You are on page 1of 3

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan suatu penyakit epidemik akut yang disebabkan oleh virus yang ditransmisikan oleh Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penderita yang terinfeksi akan memiliki gejala berupa demam ringan sampai tinggi, disertai dengan sakit kepala, nyeri pada mata, otot dan persendian, hingga perdarahan spontan (WHO, 2010). Penyakit endemik ini pertama kali didata dan dilaporkan terjadi pada tahun 1953-1954 di Filipina. Sejak itu, penyebaran DBD dengan cepat terjadi ke sebagian besar negara-negara Asia Tenggara, termasuk di Indonesia (WHO, 2010). Insidensi demam berdarah dengue meningkat secara dramatis di seluruh dunia dalam beberapa dekade ini. Diperkirakan, saat ini di seluruh dunia sekitar 2,5 milyar orang memiliki resiko terkena demam dengue. Mereka terutama tinggal di daerah perkotaan negara-negara tropis dan subtropis. Diperkirakan saat ini sekitar 50 juta kasus demam dengue ditemukan setiap tahun, dengan 500.000 kasus memerlukan penanganan di Rumah Sakit. Dari kasus di atas, sekitar 25.000 jumlah kematian terjadi setiap tahunnya (WHO, 2010). Di Indonesia, penyebaran demam berdarah pertama kali terdata pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta (WHO, 2010). Pada tahun 2007, dilaporkan terdapat 156.000 kasus demam dengue atau 71,4 kasus per 1.000 populasi. Kasus ini tersebar di seluruh 33 propinsi di Indonesia; di 357 dari total 480 kabupaten (Dengue Report of Asia-Pacific Dengue Program Managers Meeting 2008). Dari total kasus di atas, kasus DBD berjumlah 16.803, dengan jumlah kematian mencapai 267 jiwa. Pada tahun 2001, distribusi usia penderita terbanyak adalah di atas 15 tahun (54,5%), sedangkan balita (1-5 tahun) 14,7%, dan anak-anak (6-12 tahun) 30,8% (DepKes RI, 2008). Tingginya kasus, terutama kematian akibat DBD di Indonesia tidak terlepas dari kontrol dan pencegahan yang lemah oleh berbagai pihak, khususnya dari pemerintah dan masyarakat. Kebanyakan dokter di Indonesia juga belum menerapkan standard penanganan kasus DBD, sehingga jumlah kematian masih tinggi. Faktor

Universitas Sumatera Utara

penting lainnya adalah belum tersedianya obat spesifik atau vaksin untuk menangani dengue (Delianna, 2008). Pada pertemuan Asia-Pacific Dengue Program Managers Meeting 2008 Pemerintah Indonesia meluncurkan Program Kontrol Dengue Terintegrasi. (Dengue Report of Asia-Pacific Dengue Program Managers Meeting 2008). Sejalan dengan program Indonesia Sehat 2010, diharapkan melalui program ini pada tahun 2010 jumlah kematian akibat DBD menjadi kurang dari 1%, dengan insidensi di bawah 20 per 100.000 populasi. Penanganan pasien DBD menghabiskan waktu yang lama dan biaya kerugian yang relatif besar. Dengan manajemen standard, pasien demam berdarah dengue ratarata menghabiskan waktu rawat inap di rumah sakit selama 4,2 1,5 hari (Tai dkk., 1999). Sedangkan periode sakit yang dijalani pasien rata-rata 11 hari, dengan durasi demam rata-rata selama 6 hari. Biaya atau kerugian langsung dan tidak langsung yang dikeluarkan setiap pasien rawat inap di rumah sakit sekitar USD 1.394 (Suaya, 2008). Biaya yang dikeluarkan secara langsung dipengaruhi oleh lamanya rawat inap.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, apakah terdapat hubungan antara jumlah trombosit dengan lama rawat inap pada pasien DBD di Poliklinik RSUP Haji Adam Malik?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan jumlah trombosit dengan lama rawat inap pasien DBD di Poliklinik RSUP Haji Adam Malik.

1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mendapatkan data demografi penderita demam berdarah dengue. 2. Mendapatkan gambaran hasil pemeriksaan trombosit pada penderita DBD di RSUP Haji Adam Malik.

Universitas Sumatera Utara

1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Membantu para petugas kesehatan dalam memutuskan penanganan awal terhadap penderita DBD berdasarkan jumlah trombositnya. 2. Menyediakan informasi bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga kesehatan untuk pengambilan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan

pelayanan pasien DBD. 3. Membantu petugas kesehatan dalam memprediksi biaya dan lama rawat inap pasien DBD. 4. Membantu meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat akan besarnya kerugian yang ditimbulkan DBD.

Universitas Sumatera Utara

You might also like