You are on page 1of 37

BAB 2 LANDASAN TEORI

2.1 Sistem Kerja


1

Sistem kerja adalah suatu batasan atau tata cara kerja yang membatasi

fleksibilitas karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya, sehingga pada akhirnya menghasilkan fungsi produksi yang efisien dan efektif.
2

Perancangan sistem kerja dibuat sebelum perusahaan beroperasi, yang

selanjutnya ditinjau ulang pada saat terdapat perubahan dalam metode atau peralatan yang digunakan dalam operasi. Perancangan sistem kerja bertujuan untuk mencapai keefektifan yang maksimum dari sistem kerja perusahaan. Kegiatan produksi dan operasi merupakan kegiatan menciptakan barang dan jasa yang ditawarkan perusahaan kepada konsumen. Kegiatan ini dalam banyak perusahaan melibatkan bagian terbesar dari karyawan yang mencakup jumlah terbesar dari aset perusahaan. Oleh karena itu, kegiatan produksi dan operasi menjadi salah satu fungsi utama perusahaan. Perancangan sistem kerja merupakan faktor penting dalam manajemen operasi karena selain berkaitan dengan produktivitas juga menyangkut tenaga kerja yang
1

Wignjosoebroto, Sritomo. (1995). Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. PT. Guna Widya, Jakarta, h.56 Herjanto, Eddy. (1999). Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Kedua. PT. Gramedia Widiasarana

Indonesia, Jakarta, h.1 dan h.85

13

melaksanakan kegiatan operasi perusahaan. Oleh karena itu perusahaan perlu memiliki sistem kerja yang dapat menunjang tercapainya tujuan perusahaan secara efisien dan efektif, merangsang karyawan untuk bekerja secara produktif, mengurangi timbulnya rasa kebosanan dan dapat meningkatkan kepuasan kerja.

2.1.1

Manusia dan Sistem Kerja3 Mutu kehidupan kerja yang baik adalah suatu pekerjaan yang tidak hanya

aman dan kompensasinya sebanding, tetapi juga pekerjaan yang memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis yang cukup. Keputusan yang diambil tentang manusia banyak dihambat keputusan keputusan yang lain. Pertama, bauran produk dapat menentukan apakah karyawan akan dipekerjakan secara musiman atau tetap. Kedua, teknologi, peralatan dan proses dapat menimbulkan dampak pada keamanan dan kandungan pekerjaan. Ketiga, keputusan lokasi dapat menimbulkan dampak pada pekerjaan. Terakhir, keputusan yang menyangkut tata letak (layout) dapat mempengaruhi sebagian besar pekerjaan.

Render, Barry dan Heizer, Jay. (2001). Prinsip prinsip Manajemen Operasi. Salemba Empat,

Jakarta, h.230 231

14

2.1.2

Rancangan Pekerjaan
4

Rancangan tugas (job design) adalah rincian isi dan cara pelaksanaan tugas

atau kegiatan, yang mencakup siapa yang mengerjakan tugas, bagaimana tugas itu dilaksanakan, di mana tugas itu dikerjakan dan hasil apa yang diharapkan. Tujuan rancangan tugas untuk menciptakan suatu sistem kerja yang produktif dan efisien. Dengan adanya rancangan tugas, karyawan dapat mengetahui dan menjalankan tugasnya dengan lebih baik, rendahnya keluar masuknya karyawan serta diperolehnya kondisi dan lingkungan kerja yang baik.
5

Desain pekerjaan menentukan spesifikasi tugas tugas yang terkandung

dalam pekerjaan untuk seseorang atau suatu kelompok. Ada enam komponen dari suatu desain pekerjaan yang harus diperhatikan, yaitu : Spesialisasi tenaga kerja Perluasan pekerjaan Unsur kejiwaan tenaga kerja Kelompok kerja yang mandiri Motivasi dan sistem insentif Ergonomis dan cara cara kerja

Herjanto, Eddy. (1999). Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Kedua. PT. Gramedia Widiasarana

Indonesia, Jakarta, h.85


5

Render, Barry dan Heizer, Jay. (2001). Prinsip prinsip Manajemen Operasi. Salemba Empat,

Jakarta, h.232

15

2.1.3

Syarat syarat Kerja6 Sebagian dari prosedur dan organisasi kerja termasuk sebagai lingkungan

kerja, sedangkan sebagian lagi tercakup sebagai syarat syarat kerja. Pada dasarnya aspek ini membahas apa saja persyaratan yang harus dipenuhi agar karyawan bisa bekerja dan dipekerjakan lebih manusiawi, efisien, produktif, sehat dan terjamin keselamatannya. Penelitian mengungkapkan bahwa ada persyaratan minimum yang harus dipenuhi. Faktor faktor yang melengkapi persyaratan tersebut adalah : 1. Faktor ergonomi 2. Faktor psikologi kerja 3. Faktor kesehatan kerja dan jam kerja 4. Faktor upah dan jaminan sosial 5. Faktor kebijaksanaan perusahaan

2.2 Ergonomi dan Metode Kerja


7

Menurut Bakri, dkk. (2004), Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan

teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan

Nurmianto, Eko. (2003). Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi Pertama. PT. Guna Widya,

Surabaya, h.146
7

Tarwaka., Bakri, Solichul HA. dan Sudiajeng, Lilik. (2004). Ergonomi Untuk Keselamatan,

Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press, Surakarta, h.7

16

keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik. Sedangkan yang dimaksud dengan kualitas hidup manusia pekerja, sesuai yang ditetapkan oleh organisasi perburuhan internasional (ILO), secara umum adalah sebagai berikut : 1. work should respect the workers life and health. 2. work should leave the worker with free time for rest and leisure. 3. work should enable the worker to serve society and achieve self-fulfillment by developing his personal capacities. Dengan demikian pencapaian kualitas hidup manusia secara optimal, baik di tempat kerja, di lingkungan sosial maupun di lingkungan keluarga, menjadi tujuan utama dari penerapan ergonomi.

2.2.1

Tujuan Ergonomi8

Secara umum tujuan dari penerapan ergonomi adalah : 1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.

Tarwaka., Bakri, Solichul HA. dan Sudiajeng, Lilik. (2004). Ergonomi Untuk Keselamatan,

Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press, Surakarta, h.7

17

2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan menigkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif. 3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek teknis, ekoomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi.

2.2.2

Konsep Keseimbangan Dalam Ergonomi9 Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni dan teknologi yang berupaya untuk

menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya. Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan kerja dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai performansi kerja yang tinggi. Dalam kata lain, tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload). Karena keduanya, baik underload maupun overload akan menyebabkan stress.

Tarwaka., Bakri, Solichul HA. dan Sudiajeng, Lilik. (2004). Ergonomi Untuk Keselamatan,

Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press, Surakarta, h.7 9

18

Kemampuan seseorang dalam bekerja sangat ditentukan oleh : 1. Personal Capacity (Karakteristik Pribadi); meliputi faktor usia, jenis kelamin, antropometri, pendidikan, pengalaman, status sosial, agama dan kepercayaan, status kesehatan tubuh, dsb. 2. Physiological Capacity (kemampuan fisiologis); meliputi kemampuan dan daya tahan cardio vaskuler, syaraf otot, panca indera,dsb. 3. Psycological Capacity (Kemampuan psikologis); berhubungan dengan

kemampuan mental, waktu reaksi, kemampuan adaptasi, stabilitas emosi, dsb. 4. Biomechanical Capacity (kemampuan bio-mekanik) berkaitan dengan

kemampuan dan daya tahan sendi dan persendian, tendon dan jalinan tulang.

Tuntutan tugas pekerjaan / aktifitas tergantung pada : 1. Task and material characteristics (karakteristik tugas dan material); ditentukan oleh karakteristik peralatan dan mesin, tipe, kecepatan dan irama kerja, dsb. 2. Organization characteristics; berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam dan bergilir, cuti dan libur, manajemen, dsb. 3. Environmental characteristics; berkaitan dengan manusia teman sekerja, suhu dan kelambaban, bising dan getaran, sosio-budaya, tabu, norma, adat dan kebiasaan, bahan-bahan pencemar, dsb.

19

Performansi atau tampilan seseorang sangat bergantung kepada rasio dari besarnya kemampuan yang bersangkutan. Dengan demikian, apabila : 1. Bila rasio tuntutan tugas lebih besar daripada kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan akhir berupa ketidaknyamanan, overstress, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan tidak produktif. 2. Sebaliknya, bila tuntutan tugas lebih rendah daripada kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi panampilan akhir berupa understress, kebosanan, kejemuan, kelesuan, sakit dan tidak produktif. 3. Agar penampilan menjadi optimal maka perlu adanya keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan kemampuan yang dimiliki sehingga tercapai kondisi dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan produktif.

Untuk mencapai tujuan ergonomi seperti yang telah dikemukakan, maka perlu keserasian antara pekerja dan pekerjaannya, sehingga pekerja dapat bekerja sesuai dengan kemampuan dan keterbatasannya. Secara umum kemampuan dan keterbatasan manusia ditentukan oleh berbagai faktor yaitu umur, jenis kelamin, ras, antropometri, status kesehatan, gizi, kesegaran jasmani, pendidikan, keterampilan, budaya, tingkah laku, kebiasaan, dan kemampuan beradaptasi.

20

2.2.3

Data Antropometri dan Human Factors Engineering10 Dalam setiap pelaksanaan tugas, manusia selalu menggunakan mesin,

peralatan dan berbagai fasilitas lainnya. Dapat disadari bahwa desain dari benda benda tersebut mempengaruhi, baik enak tidaknya manusia bekerja maupun efektifitas dari pekerjaan sendiri, bahkan dapat mempengaruhi kesehatan dan keamanan dari pemakainya. Ukuran dimensi dan karakteristik fisik lain dari tubuh manusia disebut sebagai Antropometri. Terdapat dua jenis ukuran, yaitu struktural (statis) dan fungsional (dinamis). Dimensi struktural adalah ukuran dari tubuh manusia yang diambil dalam posisi yang tetap (statis). Sedangkan dimensi fungsional diambil dalam posisi manusia sedang mengerjakan suatu aktivitas. Kedua jenis data Antropometri tersebut dipelajari dan dipakai sebagai dasar untuk mendesain peralatan dan sistem kerja. Tentunya, dalam penggunaan data Antropometri untuk mendesain suatu benda atau suatu sistem kerja, data harus mewakili populasi yang akan menggunakan benda tersebut. Human Factors Engineering atau Ergonomics merupakan ilmu yang menerapkan informasi yang relevan tentang karakteristik manusia dan perilakunya terhadap desain dari produk, peralatan, fasilitas, metode, dan lingkungan tempat manusia bekerja dan menjalani hidup. Human Factors Engineering mempunyai dua

10

Herjanto, Eddy. (1999). Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Kedua. PT. Gramedia Widiasarana

Indonesia, Jakarta, h.99

21

tujuan. Pertama, meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja dan kegiatan lain yang dilakukan. Kedua, meningkatkan keselamatan, mengurangi kelelahan dan stress, meningkatkan keenakan pakai, memperluas kemampuan pakai, meningkatkan kepuasan kerja dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Peralatan dan bahan bahan yang diperlukan dalam kerja sedapat mungkin diletakkan dalam daerah kerja sehingga pekerja tidak memerlukan gerakan tambahan, seperti berdiri atau berpindah tempat untuk menjangkau suatu peralatan atau bahan. Rancangan peralatan dan tempat kerja dapat memudahkan atau memungkinkan untuk dilaksanakannya suatu pekerjaan.

2.2.4

Faktor faktor Ergonomi11 Ergonomi berasal dari bahasa Yunani, di mana Ergo atau kerja dan Nomos

atau tata cara digabung menjadi ilmu tata cara kerja. Ergonomi dapat dikatakan sebagai ilmu penyesuaian pekerjaan dengan keterbatasan manusia. Pengelola keselamatan dan kesehatan kerja wajib menguasai interaksi ketiga ilmu biologi (anatomi, fisiologi dan psikologi) dan bukan secara terpisah pisah. Hal ini penting karena desain suatu pekerjaan perlu disesuaikan dengan batas batas kemampuan manusia.

11

Silalahi, Bennett. (2004). Manajemen Integratif. Edisi VI. Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen LPMI,

Jakarta, h.147

22

Batas batas kemampuan manusia dalam bekerja Kemampuan manusia dalam pekerjaan dibatasi oleh : a. Energi yang dibutuhkan pekerjaan itu b. Ukuran ukuran tubuh manusia c. Lingkungan pekerjaan itu (termasuk desain peralatan dan sikap tubuh dalam pelaksanaan kegiatan kerja)

2.2.5

Kondisi Lingkungan Kerja12 Kondisi kerja merupakan salah satu aspek penting dalam rancangan tugas.

Faktor faktor fisika (seperti temperatur, kelembaban, ventilasi, pencahayaan, warna dan suara) dapat memberikan pengaruh yang berarti terhadap kinerja para karyawan dalam produktivitas dan mutu keluaran, serta dapat berpengaruh pada kenyamanan dan keselamatan kerja. Pencahayaan, suara dan getaran, suhu dan kelembaban, serta mutu udara merupakan faktor faktor lingkungan kerja yang akan mempengaruhi pekerjaan. Apabila kegiatan kerja dilakukan dalam ruangan atau pada malam hari, perlu tersedianya penerangan yang memadai yang disesuaikan dengan jenis pekerjaan. Berbagai studi dilakukan untuk mengetahui tingkat pencahayaan yang diperlukan untuk jenis jenis pekerjaan tertentu dengan memperhatikan faktor kesehatan pekerja

12

Herjanto, Eddy. (1999). Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Kedua. PT. Gramedia Widiasarana

Indonesia, Jakarta, h.100 101

23

dan terlaksananya pekerjaan dengan baik. Selain itu, ada beberapa faktor lain yang penting, yaitu brightness distribution, glare (silau), pantulan dan bayangan. Warna juga dapat mempengaruhi suasana kerja. Dalam banyak hal, warna menghasilkan efek emosi dan psikologi. Penggunaan warna harus disesuaikan dengan tempat kerja. Suasana bising atau ribut dapat disebabkan oleh getaran mesin, peralatan dan manusia. Bunyi dapat mengganggu atau mengacaukan pekerjaan yang menyebabkan kesalahan , bahkan kecelakaan. Selain itu, bunyi juga dapat merusak pendengaran. Kebisingan yang dapat menyebabkan ketulian ditunjukkan oleh rentang frekuensi 2000 6000 Hz. Para pekerja yang berada pada rentang frekuensi itu harus selalu dites secara periodik pada kemampuan dengarnya. Faktor temperatur dan kelembaban merupakan variabel penting dalam menjaga lingkungan kerja yang menyenangkan.meskipun manusia dapat bekerja pada berbagai tingkat temperatur namun hasil kerja yang optimal biasanya diperoleh pada kondisi temperatur yang dianggap nyaman bagi kebanyakan pekerja, yaitu 20 - 27C. Ventilasi diperlukan untuk menjaga lingkungan kerja dengan udara yang bersih dan segar. Bau dan udara kotor dapat mengganggu suasana kerja yang baik, bahkan dapat berbahaya bagi kesehatan tenaga kerja. Ketidaknyamanan akan mengakibatkan perubahan fungsional pada organ yang bersesuaian pada tubuh manusia. Kondisi panas sekeliling yang berlebihan akan mengakibatkan rasa letih dan kantuk, mengurangi kestabilan dan meningkatnya jumlah angka kesalahan kerja. Kondisi dingin yang berlebihan akan mengakibatkan rasa malas dan mengurangi kewaspadaan dan konsentrasi.

24

2.2.6

Iklim Kerja13 Iklim kerja merupakan keadaan lingkungan kerja yang diukur dari perpaduan

antara suhu udara, kelembaban udara, kecepatan aliran udara, dan suhu radiasi. Tekanan panas (heat stress) adalah beban iklim kerja yang diterima oleh tubuh manusia. Sedangkan regangan panas (heat strain) merupakan efek yang diterima tubuh manusia atas beban iklim kerja tersebut. Tubuh manusia selalu menghasilkan panas sebagai akibat dari proses pembakaran zat makanan dengan oksigen (metabolisme). Apabila proses pengeluaran panas tubuh terganggu, maka suhu tubuh akan meningkat. Lingkungan kerja dengan tubuh selalu saling terjadi pertukaran panas, proses pertukaran panas ini tergantung dari suhu lingkungan. Tempat kerja yang nyaman merupakan salah satu faktor penunjang gairah kerja. Lingkungan kerja yang panas dan lembab akan menurunkan produktivitas kerja, juga akan membawa dampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Aklimatisasi adalah suatu proses adaptasi fisiologis yang ditandai oleh pengeluaran keringat yang meningkat, denyut jantung menurun, dan suhu tubuh menurun. Proses adaptasi ini biasanya memerlukan waktu 7 sampai 10 hari. Aklimatisasi dapat juga menghilang ketika orang yang bersangkutan tidak masuk kerja selama 1 minggu berturut turut.

13

Santoso, Gempur. (2004). Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Prestasi Pustaka

Publisher, Jakarta, h.52 54

25

Untuk menimbulkan aklimatisasi, faktor pembebanan dan lama kerja perlu diperhatikan dengan cara sebagai berikut : 1. Hari pertama masuk kerja, pembebanan fisik dan lama bekerja usahakan tidak melebihi 50 % dari beban dan lama bekerja yang sebenarnya. 2. Hari kedua kerja, beban kerja dan lama bekerja ditambah 10 %. 3. Hari ketiga kerja dan seterusnya hingga hari keenam, pembebanan fisik dan lama bekerja akan mencapai 100 %.

Pengendalian iklim kerja dapat dilakukan dengan pengendalian secara fisik (dengan isolasi sumber panas, shielding, pendinginan setempat dan ventilasi umum), secara administratif (dengan pengaturan waktu kerja dan istirahat, pengadaan air minum, aklimatisasi, pemeriksaan kesehatan dan seleksi tenaga kerja) dan pemakaian alat pelindung diri.

2.2.7

Pemindahan Material Secara Manual14 Pemindahan material secara manual jika tidak dilakukan secara ergonomis

akan menimbulkan kecelakaan dalam industri. Kecelakaan industri yang disebut sebagai over exertion lifting and carrying yaitu kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan oleh beban angkat yang berlebih. Rasa nyeri yang kronis (injury) ini

14

Nurmianto, Eko. (2003). Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi Pertama. PT. Guna

Widya, Surabaya, h.147 148

26

membutuhkan penyembuhan yang cukup lama. Faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya nyeri penggung (back injury) adalah arah beban yang diangkat dan frekuensi aktivitas pemindahan. Beberapa hal yang harus diperhatikan : 1. Beban yang harus diangkat 2. Perbandingan antara berat beban dan orangnya 3. Jarak horizontal dari beban terhadap orangnya 4. Ukuran beban yang akan diangkat (beban yang berdimensi besar akan mempunyai jarak CG (Center of Grafity) yang lebih jauh dari tubuh, dan dapat mengganggu jarak pandangnya).

2.2.8

Faktor Resiko15 Ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam pemindahan material, yaitu :

1. Berat beban yang harus diangkat dan perbandingannya terhadap berat badan operator. 2. Jarak horizontal dari beban relatif terhadap operator. 3. Ukuran beban yang harus diangkat (beban yang berukuran besar akan memiliki pusat massa yang letaknya jauh dari badan operator, hal tersebut juga akan menghalangi pandangan dari operator).

15

Nurmianto, Eko. (2003). Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi Pertama. PT. Guna

Widya, Surabaya, h.149 150

27

4. Ketinggian beban yang harus diangkat dan jarak perpindahan beban (mengangkat beban dari permukaan lantai akan relatif lebih sulit dari pada mengangkat beban dari ketinggian pada permukaan pinggang). 5. Beban puntir (twisting load) pada badan operator selama aktivitas angkat beban. 6. Prediksi terhadap berat beban yang akan diangkat. Hal ini adalah untuk mengantisipasi beban yang lebih berat dari yang diperkirakan. 7. Stabilitas beban yang akan diangkat. 8. Kemudahan untuk dijangkau oleh pekerja. 9. Berbagai macam rintangan yang menghalangi ataupun keterbatasan postur tubuh yang berada pada suatu tempat kerja. 10. Kondisi kerja yang meliputi : pencahayaan, temperatur, kebisingan dan kelicinan lantai. 11. Frekuensi angkat yaitu banyaknya aktivitas angkat. 12. Metode angkat yang benar (tidak boleh mengangkut beban secara tiba tiba). 13. Tidak terkoordinasinya kelompok kerja (lifting team). 14. Diangkatnya suatu beban dalam suatu periode. Hal ini adalah sama dengan membawa beban pada jarak tertentu dan memberi tambahan beban di daerah punggung.

28

2.2.9

Penyelesaian untuk Permindahan Material Secara Teknis16 Beberapa penyelesaian yang dapat diberikan untuk pemindahan material

secara manual : Pindahkan beban yang berat dari mesin ke mesin yang telah dirancang dengan menggunakan ban berjalan. Gunakan meja yang dapat digunakan naik turun untuk menjaga agar bagian permukaan dari meja kerja dapat langsung dipakai untuk memasukkan lembaran logam ataupun benda kerja lainnya ke dalam mesin. Tempatkan benda kerja yang besar pada permukaan yang lebih tinggi dan turunkan dengan bantuan gaya grafitasi. Berikan peralatan yang dapat mengangkat. Rancanglah Overhead Monorail dan Hoist diutamakan yang menggunakan tenaga baik untuk pergerakan vertikal maupun horizontal. Rancanglah Hoist atau Fork Truck yang dikeliling pada permukaan lantai, diutamakan yang menggunakan tenaga. Desainlah kotak (tempat benda kerja) dengan disertai handel yang ergonomis sehingga mudah waktu mengangkat. Aturlah peletakkan fasilitas sehingga semakin memudahkan metodologi angkat benda pada ketinggian permukaan pinggang.

16

Nurmianto, Eko. (2003). Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi Pertama. PT. Guna

Widya, Surabaya, h.150 151

29

Berilah tanda atau angka pada beban sesuai dengan beratnya. Siapkan Trolley dan Pengungkit untuk mengangkat ujung drum. Bebaskan area kerja dari gerakan dan peletakkan material yang mengganggu jalur dari operator.

Hindarkan lantai kerja dari sesuatu yang dapat membuat licin sehingga akan membahayakan operator pada saat perjalanan pemindahan material.

Buatlah suatu ruang kerja yang cukup untuk gerakan dinamis operator. Tempatkan semua material sedekat mungkin terhadap operator.

2.2.10 Batasan Beban yang Boleh Diangkat17 Menurut Nurmianto, Eko (2003), Pendekatan terhadap batasan dari massa beban yang akan diangkat meliputi : 1. Batasan Angkat Secara Legal (Legal Limitations) Dalam rangka untuk mendapatkan suasana kerja yang aman dan nyaman maka perlu adanya suatu batasan angkat untuk operator. Batasan angkat yang diberlakukan secara internasional antara lain : Pria di bawah usia 16 tahun, maksimum angkat adalah 14 kg. Pria usia di antara 16 18 tahun, maksimum angkat 18 kg. Pria usia lebih dari 18 tahun, tidak ada batasan angkat.

17

Nurmianto, Eko. (2003). Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi Pertama. PT. Guna

Widya, Surabaya, h. 151 - 178

30

Wanita usia di antara 16 dan 18 tahun, maksimum angkat adalah 11 kg. Wanita usia lebih dari 18 tahun, maksimum angkat adalah 16 kg.

Batasan batasan ini dapat membantu untuk mengurangi rasa nyeri dan ngilu pada tulang belakang. Batasan angkat ini akan mengurangi ketidaknyamanan kerja pada tulang belakang, terutama bagi operator untuk pekerjaan berat.

Tabel 2.1

Tindakan yang Harus Dilakukan Sesuai dengan Batasan Angkatnya Tindakan Tidak ada tindakan khusus yang perlu dilakukan.

Batasan Angkat (kg) Di bawah 16

13 16

Prosedur administratif dibutuhkan untuk mengidentifikasi ketidakmampuan seseorang dalam mengangkat beban tanpa menanggung resiko yang berbahaya, kecuali dengan perantaraan alat bantu tertentu.

34 55

Sebaiknya operator yang terpilih dan terlatih. Menggunakan sistem pemindahan material secara terlatih, harus di bawah pengawasan supervisor.

Di atas 55

Harus memakai peralatan mekanis. Operator yang terlatih dan terpilih. Pernah mengikuti pelatihan kesehatan dan keselamatan kerja dalam industri. Harus di bawah pengawasan ketat.

Sumber : Nurmianto, Eko. (2003). Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi Pertama. PT. Guna Widya, Surabaya, h.153

31

Tabel 2.2 Tindakan yang Harus Dilakukan Sesuai dengan Batasan Angkatnya Level 1 2 Batasan Angkat (kg) = 16 16 25 Tindakan Tidak diperlukan tindakan khusus. Tidak diperlukan alat dalam mengangkat. Ditekankan pada metode angkat. 3 25 34 Tidak diperlukan alat dalam mengangkat. Dipilih rancangan ulang terhadap tipe pekerjaan. 4 34 Haruslah dibantu dengan peralatan mekanis.

Sumber : Nurmianto, Eko. (2003). Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi Pertama. PT. Guna Widya, Surabaya, h.154

2. Batasan Biomekanika Nilai dari analisa biomekanika adalah rentang postur atau posisi aktifitas kerja, ukuran beban dan ukuran manusia yang dievaluasi. Sedangkan kriteria keselamatan adalah berdasar pada beban tekan (compression load) pada intervertebral disc antara lumbar nomor lima dan sacrum nomor satu (L5/S1). Kebanyakan penyakit penyakit tulang belakang adalah merupakan hernia pada intervertebral disc yaitu keluarnya inti intervertebral (pulpy nucleus) yang disebabkan oleh rusaknya lapisan pembungkus intervertebral disc. Penyakit hernia yang terjadi karena rusaknya intervertebral disc bagian belakang adalah menekan dan mengiritasi akar syaraf dan menyebabkan rasa sakit yang kronis. Rasa nyeri tersebut disebabkan oleh Slipped disc.

32

Tulang belakang yang sehat tidak mudah terkena hernia, akan tetapi lebih mudah rusak atau retak jika disebabkan oleh beban yang ditanggung oleh segmen tulang belakang dan yang terjadi dengan diawali oleh rusaknya bagian atas / bawah segmen tulang belakang. Degenerasi adalah prasyarat untuk terjadinya hernia pada intervertebral disc yang pada gilirannya akan menjadi penyebab umum timbulnya rasa nyeri pada bagian punggung bawah. Untuk gaya tekan atau kompresi selama postur tegak berlebih atau ekstensi dapat mengakibatkan beban lebih pada sambungan apophyseal. 3. Batasan Fisiologi Metode pendekatan ini dengan mempertimbangkan rata rata beban metabolisme dari aktivitas angkat yang berulang (repetitive lifting), sebagaimana juga dapat ditentukan dari jumlah konsumsi oksigen. Hal ini haruslah benar benar diperhatikan terutama dalam rangka untuk menentukan batasan angkat. Kelelahan kerja yang terjadi akibat dari aktifitas yang berulang ulang akan meningkatkan resiko rasa nyeri pada tulang belakang. Repetitive lifting dapat menyebabkan Cumulative Trauma Injuries atau Repetitive Starin Injuries. Ada beberapa bukti bahwa semakin banyak jumlah material yang diangkat (dan dipindahkan) dalam sehari oleh seseorang, maka akan lebih cepat mengurangi ketebalan dari intervertebral disc atau elemen yang berada di antara segmen tulang belakang. Fenomena ini menggambarkan bahwa pengukuran yang akurat terhadap tinggi tenaga kerja dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi beban kerja.

33

4. Batasan Psiko fisik Metode ini berdasarkan pada sejumlah eksperimen yang berupaya untuk mendapatkan berat pada berbagai keadaan dan ketinggian beban yang berbeda beda. Para pekerja memonitor perasaannya masing masing dan mengatur berat beban sampai menunjukkan kemampuan angkat maksimum. Kemudian aktifitas angkat yang riil diterapkan dengan melibatkan para pekerja industri pada eksperimen tersebut. Ada 3 macam kategori posisi angkat yang didapatkan, yaitu : 1. Dari permukaan lantai ke ketinggian genggaman tangan. 2. Dari ketinggian genggaman tangan ke ketinggian bahu. 3. Dari ketinggian bahu ke maksimum jangkauan tangan vertikal. Batasan ini memiliki kelebihan dan keterbatasan dalam kondisi yang nyata pada populasi tenaga kerja tertentu.

2.2.11 Kelelahan18 Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara pada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan

18

Tarwaka., Bakri, Solichul HA. dan Sudiajeng, Lilik. (2004). Ergonomi Untuk Keselamatan,

Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press, Surakarta, h.107 113

34

diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot adalah merupakan tremor atau perasaan nyeri pada otot. Kelelahan umum biasanya juga ditandai dengan berkurangnya kemampuan untuk bekerja yang disebabkan karena monotoni, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebab sebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi. Secara umum gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai sangat melelahkan. Faktor penyebab terjadinya kelelahan kerja sangat bervariasi dan untuk memelihara / mempertahankan kesehatan dan efisiensi, proses penyegaran harus dilakukan di luar tekanan. Penyegaran terutama terjadi selama waktu tidur malam, tetapi periode istirahat dan waktu waktu berhenti kerja juga dapat memberikan penyegaran. Untuk mengurangi tingkat kelelahan maka harus dihindarkan sikap kerja yang bersifat statis dan diupayakan sikap kerja yang lebih dinamis. Hal ini dapat dilakukan dengan merubah sikap kerja yang statis menjadi sikap kerja yang lebih bervariasi / dinamis, sehingga sirkulasi darah dan oksigen dapat berjalan normal ke seluruh tubuh. Sedangkan untuk menilai tingkat kelelahan seseorang dapat dilakukan pengukuran kelelahan secara tidak langsung baik secara obyektif maupun subjektif.

35

PENYEBAB KELELAHAN 1. Aktivitas kerja fisik 2. Aktivitas kerja mental 3. Stasiun kerja tidak ergonomis 4. Sikap paksa 5. Kerja statis 6. Kerja bersifat monotoni 7. Lingkungan kerja ekstrim 8. Psikologis 9. Kebutuhan kalori kurang 10. Waktu kerja istirahat tidak tepat 11. dan lain - lain

CARA MENGATASI 1. Sesuai kapasitas kerja fisik 2. Sesuai kapasitas kerja mental 3. Redesain stasiun kerja ergonomis 4. Sikap kerja alamiah 5. Kerja lebih dinamis 6. Kerja lebih bervariasi 7. Redesain lingkungan kerja 8. Reorganisasi kerja 9. Kebutuhan kalori seimbang 10. Istirahat setiap 2 jam kerja 11. dan lain - lain

RESIKO 1. Motivasi menurun 2. Performansi rendah 3. Kualitas kerja rendah 4. Banyak terjadi kesalahan 5. Stress akibat kerja 6. Penyakit akibat kerja 7. Cedera 8. Terjadi kecelakaan akibat kerja 9. dan lain - lain

MANAJEMEN PENGENDALIAN 1. Tindakan preventif melalui pendekatan inovatif dan partisipatoris 2. Tindakan kuratif 3. Tindakan rehabilitatif 4. Jaminan masa tua

Gambar 2.1 Penyebab Kelelahan, Cara Mengatasi dan Manajemen Resiko Kelelahan
Sumber : Tarwaka., Bakri, Solichul HA. dan Sudiajeng, Lilik. (2004). Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press, Surakarta, h.110

Kelelahan biasanya terjadi pada akhir jam kerja yang disebabkan oleh karena berbagai faktor, seperti monotoni, kerja otot statis, alat dan sarana kerja yang tidak sesuai dengan antropometri pemakainya, stasiun kerja yang tidak ergonomis, sikap paksa dan pengaturan waktu kerja istirahat yang tidak tepat.

36

2.2.12 Beban Kerja


19

Dari segi ergonomi, setiap beban kerja yang diterima oleh seseorang harus

sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut. Kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda satu dengan yang lainnya, tergantung dari tingkat keterampilan, kesegaran jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia dan ukuran tubuh dari pekerja yang bersangkutan. Faktor yang mempengaruhi beban kerja : Beban kerja karena faktor eksternal Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh pekerja, yaitu pekerjaan itu sendiri, organisasi dan lingkungan kerja. 1. Tugas tugas yang dilakukan yang bersifat fisik (stasiun kerja, tata ruang tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja, cara angkat angkut, beban kerja, alat bantu kerja, sarana informasi, alur kerja, dll) dan tugas tugas yang bersifat mental (kompleksitas pekerjaan, tingkat kesulitan pekerjaan yang mempengaruhi emosi pekerja, tanggungjawab terhadap pekerjaan, dll). 2. Organisasi kerja yang dapat mempengaruhi beban kerja seperti lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem pengupahan, sistem kerja, pelimpahan tugas dan wewenang, dll.

19

Tarwaka., Bakri, Solichul HA. dan Sudiajeng, Lilik. (2004). Ergonomi Untuk Keselamatan,

Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press, Surakarta, h.67 dan h. 95 96

37

3. Lingkungan kerja yang dapat memberikan beban tambahan kepada pekerja (lingkungan kerja fisik, lingkungan kerja kimiawi, lingkungan kerja biologis, dan lingkungan kerja psikologis).

Beban kerja karena faktor internal Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh

pekerja itu sendiri sebagai akibat adanya reaksi dari beban kerja eksternal. Berat dan ringannya dapat dinilai baik secara objektif maupun secara subjektif. Penilaian secara objektif yaitu melalui perubahan reaksi fisiologis. Sedangkan penilaian secara subjektif dapat dilakukan melalui perubahan reaksi psikologis dan perubahan perilaku. Organisasi kerja terutama menyangkut waktu kerja, waktu istirahat, sistem kerja harian / borongan, masuk kerja dan insentif dapat berpengaruh terhadap produktivitas, baik langsung maupun tidak langsung. Jam kerja berlebihan, jam kerja lembur di luar batas kemampuan akan dapat mempercepat munculnya kelelahan, menurunkan ketepatan, kecepatan dan ketelitian kerja. Oleh karena setiap fungsi tubuh memerlukan keseimbangan yang ritmis antara asupan energi dan penggantian energi (kerja istirahat), maka diperlukan adanya waktu istirahat pendek dengan sedikit kudapan (15 menit setelah 1,52 jam kerja) untuk mempertahankan performansi dan efisiensi kerja.

38

Fisiologi tubuh saat bekerja dan istirahat20 Pada dasarnya aktifitas kerja merupakan pengerahan tenaga dan pemanfaatan organ-organ tubuh melalui koordinasi dan perintah oleh syaraf pusat. Besar kecilnya pengerahan tenaga oleh tubuh sangat tergantung dari jenis pekerjaan (fisik atau mental). Secara umum janis pekerjaan yang bersifat fisik memerlukan pengerahan tenaga yang lebih besar dibandingkan jenis pekerjaan yang bersifat mental. Namun demikian, secara kualitatif baik kerja fisik maupun mental fungsi fisiologis tubuh adalah tetap sama yaitu dengan bekerja maka aktivitas persyarafan bertambah, otot otot menegang, meningkatnya peredaran darah ke organ-organ tubuh yang bekerja, nafas menjadi lebih dalam, denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Sedangkan secara kuantitatif, antara kerja fisik dan mental adalah berbeda dan sangat dipengaruhi oleh beban pekerjaan. Pada kerja fisik maka peranan pengerahan tenaga otot lebih menonjol dan untuk kerja mental peranan kerja otak yang lebih dominan. Bekerja adalah anabolisme yaitu mengurai atau menggunakan bagian-bagian tubuh yang telah dibangun sebelumnya. Dalam keadaan demikian, sistem syaraf utama yang berfungsi adalah komponen simpatis. maka pada kondisi seperti itu, aktivitas tidak dapat dilakukan secara terus-menerus, melainkan harus diselingi istirahat untuk memberi kesempatan tubuh melakukan pemulihan. Pada saat istirahat tersebut, maka tubuh mempunyai kesempatan membangun kembali tenaga yang telah

20

Tarwaka., Bakri, Solichul HA. dan Sudiajeng, Lilik. (2004). Ergonomi Untuk Keselamatan,

Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press, Surakarta, h.67 68

39

digunakan (katabolisme). Pada saat bekerja, otot mengalami kontraksi atau kerutan dan pada saat istirahat terjadi pengendoran atau relaksasi otot. Dengan kontraksi, peredaran darah membawa oksigen dan bahan makanan serta menyalurkan keluar sisa-sisa metabolisme terhambat. Dengan demikian antara kerutan dan pengendoran otot harus terjadi secara seimbang untuk mencegah terjadinya kelelahan otot yang lebih awal. Secara lebih luas lagi, pembagian waktu kerja dan istirahat lazimnya adalah bekerja pada waktu siang dan istirahat di malam harinya. Setelah pada siang harinya kita bekerja selama kurang lebih 8 jam mengalami kepenatan, maka pada malam harinya diupayakan untuk melakukan pemulihan tenaga agar keesokan harinya dapat bekerja kembali secara bugar. Secara fisiologis, apabila pemulihan pada malam hari tidak cukup, maka secara otomatis performansi kerja pada hari berikutnya akan menurun. Setiap fungsi tubuh manusia dapat dilihat sebagai keseimbangan ritmis antara kebutuhan energi (kerja) dengan penggantian kembali sejumlah energi yang telah digunakan (istirahat). kedua proses tersebut merupakan suatu bagian integral dari kerja otot, kerja jantung dan keseluruhan fungsi biologis tubuh. Dengan demikian jelas bahwa untuk memelihara performansi dan efisiensi kerja, waktu istirahat harus diberikan secukupnya, baik di antara waktu kerja maupun di luar jam kerja (istirahat pada malam hari).

40

Pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat


21

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengaturan waktu kerja waktu

istirahat harus disesuaikan dengan sifat, jenis pekerjaan dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya seperti lingkungan kerja panas, dingin, bising, berdebu dll. Namun demikian secara umum, di Indonesia telah ditetapkan lamanya waktu kerja sehari maksimum adalah 8 jam kerja dan selebihnya adalah waktu istirahat.
22

Jika seseorang bekerja pada tingkat energi di atas 5,2 kcal per menit, maka

pada saat itu akan timbul rasa lelah (fatigue). Kita masih mempunyai cadangan sebesar 25 kcal sebelum munculnya asam laktat sebagai tanda saat dimulainya waktu istirahat. Cadangan energi akan hilang jika kita bekerja lebih dari 5,0 kcal per menit. Selama periode istirahat, cadangan energi tersebut dibentuk kembali.

Lamanya waktu kerja Untuk mengetahui waktu kerja, digunakan rumus : TW =

25 menit E5

dengan : E

= konsumsi energi selama pekerjaan berlangsung (kcal/menit)

(E - 5,0) = habisnya cadangan energi (kcal/menit) TW


21

= waktu kerja (menit)

Tarwaka., Bakri, Solichul HA. dan Sudiajeng, Lilik. (2004). Ergonomi Untuk Keselamatan,

Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press, Surakarta, h.68


22

Nurmianto, Eko. (2003). Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi Pertama. PT. Guna

Widya, Surabaya, h.142 143

41

Lamanya waktu istirahat

Lamanya waktu istirahat diharapkan cukup untuk menghasilkan cadangan energi tersebut.

Diasumsikan bahwa selama istirahat jumlah energi adalah 1,5 kcal/menit. Tingkat energi di mana cadangan energi akan dapat dibangun kembali adalah (5,01,5) kcal /menit

Periode istirahat yang dibutuhkan adalah : TW =

25 menit = 7,1 menit 5 1,5

Waktu istirahat ini adalah konstan dan diasumsikan berdasarkan pada 25 kcal.

2.3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja 2.3.1 Sistem Manajemen K 3 di Lingkungan Kerja23

Keselamatan pekerja merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian dalam perancangan tugas, baik dari manajemen, pekerja, maupun perancang tugas. Dua penyebab utama dalam kecelakaan kerja, yaitu kecerobohan pekerja dan bahaya kecelakaan. Program keselamatan dan pencegahan kecelakaan memerlukan kerja sama antara pekerja dan manajemen. Ini adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, kegiatan perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian
23

Santoso, Gempur. (2004). Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Prestasi Pustaka

Publisher, Jakarta, h.15

42

pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja. Guna tercapainya tempat kerja dan lingkungan kerja yang aman, efisien dan produktif. Peningkatan berkelanjutan Komitmen dan Kebijaksanaan

Peninjauan ulang dan peningkatan manajemen

Perencanaan

Pengukuran Gambar 2.2

Pelaksanaan Sistem model manajemen K-3LK

Sumber : Santoso, Gempur. (2004). Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h.15

2.3.2

Syarat syarat Keselamatan Kerja menurut Undang - Undang

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1970 bab III pasal 3 tentang keselamatan kerja ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja sebagai berikut : a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan. b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran. c. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan. d. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya.

43

e. Memberi pertolongan pada kecelakaan. f. Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja. g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran. h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan. i. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai. j. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik. k. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup. l. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban. m. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya. n. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang. o. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan. p. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang. q. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya. r. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

44

2.3.3

Kecelakaan Kerja Karena Faktor Manusia24

Hasil penelitian bahwa 80 - 85 % kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia. Unsur unsur tersebut antara lain : 1. Ketidakseimbangan fisik / kemampuan fisik tenaga kerja, antara lain : b. Tidak sesuai berat badan, kekuatan dan jangkauan c. Posisi tubuh yang menyebabkan mudah lemah d. Kepekaan tubuh e. Kepekaan panca indera terhadap bunyi f. Cacat fisik g. Cacat sementara 2. Ketidakseimbangan kemampuan psikologis tenaga kerja, antara lain : a. Rasa takut / phobia b. Gangguan emosional c. Sakit jiwa d. Tingkat kecakapan e. Tidak mampu memahami f. Sedikit ide (pendapat) g. Gerakannya lamban h. Keterampilan kurang

24

Santoso, Gempur. (2004). Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Prestasi Pustaka

Publisher, Jakarta, h.1113

45

3. Kurang pengetahuan, antara lain : a. Kurang pengalaman b. Kurang orientasi c. Kurang latihan memahami tombol tombol (petunjuk lain) d. Kurang latihan memahami data e. Salah pengertian terhadap suatu perintah 4. Kurang trampil, antara lain : a. Kurang mengadakan latihan praktik b. Penampilan kurang c. Kurang kreatif d. Salah pengertian 5. Stress mental, antara lain : a. Emosi berlebihan b. Beban mental berlebihan c. Pendiam dan tertutup d. Problem dengan sesuatu yang tidak dipahami e. Frustasi f. Sakit mental 6. Stress fisik, antara lain : a. Badan sakit (tidak sehat badan) b. Beban tugas berlebihan c. Kurang istirahat

46

d. Kelelahan sensori e. Terpapar bahan berbahaya f. Terpapar panas yang tinggi g. Kekurangan oksigen h. Gerakan terganggu i. Gula darah menurun 7. Motivasi menurun (kurang termotivasi), antara lain : a. Mau bekerja bila ada penguatan / hadiah (reward) b. Frustasi berlebihan c. Tidak ada umpan balik (feedback) d. Tidak mendapat intensif produksi e. Tidak mendapat pujian dari hasil kerjanya f. Terlalu tertekan

2.4 Metode Analisis Data 2.4.1 Uji Validitas25

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat tingkat kevalidan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat.
25

Sugiyono. (2004). Metode Penelitian Bisnis. CV. Alfabeta, Bandung, h.109 120 Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Rineka Cipta, Jakarta, h.144 154

47

Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang validitas yang dimaksud. Apabila data yang didapat sudah sesuai dengan yang seharusnya, maka berarti bahwa instrumennya sudah baik, sudah valid. Untuk mengetahui ketepatan data ini, diperlukan teknik uji validitas. Pengujian validitas tiap butir digunakan analisis item, yaitu mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total yang merupakan jumlah tiap skor butir. Dalam hal analisis item ini, Sugiyono (2004) menyatakan Teknik Korelasi untuk menentukan validitas item ini sampai sekarang merupakan teknik yang paling banyak digunakan. Selanjutnya dalam memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi, item yang mempunyai korelasi positif dengan kriterium (skor total) serta korelasi yang tinggi menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula. Biasanya syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat adalah kalau r = 0,3. Jadi kalau korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,3 maka butir dalam instrumen tersebut dinyatakan tidak valid. Korelasi yang digunakan adalah korelasi Pearson Moment yang rumusnya adalah sebagai berikut :
r=

{N X

N X i Yi ( X i )( Yi )
2 i

( X i ) 2 N Yi ( Yi ) 2
2

}{

48

2.4.2

Uji Reliabilitas26

Realibilitas menunjukkan suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk dapat digunakan sebagai alat pengumpul data karena sudah baik. Instrumen yang baik tidak akan bersifat tendensius mengarahkan responden untuk memilih jawaban tertentu. Instrumen yang telah dapat dipercaya, yang reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya juga. Realibilitas menunjuk pada tingkat keterandalan sesuatu. Pengujian realibilitas instrumen dilakukan dengan internal consistency dengan teknik belah dua yang dianalisis dengan rumus Sperman Brown. Untuk keperluan itu, maka butir butir instrumen dibelah menjadi dua kelompok, yaitu instrumen ganjil dan genap. Selanjutnya skor tiap data kelompok itu disusun sendiri. Selanjutnya skor total antara kelompok ganjil dan genap dicari korelasinya dengan menggunakan rumus rXY =

{N X
rrb =

N XY ( X )( Y )
2 2

( X ) N Y ( Y )
2

}{

Koefisien korelasi ini kemudian dimasukkan dalam rumus Spearman Brown, yaitu :
2 rXY (1 + rXY )

Jika berdasarkan uji coba instrumen sudah valid dan reliabel seluruh butirnya, maka instrumen itu dapat digunakan untuk pengukuran dalam rangka pengumpulan data.
26

Sugiyono. (2004). Metode Penelitian Bisnis. CV. Alfabeta, Bandung, h.120 128 Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Rineka Cipta, Jakarta, h.154 174

You might also like