You are on page 1of 46

PENGELOLAAN SUMBER ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB II PENGELOLAAN SUMBER ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

A. PENDAHULUAN Pelestarian sumber-sumber alam dan peningkatan serta pembinaan kualitas lingkungan hidup akan tetap merupakan masalah yang harus dihadapi dalam pembangunan bangsa dan negara. Untuk menghadapi masalah-masalah tersebut, dalam Repelita III telah dipersiapkan dan dilaksanakan berbagai program pembinaan dan pengelolaan sumber-sumber alam dan lingkungan hidup, seperti rehabilitasi lahan kritis, pelestarian lingkungan, pengembangan meteorologi dan geofisika, dan pencegahan pencemaran lingkungan hidup. Tujuan utama dari program-program pembangunan tersebut di atas adalah melestarikan dan meningkatkan produktivitas sumber alam, seperti tanah, hutan, air dan lautan serta udara, dan meningkatkan mutu lingkungan hidup. Dalam rangka programprogram tersebut maka telah dilaksanakan kegiatan-kegiatan penyelamatan hutan, tanah dan air, reklamasi tanah kritis, penanggulangan pencemaran lingkungan hidup, penanggulangan dan pencegahan kerusakan wilayah pesisir, pencegahan perusakan hutan dan ekosistem, pengembangan meteorologi dan geofisika, peningkatan kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan hidup, dan pelestarian alam serta perlindungan margasatwa. Dalam Repelita III prioritas utama di bidang pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup diberikan kepada tiga program yang meliputi : (1) Program Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air; (2) Program Pembinaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup; dan (3) Program Pengembangan Meteorologi dan Geofisika. Perkembangan pelaksanaan program-program tersebut selama Repelita III dapat diikuti dari uraian-uraian dibawah ini. B. KEBIJAKSANAAN DAN LANGKAH-LANGKAH 1. Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka program

107

penyelamatan hutan, tanah dan air terutama dimaksudkan untuk, pertama, menjaga agar daerah produksi pertanian, daerah pemukiman penduduk yang padat jalur-jalur pengangkutan dan hasilhasil investasi di bidang konstruksi infrastruktur dapat terhindar dari bencana banjir, dan kedua, menjaga agar sungai yang menjadi sumber air untuk irigasi dan air minum dapat terjamin kelestariannya, dan agar kemerosotan produktivitas lahan kering dapat dicegah. Program ini meliputi kegiatan-kegiatan penghijauan, reboisasi, pengendalian dan pengamanan sungai, serta pengembangan wilayah dan penanggulangan bencana alam yang dikembangkan dalam rangka pengelolaan DAS secara terpadu. Penghijauan mencakup kegiatan penanaman tanaman tahunan, pembuatan teras, pembangunan bendung penangkal erosi atau dam pengendali dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk mencegah kemerosotan produktivitas tanah dan air di areal lahan yang bukan kawasan hutan negara. Sedangkan reboisasi juga merupakan kegiatan penanaman tanaman tahunan yang tujuannya sama tetapi dilaksanakan di areal kawasan hutan negara. Kedua kegiatan tersebut merupakan usaha rehabilitasi atas lahan kritis yang terdapat di lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang penting. Ditinjau dari sudut luas areal yang tercakup, baik dalam rencana maupun dalam pelaksanaannya, kegiatan penghijauan dan reboisasi sejak tahun 1980/81 semakin berkurang. Sebaliknya, ditinjau dari jenis kegiatannya, baik rencana maupun pelaksanaannya, penghijauan dan reboisasi selama tahun 1980/81 sampai dengan 1983/84 meningkat terus. Selama tahun-tahun tersebut peningkatan penghijauan terwujudkan dalam bentuk pembuatan hutan rakyat, pembangunan dam pengendali, pembangunan petak percontohan usaha tani pelestarian sumber alam, dan pembangunan saluran pembuangan air. Di samping itu, selama tahun-tahun tersebut, khususnya di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat, juga dibangun jalur penyekat di daerah-daerah yang berpenduduk jarang, berlahan alang-alang luas dan sering mengalami kebakaran. Di samping kegiatan teknis tersebut telah ditingkatkan pula usaha untuk memperbesar peran serta masyarakat secara swadaya dalam kegiatan penghijauan di daerah-daerah kritis. Kegiatan lain yang telah dilaksanakan yang termasuk dalam program penyelamatan hutan, tanah dan air, ialah penga-

108

turan, perbaikan dan pengamanan sungai, yang seluruhnya dimaksudkan untuk mendukung usaha pengendalian banjir, pengembangan wilayah dan pengamanan terhadap bencana alam serta penanggulangannya. Pengaturan sungai terutama meliputi kegiatan pengerukan untuk meniadakan hambatan yang terdapat di sungai, pelurusan aliran, sudetan, perlindungan dan perkuatan tebing serta pembangunan tanggul, pembangunan bendungan serta saluran-saluran dan pintu-pintu banjirnya, untuk mencegah banjir. Secara bertahap dalam rangka pelaksanaan program ini dalam Repelita III telah digarap 35 DAS penting di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Bali. 2. Pembinaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup Dalam rangka Program Pembinaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup telah dilaksanakan kegiatan-kegiatan pemetaan dasar, inventarisasi dan evaluasi sumber-sumber alam dan lingkungan hidup, penanggulangan pencemaran lingkungan, serta pengkajian dan penanganan masalah lingkungan hidup. Dalam usaha pengelolaan sumber alam diperlukan adanya peta dasar yang mutakhir. Peta dasar diperlukan sebagai pegangan dalam pelaksanaan inventarisasi, penelitian mengenai sumber alam dan perencanaan pemanfaatannya. Di samping itu peta dasar juga diperlukan dalam pembuatan peta tematik dan sebagai kerangka referensi dalam penyusunan peta sumber daya regional dan nasional. Kegiatan inventarisasi dan evaluasi sumber alam, dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai jumlah, mutu, nilai, dan lokasi sumber alam. Dengan informasi itu dapat disusun pola pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam yang dapat dipertanggung jawabkan. Di samping kegiatan inventarisasi dan evaluasi sumber alam secara langsung telah dilaksanakan pula kegiatan yang menunjang studi mengenai masalah gempa, kegiatan yang menunjang usaha penatagunaan tanah serta identifikasi dan inventarisasi penutupan vegetasi. Ditinjau dari sudut kemungkinan pelestarian dan pemanfaatannya, sumber alam yang ada dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sumber alam yang dapat pulih (renewable natural resources) dan sumber alam yang tak dapat pulih (unrenewable

109

natural resources). Sumber alam yang dapat pulih dikonservasikan dengan usaha pelestarian, yaitu usaha untuk menjaga agar kemampuan pemulihan sumber alam yang bersangkutan makin bertambah, atau setidak-tidaknya tidak berkurang. Pelestarian suatu jenis sumber alam dilaksanakan dengan jalan memanfaatkan sumber alam yang bersangkutan dengan cara-cara pemanfaatan yang tidak mengganggu pola daur ulang kehidupannya. Sumber alam yang tak dapat pulih hanya dapat dikonservasikan dengan, pertama, menempuh cara-cara penggunaan yang sehemat mungkin dalam penggunaannya dan, kedua, dengan mengarahkan pemanfaatannya untuk pengembangan sumber-sumber alam lain yang dapat memenuhi kebutuhan di masa datang. Inventarisasi dan evaluasi sumber alam yang tak dapat pulih, di samping dimaksudkan untuk mengetahui potensinya yang ada, dimaksudkan pula untuk mengetahui kemungkinan pilihanpilihan penggunaannya. Dengan adanya informasi mengenai potensinya dapat ditentukan pilihan penggunaan yang optimal sehingga sumber alam yang ada dapat memberikan manfaat yang setinggi-tingginya selama mungkin. Oleh karena itu inventarisasi dan evaluasi sumber alam tak dapat pulih patut dilaksanakan secara secermat-cermatnya agar dapat menjadi landasan bagi kebijaksanaan dan penggunaan yang sungguh-sungguh bijaksana. Dalam rangka pelestarian sumber daya hutan telah dilaksanakan kegiatan-kegiatan inventarisasi, pengukuhan, penatagunaan, penataan, pengukuran dan pemetaan hutan. Dengan pelaksanaan kegiatan-kegiatan itu maka sebagian dari hutan yang ada telah memperoleh status hukum sebagai kawasan hutan. Dan sebagian dari kawasan hutan yang ada telah memperoleh status hukum sebagai hutan lindung, hutan produksi, hutan yang dikelola untuk fungsi konservasi sumber alam dan hutan produksi yang kelak dapat dialih-gunakan. Pengelolaan hutan yang sesuai dengan azas kelestarian, atau lebih tepat azas kelestarian yang dinamis, menjamin eksistensinya, bahkan menjamin perkembangan dan peningkatan kemampuan pelayanannya bagi masyarakat. Dalam Repelita III pola pengelolaan yang sesuai dengan azas kelestarian yang dinamis tersebut telah dituangkan dalam bentuk peraturan tentang Tebang Pilih Indonesia (TPI) untuk pengusahaan hutan hujan tropika di luar Jawa. Peraturan tersebut mencakup ketentuan-ketentuan mengenai inventarisasi kualita dan kuantita kawasan dan tegakan hutan, penebangan dan penanaman kembali areal bekas tebangan. Selain itu dalam rangka pengusahaan hutan telah dirumuskan pula perangkat peraturan yang mencakup.

110

ketentuan mengenai peruntukan dan pemasaran produksi. Perangkat peraturan tersebut secara berkala senantiasa dikaji ulang dan terus disempurnakan. Dari inventarisasi hutan dapat diperoleh data dan informasi yang lengkap yang antara lain dapat menjadi landasan dalam penyusunan acuan mengenai komposisi hasil tebangan yang dapat disediakan, baik untuk memenuhi kebutuhan industri maupun untuk diekspor. Dalam tahun 1982/83 telah dikeluarkan peraturan yang secara bertahap mengalihkan ekspor bahan mentah menjadi ekspor bahan jadi atau setengah jadi. Dengan ada nya peraturan-peraturan serupa itu dalam tahun kedua Repelita IV nanti diharapkan tidak akan ada lagi ekspor hasil hutan dalam bentuk kayu bulat. Beberapa kawasan hutan, berdasarkan kondisi ekologis, geomorfologis dan keunikan gejala alam yang dimilikinya, telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sumber daya alam. Kawasan konservasi itu meliputi hutan lindung, cagar alam, sua ka margasatwa, taman wisata dan taman buru. Penunjukan kawasan konservasi telah dilaksanakan berdasarkan pertimbangan pendekatan konservasi ekosistem yang menyeluruh. Mengingat peranan konservasi sumber daya alam yang sangat penting untuk menjamin berhasilnya pembangunan sumber daya yang berkesinambungan, dan sesuai dengan strategi konservasi sedunia, maka dalam Repelita III pengelolaan kawasan konservasi sumber daya alam lebih dimantapkan dengan pengembangan sistem taman nasional. Tersedianya air dan keadaan kualitanya merupakan dua faktor yang di samping menentukan terhadap tingkat keberhasilan pengelolaan sumber alam dan kelestariannya, juga mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap kelangsungan kehidupan manusia. Oleh sebab itu maka pengelolaan sumber alam air selalu memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh. Sumber air bagi kehidupan manusia terutama terdiri atas air permukaan. Dengan demikian penanganannya mendapat prioritas utama. Pengelolaan air permukaan dilaksanakan dalam satuan daerah aliran sungai atau DAS, yang merupakan satuan fisik yang sangat ideal untuk pengelolaan sumber alam yang mempunyai faktor pembatas air. Keadaan suatu DAS sangat dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi, tata guna tanah, iklim, penu tupan vegetasi, dan teknik pengolahan lahan serta oleh keada an sosial budaya masyarakat dan pembagian wilayah administrasi pemerintahan.

111

Sumber alam air lainnya yang menjadi tumpuan kehidupan manusia ialah perairan pantai dan laut. Untuk mengetahui potensi yang dimilikinya maka selama. periode Repelita III dilaksanakan survai hidrografi, studi oseanografi, studi oseanologi dan penelitian-penelitian lainnya. Penelitian-penelitian tersebut ditujukan untuk mendapatkan Cara dan pola pengelolaan Sumber daya alam hayati dan non hayati yang terdapat di perairan pantai dan laut, termasuk di dalamnya kawasan hutan payau yang sangat besar artinya bagi biota perairan pantai. Sebagai akibat makin meningkatnya kegiatan yang menggunakan perairan darat, pantai dan laut, maka sejak beberapa waktu yang lalu telah timbul masalah pencemaran perairan sungai dan laut. Penyebab utama pencemaran tersebut adalah bahan buangan industri, bahan buangan dan limbah pertanian, limbah rumah tangga, serta minyak dan bahan bakar mesin lain yang digunakan dalam kegiatan pengangkutan. Di sungai-sungai pencemaran tersebut ditambah lagi dengan adanya erosi dan sedimentasi di sepanjang alur sungai. Air minum penduduk kota sebagian besar bersumber di sungai-sungai. Dengan demikian pencemaran yang terjadi di sungai, di samping berakibat luas terhadap biota perairan sungai dan perairan darat lainnya, juga berakibat luas terhadap kehidupan masyarakat yang memanfaatkan air sungai tersebut untuk keperluan rumah tangga sehari-hari. Secara tidak langsung akibat buruk tersebut dapat terjadi karena kegiatan-kegiatan yang memanfaatkan air sungai tersebut sebagai salah satu bahan masukannya; misalnya, kegiatan industri rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan air sungai sebagai bahan baku atau sebagai bahan pembantu dalam proses produksi. Untuk menangani masalah-masalah tersebut di atas secara mendasar dan menyeluruh dalam Repelita III telah disusun perangkat peraturan tentang pengelolaan berbagai segi lingkungan hidup, khususnya yang mengatur langkah dan tindakan yang diperlukan dalam rangka penanganan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup. Dalam hubungan itu antara lain telah dikembangkan kriteria dan konsep peraturan tentang baku mutu lingkungan hidup, khususnya mengenai kriteria kualita air yang diperlukan untuk berbagai kebutuhan dan baku mutu bahan buangan serta pedoman-pedoman pengelolaan limbah. Dalam rangka mencegah kemungkinan adanya kegiatan pembangunan yang merusak lingkungan, maka dampak sesuatu kegiatan pembangunan terhadap lingkungan hidup perlu diperhitungkan

112

sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan pemilihan sesuatu proyek pembangunan, baik sektoral maupun regional, dan dalam pemilihan teknologi yang akan dipergunakan dalam setiap kegiatan pembangunan. Dalam hubungan itu, maka prosedur Analisis Dampak Lingkungan telah diterapkan untuk berbagai kegiatan pembangunan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup. Dalam rangka memudahkan penanganan masalah lingkungan hidup di seluruh wilayah Indonesia maka dalam periode Repelita III telah dikembangkan suatu jaringan penanganan masalah lingkungan hidup, misalnya jaringan Pusat Studi Lingkungan di perguruan-perguruan tinggi, Biro Bina Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Bappeda dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam bidang lingkungan hidup. Dengan adanya jaringan itu diharapkan penanganan masalah lingkungan dapat dilaksanakan secara konsepsional dan apabila ada masalah-masalah yang timbul dapat diatasi dengan cepat dan tepat. Koordinasi dari berbagai kelembagaan tersebut dikembangkan di setiap wilayah propinsi untuk menyerasikan langkah-langkah pengelolaan lingkungan di wilayah yang bersangkutan. 3. Meteorologi dan Geofisika Kebijaksanaan yang ditempuh selama Repelita III dalam bidang ini ialah pengembangan kemampuan nasional untuk menyediakan informasi data meteorologi dan geofisika sesuai dengan kebutuhan para pemakai jasa yang memerlukannya. Dengan pengembangan itu maka penyediaan dan penyajian jasa tersebut dapat diperoleh secara mudah, cepat, terpercaya, tepat dan mudah dimengerti. Dalam rangka penyediaan dan penyajian jasa, kegiatan utama dalam bidang Meteorologi dan Geofisika adalah mengamati, mengumpulkan dan mengelola gejala-gejala Meteorologi dan Geofisika secara terus menerus dan sistimatis. Di samping itu dilakukan pula analisa dan ramalan data yang diperoleh, dan disajikan informasi tentang sifat-sifat cuaca, iklim dan geofisika, serta segala yang terjadi di atmosfer, kepada para pemakai jasa di berbagai bidang pembangunan. Selama Repelita III, seperti selama Repelita sebelunmya, pelayanan jasa Badan Meteorologi dan Geofisika kepada sektor-sektor pembangunan lainnya ditingkatkan baik dalam arti kualitasnya maupun kuantitasnya. Yang dimaksud dengan kualitasnya adalah ketepatan dari data dan informasi/ramalan cuaca; sedangkan aspek kuantitasnya menyangkut kapasitas/kemam-

113

puan dalam memenuhi permintaan jasa yang semakin meningkat dalam berbagai bidang pembangunan. Dalam melaksanakan kebijaksanaan tersebut di atas, maka langkah-langkah dalam pembangunan meliputi : (1) memperbanyak jaringan stasiun agar makin sesuai dengan kebutuhan; (2) meningkatkan kemampuan peralatan sesuai dengan perkembangan teknologi; (3) mendapatkan metode ramalan yang lebih akurat; (4) meningkatkan sistem penyampaian informasi meteorologi dan geofisika kepada masyarakat pemakai jasa dengan cara yang lebih cepat dan luas; dan (5) meningkatkan keterampilan pegawai melalui latihan dan pendidikan di dalam maupun di luar negeri. Dengan ditempuhnya langkah-langkah tersebut di atas kemampuan nasional untuk menyediakan informasi dalam bidang Meteorologi dan Geofisika selama Repelita III telah sangat berkembang.

C.

HASIL-HASIL KEBIJAKSANAAN YANG TELAH DICAPAI 1. Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air

Dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan program penyelamatan hutan, tanah dan air, dalam Repelita III, khususnya dalam usaha penghijauan dan reboisasi, banyak ditemui masalah. Masalah-masalah yang timbul ternyata sering menjadi hambatan yang untuk mengatasinya diperlukan waktu yang lebih lama. Pada Tabel II - 1 nampak jelas bahwa realisasi fisik penghijauan dan reboisasi sejak tahun 1979/80 sampai dengan tahun 1982/83 selalu mengalami penurunan. Bahkan di beberapa propinsi realisasi fisiknya sangat kecil. Perlu dikemukakan bahwa adanya penurunan dalam realisasi fisik tersebut ternyata disertai dengan adanya sedikit peningkatan dalam keberhasilannya. Karena adanya tingkat keberhasilan yang belum memadai dari kegiatan penghijauan tahun 1978/79 dan 1979/80, maka dalam kegiatan penghijauan tahun 1980/81 diambil langkah-langkah perbaikan dengan menambah pola kegiatan baru, seperti peningkatan pembuatan dam pengendali, pembuatan hutan rakyat dan pembuatan petak percontohan pertanian terpadu di lahan kering dengan menerapkan praktek pencegahan erosi. Selain dilaksanakannya kegiatan-kegiatan baru yang disebutkan di atas sejak tahun 1980/81 penanaman dengan mengguna-

114

TABEL II - 1 HASIL PELAKSANAAN PENGHIJAUAN MENURUT DAERAH TINGKAT I , 1978/79 - 1983/84 (luas areal dalam ha)

Keterangan: 1) angka diperbaiki 2) Angka sementara

115

kan bibit jenis tanaman yang lebih disukai masyarakat dan lebih sesuai dengan keadaan ekologis setempat juga diperbesar jumlahnya. Di samping itu dilakukan pula perbaikan dalam pembuatan persemaian untuk tahun tanam berikutnya. Dalam tahun 1981/82 pembuatan hutan rakyat, petak percontohan (demplot), dam pengendali dan saluran pembuangan air, masing-masing ditingkatkan dalam ukuran yang jauh lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Selain itu petak-petak lahan yang jalur penyekat apinya telah berfungsi dalam tahun itu ditanami dengan jenis-jenis tanaman komersial. Kegiatan ini khususnya dilakukan di Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan. a. Penghijauan Dalam tahun 1978/79 usaha penghijauan dilaksanakan di 19 propinsi yang meliputi 1.001 kecamatan, 143 Kabupaten dan 33 Daerah Aliran Sungai (DAS). Realisasi penghijauan dalam tahun 1979/80 mencapai 84,0% dari rencananya, dilaksanakan di 20 propinsi, meliputi 1.099 Kecamatan, 145 kabupaten dan 34 DAS, dan mencakup areal seluas 572.686 ha. Pada tahun itu pembuatan dam pengendali ditingkatkan menjadi 37 buah. Realisasi penghijauan dalam tahun 1980/81 mencapai 82,2% dari rencananya, pelaksanaannya tersebar di 21 propinsi dan meliputi 1.178 kecamatan, 158 kabupaten dan 35 DAS, mencakup areal seluas 558.077 Ha. Kegiatan dalam tahun itu lebih dititik beratkan pada pembuatan dam pengendali, petak percontohan, hutan rakyat dan pembuatan Saluran Pembuangan Air (SPA). Pembuatan dam pengendali ditingkatkan menjadi 238 buah (Tabel II - 2). Kegiatan baru yang mulai dilaksanakan pada tahun 1980/81 adalah pembuatan petak percontohan. Dalam tahun itu pembuatannya sebanyak 198 unit, masing-masing luasnya 10 - 20 ha (Tabel II - 3). Keberhasilan dari kedua jenis kegiatan itu cukup menggembirakan, sehingga pada tahun berikutnya jumlahnya ditingkatkan. Realisasi penghijauan dalam tahun 1981/82 mencapai 75% dari rencananya, dilaksanakan di 21 propinsi dan tersebar di 161 kabupaten, 1.220 kecamatan serta meliputi 35 DAS dengan areal seluas 501.768 ha. Dalam tahun itu telah dibangun dam pengendali sebanyak 422 buah, petak percontohan sebanyak 501 unit dan hutan rakyat seluas 69.700 ha. Dalam tahun 1982/83 realisasi usaha penghijauan mencapai

116

TABEL I I - 2 PEMBUATAN CHECK DAM MENURUT DAERAH TINGKAT I , 1978/79 - 1983/84 (buah)

Keterangan: 1) Angka sementara

117

TABEL II - 3 PEMBUATAN PETAK PERC0NT0HAN/DEMPLOT, PENGAWETAN TANAH DAN USAHA PERTANIAN MENETAP MENURUT DAERAH TINGKAT I 1980/81 - 1983/84 (unit)

Keterangan: *) Angka sementara

118

58,7% dari rencananya, dilaksanakan di 21 propinsi, meliputi 35 DAS, 164 kabupaten dan 1.350 kecamatan, serta mencakup areal seluas 378.579 Ha. Pembangunan dam pengendali dan petak percontohan dalam tahun itu ditingkatkan masing-masing menjadi 722 buah dan 790 unit. Dalam tahun 1983/84 kegiatan penghijauan dilaksanakan di 21 propinsi, 166 kabupaten, 1.456 kecamatan dan meliputi 35 DAS, dengan sasaran fisik seluas 610.054 Ha. Dalam kegiatan penghijauan pada tahun 1983/84 dipekerjakan petugas lapangan (PLP) yang seluruhnya berjumlah 5.621 orang, dan Petugas Khusus Penghijauan (PKP) sebanyak 166 orang (Tabel II - 4). Hasil penghijauan selama 14 tahun yang lalu, yaitu selama Repelita I dan II dan empat tahun pertama Repelita III mencapai sekitar 2.000.208 ha (Tabel II - 5). b. Reboisasi Dalam tahun 1978/79 kegiatan reboisasi dilakukan di 18 propinsi dan meliputi 89 kesatuan pemangkuan hutan (KPH) dan 26 DAS. Realisasi pelaksanaannya mencapai 237.317 ha, atau sekitar 82,4 % dari rencana. Dalam tahun 1979/80 reboisasi dilakukan di 19 propinsi yang meliputi 90 KPH dan 27 DAS; dan realisasinya mencapai 212.990 ha atau 70,7 % dari seluruh rencana dalam tahun yang bersangkutan. Dalam tahun 1980/81 reboisasi juga dilakukan di 19 propinsi dan meliputi 90 KPH dan 27 DAS; sedangkan realisasinya mencapai 180.173 ha, atau sekitar 75,4 % dari rencana dalam tahun tersebut. Pada tahun 1981/82 reboisasi dilaksanakan di daerah yang sama dengan tahun sebelumnya, dengan realisasi yang meliputi kawasan hutan seluas 154.331 ha, atau 63,6 % dari seluruh rencana tahun tersebut. Sedangkan pada tahun 1982/83 juga dilaksanakan di wilayah yang sama dengan realisasi yang meliputi kawasan hutan seluas 119.594 ha atau 54,8 % dari seluruh luas kawasan yang direncanakan (Tabel II - 6). Dalam tahun 1983/84 kegiatan reboisasi dilaksanakan di 19 propinsi, meliputi 86 KPH dan 27 DAS dengan rencana luas tanam 186.276 ha. Sampai dengan tahun 1982/83 reboisasi yang

119

TABEL II - 4 JUMLAH PETUGAS LAPANGAN PENGHIJAUAN (PLP) DAN PETUGAS LAPANGAN REBOISASI (PLR) MENURUT DAERAH TINGKAT I. 1978/79 - 1983/84 (orang)

Keterangan: 1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara

120

TABEL II - 5 PERKEMBANGAN KEADAAN HASIL PENGHIJAUAN, 1978/79 - 1983/84 (ha)

Keterangan: 3) Angka diperbaiki 4) Angka sementara

12 1

GRAFIK II - 1 PERKEMBANGAN KEADAAN HASIL PENGHIJAUAN, 1978/79 - 1983/84

122

TABEL II - 6 HASIL PELAKSANAAN USAHA REB0ISASI MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1978/79 - 1983/84 (luas areal dalam ha)

Keterangan 1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara

123

dilaksanakan sejak Repelita I telah mencapai areal seluas 1.014.898 ha (Tabel II - 7). Dari hasil itu 434.920 ha di antaranya merupakan hasil kegiatan 4 tahun pertama Repelita III. Kegiatan reboisasi dan rehabilitasi di areal pengusahaan hutan yang dilaksanakan dalam Repelita III belum seimbang dengan kecepatan kerusakan sumber daya hutan yang diakibatkan oleh kegiatan eksploitasi dan perladangan berpindah. Beberapa masalah menyebabkan rehabilitasi areal bekas tebangan serta reboisasi areal tidak produktif di areal Hak Pengusahaan Hutan mengalami kelambatan. Masalah-masalah itu meliputi terutama kesulitan dalam pengadaan benih dan bibit, kurangnya penguasaan teknik rehoisasi dan kurangnya tenaga terampil di kalangan pemegang hak pengusahaan hutan. Hal tersebut mengakibatkan tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban para pemegang HPH dalam bidang reboisasi dan rehabilitasi hutan areal HPH. Usaha-usaha menangani masalah-masalah tersebut terus dilaksanakan sejalan dengan usaha penanganan masalah HPH secara menyeluruh. Sebagai salah satu upaya perbaikan dalam menangani masalah itu telah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 35 tahun 1980 tentang simpanan wajib reboisasi/rehabilitasi areal HPH, yang menentukan pemungutan dana sebesar US $ 4 untuk setiap m3 kayu yang di produksi sebagai dana cadangan pelaksanaan reboisasi di areal HPH yang bersangkutan. Usaha reboisasi yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam tahun 1978/79, misalnya, hanya mencapai 1.480 ha dan dalam tahun 1979/80 hanya 800 ha. Yang mereka lakukan sampai dengan tahun 1983/84 seluruhnya hanya mencapai 25.000 ha, atau kurang dari 1 % dari luas tebangannya. Sebagaimana telah dikemukakan di atas hasil penghijauan dan reboisasi, apabila diukur atas dasar luas areal yang berhasil ditangani, sejak tahun 1979/80 sampai dengan tahun 1983/84 terus menurun. Secara garis besarnya hambatan dan masalah pokok yang dihadapi dalam Repelita III dalam pelaksanaan penghijauan dan reboisasi dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) (2) Tenaga perencana yang ada belum memadai, baik jumlah maupun kualifikasinya; Program yang ada belum sepenuhnya serasi baik dengan keinginan petani dan masyarakat pada umumnya, dengan kondisi dan situasi wilayah setempat pada khususnya, maupun dengan kemampuan pelaksanaan yang ada;

124

TABEL I I - 7 PERKEMBANGAN KEADAAN HASIL REBOISASI, 1978/79 - 1982/83 (ha)

Keterangan: 1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara

125

GRAFIK II . 2 PERKEMBANGAN KEADAAN HASIL REBOISASI, 1978/79 - 19$2/83.

126

(3)

DAS dan sub-DAS sebagai satuan wilayah penanganan rehabilitasi lahannya belum dipolakan secara terpadu berdasarkan pola tataguna lahan dan kemampuan lahannya; Organisasi penyelenggaraan dan personalia belum memadai, antara lain karena : (a) Belum adanya keserasian antara organisasi-organisasi penyelenggara penghijauan masing-masing, baik yang ada di pusat maupun yang ada di kabupaten dan desa; (b) Kurangnya keserasian antara kegiatan-kegiatan pengadaan bibit penanaman dan pemeliharaan tanaman; (c) Rendahnya dayaguna cara kerja proyek, sehingga pelaksanaan kegiatan operasionalnya lamban; (d) Belum memadainya peranan desa dalam kegiatan penghijauan pada umumnya; penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penghijauan masih terpusat di pemerintah daerah tingkat II/proyek yang bersangkutan; (e) Petugas Khusus Penghijauan (PKP) di daerah tingkat II belum berfungsi sebagaimana mestinya; (f) Jumlah dan mutu Petugas Lapangan Reboisasi (PLR) dan mandor tanaman belum memadai;

(4)

(5)

Belum terpenuhinya kebutuhan akan bibit, baik jumlah maupun kualitanya, dan kurang terpenuhinya kebutuhan akan ketepatan waktu pengadaannya; Pelaksanaan kegiatan kurang memperhatikan rancangan yang telah ditetapkan; rencana dan

(6) (7)

Pembuatan percontohan usaha pertanian menetap dalam rangka pengendalian perladangan berpindah belum mencapai sasaran yang diharapkan; Penggunaan biaya penghijauan dan reboisasi masih kurang efektif dan efisien, sehingga jumlah bantuan yang tersedia di beberapa daerah dirasakan terlalu kecil; Proses administrasi proyek masih lamban;

(8)

(9)

(10) Pengendalian oleh tim pembinaan program bantuan ting-

127

kat propinsi pada umumnya belum berjalan sebagaimana mestinya, demikian pula pengendalian terhadap pelaksanaan intern proyek; (11) Partisipasi aktif masyarakat pada umumnya dan petani peserta penghijauan pada khususnya masih kurang memadai; dan (12) Pengikutsertaan lembaga-lembaga swadaya masyarakat di daerah pedesaan, seperti LKMD, dalam kegiatan penghijauan belum memadai. c. Pengaturan dan pengamanan sungai Sebagai yang telah dikemukakan di atas kegiatan ini terutama meliputi usaha peniadaan hambatan aliran sungai, pelurusan aliran, sudetan, perlindungan dan perkuatan tebing, pembuatan tanggul, pembuatan saluran banjir dan pembuatan pintu-pintu banjir. Di samping kegiatan pengaturan dan pengamanan sungai yang dilakukan di berbagai propinsi, dalam Repelita III dilaksanakan pula proyek-proyek yang dikelola secara khusus, seperti proyek Citanduy-Cisanggarung, Cimanuk, Bengawan Solo, Pemali-Comal , Arakundo, Wampu, Ular, Bah Bolon, pengendalian banjir Jakarta, proyek serba guna kali Brantas dan proyek penanggulangan akibat bencana alam gunung berapi. Realisasi kegiatan tersebut dalam Repelita III meliputi luas areal sekitar 587.100 ha dalam bentuk pengamanan banjir 5 tahunan. Sebagai hasil dari beberapa Jenis kegiatan tersebut di atas luas daerah yang dapat diamankan meliputi areal sekitar 65.663 ha dalam tahun 1978/79, 157.057 ha dalam tahun 1979/80 , 137.079 ha dalam tahun 1980/81 , 141.037 ha dalam tahun 1981/82 dan 121.005 ha dalam tahun 1982/83, serta 47.995 ha direncanakan dalam tahun 1983/84. Perincian luas areal tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel II - 8 dan Tabel II - 9. 2. Pembinaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup Program ini terutama mencakup kegiatan-kegiatan Pemetaan Dasar, Inventarisasi dan Evaluasi Sumber-sumber Alam, Pelestarian Sumber Alam dan Lingkungan Hidup, Pengembangan Sumber

128

TABEL II - 8 PERKEMBANGAN USAHA PENGENDALIAN SUNGAI, PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENANGGULANGAN BENCANA ALAN MENURUT DAERAH TINGKAT I , 1978/79 - 1983/84 (luas areal yang diamankan dalam ha)

1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara

129

TABEL II - 9 PERKEMBANGAN USAHA PENGENDALIAN SUNGAI, PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENANGGULANGAN BENCANA ALAM MENURUT JENIS KEGIATAN 1978/79 - 1983/84 (Juan areal yang diamankan dalam ha)

1) 2)

Angka diperbaiki Angka sementara

130

Daya Air dan Penanggulangan Pencemaran Air serta Pengkajian dan Penanganan Masalah Lingkungan Hidup. a. Pemetaan Dasar Dalam Repelita III kegiatan ini merupakan kegiatan lan jutan dari Repelita II. Selama periode Repelita III juga di laksanakan survai geodesi untuk menentukan titik-titik kontrol geodesi untuk wilayah-wilayah Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Dalam tahun 1 9 8 3 / 8 4 telah mulai dilakukan pula kegiatan serupa untuk wilayah Irian Jaya. Di samping itu dalam bidang pemetaan untuk wilayah-wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya dalam periode yang sama telah dibuat peta topografi skala 1 : 50.000. Untuk menunjang kegiatan itu selanjutnya telah dilakukan pengukuran sifat datar teliti serta pemotretan udara skala 1 : 100.000 dengan potret panchromatic superwide angle, dan skala 1 : 50.000 atau l : 60.000 dengan potret infra merah berwarna semu bersudut lebar. Untuk memungkinkan tercapainya hasilguna yang tinggi dalam pemetaan dalam Repelita III telah diterapkan metode survai bertahap (multi stage survey) dengan mempergunakan potret panchromatic dan potret infra merah berwarna semu. Pemo tretan untuk survai bertahap tersebut dilaksanakan secara sekaligus dengan mempergunakan kamera ganda. Dengan penerapan teknologi tersebut maka sebagian besar gangguan iklim dan cuaca terhadap kegiatan pemotretan dapat ditanggulangi karena potret infra merah berwarna semu tidak terganggu cuaca berawan ataupun kabut. Untuk melengkapi potret-potret udara yang sudah dibuat sebelumnya dalam tahun 1983/84 di Kalimantan sudah dilakukan pemotretan daerah yang belum berhasil dipotret pada pemotretan sebelumnya yang meliputi areal seluas 476.875 ha. Proses pembuatan peta dasar membutuhkan waktu yang sangat lama, sehingga seringkali diperlukan upaya darurat untuk memenuhi kebutuhan informasi mutakhir. Upaya itu antara lain dilakukan dengan cara membuat peta yang berfungsi sebagai pe ta tematik tanpa menunggu selesainya peta dasar, atau dengan membuat peta ortofoto. Peta ortofoto seringkali dibuat untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak tetapi informasi yang dicakupnya cukup lengkap. Peta tersebut merupakan terjemahan langsung dari potret udara ke dalam bentuk peta.

131

Perkembangan hasil kegiatan pemetaan dasar matra darat dapat dilihat pada Tabel II - 10. Salah satu kegunaan peta dasar, adalah untuk mengetahui letak dan batas wilayah suatu tempat atau daerah secara pasti. Oleh karena itu dalam rangka pemetaan dasar dilaksanakan pula survai penegasan batas internasional di darat dengan Malaysia di Kalimantan dan dengan Papua Nugini di Irian. Dalam tahun 1983/84 penegasan batas tersebut sudah mencapai 370 km. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dalam tahun 1983/84 juga telah dilaksanakan pula pembuatan peta tematik untuk menunjang program transmigrasi. Selama pembuatan peta tematik dilaksanakan pula penelitian pasang surut bumi di enam stasiun di Bandung, Manado, Ujung Pandang, Banjarmasin, Jayapura dan Kepahiang (Bengkulu). Penelitian tersebut merupakan pengamatan terus menerus di stasiun-stasiun pengamatan. Selain itu telah dilaksanakan pula pemotretan 36 pelabuhan udara di seluruh Indonesia. Kegiatan pemetaan geologi bersistem yang dilaksanakan sejak 1979/80 untuk daerah Jawa dan Madura sampai dengan tahun 1983/84 telah menghasilkan 50 lembar peta skala 1 : 100.000 (90% dari target seluruhnya) dan untuk daerah luar Jawa dan Madura telah diselesaikan 110 lembar peta berskala 1 : 100.000 (63,2% dari target). Seluruh pemetaan geologi bersistem tersebut direncanakan akan dapat diselesaikan dalam periode Repelita IV. Kegiatan pemetaan penggunaan lahan dan vegetasi tingkat makro telah dilaksanakan untuk Areal seluas. 193 juta ha, sedangkan pemetaan tingkat tinjau skala 1 : 100.000 telah mencakup areal seluas 29,5 juta ha. Dalam periode Repelita III pemetaan tingkat detail skala 1 : 20.000 meliputi areal seluas 2,2 juta ha. Kegiatan pemetaan hidrogeologi (air tanah) bersistem untuk wilayah Indonesia seluruhnya yang dilaksanakan sejak tahun 1979/80 sampai dengan tahun 1983/84 telah menghasilkan sebanyak 51 lembar peta skala 1 : 250.000, atau 33,5% dari seluruh peta yang harus diselesaikan. Dalam rangka kegiatan pemetaan dasar matra laut dalam periode Repelita III telah dilaksanakan survai hidrografi

132

TABEL I I - 10 HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN PEMETAAN DASAR UNTUK SUMBER DAYA DARATAN, 1978/79 - 1983/84

1)

Angka sementara

133

yang meliputi wilayah seluas 58.900 mil laut persegi. Data dan peta yang dihasilkan dari kegiatan itu akan sangat berguna dalam memanfaatkan sumber daya alam laut yang kita miliki. Guna meningkatkan produktivitas pemetaan dasar dalam periode Repelita III telah dididik 248 orang tenaga ahli fotogrammetri dan kartografi dan 92 orang tenaga teknisi yang terampil untuk membantu pelaksanaan survai dan pembuatan peta. Dengan tambahan tenaga sebanyak itu diharapkan dalam Repelita IV pembuatan peta dasar dapat ditingkatkan. b. Inventarisasi dan Evaluasi Sumber Alam Dalam periode Repelita III telah dilaksanakan survai sumber daya regional untuk memperoleh informasi mengenai sumber daya geologi, tanah, hutan, iklim dan kependudukan di Sumatera dan Sulawesi. Kegiatan ini merupakan realisasi sasaran yang dikembangkan dalam Repelita III dan akan terus dilanjutkan dalam Repelita IV. Dalam waktu yang sama telah dilaksanakan pula inventarisasi dan kompilasi data dan informasi mengenai sumber daya yang ada atas dasar hasil inventarisasi yang sifatnya partial yang dilaksanakan dalam rangka perencanaan sektoral dari berbagai sektor. Dengan pengembangan jaringan inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam seperti tersebut di atas maka jaringan informasi mengenai sumber daya alam menjadi lebih berkembang. Seluruh informasi yang dihasilkan telah disusun dalam suatu sistem informasi sumber daya dan dalam Skala nasional dihimpun dalam atlas sumber daya nasional. Informasi tersebut akan dikembangkan agar berguna untuk referensi dalam perencanaan penggunaan sumber daya. Guna meningkatkan efektivitas den efisiensi pelaksanaannya, maka inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam yang dilaksanakan dalam Repelita III ditunjang dan disempurnakan dengan penerapan teknologi citra penginderaan jauh, baik citra satelit sumber daya, citra SLAR (Side Looking Airborne Radar) maupun citra potret udara. Seperti halnya dalam pemetaan dasar, dalam inventarisasi dan evaluasi sumber alam yang menggunakan citra potret udara digunakan juga potret udara panchromatic dan potret infra merah berwarna semu. Penggunaan citra penginderaan jauh yang dilengkapi dengan pengamatan langsung di lapangan dengan metode survai bertahap, di samping dapat menekan biaya, ternyata juga meningkatkan ketepatan hasil dan kecepatan kerja.

134

Inventarisasi dan evaluasi sumber alam tanah secara menyeluruh akan dapat menghasilkan informasi yang meliputi berbagai segi, antara lain kemampuan fisik untuk berbagai tujuan penggunaan serta pemilikan tanah dan status hukumnya. Selama Repelita III juga telah dilaksanakan pemetaan penggunaan tanah pedusunan yang meliputi areal seluas 42 juta ha dengan skala 1 : 200.000 sampai 1 25.000, pemetaan kemampuan tanah seluas 12 juta ha dengan skala 1 : 100.000 dan 1 : 50.000. Di samping itu telah dilaksanakan pula pengukuran dan pemetaan yang meliputi 251 wilayah kota kecamatan, 44 wilayah kota kabupaten dan 31 wilayah kota madya. Kegiatan pemetaan data penggunaan tanah seperti tersebut di atas dilaksanakan secara berkesinambungan di berbagai wilayah Indonesia. Dalam pelaksanaannya telah didahulukan pemetaan tanah dalam rangka program transmigrasi yang meliputi areal seluas 1,3 juta ha, proyek resettlement seluas 11.000 ha dan proyek perkebunan seluas 335.000 ha. Dalam akhir tahun 1983/84 luas tanah yang sudah diketahui penggunaannya meliputi 147,2 juta ha. Dalam rangka menunjang perkembangan pemanfaatan lahan dalam bidang pertanian, dalam Repelita III telah dilaksanakan penelaahan kemampuan fisika dan kimia tanah sebagai lahan pertanian. Selama Repelita III telah diadakan evaluasi mengenai potensi 188 juta ha tanah di seluruh wilayah Indonesia dalam berbagai tingkat kecermatan. Dalam periode yang sama telah dievaluasi 5,87 juta ha di 18 propinsi di lokasi-lokasi yang direncanakan akan menjadi areal penerima transmigrasi. Selain itu telah dilaksanakan pula survai dan pemetaan tanah untuk menunjang pembangunan pertanian tadah hujan, pembangunan pabrik gula, pendayagunaan daerah rawa dan pasang surut, pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan reklamasi tanah kritis. Survai dan pemetaan tersebut mencakup kegiatan pokok inventarisasi, karakterisasi, evaluasi dan identifikasi masalah-masalah dari segi teknik pertanian. Dari survai yang telah dilaksanakan dapat diperoleh data dasar untuk penyusunan peta potensi lahan untuk usaha-usaha pertanian. Peta itu dilengkapi dengan keterangan tentang masalah teknis yang mungkin dihadapi dalam usaha tani dan cara-cara yang dianjurkan untuk menanggulanginya.

135

Penelitian mengenai kesuburan dan produktivitas tanah serta konservasi tanah dan air, yang terus menerus dilakukan, telah mengungkapkan bahwa banyak lahan yang disediakan untuk perluasan areal pertanian ternyata merupakan tanah-tanah masam, miskin hara dan mudah tererosi. Pemanfaatan tanah tersebut untuk budi daya tanaman pangan memerlukan masukan tambahan seperti pemupukan dan pengapuran, pengembalian sisa panen sebagai mulsa serta pengelolaan tanah dan tindakan-tindakan konservasi tanah yang sesuai dengan kondisi dan situasi setempat. Lagi Pula kegiatan penelitian sebagai tindak lanjut inventarisasi dan evaluasi sumber alam tanah telah dapat membantu mendapatkan teknologi usaha tani sederhana yang mampu meningkatkan hasil dan memperhatikan kelestarian usaha dengan tingkat biaya yang sesuai dengan kemampuan ekonomi petani. Dalam Repelita III juga telah dilaksanakan inventarisasi dan evaluasi mengenai sumber alam yang menghasilkan komoditi-komoditi tradisional seperti komoditi sagu dan karat. Selama masa itu telah dilaksanakan pemetaan areal sagu di Irian Jaya dan areal karet di Kalimantan Barat, yang seluruhnya meliputi areal seluas 2 , 7 2 juta ha. Selain itu telah dilaksanakan pula pemetaan geomorfologi di propinsi Jawa Tengah, yang akan terus dilanjutkan d i propinsi-propinsi lainnya. Untuk meningkatkan efisiensi kegiatan itu, kini sudah dikembangkan suatu metode pemetaan geomorfologi yang efektif dan efisien. Sampai dengan akhir tahun 1983/84 telah dapat disusun pola tata guna hutan kesepakatan untuk seluruh ( 2 2 ) propinsi di luar Jawa. Dari pola tata guna hutan kesepakatan itu dapat diketahui bahwa luas areal hutan di seluruh Indonesia adalah 1 4 3 juta ha. Dari areal itu seluas 1 1 3 juta ha akan dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap. Sisanya seluas 3 0 juta ha akan dialih-gunakan menjadi areal pertanian, transmigrasi dan lain-lain. Dari areal yang akan dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap itu seluas 95.192.500 ha, atau 93,8%, sudah disurvai potensinya. Survai udara untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam sudah dilakukan untuk areal seluas 47.624.000 ha selama periode Repelita III. Sampai akhir tahun 1983/84, penataan dan pemancangan batas luas kawasan hutan telah mencapai 31.400 km, yang merupakan 21,4% dari seluruh panjang batas luar kawasan hutan. Penatagunaan kawasan hutan akan terus dilakukan sehingga mencapai seluruh areal yang akan dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap. Guna menunjang pembangunan industri, pertambangan dan

136

energi, selama Repelita III telah dilaksanakan inventarisasi potensi sumber daya mineral dan sumber energi yang terdapat di lima wilayah pusat pertumbuhan industri, yaitu Sumatera Utara dan Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan Banten, Jawa, Kalimantan Timur serta Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Tujuan inventarisasi tersebut ialah menyediakan data dan informasi yang diperlukan untuk pembangunan industri yang serasi dengan potensi sumber daya dan energi yang dimiliki wilayah yang bersangkutan. Dalam kegiatan inventarisasi tersebut jenis mineral yang disurvai adalah mineral logam dan mineral bukan logam, sedangkan sumber energi yang disurvai adalah jenis batu bara, minyak dan gas bumi serta tenaga pa-nas bumi. c. Pelestarian Sumber Alam dan Lingkungan Hidup Usaha pelestarian sumber alam dan lingkungan hidup meliputi berbagai bentuk kegiatan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kegiatan tersebut bertujuan meningkatkan perlindungan atas proses ekologis esensial, mempertahankan keanekaragaman jenis sumber plasma nutfah dan ekosistemnya, menjamin kelestarian pemanfaatan sumber daya alam, dan menanggulangi semua gangguan dan hambatan terhadap eksistensi sumber daya alam. Berdasarkan tempat kegiatannya, kegiatan-kegiatan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup terdiri dari kegiatan konservasi di dalam kawasan konservasi dan kegiatan konvervasi di luar kawasan yang secara khusus diperuntukkan guna maksud konservasi. Sampai dengan akhir tahun 1983/84 kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman buru dan taman wisata seluruhnya telah berjumlah 301 lokasi dengan luas areal sebesar 12,07 juta ha. Hal itu berarti bahwa penunjukan kawasan konservasi telah melampaui target Repelita III sebesar 10 juta ha (Tabel II - 11). Dalam rangka pelestarian sumber alam dan lingkungan hidup selama Repelita III konsepsi pewakil ekosistem yang sudah dikembangkan sejak Repelita II lebih dikembangkan lagi. Berdasarkan konsep tersebut beberapa kawasan konservasi sumber daya alam dikembangkan menjadi taman nasional. Taman nasional merangkum baik segi pencagaran maupun segi pemanfaatannya. Di dalam taman nasional terdapat keterpaduan antara fungsi-fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keaneka-ragaman jenis sumber plasma nutfah dan pelestarian kemanfaatan sumber daya alam. Keterpaduan antara berba-

137

TABEL I I - 11 PERKEMBANGAN KEADAAN KAWASAN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM, 1978/79 - 1983/84

1) 2) 3)

Perubahan status kawasan Angka diperbaiki Angka sementara

138

gai fungsi yang terdapat dalam taman nasional diarahkan untuk tujuan-tujuan pariwisata, rekreasi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, penelitian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terlebih-lebih bagi mereka yang bertempat tinggal di sekitar kawasan yang bersangkutan. Dalam rangka pengembangan taman-taman nasional sampai dengan tahun terakhir Repelita III telah dilaksanakan studi sebagai persiapan untuk pembangunan 23 taman nasional yang seluruhnya meliputi areal seluas 5.359.206 ha. Pada tahun 1981 dan 1982 telah diresmikan 16 buah taman nasional, yaitu Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, Ujung Kulon, Pulau Seribu, Gunung Gede-Pangrango, Bromo Tengger Semeru, Meru Betiri, Baluran, Bali Barat, Tanjung Puting, Lore Lindu, Dumoga Bone, Pulau Komodo dan Manusela. Untuk memantapkan pengelolaannya dalam Repelita III telah disusun Rencana Karya Lima Tahun untuk 16 taman nasional tersebut. Meskipun konsepsi taman nasional telah berkembang cukup lama dan telah diikuti dengan berbagai tindakan nyata, landasan hukum untuk pengembangannya masih ketinggalan. Salah satu masalahnya ialah belum tersedianya peraturan perundangan dalam bidang konservasi sumber daya alam dan taman nasional yang sejalan dengan perkembangan perhatian masyarakat dan ilmu pengetahuan dalam bidang pelestarian sumber alam dan lingkungan hidup. Dalam periode Repelita III telah disusun Rancangan Undang-undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang antara lain mengatur status kawasan taman nasional serta peruntukan dan pengembangannya. Di samping itu juga telah dipersiapkan berbagai pedoman untuk pengelolaan taman nasional, seperti pedoman penetapan dan pengelolaan daerah penyangga taman nasional, pedoman pengusahaan taman nasional dan pedoman pengaturan pengunjung taman nasional. Namun segenap rancangan tersebut di atas belum berhasil dijadikan perangkat peraturan yang mempunyai kekuatan hukum, sehingga perkembangan yang ada semata-mata baru didasarkan pada pertimbangan teknis ilmiah. Hutan lindung yang sampai akhir Repelita III ditetapkan sesuai dengan pola tata guna hutan kesepakatan meliputi areal seluas 30,3 juta ha. Dari areal itu seluas 10,6 juta ha telah dikukuhkan, tersebar di 686 lokasi, dan di antaranya sebanyak 155 lokasi dengan luas 2,6 juta ha telah ditentukan tata batasnya. Dalam rangka pengembangan obyek wisata alam dalam bentuk kawasan konservasi sumber daya alam, selama Repelita III te-

139

lah dikembangkan 54 lokasi taman wisata, 10 lokasi taman buru dan 5 lokasi taman laut Penyusunan prioritas pengembangan kawasan wisata tersebut disesuaikan dengan pengembangan daerah wisata dalam sektor perhubungan dan pariwisata. Selain kegiatan-kegiatan konservasi sumber daya alam di dalam kawasan konservasi seperti yang diuraikan di atas, selama Repelita III telah dilaksanakan Pula kegiatan-kegiatan : (a) penelaahan dan inventarisasi flora dan fauna di 30 lokasi yang mencakup areal seluas 2,1 juta ha,(b) penetapan 521 jenis satwa dan 36 Jenis flora yang dilindungi undang-undang, (c) pembinaan populasi dan rehabilitasi satwa langka seperti orang utan, gajah, burung mako, jalak putih dan rusa, (d) usaha penangkaran buaya, rusa, beberapa Jenis burung dan penyu, (e) pembinaan 21 buah kebun binatang dengan 500 Jenis koleksi satwa, (f) pembinaan 4 kebun konservasi botani, (g) pengaturan jatah penangkaran terhadap 120 Jenis satwa yang dilindungi, dan (h) pengaturan perburuan serta peredaran lalu-lintas satwa di seluruh Indonesia. Guna meningkatkan persepsi, kesadaran dan peranserta masyarakat dalam konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam Repelita III juga telah dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang antara lain berupa penyuluhan, penyebaran leaflet dan buletin, serta pembinaan kelompok-kelompok pencinta alam dan kelompok-kelompok yang berminat dalam konservasi sumber daya alam. Untuk mengusahakan agar kegiatan pembinaan cinta alam ini dapat lebih terarah, berhasilguna dan berdayaguna maka dalam tahun 1983/84 telah dibentuk Pramuka Saka Wanabhakti. d. Pengkajian dan Penanganan Masalah Lingkungan Hidup Dalam tahun 1981/82 telah diundangkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok di bidang Pengelolaan Lingkungan hidup. Undang-undang ini berperan sebagai landasan bagi berbagai ketentuan dan peraturan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pada tahun 1982/83 dan 1983/84 telah mulai disusun beberapa peraturan pelaksanaan, seperti ketentuan den peraturan tentang konservasi sumber daya alam, analisis dampak lingkungan, pengendalian, pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta ketentuan dan peraturan mengenai baku mutu lingkungan hidup. Beberapa dari peraturan pelaksanaan tersebut telah tersusun dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), yaitu RPP tentang analisis dampak lingkungan (ANDAL), yang dilengkapi dengan 11 pedoman ANDAL, RPP tentang pencemaran udara dan RPP tentang pencemaran air.

140

Guna meningkatkan kemampuan pengenalan dan pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup di daerah-daerah dikembangkan tiga jalur penanganan. Jalur pertama adalah Pusat Studi Lingkungan, yang dibangun di berbagai perguruan tinggi; jalur kedua, Biro Bina Kependudukan dan Lingkungan Hidup di lingkungan Sekretariat Wilayah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I dan Bappeda; jalur ketiga, Lembaga Swadaya Masyarakat yang terdiri atas kelompok perorangan yang berminat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Agak berlainan dari dua jalur pertama, jalur ketiga, yang bersifat non formal, dilibatkan dengan harapan akan dapat berfungsi sebagai sarana mekanisme kontrol social yang dapat mendorong segenap kegiatan pembangunan untuk berwawasan lingkungan hidup. Pusat Studi Lingkungan di perguruan tinggi dikembangkan sebagai pusat penelaahan ilmiah mengenai masalah lingkungan dan pusat penyediaan tenaga ahli dan tenaga terampil dalam bidang lingkungan hidup. Dalam tahun 1983/84 telah terdapat 34 Pusat Studi Lingkungan di berbagai perguruan tinggi. Biro Bina Kependudukan dan Lingkungan Hidup sebagai dapurr dan koordinator operasional penanganan masalah lingkungan hidup di daerah telah terbentuk diseluruh propinsi, demikian pula satuan kerja dalam bidang lingkungan hidup di Bappeda Tingkat I. Dengan adanya jalur itu maka terdapat rangkaian yang saling mengisi antara pengembangan keilmuan dengan penerapan teknis penanganan masalah lingkungan secara operasional di lapangan. Minat masyarakat untuk berperanserta dalam pengelolaan lingkungan hidup terlihat cukup tinggi dalam periods Repelita III. Hal itu ditandai dengan lahirnya berbagai organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat, baik yang berdasarkan profesi, minat, maupun yang berdasarkan hobo. Sebagian besar di antaranya baru berperanserta dalam tingkat minat dan pemikiran. Dalam tahun terakhir Repelita III telah terdapat lebih dari 600 Lembaga Swadaya Masyarakat. Sebagai akibat pembangunan yang pesat mutu lingkungan hidup di daerah-daerah tertentu dikhawatirkan akan menurun dengan cepat dan dengan demikian membahayakan bagi kesehatan, kelestarian kehidupan dan kelangsungan pembangunan di masa depan. Untuk menghadapi kemungkinan munculnya hal yang tidak diinginkan itu, maka selama Repelita III diadakan kegiatan penilaian dan monitoring mutu lingkungan di wilayah-wilayah Jabotabek, Gerbangkertosusila, Bandung Raya, Cirebon, Yogyakarta, Medan Raya, Denpasar, Ujung Pandang, Pontianak, Palem-

141

bang; di beberapa daerah aliran sungai (DAS) seperti Ciliwung-Cisadane, Citarum, Cimanuk, Bengawan Solo, Brantas, Musi, Kapuas; dan di beberapa wilayah pesisir dan lautan seperti Teluk Jakarta, Selat Madura, Laut Jawa, Selat Bangka, Teluk Ambon dan Selat Malaka. Di samping itu telah dilakukan pula pengkajian lingkungan di 55 lokasi areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Dalam Repelita III juga telah dipersiapkan peraturan perundangan yang mengatur penerapan ANDAL dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan. Sementara itu ANDAL juga telah diterapkan dalam tahap persiapan pembangunan fisik seperti dalam pembangunan bendungan, transmigrasi, industri semen, industri minyak dan gas serta pertambangan. Selama empat tahun terakhir Repelita III telah dilatih sebanyak 1.071 orang petugas di bidang perencanaan, pelaksana-an, pengembangan keilmuan dan pendidikan melalui kursus penge-nalan dan dasar-dasar ANDAL. Dan dalam tahun 1983/84 telah da-pat dilatih 3 9 orang petugas dalam bidang penyusunan ANDAL. Selama Repelita III usaha-usaha penanggulangan kerusakan lingkungan sebagai akibat sampingan kegiatan pembangunan sudah dilaksanakan, antara lain dalam bentuk rehabilitasi kawasan bekas penambangan terbuka, usaha pendaur-ulangan bahan buangan industri, pengembangan penanggulangan sampah industri dan rumah tangga, serta dalam bentuk usaha-usaha pemanfaatan limbah. Pelaksanaan pencemahan pencemaran industri telah diterapkan sejak awal Repelita III dalam bidang industri tekstil, industri minyak dan gas, industri semen dan pertambangan. Dalam bidang pertanian telah dilakukan usaha-usaha pengendalian penggunaan pestisida tersebut dengan cara memperketat pengawasan peredaran dan penggunaannya, dan dengan memberikan penyuluhan dan penerangan tentang cara-cara penggunaan yang tepat dan aman. Di samping itu pengendalian penggunaan pupuk kimia juga semakin ditingkatkan untuk mencegah dampak negatifnya terhadap lingkungan hidup. Dalam Repelita III telah dapat disusun panduan pencegah-an dan penanggulangan pencemaran industri yang meliputi masa-lah: (1) pengkajian aspek lingkungan untuk proyek industri yang tidak memerlukan analisis dampak lingkungan, (2) industri pulp dan kertas, ( 3 ) industri soda kostik, (4) industri kulit, (5) industri lapis listrik, (6) industri kapro laktam,

142

(7) industri pupuk petro, (8) industri asam sulfat dan aluminium sulfat, (9) industri asam belerang dan tawas, (10) industri plat dan pipa galvani, (11) industri tekstil, (12) industri fermentasi, (13) industri pure terephtalic acid dan (14) industri pengalengan makanan. Selanjutnya dalam Repelita III inventarisasi dan monitoring kualitas lingkungan perairan, untuk dasar penilaian tentang adanya pencemaran, telah dilaksanakan secara merata dan berkesinambungan di wilayah pusat-pusat industri di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Selama Repelita III juga dilaksanakan usaha-usaha untuk meningkatkan persepsi, kesadaran dan peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Usaha-usaha dilaksanakan dalam bentuk ceramah, percontohan, latihan, pendidikan, penerangan dan penyuluhan kepada generasi muda, pramuka, organisasi pemuda; organisasi pencinta peminat dan kelompok profesi dalam bidang lingkungan, pemuda mesjid, pemuda gereja, pesantren, wanita, para pengusaha, dan dengan penyertaan tokoh masyarakat secara lebih intensif. Dalam rangka usaha menumbuhkan minat masyarakat dalam mengembangkan usaha pembangunan yang berwawasan lingkungan, selama Repelita III setiap tahun diberikan penghargaan Kalpataru bagi perintis, pengabdi dan penyelamat lingkungan. Selain itu selama itu juga dilakukan kegiatan pengenalan paket kegiatan dan pelajaran dalam bidang lingkungan hidup. e. Pengembangan Somber Daya Air dan Penanggulangan Pencemaran Air.

Gejala perusakan DAS terjadi di 36 DAS di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Kerusakan DAS tersebut ditandai oleh adanya : fluktuasi debit aliran sungai yang besar, yang menimbulkan banjir dan kekeringan serta pelumpuran yang disebabkan oleh karena mutu air yang rendah pada musim hujan. Mutu air yang rendah yang tidak disebabkan oleh lumpur tetapi oleh buangan rumah tangga dan industri, terutama di daerah kritis.

Dalam Repelita III telah dilaksanakan berbagai peneliti-

143

an mengenai masalah pencemaran perairan, dengan tujuan untuk mencari pola tindakan untuk mencegah dan menanggulanginya, dan untuk menentukan kriteria kualita air yang memenuhi syarat untuk keperluan penggunaan tertentu. Guna menelaah modelmodel masalah pencemaran telah dilaksanakan studi kasus di beberapa wilayah padat penduduk dan padat kegiatan yang diduga mengalami tingkat pencemaran yang tinggi. Lokasi industri yang belum teratur akan mengakibatkan terjadinya penumpukan bahan bangunan beracun dan berbahaya. Limbah cair atau padat yang mengandung logam berat di sungai-sungai yang airnya dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah padat dengan sanitasi dan hygiene yang buruk dapat menimbulkan dampak lingkungan yang besar. Keadaan itu dapat dijumpai di daerah-daerah padat dan miskin di beberapa kota besar. Penataan lokasi industri, pengaturan pembuangan limbah cair, penataan lingkungan pemukiman dan penyuluhan kesehatan, merupakan berbagai kegiatan yang dilakukan selama Repelita III dalam menanggulangi masalah-masalah serupa itu. Guna mengetahui perkembangan kualita lingkungan dalam bidang industri dilaksanakan monitoring di daerah pusat-pusat industri. Dengan monitoring itu pula keadaan yang memburuk diharapkan dapat segera diketahui dan ditanggulangi. Sebagai akibat berkembangnya kegiatan pengangkutan barang dan minyak bumi, baik secara sengaja maupun tidak di sengaja timbul masalah pencemaran laut yang diakibatkan oleh adanya buangan bekas minyak atau kebocoran. Guna menangani masalah pencemaran di lautan yang banyak terjadi di beberapa wilayah perairan yang padat kegiatan, telah disusun konsep Sistem Nasional Penanggulangan Darurat Pencemaran Laut yang merupakan bagian dari kerangka ASEAN Contingency Plan. Bersamaan dengan penerapan sistem nasional tersebut, secara bertahap dan sistematis, dalam Repelita III dilaksanakan berbagai studi untuk menelaah segi teknik, ekonomi, dan finansial dari pemanfaatan sumber alam laut dan pencemaran perairannya. Sumber alam laut yang mencakup perairan pantai dan pesi-sir, perairan terumbu karang ('coral reef ') dan perairan zone ekonomi eksklusif, merupakan sumber alam perairan yang, walaupun besar artinya bagi Indonesia, belum dikembangkan secara optimal. Dalam Repelita III telah dilaksanakan berbagai studi dan kegiatan untuk melestarikan eksistensi dan manfaat sumber alam tersebut. Antara lain dalam periode itu telah dilaksanakan penelitian ekologi dan pengelolaan lingkungan hutan payau, penelitian dan pengembangan wilayah pesisir, pene-

144

litian biologi perikanan daerah payau, penelitian perikanan pelagik dan penelitian perikanan pantai. Dari penelitian tersebut antara lain, telah dihasilkan pedoman mengenai pengelolaan lingkungan pesisir. Pengelolaan kawasan hutan mangrove didasarkan pada perangkat peraturan yang mencakup produksi, perlindungan, suaka alam, wisata dan kemungkinan alihguna untuk pemukiman, prasarana dan lain-lain. Dalam Repelita III juga telah dilaksanakan penelitian mengenai segi teknis pencemaran perairan pantai dan laut di Teluk Jakarta, pantai utara Jawa, Selat Bangka, Selat Malaka, pantai selatan Kalimantan dan perairan Cilacap. Zat pencemar yang dimonitor di wilayah tersebut di atas terdiri atas logam-logam berat, air raksa, tembaga, kadmium, timah hitam, nikel, hidrokarbon terklorinasi ('chlorinated hydrocarbon'), hidrokarbon, dan bakteri. Seluruh zat tersebut baik yang terdapat bebas di perairan, yang terdapat dalam jaringan kerang-kerangan dan fauna laut lain yang komersial, maupun yang terdapat dalam sedimen di dasar laut telah dianalisa. Hasil analisa yang diadakan antara lain menunjukkan bahwa di Teluk Jakarta dan di perairan 4 - 10 mil dari pantai utara Jawa pada umumnya telah terjadi penurunan kondisi biologic dan mikro-biologis, sedangkan di perairan Selat Malaka, Selat Bangka, dan sekitarnya pada umumnya masih baik. Dalam tahun 1983/84 telah diteliti perairan pantai selatan Kalimantan, perairan estuari Teluk Banten dan perairan Muara Angke. Contoh-contoh yang diperoleh dari penelitian tersebut sedang dianalisa. Dalam Repelita III telah dipersiapkan pengembangan jaringan monitoring pencemaran laut dengan mendayagunakan Pusat Studi Lingkungan di berbagai perguruan tinggi, Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Lembaga Minyak dan Gas Bumi, Lembaga Oseanologi nasional - LIPI, Dinas-dinas perikanan dan lainlain. Dengan pembentukan jaringan-jaringan monitoring itu diharapkan akan dapat diperoleh data mengenai tingkat pencemaran laut di berbagai perairan Indonesia secara teratur. Monitoring pencemaran laut yang dilakukan_ secara teratur sampai sekarang seluruhnya baru meliputi 29 tempat, tetapi lokasi tempat-tempat itu tersebar merata di berbagai pulau, antara lain Teluk Jakarta, Selat Malaka, Selat Bangka, Pantai Utara Jawa, Pantai Selatan Kalimantan dan Pantai P. Bali. Sementara itu masalah kekurangan tenaga ahli, peralatan dan laboratorium khusus terus diusahakan untuk diatasi dengan pendidikan, latihan dan dengan mengembangkan kerjasama yang lebih erat antara berbagai instansi yang berkepentingan.

145

3. Pengembangan Meteorologi dan Geofisika Bidang Meteorologi dan Geofisika menunjang pembangunan di bidang lain dalam bentuk pelayanan jasa informasi dan data untuk kepentingan kegiatan penerbangan dan pelayaran, peningkatan produksi pertanian, khususnya pangan, perindustrian, transmigrasi, pembangunan sarana dan prasarana, kegiatan pariwisata, usaha penyelamatan (SAR), penanggulangan akibat bencana alam, pemantauan (monitoring) pencemaran udara dan kegiatan lainnya. Pembangunan yang dilaksanakan meliputi pengembangan kemampuan pelayanan jasa informasi dan ramalan meteorologi dan geofisika, baik dari segi kuantitas, kualitas dan ragamnya. Usaha tersebut ditempuh melalui peningkatan jaringan stasiun, peningkatan waktu operasi stasiun menjadi 24 jam/hari, pengembangan sarana peralatan dan jaringan informasi, serta pengembangan kelembagaan dan organisasi instansi yang bersangkutan agar lebih mampu menampung kegiatan yang semakin meningkat. Selama pelaksanaan pembangunan Repelita III telah berhasil dibangun dan telah berfungsi 5 buah balai meteorologi dan. geofisika, 12 buah stasiun meteorologi, 5 buah stasiun klimatologi, 17 buah stasiun meteorologi pertanian khusus, 148 buah stasiun iklim, 3 6 buah stasiun penguapan, 888 buah stasiun pengamatan hujan, dan 7 buah stasiun geofisika. (Tabel II 12 dan Tabel II - 14). Sebagai hasil dari pengembangan tersebut selama Repelita III telah dapat dipenuhi sekitar 800.000 permintaan jasa in- formasi dan data dari berbagai pihak, baik instansi Pemerintah maupun Swasta. Selama Repelita II yang dapat dipenuhi adalah sekitar 380.000 permintaan. Ini berarti bahwa selama Repelita III ada kenaikan sebesar 110%, jadi ada pertumbuhan rata-rata 22% per tahun. Jenis jasa berupa data yang dihasil-kan dapat dilihat pada Tabel II - 13. Sejalan dengan peningkatan kemampuan tersebut diatas, maka kualitas data dan informasi yang disajikan selama Repelita III telah pula meningk a t . Hal itu dapat dilihat dari kenaikan tingkat ketepatan data d a n ramalan dari 70% selama Repelita II menjadi 7 5 % dalam Repelita III . Kegiatan pemantauan (monitoring) pencemaran udara dilakukan pula di beberapa kota besar. Dalam hubungan itu telah dipasang peralatan pemantauan pencemaran udara di kota-kota Medan, Padang, Manado, Kupang dan Biak masing-masing satu

146

TABEL II - 12 PERKEMBANGAN JUMLAH STASIUN METEOROLOGI, KLIMATOL0GI, DAN GEOFISIKA YANG TELAH BERFUNGSI, 1978/79 - 1983/84

Keterangan : 1). Stasiun Meteorologi Klas III meningkat menjadi Klas II 7 buah Stasiun Klimatologi Klas II meningkat menjadi Klas I 1 buah Stasiun geofisika Klas II meningkat menjadi Klas I 5 buah Stasiun geofisika Klas III meningkat menjadi Klas II 2 buah. 2) Angka diperbaiki

147

TABEL II - 13 PERKEMBANGAN PRODUKSI DATA STASIUN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA YANG TELAH BERFUNGS1, 1978/79 - 1983/84 (dalam frekwensi x 1 unit)

*) Angka diperbaiki

148

TABEL I I 14 PERENCANAAN DAN REALISASI PEMBANGUNAN STASIUN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA DALAM REPELITA III

*)

Peningkatan stasiun adalah peningkatan kemampuan operasional dari stasiun.

149

set. Khusus di DKI Jakarta telah dipasang 6 set peralatan pemantauan pencemaran udara, yaitu di Glodok, Bandengan, Monas, Ancol, Halim Perdana Kusuma dan di sekitar kantor Badan Meteorologi dan Geofisika di Menteng Raya. Atas dasar hasil pengamatan pencemaran udara selama ini dapat disimpulkan bahwa di beberapa tempat di kota Jakarta kandungan debu dalam udara telah melampaui nilai ambang batas. Khususnya di DKI Jakarta, dari tahun ke tahun terlihat adanya kecenderungan peningkatan kandungan debu di udara. Sedangkan di kota-kota lainnya kandungan debu masih di bawah nilai ambang batas. Pada umumnya seluruh rencana fisik peningkatan stasiun meteorologi, klimatologi dan geofisika selama Repelita III telah diselesaikan sesuai dengan rencana. Pembangunan baru stasiun klimatologi juga sesuai dengan rencana, bahkan pembangunan meteorologi pertanian dan stasiun iklim pelaksanaannya telah melebihi rencana; masing-masing mencapai 170% dan 246% dari rencana (Tabel II - 14). Beberapa hambatan terjadi dalam pembangunan baru stasiun meteorologi klas II dan III, stasiun klimatologi klas I, II, III, serta stasiun pengamat hujan dan stasiun geofisika. Sejauh mengenai pembangunan baru stasiun-stasiun ini realisasinya dalam Repelita III hanya dapat mencapai rata-rata sebanyak 40% dari rencana. Untuk memenuhi data dan informasi meteorologi dan geofisika yang diperlukan telah diusahakan pemanfaatan data dan informasi yang dihasilkan oleh berbagai satelit cuaca dan satelit sumber alam. Dalam hubungan itu kerjasama internasional di bidang meteorologi terus dikembangkan baik di tingkat ASEAN maupun di tingkat internasional yang lebih luas.

150

You might also like