You are on page 1of 17

HIV AIDS

DEFINISI : Human Immunodeficiency Immune infeksi Virus Deficiency (sindrom) Acquired Immunodeficiency adalah

Syndrome atau Acquired sekumpulan gejala dan

Syndrome (disingkat AIDS) timbul karena

yang

rusaknya sistem

kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). EPIDEMOLOGI : Sindrom HIV/AIDS pertama kali dilaporkan oleh Michael Gottlieb pada pertengahan tahun 1981 pada lima orang penderita homoseksual dan pecandu narkotika suntik di Los Angeles, Amerika Serikat. Sejak penemuan pertama inilah, dalam beberapa tahun dilaporkan lagi sejumlah penderita dengan sindrom yang sama dari 46 negara bagian Amerika Serikat lain. Penyakit ini telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat dunia, karena disamping belum ditemukannya obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki window period dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan penyakitnya. Hal ini menyebabkan pola perkembangan penyakit ini seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena).UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dikenal pada tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling menghancurkan dalam sejarah. Afrika sub-Sahara merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi HIV, dengan perkiraan 21,6 sampai 27,7 juta penduduk HIV-positif. Sekitar dua juta dari mereka adalah anak-anak yang usianya kurang dari 15 tahun. Lebih dari 61 persen dari semua orang yang terinfeksi HIV ada di Afrika Sub Sahara dan lebih dari tiga per empat (76%) dari semua wanita di negara ini hidup dengan HIV. Pada tahun 2008, terdapat sekitar 2 juta anak yatim piatu yang terkena AIDS hidup di Afrika sub-Sahara . Asia Selatan dan Asia Tenggara adalah wilayah terburuk kedua yang terinfeksi HIV dengan besar 15% - 18% dari total penyakit HIV/AIDS diseluruh dunia.18 Sekitar dua per tiga infeksi HIV/AIDS di Asia muncul di India, dengan perkiraan 5,7 juta infeksi.18 Selain India, populasi HIV/AIDS terbesar di Asia juga terdapat di wilayah Kamboja, Myanmar, dan Thailand Data terakhir yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia mengenai epidemiologi penyakit HIV/AIDS di Indonesia, sampai 31 Maret 2010 tercatat sekitar 20.564 kasus AIDS dan 3936 meninggal yang tersebar di seluruh provinsi. Jumlah

tersebut tentu saja diyakini masih jauh dari jumlah penderita yang sebenarnya, mengingat fenomena gunung es pada penyakit ini. Menurut data Ditjen PPM dan PL Depkes RI bahwa kasus AIDS terbanyak berasal dari provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Papua dan DKI Jakarta. Proporsi kasus AIDS yang dilaporkan meninggal sebanyak 19,14 % dari total keseluruhan penderita. ETIOLOGI : Pada tahun 1983, Luc Montagnier dkk dari Institut Pasteur Perancis, telah menemukan penyebab AIDS yang disebut Lymphadenophaty Associated Virus (LAV) karena virus ini dapat menyebabkan limfadenopati pada penderita. Penelitian mengenai virus penyebab AIDS kemudian dilanjutkan oleh Robert Gallo, pada Maret 1984, yang menemukan adanya perkembangan sel yang tetap berlangsung dan produktif pada pasien setelah terinfeksi virus, sehingga disebut Human T-cell Lymphotropic Virus Type III (HLTV-III).15 Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga pada bulan Mei tahun 1986, Komisi Taksonomi WHO (The International Community on Taxonomy of Viruses) sepakat untuk memberikan nama baru ntuk virus penyebab AIDS, yaitu HIV. Saat ini terdapat dua jenis HIV: HIV1 dan HIV2. HIV1 mendominasi seluruh dunia dan bermutasi dengan sangat mudah. Keturunan yang berbedabeda dari HIV1 juga ada, mereka dapat dikategorikan dalam kelompok dan subjenis (clades). Terdapat dua kelompok, yaitu kelompok M dan O. Dalam kelompok M terdapat sekurangkurangnya 10 subjenis yang dibedakan secara turun temurun. Ini adalah subjenis AJ. Subjenis B kebanyakan ditemukan di America, Japan, Australia, Karibia dan Eropa. Subjenis C ditemukan di Afrika Selatan dan India. HIV2 teridentifikasi pada tahun 1986 dan semula merata di Afrika Barat. Terdapat banyak kemiripan diantara HIV1 dan HIV2, contohnya adalah bahwa keduanya menular dengan cara yang sama, keduanya dihubungkan dengan infeksiinfeksi oportunistik dan AIDS yang serupa. Pada orang yang terinfeksi dengan HIV2, ketidakmampuan menghasilkan kekebalan tubuh terlihat berkembang lebih lambat dan lebih halus. Dibandingkan dengan orang yang terinfeksi dengan HIV1, maka mereka yang terinfeksi dengan HIV2 ditulari lebih awal dalam proses penularannya. HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama sekali limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh.15 HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satu gen tersebut ialah tat yang dapat mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga terjadi penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran yang akhirnya menyebabkan

kelumpuhan sistem kekebalan tubuh. Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS. Virus ini berbentuk sferikal dengan diameter 120 nanometer dan sekitar 60 kali lebih kecil dibandingkan sel eritrosit. HIV terdiri atas dua bagian besar yaitu; bagian inti yang terdiri atas rantai RNA, protein inti, dan enzim reverse transcriptase yang memungkinkan virus untuk mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang (memanfaatkan sel limfosit untuk menggandakan diri menghasilkan virus baru); dan bagian selubung virus yang terdiri dari lipid, dan glikoprotein gp120 dan gp41.

Gambar : Struktur HIV

Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein gp120 pada molekul CD4, yang kemudian masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp41, yang juga terdapat pada permukaan membran virus. Terjadilah awal mula infeksi HIV pada tubuh hospes. HIV dapat ditemukan pada darah, semen, ASI, dan sekret vagina. Pada cairan-cairan inilah virus dapat ditularkan.

Selain itu, HIV juga dapat ditemukan pada saliva, air mata, urin, cairan serebrospinal, dan cairan amnion, tetapi tidak bersifat menularkan.15 Transmisi HIV dapat terjadi melalui kontak atau pencampuran dengan cairan tubuh yang mengandung virus, seperti: melakukan hubungan seksual yang tidak aman dengan pengidap HIV, menggunakan jarum suntik atau alat tusuk lain (akupuntur, tindik, tato) yang telah terkontaminasi virus HIV, kontak kulit atau membran mukosa dengan darah dan produk darah yang telah terkontaminasi HIV, menerima transplantasi organ atau jaringan termasuk tulang atau transfusi darah dari penderita HIV, dan penularan dari ibu hamil pengidap HIV kepada janin saat kehamilan, proses kelahiran, maupun saat menyusui.

PATOGENESES : Menurut The Center of Disease Control (CDC), setelah terpapar HIV, penderita tidak secara langsung menimbulkan gejala klinis AIDS. Ada beberapa tahapan infeksi HIV sampai timbulnya manifestasi klinis; yaitu tahap infeksi HIV akut, infeksi HIV asimtomatik (masa laten) yang tidak menimbulkan gejala, limfadenopati (radang kelenjar getah bening) yang persisten dan menyeluruh, sampai akhirnya timbul tanda-tanda penyakit yang menakutkan pada pasien, yaitu tahap AIDS. a. Infeksi HIV akut Sekitar dua sampai enam minggu setelah terinfeksi (biasanya dua minggu), akan terjadi sindrom retroviral akut. Lebih dari setengah orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala infeksi primer yang bervariasi seperti demam, adenopati, faringitis, kelainan kulit, diare, sakit kepala, mual dan muntah, hepatosplenomegali, penurunan berat badan, gangguan jamur di rongga mulut, dan gejala neurologis (nyeri kepala, nyeri belakang kepala, depresi). Gejala ini tidak spesifik pada infeksi HIV saja, tetapi juga akan terjadi pada infeksi retrovirus lain. Setelah dua sampai enam minggu gejala dapat menghilang disertai serokonversi, dengan atau tanpa pengobatan. Setelah terinfeksi HIV, ada saat dimana pemeriksaan serologi antibodi HIV terhadap pasien menunjukkan hasil negatif, sementara virus sebenarnya telah ada dalam tubuh hospes. Fase ini disebut periode jendela (window period), yaitu penderita sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain walaupun pemeriksaan antibodinya menunjukkan hasil negatif. Periode ini dapat berlangsung selama tiga sampai dua belas minggu. b. Infeksi HIV asimtomatik (masa laten) Terdapat jeda waktu yang panjang pada pasien, yang mana pasien tidak mengalami manifestasi fisik dari infeksi, tapi tetap anti-HIV positif. Sebagian besar pengidap HIV berada

pada fase laten ini tidak terlihat gejala pada pasien. Penderita terlihat sehat, dapat melakukan aktivitas secara normal, namun sudah dapat menularkan virus kepada orang lain. Jumlah virus di dalam darah dan jaringan limfoid pasien berada dalam batas rendah dan jumlah CD4 limfosit masih berada dalam batas normal. Masa laten klinis ini dapat terjadi selama dua minggu sampai delapan tahun atau lebih. c. Limfadenopati persisten yang menyeluruh Limfadenopati atau pembesaran kelenjar getah bening didefinisikan dengan adanya nodus limfe yang berdiameter lebih dari satu sentimeter pada dua atau beberapa daerah ekstra inguinal selama lebih dari tiga bulan, tetapi tidak terdapat penyakit atau kondisi lain selain infeksi HIV yang menjelaskan alasan dari keadaan tersebut. d. Infeksi HIV simtomatik (AIDS) Pada fase ini terjadi perubahan progresif dalam pengaturan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh limfopenia sel-T, dan berkurangnya fungsi T-cell helper ini yang mengakibatkan AIDS berkembang sepenuhnya. Penyakit ini ditandai oleh infeksi-infeksi oportunistik dan kerentanan terhadap bentukbentuk kanker tertentu. Jumlah CD4 pasien sudah berada pada taraf kritis, hingga dibawah 200sel/ul darah Beberapa penyakit yang dapat timbul pada pasien seperti di bawah ini. - Subgrup A : Penyakit Konstitusional Gejala-gejala seperti demam atau diare yang persisten selama lebih dari satu bulan atau penurunan berat badan yang lebih dari 10% dari berat ideal pasien sebelum sakit, yang tidak terdapat infeksi atau penyakit lain yang dapat menjelaskan alasan keadaan tersebut, selain infeksi HIV/AIDS. - Subgrup B : Penyakit Neurologi Banyak pasien yang mengalami simtom neurologi sebelum mengalami tanda infeksi HIV lainnya. Pada mulanya pasien akan mengalami kehilangan memori, sulit berkonsentrasi, menarik diri dari pergaulan sosial, dan letargi. Tanda awal tersebut sering dianggap sebagai suatu depresi dan biasanya diabaikan, sampai akhirnya berkembang menjadi gangguan yang lebih dramatis seperti demensia yang hebat dan keterbelakangan psikomotor. Gangguan motoris pada mulanya terlihat dari hilangnya koordinasi, tremor, langkah yang goyah, dan bahkan dapat berkembang menjadi ataksia dan paraplegia yang hebat. - Subgrup C : Penyakit Infeksi Sekunder (Infeksi Oportunistik) Organisme yang relatif nonvirulen dalam tubuh dapat mengakibatkan infeksi yang hebat dan mengancam jiwa pada pasien yang sistem imunnya sudah rusak akibat HIV. Infeksi

oportunistik yang sering dijumpai antara lain Pneumonia pneumositis cranii, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, tuberkulosis, kandidiasis rongga mulut, dan lain sebagainya. Subgrup D : Kanker Sekunder Diagnosis dari satu atau beberapa kanker yang terbukti mempunyai hubungan dengan infeksi HIV merupakan indikator dari hilangnya imunitas sel sebagai mediator. Infeksi kanker sekunder yang sering terjadi adalah Sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin, atau limfoma primer dari otak. - Subgrup E : keadaan lain pada Infeksi HIV Tanda klinis dari penyakit, yang tidak diklasifikasikan seperti di atas, dapat berperan pada infeksi HIV dan merupakan indikator dari cacat pada imunitas sel sebagai mediator pasien, simtom yang berhubungan dengan infeksi HIV termasuk Pneumositis interstisial limfoid kronis dan simtom-simtomnya, dan penyakit infeksi sekunder dan neoplasma lain yang tidak tercantum di atas. PENGUJIAN HIV : Infeksi HIV dapat diketahui melalui sebuah pengujian antibodi mengenai HIV. Ketika seseorang terinfeksi dengan HIV, antibodinya dihasilkan dalam jangka waktu 38 minggu. Tahap berikutnya sebelum antibodi tersebut dapat dideteksi dikenal sebagai "tahap jendela". (window period) . Pengujian dapat dilakukan dengan mengunakan sampel darah, air liur atau air kencing. Pengujian yang cepat ada dan menyediakan suatu hasil diantara 1020 menit. Suatu hasil positif biasanya menuntut suatu test konfirmatori lebih lanjut. Pengujian HIV harus dilakukan sejalan dengan bimbingan sebelumselamadan sesudahnya. Terdapat dua cara pengujian yang tersedia dalam memonitor perkembangan HIV/AIDS: Pengujian CD4 adalah mengukur jumlah dari CD4 atau sel Thelper didalam darah. Kekuatan dari sistem kekebalan anda adalah merupakan suatu prediksi yang baik tentang bagaimana anda akan memerangi infeksi. Pengujian viral load adalah mengukur jumlah dari HIV didalam darah dalam setiap ml darah. Semakin tinggi viral load maka semakin cepat pula perkembangannya ke AIDS. Manifestasi Klinis Penyakit di Rongga Mulut Pasien yang terinfeksi HIV juga memperlihatkan manifestasi klinis di rongga mulutnya, yang dapat menunjukkan tanda awal dari infeksi HIV. Ada banyak pendapat mengenai pengklasifikasian manifestasi rongga mulut, diantaranya EC-Clearinghouse yang membagi klasifikasi lesi oral yang berhubungan dengan infeksi HIV menjadi tiga grup: 5 Grup I : Lesi yang sering muncul pada infeksi HIV 1. Kandidiasis

Erytematous Pseudomembranous

2. Oral Hairy Leukoplakia 3. Linear Gingivitis Erythema 4. Necrotising (ulcerative) gingivitis 5. Sarkoma Kaposi 6. Non-Hodgkins Lymphoma Grup II : Lesi yang kadang muncul pada infeksi HIV 1. Bacteria infection Mycobacterium avium intercellulare Mycobacterium tuberculosis

2. Melanotic Hyperpigmentation 3. Necrotising (ulcerative) stomatitis 4. Penyakit kel.saliva Mulut kering akibat berkurangnya suplai saliva Pembengkakan unilateral atau bilateral dari kel.saliva mayor

5. Trombositopenia purpura 6. Ulcerasi NOS (Nor Otherwise Specified) 7. Infeksi virus Virus herpes simpleks Human Papilloma Virus (HPV) Condyloma acuminatum Verruca vulgaris Varicella Zoster virus

Grup III : Lesi yang jarang muncul pada infeksi HIV 1. Infeksi bakteri Actinomyces israelii Escherchia coli

2. Epitheloid (bacilary) angiomatosis (cat-strach disease) 3. Reaksi obat (ulcerative, erythema multiforme, dll) 4. Infeksi jamur selain kandidiasis Neurologic disturbances

Recurrent Apthous stomatitis

5. Infeksi virus Cytomegalovirus Molluscom contagius

Manifestasi rongga mulut yang dijumpai dapat berupa : 4-7,16 a. Infeksi Jamur Kandidiasis oral sejauh ini merupakan tanda di dalam mulut yang paling sering dijumpai pada penderita AIDS, dan merupakan tanda dari manifestasi klinis pada penderita kelompok resiko tinggi pada lebih 59% kasus.2 Infeksi jamur rongga mulut lain juga terlihat pada pasien HIV adalah Histoplasmosis , Cryptococcosis, Geotrichosis, dan Aspergillosis, tapi dalam jumlah yang relatif kecil. b. Infeksi virus Infeksi karena virus golongan herpes paling sering dijumpai pada penderita AIDS Related Complex (ARC) dan AIDS. Infeksi ini disebabkan karena penyerangan secara umum dari sel T dari sistem imun. Infeksi karena virus dapat disebabkan oleh golongan Herpes simplex Virus (HSV), virus varicella zoster (VZV), EBV maupun cytomegalo-virus (EMV). 1. Stomatitis herpertiformis Disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV). Pada penderita AIDS, insiden infeksi HSV tipe II ini cukup tinggi, sedangkan pada penderita dengan penurunan imunitas, infeksi HSV biasanya bersifat rekuren. Pada penderita AIDS, lesi berbentuk vesikel akan dengan cepat menjadi ulkus yang cukup besar dengan diameter 0,5 - 3 cm. Ulkus berbentuk kepundan dengan tepi yang menonjol dan tidak teratur, berwarna merah, ditutupi oleh lapisan putih keabu-abuan. Jika lesi ini tidak diobati, lesi akan menjadi besar dan makin terasa sakit. Pada penderita AIDS, lesi herpes simpleks juga dapat dijumpai di daerah perianal dan nasolabial. 2. Herpes zoster Herpes zoster disebabkan oleh virus varicella zoster dan biasanya lebih jarang ditemukan daripada infeksi karena HSV. Namun bila ditemukan adanya herpes zoster orofasial, ini biasanya merupakan indikator dari prognosa yang buruk. 3. Oral Hairy Leukoplakia OHL adalah lesi mulut yang merupakan indikator dari infeksi HIV stadium lanjut dan merupakan tanda patognomotik dari AIDS. OHL ini dapat dijumpai pada semua penderita dari berbagai golongan resiko.

Secara klinis OHL tampak sebagai lesi putih, tidak dapat dilepas, terutama mengenai sisi lateral dan ventral lidah, namun terkadang mengenai permukaan mukosa lainnya. Bentuk lesi yang seperti rambut disebabkan karena hiperplasia epitel yang padat dan dapat mempunyai panjang sekitar satu cm. Infeksi ini dapat ditumpangi oleh jamur kandida dan biasanya asimtomatik. Menurut berbagi laporan hasil penelitian, biasanya satu dari tiga kasus OHL akan berkembang menjadi AIDS. Oleh karena itu keberadaan OHL merupakan indikator penting untuk memperkirakan diagnosa dengan tetap mempertimbangkan kondisi lainnya. Walaupun demikian, OHL juga dapat ditemukan pada individu dengan kelainan imunologi tanpa antibodi HIV, misalnya pada pasien yang mendapat transplantasi sumsum atau ginjal. c. Infeksi bakteri Infeksi bakteri yang biasanya mengenai jaringan periodontal, dapat berupa Gingivitis Ulseratif Nekrosis Akut (GUNA), gingivitis HIV, maupun periodontitis HIV. GUNA sering ditemukan pada pasien HIV, lesi ditandai oleh gusi yang mendadak sakit, merah padam, bengkak, berdarah, dan halitosis pada pasien. Papila interdental menghilang, berulserasi, dan tertutup oleh kulit nekrosis yang berwarna keabuan. Gingivitis HIV ditandai oleh eritema gusi kronis yang dapat terjadi pada maksila ataupun mandibula, perdarahan ketika menggosok gigi, rasa sakit dan halitosis.Linear Gingivitis Eritema juga dapat ditemukan pada daerah anterior pasien HIV/AIDS. Periodontitis HIV merupakan penyakit periodontal yang berlangsung secara progresif, merupakan indikator awal yang dapat ditemukan pada infeksi HIV.Infeksi bakteri ini ditandai oleh sakit dan perdarahan gusi spontan, nekrosis dan pembentukan kawah pada papila interdental, edema gusi dan eritema hebat, resesi gingival yang cepat, kerusakan tulang yang sangat cepat dan tidak teratur (sampai sepuluh millimeter dalam enam bulan), penyembuhan luka yang terlambat dan penyebaran cepat ke daerah sekitarnya. d. Neoplasma Sarkoma Kaposi yang berhubungan dengan AIDS tampak sebagai penyakit yang lebih ganas dan biasanya telah menyebar pada saat dilakukan diagnosa awal. Kira-kira 40% penderita AIDS dengan Sarkoma Kaposi akan meninggal dalam waktu kurang lebih satu tahun dan biasanya disertai infeksi oportunistik lain, seperti Pneumositis carinii, jamur, virus, dan bakteri. Sarkoma Kaposi pada mulut awalnya terlihat sebagai makula, nodul dan plak yang datar atau menonjol, biasanya berbentuk lingkaran dan berwarna merah atau ke-unguan. Lesi ini terletak pada palatum dengan besar dari beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter.

Bentuknya tidak teratur, dapat tunggal atau multipel dan biasanya asimtomatik, sehingga baru disadari oleh pasien bila lesi sudah agak besar. Sarkoma Kaposi juga dapat ditemukan di kulit kepala dan leher. Limfoma sel B non-Hogkins dan karsinoma sel skuamosa juga sering dikaitkan dengan infeksi HIV. Limfoma sel B non-Hogkins tampak sebagai massa ungu yang difus, dan cepat berproliferasi pada daerah palatum retromolar. Karsinoma sel skuamosa sering dijumpai berupa lesi putih kemerahan atau berulserasi pada tepi lateral lidah. e.Kelainan lain di dalam mulut Kelainan-kelainan ini tidak diketahui sebabnya, dapat timbul berupa: stomatitis apthosa rekuren (terutama tipe mayor), ulkus nekrotik yang meluas sampai ke fausia, xerostomia, pembesaran kelenjar parotis (terutama pada penderita AIDS anak), idiopatik trombositopenia purpura, palsi wajah, hiperpigmentasi mukosa, limfadenopati submandibula, hiperpigmentasi melanotik, penyembuhan luka yang lama, dan dapat juga terjadi deformasi wajah pada bayi yang baru lahir. Pada pasien HIV dapat juga ditemukan flora bakteri yang tidak umum dalam rongga mulut pasien. Bakteri yang paling umum diisolasi adalah flora pernafasan dan coliform, seperti spesies Klebsiella dan Escherichia coli. Infeksi oleh organisme ini sering menyebabkan perubahan lidah yang difus, eritematus dan berulserasi, yang dapat menyebabkan gejala glositis. OHL pada Pasien HIV/AIDS OHL adalah lesi mulut yang merupakan indikator dari infeksi HIV stadium lanjut dan merupakan tanda patognomonik dari AIDS. OHL ini dapat dijumpai pada semua penderita dari berbagai golongan resiko. OHL adalah manifestasi awal infeksi HIV . Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang menemukan kasus OHL pada penderita HIV. OHL dapat ditemukan pada sekitar 17,3 32% penderita HIV positif dan menurut penelitian dari 217 pasien yang terinfeksi HIV 40 pasien atau sekitar 18,5%. Greenspan dkk melaporkan dari 55 pasien HIV terdapat 98% OHL di lateral lidahnya dan 83% pasien OHL dalam 31 bulan berkembang menjadi AIDS. Infeksi HIV mempunyai masa inkubasi yang sangat lama yaitu sekitar 5-10 tahun. Hal ini disebabkan oleh karena pada saat masuk ke dalam tubuh, HIV akan menyerang dan merusak sel CD4 T-Helper limfosit yang berfungsi mengatur sistem imun tubuh. Jumlah sel CD4 yang kadar normalnya dalam darah sekitar 800-1200 sel / mm3 akan menurun, proses ini memakan waktu yang cukup lama, sehingga pada tahap awal belum ada gejala yang

spesifik. Biasanya setelah jumlah sel CD4 turun sampai 250-300 sel/mm3 maka pada saat bersamaan baru timbul infeksi oportunistik dan plasma virus tampak dalam darah. Manifestasi infeksi oportunistik dengan persentase kematian yang tinggi baru terjadi jika jumlah sel CD4 turun dibawah 100 sel/mm3. Bila jumlah sel CD4 turun dibawah 50 sel/mm3 maka penderita hanya mempunyai waktu 12 bulan untuk bertahan hidup. Menurut Glick biasanya OHL timbul pada saat jumlah sel CD4 turun dibawah 300 sel/mm3. OHL dapat digunakan sebagai indikator adanya seroposif HIV yang merupakan petunjuk terjadinya penurunan sistem kekebalan tubuh serta merupakan suatu indikator berkembangnya infeksi HIV dengan cepat. OHL biasanya timbul pada fase intermediate immune depletion atau pada saat jumlah sel CD4 turun diantara 500-200 sel/mm3. Terapi anti retroviral dan anti herpesviral dapat mengurangi prevalensi OHL. Terbukti sejak era Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) berlangsung prevalensi OHL menurun. OHL diduga disebabkan oleh virus, karena ditemukannya EBV pada infeksi ini. Walaupun demikian penemuan ini belum dapat dibuktikan secara pasti karena EBV ini juga dapat diisolasi dari jaringan mulut yang normal OHL sama sekali tidak memberikan respon pada terapi antijamur, tapi memberikan respon yang baik dengan terapi anti virus seperti acyclovir, dan hal ini menunjukkan bahwa penyebab utama dari OHL adalah virus. EBV adalah virus yang termasuk kedalam golongan virus herpes, yang tersebar luas di seluruh dunia dan menginfeksi sejak manusia lahir. Di beberapa daerah termasuk Amerika, sekitar 90% orang dewasa sudah mempunyai antibodi terhadap EBV dan di negara-negara berkembang infeksi primer sudah mengenai lebih dari 90% anak-anak dibawah usia 6 tahun dan biasanya infeksi primer tidak menunjukkan gejala. OHL disebabkan oleh autoinokulasi EBV melalui saliva dan ada hubungannya dengan imunosupresi yang biasanya disebabkan oleh infeksi HIV. EBV yang telah menginfeksi epitel akan menetap secara laten dan secara periodik akan menjadi aktif. Genom EBV yang berada pada sel inang umumnya dalam bentuk laten episome. Penelitian membuktikan bahwa replikasi EBV di dalam sel-sel lidah hanya dijumpai pada penderita imunosupresi yang berat. Biasanya infeksi primer EBV terjadi pada awal kehidupan atau selama usia belasan tahun dan umumnya berbentuk infeksi subklinis, dan 50% diantaranya menunjukkan gejala infeksi mononukleusis. Selama infeksi primer, virus disekresikan dalam jumlah yang kecil dan berlangsung dalam jangka waktu yang terbatas dalam orofarings. Pada tubuh yang sehat ada keseimbangan antara replikasi EBV dengan penghancuran EBV oleh sel sistem imun seperti Limfosit-T sehingga tidak menimbulkan gejala. Pada

penderita AIDS, keseimbangan tidak mungkin tercapai sehingga EBV berubah sifat dari organisme komensial menjadi patogen. Hilangnya kemampuan sel T karena infeksi HIV, menyebabkan EBV mendapat kemampuan untuk menghadapi fase produktif dan siklus kehidupan yang tidak terkendali. OHL tampak sebagai lesi putih seperti leukoplakia, namun memiliki gambaran klinis yang unik. Bentuk lesi tidak teratur, bercak sedikit menonjol, dan warna putih keabu-abuan, dengan pertumbuhan keratin seperti rambut pada batas lateral lidah, sehingga dinamakan OHL. Bentuk lesi seperti rambut disebabkan oleh hiperplasia epitel yang padat sepanjang 1cm pada permukaan parakeratotik yang terbukti ada secara histologis. Permukaan lesi terkadang berombak dan bergelombang memberikan gambaran seperti permukaan karpet yang kasar. Pada umumnya lesi tidak dapat hilang dengan diusap atau digosok. OHL menunjukkan adanya lipatan-lipatan tegak vertikal yang putih pada sisi lateral lidah. Pada awalnya lesi-lesi tersebut mempunyai lipatan-lipatan agak putih dan berlekuklekuk merah muda disekitarnya yang saling bergantian sehingga tampak garis vertikal yang khas atau bercak-bercak putih tebal yang luas, sedangkan lesi yang lama dapat menutup seluruh lateral dan permukaan dorsal lidah dan meluas ke mukosa pipi dan palatum.

Gambar : OHL pada lateral lidah penderita AIDS OHL biasanya ditemukan pada bagian lateral lidah dan seringkali bilateral, kadang-kadang mengenai bagian dorsal lidah, tapi jarang ditemukan pada mukosa pipi, mukosa bibir, dasar mulut palatum lunak, mukosa orofaring. OHL memperlihatkan gambaran histopatologis yang bervariasi pada jaringan epitel seperti infeksi virus lainnya. Tampak hiperkeratosis yang menghasilkan permukaan keratin bergelombang atau kerutan. Lapisan permukaan yang mengelupas meninggalkan pengerasan atau penonjolan dalam bentuk lipatan yang khas seperti rambut. Istilah hairy berasal dari gambaran proyeksi keratin dan epitel squamosa yang memberi gambaran seperti kulit lunak berwarna putih pada permukaan lidah. Gambaran ini terjadi akibat proliferasi EBV di lapisan epitel skuamosa lidah.

Gambaran akantolitik pada epitel bervariasi dari gelembung, bengkak, atau membentuk sel-sel balon. Biasanya dijumpai setempat atau dapat meliputi hampir seluruh pertengahan lapisan spinosum. Sel-sel balon terlihat sendiri-sendiriatau berkelompok dilapisan spinosum, superbasal, atau pada permukaan. Atipia sel seperti hiperkromatik sel basal dan mitosis abnormal merupakan perubahan displasia yang mengarah terjadinya keadaan prakanker, tetapi hal ini jarang terjadi. Peradangan epitel dan subepitel jarang dijumpai, kadang-kadang terlihat adanya infiltrasi selsel mononuclear pada jaringan subepitel. Hal ini disebabkan jamur kandida. Hifa Candida albicans dapat meluas ke lapisan permukaan epitel. Sel-sel spinosum menggelembung, menghasilkan degenerasi balon, koilitosis, perpindahan kromatin ke daerah tepi, dan daerah peradangan ringan. Gambaran seperti rambut pada OHL terjadi karena proliferasi EBV dilapisan epitel skuamosa lidah. Hal lain diungkapkan oleh Silverman bahwa vakuol sel pada OHL sering dianggap sebagai koilosit yaitu sel-sel yang mengindikasikan adanya infeksi virus. Menurut Greenspan, adanya benda inklusi dalam sel epitel atau adanya homogenisasi pada sel keratinosit dari lesi OHL diyakini sebagai tanda spesifik untuk EBV dan digunakan sebagai petunjuk adanya infeksi virus disamping tanda-tanda seperti vakuolisasi sitoplasma sel, homogenisasi dan zona perinuklear. Menurut Pindborg, sel epitel mukosa mulut yang membesar dan membalon pada OHL mencerminkan sel epitel yang mengalami hambatan pada tahap awal mitosis.

Gambar : Gambaran histopatologi OHL pada pasien HIV

Gambar : EBV laten pada OHL Perawatan OHL sendiri cukup sulit karena lesi sering kali rekuren jika pemakaian obat dihentikan dan biasanya lesi rekuren kembali ditempat yang sama. Pengobatan dapat dilakukan secara sistemik maupun lokal. Secara sistemik pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian terapi antiviral sistemik dan akan menunjukkan hasil yang baik setelah terapi 1-2 minggu. Sedangkan secara lokal, pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian podophyllum resin 25% solution yang saat ini menjadi pilihan terbaik karena obat ini memberikan periode waktu rekurensi yang lama, selain itu obat ini lebih murah dan efek sampingnya sedikit. Pengobatan OHL pada penyakit AIDS saat ini masih berupa pengobatan suportif untuk menjaga daya tahan tubuh agar tidak terjadi infeksi oportunistik dan pengobatan dengan obat-obat anti retrovirus tidak dapat membunuh semua virus, sifatnya hanya menghambat perjalanan penyakit saja. KOMPLIKASI : 1. Mata : Retinitis CMV 2. Kepala : sinusitis, toksoplasmosis, limfoma, leukoensefalopati, meningitis kriptokokus, ensefalitis CMV, demensia AIDS. 3. Paru-paru : Pneumonia pneumokokus, Pneumonia pneumocytis, Tuberkulosis. 4. Saraf : Neuropati perifer. 5. Kulit : Dermatiis seboroik, ruam obat, herpes simplek, herpes zoozter, angiomatosis basiler, moloskum kontagiosum. 6. Nodus limfatikus : limfadenopati, limfoma, sindrom kaposi. 7. Hati : sindrom kaposi, kompleks mycobacterium avium. PENATALAKSANAAN : Belum ada penyembuhan bagi AIDS sehingga pencegahan HIV perlu dilakukan. Beberapa cara pencegahan terhadap terjangkitnya HIV-AIDS yaitu :

1. Melakukan abstinensi seks / hubungan kelamin monogami dengan pasangan yang tidak terinfeksi. 2. Pemeriksaan secara rutin paling sedikit 6 bulan setelah hubungan kelamin terakhiryang tidak terlindung.Karena pembentukan antibodi mungkin memerlukan waktu 6 bulan. 3. Menggunakan kondom lateks 4. Tidak melakukan tukar-menukar jarum. 5. Pengobatan profilaktik dengan penghambat reverse transcriptase Jika seseorang telah positif terinfeksi HIV maka dapat dilakukan terapi medikasi yaitu: 1. Terapi HAART (Highly Active Retroviral Theraphy) Kombinasi dari obat Nucleoside reverse transcriptation inhibitor (NRTI) contohnya azidotimin yang mengganggu transkripsi virus dalam DNA pejamu dengan penghambatan kerja enzim reverse transkriptase. Non-nucleoside reverse

transcriptation inhibitor bekerja dengan melalui pengikatan non kompetitif untuk menghambat tempat aktif pada enzim ini. Inhibitor protease yang menghambat kerja protease untuk pembentukan partikel virus matang. Selain efektif, terapi ini berhubungan dengan kondisi lipodistrofi terkait HIV, yang ditandai dengan hiperlipidemia, resistensi insulin, dan redistribusi lemak tubuh. Terapi ini tidak menyembuhkan penyakit tapi dapat memperpanjang masa hidup dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Terapi ini juga efektif terhadap ibu hamil yang terjangkit HIV, tapi disarankan pada trimester pertama harus dihentikan karena adanya efek teratogenik yang dapat menyebabkan kelainan dan kecacatan pada janin. 2. Diet sehat dan gaya hidup bebas stress meliputi pendidikan untuk menghindari konsumsi alkohol, merokok, dan obat-obat terlarang. 3. Terapi untuk komplikasi yang dapat ditimbulkan dari infeksi sekunder. 4. Terapi supuratif dengan menggunakan obat-obatan antiviral. 5. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kirakira 25%35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obatobatan tersebut adalah: Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14 28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini

menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC) Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 23 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari. Postexposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus dijalankan untuk menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti obatobatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang berhutang pada bahayaakan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomendasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak aman.

DAFTAR PUSTAKA : 1. Davey, Patrick. 2003.Medicine at a Glance. Jakarta : Erlangga 2. www.wikipedia.com. 3. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC. 4. Mandal, B K dkk. 2008. Lecture Notes Penyakit Infeksi. Jakarta : Erlangga.

You might also like