You are on page 1of 19

PENDAHULUAN

Permasalahan pokok yang menjadi objek kajian hukum pidana: 1. Tindak pidana (criminal act); 2. Kesalahan/Pertanggung jawaban pidana (criminal responsibility); trias dalam hukum pidana 3. Pidana; 4. Korban. Permasalahan baru; dalam KUHAP hampir tidak ada pengaturan dan perlindungan terhadap korban, melainkan mengupas tuntas pelaku, bahkan terkesan memanjakan pelaku. a. Hak korban (dalam tindak pidana) dalam memberikan reaksi atas terjadinya tindak pidana sudah diambil negara, dengan ini maka korban tidak mempunyai hak struktural sama sekali dalam sistem peradilan pidana; korban tidak mempunyai hak pembalasan kepada pelaku. b. Studi hukum pidana orientasinya hanya pada tiga permasalahan pokok, yaitu trias dalam hukum pidana yang disebut di atas, sehingga h al ini dalam prakteknya penegak hukum cenderung mengesampingkan kepentingan korban dalam penyelesaian perkara pidana; penjatuhan pidana pada pelaku dianggap retribusi yang adil pada pelaku, padahal dalam realita empiris jaminan dn perlindungan sosial terhadap korban jauh lebih adil dan manusiawi, daripada sekedar penjatuhan pidana terhadap pelaku; c. Studi hukum pidana yang orientasinya hanya pada tiga permasalahan pokok, yaitu trias dalam hukum pidana yang disebut di atas membawa implikasi terabaikannyamasalah korban dalam perspektih hukum pidana, baik secara teoritis maupun secara praktis; d. Secara etis hukum pidana tidak boleh memidana perbuatan yang tidak jelas kerugiannya. Selain itu etika penggunaan hukum pidana mengharuskan adanya perhatian pada korban. Bertolak dari etika yang demikian, maka timbulnya korban merupakan dasar legitimasi untuk dapat digunakannya hukum pidana sebagai (sebagai sarana politik kriminal) e. Dalam negara-negara anglo sexon kajian tentang kejahatan dalam hukum pi dana meliputi juga kajian-kajian tentang korban.

HUKUM PIDANA DAN PENGERTAHUAN PIDANA

Pengertian hukum pidana Istilah hukum pidana merupakan istilah yang banyak pengertiannya, para ahli memberikan batasan sesuai dengan sudut pandang mereka 1. Soedarto Aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana 2. Lemaire norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi yang berupa hukuman, yaitu suatu penderitaan yang bersifat khusus. Belum menjelaskan Hukum Pidana, tapi pengertia n yang diberikan lebih khusus pada Hukum Pidana Materiil. 3. Moeljatno bagaian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar -dasar dan aturan-aturan untuk: a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, mana yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar laranganlarangan itu dapat di kenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. c. Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut Simons Van Hamel Van Hattum Van Kan
konsep

4. 5. 6. 7.

a. b. c.

ketentuan hukum yang mengatur tentang prbuatan-perbuatan yang dilarang (Criminal act); mengatur tentang syarat-syarat dapat dijatuhkan pidana (Criminal responsibility); Prosedur penjatuhan pidana.

Fungsi Hukum Pidana 1. Fungsi Umum: a. mengatur hidup kemasyarakatan atau mengatur tata dalam masyarakat; b. Hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang ada sangkut pautnya dengan masyarakat; c. Hukum hanya dapat mengatur, tidak menjangkau aspek batin. 1. Fungsi Khusus: a. melindungi kepentingan hukum (nyawa, badan, harta, kehormatan, kemerdekaan) b. Sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih kejam dari sanksi-sanksi bidang hukum lainnya. c. Ibarat pedang bermata dua; d. Sebagai alat kontrol sosial, maka fungsi hukum pidana adalah subsider (ultimum remidium) bukan primum remidium.

Fungsi subsider adalah hukum pidana tidak dipakai sepanjang sarana-sarana yang lain di luar hukum pidana masih efektif untuk dipakai sebagai kontrol sosial. Dengan fungsi subsider tersebut, tidak berarti bahwa ketika dalam masyarakat terjadi tindak pidana aparat penegak hukum harus menunggu penyelesaian melalui sarana-sarana hukum lainnya di luar hukum pidana, tapi aparat penegak hukum bisa langsung menerapakan hukum pidana, karena fungsi subsider hukum pidana itu tempatnya pada ranah formulasi/legislasi (pembuatan undang-undang) bukan aplikasi Pembagian Hukum Pidana Secara umum hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua pokok: 1. Hukum Pidana objektif (ius poenale) Seluruh peraturan yang memuat tentang keharusan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman bagi yang melanggarnya. Hukum Pidana objektif dapat dibedakan menjadi: a. Hukum Pidana Materiil: semua aturan yang memuat atau mengatur rumusan tentang: (i) perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum; (ii) siapa yang dapat dihukum; (iii) hukuman apa yang dapat diterapkan. Hukum pidana materiil dapat dibagi menjadi : 1) Hukum pidana umum: hukum pidana yang berlaku bagi semua orang; seperti perkara-perkara hukum yang ditangani oleh peradilan umum. 2) Hukum pidana khusus: hukum pidana yang berlaku bagi orang-orang tertentu, seperti militer; perkara-perkara yang ditangani oleh peradilan meliter. b. Hukum pidana formil: peraturan-peraturan hukum yang menentuka bagaimana cara memelihara dan mempertahankan hukum pidana materiil; bagaimana menerapkan sanksi terhadap yang melanggar ketentuan hukum pidana materiil.

2.

Hukum pidana subjektif (ius puniendi): adalah hak negara untuk menghukum seseorang berdasarkan hukum objektif, seperti: hak negara untuk memberikan hukuman; hak jaksa untuk menuntut pelaku tindak pidana; hak hakim untuk memutuskan suatu perkara.

Selain itu hukum pidana juga di bagi kedalam beberapa bagian dari berbagai sisi: 1. Hukum pidana yang dikodifikasikan dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan a. Hukum pidana yang dikodifikasikan adalah hukum pidana yang disistematisasikan dan dibukukan dalam satu kodifikasi/kitab. Seperti KUHP, KUHP Militer. Syarat kodifikasi hukum: 1) Merupakan pengetahuan hukum tertinggi 2) Kodifikasi itu harus memperoleh dukungan dari masyarakat. b. hukum pidana yang tidak dikodifikasikan adalah hukum pidana yang di luar KUHP; hukum pidana tersebut terdapat dalam berbagai undang-undang dan peraturan lain. Seperti UU Korupsi, UU Narkotika, dll. 2. Hukum pidana umum dan huku pidana lokal a. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang pusat dan berlaku untuk seluruh negara. b. Hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang daerah yang wilayah berlakunya adalah daerah yang bersangkutan. 3. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis a. Hukum pidana tertulis adalah hukum pidana yang dibuat secara formal oleh lembaga yang berwenang.

Hukum pidana tidak tertulis adalah ketentuan-ketentuan tidak tertulis yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang dan yang tidak dilarang serta bagaimana cara mempertahankannya. 4. Hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional a. Hukum pidana nasional adalah hukum pidana yang berkembang dalam kerangka orde peraturan perundang-undangan nasional dan dilaksanakan pada sumber hukum nasional. b. Hukum pidan internasional adalah hukum yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterpakan terhadap kejahatan-kejahatan yang nyata-nyata telah dilakukan bilamana terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya. Sumber hukum Pidana Indonesia 1. Sumber Utama: adalah hukum yang tertulis, yaitu KUHP (induk peraturan hukum pidana positif) dan peraturan-peraturan pidana lain yang tersebar dalam berbagai UU, seperti undang-undang tipikor, undang-undang psikotropika, dan sebagainya. 2. Sumber hukum pidana lain a. Hukum pidana adat Dasar berlakunya living law: 1. UU darurat No. 1 Tahun 1951 Khusunya pasal 5 ayat (3) sub b, dengan catatan dan pembatasan: a. Perbuatan yang menurut hukum dianggap sebagai tindak pidana, tapi tidak ada bandingnya/tidak diatur dalam KUHP maka diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 3 bulan, jika oleh hakim dianggap terlalu ringan maka boleh menambah tapi tidak lebih dari 10 tahun. b. Perbuatan yang menurut hukum dianggap sebagai tindak pidana dan ada bandingnya dalam KUHP maka diancam dengan pasal dalam KUHP yang mirip dengan perbuatan itu Living law perbuatan yang Tidak ada bandingnya (tidak ada yang mirip dialam KUHP 3 bulan penjara 10 tahun penjara Perbuatan yang ada Bandingnaya digunakan pasal yang mirip dangan KUHP

b.

Contoh: pasal 378 KUHP (seorang laki-laki mengambil barang seorang perempuan) Catatan: UU darurat No. 1 Tahun 1951 dicabut oleh UU No. 8 tahun 1985 tapi dalam bidang formil/acaranga. b. Hukum pidana islam Sumber hukum pidana islam: 1) Al Quran 2) As Sunnah 3) Ijma 4) Qiyas

3.

Memorie von Toelichting (memori penjelasan) MvT merupakan penjelasan atas rencana undan-undang pidana yang diserahkan oleh Menteri Kehakiman (Belanda) bersama RUU itu kepada Parlemen Belanda. Oleh karena KUHP kita merupaka copy dari WvS Belanda tahun 1886, maka MvT dan WvS belanda tersebut juga dapat digunakan untuk memperoleh penjelasan dari pasal-pasal yang ada dalam KUHP (Indonesia)

Sejarah Hukum Pidana Indonesia

Code Penal (Hukum Pidana Prancis di zaman Napoleon pada tahun 1811)

a. b.

Setelah Belanda menjajah belanda maka ada dua KUHP 1 untuk golongan Eropa (mulai 1 Januari 1867) 1 untuk golongan Indonesia (mulai 1 Januari 1867)

Sejak 1 Januari 1918 ada unifikasi KUHP dengan nama "Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch

Indie

Setelah Indonesia merdeka dipakai lagi berdasarkan UUD RI 1945 pasal II aturan peralihan, Pasal 192 ketentuan peralihan konstitusi RIS, pasal 142 UUDS 1950.

Berdasarkan UU No 1 Tahun 1946 nama resmi Wetboek van Strafrecht vor Nederlandscg Indie (WvSNI) diubah menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) yang dapat disebut sebagai Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).

ASAS-ASAS BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG PIDANA


Ruang Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu Undang-undang dibatasi oleh waktu karena hukum pada prinsipnya hanya berlaku kedepan; 1. Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Asas yang menjadi dasar berlakunya aturan pidana menurut waktu Dasar menentukan keabsahan adanya tindak pidana; menentukan perbuatan apa yang sah dianggap sebagai tindak pidana Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi : Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Karenanya asas ini dapat pula dinyatakan sebagai asas konstitusional. a. Asas legalitas formil o Prinsip menentukan keabsahan adanya tindak pidana. o Dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. o Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : vom psychologishen zwang (paksaan psikologis) dimana adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar : Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang) Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana) Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada) Adagium ini menganjurkan supaya : Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan; Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan. Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya. o Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas formil: 1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif. 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. o Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut : 1) Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak tertulis). 2) Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex Certa). 3) Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang. 4) Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang ditentukan undangundang. o Analogi dalam hukum pidana Dalam terminologi hukum pidana, para sarjana memberikan batasan tentang analogi yaitu, (a) penerapan suatu ketentuan atas suatu kasus yang tidak termasuk di dalmnya, (b)

memperluasberlakunya suatu peraturan dengan mengabstraksikan menjadi aturan hukum yang menjadi dasr dari perbuatan itu dan kemudian menerapkan aturan yang bersifat umum ini kepada perbuatan konkrit yang tidak diatur dalam undang-undang. 1. Pandangan yang menolak a. Alasan sejarah pembentukan pasal 1 KUHP melarang setiap penerapan analogi. b. Mencegah tindakan sewenang-wenang dari pengadilan atau penguasa. Pandangan yang menerima a. Scholten: tidak ada perbedaan antara analogi dan penafsiran ekstensif b. Ketentuan-ketentuan pidana yang ada demikian sempit. c. Pembentuk UU lupa mengatur perbuatan tertentu.

2.

b.

c.

Asas legalitas materiil Prinsip ini tidak dirumuska secara formal dalam KUHP, tetapi prinsip ini tetap hidup dan dipegang teguh oleh masyarakat. Dasarnya adalah: 1) Pasal 5 (3) sub b UU No 5 Tahun 1951. 2) Pasal 23 (1) Jo 27 (1) UU 14/1970, UU 35/1999, pasal 24 (1) Jo 28 (1) UU 24/2004, pasal 5 (1) Jo 50 (1) UU 48/2009 Asas legalitas dalam Islam o Aturan tertulis (Al Quran, Al Hadist, Al Qonun) o Aturan yang tidak tertulis yaitu yang berupa prinsip pokok disyariatkan.

Ruang Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat (Lex Loci) Karena dibatasi oleh kedaulatan negara Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana nasional menurut tempat terjadinya. Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua) pendapat yaitu : a. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas territorial). b. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah Negara. Pandangan ini disebut menganut asas personal atau

prinsip nasional aktif.

1.

Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya hukum pidana menurut ruang tempat dan berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat : I. Asas Teritorial. II. Asas Personal (nasional aktif). III. Asas Perlindungan (nasional pasif) IV. Asas Universal. Asas Teritorial Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan : Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan

bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia.

Pasal ini dengan tegas menyatakan asas territorial, dan ketentuan ini sudah sewajarnya berlaku bagi Negara yang berdaulat. Asas territorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam wilayah Negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau orang asing. Sedang dalam asas kedua (asas personal atau asas nasional yang aktif) menitik beratkan pada orang yang melakukan perbuatan pidana, tidak mempermasalahkan tempat terjadinya perbuatan pidana. Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan hukum Negara dimana yang bersangkutan berada.

Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan : Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia
melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia. Ketentuan ini memperluas berlakunya pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa perahu (kendaraan air) dan pesawat terbang lalu dianggap bagian wilayah Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana. Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana diatas alat pelayaran Indonesia diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran pengertian lebih luas dari kapal. Kapal merupakan bentuk khusus dari alat pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut bebas dan laut wilayah Negara lain. Mengenai maksud dari wilayah Indonesia adalah mencakup: a. Seluruh kepulauan maupun daratan bekas wilayah Hindia Belanda; b. Seluruh perairan territorial Indonesia (laut dan sungai/danau) serta perairan menurut Zona Ekonomi Eklusif (hasil Konvensi Laut Internasional), yaitu wilayah perairan Indonesia ditambah 200 meter menjorok ke depan dari batas wilayah perairan semula; c. Seluruh bangunan fisik kendaraan air atau pesawat berbendera Indonesia sekalipun sedang berlayar di luar negeri (lihat ketentuan UU No. 4 Tahun 1976)

Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan dan hak-hak Istimewa (Immunity and Previlege) a. Kepala Negara asing dan anggota keluarganya. b. Pejabat-pejabat perwakilan asing dan keluarganya. c. Pejabat-pejabat pemerintahan Negara asing yang berstatus diplomatik yang dalam d. perjalanan melalui Negara-negara lain atau menuju Negara lain. e. Suatu angkatan bersenjata yang terpimpin. f. Pejabat-pejabat badan Internasional. g. Kapal-kapal perang dan pesawat udara militer / ABK diatas kapal maupun di luar kapal.

2.

Asas Personal Asas Personal atau Asas Nasional. Asas ini memuat prinsip, bahwa peraturan pidana Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia. Asas ini termuat dalam pasal 5 KUHP yang menyatakan : 1) Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan: Ke-1 salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan PasalPasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Ke-2 Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia, dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana. 2) Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan. Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat perkataan diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif) karena ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah territorial wilayah Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional. Sedangkan untuk asas personal, harus diberlakukan seluruh perundang-undangan hukum pidana bagi warga Negara yang melakukan kejahatan di luar territorial wilayah Negara. Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar supaya warga Negara asing yang berbuat kejahatan di Negara asing tersebut, dengan jalan menjadi warga Negara Indonesia (naturalisasi). Bagi Jaksa maupun hakim Tindak Pidana yang dilakukan di negara asing tersebut, apakah menurut undang-undang disana merupakan kejahatan atau pelanggaran, tidak menjadi permasalahan, karena mungkin pembagian tindak pidananya berbeda dengan di Indonesia, yang penting adalah bahwa tindak pidana tersebut di Negara asing tempat perbuatan dilakukan diancam dengan pidana, sedangkan menurut KUHP Indonesia merupakan kejahatan, bukan pelanggaran. Ketentuan pasal 6 KUHP : Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa

sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.

Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat (1) butir 2 KUHP adalah untuk melindungi kepentingan nasional timbal balik (mutual legal assistance). Oleh karena itu menurut Moeljatno, sudah sewajarnya pula diadakan imbangan pulu terhadap maksimum pidana yang mungkin dijatuhkan menurut KUHP Negara asing tadi. 3. Asas Perlindungan/nasional pasif Peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik dilakukan oleh warga negara Indonesia atau bukan yang dilakukan di luar Indonesia Perlindungan ini termuat dalam beberapa pasal: a. Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1976) aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia yang melakukan:

Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 111 bis ke-1, 127 dan 131; Ke-2 Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia; Ke-3 Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu; b. Pasal 7 KUHP yang berbunyi Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana seperti termaksud dalam Bab XXVIII Buku Kedua c. Pasal 8 KUHP yang berbunyi Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana seperti termaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX Buku Ketiga; demikian pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan Maksud asas ini adalah: a) Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia; b) Terjaminnya kepercayaan terhadap mata uang, materai-materai dan merk-merk yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia; c) Terjaminnya kepercayaan terhadap surat-surat dan sertifikat hutang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia; d) Terjaminnya para pegawai Indonesia tidak melakukan kejahatan jabatan di luar negeri; e) Terjaminnya keadaan bahwa nahkoda dan atau penimpang-penumpang perahu Indonesia tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran di luar Indonesia.

Ke-1

4.

Asas Universal Disebut asas berlakunya penyelenggaraan hukum dunia. Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional). Ketentuan: a) pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) b) pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan pesawat udara) Tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana yang dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing. Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).

Contoh 1: Sha Wung Ghaling seorang warga negara Hongkong melakukan pemalsuan uang negaranya di laut lepas. Ketika sedang melakukan aksinya dia ditangkap oleh aparat hukum Indonesia yang sedang berpatroli di laut Contoh 2: Mr. A merupakan warga negara Singapura melak ukan kapal berbendera Jepang di laut lepas. Ketika sedang melakukan aksinya polisi air Indonesia sedang melintas dan kemudian menangkap pelaku pembajakan itu Dari kedua contoh kasus di atas maka dapat diadili di Indonesia berdasarkan asas universal.

Catatan: Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui

dalam hukum-hukum internasional (pasal 9 KUHP). Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi : 1. Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka 2. Duta besar Negara asing beserta keluarganya mereka juga mempunyai hak eksteritorial. 3. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal perang adalah teritoir Negara yang mempunyainya 4. Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu. Selain itu gedung diplomatik juga memiliki ekstrateritorial atau kekebalan diplomatik, sehingga hukum nasional tidak bisa menyentuh gedung kedutaan, namun jika timbul tindak pidana yang dilakukan oleh negara penerima, misalkan pencurian dalam gedung kedutaan tersebut maka yang berlaku adalah hukum negara penerima, hal ini berdasarkan ketentuan pasal 22 konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa ekstrateritorial yang dimiliki oleh gedung diplomatik tidak dapat diterapkan terhadap perbuatanperbuatan yang mengancam atau merugikan keamanan dan martabat gedung kedutaan itu sendiri.

TINDAK PIDANA

Batasan pengertian tindak pidana: 1. Pandangan monistis Suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan; mencakup tidak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Para sarjana: D. Simons, J. Bauman, Wiryono Prodjodikoro Unsurnya seperti yang diutarakan Simon: a. Perbuatan manusia (berbuat/tidak); b. Diancam dengan pidana; c. Melawan hukum; satu kesatuan d. Dilakukan dengan kesalahan; e. Oleh yang mampu bertanggung jawab. 2. Pandangan dualistik Memisahkan antara perbuatan pidana dan pertnggungjawaban pidana. Para sarjana: Pompe, Moeljatno Unsurnya seperti Moeljatno: a. Perbuatan manusia; b. Yang memenuhi rumusan perundang-undangan; c. Bersikap melawan hukum. Saat ini Indonesia menganut pandangan monistis tapi dalam RKUHP Indonesia akan mengunakan konsep dualistis, seperti tercantum dalam pasal 11 (1) RKUHP. Subjek Tindak Pidana 1. Manusia a. Rumusan delik dam undang-undang (pidana) lazim dimulai dengan barangsiapa.. b. Jenis sanksi dalam pasal 10 KUHP pada dasarnya hanya dikenakan pada manusia 1) Pidana pokok (natural recht) a) Pidana mati; b) Pidana penjara; c) Pidana kurungan; d) Denda; e) Pidana tutupan. 2) Pidana Tambahan a) Pencabutan hak-hak tertentu; b) Perampasan barang-barang tertentu; c) Pengumuman putusan hakim. 2. Korporasi/badan hukum (recht persoon) Klasifikasi Tindak Pidana 1. Kejahatan dan Pelanggaran a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah : 1. Rechtdelicten Ialah yang perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut kejahatan (mala perse). 2. Wetsdelicten Ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena undangundang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan

b.

pidana. Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quia prohibita). Delik-delik semacam ini disebut pelanggaran. Perbedaan secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undangundang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada pelanggaran, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah pelanggaran itu lebih ringan dari pada kejahatan. Mengenai pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran itu terdapat suara-suara yang menentang. Seminar Hukum Nasional 1963 tersebut di atas juga berpendapat, bahwa penggolongan-penggolongan dalam dua macam delik itu harus ditiadakan. Kejahatan ringan : Dalam KUHP juga terdapat delik yang digolongkan sebagai kejahatankejahatan misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 (1), 315, 407.

2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil) a. Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP). b. Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362. 3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa a. Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan. b. Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (pasal 531 KUHP). c. Delik commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP). 4. Delik dolus (kesengajaan) dan delik culpa (kealpaan) (doleuse en culpose delicten) a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP; ada yang yang tidak disebutkan secara eksplisit, seperti pasal 167. b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP. 5. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten) a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali; delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan, seperti pencurian, pembunuhan. b. Delik berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, seperti pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan), penadahan itu harus terjadi beberapa kali, papabila terjadi hanya 1 kali maka masuk kualifikasi pasal 480 (penadahan biasa)

6. Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten) a. Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP), dalam tindak pidana ini selama kemerdekaannya ini belum dilepas (misalnya masih disekap dikamar), maka selama itu pula tindak pidana itu berlangsung terus. b. Delik selesai (tidak berlangsung terus): tindak pidana yang mempunyai ciri, bahwa keadaan yang terlarang tidak berlangsung terus. Jenis pidana itu akan selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang atau telah timbulnya akibat, seperti pencurian, pembunuhan, dan sebagainya. 7. Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten) a. Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij) misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai : 1) Delik aduan yang absolut: tindak pidana yang mempersyaratkan secara absolut adanya pengaduan untuk penuntutannya, seperti pasal 284 (penzinahan), 310 (pencemaran nama baik), 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan. 2) Delik aduan yang relative: pada dasarnya tindak pidana laporan, tapi karena dilakukan dalam keluarga maka jadi delik aduan, seperti pasal 367 (tindak pidana pencurian dalam keluarga). b. Delik laporan adalah tindak pidana yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya, artinya setiap orang berhak melaporkannya, seperti pembunuhan, pencurian dan sebagainya. Catatan : perlu dibedakan antara aduan den gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata, misal : A menggugat B di muka pengadilan, karena B tidak membayar hutangnya kepada A. Laporan hanya pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa. 8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde delicten) a. Delik pidana sederhana: delik yang tanpa ada unsur pemberatnya. penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP). b. Delik yang ada pemberatannya (dikualifikasi): delik yang bentuk pokok kemudian ditambah , misal: penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanakkanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut geprivelegeerd delict. Penggolongan Tindak Pidana dalam Hukum Islam 1. Hudud: pidana yang telah ditentukan secara jelas dan tegas dalam nash, baik Al Quran maupun As Sunnah. Seperti: a. Zina; b. Qodzaf (menuduh orang lain berzina tanpa bukti); c. Pencurian; d. Perampokan; e. Minum-minuman keras; f. Riddah (keluar dari Islam); g. Pemberontakan. 2. Tazir: tidak ditentukan secara jelas dan tegas dalam nash; penetapannya oleh poenguasa

AJARANTENTANG TEMPAT DAN WAKTU TERJADINYA TINDAK PIDANA


Ajaran Tentang Tempat Terjadinya Tindak Pidana Kepastian mengenai tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti) penting berkaitan dengan halhal: 1. Berkaitan dengan kompetensi relatif pengadilan; untuk menentukan Pengadilan Negeri mana yang berwenang mengadili tindak pidana yang terjadi di suatu tempat tertentu; 2. Berkaitan dengan ruang lingkup berlakunya aturan tindak pidana Indonesia (sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 sampai pasal 9 KUHP; 3. Berkaitan dengan pengecualian seperti yang dimaksud pasal 9 KUHP; 4. Berkaitan dengan suatu syarat, bahwa suatu tindak pidanaitu harus dilakukan di tempat umum, seperti pasal 281 KUHP (tindak pidana melanggar kesusilaan di tempat umum) Ajaran tentang tempat terjadinya tindak pidana dalam delik commissionis: 1. Teori perbuatan materiil Yang harus dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana adalah tempat dimana perbuatan yang dilarang dan diancam pidana dilakukan; teori ini cocok digunakan ketika yang terjadi adalah delik formil (tindak pidana yang sudah dianggap terjadi/selesai dilakukannya tindak pidana) 2. Teori akibat Yang harus dijadikan tempat adalah dimana akibat tindak pidana itu terjadi; teori ini cocok untuk tindak pidana materiil (tindak pidana yang mempersyaratkan terjadinya akibat untuk terjadinya tindak pidana. Ajaran tentang tempat terjadinya tindak pidana dalam delik ommissionis: Tempat pada saat orang seharusnya melakukan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang. 1. Tempat dimana seharusnya perbuatan itu dilakukan menurut undang-undang; 2. Tempat orang yang seharunya melakukan perbuatan itu berada. sebagian besar ahli hukum berpendapat ini

Ajaran Tentang Waktu Terjadinya Tindak Pidana Kepastian mengenai waktu terjadinya tindak pidana (tempus delicti) penting berkaitan dengan halhal: 1. Berkenaan dengan berlakunya pasal 1 ayat (1) dan pasal 1 ayat (2) KUHP; 2. Berkenaan dengansemua tindak pidana diman usia pelaku atau usia korban mempunyai arti penting pada saat suatu tindak pidana itu telah dilakukan oleh pelakunya; 3. Berkenaan dengan ketentuan mengenai kadaluarsnya hak untukmelakukan tuntutan pidana dan hak untuk menjalankan hukuman seperti yang termaksud dalam pasal 78-85 KUHP; 4. Berkenaan dengan ketentuan mengenai pengulanaganmelakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 486-488 KUHP; 5. Berkaitan dengan ketentuan pasal 44 KUHP (apakah pada waktu terjadinya tindak pidana orang yang melakukan tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidak; 6. Berkenaan dengan persyaratan untuk terjadinya pencurian dengan pemberatan (pasal 363 KUHP, yaitu apakah itu dilakukan pada waktu malam atau tidak) Ajaran tentang waktu terjadinya tindak pidana dalam delik commissionis 1. Teori perbuatan materiil Yang harus dianggap sebagai waktu terjadinya tindak pidana adalah waktu dimana perbuatan yang dilarang dan diancam pidana dilakukan.

2.

Teori akibat Yang harus dijadikan waktu adalah pada saat akibat tindak pidana itu terjadi

3.

Teori instrumen Merupakan waktu pada saat instrumen atau alat yang digunakan oleh pelaku tindak pidana itu menimbulkan akibat. Ajaran tentang tempat terjadinya tindak pidana dalam delik ommissionis: Waktu pada saat orang seharusnya melakukan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang.

AJARAN KAUSALITAS

Formil Delik Materiil Dalam tindak pidana Commissionis

Teori ekivalensi

Birkmeyer Teori individualisasi kausalitas Binding Subjektif Teori generalisasi Objektif Dalam tindak pidana commissionis dan ommissionis commissa Didalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil (selanjutnya disebut delik materiil), terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang dilarang dan merupakan unsur yang menentukan (essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia, sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada, paling banyak ada percobaan. Misalnya : Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain dihukum karena pembunuhan. Keadaan yang menentukan di sini adalah terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya si A. Oleh karenanya untuk dapat menuntut seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan matinya seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya A. akibat ini artinya perubahan atas suatu keadaan dimana dapat berupa suatu pembahayaan atau perkosaan terhadap kepentingan hukum. Hubungan sebab akibat (causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasal-pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333 ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355 ayat 2 dan 3 KUHP. Dalam filsafat terdapat peringatan, bahwa kejadian B yang terjadi sesudah kejadian A, belum tentu disebabkan karena kejadian A (post hoc non propter hoc). Kausalitas dalam tindak pidana commissionis 1. Teori sine qua non (equivalensi) von Buri Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Kelemahan: hubungan kausalitas membentang tanpa akhir Contoh: A memukul B, B luka ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan B tabrakan, lalu mati. Pemukulan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A. van Hamel: dalam tindak pidana equivalensi Theori dilengkapai dengan teori kesalahan. Muncul juga kelemahan, yaitu mungkinkah serangkaian peristiwa dicari kesalahannya? Yang belum tentu dia terlibat dalam peristiwa itu. Contoh: kasus penembakan A terhadap B, dalam teori ekivalensi penjual tembak merupakan sebab dari matinya B, begitu juga pembuat tembaknya. Mungkinkah aparat penegak hukum mencari orang yang menjual membuat senapan

2.

Teori individualisasi Pemidsahan syarat dengan sebab, tiap-tiap suatu sebab ada satu syarat yang paling dominan. a. Teori dari Birkmeyer: sebab adalah sebab yang paling kuat menimbulkan akibat b. Teori dari Binding: sebab adalah teori yang paling positif menimbulkan akibat. Sebenarnya kedua teori ini sama, hanya istilahnya yang berbeda, contoh: : A memukul B, B luka ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan B tabrakan, lalu mati. Pemukulan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A. Maka tertabraknya B ditengah jalan menurut Birkmeyer disebut syarat paling kuat, sedangkan menurut Binding disebut syarat paling positif.

3.

Teori generalisasi Teori yang menjadi sebab yang pada umumnya paling layak sebagai timbulnya akibat. a. Teori subjektif dari von Kries: sebab adalah apa yang oleh pelaku diketahui pada umumnya perbuatan itu menimbulkan akibat. b. Teori objektif dari Rumelin: sebab adalah apa yang oleh pandangan masyarakat diketahui pada umumnya perbuatan itu menimbulkan akibat.

Teori kausalitas dalam tindak pidana commissionis dan ommissionis commissa 1. Tidak mungkin orang yang tidak berbuat bisa menimbulkan akibat; 2. Yang disebut sebab adalah perbuatan positif yang dialakukan oleh si pembuat pada saat akibat itu timbul, contoh: seorang ibu membunuh anaknya dengan cara tidak menyusui, menurut teori ini maka yang menjadi sebab adalah perbuatan positif yang dilakukan oleh si ibu pada saat tidak memberi susu, misalnya ia pergi ke toko, teori ini juga disebut teori berbuat lain. Teori ini tidak dapat diterima, karena perginya si ibu itu tidak dapat dianggap ada hubungan kausal dengan akibat itu; 3. Yang disebut sebab adalah perbuatan yang mendahului akibat yang timbul. Contoh seorang penjaga wesel (pintu lintasan/palang pintu kereta api), yang menyebabkan kecelakaan kereta api karena tidak memindahkan wesel. Menurut ajaran ini yang menjadi sebab adalah apa yang dilakukan apa yang dilakukan penjaga wesel sebelumnya, yaitu penerimaan jabatan sebagai penjaga wesel. 4. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan sebagai sebab dari suatu akibat, apabila ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat. (digunakan di Indonesia)

SIFAT MELAWAN HUKUM

Melawan hukum merupakan penilaian objektif terhadap perbuatan, bukan terhadap pelaku (subjektif); menunjuk sifat dilarangnya. Contoh: Terdakwa dinyatakan melawan hukum (x) Perbuatan terdakwa dinyatakan melawan hukum ( ) Ajaran sifat melawan hukum formil Perbuatan dikatakan melawan hukum apabila perbuatan tersebut memenuhi larangan dalam UU; Perbuatan itu diancam piodana dan dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam UU; Suatu perbuatan tidak dianggap melawan hukum apabilaperbuatan tersebut tidak secara eksplisit dirumuskan dalam UU sebagai tindak pidana. AJARAN a. Perbuatanj yang melawan/bertentangan dengan UU; b. Hukum adalah UU; c. Hal-hal yang dapat melawan hukumitu hanya UU. Contoh; eksekutor pidana mati melawan hukum 338 tapi sifat melawanya dihapus oleh UU, yaitu pasal 51 (1) KUHP. Ajaran sifat melawan hukum materiil Sifat melawan hukumnya perbuatan tidak hanya di dasarkan pada UU/ hukum tertulis, tapi juga didasarkan pada asas-asas hukum yang tidak tertulis; melawan hukum berarti melawan /bertentangan dengan UU atau living law. AJARAN 1. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif o Hal-hal atau nilai-nilai yang berada di luar UU hanya diakui sebagai hal-hal yang dapat menghapus (menegatifkan) sifat melawan hukumnya suatu perbuatan yang sudah dirumuskan UU sebagai suatu pidana. o Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat hanya diakui sebagai hal yang menghapus (menegatifkan sifat melawan hukumnya perbuatan. Contoh: pasal 283 KUHP terhapus karena nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (pergeseran nilai) 2. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif o Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat digunakan sebagai sumber perbuatan tindak pidana; suatu perbuatan menurut UU sebagai tindak pidana dan nilai-nilai masyarakat mendukungnya. o Living law diakui sebagai sumber hukum positif. Indonesia menganut ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif dan positif. Filter atau acuan dari living law adalah pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Unsur sifat melawan hukum dalam rumusan tindak pidana: 1. Secara tegas: pasal 362 KUHP (pencurian), Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. 2. Secara tidak tegas: pasal 285 KUHP.

You might also like