You are on page 1of 42

Laporan kasus

THALASSEMIA -MAYOR

Oleh : Yoeharto, S.Ked NIM. I1A002010

Pembimbing : DR. dr. Muh. Darwin T., Sp. PD, K-HOM

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM FK UNLAM/RSUD ULIN BANJARMASIN Oktober, 2012

LEMBAR PENGESAHAN

Thalassemia -Mayor

Oleh Yoeharto, S. Ked I1A002010

Pembimbing dr. Muh. Darwin P. Sp.PD. K-HOM

Banjarmasin, Oktober 2012

Telah setuju diajukan

(dr.

.. Muh. Darwin P. Sp.PD. K-HOM ) Telah dipresentasikan

. (dr. Muh. Darwin P. Sp.PD. K-HOM )

ii

BAB I PENDAHULUAN

Thalassemia merupakan satu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter yang diturunkan secara autosomal resesif, yang disebabkan karena tidak adanya atau berkurangnya sintesa dari satu atau lebih rantai-rantai polipeptida dari globin (1) Di Indonesia banyak dijumpai kasus thalassemia, hal ini disebabkan oleh karena migrasi penduduk dan percampuran penduduk. Menurut hipotesis,

migrasi penduduk tersebut diperkirakan berasal dari Cina Selatan yang dikelompokkan dalam dua periode. Kelompok migrasi pertama diduga memasuki Indonesia sekitar 3.500 tahun yang lalu dan disebut Protomelayu (Melayu awal) dan migrasi kedua diduga 2.000 tahun yang lalu disebut Deutromelayu (Melayu akhir) dengan fenotip Monggoloid yang kuat. Keseluruhan populasi ini menjadi menjadi Hunian kepulauan Indonesia tersebar di Kalimantan, Sulawesi, pulau Jawa, Sumatera, Nias, Sumba dan Flores (1). Thalassemia telah menimbulkan berbagai masalah kesehatan dunia terutama pada negara-negara berkembang, sehingga WHO (1983) telah mencantumkan program penanganannya. Keberadaan penyakit tersebut di

Indonesia, harus dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius, karena skrining pengemban sifat kelainan darah tersebut pada berbagai populasi menujukkan angka yang cukup memprihatinkan. (2).

Jika tidak ada tindakan preventif atau pengendalian dalam bentuk apapun, maka angka tersebut akan terus bertambah. Tindakan preventif yang dianjurkan oleh WHO (1994) dalam pengendalian thalassemia dan hemoglobinopati pada negara-negara berkembang adalah tindakan preventif berupa skrining penyakit thalassemia pada pupulasi tertentu, konseling genetik pranikah dan prenatal diagnosis. Konseling genetik pranikah ditujukan untuk pasangan pranikah terutama pada populasi yang berprevalensi tinggi (berprevalensi > 5%) untuk memeriksakan diri apakah mereka mengemban sifat genetik tersebut atau tidak. Konseling genetik juga ditujukan kepada mereka yang mempunyai kerabat dekat penderita thalassemia. Berdasarkan penelitian skrining pada donor darah dari populasi di kota Medan, prevalensi thalassemia (thalassemia alfa dan thalassemia beta) > 5 % yaitu 7,69% dengan taksiran 6,35 - 9,03%. Karena itu, konseling genetik harus segera disosialisasikan untuk mengurangi insidensi thalassemia pada masa yang akan datang. Berikut dilaporkan sebuah kasus seorang wanita, umur 34 tahun dengan diagnosis Thalassemia Beta Mayor yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam Wanita Rumah Sakit Daerah Ulin Banjarmasin.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Thalassemia adalah penyakit lain yang mengakibatkan penurunan dari produksi eritrosit. Thalassemia adalah kelainan bawaan autosomal resesif pada pembentukan hemoglobin. Meskipun hemolisis juga timbul pada penyakit ini tetapi masalah yang lebih penting dan mencolok adalah produksi hemoglobin yang tidak mencukupi. Letak masalah pada thalassemia adalah pada protein globulinnya. Pembuatan tiap rantai peptida diatur oleh satu gen tertentu yang letaknya pada kromosom dan pembuatan ini melalui mRNA. Kelainan pokok pada thalassemia terletak pada gangguan pembentukan rantai polipeptida. Ini terjadi karena didalam sel eritrosit mRNA untuk rantai dan berkurang atau tidak ada sama sekali . bila gangguan mengenai rantai penyakitnya dinamakan Thalassemia dan bila mengenai rantai , dinamakan thalassemia. (3)

2.2. Klasifikasi Klasifikasi berdasarkan kelainan rantai globin 1. Thalassemia (alpha) Terjadi karena adanya kelainan gen (kromosom 16) pada gen globin alpha. Kelainan ini menyebabkan adanya pengurangan atau hilangnya kemampuan

memproduksi rantai globin alpha sehingga jumlah rantai alpha menurun (thalassemia jenis ringan) atau tidak ada sama sekali (thalassemia alpha berat). 2. Thalassemia (beta) Terjadinya kelainan/perubahan/mutasi pada gen globin beta (pada kromosom 11) sehingga produksi rantai polipeptida globin beta berkurang atau tidak ada sama sekali. (4) Beta thalassemia terbagi atas 3 bagian: 1. thalassemia mayor : Terjadi bila kedua orang tuanya membawa gen pembawa sifat Thalassemia. Gejala penyakit muncul sejak awal masa kanak-kanak dan biasanya penderita hanya bertahan hingga umur sekitar 2 tahun. Penderita memerlukan transfusi darah seumur hidupnya. Hb 2-3 gr/dl 2. thalassemia intermedia : gejala lebih ringan, tranfusi kadang-kadang. dapat disertai gangguan pertumbuhan, deformitas tulang, splenomegali, anemia berat, perlu tranfusi. 3. thalassemia minor/ heterozigot carrier : gejala yang muncul pada penderita Thalassemia minor bersifat ringan, biasanya hanya sebagai pembawa sifat. Istilah Thalassemia trait digunakan untuk orang sehat namun dapat mewariskan gen Thalassemia pada anak-anaknya

2.3 Epidemiologi Frekuensi gen thalassemia di Indonesia berkisar 3-10%. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia.

2.4 Patofisiologi Molekul globin terdiri atas sepasang rantai- dan sepasang rantai lain yang menentukan jenis Hb. Pada orang normal terdapat 3 jenis Hb, yaitu Hb A (merupakan > 96% dari Hb total, tersusun dari 2 rantai- dan 2 rantai- = 22), Hb F (< 2% = 22) dan HbA2 (< 3% = 22). Kelainan produksi dapat terjadi pada ranta- (-thalassemia), rantai- (-thalassemia), rantai- (-thalassemia), rantai- (-thalassemia), maupun kombinasi kelainan rantai- dan rantai- (thalassemia). Pada thalassemia-, kekurangan produksi rantai beta menyebabkan kekurangan pembentukan 22 (Hb A); kelebihan rantai- akan berikatan dengan rantai- yang secara kompensatoir Hb F meningkat; sisanya dalam jumlah besar diendapkan pada membran eritrosit sebagai Heinz bodies dengan akibat eritrosit mudah rusak (ineffective erythropoesis).

2.5 Diagnosis Dari anamnesis akan didapatkan keluhan-keluhan akibat anemia. Pasien tampak pucat, terdapat gangguan nafsu makan, infeksi berulang, kelemahan

umum, gangguan tumbuh kembang, dan perut tampak semakin besar akibat adanya pembesaran hati dan limpa (5).

2.6 Penatalaksanaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Transfusi darah Kelasi besi Pemantauan fungsi organ Splenektomi Suplemen Dukungan psikologis Transplantasi sumsum tulang

BAB III LAPORAN KASUS I. Identitas Nama penderita Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan RMK Tanggal masuk RS : : : : : : : Ny. R 34 tahun Perempuan Lamunti 12 B Mantangas Kapuas Guru 83.98.44 15 September 2012

II. ANAMNESIS 1. Keluhan utama : Lemas 2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan lemas 1 hari SMRS, lemas dirasakan terus menerus, lemas dirasakan berkurang ketika beristirahat. Namun pasien lalu pergi ke puskesmas untuk periksa darah, kemudian didapatkan bahwa Hb pasien rendah lalu pasien dirujuk ke RS Ulin untuk tambah darah. Pasien sudah didiagnosa thalassemia sejak usia 7 tahun, setelahnya pasien rutin kontrol darah ke puskesmas tiap 1 bulan sekali. Sejak usia 7 tahun, pasien transfusi darah tiap 3 bulan sekali, sampai saat ini. Pasien akan merasakan lemas apabila mulai terlihat tanda-tanda kurang darah.

3.

Riwayat Penyakit Dahulu: Thalassemia (+), Hipertensi (-), DM (-), Asma (-)

4.

Riwayat Penyakit Keluarga: Hipertensi (-), DM (-), Asma (-)

III. Pemeriksaan Fisik A. Pemeriksaan Umum 1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Kesadaran GCS 2. Pengukuran Tanda Vital : Tekanan darah Nadi RR Suhu Berat Badan Tinggi Badan 3. Kulit : Warna Sianosis Hemangiom Turgor : 100/70 mm/Hg : 81 x/menit : 18 x/menit : 36,5o C : 45 kg : 150 cm : Komposmentis : 4-5-6

: Sawo matang : Tidak ada : Tidak ada : Cepat kembali

Kelembaban : Cukup

Pucat Lain-lain 4. Kepala : Bentuk Wajah Rambut : Warna Tebal/tipis Distribusi Alopesia Mata : Pelpebrae Konjungtiva Sklera Pupil

: Ada (di akral) : Tidak ada : Mesosefali : facies cooley : Hitam : Tipis : Merata : Tidak ada : Tidak ada edema : Anemis (+/+) : Ikterik (-/-) : Diameter Simetris : 3 mm / 3 mm : Isokor

Reflek Cahaya: +/+ Kornea Telinga : Bentuk Sekret Serumen Nyeri Hidung : Bentuk Epistaksis Sekret Mulut : Bentuk : Simetris : Tidak ada : Minimal : Tidak ada : Simetris : Tidak ada : Tidak ada : Simetris : Jernih, reflek (+)

10

Gusi Lidah : Bentuk Pucat/tidak

: Tidak ada perdarahan gusi : Simetris : Tidak pucat

Tremor/tidak : Tidak tremor Kotor/tidak Warna Faring : Hiperemi Edem Tonsil : Warna Pembesaran Abses/tidak 5. Leher : : Tidak kotor : Merah muda : Tidak ada : Tidak ada : Merah muda : Tidak ada : Tidak ada : Teraba Minimal : Tidak Meningkat : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : : Simetris : Gerakan nafas simetris : Fremitus vokal simetris

Vena Jugularis : Pulsasi Tekanan Pembesaran KGB Deviasi trakea Peningkatan JVP Kaku kuduk Massa Tortikolis

6.

Thoraks

Dinding dada/paru Bentuk

Paru-paru :

Inspeksi Palpasi

11

Perkusi Auskultasi

: Sonor pada kedua paru : Suara nafas vesikuler Ronkhi tidak ada Wheezing tidak ada

Jantung

Inspeksi Palpasi Perkusi

: Thrill terlihat : Iktus cordis teraba : - batas atas kanan ICS 2 linea parasternalis dekstra - batas bawah kanan ICS 6 linea parasternalis dextra - batas kiri atas ICS 2 linea parasternalis sinistra - batas kiri bawah ICS 6 linea axillaris anterior

Auskultasi :

Murmur Gallop (-)

: Murmur diastolik (-)

7.

Abdomen :

Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi Hati Lien Ginjal

: Perut tampak datar : Bising usus (+) normal : Timpani : : Tidak membesar : Teraba pada schuffner V : Tidak teraba

12

Massa 8.Ekstremitas :

: Tidak teraba

Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-), parese (-) Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-), parese (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang (Lab 12/9/2012) HEMATOLOGI Hemoglobin Leukosit Eritrosit Hematokrit Trombosit RDW-CV MCV, MCH, MCHC MCV MCH MCHC HITUNG JENIS Gran % Limfosit % MID % Gran # Limfosit # 47,0* 46,2* 6,8 2,20* 2,5 50.0 70.0 25.0 40.0 4,0 11,0 2,50 7,00 1,25 4,0 % % % ribu/ul ribu/ul 65,7* 19,7* 30,9* 80,0 97,0 27,0 32,0 32,0 38,0 fl pg % 3,7* 4,6 1,87* 12,2* 218 31,4 12,00-16,00 4,000 10,500 3,90 5,50 37,00 47,00 150,000 450,000 11.5 14.7 g/dL /ul juta/ul vol% /ul %

13

MID #

0,3

ribu/ul

V. Pemeriksaan Penunjang (Lab 14/9/2012) Pemeriksaan HEMATOLOGI Hemoglobin Leukosit Eritrosit Hematokrit Trombosit RDW-CV MCV, MCH, MCHC MCV MCH MCHC HITUNG JENIS Basofil % Eosinofil % Gran % Limfosit % Monosit % MID 0,6 2,3 43,2* 50,8* 3,1 0,4 0,0 1,0 1,0 3,0 50.0 70.0 25.0 40.0 3,0 9,0 % % % % % Ribu/ul 65,0* 19,8* 30,5* 80,0 97,0 27,0 32,0 32,0 38,0 fl pg % 5,1* 6,1 2,57* 16,7* 279 38,8* 12,00-16,00 4,000 10,500 3,90 5,50 37,00 47,00 150,000 450,000 11.5 14.7 g/dL /ul juta/ul vol% /ul % Hasil Nilai Rujukan Satuan

14

VI. Pemeriksaan Penunjang (Lab 16/9/2012) Pemeriksaan HEMATOLOGI Hemoglobin Leukosit Eritrosit Hematokrit Trombosit RDW-CV MCV, MCH, MCHC MCV MCH MCHC HITUNG JENIS Basofil % Eosinofil % Gran % Limfosit % Monosit % Basofil # Eosinofil # Gran # 0,6 1,3 43,6* 50,8* 4.5 0,05 0,02 4.29 0,0 1,0 1,0 3,0 50.0 70.0 25.0 40.0 3,0 9,0 <1 <3 2,50 7,00 % % % % % ribu/ul ribu/ul ribu/ul 77.9* 23.6* 33.2* 80,0 97,0 27,0 32,0 32,0 38,0 Fl pg % 8.2* 6,8 2,45* 25.8* 314 38,8* 12,00-16,00 4,000 10,500 3,90 5,50 37,00 47,00 150,000 450,000 11.5 14.7 g/dL /ul juta/ul vol% /ul % Hasil Nilai Rujukan Satuan

15

Limfosit # Monosit # Pemeriksaan

2.3 0,30* Hasil

1,25 4,0 0,30 1,00 Nilai Rujukan

ribu/ul ribu/ul Satuan

Evaluasi Hapusan Darah Tepi : Eritrosit : Hipokromik Anisopoikilositosis, tear drop (+), cigar cell (+), target cell (+), polikromasi (+), normoblast (+) Leukosit Trombosit Kesan : Kesan jumlah normal, neutropeni, sel darah muda (-) : Kesan jumlah normal, giant trombosit (+) : DD. Thalassemia + Anemia Defisiensi Besi, disertai Anemia Hemolitik Saran : Hb Elektroforesa, SI, TIBC, Feritin, LDH, Bilirubin, Retikulosit

VII.Follow Up Selama Rawat Inap Follow Up 12/9/2012


S Lemah (-) Pusing (-) Muntah (-) Sense O TD Temp Kepala Leher compos mentis 100/70 mmHg 36,8C N RR 91x/menit 21x/menit Makan/minum (+/+) BAB/BAK (+/+) Demam (-)

Conjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-) JVP = (5-2) cmH20, pembesaran KGB (-)

16

Cor Pulmo Abdomen

HR = 91x/menit, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-) datar, tegang pada hipokondrium kiri, venektasi (-), lien schuffner 5, BU(+) normal.

Extremitas

Edema extremitas superior (-) Edema extrmitas inferior (-)

A P

Anemia Gravis e.c Thalassemia beta mayor


IVFD Nacl 0,9% 16 tpm Inj. Dexamethason 1 amp (k/p) Transfusi PRC 3-4 kolf (s/d Hb>= 10) dengan Pre Difenhidramin 1 amp IV P.O : - Ranitidin 2x1 tab - Antacid syr 3x1 CI - B1, B6, B12 2x1 tab - Paracetamol 3x 500 mg (k/p)

Follow Up 13/9/2012
S Lemah (-) Pusing (-) Muntah (-) Sense O TD Temp Kepala Leher compos mentis 110/70 mmHg 36,7C N RR 90x/menit 20x/menit Makan/minum (+/+) BAB/BAK (+/+) Demam (-)

Conjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-) JVP = (5-2) cmH20, pembesaran KGB (-)

17

Cor Pulmo Abdomen

HR = 91x/menit, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-) datar, tegang pada hipokondrium kiri, venektasi (-), lien schuffner 5, BU(+) normal.

Extremitas

Edema extremitas superior (-) Edema extrmitas inferior (-)

A P

Anemia Gravis e.c Thalassemia beta mayor


IVFD Nacl 0,9% 16 tpm Inj. Dexamethason 1 amp (k/p) Transfusi PRC 3-4 kolf (s/d Hb>= 10) dengan Pre Difenhidramin 1 amp IV Post Transfusi PRC 2 kolf P.O : - Ranitidin 2x1 tab - Antacid syr 3x1 CI - B1, B6, B12 2x1 tab - Paracetamol 3x 500 mg (k/p)

Follow Up 14/9/2012
S Lemah (+) Pusing (-) Muntah (-) Sense O TD Temp Kepala compos mentis 100/70 mmHg 37,5C N RR 92x/menit 18x/menit Makan/minum (+/+) BAB/BAK (+/-) Demam (+)

Conjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-)

18

Leher Cor Pulmo Abdomen

JVP = (5-2) cmH20, pembesaran KGB (-) HR = 91x/menit, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-) datar, tegang pada hipokondrium kiri, venektasi (-), lien schuffner 5, BU(+) normal.

Extremitas

Edema extremitas superior (-) Edema extrmitas inferior (-)

A P

Thalassemia beta mayor


IVFD Nacl 0,9% 16 tpm Inj. Dexamethason 1 amp (k/p) Post Transfusi PRC 4 kolf Transfusi PRC 3-4 kolf (s/d Hb>= 10) dengan Pre Difenhidramin 1 amp IV P.O : - Ranitidin 2x1 tab - Antacid syr 3x1 CI - B1, B6, B12 2x1 tab - Paracetamol 3x 500 mg (k/p)

Follow Up 15/9/2012
S Lemah (<) Pusing (-) Muntah (-) Sense O TD Temp compos mentis 90/50 mmHg 36,3C N RR 96x/menit 18x/menit Makan/minum (+/+) BAB/BAK (+/+) Demam (-)

19

Kepala Leher Cor Pulmo Abdomen

Conjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-) JVP = (5-2) cmH20, pembesaran KGB (-) HR = 91x/menit, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-) datar, tegang pada hipokondrium kiri, venektasi (-), lien schuffner 5, BU(+) normal.

Extremitas

Edema extremitas superior (-) Edema extrmitas inferior (-)

A P

Thalassemia beta mayor


IVFD Nacl 0,9% 16 tpm Inj. Dexamethason 1 amp (k/p) Post Transfusi PRC 3 kolf Transfusi PRC 3-4 kolf (s/d Hb>= 10) dengan Pre Difenhidramin 1 amp IV P.O : - Ranitidin 2x1 tab - Antacid syr 3x1 CI - B1, B6, B12 2x1 tab - Paracetamol 3x 500 mg (k/p)

Follow Up 16/9/2012
S Lemah (-) Pusing (-) Muntah (-) Makan/minum (+/+) BAB/BAK (+/+) Demam (-) Pucat (+) Sense O TD Temp compos mentis 100/70 mmHg 36,8C N RR 91x/menit 21x/menit

20

Kepala Leher Cor Pulmo Abdomen

Conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-) JVP = (5-2) cmH20, pembesaran KGB (-) HR = 91x/menit, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-) datar, tegang pada hipokondrium kiri, venektasi (-), lien schuffner 5, BU(+) normal.

Extremitas

Edema extremitas superior (-) Edema extrmitas inferior (-)

A P

Thalassemia beta mayor


IVFD Nacl 0,9% 16 tpm Inj. Dexamethason 1 amp (k/p) Post Transfusi PRC 4 kolf Transfusi PRC 3-4 kolf (s/d Hb>= 10) dengan Pre Difenhidramin 1 amp IV P.O : - Ranitidin 2x1 tab - Antacid syr 3x1 CI - B1, B6, B12 2x1 tab

- Paracetamol 3x 500 mg (k/p)

Follow Up 17/9/2012 Pasien APS

21

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Patologi Molekular dan Sellular Beta Thalassemia disebabkan oleh lebih dari 200 poin mutasi dan kadangkadang meskipun jarang, dapat disebabkan oleh adanya delesi gen (1). Thalassemia merupakan penyakit heterogen secara klinis karena berbagai variasi lesi genetik merusak sintesis rantai globin. Namun, variabilitas genotip pada lokus yang telah diketahui sering belum cukup untuk menjelaskan fenotipe-fenotipe yang berbeda pada orang tua dari individu dengan genotipe yang sama. Disparitas antara genotipe-genotipe dan fenotipe-fenotipe khususnya ditandai pada thalassemia intermedia dan thalassemia hemoglobin E. Namun, faktor-faktor genetik yang telah diketahui tidak cukup untuk mempertanggungjawabkan variabilitas yang telah ditandai, dan pengubah gentik lainnya mungkin ada (2) Hemolisis dan eritropoiesis yang tidak efektif bersama-sama menyebabkan anemia yang terjadi pada thalassemia. Kontribusi relatif dari dua proses patologis ini memberikan efek yang berbeda pada berbagai variasi jenis thalassemia. Gambar 2 akan mengilustrasikan proses kompleks dari peristiwa yang terjadi pada eritrosit-eritorsi, yang merupakan hasil dari percepatan destruksi perifer (3)

22

Gambar 4.1 Penanganan Thalassemia dan Pengobatan yang Berhubungan dengan Komplikasi (4)

Sumsum tulang pada pasien thalassemia mengandung lima sampai enam kali lipat prekursor eritroid dari sumsum tulang orang normal (5), 15 kali lipat jumlah sel apoptotik pada tingkat polikromatofilik dan ortokromik (5,6), percepatan apoptosis. Penyebab utama dari eritropoiesis yang tidak efektif

23

disebabkan oleh kelebihan endapan rantai alfa pada prekursor eritroid. Meskipun mekanisme yang tepat tidak diketahui, jalur kematian reseptor tampaknya dikaitkan dengan interaksi ligan fas-fas (7). Dalam eritropoiesis normal, mekanisme apoptosis tampaknya memainkan peran regulasi dan diperlukan untuk pematangan eritroid normal (8). Percepatan apoptosis dihubungkan dengan peningkatan pajanan fosfatidilserin pada ekstraseluler (gambar 2), yang merupakan sinyal penting untuk penghapusan oleh makrofag yang teraktivasi (9), yang jumlahnya meningkat pada sumsum tulang penderita thalassemia (10).

4.2 Manifestasi Klinis dan Terapi Supportif Thalassemia 4.2.1 Anemia dan Terapi Transfusi Terapi transfusi berkelanjutan untuk menjaga kadar hemoglobin berkisar antara 9-10 g/dl diizinkan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan, juga untuk mengurangi hepatosplenomegali yang tidak hanya diakibatkan oleh hematopoiesis extramedullar tetapi juga oleh deformitas tulang (11,12). 4.2.2 Endokrinopati dan Penyakit Tulang Gangguan pertumbuhan, endokrinopati, khususnya hipogonadisme, merupakan manifestasi umum pada thalassemia (11,13,14). Sejak manifestasi-manifestasi ini dihasilkan tidak hanya dari anemia kronik tetapi juga kelebihan zat besi, itu semua lebih sering pada pasien yang lebih tua atau mereka yang menjalani terapi kelasi besi yang tidak cukup (11,13). Pengganti hormon diindikasikan untuk sisa insufisiensi endokrin (14). Terapi hormon pertumbuhan telah memiliki keberhasilan variabel (13). Hipogonadotropik hipogonadisme mengganggu

24

kesuburan tetapi dapat diperbaiki dengan menggunakan penggantian hormon pada pasien laki-laki.

Gambar 4.2 Patofisiologi Hemolisis dan Hiperkoagulobilitas (4)

25

Sebagian kecil pasien wanita, termasuk mereka yang dengan thalassemia mayor atau thalassemia intermedia, telah dapat hamil, baik secara spontan (jika mereka mendapat terapi kelasi yang adekuat) atau dengan teknik reproduksi bantuan (13). Kehamilan umumnya muncul dengan aman bila fungsi dasar jantung baik (15). Kelasi yang terlalu kuat dikaitkan dengan displasia tulang yang diinduksi deferoxamin, yang dapat memperlambat kecepatan pertumbuhan pada anak-anak dan mungkin hanya sebagian reversibel (14). Penatalaksanaan penyakit tulang meliputi monitoring secara hati-hati pada terapi kelasi, perubahan gaya hidup (meningkatkan intake kalsium dan aktivitas fisik serta menghindari kebiasaan merokok), terapi hormonal, dan terapi vitamin D. Penghambat osteoklas seperti bifosfonat mempunyai potensial untuk mereduksi resorpsi tulang dan mungkin pendekatan pengobatan yang baik, namun studi lebih lanjut diperlukan sebelum rutin penggunaan obat ini dapat direkomendasikan (16). 4.2.3 Kelebihan Zat Besi Patogenesis, Pengukuran, dan Terapi Kelebihan zat besi menyebabkan banyak mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan thalassemia. Deposisi zat besi terjadi di organ viseral (terutama di jantung, hati, dan kelenjar endokrin), menyebabkan kerusakan jaringan dan pada akhirnya disfungsi dan gagal organ. Manifestasi yang terjadi pada jantung karena kelebihan zat besi masih menjadi penyebab utama kematian (17,18). Baik kelebihan zat besi karena transfusi maupun kelebihan absorpsi zat besi pada gastrointestinal juga akan berpengaruh. Secata berlawanan, kelebihan penyerapan besi pencernaan tetap ada meskipun kenaikan besar total beban besi tubuh.

26

Hepcidin adalah sebuah peptida kecil yang menghambat absorbsi zat besi pada usus halus. Kadar hepcidin secara normal akan meningkat ketika pasokan zat besi tubuh mengalami kenaikan (19). Kadar hepcidin ditemukan rendah pada pasien dengan thalassemia intermedia dan thalassemia mayor (20). Terlebih lagi, serum pasien thalassemia menginhibisi hepcidin messenger ekspresi RNA pada garis sel HepG2, yang menunjukkan kehadiran faktor humoral dalam menurunkan regulasi hepcidin (21). Pengamatan ini menunjukkan bahwa regulasi hepcidin atau agen yang meningkatkan ekspresi hepcidin mungkin berguna secara terapi untuk penghambatan penyerapan besi yang tidak seharusnya Secara tepat, sebaiknya pengukuran non-invasif cadangan besi sangat penting untuk evaluasi dan manajemen terapi kelasi. Serum feritin paling umum diukur sebagai indikator cadangan besi. Kadar feritin di bawah 2500 mg per mililiter dikaitkan dengan peningkatan kelangsungan hidup, serta bebas dari penyakit jantung (22). Namun, kadar feritin serum sangat diandalkan, terutama ketika penyakit hati muncul (23). Biopsi hati telah sering digunakan tetapi invasif. Pengukuran non-invasif langsung cadangan besi hepatik mungkin dengan teknik magnetik susceptometry (dengan menggunakan perangkat kuantum-gangguan superkonduksi) dan setara atau lebih akurat daripada pengukuran besi hepatik oleh biopsi hati (18). Namun, hanya empat center di dunia ini yang mampu melakukannya. Perlu dicatat bahwa hepatik besi mungkin tidak secara akurat

melambangkan deposisi besi pada organ vital lainnya (seperti jantung). Memang, kerusakan jantung parah telah diamati pada beberapa pasien dengan khelasi yang

27

mungkin memadai, dan besi pada otot jantung dan fungsi ventrikel kiri tampaknya tidak dapat diprediksi dari konsentrasi besi hati, kadar feritin, atau keduanya (24). Oleh karena itu, teknik-teknik non-invasif untuk pengukuran kadar besi jantung sedang dikembangkan. Pencitraan resonansi magnetis (MRI) untuk pengukuran kadar besi jantung secara teknis bermasalah. Namun, penerapan T 2 gradientecho Sekuensing lebih sensitif terhadap pengendapan hemosiderin dan tampaknya berguna untuk pengukuran besi pada otot jantung pasien thalassemia (25), namun pendekatan ini membutuhkan validasi lebih lanjut dan studi jangka panjang untuk menentukan manfaatnya dalam menilai efektivitas terapi khelasi Terapi kelasi besi mempunyai tanggung jawab besar dalam memperpanjang angka harapan hidup pasien thalassemia mayor (18,22,26). Deferoxamin berkelanjutan merupakan agen kelasi besi yang paling dikenal, tetapi memiliki banyak keterbatasan : dibutuhkan perlakuan secara parenteral (menimbulkan rasa sakit dan mengurangi kepatuhan), efek samping, dan harga (mahal di negaranegara berkembang) (18). Banyak usaha telah dilakukan untuk menemukan kelator aktif oral baru. Deferipon, sebuah kelator oral, awalnya dipikirkan sebagai kelator yang tidak adekuat yang mungkin memperparah terjadinya fibrosis hepatik. Namun, pengalaman kumulatif di seluruh dunia mengindikasikan bahwa obat ini aman dan efektif (27). Penggunaan deferipon jangka panjang tidak menunjukkan adanya hubungan dengan kerusakan hati (28). Efek samping dari deferipon meliputi artralgia, nausea dan gejala gastrointestinal lainnya, peningkatan kadar enzim hati,

28

leukopenia, dan jarang sekali terjadi agranulositosis dan defisiensi zync (29). Banyak dari efek samping ini dapat dimonitoring dan dikontrol. Deferipon memiliki banyak keunggulan daripada deferoxamin. Deferipon dapat menembus membran sel dan kelat beracun spesies besi intraseluler (30). Pada sebuah studi awal, kadar hemoglobin meningkat dan kebutuhan transfusi menurun pada beberapa pasien dengan thalassemia hemoglobin E yang mendapat terapi deferipon dalam kurun waktu rata-rata 50 minggu (31). Dan yang terpenting, penelitian terbaru menunjukkan bahwa deferipon mungkin lebih effektif daripada deferoxamin dalam menyingkirkan zat besi pada miokardium (24,32,33).

4.3 Diagnosis Dari anamnesis akan didapatkan keluhan-keluhan akibat anemia. Pada kasus ini, pasien tampak pucat, terdapat gangguan nafsu makan, infeksi berulang, kelemahan umum, dan ada riwayat gangguan tumbuh kembang. Pada umumnya keluhan ini mulai timbul pada usia 6 bulan. Rentang gambaran klinisnya sangatlah luas, mulai yang asimtomatis sampai yang berat bahkan fatal. Selain itu juga dapat dijumpai wajah yang tampak khas gambaran mongoloid (facies cooley) akibat adanya deformitas tulang kepala dengan zigoma yang meninjol. Juga didapatkan hepatomegali dan splenomegali (34) Pemeriksaan Hb elektroforesis merupakan pemeriksaan diagnostik yang utama. Hb biasanya rendah, berkisar antara 2-8g/dl. Mean corpusculer volume (MCV) dan mean corpusculer hemoglobin (MCH) rendah. Sementara red blood

29

cell distributing weight (RDW) meningkat. Dari preparat hapus, akan didapatkan gambaran eritrosit mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polokromasi, basophilic stippling, benda howeljolly, poikilositosis. Sementara foto tulang pipih dan ujung tulang panjang tampak perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas.(34)

4.4 Pemeriksaan Penunjang 4.4.1 Darah tepi :


Hb rendah dapat sampai 2-3 g% Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih kurang khas.

Retikulosit meningkat. Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis) : Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis asidofil.

4.4.2

Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat. Pemeriksaan khusus : Hb F meningkat : 20%-90% Hb total Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F. Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia mayor merupakan trait (carrier) dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb total).

4.4.3

4.4.4

Pemeriksaan lain :

30

Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak lurus pada korteks.

Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas.

4.4 Penatalaksanaan 1. Transfusi darah Beberapa pendapat berlainan mengenai transfusi darah. Secara umum dikatakan, pasien dengan kadar Hb <7g/dl sudah memerlukan transfusi. Sebagian menyatakan sebaiknya transfusi sel darah merah dimulai bila kadar Hb turun mencapai 10g/dl dan dipertahankan pada kadar sekitar 14g/dl (high transfussion scheme). Adapula yang menyatakan sebaiknya transfusi darah baru diberikan pada kadar 6g/dl dengan mempertahankan kadar Hb sekitar 10g/dl (low tranfussion scheme). (35) Pemberian transfusi PRC secara teratur guna memelihara kadar Hb pada tingkat 9-10g/dl , membantu mengurangi komplikasi anemia, dan eritropoesis yang tidak efektif, memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan, mengurangi hepatosplenomegali, mengurangi hematopoesis ekstrameduler sehingga

mengurangi adanya deformitas tulang serta memperpanjang ketahanan hidup pada thalassemia mayor. Regimen yang digunakan untuk mempertahankan konsentrasi Hb sebelum transfusi tidak melebihi dari 9,5g/dl. Telah menunjukkan penurunan kebutuhan transfusi dan memperbaiki kontrol beban besi dalam tubuh bila dibandingkan dengan regimen transfusi Hb lebih dari 11g/dl. (36)

31

Komplikasi utama akibat transfusi darah adalah penyebaran penyakit infeksi yang terkait transfusi, serta komplikasi dari iron overload akibat transfusi yang berulang-ulang. (37) 2. Kelasi besi Penumpukan besi merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang paling banyak pada penderita thalassemia. Penumpukan besi terutama terjadi pada organ-organ viseral terutama pada jantung,hati dan kelenjar endokrin. Menyebabkan kerusakan jaringan dan disfungsi/gagal organ. Diperkenalkannya chelating agent (kelasi besi) yang dapat mengeluarkan kelebihan besi dari dalam tubuh telah mengubah harapan hidup penderita thalassemia. Bila diberikan bersamaan dengan transfusi PRC, kelasi besi dapat memperlambat terjadinya penyakit jantung, bahkan pada beberapa penderita hal itu dapat dicegah. (37) Beberapa kelasi yang ada di pasaran Defoxamine (DFO), Deferiprone, deferasirox 3. Pemantauan fungsi organ Melakukan pemeriksaan secara berkala setiap 6 bulan atau lebih cepat bila diperlukan terhadap kemungkinan adanya gangguan fungsi organ. (38) 4. Splenektomi Mengingat komplikasi infeksi berat yang terjadi pasca splenektomi, maka tindakan ini sebaiknya dilakukan pada umur 5 tahun keatas. Pada umur tersebut fungsi limpa sebagai organ yang berperan dalam pembentukan zat anti terhadap infeksi sudah dapat diambil alih oleh organ limfoid lain (36). Indikasi splenektomi, antara lain:

32

Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur. Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.

5.

Suplemen a. Vitamin C. Penderita thalassemia yang mendapat terapi kelasi besi memperlihatkan defisiensi vitamin C. Vitamin C seharusnya diberikan dalam jumlah kecil saja guna memperkuat efek pengikatan besi (3mg/kg/hari saat dimulainya pemberian kelasi besi), pemberian dalam dosis besar harus dihindari. (38) b. c. Vitamin E. Dosis untuk anak diberikan 1UI/kg/hari secara oral (38) Asam folat. Direkomendasikan untuk memberikan asam folat 1mg/hari. (38)

6.

Dukungan psikologis Kepada penderita diterangkan mengenai penyakitnya dan perlunya

pemberian transfusi serta kelasi besi supaya penderita dapat hidup dan melakukan aktifitas sehari-hari seperti anak normal lainya.(38) 7. Transplantasi sumsum tulang Terbentur pada biaya yang tinggi dan kelangkaan donor dengan HLA yang cocok. Survival ratenya sebesar 59%, sementara penderita yang tidak mempunyai faktor resiko yang buruk survival rate nya mencapai 90%. (36)

33

8.

Pencegahan Marriage counseling dan prenatal diagnosis sangatlah penting untuk

pencegahan lahirnya thalassemia mayor. Sedapat mungkin dihindarkan antara dua insan heterozygot, agar tidak terjadi bayi homozygot. Prenatal diagnosis akan memutuskan kehamilan itu dipertahankan atau di gugurkan (36).

34

BAB V PENUTUP

Telah dilaporkan penderita Ny R, umur 34 tahun dengan diagnosis penyakit thalassemia beta mayor. Kurang lebih 1 bulan yang lalu, pasien pergi ke puskesmas untuk periksa darah, kemudian didapatkan bahwa Hb pasien rendah, sehingga pasien dirujuk ke RS.Ulin untuk tambah darah. Pasien sudah didiagnosa thalassemia sejak usia 7 tahun, setelahnya pasien rutin kontrol darah ke puskesmas tiap 1 bulan sekali. Saat umur 9 tahun, pasien transfusi darah tiap 3 bulan sekali, sampai saat ini. Pasien merasa lemas apabila mulai kurang darah, tidak ada perdarahan gusi, dan tidak ditemukan adanya ptekie Selama di rumah sakit, pasien mendapat terapi supportif berupa transfusi PRC s/d Hb 10. Selain itu, pasien juga mendapatkan terapi injeksi dexametason, tablet ranitidin, vitamin B6, B12, dan parasetamol.

35

DAFTAR PUSTAKA

1.

Higgs DR, Thein SL, Woods WG. The molecular pathology of the thalassaemias. In: Weatherall DJ, Clegg B, eds. The thalassaemia syndromes. 4th ed. Oxford, England: Blackwell Science, 2001:133-91

2.

Weatherall DJ. Phenotype-genotype relationships in monogenic disease: lessons from the thalassaemias. Nat Rev Genet 2001; 2:245-55.

3.

Pootrakul P, Sirankapracha P, Hemsorach S, et al. A correlation of erythrokinetics, ineffective erythropoiesis, and erythroid precursor apoptosis in Thai patients with thalassemia. Blood 2000;96:2606-12.

4.

Rund D, E Rachmilewitz. Medical Progress Beta Thalassemia. NEJM 2005; 353:1135-46

5.

Centis F, Tabellini L, Lucarelli G, et al. The importance of erythroid expansion in determining the extent of apoptosis in erythroid precursors in patients with b-thalassemia major. Blood 2000;96:3624-9.

6.

Mathias LA, Fisher TC, Zeng L, et al. Ineffective erythropoiesis in bthalassemia major is due to apoptosis at the polychromatophilic normoblast stage. Exp Hematol 2000;28:1343-53

7.

De Maria R, Testa U, Luchetti L, et al. Apoptotic role of Fas/Fas ligand system in the regulation of erythropoiesis. Blood 1999; 93:796-803.

8.

Testa U. Apoptotic mechanisms in the control of erythropoiesis. Leukemia 2004; 18:1176-99

36

9.

Kuypers FA, de Jong K. The role of phosphatidylserine in recognition and removal of erythrocytes. Cell Mol Biol 2004;50:147-58.

10. Angelucci E, Bai H, Centis F, et al. Enhanced macrophagic attack on bthalassemia major erythroid precursors. Haematologica 2002;87:578-83 11. Cunningham MJ, Macklin EA, Neufeld EJ, Cohen AR. Complications of bthalassemia major in North America. Blood 2004; 104:34-9. 12. Old JM, Olivieri NF, Thein SL. Diagnosis and management of thalassaemia. In: Weatherall DJ, Clegg B, eds. The thalassaemia syndromes. 4th ed. Oxford, England: Blackwell Science, 2001:630-85 13. De Sanctis V. Growth and puberty and its management in thalassaemia. Horm Res 2002;58:Suppl 1:72-9. 14. Raiola G, Galati MC, De Sanctis V, et al. Growth and puberty in thalassemia major. J Pediatr Endocrinol Metab 2003;16:Suppl 2:259-66. 15. Cohen AR, Galanello R, Pennell DJ, Cunningham MJ, Vichinsky E. Thalassemia. Hematology (Am Soc Hematol Educ Program) 2004;1:14-34 16. Voskaridou E, Terpos E. New insights into the pathophysiology and management of osteoporosis in patients with beta thalassaemia. Br J Haematol 2004;127:127-39 17. Modell B, Khan M, Darlison M. Survival in beta-thalassaemia major in the UK: data from the UK Thalassaemia Register. Lancet 2000;355:2051-2. 18. Olivieri NF. The b-thalassemias. N Engl J Med 1999;341:99-109. [Erratum, N Engl J Med 1999;341:1407.]

37

19. Ganz T. Hepcidin, a key regulator of iron metabolism and mediator of anemia of inflammation. Blood 2003;102:783-8. 20. Papanikolaou G, Tzilianos M, Christakis JI, et al. Hepcidin in iron overload disorders. Blood 2005;105:4103-5 21. Rachmilewitz EA, Weizer-Stern O, Adamsky K, et al. Iron and oxidative stress in thalassemia: Eighth International Cooleys Anemia Symposium, March 2005. Ann N Y Acad Sci 2005;1054:1-6 22. Hoffbrand AV, Cohen A, Hershko C. Role of deferiprone in chelation therapy for transfusional iron overload. Blood 2003;102: 17-24 23. Brittenham GM, Cohen AR, McLaren CE, et al. Hepatic iron stores and plasma ferritin concentration in patients with sickle cell anemia and thalassemia major. Am J Hematol 1993;42:81-5 24. Anderson LJ, Wonke B, Prescott E, Holden S, Walker JM, Pennell DJ. Comparison of effects of oral deferiprone and subcutaneous desferrioxamine on myocardial iron concentrations and ventricular function in betathalassemia. Lancet 2002;360: 516-20 25. Voskaridou E, Douskou M, Terpos E, et al. Magnetic resonance imaging in the evaluation of iron overload in patients with b thalassemia and sickle cell disease. Br J Haematol 2004;126:736-42. 26. Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, et al. Survival and complications in patients with thalassemia major treated with transfusion and deferoxamine. Haematologica 2004;89:1187-93

38

27. Franchini M, Veneri D. Iron-chelation therapy: an update. Hematol J 2004;5:287- 92. 28. Wanless IR, Sweeney G, Dhillon AP, et al. Lack of progressive hepatic fibrosis during long-term therapy with deferiprone in subjects with transfusion-dependent b-thalassemia. Blood 2002;100:1566-9. [Erratum, Blood 2003;101:2460.] 29. Ceci A, Baiardi P, Felisi M, et al. The safety and effectiveness of deferiprone in a large-scale, 3-year study in Italian patients. Br J Haematol 2002;118:3306 30. Shalev O, Repka T, Goldfarb A, et al. Deferiprone (L1) chelates pathologic iron deposits from membranes of intact thalassemic and sickle red blood cells both in vitro and in vivo. Blood 1995;86:2008-13 31. Pootrakul P, Sirankapracha P, Sankote J, et al. Clinical trial of deferiprone iron chelation therapy in b-thalassaemia/haemoglobin E patients in Thailand. Br J Haematol 2003;122:305-10 32. Piga A, Gaglioti C, Fogliacco E, Tricta F. Comparative effects of deferiprone and deferoxamine on survival and cardiac disease in patients with thalassemia major: a retrospective analysis. Haematologica 2003;88: 489-96. 33. Hershko C, Link GM, Konijn AM, Cabantchik ZI. Iron chelation therapy. Curr Hematol Rep 2005;4:110-6 34. Permono B, IDG Ugrasana dalam : Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Widiastuti E dan Abdulsalam, editor. Buku ajar hematologo-onkologi anak. Badan penerbit IDAI 2005.

39

35. Riza,

Muhammad.

(2008).

Diagnosis

dan

tatalaksana

thallasemia.

Disampaikan dalam seminar The newest perspective of talasemia. Surakarta 36. Run D and Rachmifewitz (2005). -thalassemia. N Engl 3 Med 37. Introduction diagnosis of thalasenia. Dari : URL:

http//www.thalassemia.com/thal_SOC_guide.pdf 38. Wahidayat I. (1998) Transfusi darah pada thalassemia. Dalam : Gatot D, Abdulsalam M, Windiastuti E, Naskah lengkap PKB IKA XLI darah dan tumbuh kembang : aspek transfuse. Balai penerbit FKUI. Jakarta

40

You might also like