You are on page 1of 18

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.

25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. Tanah Harus Dipelihara dengan Baik Karena fungsi social ini pun tanah harus dipelihara dengan baik-baik oleh setiap orang yang bersangkutan. Siapa saja yang mempunyai sesuatu hubungan hukum dengan tanah bersangkutan harus memeliharanya (Pasal 15 UUPA). Bukan hanya sipemiliknya. Sifat sosialisme tampil ke muka lagi dalam rangka Pasal 15 ini. 33. Hak Perorangan atas Tanah Tidak pada tempatnya untuk mengatakan bahwa kepentingan perseorangan ini terdesak sama sekali oleh kepentingan masyarakat. Dalam UUPA diperhatikan pula kepentingan dan perseorangan. Penjelasan dikemukakan tentang Pasal ini, bahwa harus diadakan keseimbangan di antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum. Kedua-duanya ini harus saling menimbang. Dengan demikianlah baru dapat diharapkan tercapainya cita-cita yang luhur yakni kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat (Pasal 2 ayat 3 UUPA).

34. Pasal 33 UUD 1945 Segala ha katas tanah mempunyai fungsi social dapat dipandang pula sebagai sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam pasal dari Undang-Undang Dasar 1945 yang seringkali disebut sebagai pasal yang mengatur ha-hal agrarian, yakni Pasal 33 ayat 3. 35. Tujuan Landrefrom Mengenai tujuan dari Landreform terdapat banyak pendapat dari berbagai kalangan. Antara lain Menteri Agraria pada waktu itu Sadjarwo, mengatakan bahwa tujuan Landreform di Indonesia ialah : a. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula; b. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan; c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, yang berfungsi social. d. Untuk mengakhiri sistem tuan-tuan dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dengan batas minimum. e. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong-royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil, dibarengi dengan suatu sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tani. Ditegaskan di dalam penjelasan atas Pengaturan pemerintah No. 224 Tahun 1961 bahwa salah satu tujuan daripada Landreform adalah mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah sehingga dengan pembagian tersebut dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata pula. 36. Dasar Hukum Landreform Untuk mencegah hak-hak perseorangan yang melampau batas dapat kita saksikan secara tegas pada apa yang dicantumkan dalam pasal 7. Ketentuan pada pasal ini ada hubungannya dengan apa yang kita ketemukan dalam pasal-pasal lain yaitu Pasal 1C misalnya menentukan bahwa setiap orang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya wajib mengerjakannya sendiri secara aktif. Asas yang tertera dalam Pasal 10 ayat1 dan 2 ini merupakan suatu asas yang dijadikan dasar untuk perubahan-perubahan dalam struktur pertanian hampir di seluruh dunia. Cita-cita yang tercantum dalam slogan : Tanah pertanian harus dikerjakan atau

diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri, ini perlu disertai oleh kepentingan-kepentingan lainnya. Di antaranya perlu ditentukan pula batas-batas maksimum dan batas minimum luas tanah yang dapat dipunyai oleh seseorang. Hal ini ditentukan dalam Pasal 17. Pasal ini menunjuk kepada apa yang ditentukan dalam pasal 7. Yakni bahwa pemilikan dan penguasaan tanah tidak boleh melampaui batas hingga merugikan kepentingan umum. 37. Penghapusan Tanah Partikelir Hasil perundang-undangan agrarian nasional lainnya sebelum berlakunya UUPA. bahwa grootgrond bezit adalah sesuatu yang tabu dalam alam Indonesia merdeka sekarang ini. Yang kita maksudkan ialah Undang-undang tentang penghapusan Tanah-tanah partikelir, Undang-undang No.1 Tahun 1958 LN 1958 No.22. Disini ditentukan bahwa tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10 bouw yang merupakan milik seseorang atau suatu badan hukum atau milik bersama dan beberapa orang atau beberapa badan hukum, turut hapuskan pula, karena di persamakan dengan tanah partikelir (Pasal 1 ayat 2). 38. Undang-undang Landreform Indonesia : Undang-undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 Sesuai pula dengan apa yang dijanjikan oleh pembuat UUPA sendiri supaya segera dikeluarkan peraturan tentang pembatasan luas maksimum dan minimum tanah pertanian sebagai dimaksud dalam pasal 17 UUPA maka telah dikeluarkan Perpu No 56/960, kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 (LN 1960 No. 174) penjelasannya dimuat dalam TLN No. 5119 tentang Penetapan luas tanah pertanian, diundangkan di Jakarta tanggal 24 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januar 1961 (lihat lampiran No. 13) yang menentukan luas maksimum dan minimum tanah pertanian pada umumnya dengan memperhatikan jumlah penduduk luas daerah dan factor-faktor lainnya, serta mengatur pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian. Kemudian telah dikeluarkan pula suatu intruksi berssama menteri Dalam Negeri dan Onotomi Daerah dengan Materi Agraria No. Sekra 9/1/2, berhubungan dengan pelaksanaan undnag-undang tersebut dan disusul lagi dengan Keputusan Menteri Agraria No SK/1978/Ka/1960 tentang penegasan luas maksimum tanah pertanian yang diperinci dan ditetapkan bagi daerahdaerah tertentu. Tujuannya adalah untuk mencegah dilakukan pemecahan tanah lebih lanjut, karena hal itu akan menjauhkan usaha untuk mempertinggi taraf hidup petani. Oleh karena itu diadakan pembatasan-pembatasan bahwa pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar. 39. Hukum Adat Tidak Boleh Bertentangan dengan UUPA Maka tibalah kita pada bagian : bahwa hukum adat ini tidak bertentangan

dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUPA. 40. Hukum Adat Tidak Boleh Bertentangan dengan Kepentingan Nasional dan Negara Hak perorangan atas tanah Tiada tempat untuk emngatakan bahwa kepentingan perseorangan ini terdesak sama sekali oleh kepentingan masyarakat. Dalam UUPA diperhatikan pula kepentingan dari seseorang. Dalam memori penjelasan dikemukakan tentang pasal 6 ini bahwa harus diadakan keseimbangan diantara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum. Keduanya saling mengimbangi dengan demikian baru dapat diharapkan tercapainya cita-cita yang luhur yakni kemakmuran keadian dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat (pasal 2 ayat 3 UUPA). Tujuan Landreform Mengenai tujuan dari Landreform terdapat banyak pendapat dari berbagai kalangan. Antara lain Menteri Agraria pada waktu itu, Sadjarwo, dalam pidato-nya terfanggal 12 September 1960 dalam sidang pleno DPR-GR mengatakan bahwa tujuan Landreform di Indonesia ialah : a. untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yarig berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial; b. untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan obyek pemerasan; c. untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, yang berfungsi sosial. d. untuk mengakhiri sistem tuan-tuan dan menghapuskan pemilikan dan

penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga. e. untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggara-nya pertanian yang intensif secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong-royong lainnya, untuk mericapai kesejahteraan yang merata dan adil, dibarengi dengan suatu sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tani. Begitu pula ditegaskan di dalam'penjelasan atas Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 bahwa salah satu tujuan daripada Landreform adalah mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata pula. Jika Ada Pertentangan antara UUPAdan Hukum Adat, UUPA yang Berlaku Hal ini berarti pula bahwa bilamana dalam UUPA diadakan perumusan perumusan tentang hak-hak baru mengenai tanah, maka perumusan-perumusan inilah yang berlaku, bilamana tidak terdapat persesuaiari antara paham-paham hukum adat tentang hak-hak yang serupa dengan hak-hak baru dalam UUPA dan perumusan dalam UUPA itu sendiri. RUU Pokok Agraria Didasarkan atas Sistem Hukum Adat maupun Sistem Hukum Barat Dalam Rancangan UUPA yang pernah disampaikan kepada Dewan Perwakil-an Rakyat dengan amanal Presiden tanggal 24 April 1958 No. 1307/HK, naskah yang menjadi "pendahulu" dari teks (JUPA yang akhirnya diterima baik in), kita saksikan bahwa hukum adat tidaklah merupakan satu-satunya pegangan bagi pembuat undangundang dalam pembentukan hak-hak baru atas tanah. Secara tegas telah dikemukakan

dalam RUU tersebut, bahwa diambil bagian-bagian yang baik dari kedua sistem, baik dari hukum ada maupun dari hukum barat. Dalam penjelasan resmi atas RUU Pokok Agraria ini dikemukakan sebagai contoh, bahwa sifat kebendaan (zakeiijk karakier) dari hak-hak yang tertentu dalam hubungan perekonomian dan da/am hubungan internasional telah merupakan suatu pengertian yang erat hubungannya dengan soal kepastian hukum. Oleh karena itu perlu diperhatikan sifat kebendaan ini. Hukum Adat Tidak Mengenal Perbedaan antara Hak-hak Kebendaan dan Hakhak Pribadi Seperti diketahui hukum adat tidak mengenal perbedaan antara hak yang bersifat kebendaan (zakeiijk karakter) dan hak-hak yang bersifat pribadi (persoonlijk karakter). Perbedaan antara kedua macam hak ini tidak tegas dalam sistem hukum adat.

Dalam UUPA Terdapat Perbedaan Pengertian-pengertian Ini Akan tetapi, kita saksikan bahwa dalam UUPA yang akhirnya diterima baik, secara jelas terdapat pengertian-pengertian tentang sifat kebendaan ini. Hal ini dapat kita simpulkan dari Pasal 20 (perumusan hak milik), Pasal 28 (perumusan hak guna usaha), Pasal 35 (hak guna bangunan) dan Pasal 25 .(perumusan hak milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan), pasal 33 (ketentuan serupa untuk hak guna-usaha), Pasal 39 (idem untuk hak tanggungan bangunan). UUPA Mengenal Perbedaan antara Hak-hak Kebendaan dan Hak-hak Pribadi Walau tidak idak diqunakan istilah "hak kebendaan" (zakelijk recht) secara

tegas, dapatlah kita simpulkan bahwa pembuat UUPA memang memaksudkan hak hak yang bersifat sedemikian tatkala menciptakan ketiga hak baru ini. Pengaruh Sistem Hukum Barat atas UUPA Dalam RUU Pokok Agraria Tahun 1958 segata sesuatu telah diaku, secara secara tegas. Dengan nyata diutarakan bahwa pasal-pasal yang berkenaan hak-hak milik usaha dan bangunan mempergunakan pengertian tentang sifat-sifat kebendaan daripada hak-hak itu.

Hukum adat yang sudah disempurnakan Tentu dapat kita pahami jika kita mengingat faktor-faktor yang menjiwai UUPA yaitu usaha-usaha untuk kembali kepada kepribadian nasional Indonesia, hal mana pula yang menjadi landasan untuk menyatakan sebagai hukum yang berlaku untuk rakyat terbanyak akan merupakan hokum yang berlaku untuk hak-hak baru atas tanah. Tetapi kita saksikan bahwa hukum adat ini harus hukum adat yang sudah disempurnakan, karena tidak boleh bertentangan dengan banyak pembahasan Pasal 5 tadi dan bahwa hukum adat ini harus juga "disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional. Cita-cita Kesatuan Hukum di Bidang Agraria Seperti telah dikemukakan di atas maka dualisme di bidang hokum agraria yang sama dipandang sebagai wan'san kolonial yang merupakan. Dalam konsiderans

UUPA telah dinyatakan pula hal ini. Sifat dualisme tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli. Oleh UUPA hendak dihilangkan secara sadar dualisme ini. Penghapusan aneka warna hukum di bidang agraria ini harus diganti dengan kesatuan hukum. Kesatuan hukum ini menurut Memori Penjelasan memang "sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu". Jadi kita saksikan di sini bahwa kesatuan di bidang hukum agraria dipandang pula sebagai salah suatu hal yang membantu proses persatuan bangsa. Oleh pembuat UUPA telah dijelaskan pula bahwa kesatuan hukum di bidang agraria ini adalah sesuai dengan kepentingan perekonomian. Tetapi segi ini tidak dijelaskan lebih jauh. Pendapat Para Sarjana Hukum yang Pro Unifikasi Tentang hasrat untuk mencapai kesatuan hukum di bidang agraria ini, dapat ditunjuk pula kepada pendapat berbagai sarjana hukum Indonesia. Tercapainya kesatuan hukum sekarang ini adalah sesuai dengan pendapat terbanyak yang dikemukakan oleh para ahli Indonesia di bidang maisalan masalah agraria ini. Aneka Warna Hukum Agraria Disebabkan Pula Oleh Perbedaan

Kebutuhan Hukum Satu dan lain untuk menguatkan penglihatan kami, bahwa adanya dualisme di bidang hukum agraria dahulu, bukan semata-mata terdorong oleh pertimbanganpertimbangan diskriminatif. Kami anggap penglihatan Chabot dan Sonius, yang menganggap bahwa dualisme di bidang hukum agraria ini sebagai akibat dari adanya perbedaan dalam kebutuhan hukum, adalah suatu pendapat yang memperlihatkan intiinti kebenaran. Hal ini felah kami kemukakan pula pada kesempatan lain. UUPA Juga Memperhatikan Perbedaan Kebutuhan Hukum

Bahwa kebutuhan hukum antara golongan tertentu ini memang ada telah diakui pula oleh pembuat UUPA. Dalam Pasal 11 ayat 2 kita baca : "Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangart dengan kepentingan nasional diperhatikan ..."Dalam Memori Penjelasan ditegaskan bahwa tujuan pembuat UUPA dengan mengadakan ayat ini ialah karena penguasa tidak mau "menutup mata terhadap masih adanya perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum dari golongan-golongan rakyat". Perbedaan Keperluan Hukum Rakyat Kota dan Rakyat Desa Dijelaskan lebih jauh secara resmi di mana masih mungkin terdapat perbedaan ini, Dengan jelas telah dikemukakan bahwa "yang didasarkan atas golongan rakyat misalnya perbedaan dalam keperluan hukum rakyat kota dan rakyat pedesaan". Dalam hal ini kiranya contoh yang telah kita sajikan tadi untuk melukiskan adanya perbedaan kebutuhan hukum, yakni tentang keadaan orang-orang di kota-kota besar dan di desa pedalaman, adalah sejalan dengan contoh resmi yang dikemukakan oleh pembuat UUPA. Perbedaan antara Mereka yang Ekonominya Kuat dan yang Ekonominya Lemah Selain dan pada perbedaan kebutuhan antara rakyat kota dan rakyat pedesaan oleh pembuat UUPA telah ditunjuk pula kepada "rakyat yang ekonominya kuat dan rakyat yang lemah ekonominya. Setelah Berlakunya UUPA Masih Ada Gunanya Tetapi, kiranya tidak dapat dikatakan, bahwa cabang ilmu hukum yang khusus ini tidak mempunyai arti sama sekali untuk mengatasi persoalan-persoafan yang timbul di bidang hukum agraria. Masih banyak persoalan-persoalan yang dapat

didekati dan diselesaikan dengan memperguna.kan hasil-hasil hukum agraria antar golongan ini. Misalnya oleh pembuat UUPA sendiri telah ditegaskan bahwa perbedaan kebutuhan hukum daripada golongan-golongan rakyai dan masyarakat akan diperhatikan (Pasal 11 ayat 2). Ini berarti bahwa masih akan ada tempat bagi hukum yang berbeda di bidang agraria ini. walaupun tentunya secara terbatas. Juga dalam pasal-pasal peralihan ditentukan bahwa peraturan-peraturan yang lama, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, akan tetap berlaku. Hanya peraturan-peraturan yang dipandang bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam UUPA ini dianggap tidak berlaku iagi. Juga ditambahkan, bahwa peraturan-peraturan yang lama ini pertu ditafsirkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam UUPA (Pasal 58). Tetapi, satu hal adalah pasti, masih banyak peraturan hukum yang lama yang tetap berlaku. Dan selama masih ferdapat berbagai peraturan ini, dan selama belum ada penggantian peraturan-peraturan yang lama dengan peraturan-peraturan pelaksana UUPA, selama ini masih penting pula untuk memperhatikan segi hukum agraria antar-golongan. Peraturan Tentang Permintaan dan Pemberian Izin Pemindahan Hak atas Tanah Peraturan-peraturan tentang syarat "izin jaksa" atau "izin Menteri Agraria" untuk peralihan hak tanah dan benda-benda tetap lainnya, yang takluk kepada hukum Eropa (Undang-undang No. 24 Tahun 1954, LN 1954-78) tidak berlaku lagi dan diganti dengan Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 tentang permintaan dan Pemberian Izin Pemindahan Hak atas Tanah (TLN No. 2346) Lampiran No. 22). Kemudian peraturan ini telah diubah dan ditambah tengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Agraria No. 4 Tahun 1968 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. SK.

59/DDA/1970 (lihat Lampiran No. 23 dan No. 24). Peraturan tentang Hak Tanggungan Menurut Pasal 51 UUPA hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan dengan undang-undang. Menurut Pasal 57 UUPA, selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut belum terbentuk, maka yang berlaku ialah peraturan mengenai hipotik dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata dan Credietverband diatur dalam S. 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S. 1937-190. Menurut Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 (LN 1961- 28) setiap perjanjian yang bermaksud meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Jadi sebelum dilaksanakannya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 maka pembebanan dan pendaftaran hipotik serta Credietverband diselenggarakan menurut peraturan-peraturan yang berlainan. Sesudah dilaksanakannya Perafuran Pemerintah No. 10 Tahun 1961, maka pendaftaran hak-hak atas tanah semuanya diselenggarakan menurut peraturan tersebut. Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 tentang "Pembebanan dan Pendaftaran hipotik dan Credietverband (TLN No. 2347), maka untuk daerah di rhana pendaftaran tanah sudah diselenggarakan menurut PP No. 10 Tahun 1961 tidak lagi dikenal perbedaan antara tanah-tanah yang dapat dibebani hipotik dan Credietverband. (lihat Lampiran No. 30). Demikian pula Pasal 26: Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960 yang membedakan golongan tanah-tanah yang dapat dibebani hipotik dan Credietverband dicabut kembali.

Tanah-tanah yang dapat dibebani dengan hipotik dan Credietverband sebagaimana disebut dalam Pasal 1 PMA No. 15 Tahun 1961 adalah tanah-tanah hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha yang telah dibukukan dalam daftar buku tanah menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 197'1, artinya kreditur hanya akan menerima hak-hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan sebagai jaminan kredit. Mengenai yang berwenang membuat aktanya disebut dalam Pasal 3 PMA No. 15 Tahun 1961 yaitu dibuat oleh dan di hadapan pejabat pembuat akta tanah dari daerah tempatnya letak tanah yang bersangkutan. Jika lebih dan satu bidang dan tidak semuanya terletak di daerah kerja seorahg Pejabat Pembuat Akta Tanah makaI dapat dimintakan persetujuan Kepala Inspeksi. Pendaftaran Tanah yang bersangkutan. Peraturan ini mulai berlaku di Jawa dan Madura mulai tanggal 24 September 1961 dan di daerah daerah lainnya mulai tanggal 1 November 1961.

Tujuan Pendaftaran Tanah Disebabkan oleh perkembangan perekonamian yang pesat dari banyaknya tanah yang tersangkut dalam kegiatan ekonomi, misalnya jual beli, sewa menyewa, pembebanan hipotik atas tanah yang dijadikan jaminan karena adanya pemberiam kredit, maka oleh pembuat UUPA dianggap perlu adanya jaminaw kepastian hukum dan Kepastian hak dalam bidang Agraria. Oleh karena itu di dalam Pasal 19 UUPA diperintahkan kepada pamerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh

wilayah Republik Indonesia. Yang Dimaksud dengan Pendaftaran Tanah Yang dipnaksud deragan kewajiban mendaftarkan menurut UUPA adalah; a) pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c) pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, Dengan demikian maka pendaftaran ini akan menghasilkan peta-peta pendaftaran surat-surat ukur (untuk kepastian tentang letak, batas dan luas tanah) keterangan dari subjek yang bersangkutan (untuk kepastian siapa yang berhak atas tanah yang bersangkutan), status daripada haknya, serta beban-beban apa yang berada di atas tanah hak tersebut dan yang terakhir menghasilkan sertifikat (sebagai alat pembuktian yang kuat).

Peraturan tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Pendaftaran Tanah yang baru telah ditetapkan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang "Pendaftaran Tanah" (LN 1961 No. 28 penjelasannya di dalam TIN No. 2171) diundangkan pada tanggal 23 Maret 1961 dan mulai berlaku juga pada tanggal diundangkan (Lampiran No. 21) Untuk Jawa dan Madura Peraturan Pendaftaran Tanah menurut PP No. 10 Tahuh 1963 mulai dilaksanakan pada tanggal 24 September 1961. Untuk daerahdaerah luar Jawa dan Madura dilakukan daerah demi daerah disesuaikan dengan persiapah daerah-daerah yang bersangkutan. Bagi daerah yang belum mulai

diselenggarakan menurut Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961 maka dikeluarkan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 6 Tahun 1964 tentang pendaftaran hakhak atas tanah di daerah-daerah di mana pendaftaran tanah belum diselenggarakan menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 di mana disebutkan bahwa hak-hak atas. tanah bekas hak Barat yang didaftar menurut Overschrijvings Ordonnantie (S. 1834-27) dan hak-hak lainnya yang didaftar menurut Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1959 (TLN No. 1884), yang terletak di daerah-daerah ;idi mana pendaftaran tanah belum diselenggarakan menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 (LN 1961-28) mulai tanggal 1 Jurii 1964 didaftar menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961. Pendaftafan tanah tersebut diselenggarakan oleh Kantor Pendaftaran Tanah/ Kantor Pendaftaran dan Pengawasan Pendaftaran Tanah.

Selain hak-hak dimaksud di atas maka didaftar juga menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 hak-hak atas tanah yang menurut Surat Keputusan pemberiannya harus didaftar, menurut Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1959, tetapi pada tanggal 1 Juni 1964 pendaftarannya belum dilaksanakan. Terhadap hak-hak yang dimaksudkan di atas muiai tanggal 1 Juni 1964 berlaku ketenfuan-ketentuan dalam : a. Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 7961 tenfang "Permintaan dan pemberian izin pemindahan hak atas tanah" (TLN No. 2364). (Lampiran No: 22). b. Peraturan Menferi Negara Agraria No. 15 Tahun 1961 tentang "Pembebanan dan pendaftaran hipotik dan Credietverband" (TLN No. 2347). Di dalam Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 disebutkan bahwa

tanah-tanah hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha, yang telah dibukukan dalam daftar buku tanah menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1960 tentang Pendaftaran Tanah, dapat dibebani dengan hipotik maupun Credietverband. Mengenai tanah hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaria, yang belum dibukukan dalam daftar buku tanah menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, pembebanan hipotik dan Credietverband itu dapat dilakukan bersamaan dengan permintaan untuk membukukan tanahnyai menurut Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961.57

Peraturan Pefaksanaan tentang Pendaftaran Tanah Peraturan-peraturan pelaksanaan PP No. 10 Tahun 1961 yang penting antara lain : a) Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 196t tentang "Penunjukan Pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah serta Hak dan Kewajibannya" (TLN No. 2344); (Lampiran No. 21). b) Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK 19/DDA/1971 tanggal 3 April 1971 tentang "Pembentukan Panitia Ujian PPAT". c) Peraturan Menteri Agraria No. 11 Tahun 1961 tentang "Bentuk Akta" (TLN No 2384). d) Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 tentang "Permintaan dan Pemberian Izin Pemindahan Hak atas Tanah" (TLN No. 2346); (Lampiran No. 22).

e) Peraturan

Direktur

Jenderal

Agraria

No.

Tahun

1968

tentang

"Penyelenggaraan izin Pemindahan Hak atas Tanah". (Lampiran No. 23). f) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.'SK 59/DDA/1970 tentang

penyederhanaan Peraturan Perizinan Pemindahan Hak atas Tanah" (Lampiran No. 24) g) Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun-1961 tentang "Pembebanan dan Pendaftaran Hipotik serta Credietverband" (TIN No, 2347). h) Surat Keputusan Direktur Jenderal Agraria No. SK 67/DDA/68 (tanggal 12 juni 1968), tentang "Bentuk Buku Tanah dan Sertifikat Hipotik dan Credietverband". i) Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966 tentang "Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan". j) Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1962 tentang "Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas lanah" (TLN No. 2508). k) Surat Keputusan Menteri Daiam Negeri No. SK 26/DDA/1970 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas Tanah. l) Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 6 Tahun 1964 tentana "Pendaftaran hak-hak di daerah-daerah di mana pendaftaran tanah belum diselenggarakan menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961". m) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1975 tentang "Pendaftaran hak atas tanah kepunyaan bersama dan pemilikan bagian-bagian bangunan yang ada di atasnya serta penerbitan sertifikatnya". n) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 1975 tentang peng-gantian pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat dalam rangka pengukuran desa

demi desa menuju desa lengkap sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961. o) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK. 107/DJA/1975 tentang ,

Pembentukan Seksi Pendaftaran Tanah pada Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten dan Kotamadya yang belum ada Seksi Pendaftaran Tanahnya. p) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1977 (tanggal 29 Oktober 1977) tentang /Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah mengenai hak atas tanah yang dipunyai bersama dan pemilikan bagian-bagian bangunan yang ada di atasnya. q) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tanggal 26 November

1977 tentang "Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik r) Sab III Tala Cara mewakafkan dan Pendaftarannya dari PP No. 28 Tahun 1977, LN 1977 No. 38, tentang "Perwakafan Tanah" Milik". s) Biaya pendaftaran tanah, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1978, Peraturan Mendagri No. 12 Tahun 1978. t) Keppres No. 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional/BPN, yang menggantikan peranan Menteri Dalam Negeri dan Dirjen Agraria dalam halhal berkenaan dengan tanah. u) Untuk selanjutnya dalam semua peraturan-peraturan yang menyangkut Menteri Dalam Negeri c.q. Dirjen Agraria dalam naskah buku ini supaya dibaca "BPN".

You might also like