You are on page 1of 10

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN LIMBAH INDUSTRI ACARA 2 ANALISIS JAR TEST

Disusun oleh : Nama NIM : Ahmad Sukron : 10/297946/TP/09730

Hari/Tanggal : Senin/15 April 2013 Kelompok Co-Ass : A4 : Retno Dwi A

LABORATORIUM REKA INDUSTRI DAN PENGENDALIAN PRODUK SAMPING JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Judul Praktikum Judul praktikum ini adalah Analisis Jar Test.

B. Tujuan Praktikum Tujuan praktikum ini adalah: 1. Mahasiswa dapat mengetahui metode dan proses koagulasi dan flokulasi. 2. Menentukan pemberian dosis koagulan yang optimum pada sampel limbah cair.

BAB II METODOLOGI PRAKTIKUM A. Alat dan Bahan 1. Alat a. Gelas beker 250 ml 5 buah b. Gelas beker 1000 ml 4 buah c. Pipet tetes 2 buah d. Gelas ukur 100 ml 1 buah e. Gelas ukur 50 ml 1 buah f. Gelas ukur 25 ml 1 buah g. Gelas ukur 10 ml 1 buah h. Stopwatch 2 buah i. Pipet ukur 10 ml 4 buah j. Ball pipet 2 buah 2. Bahan a. Akuades (H2O) b. Natrium Hidroksida (NaOH) 0,1 N c. Asam Klorida (HCl) 0,1 N B. Prosedur Praktikum a. Pengaturan pH sampel sebelum jar test Tawas bekerja optimum ada pH 6-8 d. Tawas (Al2SO4.18H2O) e. Indikator Pnenol Phatalein f. Limbah cair k. Corong kaca 1 buah l. Botol spektro 4 buah m. pH meter 1 buah n. Flokumetik 1 buah o. Spektrofotometer 1 buah p. Serbet 2 buah q. Statif 1 buah r. Buret 1 buah s. Glasfrim 2 buah

100 ml sampel limbah cair dituangkan ke dalam gelas beker 250 ml

pH limbah cair diukur

Jika limbah cair bersifat asam (pH<7), limbah dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai pH 7

Jumlah titran dicatat

Untuk sampel dalam jar test sebanyak 600 ml, jumlah titran x 6

b. Percobaan Jar Test 4 buah gelas beker ukuran 1000 ml disiapkan dan ditempatkan pada alat jar test

Sampel limbah cair dimasukkan ke dalam masing-masing gelas beker sebanyak 600 ml

Alat pencatat waktu atau stop watch disiapkan

Alat jar test dinyalakan, tekan tombol power

Pengatur waktu diputar pada alat jar test pada angka 35 menit

Kecepatan putaran diset pada 100 rpm

Larutan NaOH atau HCl yang dibutuhkan dimasukkan supaya sampel berada pada pH optimum untuk tawas yaitu 6-8 (sesuai percobaan pH)

Koagulan tawas 10, 15, 20, 25 ml dimasukkan ke dalam 4 beker secara bersamaan, hidupkan stopwatch, dan campuran diaduk dengan kecepatan 100 rpm selama 1 menit

Dilanjutkan dengan pengadukan lambat dengan kecepatan 20 rpm selama 15 menit, dan amati pembentukan flok yang terjadi

Alat dihentikan dan biarkan flok terendap selama 25 menit

Cairan yang bening diambil

TSS diukur dengan portable spektrofotometer

Nilai TSS-nya dicatat

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Praktikum NaOH atau HCl (ml) 103,8 103,8 103,8 103,8 Hasil TSS (mg/l) 508 450 472 432 Ambang Batas TSS di DIY (mg/l) 100 100 100 100

No.

Sampel

Tawas (ml)

1 2 3 4

600 ml sampel limbah cair 600 ml sampel limbah cair 600 ml sampel limbah cair 600 ml sampel limbah cair

10 15 20 25

B. Analisis dan Pembahasan Menurut Hanum (2013), Jar Test adalah suatu percobaan yang berfungsi untuk menentukan dosis optimal dari koagulan (biasanya tawas/alum) yang digunakan pada proses pengolahan air. Sedangkan menurut Poland dan Pagano (2013), Jar Test adalah suatu percobaan skala laboratorium untuk menentukan kondisi operasi optimum pada proses pengolahan air dan air limbah. Metode ini dapat menentukan nilai pH, variasi dalam penambahan dosis koagulan atau polimer, kecepatan putar, variasi jenis koagulan atau polimer, pada skala laboratorium untuk memprediksi kebutuhan pengolahan air yang sebenarnya. Metode Jar Test mensimulasikan proses koagulasi dan flokulasi untuk menghilangkan padatan tersuspensi (suspended solid) dan zat-zar organik yang dapat menyebabkan kekeruhan, bau dan rasa. Pada metode Jar Test, terdapat dua tahap proses yaitu koagulasi dan flokulasi. Flokulasi adalah proses dimana terjadi destabilisasi pada suspensi atau larutan. Fungsi koagulasi di sini adalah untuk mengatasi faktor-faktor yang menstabilkan sistem (Bratby, 2006). Pada proses koagulasi, koagulan yang mengandung garam aluminium atau besi ditambahkan ke dalam air sehingga terbentuk kompleks aluminium hidroksida atau besi hidroksida yang bermuatan positif. Partikel bermuatan positif ini akan mengadsorpsi partikel koloid bermuatan negatif seperti tanah liat dan partikel-partikel lain penyebab timbulnya warna dan kekeruhan (Johnson et al, 2009). Sedangkan flokulasi adalah proses dimana partikel-partikel hasil destabilisasi dirangsang untuk melakukan kontak dan bergabung satu sama lain sehingga dihasilkan partikel yang lebih besar (Bratby, 2006). Flokulasi dilakukan dengan pengadukan lambat menggunakan peralatan mekanis seperti pedal, propeler dan turbin. Proses ini memungkinkan terjadinya aglomerasi partikel dengan cara membawa partikel bersama-sama. Hasil terbaik dapat dicapai dengan cara menurunkan kecepatan pengadukan secara gradual selama proses flokulasi berjalan (Cipollina et al, 2009). Reaksi koagulasi dapat berjalan dengan membubuhkan zat pereaksi (koagulan) sesuai dengan zat yang telarut (Kusnaedi, 2004). Koagulan merupakan bahan yang dapat mempercepat terjadinya koagulasi (Alamsyah, 2002). Koagulan berfungsi untuk menetralkan muatan listrik pada partikel-partikel halus sehingga dapat meningkatkan jarak efektif gaya tarik-menarik London-Van Der Waals dan membentuk partikel-partikel yang lebih besar

(Prakoso, 2013). Jenis-jenis koagulan yang digunakan saat ini sangat beragam. Dari seluruh jenis koagulan tersebut memiliki sifat, karakteristik dan cara kerja yang berbeda. Beberapa jenis koagulan yang sering digunakan adalah Lime [CaO atau Ca(OH)2], Alum [Al2(SO4)3.14H2O], Ferric Chloride (FeCl3), Ferro Sulfat (FeSO4.7H2O) dan Polyaluminium Chloride (Sutiyono, 2006). Flokulan adalah bahan yang bekerja dengan cara mengaglomerasi partikel-partikel koloid sehingga terjadi proses sedimentasi yang cepat (Prakoso, 2013). Saat ini, flokulan yang banyak digunakan adalah polyelectrolite. Berdasarkan sifatnya, polyelectrolite ini dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu non-ionik polimer (misalnya polyacrylamide), anionik polimer (misalnya polyacrylic acid) dan kationik polimer (misalnya polyethylene-imine). Dalam beberapa kasus, penggunaan polyelectrolite tanpa disertai dengan penggunaan koagulan dapat bekerja dengan sangat efektif (Siregar, 2005). Dalam memilih koagulan dan flokulan, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Faktor-faktor tersebut antara lain (Sugiharto, 1987): a. Sifat dan kualitas dari air limbah b. Variasi dalam kualitas air limbah yang dapat berupa suhu dan pH c. Kualitas output yang diinginkan setelah proses pengolahan d. Sifat pengolahan setelah proses koagulasi-flokulasi e. Derajat kemurnian dari reagen Pemilihan koagulan dan koagulan pembantu merupakan suatu program lanjutan dari percobaan dan evaluasi yang biasanya menggunakan Jar Test. Pengujian untuk memilih koagulan biasanya dilakukan di laboratorium. Untuk melaksanakan pemilihan koagulan, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap karakteristik air baku yang akan diolah yaitu (Anonim, 2013): 1. Suhu. Suhu rendah berpengaruh terhadap daya koagulasi/flokulasi sehingga untuk mempertahankan hasil yang dapat diterima, koagulan yang dipakai harus lebih banyak. 2. pH. Nilai pH ekstrim, baik tinggi maupun rendah, dapat berpengaruh terhadap koagulasi/flokulasi. Masing-masing koagulan memiliki pH optimum yang berbeda-beda. 3. Alkalinitas. Alum sulfat dan ferri sulfat bereaksi dengan air membentuk senyawa aluminium atau ferri hidroksida yang kemudian akan memulai proses koagulasi. Alkalinitas yang rendah membatasi reaksi ini dan menghasilkan koagulasi yang kurang baik. Pada kasus demikian, mungkin diperlukan penambahan alkali ke dalam air. 4. Kekeruhan. Makin rendah kekeruhan, pembentukkan flok yang baik makin sukar terjadi. Operator harus menambah zat pemberat untuk membuat partikel-partikel menjadi lebih sering bertumbukan. 5. Warna. Warna mengindikasikan senyawa organik, dimana zat organik ini bisa bereaksi dengan koagulan sehingga mengganggu proses koagulasi. Dalam praktikum ini, terdapat beberapa perlakuan yang memiliki fungsi tertentu. Perlakuan-perlakuan tersebut adalah: 1. Pengukuran pH, untuk mengetahui pH limbah sehingga dapat ditentukan bahan apa yang harus ditambahkan ke limbah, apakah NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N. 2. Titrasi yang dilakukan sebelum Jar Test, berfungsi untuk mengetahui volume NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N yang harus ditambahkan pada limbah 3. Penambahan NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N, berfungsi untuk menetralkan limbah agar koagulan dapat bekerja secara optimal

4. Pengadukan cepat, berfungsi untuk menghomogenkan campuran antara limbah dengan NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N 5. Penambahan tawas (koagulan), berfungsi untuk membuat partikel koloid dalam limbah menjadi tidak stabil sehingga partikel-partikel tersebut siap membentuk flok 6. Pengadukan lambat, berfungsi untuk membentuk flok 7. Sedimentasi, berfungsi untuk mengendapkan flok-flok yang terbentuk 8. Pengambilan sampel limbah yang dilakukan secara hati-hati, berfungsi agar flok-flok yang telah mengendap tidak pecah kembali 9. Pengukuran kekeruhan dengan Spektrofotometer, berfungsi untuk mengetahui nilai TSS limbah Berdasarkan hasil praktikum, limbah yang ditambahkan dengan koagulan sebanyak 10 ml, 15 ml, 20 ml dan 25 ml berturut-turut memiliki TSS 628 mg/L, 554 mg/L, 460 mg/L dan 392 mg/L. Sesuai dengan teori yang ada, semakin banyak koagulan yang ditambahkan, maka nilai TSS limbah akan semakin sedikit. Hal ini dikarenakan semakin banyak koagulan yang ditambahkan, maka akan semakin banyak partikel-partikel koloid dalam limbah yang bisa membentuk flok dan mengendap. Dengan demikian, limbah menjadi lebih relatif lebih jernih (memiliki nilai TSS lebih rendah). Kandungan TSS memiliki hubungan yang erat dengan kekeruhan. Keberadaan padatan tersuspensi akan menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam cairan sehingga hubungan antara TSS dan kecerahan akan menunjukkan hubungan yang sebanding (Blom, 1994). Dengan demikian, semakin tinggi TSS dalam suatu limbah, maka tingkat kekeruhan limbah tersebut juga semakin tinggi. Berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 157A/KPTS/1998 tentang baku mutu limbah cair bagi usaha, nilai TSS limbah yang boleh dibuang ke lingkungan maksimal adalah 100 mg/L. Dalam praktikum ini, perbandingan volume koagulan dengan volume limbah adalah 10 : 600, 15 : 600, 20 : 600 dan 25 : 600. Dengan perbandingan sedemikian, tidak ada satupun yang hasilnya memiliki nilai TSS di bawah ambang batas yang diperbolehkan. Dengan demikian, penggunaan koagulan dengan perbandingan tersebut pada proses koagulasi-flokulasi di dalam pengolahan limbah tahu tidak akan menghasilkan limbah yang boleh dibuang ke lingkungan. Karena nilai TSS limbah tahu masih di atas ambang batas yang diperbolehkan (meskipun telah dilakukan proses koagulasi-flokulasi dengan penambahan koagulan dengan perbandingan yang telah disebutkan sebelumnya), maka limbah tahu haruslah diolah terlebih dahulu. Secara kebetulan, tempat produksi tahu milik Pak Joko berdekatan dengan tempat produksi industri-industri tahu lain milik tetangganya. Atau dapat dikatakan, industri-industri tahu tersebut membentuk sebuah kompleks. Dengan keadaan yang sedemikian, pembangunan IPAL komunal cukup sesuai untuk menanggulangi masalah limbah yang ada. Setiap industri tahu nantinya diwajibkan mengalirkan limbah cairnya ke IPAL komunal tersebut. Di sini, limbah diolah secara bersama-sama dan biaya operasinya juga ditanggung bersama oleh semua industri tahu yang terlibat agar tidak memberatkan secara eknomi. Menurut Said dan Wahjono (1999), cara pengolahan limbah tahu yang cukup sederhana, murah dan efektif yaitu dengan kombinasi proses pengolahan biologis anaerob dan aerob. Secara umum, proses pengolahannya dibagi menjadi dua tahap yakni pertama proses penguraian anaerob dan yang ke dua proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter anaerob-aerob. Analisis Jar Test banyak dipakai di industri, seperti misalnya di industri rambut palsu PT. Indokares Sahabat yang terletak di Purbalingga. Sumber limbah cair dari industri rambut

palsu di Purbalingga terutama berasal dari pencucian bahan baku rambut asli maupun sintesis. Hasil dari pengolahan limbah cair ini belum memenuhi standar untuk dibuang ke badan air penerima. Analisis Jar Test digunakan oleh PT. Indokares Sahabat untuk menentukan kinerja koagulan yang digunakan untuk mengendapkan padatan tersuspensi pada limbah yang dihasilkannya. Pertama, sampel air limbah diambil dari IPAL perusahaan tersebut. Uji laboratorium dilakukan secara koagulasi-flokulasi dengan alat Jar Test. Berdasarkan hasil Jar Test dapat ditentukan kondisi optimal koagulan yang dilanjutkan pada proses biologi aerob dengan metode lumpur aktif. Koagulan yang digunakan adalah Poly Aluminium Chloride (PAC) dan Ferro Sulfat dengan konsentrasi 20%. Hasil dari Jar Test menunjukkan bahwa penurunan COD yang paling besar adalah pada dosis PAC 20% sejumlah 0,5 ml (untuk 500 ml air limbah) pada pH 6 dengan persentase penurunan COD sebesar 78,29 % dan penurunan kekeruhan sebesar 95,79 %.

BAB IV KESIMPULAN 1. Koagulasi adalah proses destabilisasi koloid dan partikel-partikel yang tersuspensi didalam air baku karena adanya pencampuran yang merata dengan senyawa kimiatertentu (koagulan) melalui pengadukan cepat. Flokulasi adalah tahap pengadukan lambat yang mengikuti unit pengaduk cepat dan proses ini bertujuan untuk mempercepat laju tumbukan partikel, hal ini menyebabkan aglomerasi dari partikel koloid terdestabilisasi secara elektrolitik kepada ukuran yang terendapkan dan tersaring. 2. Untuk mendapatkan koagulasi yang baik, maka koagulan dengan dosis yang optimal harus dibubuhkan ke dalam air yang akan diolah dan dicampurkan secara merata. Dosis optimal akan bervariasi tergantung pada sifat alamiah air baku serta jenis koagulan yang digunakan. Penentuan dosis optimal dilakukan dengan percobaan laboratorium dengan menggunakan metodeJarTest.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2013. Meninjau Prose Koagulasi dan Flokulasi Dalam Suatu Instalasi Pengolahan Air. Dalam http://smk3madiun.sch.id/2008/11/30/meninjau-proses-koagulasiflokulasi-dalam-suatu-instalasi-pengolahan-air/. Diakses pada tanggal 22 April 2012 pukul 02.55 WIB. Alamsyah, Sujana. 2004. Merakit Sendiri Alat Penjernih Air Untuk Rumah Tangga. Semarang: Esis. Bratby, John. 2006. Coagulation and Flocculation in Water and Wastewater Treatment. IWA Publishing. London. Cipollina, Andrea, Giorgio Micale, Lucio Rizzuti. 2009. Seawater Desalination. Springer. Verlag. Hanum, Farida. 2013. Proses Pengolahan Air Sungai Untuk Keperluan Air Minum. Dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1845/1/kimia-farida.pdf. Diakses tanggal 21 April 2013 pukul 20.27 WIB. Johnson, Michael, Don D. Ratnayaka, Malcom J. Brandt. 2009. Tworts Water Supply. Elsevier Ltd. Burlington. Kusnaedi. 2004. Mengolah Air Kotor Untuk Air Minum. Surabaya: Penebar Swadaya. Poland, Jenny dan Todd Pagano. 2013. Jar Testing. Dalam http://www.webapps.cee.vt.edu/ewr/environmental/teach/wtprimer/jartest/jartest.html. Diakses tanggal 21 April 2013 pukul 20.34 WIB. Prakoso, Pulung Adi. 2013. Pengaruh Koagulan dan Flokulan Terhadap Pengendapan Dalam Thickener Untuk Pemanfaatan Tailing di PT. XYZ Unis Bisnis Pertambangan Emas Bongkor. Dalam http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-pulungadip34125. Diakses pada tanggal 22 April pukul 01.02 WIB. Siregar, Sakti A. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Yogyakarta: Kanisius. Sugiharto. 1987. Dasar Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta : UI-Press. Sutiyono. 2006. Pemanfaatan Bittern Sebagai Koagulan Pada Limbah Cair Industri Kertas. Jurnal Teknik Kimia Vol. 1, No. 1, September 2006.

You might also like