You are on page 1of 37

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING II BLOK NEUROLOGY & SPECIFIC SENSE SYSTEMS (NSS) Tuan Mose Yang Malang...

Tutor :

dr.Evy Sulistyoningrum,M.Sc Oleh : Kelompok I

Dandhy Dharma S. P. Nur Fitri Margaretna Ning Maunah Angkat Prasetya A.N Dasep Padilah Eviyanti Ratna Suminar Lina Sunayya Rona Lintang Harini Hesti Putri A Tribuana Yogaswara Yanuary Tejo Buntolo

G1A010016 G1A010017 G1A010031 G1A010038 G1A010062 G1A010063 G1A010075 G1A010094 G1A010099 G1A008102 G1A009062

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN 2013

BAB I PENDAHULUAN

Proses belajar memiliki berbagai metode pembelajaran dalam rangka mencapai sasaran belajar dan kompetensi yang diharapkan untuk mahasiswa yang bersangkutan. Salah satu metode pembelajaran tersebut adalah dengan metode Problem Based Learning, yakni suatu metode belajar dengan model diskusi pembelajaran bersama terhadap skenario kasus tertentu yang menuntut mahasiswa berperan aktif secara individu. Tujuan dari pbl ini yaitu : a. Mengembangkan kemampuan untuk mengidentifikasi skenario masalah yang berisi patient problem. b. Melatih kemampuan generic learning skills, dan memahami serta menghubungkan basic sciences dengan clinical sciences. c. Meningkatkan penguasaan soft skills yang meliputi kepemimpinan, profesionalisme, ketrampilan komunikasi, kemampuan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim, ketrampilan untuk berpikir secara kritis,serta kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi d. Melatih karakter student centred learning,self directed learning dan adult learning. Dalam memahami dan mendalami permasalahan yang telah tersedia melalui penerapan seven jumps, yaitu: 1. Klarifikasi istilah 2. Batasan masalah 3. Analisa masalah 4. Pembahasan masalah 5. Kesimpulan Pada kasus PBL (Problem Based Learning) kedua blok NSS ini, kami membahas mengenai meningoencephalitis tuberculosis. Pada pembahasan kali ini, kami harus benar-benar memahami mulai dari apa itu encephalitis dan meningitis, mengapa kuman tuberculosis bisa menjadi penyebab terjadinya penyakit ini, fakor predisposisi, patogenesis, patofisiologi, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, pencegahan serta pencegahannya. masalah kesehatan dari

BAB II PEMBAHASAN

Info I RPS Tn Mose. Usia 38 tahun datang ke IGD diantar keluarganya dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 1 jam yang lalu ketika sedang tiduran. Sebelumnya 6 jam sebelum masuk rumah sakit, pagi hari setelah bangun tidur pasien mengeluh sakit pada kepalanya yang semakin lama semakin hebat hingga pasien muntah, keluhan ini tidak hilang dengan mengonsumsi obat penghilang rasa sakit. Sehingga oleh keluarganya Tn.Mose dibawa ke rumah sakit, ditengah perjalanan Tn.Mose mengalami kejang selama 10 menit. Sesampainya di IGD pasien mengalami kejang kembali selama 5 menit Seminggu sebelum masuk rumah sakit pasien merasa demam. Pasien mempunyai riwayat 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh batuk, sering berkeringat pada malam hari dan pasien merasakan berat badannya turun sehingga dengan keluhan ini pasien berobat ke dokter. Oleh dokter, pasien dilakukan foto rontgen dan diketahui terdapat infeksi pada paruparunya. Pasien diharuskan meminum obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6 bulan, akan tetapi karena keterbatasan biaya pasien tidak berobat kembali.

RPD a. Riwayat hipertensi disangkal b. Riwayat DM disangkal c. Riwayat penyakit jantung disangkal d. Riwayat kejang sebelumnya disangkal e. Riwayat trauma kepala disangkal

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum Kesadaran Vital sign : penurunan kesadaran : E2M3V2 : TD N : 120/80 mmhg : 100 x/menit

RR : 24 x/menit

S Orientasi a. Waktu b. Orang c. Tempat Kepala dan leher a. Kepala b. Leher c. Mata Jantung Paru : jelek : jelek : jelek

: 39 oC

: mesochepal, tanda trauma ( jejas ) (-) : kaku kuduk (+) : dbn : dbn : stridor

STATUS NEUROLOGIS 1. Pemeriksaan nervus kranialis a. N III : ODS OS : bentuk pupil bulat isokor diameter 3mm : reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+)

sedikit berkurang b. N VI c. N VII 2. 3. Pemeriksaan sensibilitas Pemeriksaan neurologis a. Tes kaku kuduk b. Tes brudzinki c. Tes kernig 4. Pemeriksaan fisiologis 5. Kekuatan motorik ekstrimitas 6. Pemeriksaan patologis a. Reflek babinsky : +/+ : (+) : (+) : (+) : (+) meningkat : sulit dinilai, kesan kelemahan pada keempat : kesan parese N VII bilateral : parese facial sinistra tipe sentral : sulit dinilai

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Darah lengkap (Hb. Leukosit, Ht, trombosit, hitung jenis) GDS, ureum kreatinin, elektrolit a. Hb : 14 gr/dl

b. Leukosit c. Trombosit d. Hematokrit e. GDS f. Ureum g. kreatinin h. kalium i. natrium j. Klorida 2. TB ICT 3. Foto Thorax 4. Brain CT scan

: 17000/mm3 : 150.000 mm3 : 42 % : 145 mg/dl : 23 mg/ dl : 0,7 mg/dl : 4 meq/l : 140 meq/l : 101 meq/l : (+) : gambaran TB milier paru kanan kiri

a. gambaran tuberculoma b. tidak tampak hidrocephalus c. tidak tampak infark 5. Lumbal pungsi a. Warna b. Leukosit c. Neutrofil : xantokrom : 750 x 10 3 /ml : <75 %

d. Perbandingan glukosa CSS : plasma < 50 %

ASSESMENT Diagnosis klinis : penurunan kesadaran, meningeal sign (+), parese parese N VII sinistra tipe sentral, kejang,demam Diagnosis topis : meningeal, encephalon N VI,

Diagnosis etiologi : meningoencephalitis e.c tuberkulosa Diagnosis banding : Epilepsi Meningoencephalitis e.c parasit Prognosis Fungsional Vitam Sanam : dubia ad malam : dubia ad malam : dubia ad malam

TERAPI a. IVFD Asering 20 tpm b. O2 liter/menit c. Dexamethason IV bolus 0,3 mg/ kgbb/hari d. Diazepam 10 mg iv pelan e. Phenitoin 3 x 100 mg iv f. Paracetamol 3 x 500 mg ( jika panas) g. Causa i. Tahap I ( 2 bulan) a) isoniazid 300 mg b) rifampisin 600 mg c) pirazinamid 2 gram d) etambutol 750 mg ii. Tahap lanjut ( 7 10 bulan) a. Isoniazid 300 mg b. Rifampicin 600 mg

A. KLARIFIKASI ISTILAH 1. Kejang : Kejang merupakan suatu kondisi dimana otot tubuh berkontraksi dan relaksasi secara cepat dan berulang, oleh karena abnormalitas sementara dari aktivitas elektrik di otak, dapat karena kelainan intrakranial, ekstrakranial, atau metabolik (Nelson, 2000). 2. Penurunan Kesadaran : Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian semua impuls aferen dan impuls eferen. Jumlah impuls aferen menentukan derajat kesadaran, sedangkan cara pengolahan impuls aferen yang menelurkan pola-pola impuls eferen menentukan kualitas kesadaran (Sidharta, 2009). 3. Kesadaran merupakan fungsi utama susunan syaraf pusat. Untuk mempertahankan fungsi kesadaran yang baik, perlu suatu interaktsi yang konstan dan efektif anatara hemisfer serebri yang intak dan formasio retikularis di batang otak. Gangguan pada hemisfer serebri atau formasio retikularis dapat menimbulkan gangguan kesadaran (Chandra, 1979).

4. Vomitus adalah pengeluaran involunteer dan ekspulsi yang kuat semua isi lambung dari mulut. Pusat muntah di medulla oblongata distimulasi baik secara langsung (muntah sentral) atau melalui serat eferen (muntah reflek). Muntah sentral akibat : 1) Obat 2) Uremia 3) Hiperkalsemia 4) Infeksi akut 5) Kehamilan Muntah reflek : Penyebab dari gangguan gastrointestinal B. BATASAN MASALAH Identitas pasien Nama Umur : Tn.M : 38 tahun

Jenis kelamin : laki-laki Keluhan utama: penurunan kesadaran Onset : sejak 1 jam yang lalu

Faktor memperberat : (-) Faktor memperingan : (-) Gejala penyerta : Kejang selama 10 menit

- Kejang selama 5 menit - Sakit kepala - Muntah RPD : - Seminggu sebelum masuk RS pasien merasa demam - 1 bulan yang lalu pasien mengeluh batuk, sering berkeringat pada malam hari, BB turun - Foto rontgen terdapat infeksi pada paru-paru, pasien diharuskan minum obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6 bulan, tapi pasien tidak berobat kembali. Riwayat Sosial : Ekonomi rendah

C. ANALISIS MASALAH 1 1. Mekanisme kesadaran, nyeri kepala 2. Klasifikasi kejang 3. Tingkat kesadaran 4. Menentukan atau menilai tingkat Kesadaran 5. Penyebab penurunan kesadaran 6. Perbedaan meningitis dengan encephalitis 7. Pemeriksaan Neurologis, yang spesifik pada Meningitis 8. Intrepetasi info 2,3,4,5 D. ANALISIS MASALAH 2 1. Definisi, etiologi, faktor resiko, diagnosis differential meningoencephalitis tuberculosis 2. Patofisiologi dan patogenesis meningoencephalitis tuberculosis 3. Penegakan diagnosis meningoencephalitis tuberculosis 4. Pemeriksaan Lumbal Pungsi 5. Penatalaksanaan (farmako dan non farmako) meningoencephalitis tuberculosis 6. Komplikasi dan prognosis meningoencephalitis tuberculosis

A.

PEMBAHASAN ANALISIS PERTAMA 1. Mekanisme kesadaran, nyeri kepala Kesadaran Pusat kesadaran manusia terdapat didaerah pons, formasio retikularis daerah mesensefalon dan diensefalon. Lintasan aspesifik ini oleh Merruzi dan Magoum disebut diffuse ascending reticular activating system (ARAS). Melalui lintasan aspesifik ini, suatu impuls dari perifer akan menimbulkan rangsangan pada seluruh permukaan korteks serebri (Rumawas, 2000).

Saraf sensoris dari seluruh tubuh dan kepala

Batang otak (mesencephalon pons medulla oblongata)

Formatio reticularis

Ascending Reticular Activating System (ARAS)

Excitatory neurotransmitter

Intralaminar nuclei di thalamus

Inhibitory neurotransmitter

Glutamat

Korteks serebri teraktivasi

GABA

Kesadaran

Kesadaran meningkat

Kesadaran menurun

Gambar 2.1. Mekanisme kesadaran (Snell, 2006).

Nyeri Kepala Bakteri masuk aliran darah Masuk plexus choroideus Infeksi epitel plexus Bisa masuk menembus LCS
Multiplikasi bakteri di dalam LCS

NYERI KEPALA Berikatan dengan reseptor nyeri Mediator inflamasi keluar menuju sinus dural Respon inflamasi

Bakteri keluarkan toksin Produksi Sitokin & Kemokin Gangguan permeabilitas BBB Protein plasma masuk LCS Vasogenic Edema Leukosit masuk LCS Degranulasi Keluarkan metabolit toksin Ganggu metabolisme sel dan pompa elektrolit Cytotoxic edema

Bakteri membentuk eksudat di ruang subarachnoidea Memblokir granulasi arachnoidea

Mengganggu resorpsi LCS ke sinus dural

Hydrocephalus malresorpsi

TIK >> Aliran LCS yang sedikit teresorpsi mendesak sinus dural

Rangsang reseptor nyeri di duramater NYERI KEPALA

Sinus dural mendesak duramater pars periosteal

Gambar 2.2. Mekanisme nyeri kepala (Sylvia, 2005).

2.

Klasifikasi kejang Kejang merupakan suatu kelainan yang diakibatkan oleh gangguan

neurologis yang terjadi karena lepasnya muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu atau disebut juga fokus kejang ( Price, 2005) : Tabel Klasifikasi Kejang ( Price, 2005) No Klasifikasi 1. PARSIAL Karakteristik Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah ; fokus hanya disuatu bagian tapi dapat menyebar ke bagian lain a. Parsial Sederhana 1.Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral) 2.Dapat bersifat sensorik ( merasakan, membaui,

mendengar sesuatu yang abnormal) 3.Dapat Bersifat Autonomik ( takikardia, bradikardia, takipnu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium) 4. Dapat bersifat psikis ( disfagia, gangguan daya ingat) 5. Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit b. Parsial Kompleks 1.Dimulai dari kejang parsial sederhana kemudian berkembang menjadi kejang yang disertai oleh a. Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme ( mengecap-ecapkan bibir, mengunyah, menariknarik baju) b. Beberapa kejang parsial komplek mungkin berkembang menjadi kejang generalisata c. Biasanya berlangsung 1-3 menit 2. Kejang Umum ( generalisata) 1. Kejang absens Gangguan kewaspadaan dan responsivitas Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik Awalan dan akhiran cepat, setelah itu kembali waspada dan konsentrasi penuh

Umumnya dimuali pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering sembuh dengan sendirinya pada usia 18 tahun.

2. Kejang Mioklonik Kedutan kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi mendadak. Sering terjadi pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik, berupa kedutan- kedutan singkron dari leher, bahu, lengan atas, dan kaki. Umumnya berlangsung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam kelompok. Kehilangan kesadaran hanya sesaat.

3. Kejang Tonik-Klonik Diawali dengan hilangnya kesadaran disaat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah, yang langsung kurang dari 5 menit. Dapat disertai dengan hilangnya control kandung kemih dan usus. Tidak ada respirasi dan sianosis. Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan bawah. Letargi, konflusi, dan tidur dalam fase postical.

4. Kejang Atonik Hilangnya tonus secara mendadak sehingga menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk atau jatuh ke tanah. Singkat, dan terjadi tampa peringatan ( Price, 2005)

3. Tingkat kesadaran Tingkat kesadaran secara umum adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi : 1) Compos mentis (concious), yaitu keasadaran normal,sadar sepenuhnya, dapat semua pertanyaan tentang keadaan sekeliling 2) Delirium, yaitu gangguan kedasaran yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif. Delirium mempunyai beberapa sebab. Semuanya mempunyai

pola gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pendeita misalnya gelisah, disorientasi (orang,tempat,waktu) 3) Somnolen, yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat mudah tidur,namun kesadaran dapat pulih apabila dirangsang 4) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap tetapi ada respon terhadap nyeri 5) Koma yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun

4. Menentukan atau menilai tingkat Kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/menilai tingkat kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan koma. Teknik penilaian dengan ini terdiri dari tiga penilaian terhadap respon yang ditunjukkan oleh pasien setelah diberi stimulus tertentu, yakni respon buka mata, respon motorik terbaik, dan respon verbal. Setiap penilaian mencakup poin-poin, di mana total poin tertinggi bernilai 15.

Jenis Pemeriksaan Respon buka mata (Eye Opening, E) Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang) Respon terhadap suara (suruh buka mata) Respon terhadap nyeri (dicubit) Tida ada respon (meski dicubit) Respon verbal (V) Berorientasi baik Berbicara mengacau (bingung) Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak jelas dan non-kalimat,
misalnya, aduh bapak..) Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang)

Nilai 4 3 2 1 5 4 3 2 1 6 5 4 3 2

Tidak ada suara Respon motorik terbaik (M) Ikut perintah Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri) Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri) mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)

Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari

1 Tidak ada (flasid) Interpretasi atau hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol EVM Klasifikasi total skor GCS :

a. Skor 14-15 : compos mentis b. Skor 12-13 : apatis c. Skor 11-12 : somnolent d. Skor 7-10 : Delirium e. Skor < 7 : koma Pada Kasus Kesadaran E2M3V2 Tingkat kesadaran: Delirium dengan total skor 7

5. Penyebab penurunan kesadaran SEMENITE 1) Sirkulasi : stroke dan penyakit jantung 2) Ensefalitis : infeksi sistemik / sepsis 3) Metabolik : hiperglikemia, hipoklimia, hipoksia, uremia, koma hepatikum 4) Elektrolit : diare dan muntah yang berlebihan 5) Neoplasma : Tumor otak primer / metastasis 6) Intoksikasi : obat / bahan kimia 7) Trauma : trauma kapitis 8) Epilepsi : pasca serangan grand mall / pada status epileptikus dapat menyebabkan penurunan kesadaran 6. Perbedaan meningitis dengan encephalitis Pengertian Meningitis Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur. Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus).

Sindroma Meningitis yaitu berupa:


1) Demam

2) 3) 4)

Nyeri kepala hebat Gangguan kesadaran Kejang kejang

Dan ditandai pula dengan adanya tanda Rangsangan Meningeal, berupa : 1) Kaku kuduk 2) Tes brudzinsky positif 3) Tes kernig yang positif

Etiologi 1. Bakteri : Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa. 2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia. 3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita. 4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan. 5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin. 6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem persarafan.

Klasifikasi Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu : 1. Meningitis serosa Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia. 2. Meningitis purulenta Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa (Harsono. 2003). Pengertian Encephalitis

Encephalitis adalah suatu peradangan dari otak. Ada banyak tipe-tipe dari encephalitis, kebanyakan darinya disebabkan oleh infeksi-infeksi. Paling sering infeksi-infeksi ini disebabkan oleh virus-virus. Encephalitis dapat juga disebabkan oleh penyakit-penyakit yang menyebabkan peradangan dari otak. Encephalitis adalah infeksi jaringan atas oleh berbagai macam mikroorganisme Tanda dan Gejala Gejala-gejala dari encephalitis termasuk demam yang tiba-tiba, sakit kepala, muntah, kepekaan penglihatan pada sinar, leher dan punggung yang kaku, kebingungan, keadaan mengantuk, kecanggungan, gaya berjalan yang tidak mantap, dan mudah terangsang. Kehilangan kesadaran, kemampuan reaksi yang buruk, serangan serangan, kelemahan otot, demensia berat yang tiba-tiba dan kehilangan memori dapat juga ditemukan pada pasien-pasien dengan encephalitis. 1. Demam 2. Sakit kepala dan biasanya pada bayi disertai jeritan 3. Pusing 4. Muntah 5. Nyeri tenggorokan 6. Malaise Etiologi 1. Mikroorganisme: bakteri, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Macam- macam encephalitis virus menurut Robin : a. Infeksi virus yang bersifat epidermik: 1) Golongan enterovirus = poliomyelitis, virus coxsackie, virus ECHO. 2) Golongan virus ARBO = western equire encephalitis, St. louis encephalitis, Eastern equire encephalitis, Japanese B. encephalitis, Murray valley encephalitis.

b. Infeksi virus yang bersifat sporadic : rabies, herpes zoster, limfogranuloma, mumps, limphotic, choriomeningitis dan jenis lain yang dianggap disebabkan olehvirus tetapi belum jelas. c. Encephalitis pasca infeksio, pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella, pasca vaksinia, pasca mononucleosis, infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik. 7. Pemeriksaan Fisik spesifik pada Meningitis Pemeriksaan Rangsangan Meningeal 1. Pemeriksaan Kaku Kuduk Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala. 2. Pemeriksaan Tanda Kernig Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135 (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri. 3. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher) Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher. 4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai) Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral (Harsono. 2003)..

8. Intrepetasi ifo 3,4,5 INFO 3 Pemeriksaan fisik KU Kesadaran Vital sign : penurunan kesadaran : E2M3V2 : TD : 120 / 80

Nadi : 100 x/menit RR S Orientasi - Waktu - Orang - Tempat Kepala dan leher - Kepala - Leher - Mata Jantung Paru : mesochephal, tanda trauma (jejas) (-) : kaku kuduk (+) : dbn : dbn : stridor + : jelek : jelek : jelek : 24 x/menit : 39 0C

Interpretasi INFO 3 Dilihat dari pemeriksaan fisik yang terdapat pada info diatas, kondisi ketidaknormalan ditemui pada penurunan kesadaran, peningkatan suhu, terdapat tanda kaku kuduk (+) disertai suara stridor dari rongga thoraks.

Pengukuran derajat kesadaran, digunakan GCS (Glasow coma scale) yang merupakan metode penilaian kuantitatif dengan menggunakan tiga parameter, yaitu : Eye response, Motor response, dan Visual response ? Penjelasan mengenai skor derajat kesadaran Tn. M dimana GCS E2 M3 V2 diinterpretasikan sebagai berikut Tn. M mampu membuka mata dengan rangsangan nyeri, gerakan ekstensi / flexi flaccid dengan rangsang nyeri, merintih, serta tidak dapat mengdentifikasi secara tepat terhadap waktu, tempat dan orang. - Terjadinya peningkatan suhu menandakan adanya infeksi

- Adanya kaku kuduk (+) menggambarkan adanya infeksi pada daerah meningens - Adanya bunyi stridor merupakan pertanda adanya obstrusksi pada jalan napas akibat benda asing, penyebab bunyi ini bias diketahui dari sifat kemunculannya. Bunyi stridor pada saat inspirasi ditemui pada pasien dengan obstrusksi laring, sedangkan bunyi stridor pada saat ekspirasi ditemui pada pasien dengan obstruksi trakheobronkial. Berdasarkan penyebab, bunyi stridor sering dialami oleh pasien dengan peradangan paru seperti kasus tuberculosis (Isselbacher, et al. 2000) INFO 4 1. Status nervus kranialis a. N III ODS OS b. N VI c. 2. 3. N VII : bentuk pupil bulat isokor diameter 3 mm : reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+) sedikit berkurang : kesan parese N VI bilateral : parese fascialis sinistra tipe sentral

Pemeriksaan sensitibilitas : sulit dinilai Pemeriksaan neurologis - Tes kaki kuduk - Tes brudzinski I IV - Tes kernig : (+) : (+) : (+) : (+) meningkat : sulit dinilai, kesan kelemahan pada keempat

4. 5.

Pemeriksaan fisiologis Kekuatan motorik ektrimitas

6.

Pemeriksaan patologik Reflek babinsky : +/+

Interpretasi INFO 4 a) Pemeriksaan Occuli dextra-sinistra dilakukan dengan cara inspeksi langsung pada kedua mata: bentuk pupil yang isokhor mengindikasikan adanya kesamaan bentuk maupun ukuran pupil dextra dan sinistra, maka hal tersebut normal. b) Pemeriksaan refleks cahaya langsung dan tidak langsung, dilakukan dengan memberikan stimulus cahaya pada mata pasien dari arah lateral ke medial baik secara langsung maupun konsensual. Pada hasil pemeriksaan refleks ini, pasien pada mata kanan pasien memiliki penurunan reflex, sehingga hal ini mengindikasikan adanya parase di nervus III.

c) Kesan parese N VI bilateral, mengindikasikan adanya gangguan pada nervus VI yang bisa diakibatkan oleh lesi pada system saraf. Hal ini dapat terjadi pada kondisi

infeksi pada selaput otak dan parenkim otak seperti pada kasus meningitis, meningoenchepalitis, dan perdarahan subarakhnoid d) Parese fasialis sinistra tipe sentral e) Parase tipe sentral pada nervus VII. Nervus VII (fasialis) merupakan nervus yang mengatur jalannya pergerakan otot-otot daerah muka terutama dahi, pipi, dan mulut, serta sebagai inervator sensoris pada 2/3 anterior lidah. Letak lesi sentral menunjukkan adanya lesi pada upper motor neuron (UMN) yang mengakibatkan gangguan pada gerak otot di daerah muka. Lesi pada upper motor neuron pada salah satu hemisfer cereberi menyebabkan kelemahan gerak otot wajah selain dahi pada area kontra lateral, dikarenakan otot-otot wajah selain dahi hanya dipersarafi oleh satu sisi hemisfer yang kontra lateral, namun hal ini tidak berlaku pada gerak otot wajah pada dahi, sebab otot oto tersebut diinervasi oleh kedua sisi hemisfer (Baehr dan Frotscher, 2012). f) Reaksi meningeal (+), Reaksi meningeal sign positif merupakan tanda khas pada lesi/ infeksi meningens Pemeriksaan Neurologis 1. Meningeal sign Meningeal sign adalah salah satu cara untuk mengetahui gejala dari adanya peradangan pada selaput otak misalnya pada meningitis. Pemeriksaan ini terdiri dari Kaku Kuduk (nuchal rigidity), Tanda Lasegue, Tanda Kernig, dan Tanda Burdzinki (Lumbantobing, 2011). 1) Kaku Kuduk Kaku kuduk merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelainan rangsang selaput otak. Sangat jarang dapat mendiagnosis meningitis tanpa adanya gejala ini. a. Cara pemeriksaan : Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring. Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan. b. Interpretasi :

Bila terdapat kaku kuduk maka akan didapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk bersifat ringan apabila ada tahanan sewaktu menekukkan kepala. Kaku kuduk yang berat, didapatkan kepala yang tidak dapat ditekuk. Kaku kuduk juga dapat ditemukan pada keadaan miositis otot kuduk, abses retrofaringeal, atau artritis di servikal (Lumbantobing, 2011). 2) Tanda Lasegue a. Cara pemeriksaan : Pasien berbaring, diluruskan (diekstensikan) kedua tungkainya. Kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) pada persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus). b. Interpretasi : Pada keadaan normal, dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70 derajat, maka Tanda Lasegue positif. Tanda Lasegue positif ditemukan pada kelainan seperti rangsang selaput otak, isialgia, dan iritasi pleksus lumbosakral (misalnya hernia nukleus pulposus lumbalis) (Lumbantobing, 2011). 2. Tanda Kernig a. Cara pemeriksaan : Penderita yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. b. Interpretasi : Pada keadaan normal, kita dapat melakukan ekstensi sampai sudut 135 derajat, antara tungkai bawah dan tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka dikatakan bahwa tanda Kernig positif. Tanda ini positif ditemukan pada kelainan rangsang selaput otak dan iritasi akar lumbpsakral atau pleksusnya (misalnya pada HNP-lumbal). Pada meningitis biasanya positif bilateral, sedangkan pada HNP-lumbal dapat unilateral (Lumbantobing, 2011). 3. Tanda Burdzinski I a. Cara pemeriksaan : Tangan ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah deiangkatnya badan. b. Interpretasi :

Tanda ini dinilai positif apabila tindakan mengakibatkan fleksi pada kedua tungkai (Lumbantobing, 2011). Tanda Burdzinki II a. Cara pemeriksaan : Pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada persedian panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus). b. Interpretasi : Tanda ini positif apabila tungkai yang satu ini pun ikut pula terfleksi (Lumbantobing, 2011). Pemeriksaan Patologis Refleks babinsky merupakan reflex primitive yang bias ditemui pada pasien balita, Terdapat reflek patologi babinsky merupakan kondisi patologis. Refleks babinsky positif pada umumnya dikarenakan oleh adanya kelainan pada sistem traktus piramidalis, baik struktur ataupun fungsinya. Hal ini menjadikan respon segmental jari kaki untuk flexi hilang, seharusnya ada kesigesgisan untuk flexi dan ekstensi. Dalam hal ini, muncul otot Ekstensor Hallucis Longus sehingga muncullah tanda babinsky (Khwaja, 2005).

Intrepetasi Pemeriksaan Fisiologis Pada reflek fisiologis terdapat kesan kelemahan pada keempat ekstrimitas dapat terjadi pada gangguan korteks serebri yang mengatur gerak motorik seseorang, hal ini dapat terjadi pada kondisi infeksi pada selaput otak dan parenkim otak seperti pada kasus meningitis, meningoenchepalitis, dan perdarahan subarachnoid.

INFO 5 1. Darah lengkap (Hb, leukosit, Ht, Trombosit, Hitung jenis) GDS, ureum kreatinin eletrolit Hb Leukosit Trombosit Hamtokrit GDS Ureum Kreatinin : 14 gr/dl (13,5 18,0 g/dl) Normal : 17.000 mm3(4000-10.000/ L) Meningkat : 150.000 mm3(150.000-400.000 /L) Normal : 42% (40% 52%) Normal : 145 mg/dl (200 mg/dl) Normal : 23 mg/dl (8- 25 mg/dl) Normal : 0,7 mg/dl (0,7 1,5 mg/dl) Normal

Kalium Natrium Klorida 2. TB ICT 3. Foto Thorax 4. Brain CT scan -

: 4 meq/l (3,5 5 meq/l) Normal : 140 meq/l (135 145 meq/l) Normal : 101 meq/l (94 111 meq/l) Normal : (+) : gambaran TB Milier paru kanan - kiri

Gambaran tuberculoma Tidak tampak tampak hidrosefalus Tidak tampak infark

5. Lumbal fungsi Warna Leukosit Neutrofil : Xantokrom : 750 x 103/ml ( 6000-9000) Meningkat : < 75% ( 60 70 %) Meningkat

Perbandingan glukosa LCS : plasma < 50% (50 60%) Menurun Protein meningkat

Interpretasi INFO 5 : 1. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan adanya peningkatan leukosit (leukositosis), hal ini menunjukan bahwa sedang terjadi proses infeksi pada pasien 2. TB ICT (Immunochromatographic Tuberculosis) merupakan tes serologi untuk seseorang terkena TB, hasil psoitif pada pasien menunjukkan bahwa pasien terkena infeksi oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. 3. Pada pemeriksaan lumbal pungsi, didapatkan warna xantrokom dengan terdapat peningkatan jumlah pada protein, leukosit dan neutrofil, disertai dengan penurunan pada perbandingan glukosa LCS palasma menurun. - warna xantrokom (warna jernih kekuningan yang mengindikasikan adanya peningkatan jumlah PMN) Peningkatan leukosit dan neutrofil merupakan indikasi terjadi infeksi Peningkatan pada protein mengindikasikan adanya proses lesi atau inflamasi. Karena protein merupakan molekul yang besar untuk sanggup melewati sawar darah otak pada keadaan normal, namun pada keadaan inflamasi, hal tersebut menjadi mungkin dikarenakan kondisi sawar darah otak yang lebih permeable pada saat terjadinya infeksi dan inflamasi. Beberapa informasi diatas telah mengindikasikan adanya infeksi pada selaput otak (meningens) yang kita kenal sebagai meningitis (Kemenkes RI, 2010).

4. Gambaran tuberkuloma Pada brain CT-scan merupakan massa menyerupai tumor yang berasal dari pembesaran tuberkel kaseosa di paru. Tuberkuloma terbentuk dari kavitas tuberculosis yang memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) membentuk suatu nodul (Aditama, 2006). Adanya gambaran tuberculoma pada hasil brain CT scan pasien menyatakan bahwa terdapat infeksi mycobacterium tuberkulosis sampai ke bagian parenkim otak Gambaran tuberculoma pada ct scan. Tuberkuloma terlihat pada CT scan kepala berupa iso- hypo- atau hyperdense lesions, diameter 1.5-7cm, dengan peripheral enhancement pada pemberian kontras dan adanya edema perifokal (Ceylan, 2005). Tuberkuloma terlihat avaskular oleh angiografi, dan terlihat bervariasi oleh CT scan dan MRI. Selama fase initial dari penyakitnya terlihat edema dan nekrosis pada CT scan. Pada fase granuloma akan lebih jelas terlihat dengan pemberian kontras, terdapat kalsifikasi dan ring enhancement dan berbagai derajat edema. Penyengatan bisa homogen atau radiolusen di area sentral dari nekrosis (Manoj, 1997). Perkejuan di tengah lesi dikelilingi sel epiteloid reaktif, sel giant Langerhans dan berbagai limfosit, polimorf, dan sel plasma (Revindra, 1996). 1. Lumbal Pungsi a. Definisi Merupakan upaya mengambil cairan liquor cerebro spinal (LCS) dengan memasukkan jarum ke dalam ruang subarachnoidea. Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa spesimen LCS yang diambil, mengukur dan mengurangi tekanan LCS dan untuk menentukan ada tidaknya darah dalam ruang subarachnoidea. Pemeriksaan ini dapat dikategorikan diagnostik invasif karena LCS dikeluarkan untuk pemeriksaan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan prinsip aseptik dengan menusukkan jarum pungsi di antara vertebrae lumbal III dan IV atau vertebrae lumbal IV dan V hingga mencapai ruang subarachnoidea di bawah medulla spinalis daerah cauda equina. Ujung jarum pungsi dilengkapi manometer yang berfungsi untuk mengetahui tekanan intraspinal. Pemeriksaan ini membutuhkan sekitar 2-3 mL LCS yang kemudian dialirkan ke sebuah tempat spesimen steril yang terbuat dari plastik. Nantinya, cairan LCS tersebut akan diobservasi berdasarkan warna, konsistensi, dan lain-lain. Setelah pengambilan LCS dirasa cukup, jarum dicabut dan tempat penusukan tersebut ditutup perban. b. Indikasi

a. Mengambil LCS untuk keperluan penegakan diagnosis, utamanya yang dicurigai mengalami meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis, dan penyakit autoimun b. Mengidentifikasi adanya darah di dalam LCS akibat trauma atau perdarahan subarachnoidea. c. Memasukkan zat kontras ke dalam ruang subarachnoidea. d. Menentukan tekanan cairan otak e. Mengkonfirmasi penyebab inflamasi akut atau kronik f. Melihat perluasan infark atau stroke g. Memasukkan obat intratekal seperti anestesi, dan lain-lain. c. Kontraindikasi 1. Infeksi dekat tempat penusukan 2. Kontaminasi dari infeksi akan menyebabkan meningitis 3. Infeksi epidural 4. Pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, karena herniasi cerebral bisa terjadi. 5. Pasien dengan penyakit sendi vertebrae degeneratif, karena akan sulit untuk melakukan penusukan jarum ke ruang interspinal 6. Pasien yang mengalami kelainan psikiatrik berat d. Alat & Bahan a. Kassa steril b. Kapas steril c. Sarung tangan steril d. Baju steril e. Jarum pungsi lumbal No. 20 dan 22 G beserta stylet f. Manometer spinal g. Antiseptik : alkohol 70 % dan povidone iodine h. Anestesi lokal i. Spuit dan jarum untuk anestesi lokal j. Lidokain 1% k. Tempat penampung spesimen steril, terbuat dari plastik l. Plester m. Tempat sampah e. Prosedur a. Pengambilan Sampel

1) Posisikan pasien Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal, ekstremitas inferior fleksi maksimum, dan columna vertebralis sejajar dengan tempat tidur 2) Lakukan cuci tangan steril 3) Persiapan alat 4) Jaga privasi pasien 5) Paparkan daerah lumbal 6) Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebrae L4 dan L5 yaitu dengan menemukan garis potong columna vertebralis dan garis antara kedua SIAS kiri dan kanan 7) Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm dengan larutan povidone iodine diikuti dengan alkohol 70 % dan tutup dengan duk steril dimana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka 8) Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah memakai sarung tangan steril selama 30 detik yang akan menandai titik pungsi tersebut selama satu menit 9) Anestesi kulit dengan Lidokain 10) Tusukkan jarum spinal pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan jarum perlahan menyusuri vertebrae sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka ke atas sampai menembus duramater (sensasi terasa lepas). Umumnya jarak pada usia dewasa sekitar 6-8 cm 11) Hubungkan jarum lumbal dengan manometer, untuk mengetahui tekanan LCS, normalnya 60-180 mmHg 12) Lepaskan stylet perlahan dari jarum dan cairan keluar. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial. Ambil cairan untuk pemeriksaan dan masukkan pada tempat sampel yang sudah disiapkan. 13) Cabut jarum dan tutup area tusukan dengan plester 14) Rapikan alat-alat yang sudah digunakan 15) Cuci tangan steril

Gambar . Sampling LCS Posisi Lateral Decubitus

b. Pengiriman dan Penyimpanan 1) Harus segera dikirim 2) Sel mulai degenerasi dalam waktu 30 menit 3) Penundaan pengiriman menyebabkan glukosa turun 4) Harus segera dilaksanakan setelah pengambilan (terbaik: kurang dari 1 jam) 5) Penyimpanan 4C dapat memperlambat degenerasi sel dan kimia 6) Pemeriksaan mikrobiologi harus segera dilakukan jangan disimpan dalam suhu dingin karena menghambat Neisseria meningitidis & Haemophilus influenzae. Sampel sebaiknya dalam suhu kamar. 7) Sisa spesimen dibekukan -20C untuk pemeriksaan kimiawi, serologi & materi genetik tambahan b. Perawatan pasca pemeriksaan a. Pasien berbaring datar (sudut elevasi tidak lebih dari 30o) dengan hanya 1 bantal untuk mengurangi post-dural puncture headache b. Anjurkan pasien tidur datar selama 6-12 jam setelah dilakukan prosedur c. Observasi tempat penusukan, apakah terjadi kebocoran untuk 4 jam pertama setelah pemeriksaan d. Observasi pasien berhubungan dengan orientasi, gelisah, perasaan mengantuk, mual, kelemahan tungkai untuk 4 jam pertama setelah pemeriksaan e. Anjurkan pasien melapor kepada dokter atau perawat bila terjadi nyeri kepala dan berikan obat analgesik sesuai dorsi c. Interpretasi Laboratorium a. Nilai Normal 1) Tekanan : 50-180 cm H2O

2) Warna

: transparan bening

3) Eritrosit : 4) Leukosit : 0-5 sel/L atau 0-5 x 106 sel/L atau 0-5 x 103/mL 5) Protein : 1545 mg/dl atau 0,15-0,45 gr/L SI unit (sekitar 70 mg/dl pada anakanak dan lansia) 6) Glukosa : 50-75 mg/dl (2,8-4,2 mmol/L SI unit atau 60-70 % dari glukosa darah plasma) 7) Klorin : 700-750 mg/dl (110-125 mEq/L atau mmol/L SI unit) : 6-15 mg/dl : <2 7,2 U/mL

8) Glutamine 9) Laktat

10) Globulin-: 3-12 % dari total protein Berdasarkan interpretasi di atas di dapatkan diagnosis meningoensefalitis

B. PEMBAHASAN ANALISIS KEDUA c. Definisi, etiologi, diagnosis differential meningoencephalitis tuberculosis a. Definisi dan etiologi Meningoencephalitis tuberculosis merupakan suatu reksi peradangan akibat infeksi sekunder bakteri tuberculosis yang mengenai parenkim otak, satu atau semua lapisan selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa (Mardjono, 2008). b. Diagnosis Banding Meningoencephalitis Tuberculosis Tuberculosis Hal ini di dasarkan pada anamnesis diketahui bahwa 1 bulan yang lalu pasien didiagnosis menderita infeksi pada paru-parunya dan diharuskan meminum obat tanpa putus selama 6 bulan. Selain itu pasien juga mengeluh batuk, sering berkeringat pada malam hari dan pasien merasakan berat badannya turun yang menunjukkan adanya tuberculosis paru. Karena pengobatan terputus kurang dari 1 bulan pengobatan, maka kemungkinan pasien masih menderita tuberkulosis paru. Untuk dapat menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan visik, tes darah lengkap, foto thorak, tes SPS (Hariadi, 2010). Epilepsi Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy

(ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak (Browne TR.,2000) Meningitis et causa Virus Meningitis karena virus sebagian besar disebabkan karena entero virus , dapat juga karena virus campak, gondong, cacar air, influenza atau herpes. Infeksi entero virus di Amerika Serikat sering terjadi pada musim panas atau musim gugur, dapat tanpa gejala, dapat juga menimbulkan gejala flu atau bercak kemerahan dikulit atau nyeri tenggorokan dengan demam ringan , berlangsung selama 7 - 10 hari kemudian sembuh, sangat jarang yang kemudian diikuti terjadinya Meningitis. Meningitis Meningitis merupakan radang pada selaput otak. Kondisi pasien yang menderita TB paru merupakan salah satu faktor resiko timbulnya meningitis, karena TB paru dapat menimbulkan komplikasi berupa meningitis TB akibat penyebaran kuman TB dari paru ke meningens secara hematogen. Saat terjadi penyebaran muncul gejala prodormal berupa demam yang juga dirasakan oleh pasien 1 minggu sebelumnya. Gejala klinis meningitis yang juga ada pada pasien adalah

penurunan kesadaran, kejang, sakit kepala. Untuk dapat menegakkan diagnosis ini diperlukan pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan fisik, tes babinsky, tes darah lengkap, CT scan, lumbal pungsi, tes kaku kuduk, tes brudzinski, tes kernig

2. Patofisiologi dan patogenesis meningoencephalitis tuberculosis Pada kasus Meningoencephalitis ini terjadi infeksi meningitis terlebih dahulu oleh Mycobacterium tuberculosis yang kemudian menyebabkan terjadinya inflamasi pada parenkim otak. Pathogenesis meningoencephalitis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis terjadi dalam dua langkah, langkah pertama yaitu ketika bakteri masuk ke

dalam tubuh melalui inhalasi droplet, dan langkah kedua adalah ketika fokus bakteri rupture dan menyebar melalui spatium subarachnoidea (Ramachandran, 2011). Inhalasi droplet yang mengandung M. tuberculosis Difagositosis oleh makrofag alveolar Infeksi lokal paru Menyebar lewat kelenjar getah bening regional Membentuk kompleks primer Terjadi bakteremia dalam waktu singkat Bakteri mencapai meninges atau parenkim otak Bakteri membentuk fokus di subpial atau subependymal Fokus rich / tuberkel

Rupture di ruang subarachnoid

Meluas sampai parenkim otak

Eksudat gelatinosa tebal

Adesi di sekitar fossa interpendikularis (gangguan N. III, IV, VI, VII)

meningitis

Medulla spinalis encephalitis

Sumbat LCS hidrocephalus

Patofisiologi ISPA, TBC

Septikemi (multifikasi lewat darah)

Infeksi kuman kedaerah subdural

Reaksi peradangan cairan serebral

Saraf kranial

Eksudasi meningens

Gangguan metabolisme serebral Sitokin,Leukosit meningkat

n. Facialis

Pengentalan CSS

Trombus di korteks dan lapisan meningens

IL -9

Kaku kuduk

Akumulasi cairan di otak Aliran darah menurun dan kerusan endotel Hipotalamus

Kompilkiasi hidrosefalus

Gangguan ssp

Nekrosis Pembuluh darah

Set point mningkt

Gangguan penglihatan

Demam a Perubahan fisiologis Intrakranial

Defisit neurologis Permeabilitas pembuluh darah meningkat

Gangguan sensoris dan motorik

Peningkatan tekanan intrakranial

Edema serebral

Sakit kepala, nyeri kepala

Gangguan perfusi dan sirkulasi

Menekan saraf vagal

Mual muntah Suplai O2 menurn, gangguan metabolisme

Gangguan kesadaran 3. Penegakan diagnosis meningoencephalitis tuberculosis Diagnosis meningoensephalitis pada pasien dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta penunjang yang dilakukan pada pasien. pada pasien didapatkan keluhan demam yang berlangsung selama 5 hari, 2. Anamnesis Meningitis sering dijumpai bersama dengan encephalitis. Tidak menutup

kemungkinan pasien menderita encephalitis yang diakibatkan perluasan infeksi dari meningens. Tanda dan gejala pada meningitis seperti demam, sakit kepala, kekakuan pada leher, vomiting, diikuti oleh penurunan kesadaran,dan kadang-kadang tandatanda neurologik, tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatri tidak jauh beda dengan meningitis. Gejala gejala ensephalitis yang muncul berupa gejala peningkatan tekanan intrakranial seperti sakit kepala, vertigo, nause, konvulsi dan perubahan mental. Gejala lain yang mungkin timbul termasuk photophobia, perubahan sensorik, dan kekakuan leher. Penegakan diagnosis dilakukan dengan prosedur seperti yang dilakukan pada meningitis dan eksefalitis diantaranya pemeriksaan cairan serebrospinal; pemeriksaan darah termasuk didalamnya kultur; pemeriksaan imaging, diantaranya CT scan, MRI dan elektroencephalogram. 3. Pemeriksaan Fisik a. Pada pemeriksaan Kernigs sign (+) dan Brudzinsky sign (+) menandakan bahwa infeksi atau iritasi sudah mencapai ke medulla spinalis bagian bawah. Pada pemeriksaan Kernig sign terdapat penarikan nervus Ischiadicus yang akan merangsang radix posterior L4 apabila ditemukan ada kelainan di medula spinalis timbul nyeri.

b.

Hasil pemeriksaan dan laboratorium yang menunjukkan adanya leukositosis menunjang terjadinya demam pada pasien, hasil pemeriksaan fisik juga menunjukkan adanya infeksi pada meningen yang belum mencapai medulla spinalis, oleh karena itu gejala yang didapat pada pasien ditunjang dengan pemeriksaan fisik dan penunjang maka sesuai dengan diagnosis meningitis. untuk mengetahui penyebab pastinya dibutuhkan adanya kultur.

4. Pemeriksaan penunjang Laboratorium; Pungsi lumbal penting sekali untuk pemeriksaan bakteriologik dan laboratorium lainnya. Likuor serebrospinalis berwarna jernih, opalesen atau kekuning-kuningan (xantokrom). Tekanan dan jumlah sel meninggi namun umumnya jarang melebihi 1.500/3 mm3 dan terdiri terutama dari limfosit. Kadar protein meninggi sedangkan kadar glukosa dan klorida total menurun. Bila cairan otak didiamkan maka akan timbul fibrinous web (pelikel), tempat yang sering ditemukannya basil tuberkulosis.Pungsi lumbal ulangan dapat memperkuat diagnosis. 5. Pemeriksaan

6. Penatalaksanaan (farmako dan non farmako) meningoencephalitis tuberculosis Pengobatan medika medika mentosa sesuai rekomendasi American Academy of Pediatries 1994. Pemberian 4 macam obat selama 2 bulan, diteruskan dengan pemberian LNH dan Rifampisin selama 10 bulan. a. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 300 mg/hari. b. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis masksimum 600 mg /hari. c. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 2000 mg/hari. d. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 2500 mg/hari. e. Prednizon 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu, dilanjutkan dengan lapering-off.. Jika didapatkan hidrosefalus dapat dilakukan pemasangan VP-Shunt. Pengobatan suportif meliputi restrksi cairan, posisi kepala lebih tinggi dan fisioterapi pasif. (Caroline, 2010) Steroid diberikan untuk : a. Menghambat reaksi inflamasi b. Mencegah komplikasi infeksi c. Menurunkan edema serebri d. Mencegah perlekatan e. Mencegah arteritis / infark otak

Indikasi pemakaian steroid : 1. Penurunan kesadaran 2. Defisit nemologis fokal Steroid yang biasa dipakai yaitu dexametason Pengobatan simptomatis a. Menghentikan kejang: Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rektal suppositoria, kemudian dilanjutkan dengan: Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau

b. Menurunkan panas: Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari Kompres air hangat/biasa 10

7. Komplikasi dan prognosis meningoencephalitis tuberculosis a. Komplikasi akut:


1. Edema otak

2. Hipertenis intrakranial 3. Ventrikulitis 4. Kejang 5. Meningkatnya tekanan intracranial (Tsumoto, 2001) b.Komplikasi intermediet :
1. Efusi dubdural

2. Abses otak 3. Hidrosefalus 4. Demam (Tsumoto, 2001)

DAFTAR PUSTAKA

Nelson, 2000. Ilmu kesehatan anak volume 1 edisi 15. Jakarta : EGC Sidharta, Priguna. 2009. Neurologi Klinis dalam Prektek Umum. Jakarta: Dian Rakyat. Hlm 496-7 Chandra, B. Diagnostik dan Penanggulangn Penderita dalam Koma. Cermin Dunia Kedokteran. 1979. 97-100 Price dan Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC. Hal 1047, 1159 Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 1. Jakarta : EGC Browne TR., Holmes GL., 2000, Epilepsy: Definitions and Background. In: Handbook of Epilepsy, 2nd edition, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, P., 1-18 Baehr, M dan Frotscher M. 2007. Diagnosis Topik Neurologi Duus Edisi 4. Jakarta : EGC. Lumbantobing, S.M. 2008. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2 URL :

http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm Aditama. 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta : PDPI Greenberg, MS. 2001. Coma dalam Handbook of Neurosurgery Fifth Edition. New York: Thieme. Isselbacher, et al. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 5. Edisi 13. Jakarta: EGC.

Kementerian kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta. Lumbantobing, S. M., 2011. Neurologi klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : FKUI. Lumbantobing. 2008. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Manoj K. Goel etc . 1997. Miliary tuberculosis with brain tuberculomas a rare presentation.Ind J Tub. 44: 87. Mansjoer, Arif,Suprohaitaet all. 2000. Kapita selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius. FKUI. Mardjono, M & Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar.Jakarta: Dian Rakyat. Mardjono, Mahar dan Priguna Sidharta. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. Martini, Frederic H.. 2009. Brain and cranial nerve; The spinal cord, spinal nerves, and spinal reflexes dalam Fundamentals of Anatomy and Physiology. San Fransisco : Pearson. Netter, Frank H., John A. Craig, James Perkins, John T. Hansen, Bruce M. Koeppen. 2002. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. USA : Icon Custom Communication. Price, S.A., L.M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Perjalanan Penyakit, Volume 2, Edisi 6. Jakarta: EGC. Ravindra, K. 1996. Diagnosis of Intra cranial Tuberkuloma. Department of Neurology, King Georges Medical College, Lucknow. Ind. J. Tub.43: 35. Rizal T. Rumawas. 2000. Patologi dan patofisiologi gangguan kesadaran.. Jakarta: Simposium Koma. Snell, R.S. 2006. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 5. Jakarta: EGC.

Snell, Richard S. 2006. Neuroanatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 5. Jakarta: EGC. Tsumoto, S. 2001. Guideline to meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge

You might also like