Professional Documents
Culture Documents
4 May, 2009 at 03:07 (Bahan Bacaan) Setelah mempelajari bab ini, diharapkan Anda dapat menjelaskan faktor sosial budaya yang mempengaruhi masalah yang dialami klien. Setelah memahami hakikat mata kuliah LSB, budaya dan pengaruhnya terhadap tingkah laku, pada bab ini Anda diajak untuk membahas berbagai aspek sosial budaya yang mempengaruhi tingkah laku, termasuk layanan bimbingan konseling. Dalam bab ini, kami menguraikan aspek budaya dalam tingkah laku dan layanan bimbingan khususnya konseling, testing dan pemberian informasi. Pada akhir bab ada sejumlah tugas yang perlu Anda kerjakan agar pemahaman Anda terhadap materi menjadi lebih komprehensif.
akan dipengaruhi oleh budaya laki-laki. Ada bias yang lain yang terjadi dalam masyarakat, misalnya bias etnik, bias sampel, dan bias kelas sosial. Testing sering menimbulkan bias. Dalam testing, budaya menjadi penyebab bias karena keadaan yang dilukiskan tidak menggambarkan hal yang sebenarnya. Bahan-bahan tes ternyata banyak mengandung unsur-unsur budaya terutama dari kelas sosial menengah atas orang kulit putih. Ahli penyusun tes umumnya berasal dari kelas menengah yang kurang menghayati budaya kelas bawah sehingga ada kesenjangan budaya. Butir-butir tes kecerdasan misalnya, mencerminkan budaya kelas sosial tertentu, yaitu budaya kelas sosial menengah. Butir-butir tes menyangkut hal yang dikenal baik oleh siswa dari kelas sosial menengah atas, tetapi asing bagi siswa dari kelas menengah bawah. Hal ini mempengaruhi siswa dalam menjawab tes. Di samping itu, testing berlangsung dalam situasi hubungan sosial tester-testee. Penciptaan hubungan dan suasana yang aman, nyaman, tenang, dan tidak mencemaskan sangat mempengaruhi hasil tes siswa. Sebagai contoh, tempat tes yang gaduh, bising, tata letak kursi yang sangat padat dan tidak teratur, waktu tes siang hari dalam suasana yang panas, akan mengganggu konsentrasi testee dalam mengerjakan tes. Kinerja testee bukan hanya dipengaruhi oleh kemampuannya, melainkan juga oleh keadaan kesehatan terutama kesegaran fisik, keyakinan diri testee dan lingkungan pelaksanaan tes. Norma tes disusun berdasar atas sampel dari populasi tertentu yang dipakai sebagai standar norma. Standar itu kemudian digunakan sebagai pembanding dalam menentukan tingkat dari skor tes. Masalah timbul ketika sampel untuk norma tes diperlakukan bagi testee yang berbeda tingkat sosial dan latar belakang budayanya. Pada waktu proses standardisasi, penyusun tes menggunakan orang-orang kota atau negara maju sebagai norma, tetapi setelah tes selesai disusun, ia digunakan untuk mengukur orang-orang yang berasal dari desa atau negara berkembang. Dengan perbedaan tersebut, hasil tes bisa menjadi relatif. Dengan demikian, karena unsur bias, instrumen testing tidak bisa terlalu diandalkan. Konselor harus hati-hati, tidak sembarangan dalam menafsirkan dan menginformasikan hasil tes, terutama tes kecerdasan. Dalam hal ini konselor perlu melihat pula latar belakang testee, dan perlu melengkapi dengan data yang lain.
selesai. Dengan demikian, jika konselor tidak peka terhadap perbedaan latar budaya masingmasing, maka bahasa bisa menimbulkan salah paham bahkan pertentangan. Kata-kata yang diucapkan klien bisa mengungkapkan kekhawatiran, ketakutan, konflik batin, kegelisahan, kebingungan, kesedihan, ketakutan dan muatan-muatan psikologis lainnya. Namun, bahasa verbal kadang bertentangan dengan bahasa non verbal, misalnya klien sama sekali tidak mengatakan bahwa dia takut tetapi ia tampak gemetar, pucat muka dan seringkali menengok ke jendela. Konselor yang peka dan memahami latar budaya klien akan menangkap bahasa non verbal tersebut sebagai pertanda ketakutan. Bahasa non verbal biasanya lebih sulit disembunyikan, namun maknanya sangat lokal dan berkaitan dengan budaya setempat. Untuk itu konselor sangat perlu mempelajari dan mengenali lain budaya atau ragam budaya tempat ia bertugas. Dalam hal ini tugas konselor adalah mengenali, mendeskripsi, memprediksi dan memberikan perlakuan terhadap tingkah laku klien dan menyesuaikan dengan budaya klien. Persoalan terjadi jika ada perbedaan yang tajam antara konselor dan klien. Akibatnya, seringkali klien mengalami hambatan emosional seperti takut salah, cemas, dan ragu-ragu dalam berkomunikasi dengan konselor sehingga klien tidak lancar berkomunikasi. Misalnya, ketika konselor menanyakan sesuatu, sebenarnya klien mengetahui jawabannya, namun ia menjawab dengan lirih karena takut sehingga jawaban itu sulit ditangkap maknanya oleh konselor. Ketika konselor meminta penegasan, muka klien berubah menjadi pias, dan ia mengatakan tidak tahu. Tingkah laku sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya, fisik dan psikologis. Lingkungan sosial budaya mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat sekitar, teman, sampai masyarakat luas. Klien yang memiliki masalah belajar umumnya berasal dari lingkungan keluarga yang berlatar sosial ekonomi rendah dan tidak mementingkan pendidikan. Orang tua bersosial ekonomi rendah umumnya sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Mereka umumnya juga berlatar belakang pendidikan yang rendah sehingga tingkat aspirasi pendidikan bagi anak-anaknya juga cenderung rendah. Lebih-lebih, mereka mengamati kenyataan bahwa banyak lulusan sekolah yang telah menghabiskan biaya masih menganggur di masyarakat. Logika sederhana mereka menganggap bahwa sekolah tidak terlalu berguna dan menghabiskan biaya besar. Akibatnya, mereka lebih mendorong anaknya untuk membantu bekerja mencari uang daripada untuk membaca buku pelajaran. Lingkungan fisik misalnya ruang konseling. Ruang yang bersih, rapi, cukup cahaya, dan sehat akan mendorong klien bertingkah laku yang spontan dan wajar. Sebaliknya ruang konseling yang bau busuk dan pengap akan menimbulkan tingkah laku seperti sebentarsebentar menutup hidung. Lingkungan fisik yang baik dapat mendukung kelancaran, sebaliknya lingkungan fisik yang buruk dapat menghambat proses konseling. Lingkungan psikologis, misalnya non-threathening atmosphere yang ditandai dengan adanya rasa aman, hangat, bebas, dan saling percaya. Lingkungan itu akan mendorong klien berkomunikasi secara lancar tanpa merasa terancam. Sebaliknya, lingkungan yang threathening akan menekan keinginan klien untuk berbicara. Lingkungan psikologis diciptakan oleh konselor sendiri, misalnya dengan menerima klien apa adanya walau klien datang ke ruang konseling sambil merokok. Konselor tidak menegur, tidak melarang, tidak menunjukkan wajah cemberut, tetapi tetap netral. Dengan kata lain, ucapan dan tingkah laku
konselor yang tidak bersifat evaluatif dan tidak mengancam klien akan menciptakan lingkungan psikologis yang non-threathening.
Rangkuman
Tingkah laku seseorang mengandung nilai budaya yang mengacu pada nilai-nilai baik menurut ukuran lingkungan budayanya. Layanan testing mengandung aspek budaya terutama dalam proses penyusunan dan standardisasi sehingga mengandung bias budaya ketika diberlakukan pada testee dari latar budaya yang berbeda. Bias budaya itu perlu diperhatikan oleh konselor pada saat menafsirkan hasil tes. Bahasa verbal dan non verbal memiliki makna yang sangat khas sesuai dengan budaya setempat dari klien. Konselor perlu peka dan hati-hati terhadap makna kata dan isarat nonverbal yang ditunjukkan oleh klien. Informasi yang menyangkut pengambilan keputusan dan menyentuh harga diri klien juga perlu disampaikan secara hati-hati oleh konselor dengan memperhatikan aspek budaya klien.
Sumber :
http://adiatmoko.wordpress.com/2009/05/04/aspek-budaya-dalam-layanan-bimbingan-dankonseling/