You are on page 1of 19

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Bahaya yang ditimbulkan logam berat merupakan isu lingkungan yang sangat menonjol saat ini. Berbagai limbah berbahaya dihasilkan dalam kegiatan manusia, dengan kadar yang beragam masuk ke perairan dan menimbulkan masalah penanganannya. Bentuk limbah padat menimbulkan pengaruh relatif lokal, tetapi apabila bentuk limbah cair atau yang dapat menguap pengaruhnya lebih luas, dan kontaminasinya lebih sukar dicegah. Pergerakan logam serta ketersediaannya (bioavailability) di lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh bentuk dan tipe perikatan logam tersebut. Sedimen yang merupakan tempat akhir senyawa di lingkungan perairan sangat memegang peranan penting dalam menentukan bentuk-bentuk logam di perairan. Menurut Yu, et al. (2010), logam di sedimen bisa berada dalam berbagai bentuk dan perikatan, antara lain, sebagai ion bebas dan berikatan dengan karbonat, logam bentuk ini disebut sebagai logam yang sangat labil sehingga mudah lepas ke perairan serta mudah diserap oleh organisme (bioavailable). Logam juga bisa berikatan dengan oksida Fe/Mn dan disebut sebagai bentuk yang tereduksi (reducible). Perikatan dengan bahan organik serta sulfida juga bisa menghasilkan logam dalam bentuk yang mudah teroksidasi (oxidizable). Sedangkan logam dalam bentuk perikatan yang kuat dengan struktur kristal mineral di sedimen disebut bentuk residual. Keterikatan senyawa logam dengan komponen geokimia sedimen disebut juga spesiasi. Spesiasi suatu senyawa kimia dapat didefenisikan sebagai suatu proses identifikasi dan kuantifikasi berbagai spesies, bentuk dan fase yang terdapat pada suatu media. Kehadiran logam di sedimen, bisa memberikan dampak negatif pada biota bentik dan biota lainnya pada rantai makanan. Akan tetapi total konsentrasi logam yang ada di perairan tidak selalu berkorelasi positif dengan respon yang timbul pada biota. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah: 1. Apakah yang dimaksud dengan Spesiasi Kimia ? 2. Bagaimana Spesiasi unsur dalam lautan ? C. Tujuan Masalah Adapun tujuan masalah dalam makalah ini adalah : 1. Mengetahui pengertian spesiasi kimia 2. Mengetahui spesiasi unsur dalam lautan

BAB II PEMBAHASAN 1. Spesiasi Kimia Spesiasi secara umum merupakan proses pemisahan dengan tekhnik pembagian tahapan proses yang dilakukan untuk memberikan spesifisitas maupun selektifitas agar didapatkan metode yang cukup baik untuk pemisahan logam pada sedimen (Fergusson,1994). Spesiasi kimia menggambarkan komposisi (yaitu, jenis dan konsentrasi senyawa kimia) dari larutan. Pentingnya spesiasi kimia untuk ilmu lingkungan terletak pada kegunaannya sebagai alat untuk menafsirkan sifat chemodynamic dan toksisitas senyawa kimia. Sebagai contoh adalah logam Tembaga (Cu) pada Gambar 1, tembaga bisa eksis dalam berbagai bentuk kimia, seperti

ion (Cu 2 +), bebas hydroxo kompleks (misalnya, CuOH +), khelat kompleks dengan ligan organik, diserap pada partikel.

Karena spesies yang paling beracun adalah ion bebas, kita perlu mengetahui berapa banyak yang ada untuk menilai risiko potensi air yang terkontaminasi. spesiasi kimia tergantung, antara faktor lain, pada komposisi sistem, pH, suhu, kekuatan ionik dan waktu. Diskusi ini terbatas pada sistem diketahui atau diasumsikan dalam kesetimbangan termodinamika, karena QL terbatas pada sistem tersebut. Spesiasi kimia dan pengaruh transportasi air tanah di tanah dan serapan oleh tanaman dan (mikro) organisme: tidak termasuk transportasi koloid, hanya spesies yang terlarut dapat bergerak. Oleh karena itu, kita perlu tahu berapa banyak tembaga diserap (bergerak), dan berapa banyak yang terlarut (mobile). Gambar 1 Tembaga dapat ada dalam berbagai bentuk kimia yang berbeda. Konsentrasi relatif tergantung, antara faktor lain, pada komposisi sistem, pH, suhu, kekuatan ionik dan waktu.

Kimia spesiasi dapat ditentukan secara eksperimental atau diperkirakan dengan komputasi. penentuan Eksperimental bisa sangat sulit: sementara cukup mudah untuk mengukur total konsentrasi tembaga (misalnya, menggunakan HNO3 ekstrak), tugas berat 2

untuk membedakan antara berbagai bentuk tembaga, yaitu spesies yang berbeda (misalnya, Cu 2 +, CuOH +). Dalam prakteknya, perhitungan spesiasi kimia yang digunakan untuk memperkirakan konsentrasi spesies yang sulit atau tidak mungkin untuk diukur. Ini diilustrasikan pada Gambar 2. Dalam rangka perfom perhitungan spesiasi kimia, kita perlu:

eksperimental informasi, seperti o [H +], yaitu pH (pH elektroda) 2+ o konsentrasi total Cu (yakni, HNO 3 ekstrak) 2+ o konsentrasi bebas dari Cu (-sensitif elektroda Cu) o konsentrasi partikel (ditentukan secara gravimetri) o jumlah karbon organik terlarut (DOC) untuk membuat asumsi, misalnya: o sistem ini pada kesetimbangan o konsentrasi ligan organik terlarut dapat diperkirakan dari DOC o pilihan kita spesies yang relevan sesuai konstanta kesetimbangan untuk reaksi yang terjadi dalam sistem, yang dapat ditemukan dalam literatur.

Setelah mengumpulkan semua informasi yang diperlukan, kita siap untuk menghitung spesiasi kimia untuk memperkirakan konsentrasi spesies yang tidak diketahui. Gambar 2 spesiasi kimia perhitungan dilakukan menggunakan program komputer khusus untuk mendapatkan perkiraan konsentrasi yang tidak diketahui. Penghitungan ini didasarkan pada informasi eksperimental dan konstanta kesetimbangan.

Spesiasi sebagai suatu disiplin dalam Kimia Analitik - Definisi International Union for Pure and Applied Chemistry (IUPAC) telah menerbitkan pedoman atau rekomendasi untuk definisi analisis spesiasi: analisis Spesiasi adalah kegiatan analitis mengidentifikasi dan / atau pengukuran jumlah satu atau lebih spesies kimia individu dalam sampel.

Spesies kimia adalah bentuk spesifik dari suatu elemen didefinisikan sebagai untuk, komposisi elektronik atau oksidasi, negara dan / atau kompleks atau struktur molekul isotopik. spesiasi unsur adalah distribusi unsur kimia di antara spesies yang didefinisikan dalam suatu sistem. Dalam hal bahwa tidak mungkin untuk menentukan konsentrasi bahan kimia jenis individu yang berbeda yang jumlah total konsentrasi suatu unsur dalam sebuah matriks yang diberikan, yang berarti tidak mungkin untuk menentukan spesiasi, itu adalah praktik yang berguna untuk melakukan fraksinasi bukan . Fraksinasi adalah proses klasifikasi analit atau sekelompok analit dari suatu sampel tertentu sesuai dengan properti fisik (kelarutan misalnya, ukuran) atau kimia (bonding reaktivitas, misalnya). 2. Speiasi Ion Logam Di Laut Bentuk atau spesiasi logam di perairan alami dapat mengubah sifat-sifatnya kinetik dan termodinamika. Misalnya, Cu(II) dalam bentuk ion bebas merupakan racun bagi fitoplankton, sedangkan tembaga yang dikomplekskan dengan ligan organik tidak beracun. Bentuk logam dalam larutan juga dapat mengubah kelarutannya. Sebagai contoh, Fe(II) larut dalam larutan air, sementara Fe(III) hampir tidak larut. Ligan organik alami berinteraksi dengan Fe(III) dapat meningkatkan kelarutan 20 kali lipat dalam air laut. Model interaksi ion yang dapat digunakan untuk menentukan aktivitas dan spesiasi logam divalen dan trivalen dalam air laut dan elemen alam lainnya akan dibahas. Model ini mampu mempertimbangkan interaksi logam dengan anion utama (Cl-, SO42-, HCO3-, CO32-, Br, F-) dan anion minor (OH-, H2PO4-, HPO42-, PO43-, HS-) sebagai fungsi suhu (0 sampai 50 oC ), kekuatan ion [0 sampai 6 m (m ~ mol.kg-1)] dan pH (1 sampai 13). Baru-baru ini, telah ditunjukkan bahwa logam divalen banyak dikomplekskan dengan ligan organik. Meskipun komposisi dari ligan tidak diketahui, sejumlah peneliti telah menggunakan voltametri untuk menentukan konsentrasi ligan [Ln] dan stabilitas konstan (KML) untuk pembentukan kompleks: M2+ + Ln MLn+2 KML = [MLn+2]/[M2+][Ln] Pada Gambar 12, menunjukkan bentuk spesiasi Fe(III) dalam air laut sebagai fungsi pH

Gambar 12. Spesiasi ion Fe(III) dalam air laut pada berbagai kondisi pH Berikut ini daftar Spesies utama unsur-unsur dalam air laut:
Element H Probable Main Spescies H2O Element Rb Probable Main Species Rb+

Li Be B C N O F Na Mg Al Si P S Cl K Ca Sc Ti V Cr Mn Fe Co Ni Cu Zn Ga Ge As Se Br

Li+ BeOH+ H3BO3, B(OH)4HCO3N2, NO3H2O F-, MgF+ (S) Na+ Mg2+ Al(OH)4Si(OH)4, MgH3SiO4 (S) HPO42-, MgPO4- (S) SO42-, NaSO4+ ClK+ Ca2+ Sc(OH)30 Ti(OH)40 H2VO4-, HVO42Cr(OH)30, CrO42Mn2+, MnCl+ (S) Fe(OH)2+ Co2+, CoCO30 (?) Ni2+, NiCO30(?) CuCO30, CuOH+ ZnOH+, Zn2+, ZnCO30 Ga(OH)4Ge(OH)40 HAsO42-, H2AsO4SeO32Br--

Sr Y Zr Mo Ag Cd Sn Sb Te I Cs Ba La Ce Pr Nd Other Rare Earths Lu W Re Au Hg TI Pb Bi Ra Th U

Sr2+ Y(OH)3 Zr(OH)n4-n MoO42AgCl2- (S), Ag+ (F) CdCl20 (S), Cd2+ (F), CdOH+ SnO(OH)3Sb(OH)6HTeO3IO3-, ICs+ Ba2+ La3+, LaOH2+ Ce3+, CeOH2+ Pr3+, PrOH2+ Nd3+, NdOH2+ Me3+, MeOH2+ LuOH2+ WO42ReO4AuCl2- (S), Au(OH)30 (F) HgCl42- (S), Hg(OH)20 (F) HgOHCl (F) TICl0 (S), TI- (F) PbCO30, Pb(CO3)22BiO+, Bi(OH)2+ Ra2+ Th(OH)n4-n, Th(CO3)n4-2n (?) UO2(CO3)34-+

*S, Species prevalent in seawater only; F, Species prevalent in fresh water

2. Karbon Siklus biogeokimia adalah proses perubahan suatu materi dari satu bentuk ke bentuk lainnya yang melibatkan makhluk hidup, ai, tanah, udara, dan batuan. Siklus biogeokimia terdiri dari siklus karbon, siklus oksigen, siklus air, siklus nitrogen, siklus belerang, dan siklus fosfor. Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon berpindah-pindah dari biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer Bumi. Karbon tersimpan di reservoir (tempat penampungan) yang ada di biosfer, geosfer, hidrosfer, atau atmosfer Bumi. Terdapat empat reservoir utama karbon, yaitu atmosfer, biosfer teresterial, lautan, dan sedimen. Pergerakan karbon dan pertukaran karbon dari satu reservoir ke reservoir lain terjadi karena prosesproses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam. Laut merupakan kolam aktif karbon terbesar, namun laut mengalami pertukaran karbon yang lambat dengan atmosfer. Sebagian besar karbon yang berada di atmosfer berupa gas karbon dioksida (CO2). Meskipun jumlah gas ini relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan seluruh gas yang ada 5

di atmosfer (hanya sekitar 0.04%), namun gas ini memiliki peran yang sangat penting. Gasgas lain yang mengandung karbon di atmosfer adalah gas metan danklorofluorokarbon atau CFC (merupakan gas buatan). Gas karbon dioksida dan gas metan merupakan gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer sudah sangat tinggi dan menyebabkan pemanasan global. Ion karbonat di dalam air laut bentuknya sebagai ion bikarbonat. Perubahan bikarbonat, menjadi karbonat disebabkan adanya stripping CO2, hal tersebut meningkatkan konsentrasi ion karbonat (CO32-) .Kalsium karbonat sangat sedikit larut dalam air. Kesetimbangan dari larutan ditunjukkan dengan persamaan: CaCO3(solid) Ca2+ + CO32 Dapat diambil hasil kali kelarutan: Ksp= [Ca2+][CO32-] =4.47 x 10-9 pada 250C Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent)(Atkins,P.W.1995). Di dalam larutan yang mengandung garam,dua garam NaCl dan CaCO3 terdapat ion-ion H+, Na+, Ca2+, OH-, HCO3-, dan CO32-. Kesemua ion yang ada akan saling mempengaruhi keseimbangan termodinamis. Keseimbangan ini merupakan fungsi dari temperatur, kekuatan ion, dan pH. Lautan mempengaruhi pertukaran CO2 dari udara ke laut dan mewakili reservoir besar karbon dengan lebih dari 60 kali karbon di atmosfer dan 20 kali karbon di daratan (Solomon et al., 2007). Fase gas CO2 terlarut dalam air laut dan terhidrasi dari asam karbonat (H2CO3) yang terdisosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32-) dan foton (H+). Jumlah total semua spesiasi karbon an organik disebut Karbon anorganik terlarut (DIC: Dissolved Inorganic Carbon). Proporsi dari spesiasi karbon ini berbeda sebagai fungsi dari pH. Pada pH air laut normal ( pH 8.2) rasio HCO3- : CO32-:CO2 adalah 90:9:1. Pengaruh antropogenik akan merubah proses, meningkatkan CO2 atmosfer dan menaikkan temperatur yang mengakibatkan pengaruh langsung terhadap aktivitas biologi dan proses biogeokimia. Konsentras CO2 atmosfer pada saat ini meningkat kurang lebih 0.4% per tahun dan meningkat lebih dari 30% sejak masa pra industrialisasi. Tekanan parsial atmosfer diprediksi pada akhir abad ini lebih dari 71 Pa (700 ppm) (Solomon et al., 2007). Pada saat yang sama pemanasan dihubungkan dengan pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer yang telah diprediksi meningkatkan temperatur permukaan laut antara 1 4oC sampa 100 tahun kemudian (Bopp et al., 2001: Solomon et al., 2007). Siklus karbon lautan dan pertukaran CO2 antara udara dan air laut ditentukan oleh pompa karbon yang terdiri dari pompa fisik dan dua pompa biologis seperti disajikan pada Gambar 2. Konsumsi HCO3 akan meningkatkan perbedaan konsentrasi CO2 antar lautan dan atmosfer yang disebabkan pelepasan bersih CO2 ke atmosfer (Holligan et al., 1993). Fluks CO2 antara permukaan laut dan atmosfer utamanya ditentukan oleh kekuatan kedua pompa (Rost and Riebesell, 2004), diwakili oleh rasio perubahan karbon anorganik menjadi karbon organik (Archer et al., 2000). Peningkatan CO2 atmosfer akan memiliki banyak pengaruh pada sifat biogeokimia lautan. Konsentrasi CO2 lautan meningkat dan merubah sistem karbonat, karena semua parameter sistem karbonat saling tergantung . perubahan konsentrasi CO2 atmosfer akan diikuti perubahan rasio spesiasi karbon dan juga pH.

3. Fosfat
Di perairan unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) 6

dan senyawa organik yang berupa partikulat. Senyawa fosfor membentuk kompleks ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, bersifat tidak larut, dan mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh algae akuatik (Jeffries dan Mill dalam Effendi 2003). Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Karakteristik fosfor sangat berbeda dengan unsur-unsur utama lain yang merupakan penyusun boisfer karena unsur ini tidak terdapat di atmosfer. Pada kerak bumi, keberadaan fosfor relatif sedikit dan mudah mengendap. Fosfor juga merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Materi yang menyusun tubuh organisme berasal dari bumi. Materi yang berupa unsur-unsur terdapat dalam senyawa kimia yang merupakan materi dasar makhluk hidup dan tak hidup. Siklus biogeokimia atau siklus organik anorganik adalah siklus unsur atau senyawa kimia yang mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali lagi ke komponen abiotik. Siklus unsur-unsur tersebut tidak hanya melalui organisme, tetapi juga melibatkan reaksireaksi kimia dalam lingkungan abiotik sehingga disebut siklus biogeokimia. 3.1. Sumber dan Distribusi Fosfor merupakan bahan makanan utama yang digunakan oleh semua organisme untuk pertumbuhan dan sumber energi. Fosfor di dalam air laut, berada dalam bentuk senyawa organik dan anorganik. Dalam bentuk senyawa organik, fosfor dapat berupa gula fosfat dan hasil oksidasinya, nukloeprotein dan fosfo protein. Sedangkan dalam bentuk senyawa anorganik meliputi ortofosfat dan polifosfat. Senyawa anorganik fosfat dalam air laut pada umumnya berada dalam bentuk ion (orto) asam fosfat (H3PO4), dimana 10% sebagai ion fosfat dan 90% dalam bentuk HPO42-. Fosfat merupakan unsur yang penting dalam pembentukan protein dan membantu proses metabolisme sel suatu organisme (Hutagalung et al, 1997). Sumber fosfat diperairan laut pada wilayah pesisir dan paparan benua adalah sungai. Karena sungai membawa hanyutan sampah maupun sumber fosfat daratan lainnya, sehingga sumber fosfat dimuara sungai lebih besar dari sekitarnya. Keberadaan fosfat di dalam air akan terurai menjadi senyawa ionisasi, antara lain dalam bentuk ion H2PO4-, HPO42-, PO43-. Fosfat diabsorpsi oleh fitoplankton dan seterusnya masuk kedalam rantai makanan. Senyawa fosfat dalam perairan berasal daari sumber alami seperti erosi tanah, buangan dari hewan dan pelapukan tumbuhan, dan dari laut sendiri. Peningkatan kadar fosfat dalam air laut, akan menyebabkan terjadinya ledakan populasi (blooming) fitoplankton yang akhirnya dapat menyebabkan kematian ikan secara massal. Batas optimum fosfat untuk pertumbuhan plankton adalah 0,27 5,51 mg/liter (Hutagalung et al, 1997). Fosfat dalam air laut berbentuk ion fosfat. Ion fosfat dibutuhkan pada proses fotosintesis dan proses lainnya dalam tumbuhan (bentuk ATP dan Nukleotid koenzim). Penyerapan dari fosfat dapat berlangsung terus walaupun dalam keadaan gelap. Ortofosfat (H3PO4) adalah bentuk fosfat anorganik yang paling banyak terdapat dalam siklus fosfat. Distribusi bentuk yang beragam dari fosfat di air laut dipengaruhi oleh proses biologi dan fisik. Dipermukaan air, fosfat di angkut oleh fitoplankton sejak proses fotosintesis. Konsentrasi fosfat di atas 0,3 m akan menyebabkan kecepatan pertumbuhan pada banyak spesies fitoplankton. Untuk konsentrasi dibawah 0,3 m ada bagian sel yang cocok menghalangi dan sel fosfat kurang diproduksi. Mungkin hal ini tidak akan terjadi di laut sejak NO3 selalu habis sebelum PO4 jatuh ke tingkat yang kritis. Pada musim panas, permukaan air mendekati 50% seperti organik-P. Di laut dalam kebanyakan P berbentuk inorganik. Di musim dingin hampir semua 7

P adalah inorganik. Variasi di perairan pantai terjadi karena proses upwelling dan kelimpahan fitoplankton. Pencampuran yang terjadi dipermukaan pada musim dingin dapat disebabkan oleh bentuk linear di air dangkal. Setelah musim dingin dan musim panas kelimpahan fosfat akan sangat berkurang. Fosfor berperan dalam transfer energi di dalam sel, misalnya yang terdapat pada ATP (Adenosine Triphospate) dan ADP (Adenosine Diphosphate). Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat adalah bentuk fosfor yang paling sederhana di perairan. Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfat. Setelah masuk kedalam tumbuhan, misalnya fitoplankton, fosfat anorganik mengalami perubahan menjadi organofosfat. Fosfat yang berikatan dengan ferri [Fe2(pO4)3] bersifat tidak larut dan mengendap didasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi valensi tiga (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang bersifat larut dan melepaskan fosfat keperairan, sehingga meningkatkan keberadaan fosfat diperairan (Effendi 2003). 3.2. Spesiasi Kimia Secara rinci perputaran campuran organik P yang ditunjukkan di permukaan air secara garis besar tidak diketahui. Sepenuhnya adalah larutan inorganik fosfor seperti hasil ionisasi pada H3PO4 H3PO4 ..................................... H+ + H2PO4 H3PO4 ..................................... H+ + HPO42H3PO4 ..................................... H+ + PO43Pecahan pada bentuk ini dibatasi oleh pH dan komposisi pada air. Ionisasi konstan untuk tiga tahap penguraian dapat didefinikan sebagai : K1= [H+] [H2PO4] [H3PO4] K2 = [H+] [HPO42-] [H2PO4-] K3 = [H+] [PO33-] [HPO42-] Pehitungan persen pada beragam bentuk fosfat di H2O, NaCl, air laut, seperti sebuah fungsi pada pH. Di laut dalam ion fosfat bentuknya lebih penting (50% pada P= 1000 bar atau 10.000 m ). H2PO4- bebas adalah lebih besar dengan persentase 49%, MgPO4-, 46%, dan 5% CaHPO4. Sementara PO43- 27% seperti MgPO4- dan 73% seperti CaPO4.

Gambar 1. Grafik Spesiasi Fosfat 3.3. Proses pengambilan secara Fisik dan Biologi Ortofosfat dihasilkan dari dekomposisi tanaman atau jaringan yang membusuk, karena hal tersebut merupakan proses yang mudah dan cepat maka terjadi sangat tinggi di kolom perairan sehingga menyediakan fosfat untuk tanaman ( Davis dalam Effendi, 1987). Ketika fitoplankton mati, organik-P dengan cepat berubah menjadi fosfat. Banyak fitoplankton dikonsumsi oleh zooplankton dimana proses ini menghasilkan PO4. Inorganik fosfat terlarut terdiri atas 90% dari total fosfor selama waktu ketika produksi organik, maka dari itulah proses pengambilan rendah. Tipe ini muncul saat musim dingin. Saat musim panas, ketika produktifitas tinggi inorganik fosfat berkurang setengah dari jumlah total. 3.4. Siklus Alami Fosfat Banyak sumber fosfat yang di pakai oleh hewan, tumbuhan, bakteri, ataupun makhluk hidup lain yang hidup di dalam laut. Misalnya saja fosfat yang berasal dari feses hewan (aves). Sisa tulang, batuan, yang bersifat fosfatik, fosfat bebas yang berasal dari proses pelapukan dan erosi, fosfat yang bebas di atmosfer, jaringan tumbuhan dan hewan yang sudah mati. Di dalam siklus fosfor banyak terdapat interaksi antara tumbuhan dan hewan, senyawa organik dan inorganik, dan antara kolom perairan, permukaan, dan substrat. Contohnya beberapa hewan melepaskan sejumlah fosfor padat di dalam kotoran mereka. Dalam perairan laut yang normal, rasio N/P adalah sebesar 15:1. Ratio N/P yang meningkat potensial menimbulkan blooming atau eutrofikasiperairan, dimana terjadi pertumbuhan fitoplankton yang tidak terkendali. Eutrofikasi potensial berdampak negatif terhadap lingkungan, karena berkurangnya oksigen terlarut yang mengakibatkan kematian organisme akuatik lainnya (asphyxiation), selain keracunan karena zat toksin yang diproduksi oleh fitoplankton (genus Dinoflagelata). Fitoplankton mengakumulasi N, P, dan C dalam tubuhnya, masing masing dengan nilai CF (concentration factor) 3 x 104 untuk P, 16(3 x 104) untuk N dan 4 x 103 untuk C (Sanusi 2006). 3.6. Ketersediaan Fosfor Studi tentang sirkulasi fosfor di lingkungan perairan laut merupakan perhatian di berbagai bidang ilmu bidang ilmu. Dengan menggunakan 32P para peneliti menghasilkan kesimpulan 9

umum bahwa bahwa konsentrasi fosfor akan berubah karena fosfor merupakan salah satu zat yang digunakan oleh fitoplankton dalam proses metabolisme. Damanhuri (1997) menyatakan bahwa kadar fosfat akan semakin tinggi dengan menurnya kedalaman. Konsentrasi fosfat relatif konstan pada perairan dalam biasanya terjadi pengendapan sehingga nutrien meningkat seiring dengan waktu karena proses oksidasi f dan bahan organik. Adanya proses run off yang berasal dari daratan akan mensuplai kadar fosfat pada lapisan permukaan, tetapi ini tidak terlalu besar. Penambahan terbesar dari lapisan dalam melalui proses kenaikan masa air. Fosfor muncul pada bagian yang beragam di dalam lingkungan bahari, beberapa muncul dalam bentuk susunan organik seperti protein dan gula, beberapa juga muncul dalam bentuk kalsium organik dan sebagian dalam bentuk inorganik dan partikel besi fosfat, lalu juga dalam bentuk fosfat terlarut, walaupun fosfor muncul dalam konsentrasi dibawah nitrogen, tapi pada kenyataanya fosfor dapat dengan mudah di buat atau tersedia di dalam atau tersedia di dalam zona penetrasi cahaya yang mencegah fosfor menjadi faktor pembatas di dalam produktifitas bahari. Diperairan, bentuk unsur fosfor berubah secara terus menerus akibat proses dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik, dan bentuk anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Semua polifosfat mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat. Perubahan ini bergantung pada suhu yang mendekati titik didih, perubahan polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung cepat. Kecepatan ini meningkat dengan menurunnya nilai pH. Perubahan polifosfat menjadi ortofosfat pada air limbah yang mengandung banyak bakteri lebih cepat dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada air bersih. Keberadaan fosfor diperairan alami biasanya relative kecil, dengan kaar yang lebih sedikit dari pada kadar nitrogen. Fosfor tidak bersifat toksik bagi manusia, hewan, dan ikan. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae di perairan (algae bloom). Algae yang berlimpah ini dapat membentuk lapisan pada permukaan air, yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya mathari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan. Pada saat perairan cukup mengandung fosfor, algae mengakumulasi fosfor di dalam sel melebihi kebutuhannya. Fenomena yang demikian dikenal istilah konsumsi berlebih (luxury consumption). Kelebihan fosfor yang diserap akan dimanfaatkan pada saat perairan mengalami defisiensi fosfor, sehingga algae masih dapat hidup untuk beberapa waktuselama periode kekeurangan pasokan fosfor (Effendi 2003). Berdasarkan kadar fosfat total, perairan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: perairan dengan tingkat kesuburan rendah yang memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0 0.02 mg/liter; perairan dengan tingkat kesuburan sedang memiliki kadar fosfat 0.021 0.05 mg/liter; dan perairan dengan tingkat kesuburan tinggi, memiliki kadar fosfat total 0.051 0.1 mg/liter (Effendi, 2003) Fosfor merupakan bagian protoplasma yang penting, cenderung beredar, senyawa-senyawa organik terurai dan akibatnya menghasilkan fosfat yang kembali tersedia bagi tumbuhtumbuhan. Reservoir yang tersbesar dari fosfor adalah bukan udara, melainkan batu-batuan atau endapan-endapan lain yang telah terbentuk pada abad-abad geologis yang telah lalu. Dan semua itu berangsur-angsur terkikis, melepaskan fosfat kedalam ekosistem-ekosistem, tetapi banyak juga yang lepas kedalam laut, dimana sebagian dari padanya di endapkan dalam sedimen-sedimen dangkal, dan sebagian lagi hilang ke sedimen-sedimen yang lebih dalam. 10

Cara-cara pengendalian fosfor kedaurnya sekarang atau yang ada kurang mencukupi untuk mengganti yang hilang (Odum, 1993). Di beberapa bagian dari dunia sekarang ini tidak terdapat pengangkatan atau pemunculan sedimen yang luas, dan kegiatan burung-burung laut dan ikanpun (dibawa oleh binatang dan manusia kedarat) tidak cukup. Burung-burung laut jelas berperan penting dalam pengambilan fosfor ke dalam daur (bukti endapan Guano di Peru yang terkenal). Pemindahan fosfor dan bahan-bahan lain oleh burung-burung dari laut ke dartan masih terus berlangsung, tetapi tidak dengan laju yang sama. Tampaknya manusia juga berperan dalam proses penghilangan fosfor. Walaupun manusia banyak mengambil ikan laut, Hutchinson menaksir bahwa hanya kurang lebih 60.000 ton fosfor unsur pertahun yang dikembalikan dalam jalan ini, dibandingkan dengan satu atau dua juta ton batuan fosfat yang ditambang dan kebanyakan tercuci serta hilang. Ahli-ahli pertanian memberitahukan, tidak perlu khawatir karena batuan fosfat cadangan masih besar. Justru sekarang, manusia lebih memperhatikan kekacauan dan kemacetan lalu lintas fosfat yang larut dalam jalan-jalan perairan yang di akibatkan dari meningkatnya pengikisan yang tidak dapat di imbangi atau diganti oleh sisitem protoplasma dan sedimentasi (Odum, 1993). Fosfor tidak bergerak secara merata dan lancar dari organisme ke lingkungan dan kembali ke organisme. Umumnya laju pengambilan lebih cepat dari pada laju pelepasan. Tumbuhtumbuhan siap mengambil fosfor dalam keadaan gelap maupun keadaan-keadaan lain apabila mereka tidak dapat mempergunakannya. Selama periode pertumbuhan yang cepat dari produsen-rodusen yang sering kali terjadi dalam musim semi, semua fosfor yang tersedia sudah terikat dalam produsen-produsen dan konsumen-konsumen. Konsentrasi fosfor pada sesuatu saat dapat mempunyai sedikit hubungan dengan produktifitas ekosistem. Tingkat yang rendah dari fosfat yang larut berarti bahwa sistemnya dimiskinkan atau sistemnya secara metabolisme sangat giat, hanya dengan pengukuran laju dari pemasukan keadaan sebenarnya dapat ditentukan (Odum, 1993) 4. Merkuri Sebagai salat Satu zat pencemar, merkuri masuk dilingkungan ekosistem akuatik melalui deposisi atmosferik maupun bersumber dari eksternalisasi limbah industri dan secara biologis maupun kimiawi terkonversi menjadi metilmerkuri. Merkuri terdapat dalam tiga bentuk oksidasi yaitu Hg dalam bentuk logam, Hg+ dalam bentuk senyawaan merkuro dan Hg ++ dalam bentuk senyawaan merkurik (WHO, 2000) . Merkuri adalah unsur pertama yang banyak dilakukan studi spesiasinya dalam lingkungan hidup. Hal ini terkait kasus Teluk Minamata di Jepang dimana unsur ini terdapat dalam bentuk metilmerkuri dan dimetilmerkuri. Kasus peningkatan konsentrasi merkuri di Indonesia dan dampaknya terhadap ekosistem perairan hanya dilakukan pengamatan secara parsial dan dilakukan hanya pada lokasi-lokasi tertentu seperti Teluk Jakarta. Heny (2007) menjelaskan kontaminasi merkuri umumnya berhubungan dengan sumber-sumber titik maupun non titik yang berasal dari alam maupun antropogenik. Pelepasan permukaan, deposisi atmosferik dan transportasi fluvial merupakan jalur utama trnsportasi merkuri dari daratan ke wilyah pesisir. Siklus merkuri melalui lingkungan laut melibatkan berbagai bentuk kimia yang berbeda-beda. Merkuri dalam organisme laut, umumnya ditemui dalam bentuk metil merkuri maupun merkuri ion. Metilasi merkuri yang menghasilkan metil merkuri terjadi melalui proses biotik yang terkait bakteri pereduksi sulfat dalam sedimen. Bioakumulasi merkuri dan metil merkuri dalam organisme sebagai hasil dari interaksi antara faktor- faktor psikologi (pertumbuhan, kehilangan berat, absorpsi dan akumulasi), faktor-faktor kimia (konsentrasi,

11

spesiasi dan bioavailabilitas) dan faktor-faktor lingkungan (suhu dan konsentrasi dalam pakan). 4.1. Metilasi Merkuri Walaupun seluruh bentuk senyawaan merkuri bersifat toksik namun perhatian kesehatan masyarakat difokuskan pada metilmerkuri. Jalur utama pajanan metilmerkuri pada manusia adalah melalui konsumsi ikan[8]. Kebanyakan merkuri dalam tubuh ikan berbentuk metilasi, hal ini karena sebagai hasil dari proses bioakumulasi dan biomagnifikasi metilmerkuri pada rantai makanan akuatik.Metilasi merkuri yang melibatkan reaksi antara Hg2+ dan metilkobalamin (dihasilkan oleh bakteri) menghasilkan merkuri organik. Bakteri dalam usus berbagai jenis binatang termasuk ikan juga mampu mengkonversi merkuri ionik menjadi senyawaan metil merkuri (CH3Hg+) walaupun dalam tingkatan yang rendah. Pada organisme laut, merkuri umumnya terdapat dalam bentuk mono metilmerkuri atau dalam bentuk ion Hg2+ [9]. Bakteri pereduksi sulfat (SRB) dari famili Desulfobacteriaceae berperan dalam pembentukan metil merkuri dalam sedimen di lingkungan akuatik. Produksi metilmerkuri di daam sedimen berlangsung pada pH lebih kecil dari 6 [10]. Mekanisme metilasi Hg2+ melalui gugus metil berasal dari C3 serin atau dibentuk melalui jalur acetylcoenzyme A (acetyl-CoA) melibatkan enzim carbon monoxide dehidrogenase (CODH) dan gugus metil dari CH,-tetrahidrofolat diikuti oleh metilasi enzimatik dalam sel. Bakteri SRB juga mempunyai kemampuan menghasilkan dimetilmerkuri tetapi proses pembentukaannya 1000 kali lebih lambat dibandingkan pembentukan metilmerkuri. Sintesis metilmerkuri secara abiotik dapat terjadi melalui metilasi merkuri oleh protein yang mengandung senyawaan methylcorrinoid. 4.2. Spesiasi Merkuri Dalam Lingkungan Perairan Laut Dalam lingkungan perairan, terutama air laut, merkuri terdapat dalam konsentrasi yang rendah. Secara umum konsentrasi merkuri dalam air laut berkisar antara 0,6 sampai dengan 3,0 ng/liter. Disisi lain pada air yang terpolusi, konsentrasi total merkuri mencapai beberapa puluh g/liter. Untuk metilmerkuri konsentrasinya dalam air laut yang tidak mengalami polusi adalah 3 sampai dengan 6% dari konsentrasi total merkuri. Sedangkan pada air tawar berkisar antara 26 sampai dengan 53% dari konsentrasi total merkuri. Pada air permukaan merkuri tidak terdapat dalam bentuk ion bebas Hg2+ melainkan campuran senyawaan hidroksi dan komplek kloro merkuri dan proporsi tergantung dari pH dan ion klorida. Hubungan antara pH dan ion klorida terhadap bentuk senyawaan merkuri ditunjukkan pada Gambar 2.

12

A B Gambar 2. Diagram hidrokso dan kompleks kloro hydroxo sebagai fungsi pH dan konsentrasi klorida. A. Diagram ion merkuri B. Diagram metilmerkuri. Pada lingkungan perairan spesi merkuri bergantung dari kondisi reduksioksidasi dan kandungan bahan organik terlarut (DOC). Pada pH rendah HgCl2 dan CH3Hg2+, sedangkan pada pH alkalis merkuri dominan dalam bentuk Hg dan (CH3)2Hg. Pada air yang bersifat oksidatif merkuri dominandalam bentuk HgCl42- dan HgOH+, sedangkan dalam kondusi redukstif dominan dalam bentuk CH3HgSdan HgS2 . Disisi lain dalam kondisi ang bervariasi merkuri sering terdapat dalam bentuk`CH3HgCl dan CH3Hg2+. Konsentrasi merkuri dalam sedimen dasar merupakan indikator polusi merkuri pada perairan. Pada sediman dasar merkuri terakumulasi sebagai hasil dari proses sedimentasi dan disisi lain merkuri dapat dilepas dari sedimen dasar dan menjadi tersedia untuk trasnformasi biogeokimia lanjut[13]. Proses sedimentasi dan pelepasan merkuri pada sedimen dasar ditentukan oleh kondisi spesifik perairan dan sebagai hasilnya adalah senyawaan merkuri dalam bentuk kompleks, tranformasi fisik dan biologi kedalam spesi yang lebih toksik. Konsentrasi metil merkuri dalam sedimen dasar berkisar antara 1 sampai dengan 1,5% dari konsentrasi total merkuri. 5. Kromium Kromium tergolong salah satu limbah jenis bahan beracun berbahaya (B3) yang banyak ditemukan di lingkungan perairan. Ketertarikan dalam spesiasi kromium (Cr) dikarenakan penggunaannya yang tersebar luas dalam berbagai industri seperti industri plating logam, zat warna, penyamakan kulit, dan industri cat (Subramanian, 1988). Kromium dalam perairan terdapat dalam dua keadaan oksidasi yang stabil yaitu Cr(III) dan Cr(VI). Cr(III) terdapat dalam beberapa jenis hidroksida, meliputi CrOH2+, Cr(OH)2+, Cr(OH)3, Cr(OH)4-, Cr2(OH)24+, dan Cr3(OH)45+. Cr(VI) dalam larutan berair terdapat sebagai CrO42-, Cr2O72-, HCrO4-, dan HCr2O7-. Cr(VI) dilaporkan sebagai spesies yang toksik dan karsinogenik bagi manusia meskipun dalam konsentrasi yang relatif rendah (Sun, et al., 2003). Cr(VI) dalam kromat (CrO42-) dan dikromat (Cr2O72-) menyebabkan penyakit ginjal necrosis tubulus dan kanker paru-paru. Metode spesiasi kromium yang sedang dikembangkan akhir-akhir ini adalah dengan menggunakan metode diphenylcarbazid (DPC). Teknik pengolahan sampel yang dilakukan adalah dengan pembentukan kompleks warna (Chuecas and Riley, 1966). Metode untuk mendeteksi biasanya menggunakan spektroskopi, seperti spektrofotometri UV-Vis, AAS, 13

Elektrotermal AAS (ETAAS), dan Inductively Coupled Plasma Atomic Emission Spectrometry (ICP-AES). Logam Cr Dalam Sedimen Kromium mempunyai penyebaran yang sangat luas di alam. Pada badan perairan kromium dapat masuk melalui 2 cara yaitu secara alamiah dan non alamiah. Masuknya kromium secara alamiah dapat terjadi karena beberapa faktor fisika antara lain erosi. Secara non alamiah kromium masuk pada suatu lingkungan perairan terutama merupakan efek sampingan dari suatu aktivitas yang dilakukan manusia, kegiatan pabrik seperti elektroplating, penyamaan kulit, pabrik tekstil, cat dan buangan limbah rumah tangga. Perilaku spesies kromium di lingkungan sangat rumit dan dapat diringkas sesuai dengan siklus biogeokimia. Karena bentuk kimia Cr, kondisi mobilitas dan bioavailabilitasnya, mengakibatkan Cr (III) relatif inert dan mudah teradsorpsi pada fase padat menunjukkan bahwa Cr (III) dapat membentuk kompleks dengan ligan organik, larut dan kemudian bisa ada di perairan alami. Cr (VI) dapat hadir dalam bentuk mineral padat, berasosiasi dengan kation yang berbeda. Ini merupakan senyawa yang berbeda ditandai dengan berbagai kelarutan, dengan timbal, kalsium, dan barium kromat menjadi yang paling larut sedangkan dikromat pada umumnya, sangat larut. Pada tanah yang bermuatan negatif, mineral tanah liat mendominasi anion Cr (VI) yang ditolak oleh muatan negatif partikel tanah membuat kromium hexavalen cukup mobile. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Cr (VI) lebih mobile dan akibatnya lebih bioavailable dibandingkan dengan Cr (III) dalam sistem tanah - air. (Unceta, 2010). Pada kisaran pH 3-5, metode DGT memungkinkan pengukuran monomer sederhana spesies Cr (III) (yaitu Cr3+, Cr (OH)2, Cr (OH)2) yang berada dalam keseimbangan labil dengan Cr (III) dalam larutan massal. Penelitian penggunaan DGT sebagai analisis karakterisasi, spesiasi dan migrasi logam telah banyak dilakukan. Penelitian meliputi air limbah rumah tangga, air limbah pabrik, pertambangan, air laut, biota laut dan sedimen.DGT model disk adalah suatu alat sederhana terbuat dari plastik berbentuk bulat dengan diameter 2,5 cm yang dapat diisi dengan lapisan resin chelex yang diresapi hidrogel untuk mengumpulkan logam. Ion harus berdifusi melalui filter. Proses difusi ion melalui filter adalah pembentukan gradien konsentrasi yang konstan dalam lapisan resin yang menjadi dasar untuk mengukur logam dalam larutan secara kuantitatif tanpa membutuhkan kalibrasi terpisah. Massa logam pada lapisan resin diukur setelah direndam dengan asam, pengukuran dapat dilakukan dengan AAS.Produk hidrolisis monomer Cr (III) mengalami reaksi kesetimbangan dinamis dengan Cr3+ untuk pertukaran proton berlangsung pada skala waktu mikrodetik. Pada pH> 5, metode yang berpotensi dapat mengukur polynuclear spesies Cr (III). ( Giusti, 2004). 6. Pendekatan Metodologis Untuk Analisis Spesiasi Bagian di bawah ini menyediakan survei singkat dari pendekatan metodologis yang tersedia untuk spesiasi analisis. 1. Komposisi isotopik Timbal diambil sebagai contoh. Ia memiliki empat isotop stabil. rasio mereka dapat diukur dengan teknik spektrometri massa dan dapat digunakan untuk menentukan asal lingkungan timbale. Sampel udara telah dikumpulkan pada filter, diuraikan asam, dan Pb dipekatkan dengan ekstraksi dithizone untuk analisis spektrometer massa ionisasi termal (TIMS). Pendekatan yang sama telah digunakan dengan induktif spektrometer massa plasma digabungkan quadrupole (ICP-MS), tanpa ekstraksi dithizone. Walaupun presisi lebih rendah dari TIMS, pendekatan ini memiliki keuntungan dari sampel throughput tinggi karena sampel teridentifikasi sebagai aerosol nebulized. ICP-MS telah terbukti menjadi presisi cukup untuk 14

sourcing eksposur terhadap Pb menggunakan darah dan contoh jaringan. Dalam pendekatan ini, rasio invarian dari puncak massa berdekatan 203Tl/205Tl dapat digunakan untuk mengoreksi efek bias massa. Ketepatan dalam ICPMS dapat ditingkatkan dengan time-offlight (TOF) dan sektor multi-kolektor analisis field. 2. Elektronik dan keadaan oksidasi Kromium diberikan sebagai contoh. Cr (VI) dapat selektif ditentukan secara spektrofotometri setelah pembentukan kompleks dengan 1,5-diphenylcarbazide. Pemisahan Cr (III) dan Cr(VI) sering dicapai dengan pertukaran ion HPLC dengan deteksi spektrometri serapan atom (SSA)/ absorption spectrometry (AAS), inductively coupled plasma-atomic emission spectrometry (ICP-AES). Untuk satu konsentrasi yang sangat rendah dapat menggunakan anodic stripping voltammetry. 3. Senyawa anorganik dan kompleks Seperti yang disebutkan di atas kepentingan analisis praktis spesiasi anorganik baik digambarkan oleh paparan kerja Ni dan senyawanya. Ada metode karakterisasi untuk topochemical dan morfologi partikel tunggal. Dalam keadaan tertentu metode ini dapat memberikan informasi pada ikatan unsur-unsur di lapisan luar partikel yang relevan untuk spesiasi. morfologi Crystal juga dapat mempengaruhi senyawa kimia. Hidrolisis Al3+ adalah contoh untuk kompleks anorganik. Sementara salah satu ingin mengamati produk individu dari hidrolisis ion logam secara langsung dengan teknik spektroskopi optik atau magnetik, reaksi hidrolisis jarang menyebabkan spesiasi cukup sederhana untuk memungkinkan mengamati komponen individual. Umumnya, penentuan pH digunakan potensiometri untuk menyimpulkan stoichiometries berdasarkan reaksi xMz+ + yH2O Mx(OH)y(Xz-y)+ + yH. Metode tambahan digunakan untuk menyimpulkan adanya kompleks polynuclear, termasuk pengukuran kelarutan, ultrasentrifugasi, dan hamburan cahaya. Hal ini diilustrasikan dengan pendekatan sejarah untuk hidrolisis Al3+ diungkap oleh Baes dan Mesmer. Dalam larutan garam Al encer, pengukuran pH telah menunjukkan pembentukan AlOH2+, dan persaingan oleh OH- dengan ligan organik berwarna telah lebih jauh menghasilkan konstanta stabilitas untuk Al (OH)2+ dan Al(OH)3. Dalam larutan basa, kelarutan penelitian gibsit (Al(OH)3) telah memberikan konstanta kestabilan untuk Al(OH)4 Dan spesies tetrahedral ini diamati dengan spektroskopi IR dan Raman. Ultrasentrifugasi mengungkapkan terjadinya spesies polynuclear stabil, dengan massa spesies unik yang lebih tinggi dengan koefisien stoikiometrik untuk Al antara 7 dan 17. Modeling berdasarkan data potensiometri disarankan Al13O4 (OH) 247+ untuk spesies ini, serta spesies bi- dan trinuclear diusulkan menjadi Al2(OH)24 dan Al3(OH)4-5.

15

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA Innani Yudhoafi. 2012. Aplikasi Graf Dalam Siklus Karbon. Program Studi Teknik Informatika Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia. Aung Sumbono. Separasi Dan Spesiasi Kimia/Speciation And Fractionation Chemistry. http://aungsumbono.blogspot.com/p/separasi-dan-spesiasi-kimia.html Bogor Agricultural university S olomon, S., D. Qin, M. Manning, et al., 2007: Technical Summary in Climate Change
2007: Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom an New York, NY, U

. Heavy metal and organic matter concentrations and distributions in dated sediments of a small estuary adjacent to a small urban area. Deely, J.M.; Fergusson, J.E. Science of the Total Environment vol. 153 issue 1-2 August 15, 1994. p. 97-111 Seandy Laut Biru. 2013. Fosfat. http://seandy-laut-biru.blogspot.com/2010/10/fosfat.html Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta : Kanisius

16

Hutagalung, Horas P, Deddy Setiapermana, dan Hadi Riyono. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen, dan Biota. Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Odum, Eugene P. 1993. Dasar Dasar Ekologi. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Sanusi, Harpasis. 2006. KIMIA LAUT Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan WHO (2000), Air Quality Guidelines - Second Edition , WHO Regional Office for Europe, Copenhagen, Denmark . Heny Suseno. 2007. Merkuri: Spesiasi Dan Bioakumulasi Pada Biota Laut.Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah ( Journal of Waste Management Technology ), Vol 10 No. 1 2007 ISSN 1410-9565 Barkey, T., Dobler, IW (2005). Microbial Transformations of Mercury: Potentials, Challenges, and Achievements in Controlling Mercury Toxicity in the Environment. Advances in applied microbiology 57: 1-54 Unceta N, Sby F, Malherbe J, Donard O. F. X, (2010). Chromium speciation in solid matrices and regulation: a review Anal Bioanal Chem 397:10971111 DOI 10.1007/s00216-009-3417-1. Giusti L. and Barakat S. (2004). The Monitoring of Cr(III) and Cr(VI) in Natural Water and Synthetic Solutions: and Assessment of Performance of the DGT and DPC Methods, Centre for Research in Environmental Sciences, Faculty of Applied Sciences, University of the West of England, Bristol, Coldharbour Lane, Bristol BS16 1QY, U.K. Doharman Panjaitan. 2010. Spesiasi Logam Berat Pb Dan Cr Dengan Metode Ekstraksi Bertahap Dan Migrasinya Dari Sedimen Perairan Teluk Jakarta Menggunakan Metode Diffusive Gradient In Thin Film (DGT). Tesis. FMIPA Universitas Indonesia. Depok. Dian Windy Dwiasi, Dwi Kartika. 2008. Spesiasi Cr(Iii) Dan Cr(Vi) Pada Limbah Cair Industri Elektroplating. Program Studi Kimia, Jurusan MIPA Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Molekul, Vol. 3. No. 2. Nov, 2008 : 85 - 90 Subramanian, K. S. 1988. Determination of Chromium(III) and Chromium(VI) by Ammonium Pyrrollidinecarbodithioate - Methyl Isobuthyl Ketone Furnace Atomic Absorption Spectrometry. Analyt. Chem., 60, 11 - 15. Sun, H. W. 2003. Determination of Cr(III) and Cr(VI) in Environmental Waters by Derivate Flame Atomic Absorption Spectrometry Using Flow Injection On-Line Preconcentration with Double - Microcolumn Adsorption. Journal of The Iranian Chemical Society, Vol. 1, No. 1, September 2004, pp. 40 - 46. Chuecas, D. L., and Riley, J. P. 1966. The Spectrophotometric Determination of Chromium in Sea Water. Analyt. Chim. Acta., 35, 240 - 246.

17

18

19

You might also like