkapi dengan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya, yaitu penerimaan, penolakan atau pengembalian pengurusan piutang daerah, pencegahan, perpanjangan pencegahan, pencabutan pencegahan, pencabutan pencegahan atau izin berpergian ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dengan melalui koordinasi Menteri Keuangan, penerbitan dan pemberitahuan surat paksa, penyitaan, pemblokiran, paksa badan, penjualan melalui lelang, penebusan barang jaminan, penjualan tidak melalui lelang, ke ringanan penyelesaian utang, sampai dengan penetapan piutang daerah lunas, selesai, sementara belum dapat ditagih, atau telah dihapus secara mutlak. 3. Apkasi juga siap memfasilitasi atau membantu mensosialisasikan ketentuan bahwa bupati memiliki wewenang dan tanggungjawab atas pengelolaan aset dan kewajiban daerah, termasuk tata cara penagihan piutang pada pemerintah daerah.

PENDAPAT DAN SARAN MASUKAN 1. Sehubungan dengan jenis piutang yang dikecualikan karena cara penyelesai an yang diatur dalam undang-undang tersendiri adalah piutang pajak, piutang kepabeanan dan piutang cukai, piutang BUMN, piutang BUMD dan piutangpiutang lain yang belum ditetapkan dalam undang-undang ini. Apkasi memandang perlu adanya penjelasan lebih rinci, khususnya tentang piutang BUMD. 2. Dalam kaitan dengan penyelesaian piutang daerah, penghapusan piutang daerah secara mutlak atau bersyarat dari pembukuan, kecuali piutang daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undan-undang, Apkasi mengusulkan agar pokok-pokok tata cara pengurusan dan penghapusan piutang daerah dapat diatur dalam undang-undang ini.

98

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

3.

Apkasi siap memfasilitasi atau membantu mensosialisasikan adanya kewenangan kepala daerah dalam melakukan pengurusan piutang daerah yang telah diserahkan oleh penyerah piutang daerah, sesuai dengan aturan perundang-undangan.

4. Usul memasukan peran kejaksaan dalam mendampingi pelaksanaan tugas pejabat pengawasan piutang, akan menimbulkan masalah pembagian tugas dan wewenang. Kejaksaan jelas merupakan urusan sistem peradilan pidana yang tidak berkaitan dengan proses pengurusan piutang negara atau daerah, kecuali dalam hal penghilangan kemerdekaan seseorang, yakni penerapan sanksi paksa badan . 5. Penyitaan dan pengangkatan sita sudah seharusnya dengan izin pengadilan guna mewujudkan kepastian hukum. 6. Ruang lingkup wewenang pejabat pengurusan piutang yang luas (18 butir) kewenangan. Untuk setiap aturan tentang kewenangan itu perlu diberikan kete rangan dalam penjelasan pasal. 7. Pengelolaan piutang daerah seharusnya tetap merupakan kewajiban kepala daerah mengingat tanggung jawab adminstratif dan keuangan dari kepala daerah, tidak perlu dialihkan menjadi kewajiban SKPD.

8. Kekuatan eksekutorial surat paksa sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh penetapan ketua pengadilan negeri dan dinilai dapat menjamin kepastian hukum, dengan tetap memberikan kesempatan banding sesuai ketentuan yang berlaku. Penerapan paksa badan sebagai pengekangan kebebasan (penghilangan kemerdekaan) untuk sementara waktu terhadap debitur dan/atau penjamin utang pada satu sisi perlu menimbulkan efek jera, pada sisi lain diperlukan kepastian hukum sesuai dengan KUHAP dan Undang-Undang No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Undang-Undang No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menentukan kewenangan penahanan oleh Polri/Kejaksaan. 9. Apkasi dapat menerima pengurusan piutang BUMN dan BUMD tidak diatur dalam undang-undang ini, oleh karena dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas, BUMN dan BUMD. Dengan demikian, terdapat ketentuan hukum yang lebih dapat mempercepat praktek penyelesaian yang selama ini didasarkan pada UndangUndang No. 49 Prp tahun 1960.

99

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

10. Perlu adanya kejelasan pada RUU PPNPD ini, mengenai penggunaan hasil lelang. Apakah akan dicatat pada penyelesaian piutang negara atau kepada piutang daerah. 11. Ketentuan sanksi pidana bagi debitur/penjamin utang secara umum belum terlihat pada RUU PPNPD ini, terutama untuk memberikan efek jera sehingga debitur atau penjamin benar-benar mematuhi tagihan yang diberikan. 12. Masalah piutang daerah yang selama ini seringkali menghadapi kendala penagihan, antara lain berasal dari piutang pajak, piutang penjualan aset daerah yang tidak terpakai serta kewajiban setor ke kas daerah. Selain itu juga investasi non permanen yang dikeluarkan pemerintah daerah yang sudah jatuh tempo sering menyebabkan piutang sulit ditagih. Misalnya, program-program Pengembangan Ekonomi Rakyat (PER), Dana Penguatan Modal Usaha (DPMU), Layanan Prima Untuk Masyarakat (LAPIM) sampai Program Penggemukan Sapi dan Penggaduhan Hewan Ternak Masyarakat. Mekanisme pengurusan piutang negara dan piutang daerah yang saat ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 dinilai belum efektif, mekanisme tersebut ada pada SKPD/lembaga pelaksana seperti di rumah sakit (piutang jasa layanan), dinas pendapatan (pajak daerah) dan BUMD (Perbankan). 13. Pelaksanaan Undang-Undang PPNPD perlu segera didukung oleh peraturan-peraturan pelaksanaan, baik peraturan pemerintah maupun peraturan Menteri Keuangan serta menteri terkait lain agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru di daerah. 14. Pengalihan piutang negara menjadi piutang daerah, antara lain dari pajak bumi dan bangunan dapat mempengaruhi kewajaran kinerja neraca pemerintah daerah. Hal tersebut diakibatkan: a. Cukup besarnya nilai material PBB yang dialihkan kepada pemerintah daerah; b. Banyaknya tunggakan PBB yang sudah berpindahnya kepemilikan tanah

100

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

dan bangunan sehingga sulit ditagih; c. Tumpang tindihnya SPPT PBB karena tidak sesuai dengan kondisi dan keadaan di lapangan; d. Adanya wajib pajak yang telah melunasi tetapi tercatat sebagai penunggak akibat catatan administrasi yang tidak melampiri Nomor Objek Pajak (NOP), mengakibatkan perbankan tidak melakukan entri data berdasarkan NOP; e. Sulitnya pembuktian masyarakat telah melunasi PBB karena surat tanda setor pajak berada di masyarakat. 15. Pelaksanaan undang-undang ini, perlu segera diefektifkan, mengingat persoalan piutang menjadi salah satu masalah pengelolaan laporan keuangan peme rintah daerah (LKPD) yang kerap ditemui oleh lembaga pemeriksa dalam hal ini BPK. Hal ini menjadi penyebab LKPD selama ini sulit memperoleh penilaian wajar tanpa pengecualian (WTP).

101

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

RANCANGAN
102

UNDANG-UNDANG
APARATUR SIPIL NEGARA (ASN)
OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

PENDAHULUAN Saat ini DPR RI melalui Komisi II sedang membahas Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai pengganti UU No 8 Tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pembahasan tersebut jelas tidak terlepas dari adanya rencana revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang saat inipun sedang dibahas oleh Pansus RUU tentang Pemerintahan Daerah dan RUU tentang Desa DPR RI. Merupakan sebuah keniscayaan bahwa Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) mendukung aparatur sipil negara yang mememiliki profesional103

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

isme dan kompetensi serta memenuhi kualifikasi dalam menduduki jabatannya. Hal ini disebabkan aparatur sipil negara diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan dan tugas pembangunan tertentu. Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/ atau pelayanan administratif yang disediakan pegawai Aparatur Sipil Negara. Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ke tatalaksanaan. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalu pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat. Manajemen Aparatur Sipil Negara perlu diatur secara menyeluruh, dengan menerap kan norma, standar, dan prosedur yang seragam meliputi penetapan kebutuhan dan pengendalian jumlah, pengadaan, jabatan, pola karier, penggajian, tunjangan, kesejahteraan, dan penghargaan, sanksi dan pemberhentian, pensiun, dan perlindungan. Dengan adanya keseragaman, diharapkan akan tercipta penyelenggaraan manajemen Aparatur Sipil Negara yang memenuhi standar kualifikasi yang sama di seluruh Indonesia. PERMASALAHAN Permasalahan muncul ketika di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara, pengangkatan pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Tidak Tetap diangkat oleh Pejabat Karir Teritinggi yang ada di lingkungan pemerintahan. Hal tersebut tertuang di dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap pemerintah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang; ayat 13 yang berbunyi: Pejabat yang Berwenang adalah pejabat karier tertinggi pada instansi dan perwakilan; ayat 14 yang berbunyi: Instansi adalah instansi pusat dan instansi daerah; dan ayat 16 yang berbunyi: Instansi Daerah adalah perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/ kota yang meliputi sekretariat daerah, sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Pasal-pasal tersebut berarti telah menghilangkan kewenangan kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian yang selama ini telah berjalan dengan baik. Hal ini juga berarti bahwa Pejabat Berwenang yang dimaksud dalam pasal 1 ayat 2 di atas ini adalah Sekretaris Daerah dalam skala pemerintah daerah. Alasan yang diajukan oleh pemerintah bila Pejabat yang berwenang dijabat oleh pejabat karir adalah agar jabatan pegawai negeri sipil dapat berkesinambungan, karena yang terjadi selama ini karir PNS daerah tergantung kedekatan dengan pimpi-

104

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

nan daerah. Alasan lain yang disebutkan adalah kepala daerah merupakan jabatan politik dan dikhawatirkan akan mengarahkan PNS menjadi tidak netral atau lebih lebih kenal dengan istilah politisasi birokrasi. TANGGAPAN Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, wewenang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS daerah melekat pada kepala daerah selaku Pejabat Pembinaan Kepegawaian (PPK). Selama itu pula, sistem tersebut telah berjalan dengan baik tanpa ada permasalahan yang cukup berarti. Dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Karena kepala daerah dipilih secara demokratis, yang artinya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu kepala daerah, maka ketika akan mewujudkan visi dan misi dalam RPJMD harus sinergi dengan visi dan misi masing-masing SKPD, yang selanjutnya diregulasi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Dalam melaksanakan Perda maka kepala daerah mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada penyelenggara pemerintah daerah, mulai dari sekretaris daerah hingga seluruh aparatur di tingkat SKPD. Hendaknya harus dipahami bahwa kepala daerah dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala pemerintahan di daerah perlu didukung oleh instrumen birokrasi yang dapat bekerjasama dengan baik agar keseluruhan program yang telah tersusun dalam rencana kegiatan dapat berjalan maksimal dan mencapai sasaran yang ditargetkan untuk percepatan pembangunan. Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat sehingga harus memberikan pertanggungjawaban kepada rakyat atas kinerjanya. Dalam hal ini kepala daerah harus dijamin dengan dukungan kinerja aparatur di daerah. Oleh karena itu, posisi kepala daerah sebagai Pejabat yang berwenang terhadap kepegawain menjadi sangat strategis. Dengan demikian, alasan pemerintah dan DPR RI diatas jelas tidak rasional karena akan terjadi dualisme kepemimpinan dan kewenangan dan dapat dikatakan ANOMALI atau TIDAK KONSISTEN terhadap asas desentralisasi dan semangat demokrasi di daerah. Selain itu, hal ini jelas memperlemah dan memperkecil serta memangkas peran, tugas, kewenangan, dan tanggung jawab Bupati selaku kepala daerah dan pemerintahan, dan mengarah kepada re-sentralisasi. Ketentuan tersebut jelas akan meningkatkan friksi politik antara kepala daerah terpilih dalam Pemilu Kepala Daerah dengan Sekda. Lebih parah lagi, akan semakin
105

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

memperlemah manajemen pemerintahan di daerah yang menitikberatkan otonomi daerah pada kabupaten dan kota sebagai agenda reformasi yang dijamin secara konstitusional dan TAP MPR. Bila hal ini terjadi, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi kebingungan kepatuhan PNS, apakah kepada kepala daerah atau sekda. Sehingga, dapat memunculkan kericuhan manajemen pemerintahan daerah, yang berimbas pada stagnansi pembangunan daerah dan pelayanan publik. Jika dicermati naskah akademik RUU ASN ini, secara analisis akademik dan pragmatis terlalu tendensius, karena landasan yuridis dan landasan sosiologisnya hanya berangkat dari fakta kasus per kasus yang kemudian digeneralisir. Padahal, jika pemerintah ingin memperkuat tatanan pemerintahan di daerah bukanlah harus merubah sistem yang saat ini sudah berjalan dengan baik, tapi bagaimana pemerintah memperkuat dan mengawasi dengan lebih ketat sistem yang sudah ada. Sehingga, banyak kalangan menilai bahwa RUU ASN ini dipaksakan untuk merubah sistem. Seharusnya, politisasi birokrasi yang selalu digembar-gemborkan (secara berlebihan) oleh berbagai pihak tidaklah harus disikapi secara REAKTIF. Hal ini tidak dapat digeneralisasi, karena hanya bersifat kasuistis saja dengan kadar yang berbedabeda. Untuk itu, seharusnya diselesaikan dengan langkah kasuistis juga. Langkah paling bijak dan baik adalah memaksimalkan dan mengatur secara tegas sanksi terhadap daerah bilamana terjadi politisasi birokrasi secara nyata dengan ukuranukuran yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Atas dasar analisis di atas, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) merekomendasikan agar Pejabat yang berwenang terhadap Kepegawaian tetap dijabat oleh Kepala Daerah dan merekomendasikan untuk merevisi pasal 1 ayat 13 yang menyebutkan bahwa Pejabat yang Berwenang adalah pejabat karier tertinggi pada instansi dan perwakilan dan klausul lain yang terkait dengan ayat tersebut tersebut pada Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara. Apkasi juga meminta kepada pemerintah dan DPR RI untuk mempertimbangkan rekomendasi ini dalam setiap pembahasan RUU Aparatur Sipil Negara. Bila pasal 1 ayat 13 tersebut tetap dipertahankan, maka patut dipertimbangkan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konsitusi saat RUU tersebut telah disahkan menjadi Undang-Undang.
106

Perlu dipahami bahwa hal tersebut janganlah dinilai sebagai bentuk untuk mempertahankan kewenangan, tapi semata-mata agar ketentuan tersebut tidak semakin

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

membuka celah persoalan politik yang lebih luas dan berdampak tidak baik bagi pembangunan suasana kondusif di daerah. PENUTUP Demikian Pokok-Pokok Pikiran Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) terkait dengan Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), untuk disampaikan kepada Pemerintah dan DPR RI sebagai bahan pertimbangan dalam pembahasan RUU dimaksud.

107

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

PEMBENTUKAN DAER

108

PERMASALAHAN Secara umum, pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) menghadapi sejumlah permasalahan, yang pernah dikaji antara lain oleh Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah dengan beberapa kesimpulan sebagai berikut

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

AERAH OTONOM BARU


Keputusan untuk memekarkan suatu daerah harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Sangat penting untuk mempersiapkan suatu daerah yang menginginkan pemekaran. Periode persiapan ini perlu disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Dalam periode masa persiapan yang bisa jadi mencapai 10 tahun, maka pemerintah pusat dan daerah induk dapat melakukan fasilitasi dan persiapan hal-hal berikut: pengangkatan dan pengalihan aparatur pemerintahan sesuai fungsi dan kapasitasnya, penyiapan infrastruktur perekonomian dan fasilitas pemerintahan, serta infrastruktur penunjang bagi aparatur pemerintah beserta keluarganya. Setelah seluruh persiapan dan fasilitasi tersebut diberikan dalam waktu yang memadai, maka evaluasi selanjutnya akan menentukan apakah daerah tersebut memang akhirnya layak untuk dimekarkan atau tidak. Selain persiapan dan pemberian fasilitasi, sumber daya yang adapun perlu diaturpembagiannya dengan seksama. Sumber daya tersebut meliputi: sumber daya alam, sumber daya manusia dan infrastruktur penunjang lainnya. Pembagian yang tidak merata atau memiliki kesenjangan yang terlalu besar akan berimplikasi pada tidak adanya perubahan yang signifikan, khususnya di daerah DOB. Oleh karena itu, peran pemerintah pusat dalam pembagian daerah pemekaran perlu dipertegas dalam perundangan yang berlaku. Pada aspek perekonomian daerah DOB, program-program pemerintah sebaiknya diarahkan pada upaya mendukung sektor utama yakni pertanian dalam arti luas, baik ketersediaan infrastuktur penunjang maupun tenaga-tenaga penyuluh di lapangan, dan lain sebagainya. Pengembangan sektor-sektor lainnya diarahkan pada upaya mendukung sektor utama sehingga percepatan di daerah pemekaran dapat terwujud. Di sektor pendidikan, studi yang lebih mendalam diperlukan untuk melihat penurunan angka partisipasi sekolah di daerah baru. Secara nyata diperlukan adanya perubahan pola belanja aparatur dan pembangunan di kabupaten se-

109

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

tempat, sehingga dalam jangka pendek akan tercipta permintaan barang dan jasa yang dapat mendukung terciptanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Pola belanja aparatur juga diarahkan secara langsung pada peningkatan pelayanan publik, baik secara fisik maupun non fisik. Sehingga dalam jangka panjang keuangan pemerintah sendiri akan meningkatkan pendapatan dan kemandirian fiskal. Soal aparatur pemerintah daerah, upaya-upaya harus lebih diarahkan pada peningkatan kualitas sesuai dengan kompetensi aparatur yang diperlukan oleh daerah, mulai dari tahap penerimaan hingga mutasi. Di sam ping itu, diperlukanadanya penataan aparatur pada daerah transisi. Untuk itu secara nasional perlu dibuat semacam grand design penataan aparatur, khususnya aparatur pada level pemerintah daerah. Diperlukan ketegasan dari Pemerintah Pusat dalam hal pemekaran suatu wilayah. Ketegasan juga diperlukan dalam hal evaluasi terhadap wilayah yang saat ini sudah memiliki status otonom. Memang merupakan tugas Pemerintah Pusat untuk menjaga kualitas proses pembangunan, dan bukan hanya menye tujui keinginan daerah. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan pembangunan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Diperlukan suatu evaluasi mendalam yang dapat menempatkan suatu daerah pemekaran, baik DOB maupun induk, dalam kategori daerah pemekaran yang berhasil atau kurang berhasil. Evaluasi ini sangat penting dalam menentukan pola-pola kebijakan pada daerah-daerah yang berbeda, termasuk di dalamnya kemungkinan daerah tersebut akan digabung. Hal ini sesuai amanat dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa suatu daerah dapat digabung dengan daerah lain jika daerah tersebut tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Peran dari evaluasi bisa lebih dari sekedar menggabung daerah. Evaluasi seyogyanya juga menyediakan pedoman bagi daerah untuk mendukung mereka mencapai tujuan pembangunan nasional dan pembangunan daerah. UPTD misalnya seperti BLK saat ini dikelola oleh pemerintah daerah sebagai bentuk perwujudan Otonomi Daerah, dalam perjalanannya UPTD ini cukup memprihatinkan karena pemerintah daerah belum mampu mengelolanya, selain terbatasnya anggaran serta sumber daya manusia yang tidak memadai, UPTD dianggap belum efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

110

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

SARAN APKASI
Apkasi menyetujui Penjelasan RUU tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan beberapa-aspek strategis Penataan Daerah sebagai berikut : Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksud untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pendidikan politik tingkat lokal. Untuk itu maka pembentukan daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan, dan pertimbangan dari aspek sosial politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya daerah otonom. Penataan Daerah mencakup tiga hal yaitu: pertama pembentukan daerah; kedua penggabungan daerah dan ketiga penyesuaian daerah. Pembentukan daerah merupakan pembentukan daerah otonom baru yang wilayahnya dapat berasal dari satu atau lebih daerah otonom. Pembentukan daerah otonom didahului dengan masa persiapan selama 3 (tiga) tahun dengan tujuan untuk penyiapan daerah tersebut menjadi daerah otonom. Namun apabila setelah tiga tahun hasil evaluasi menunjukan daerah persiapan tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi daerah otonom, statusnya dikembalikan ke daerah induknya. Apabila daerah persiapan setelah melalui masa pembinaan selama tiga tahun memenuhi syarat untuk menjadi daerah otonom, maka daerah persiapan tersebut disahkan melalui Undang-Undang menjadi daerah otonom. Pemerintah Pusat untuk kepentingan strategis nasional dapat membentuk daerah otonom baru tanpa melalui proses daerah persiapan. Keberadaan suatu unit pemerintahan di daerah perbatasan mempunyai dampak strategis untuk kepentingan bangsa dan negara menjadi pertimbangan utama dalam konteks pembentukan daerah otonom yang masuk kategori ini. Untuk itu maka persyaratan yang umumnya diberlakukan untuk pembentukan suatu daerah otonom tidak diberlakukan untuk daerah otonom yang dibentuk untuk kepen tingan strategis nasional tersebut. UPTD dianggap kurang efektif dilaksanakan pada tingkatan pemerintah daerah maka perlu dipertimbangkan untuk dikembalikan pengelolaannya kepada Pemerintah Pusat sehingga dapat lebih efektif pelaksanaannya didaerah.

111

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

112

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)


PERMASALAHAN : UMUM
Sejumlah masalah penting yang seringkali mengedepan dalam berbagai pembahasan tentang Dana Alokasi Khusus, antara lain berkisar pada kejelasan kriteria perimbangan baik yang bersifat umum, khusus maupun teknis, kewenangan daerah dalam perencanaan, serta ruang lingkup prioritas nasional yang seringkali tidak sesuai dengan urgensi beberapa program pembangunan daerah yang didasarkan pada penilaian atas kebutuhan daerah. Permasalahan lain yang harus diselesaikan adalah penyempurnaan kesesuaian alokasi dengan kebutuhan teknis, kesesuaian alokasi dengan kebutuhan daerah/kapasitas fiskal, tepat waktu sesuai siklus dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan DAK melalui koordinasi pengelolaan DAK di berbagai tingkatan pemerintahan (salah satunya me lalui Munresbang). Di samping itu, perlu penetapan alokasi dan jumlah alokasi DAK secara jelas dan transparan, dan menggunakan kapasitas fiskal sebagai dasar utama.

113

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

PERMASALAHAN : KHUSUS
1. Ketentuan DAK yang mewajibkan daerah untuk menyediakan dana pendam ping sekurang-kurangnya 10 % dari alokasi DAK. Dan apabila daerah tidak dapat menyediakan dana pendamping maka DAK tidak dapat dicairkan. Ketentuan tersebut memberatkan bagi daerah yang kemampuan keuangan daerah rendah, karena disamping dana pendamping 10% yang digunakan untuk menambah dana DAK, daerah juga harus menyediakan dana penunjang (operasional) sebesar 30% untuk perencanaan, pengawasan dan koordinasi. Bagi daerah yang APBD rendah DAK ini akan mengurangi pengalokasian anggaran untuk program lain, sehingga dana untuk program pembangunan lain diambil untuk pendamping dan penunjang DAK ini. 2. Peruntukan penggunaan DAK sudah ditetapkan dari pusat (Kementerian Teknis Terkait), sehingga ada yang tidak sesuai dengan kebutuhan prioritas masingmasing daerah. Hal ini mengakibatkan tidak optimalnya penyerapan DAK di daerah dan tidak efektif pelaksanaan DAK di daerah. Misalnya DAK bidang pendidikan dapat digunakan diantaranya untuk ruang kelas baru, ada daerah yang tidak perlu lagi membangun ruang kelas baru tetapi memerlukan biaya rehabilitasi kelas sehingga dana DAK tersebut tidak terserap semuanya. 3. Ketentuan bahwa DAK hanya digunakan untuk membiayai kegiatan fisik tidak efektif. Karena untuk mencapai program pemerintah juga perlu didukung oleh kegiatan non fisik. Misalnya dalam pelayanan pendidikan, daerah tidak hanya membutuhkan gedung sekolah atau bangku dan meja saja, tetapi juga membutuhkan biaya untuk pelatihan bagi guru. Dan begitu juga halnya dibidang kesehatan, disamping dibutuhkan peralatan kedokteran yang canggih juga diperlukan kemampuan SDM yang akan mengoperasikan peralatan tersebut. 4. DAK dianggarkan secara tahunan, padahal berbagai proyek fisik memerlukan waktu penyelesaian lebih dari satu tahun anggaran. DAK yang hanya ditetapkan setiap tahun akan menyebabkan tidak efektifnya pencapaian tujuan DAK. Sebagai contoh, dengan penentuan tahunan, maka program yang ditetapkan daerah bisa terputus, jika tahun berikutnya tidak turun DAK bersangkutan ke daerah tersebut. 5. Formula DAK tidak jelas, hanya dicantumkan kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis yang ditetapkan oleh kementerian Negara/ lembaga teknis terkaitt, dan tidak dapat dihitung oleh daerah secara pasti.
114

6. Petunjuk teknis DAK yang keluar setelah APBD ditetapkan, sehingga program dan kegiatan yang dibiayai dari DAK terlambat dilaksanakan di daerah karena harus melakukan perubahan penjabaran APBD terlebih dahulu yang mengakibatkan
OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

rendahnya penyerapan dana DAK tersebut. Dan ada berita acara yang sudah ditandatangani oleh Kabupaten/ Kota tentang menu / peruntukan DAK (DAK Bidang Kesehatan Tahun 2012), namun tidak diakomodir dalam petunjuk teknis.

SARAN APKASI
Secara umum Apkasi mendukung Arah Kebijakan Umum DAK Tahun 2013, yang meliputi : Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah yang memiliki kemampuan ke uangan relatif rendah dalam membiayai pelayanan publik dalam rangka mendorong pencapaian standar pelayanan minimal (SPM), melalui penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat, serta meningkatkan efektifitas belanja daerah; Memantapkan perencanaan DAK dengan mendorong pendekatan berbasis output/outcome, sesuai dengan RPJM; Meningkatkan koordinasi penyusunan Petunjuk Teknis; Meningkatkan akurasi data-data teknis dan menghindari duplikasi kegiatan antar Bidang DAK; Memperhatikan daerah tertinggal di masing-masing bidang DAK; Meningkatkan kinerja dan kualitas pengelolaan DAK; Mendorong Kementerian/Lembaga untuk mengalihkan dana dekonsentrasi/tugas pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran Kementerian/Lembaga yang masih digunakan untuk melaksanakan urusan daerah secara bertahap ke DAK; Meningkatkan koordinasi pengelolaan DAK, sehingga dapat membantu sinkronisasi kegiatan DAK dengan kegiatan yang didanai dari sumber pendanaan lainnya (APBN dan APBD); Menerapkan kebijakan disinsentive kepada daerah yang tidak melaporkan pelaksanaan kegiatan DAK melalui penggunaan kinerja pelaporan sebagai salah satu pertimbangan dalam penyusunan kriteria teknis perhitungan alokasi DAK; Nomenklatur bidang DAK Tahun 2013 sebanyak 19 bidang, yaitu: (1) Pendidikan; (2) Kesehatan; (3) Infrastruktur Jalan; (4) Infrastruktur Irigasi; (5) Infrastruktur Air Minum; (6) Infrastruktur Sanitasi; (7) Prasarana Pemerintahan Daerah; (8) Kelautan dan Perikanan; (9) Pertanian; (10) Lingkungan Hidup; (11) Keluarga Berencana; (12) Kehutanan; (13) Sarana dan Prasarana Perdagangan;
OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

115

(14) Energi Perdesaan; (15) Transportasi Perdesaan; (16) Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal; (17) Sarana Prasarana Kawasan Perbatasan; (18) Perumahan dan Pemukiman; serta (19) Keselamatan Transportasi Darat. Di samping itu Apkasi secara khusus menyarankan: 1. Daerah penerima DAK tidak wajib menyediakan dana pendamping, karena memberatkan bagi daerah, terutama bagi daerah yang APBD nya kecil. Dan jika tetap ada dana pendamping maka dana pendamping tersebut tidak untuk ditambahkan ke dana DAK tetapi untuk penunjang (perencanaan, pengawasan dan koordinasi) sebesar 5%; 2. Dalam rangka penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal agar peruntukan penggunaan DAK diserahkan ke Daerah sesuai dengan kebutuhan daerah, lebih terbuka dan flexible, sepanjang digunakan untuk DAK bidang yang bersangkutan. Misalnya DAK bidang kesehatan, dapat digunakan oleh daerah untuk mendukung pelaksanaan program dan kegiatan di bidang kesehatan; 3. Sebagai upaya untuk mendukung agar tercapai pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM) berbagai pelayanan publik di seluruh Indonesia, maka dalam melakukan alokasi DAK kepada suatu daerah pemenuhan SPM perlu menjadi salah satu kriteria utama dalam alokasi DAK;
116

4. Petunjuk teknis pelaksanaan DAK diterbitkan sebelum APBD ditetapkan, dan

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

perlu sinkronisasi antara kementerian/ lembaga terkait; 5. Untuk memberikan dampak yang signifikan dan optimal bagi pembangunan di daerah, maka alokasi DAK sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan ; a. Untuk pencapaian tujuan DAK, maka perhitungan alokasi DAK sebaiknya dilakukan untuk beberapa tahun anggaran sekaligus (multi years budgeting), dan dialokasikan tiap tahun dalam APBN. Pertimbangannya adalah bahwa pencapaian tujuan pencapaian SPM sebagai tujuan utama DAK tidak mungkin dapat dicapai hanya dalam satu tahun saja. Sehingga terdapat kesinambungan dalam pencapaian program dan kegiatan. Untuk mendukung usulan ini, daerah dimungkinkan untuk mengusulkan DAK sesuai kebutuhan di daerah; b. Jumlah DAK harus signifikan untuk bisa memberikan dampak terhadap pencapaian tujuan DAK. Oleh karena itu, diusulkan agar terjadi kenaikan signifikan dari jumlah DAK dalam APBN; c. DAK tidak hanya membiayai kebutuhan fisik tapi juga dapat membiayai kebutuhan non-fisik. Dalam pelayanan pendidikan misalnya, daerah tidak hanyamembutuhkan gedung sekolah atau bangku dan meja saja, akan tetapi juga membutuhkan pelatihan guru dan hal lain yang bersifat non fisik; d. Perlu ada sinkronisasi antara berbagai petunjuk teknis yang berbeda-beda yang diterbitkan oleh kementerian sektoral/teknis dan juga kementerian dalam negeri. Bila memungkinkan, beberapa ketentuan tersebut dapat dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai kepastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan DAK di daerah. 5. Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan proses pencairannya dipercepat dan Juknisnya agar disesuaikan oleh masing-masing daerah, mengingat setiap daerah berbeda-beda kebutuhan dan besaran penggunaan dana dalam setiap kegiatan/program, untuk itu kwewenangan tersebut diserahkan ke masingmasing daerah untuk mengatur sesuai dengan kebutuhannya; 6. Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Infrastruktur di perbesar untuk daerah yang memiliki wilayah yang cukup luas khususnya untuk percepatan daerah-daerah teringgal/terisolir; 7. Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pertanian diberikan porsi lebih besar bagi daerah yang menjadi penyanggah pangan sesuai dengan kebutuhannya.

117

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

RUU TENTANG KEPALA D

DASAR PEMIKIRAN
1. Penyusunan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah dapat dikaji dalam hubungannya dengan perspektif interpretasi konstitusi. Berdasarkan interpretasi tekstual (litterlijk) pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan dipilih secara demokratis.memang yang dipilih secara demo kratis adalah gubernur, bupati dan walikota, akan tetapi dalam perspektif konstitusi sebagai living constitution harus dikembangkan interpretasi kon-

118

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

NG PEMILIHAN A DAERAH

tekstual yang harus mempertimbangkan dinamika serta komplesitas penyelenggaraan pemerintah daerah. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah dalam satu paket pada dasarnya merupakan realisasi interpretasi kontekstual atas konstitusi dalam kerangka pemberdayaan kepemimpinan di daerah serta kebutuhan birokratik dalam menangani persoalan-persoalan pembangunan daerah.

119

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

2. Interpretasi kontekstual atas pasal konstitusi tersebut di atas juga harus dikembangkan dalam menafsirkan frasa dipilih secara demokratis yang harus sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai kedaulatan rakyat. Pada dasarnya sistem pemilihan langsung kepala daerah adalah realisasi penyelenggaraan demokrasi dan demokratisasi pemerintahan. Dalam praktik demokrasi universal, memang ada dua versi pemilihan kepala eksekutif, yaitu pemilihan langsung dan pemilihan melalui lembaga per-

120

wakilan atau parlemen. UUD 1945 sendiri tidak secara definitif menyebutkan tentang pemilihan kepala daerah bersifat langsung atau tidak langsung, tetapi hanya menekankan sifat demokratisnya. Ini berbeda dengan pemilihan presiden yang memang jelas mengharuskan dipilih oleh rakyat. Dengan demikian terbuka ruang interpretasi dalam penerapannya. Pemilihan Kepala

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

You might also like