You are on page 1of 5

Biografi; Sapardi Djoko Damono

Prof Dr Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai salah seorang sastrawan yang memberi sumbangan besar kepada kebudayaan masyarakat modern di Indonesia. Salah satu sumbangan terbesar Guru Besar Fakultas Sastra UI ini adalah melanjutkan tradisi puisi lirik dan berupaya menghidupkan kembali sajak empat seuntai atau kwatrin yang sudah muncul di jaman para pujangga baru seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah pada 20 Maret 1940 ini, mengaku tak pernah berencana menjadi penyair, karena dia berkenalan dengan puisi secara tidak disengaja. Sejak masih belia putra Sadyoko dan Sapariyah itu, sering membenamkan diri dalam tulisan-tulisannya. Bahkan, ia pernah menulis sebanyak delapan belas sajak hanya dalam satu malam. Kegemarannya pada sastra, sudah mulai tampak sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kemudian, ketika duduk di SMA, ia memilih jurusan sastra dan kemudian melanjutkan pendidikan di UGM, fakultas sastra. Anak sulung dari dua bersaudara abdi dalem Keraton Surakarta itu mungkin mewarisi kesenimanan dari kakek dan neneknya. Kakeknya dari pihak ayah pintar membuat wayang hanya sebagai kegemarandan pernah memberikan sekotak wayang kepada sang cucu. Nenek dari pihak ibunya gemar menembang (menyanyikan puisi Jawa) dari syair yang dibuat sendiri. Tapi saya tidak bisa menyanyi, suara saya jelek, ujar bekas pemegang gitar melodi band FS UGM Yogyakarta itu. Sadar akan kelemahannya, Sapardi kemudian mengembangkan diri sebagai penyair. Selain menjadi penyair, ia juga melaksanakan cita-cita lamanya: menjadi dosen. Jadi dosen kan enak. Kalau pegawai kantor, harus duduk dari pagi sampai petang, ujar lulusan Jurusan Sastra Barat FS&K UGM ini. Dan begitu meraih gelar sarjana sastra, 1964, ia mengajar di IKIP Malang cabang Madiun, selama empat tahun, dilanjutkan di Universitas Diponegoro, Semarang, juga selama empat tahun. Sejak 1974, Sapardi mengajar di FS UI. Sapardi menulis puisi sejak di kelas II SMA. Karyanya dimuat pertama kali oleh sebuah surat kabar di Semarang. Tidak lama kemudian, karya sastranya berupa puisi-puisi banyak diterbitkan di berbagai majalah sastra, majalah budaya dan diterbitkan dalam buku-buku sastra. Beberapa karyanya yang sudah berada di tengah masyarakat, antara lain Duka Mu Abadi (1969), Mata Pisau dan Aquarium (1974). Sebuah karya besar yang pernah ia buat adalah kumpulan sajak yang berjudul Perahu Kertas dan memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan kumpulan sajak Sihir Hujan yang ditulisnya ketika ia sedang sakit memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Kabarnya, hadiah sastra berupa uang sejumlah Rp 6,3 juta saat memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia langsung dibelanjakannya memborong buku. Selain itu ia pernah memperoleh penghargaan SEA Write pada 1986 di Bangkok, Thailand. Para pengamat menilai sajak-sajak Sapardi dekat dengan Tuhan dan kematian. Pada Sapardi, maut atau kematian dipandang sebagai bagian dari kehidupan; bersama kehidupan itu pulalah maut tumbuh, tulis Jakob Sumardjo dalam harian Pikiran Rakyat, 19 Juli 1984.

Bekas anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga menulis esei dan kritik. Sapardi, yang pernah menjadi redaktur Basis dan kini bekerja di redaksi Horison, berpendapat, di dalam karya sastra ada dua segi: tematik dan stilistik (gaya penulisan). Secara gaya, katanya, sudah ada pembaruan di Indonesia. Tetapi di dalam tema, belum banyak. Penyair yang pernah kuliah di Universitas Hawaii, Honolulu, AS, ini juga menulis buku ilmiah, satu di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. (1978). Selain melahirkan puisi-puisi, Sapardi juga aktif menulis esai, kritik sastra, artikel serta menerjemahkan berbagai karya sastra asing. Dengan terjemahannya itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting terhadap pengembangan sastra di Tanah Air. Selain dia menjembatani karya asing kepada pembaca sastra, ia patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru. Dengan kepekaan dan wawasan seorang sastrawan, Sapardi ikut mewarnai karya-karya terjemahannya seperti Puisi Brasilia Modern, Puisi Cina Klasik dan Puisi Parsi Klasik yang ditulis dalam bahasa Inggris. Selain itu dia juga menerjemahkan karya asing seperti karya Hemmingway The Old Man and the Sea, Daisy Manis (Henry James), semuanya pada 1970-an. Juga, sekitar 20 naskah drama seperti Syakuntala karya Kalidasa, Murder in Cathedral karya TS Elliot, dan Morning Become Electra trilogi karya Eugene Oneil. Sumbangsih Sapardi juga cukup besar kepada budaya dan sastra, dengan melakukan penelitian, menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan aktif sebagai administrator dan pengajar, serta menjadi dekan Fakultas Sastra UI periode 1995-1999. Dia menjadi penggagas pengajaran mata kuliah Ilmu Budaya Dasar di fakultas sastra. Dia menyadari bahwa menjadi seorang sastrawan tidak akan memperoleh kepuasan finansial. Kegiatan menulis adalah sebagai waktu istirahat, saat dia ingin melepaskan diri dari rutinitas pekerjaannya sehari-hari. Menikah dengan Wardiningsih, ia dikaruniai dua anak, Rasti Suryandani dan Rizki Henriko.

Sapardi Djoko Damono dilahirkan di Solo, sebagai anak pertama dari pasangan Sadyoko dan Sapariah, pada tanggal 20 Maret 1940. Ia tinggal di Ngadijayan, kampungnya Pangeran Hadiwijaya, kira-kira 500 meter dari W.S. Rendra dan B. Sutiman yang tinggal di Kampung Patangpuluhan, dan sekitar 500 meter dari Bakdi Soemanto dan Sugiarta Sriwibawa yang tinggal di Kampung Kratonan tetapi ketika itu ia sama sekali tidak mengenal calon-calon penyair tersebut. Ia bersekolah di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) Kraton Kasatriyan tempat ia bergaul dengan para putra pangeran, sementara di rumah ia menikmati kehidupan sebagai anak kampung dengan menghabiskan masa kecilnya bermain benthik, gobaksodor, dhelikan, jamuran, cari belut, main jailangkung, adu jangkrik, main kelereng, main layang-layang, dan bal-balan di gang sempit atau di Alun-alun Selatan. Suasana perjuangan yang berlangsung sampai dengan tahun 1949, yang kadang-kadang berupa pemboman oleh pesawat terbang Belanda dan dar-dor di malam hari oleh pejuang kita, seperti tidak mempengaruhi keasyikan masa kanaknya. Selain itu ia juga suka mengunjungi beberapa persewaan buku yang waktu itu banyak terdapat di kotanya. Di sana ia mengenal dunia rekaan yang diciptakan Karl May, Sutomo Djauhar Arifin, William Saroyan. Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan lain-laindi samping berbagai jenis komik seperti yang diciptakan oleh R.A. Kosasih. Ia, bersama adik satu-satunya, bahkan pernah mengusahakan persewaan komik bagi anak-anak di kampungnya. Masa kanak itu berlangsung seperti lama sekali dan tak akan penah selesai, sampai mendadak pada tahun 1957 rumah warisan keluarganya dijual dan keluarganya pindah ke pinggir kota di sebelah utara, di desa yang waktu itu belum berlistrik dan suasana desa-kampungnya diwarnai rumpun bambu, kicau urung, bunga sepatu, air kali, dan bedhidhing kalau kemarau. Sama sekali berbeda dengan Ngadijayan yang di pusat kota dan senantiasa hiruk pikuk itu. Waktu itu ia duduk di kelas dua SMA. Dan waktu itu pulalah ia mulai menulis puisi, tidak pernah berhenti sampai sekarang. Sejak itu waktu bagai melesat, berlalu cepat sekali, berbeda dengan masa kanaknya. Selepas SMA ia belajar di Yogya. Di masa mahasiswa ia suka main drama, main musik, siaran sastra di radio, menerjemahkan, dan terus nulis puisi. Lulus dari UGM ia cepat-cepat berumah tangga, bekerja sebagai guru di Madiun, Solo, dan Semarang. Belajar sebentar di Amerika, lalu pindah ke Jakarta pada tahun 1973. Pada tahun itu juga ia diminta membantu Australian Film Commission membuat dua film semi dokumenter mengenai dampak modernisasi bagi kehidupan keluarga di Bali dan Solo, masing-masing selama dua bulan. Ia pernah mondar-mandir JakartaSemarang selama hampir dua tahun, mengajar di Universitas Dipenogoro dan menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia. Sambil bekerja di majalah Horison ia kemudian menjadi pengajar tetap di Fakultas Sastra UI dan terus menulis sambil mencari tambahan nafkah sebagai penerjemah dan juri pelbagai sayembara penulisan, lomba baca puisi, dan festival teater. Ia pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, pelaksana harian Pusat Dokumentasi H.B. Yassin, dan pengurus RT. Ia pun pernah menjadi anggota redaksi majalah Basis di Yogya, country editor untuk Tenggara, jurnal sastra Asia Tenggara yang terbit di Kuala Lumpur, dan correspondent untuk Indonesia Circle, jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh School of Oriental and African Studies, University of London. Setelah bekerja selam 20 tahun, ia mengundurkan diri dari Horison dan kemudian membantu Kalam, sebuah jurnal kebudayaan. Bersama-sama Subagio Sastrowardojo, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, dan John H. McGlynn ia mendirikan Yayasan Lontar yang terutama bergerak di bidang penerbitan terjemahan sastra Indonesia dalam bahasa Inggris. Bersama rekan-rekannya di FSUI ia mendirikan Yayasan Puisi,

yang menerbitkan jurnal Puisi, yang sekarang ini mengalami kesulitan dana tetapi moga-moga saja ada yang membantu agar bisa hidup lagi untuk selama-lamanya. Amin. Meskipun sudah menerbitkan sajak-sajaknya di majalah sejak tahun 1957, Sapardi baru menerbitkan kumpulan sajak pada tahun 1969, berjudul Duka-Mu abadi. Penerbitan itu sepenuhnya ditanggung oleh pelukis Jeihan, temannya keluyuran sejak SMA. Pada tahun 1974 terbit Mata Pisau dan Akuarium, tahun 1983 terbit Perahu Kertas, tahun 1984 Sihir Hujan, tahun 1994 Hujan Bulan Juni, dan tahun 1998 Arloji. Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Arab, Hindi, Cina, Jepang, Belanda, Prancis, Inggris, Jerman, Bali, dan Jawa. Sejumlah sajaknya diterbitkan dalam bahasa Inggris, berjudul Suddenly the Night. Jika selama usia likuran ia sangat subur, ternyata semakin tua ia merasa semakin terbata-bata menulis puisi meskipun tetap saja menulis puisi, mungkin sebab itulah pekerjaan tetapnya yang tidak memberinya nafkah. Namun, karena menulis puisi ia diundang baca puisi ke mana-mana di Eropa, Asia, dan Australia. Dan ia senang ketika salah sebuah sajaknya dikutip oleh Perdana Menteri India, Narasimha Rao, dalam pidatonya di sebuah KTT Nonblok, ketika sejumlah (mantan) mahasiswanya menggunakan beberapa sajaknya untuk disusun menjadi nyanyian, ketika salah satu sajak yang dinyanyikan itu dijadikan lagu tema dalam film Gagrin Nugroho Cinta dalam Sepotong Roti, ketika sajak yang sama itu muncul pula sejumlah undangan kawin, kalender, poster, t-shirt, dan bloknot. Setidaknya ia merasa tidak sia-sia telah menulis dalam bahasa Indonesia karena ternyata ada saja yang membaca dan memanfaatkannya, meskipun kadang-kadang ia bertanya-tana mengapa tidak menulis puisi dalam bahasa Jawa, bahasa ibunya. Sapardi juga suka menulis berbagai jenis esai dan karangan ilmiah, terutama untuk dicampaikan di seminar-seminar. Karangan-karangannya jenis itu yang dibukukan antara lain Sosiologi Sastra. Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983), Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), dan Sihir Rendra: Permainan Makna (1999) di samping dalam sejumlah antologi karangan bersama. Kesukaannya menerjemahkan telah menghasilkan beberapa buku antara lain Puisi Klasik Cina, Puisi Parsi Klasik, Puisi Brazilia Modern, Sepilihan Sajak Geroge Seferis, Mendorong Jack Kunti-kunti; Sepilihan Sajak Australia, Afrika yang Resah (terjemahan dari :Song of Lawino dan Song of Ocol oleh Okot pBitek), Lelaki tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway) Daisy Manis (Daisy Miller, Henry James), Codot di Pohon Kemerdekaan (kumpulan cerpen Albert Wendt dari Samoa), Tiga Sandiwara Ibsen, Duka Cita bagi Electra (Mourning becomes Electra, drama trilogi Eugene ONeill), Shakuntala, dan Amarah (The Grapes of Wrath, John Steinbeck). Bersama rekan-rekannya di FSUI ia menerjemahkan karya Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Sejumlah terjemahannya yang sudah diterbitkan di majalah dan koran atau dipentaskan, tetapi belum dibukukan, antara lain Pembunuhan di Katedral (Murder in the Chatedral, T.S. Elliot) Singa dan Permata (The Lion and The Jewel, Wole Soyinka), Brown sang Dewa Agung (The Great God Brown, ONell), Asap Musim Panas (Summer and Smoke, Tenessee Williams), Di Bawah Langit Afrika (kumpulan cerpen Afrika), dan sejumlah besar sajak, drama pendek, dan cerpen. Kegiatannya di bidang karang-mengarang telah memberinya beberapa penghargaan, yakni Cultural Award (1978) dari Austrlia, Anugrah Puisi Putra (1983) dari Malaysia, SEA-Write Award (1986) dari Thailand, Anugrah Seni (1990) dari Pemerintah RI. Kegiatannya sebagai guru menghasilkan gelar doktor dan guru besar, di samping beberapa jabatan struktural antara lain

Dekan Fakultas Sastra UI (1995-1999). Ia juga mengetuai bidang humaniora di Majlis Penelitian Pendidikan Tinggi dan menjadi anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat, Ditjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Ia tinggal di Perumahan Dosen UI di Ciputat. arsip kumpulan sajak karya Sapardi Djoko Damono

You might also like