You are on page 1of 21

SEJARAH AGAMA BUDDHA

Masa Kehidupan Sang Buddha Agama Buddha berasal dari India bagian utara diajarkan oleh Buddha Sakyamuni. Beliau juga dikenal dengan sebutan Buddha Gautama, Bhagava, Tathagata, Sugata, dan sebagainya. Pada masa kecil, Beliau adalah seorang pangeran, bernama Siddharta. Pangeran Siddharta dilahirkan dalam sebuah keluarga kerajaan. Ayahnya adalah seorang raja yang memerintah di kota Kapilavasthu. Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 sebelum Masehi, jadi sekitar 2600 tahun yang lalu di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, berpijak bunga teratai. Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi seorang Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa, atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Kata-kata pertapa Asita membuat Baginda tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian. Sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta bertemu pertama kali dengan puteri Yasodara dalam sebuah pesta yang diselenggarakan oleh Baginda untuk pangeran Yasodara,disanalah Pangeran Siddharta bertemu dan langsung tertarik oleh puteri Yasodara kemudian Pangeran 1

Siddharta menikah dengan Putri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara.

Suatu hari Pangeran Siddharta meminta ijin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang berbeda dilihatnya Empat Kondisi yang sangat berarti. Kejadian di luar istana yang belum pernah ditemuinya selama hidup di dalam istana: orang tua renta yang berjalan tergopoh-gopoh dengan bantuan sebuah tongkat, orang sakit parah yang sedang merintih kesakitan dalam pembaringan, orang mati yang diusung menuju tempat kremasi, dan seorang pertapa suci yang sedang bermeditasi dengan heningnya; keempat kejadian yang dijumpainya ini pada kesempatan berbeda, telah membuat dirinya merenung dan terus merenung akan hidup ini: Mengapa harus ada usia tua? Mengapa harus ada masa sakit? Mengapa harus ada kematian? Mengapa harus ada penderitaan? Apa arti hidup ini? Dapatkah manusia terbebas dari usia tua, sakit dan mati? Demikianlah batinnya diliputi dengan segala pergolakan yang akhirnya puncak pergolakan pada usia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir, di mana Beliau memutuskan untuk menjalani kehidupan suci, seperti halnya kejadian keempat yang telah dilihatnya: seorang pertapa suci yang sedang tenang bermeditasi. Beliau memutuskan untuk mengikuti jejaknya dalam menemukan jawaban atas semua hal yang menyebabkan penderitaan manusia. Beliau bertekad untuk menemukan obat penderitaan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan karena usia tua, sakit dan mati. Masa ini disebut sebagai Masa Pelepasan Agung. Dalam meditasi, Beliau berhasil menemukan adanya suatu bentuk kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan duniawi. Kebahagiaan dalam meditasi ini adalah kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan spiritual berbentuk lebih halus. Tetapi, Beliau menyadari bahwa kebahagiaan ini belumlah sempurna, masih bersifat sementara. Akhirnya, Beliau mencoba menemukan sendiri Jalan Pembebasan tersebut, yang membebaskan manusia dari penderitaan. Beliau mulai mempraktekkan pertapaan dengan menyiksa diri yaitu dengan cara bertapa tanpa makan dan minum sedikit pun. Setelah bertahun-tahun bertapa menyiksa diri membuat tubuh Beliau kurus kering. Hampir saja 2

Beliau mati karena tubuhnya yang tinggal kulit pembalut tulang. Namun, Jalan Pembebasan tidak juga diperolehnya. Jawaban atas semua penderitaan tetap tidak didapatkannya.

Hingga pada suatu saat, Beliau disadari oleh serombongan pemain kecapi yang sedang lewat sambil berbincang-bincang menasehati yang lain: "Jika tali senar ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Jika terus dikencangkan, senarnya akan putus dan lenyaplah suaranya. Jika tali senar ini dikendorkan, suaranya akan melemah. Jika terus dikendorkan, lenyaplah suaranya." Kata-kata ini ternyata telah menyadari Pertapa Gautama bahwa di dalam tubuh yang lemah karena menyiksa diri, tidak akan ditemukan pikiran yang jernih.Pertapa Gautama akhirnya memutuskan untuk bangkit dari meditasinya. Beliau ingin mengakhiri cara bertapa menyiksa diri dan bergegas untuk mandi membersihkan tubuhnya. Namun, begitu Beliau bangkit, tubuhnya yang sedemikian lemahnya tak kuat menopang dirinya, yang membuatnya segera terjatuh pingsan. Saat itu, seorang pemuda gembala bernama Nanda sedang lewat dan segera menolongnya.. Ketika Beliau sadar dari pingsannya,Nanda memberikan semangkuk air tajin dan Beliau segera mencicipi air tajin tersebut, dan akhirnya secara perlahan kesehatannya pulih kembali. Pertapa Gautama pun akhirnya meninggalkan kehidupan menyiksa diri. Beliau telah membuktikan bahwa kehidupan menyiksa diri tidak akan membawa seseorang kepada kebahagiaan abadi, Jalan Pembebasan, Pencerahan Sempurna.Setelah itu Pangeran Siddharta menggunakan metode lain untuk mendapatkan Pencerahan Sempurna dengan cara tetap bertapa dan tetap dengan makan dan minum Beliau kemudian memutuskan untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi sambil mengumandangkan kebulatan tekadnya dengan berprasetya: "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulangku jatuh berserakan, tetapi Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai Aku mencapai Pencerahan Sempurna." 3

Dikisahkan bahwa di dalam meditasinya, pertapa Gautama dihantui perasaan-perasaan bimbang dan ragu. Pikiran-pikiran seperti keinginan nafsu, keinginan jahat, ketakutan, keragu-raguan dan kemalasan mencoba menggagalkan usahanya dalam meraih Pengetahuan mengenai Pembebasan. Hampir saja Beliau dikalahkan oleh Mara, penggoda yang dahsyat itu.Dewa Mara mengirim keempat puterinya yang terkenal dengan kecantikkannya untuk menggoda Pangeran Siddharta,selama ini belum ada laki-laki yang tidak takluk dibawah kecantikan keempat puteri Dewa Mara. NamunPangeran Siddharta tidak terpengaruh sedikit pun dan tetap meneruskan pertapaanya dan dengan keteguhan hati Beliau yang membaja, akhirnya membuat-Nya berhasil menaklukkan godaan dari Sang Mara.

Pertapa Gotama telah mencapai Pencerahan Sempurna. Beliau telah menjadi Buddha. Peristiwa penting ini terjadi pada saat malam terang purnama di bulan Waisak ketika Beliau berusia 35 tahun. Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna birukuning mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berarti kasih sayang dan belas kasih; putihjingga berarti giat; dan campuran kelima sinar tersebut. yang berarti bhakti; mengandung arti suci. Beliau telah menyadari tentang asal mula penderitaan dan jalan untuk melenyapkannya. Dhamma inilah yang akan diajarkan-Nya kepada seluruh umat manusia agar kita semua dapat mengetahui hakekat sesungguhnya dari kehidupan ini dan berusaha untuk melenyapkan penderitaan sehingga kebahagiaan tertinggi dapat kita raih. Selama 45 tahun Sang Buddha mengajarkan dhamma kepada umat manusia. Melalui pengalamannya sendiri, dengan usaha dan perjuangan Beliau sendiri, dhamma telah ditemukannya, dan telah diajarkannya pada kita semua.

Perkembangan Agama Buddha Sang Buddha pertama kali

mengajarkan dhamma kepada lima orang pertapa di taman rusa Isipatana, Sarnath. Beliau membimbing mereka menuju Arahat. Arahat adalah gelar bagi mereka yang telah melatih diri dan berhasil mencapai tingkat kesucian tertinggi yang dapat dicapai manusia. Seorang Arahat telah terbebas dari kekotoran bersih batin dari duniawi. Pembebasan. Dengan sifat-sifat tanpa cela yang dimilikinya, seorang Arahat adalah pelestari dhamma terbaik untuk meneruskan dhamma Sang Buddha di kemudian hari. Setelah Sang Buddha Parinibbana (wafat), para Arahat kemudian berkumpul untuk menghimpun ajaran-ajaran Beliau yang telah disampaikan kepada banyak orang yang berbeda, di waktu dan tempat yang berlainan. Akhirnya, terhimpunlah Kitab Suci Agama Buddha. Kitab suci berbahasa Pali dinamakan Tipitaka sedangkan kitab suci berbahasa Sansekerta dinamakan Tripitaka. Tipitaka atau Tripitaka berarti tiga keranjang. Nama ini digunakan karena kitab-kitab suci yang tersusun berhasil terkumpul sebanyak tiga keranjang. Winayapittaka : Berisi peraturan-peraturan dan hukum yang harus dijalankan oleh umat Buddha. Sutrantapittaka : Berisi wejangan-wejangan atau ajaran dari sang Buddha. Abhidarmapittaka : Berisi penjelasan tentang soal-soal keagamaan. Secara kuantitas, kitab suci agama Buddha adalah kitab suci yang paling tebal di antara semua kitab suci yang ada di dunia. Secara keseluruhan, ajaran-ajaran Sang Buddha dan para siswa-Nya yang telah Arahat, jika telah dibukukan diperkirakan memiliki ketebalan berkisar antara puluhan hingga puluhan ribu kali lipat lebih tebal dari Kitab Injil yang telah dikenal umum. Ajaran Sang Buddha yang sedemikian luasnya menyebabkan tumbuhnya banyak tradisi dan aliran dalam agama Buddha. Mereka mencoba menemukan suatu cara praktis yang 5 Mereka telah

keserakahan, keinginan yang disebabkan keakuan, kebencian, dan ketidaktahuan akan Jalan

mudah untuk mempraktekkan ajaran Sang Buddha yang sangat luas itu dengan penekanan pada sutra-sutra tertentu dalam bagian Kitab Suci Agama Buddha. Agama Buddha dipraktekkan meluas di India setelah Sang Buddha Parinibbana. Tradisi Buddhis pun terbentuk di wilayah yang sekarang bernama Pakistan dan Afghanistan, dan mengakar di Asia Tengah pada awal Masehi. Invansi Islam di kemudian hari melemahkan agama ini pada sub-benua India dan Asia Tengah. Dari India, agama Buddha menyebar ke SriLanka. Dari India dan SriLanka, agama Buddha menyebar ke Asia Tenggara dan sekarang berakar kuat di Thailand dan Myanmar. Pemerintahan komunis di beberapa negara Asia telah menekan perkembangan agama Buddha. Namun, sejak abad modern, intelektual Barat mulai tertarik dengan agama Buddha. Banyak vihara Buddhis, pusat-pusat Dharma, dan berbagai tempat pelatihan meditasi telah dibangun di negara-negara Barat. Dari Asia Tengah, agama Buddha pertama kali masuk ke China, kemudian agama Buddha dibawa dari India. Banyak peziarah China membawa kekayaan naskah agama Buddha dari India ke China. Dalam masyarakat China, agama Buddha mengalami akulturasi dengan kebudayaan masyarakat setempat. Dari China, agama Buddha menyebar ke Vietnam dan Korea. Dari Korea, agama Buddha mencapai Jepang. Dari Jepang, agama Buddha menyebar ke negara-negara Barat. Agama Buddha pertama kali diperkenalkan ke Tibet dari Nepal (India Utara) dan China. Dari Tibet, agama Buddha menyebar ke Mongolia dan Manchuria. Sejak China Komunis mencaplok Tibet, ribuan rakyat Tibet terpaksa melarikan diri ke pengasingan di India dan Nepal, dan telah membangun kembali vihara-vihara di India. Banyak pemimpin spiritual di Tibet pergi ke negara-negara Barat dan Asia, yang menyebabkan pusat-pusat Dharma bermunculan. Akulturasi agama Buddha dengan kebudayaan setempat di mana agama Buddha tumbuh tidak mungkin dapat dihindari. Agama Buddha mengambil bentuk luar dari kebudayaan setempat yang ada dan menyesuaikannya dengan ajaran agama Buddha. Agama Buddha berasal dari India. Kebudayaan India sangat mempengaruhi bentuk luar agama Buddha. Kemudian, agama Buddha berkembang di Tibet dan China. Agama Buddha pun mengalami akulturasi dengan kebudayaan setempat di Tibet dan China. Terkadang perpaduan antara agama Buddha dengan kebudayaan setempat menyebabkan batas yang kurang jelas antara praktek agama Buddha dengan praktek bukan agama Buddha. Sebagai contoh, perpaduan antara agama Buddha dengan kebudayaan China. Sebelum perkembangan agama Buddha di China, masyarakat China sangat dipengaruhi ajaran filsafat dari Khonghucu dan kepercayaan Taoisme, yang keduanya 6

merupakan

kebudayaan

asli setempat.

Khonghucu sangat menekankan

tata

cara

persembahyangan dan mengutamakan ajaran bakti. Dalam perkembangannya, agama Buddha menyesuaikan dengan menitikberatkan Sutra Bakti, sebagai pelengkap nilai-nilai budaya China. Segala tata cara dan upacara formal juga sangat ditekankan pada vihara-vihara Buddhis. Pada abad modern ini, agama Buddha mulai berkembang di negara-negara Barat. Banyak cendekiawan Barat yang tertarik dan berminat untuk mempelajari agama Buddha. Mereka, setelah belajar agama Buddha, menyatakan bahwa di dalam agama Buddha, mereka menemukan sesuatu yang logis dan ajaran bermanfaat sebagai pedoman bagi kehidupan mereka. Ternyata agama Buddha memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan cendekiawan Barat. Umat Buddha juga boleh berbangga hati dengan semakin diterimanya agama Buddha di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan sebagainya. Banyak pula ilmuwan Barat menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar agama Buddha tidak bertentangan bahkan sejalan dengan prinsip-prinsip ilmiah Sains modern. Dengan demikian, perkembangan dan kemajuan Buddhadharma di berbagai wilayah di belahan dunia di masa mendatang dapatlah diharapkan. Pecahnya Agama Buddha Semenjak Sang Buddha parinibbana (wafat) terdapat beberapa usaha untuk melestarikan ajaran Buddha. Diprakarsai oleh Maha Kassapa terbentuklah Sanghayana I yang berusaha melestarikan ajaran Buddha dengan mengulang kembali ajaran-ajaran Buddha melalui bhikkhu Ananda dan Bhikkhu Upali yang mengulang Dhamma dan Vinaya. Demikian seterusnya guna melestarikan Dhamma dan Vinaya dilakukan SanghayanaSanghayana yang lain. Pada Sanghayana ke dua terdapat permasalahan dimana bhikkhubhikkhu dari suku Vajji mengajukan 10 point peraturan yang berbeda sekali dengan yang telah ada. Hal ini terus berlanjut menjadi konflik yang akhirnya menimbulkan munculnya gerakan baru yaitu Mahayana sedang yang konservatif disebut hinayana. Tetapi ada yang mengatakan setelah terjadinya perdebatan itu masalah selesai dan masing-masing pihak menerimanya. Tidak terjadi sanghayana lain yang dilakukan oleh kelompok kontra konservatif. Terlepas dari semua histori kemunculan dua aliran besar yaitu hinayana dan Mahayana pada kenyataanya sekarang terdapat dua aliran besar yaitu Theravada dan Mahayana. Kedua aliran itu telah berkembang masing-masing dengan segala atributnya masing-masing. Keduanya telah memperkaya kompleksitas Buddhisme. Kedua aliran ini mempunyai persamaan karena berasal atau bersumber pada hal yang sama yaitu Buddha. Perlu dicatat bahwa tidak ada perbedaan mendasar di antara ajaran Mahayana dan Theravada. Hal ini bisa dicermati dari ajaran yang sama persis mengenai: 7

Diakuinya Buddha Sakyamuni sebagai Guru Empat Kesunyataan Mulia Delapan Jalan Tengah Buddha Mahayana Mahayana terdiri dari dua kata yakni maha (besar) dan yana (kendaraan), jadi secara etimologis berarti kendaraan besar. Ide maha merujuk pada tujuan religius seorang buddhis yaitu menjadi Bodhisatva Samasamboddhi (Buddha sempurna). Mahayana sifatnya lebih fleksibel sehingga ajarannya juga sesuai dengan kebudayaan di mana Mahayana berkembang. Bagi pengikut Mahayana diyakini, bahwa setiap umat Buddha hanya dapat mencapai Nirwana kalau mendapat bantuan orang suci yang telah mendahului mereka dan lelah menempati kedudukan baik di Nirwana tersebut. Menurut Buddha Gautama, kenikmatan Kesadaran Nirwana yang dicapainya di bawah pohon Bodhi tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha Mahayana khususnya merujuk pada banyak Buddha dan bodhisattva. Mahayana berkembang dan menyebar ke arah timur. Dari India ke Asia Tenggara, lalu ke Asia Tengah, Tiongkok, Korea, dan akhirnya Jepang.

Buddha Hinayana/Threvada Kata Hinayana bukanlah berasal dari bahasa Tibet, China, Inggris ataupun Bantu, tetapi berasal dari bahasa Pali dan Sansekerta. Hinayana terdiri dari hina (kecil) dan yana sering disebut sebagai kendaraan kecil karena bertujuan menjadi arahat maupun paccekabuddha yang dianggap lebih rendah (inferior). Istilah Hinayana sendiri sebenarnya

merupakan istilah yang diberikan oleh kaum Mahayana. Hinayana bersifat ortodoks, konservatif pada ajaran yang telah ada sehingga tampak kaku. Tradisi yang berkembang selama berabad-abad telah mengubah praktek sempit aliran Hinayana yang pada awalnya hanya ditujukan untuk bikhu. Hinayana menjadi aliran yang besar dengan dikenal oleh masyarakat. Para bikhuni terus menekuni ajaran guna mencapai tingkat arhat. Namun metode baru berkembang untuk umat awam dalam mempraktikkan ajaran agama Buddha, meskipun mereka tinggal bersama keluarga, memiliki harta, dan mengejar karir. Aliran Hinayana mengajarkan kepada pengikutnya untuk hidup sesuai ajaran, puas dengan apa yang diperoleh, dan hidup bahagia dengan janji bahwa mereka akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan dalam kehidupan selanjutnya. Perbedaan Buddha Hinayana dan Mahayana Mahayana menganggap Buddha Gotama adalah guru yang merupakan manifestasi dari proyeksi yang absolut, sedangkan dalam Theravada/Hinayana beliau dianggap sebagai manusia normal yang mempunyai kekuatan lebih. Mahayana memandang Buddha adalah transenden, mutlak, dan dipuja sangat tinggi dalam Hinayana Buddha dipuja layaknya seorang guru yang membimbing ke kesucian tidak dilebih-lebihkan. Hinayan percaya nibbana hanya dapat dicapai oleh usaha sendiri. Mahayana percaya bahwa nibbana dapat tercapai melalui bantuan orang luar. Menurut Hinayana Nibbana adalah tujuan tertinggi dari seseorang sedangkan Mahayana memandang kehidupan sebagai Bodhisatva adalah tujuan yang yang harus dilalui sebelum mencapai Kebuddhaan. Dalam hal bodhisatva Mahayana mengakui bahwa Bodhisatva telah mencapai penerangan sempurna seperti Avalokitesvara Bodhisatva, dalam Hinayana Bodhisatva adalah mahkluk calon Buddha yang masih menyempurnakan paramita untuk meraih penerangan sempurna. Agama Buddha di Indonesia Pada awal era masehi, orang-orang di berbagai belahan Asia Tenggara datang untuk mengetahui ajaran Buddha sebagai hasil dari meningkatnya hubungan dengan para pedagang India yang datang ke wilayah tersebut untuk berdagang. Pedagang ini tidak hanya berdagang di Asia Tenggara, tetapi juga membawa agama mereka dan budaya dengan mereka. Di bawah pengaruh mereka, orang-orang setempat mulai mengenal agama Buddha, tapi tetap mempertahankan keyakinan lama dan adat istiadat mereka. Sejak masuk di Semenanjung Indocina (sekarang bagian Asia Tenggara), Buddhisme mulai masuk di Birma, Siam (sekarang 9

Thailand), Vietnam, Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia Barat), dan kepulauan nusantara (sekarang Indonesia). 1. Ditemukan Prasasti dan Ruphang Buddha (Abad ke-4) Sebuah Prasasti berasal dari abad ke-4 dekat bukit meriam di kedah, sebuah lempengan batu berwarna ditemukan di satu puing rumah bata yang diperkirakan mungkin merupakan kamar Bhiksu Buddha. Lempengan batu itu berisi 2 syair Buddhist dalam Bahasa Sanskerta ditulis dengan huruf abjad Pallawa tertua. Buktibukti tertua dikatakan sekitar tahun 400 M., di Kalimantan Timur, di lembah-lembah Sungai Kapuas Mahakam dan Rata, terdapat tanda-tanda lain dari pengaruh India terlihat dalam bentuk patung Buddha dalam gaya Gupta. Sebelum abad ke-5, di Kedah Sulawesi, Jawa Timur dan Palembang, patungpatung Buddha gaya Amaravati ditemukan. Selain itu, sebuah kerajaan bernama Kanto-li juga disebut oleh orang-orang tionghoa. Tahun 502 seorang Raja Buddha telah memerintah di sana dan tahun 519 putra raja Vijayavarman mengirim utusan ke Tiongkok. Kerajaan ini diperkirakan berada di Sumatera. 2. Zaman kerajaan Ho-Ling Berdasarkan Berita Cina dari dinasti Tang disebutkan bahwa kerajaan ini terletak di Cho Po (Jawa). Mayoritas masyarakat Ho Ling memeluk agama Budha, sehingga kebudayaannya banyak dipengaruhi oleh agama Budha dan budaya India. Berdasarka berita dari I-Tsing menyebutkan bahwa seorang temannya yang bernama Hui Ning dengan pembantunya bernama Yunki pergi ke Ho- Ling tahun 664/665 M untuk memepelajari agama Budha dan menerjemahkan kitab suci Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina dengan dibantu oleh pendeta agama Budha dari Ho-ling yang bernama Janabhadra. 3. Keluarga Syailendra pada zaman Crivijaya (Sriwijaya). Sekilas asal mula peranan kehidupan Agama Buddha di Indonesia, dimulai pada zaman Crivijaya di pulau Suvarnadvipa (Sumatera) oleh keluarga Syailendra pada abad ke-7. Letak kerajaan Crivijaya di Sumatera Selatan mungkin sekali di Minangatamwan di daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri (sekitar Palembang). Catatan-catatan berharga berupa prasasti-prasasti bila dikumpulkan menunjukkan adanya kerajaan Buddha di Palembang. Prasasti-prasasti itu adalah : Prasasti yang tertua ialah Prasasti Kedukan Bukit (dekat Palembang) yang menceritakan perjalanan suci Dapunta Hyang berangkat dari Minangatamwan. Prasasti yang ke-2 ialah Prasasti Talang Tuo (dekat Palembang) yang 10

memperingati pembuatan taman Criksetra (taman umum) didirikan tahun 684 atas perintah Raja Dapunta Hyang Crijayanaca sebagai kebajikan Buddha untuk kemakmuran semua makhluk. Semua harapan dan doa dalam prasasti itu jelas sekali menunjukkan sifat Agama Buddha Mahayana. Prasasti yang ke-3 didapatkan di Telaga Batu tidak berangka tahun. Di Telaga Batu banyak didapatkan batu-batu yang bertuliskan Siddhayatra (=Perjalanan Suci yang berhasil) dan dari Bukit Siguntang di sebelah Barat Palembang ditemukan sebuah arca Buddha dari batu yang besar sekali berasal dari sekitar abad ke-6. Prasasti ke-4 dari Kotakapur (Bangka) dan yang ke-5 dari Karang Berahi (daerah Jambi hulu), keduanya berangka tahun 686 M. Prasasti lain yang dibuat tahun 775, ditemukan di Viengsa, semenanjung Melayu mengemukakan bahwa salah satu raja Sriwijaya dari keturunan Syailendra yang tidak cuma memerintah di selatan Sumatra tapi juga dibagian selatan semenanjung Melayu memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Buddha, Bodhisatwa Avalokitesvara dan Vajrapani. 4. I-Tsing dua kali datang ke Crivijaya. I-Tsing (634-713) seorang peziarah Buddha dari negeri Tiongkok yang terkenal dalam perjalanannya ke India pada tahun 671. Di Crivijaya sebelum pergi ke India ia belajar bahasa Sansekerta selama 6 bulan. Ini membuktikan betapa pentingnya Crivijaya sebagai pusat untuk mempelajari Agama Buddha Mahayana pada waktu itu. Tahun 685 I-Tsing setelah belajar selama 10 tahun di Universitas Buddha Nalanda di Benggala, ia kembali ke Crivijaya dan tinggal di sana sekitar 4 tahun untuk menterjemahkan teks Agama Buddha dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin. Ia juga mencatat Vinaya dari Sekte Sarvastivada. Tahun 689 karena keperluan mendesak akan alat-alat tulis dan pembantu, ia pulang ke Canton Selatan, kemudian ia kembali ke Crivijaya dengan 4 orang teman dan tinggal di sana untuk merampungkan memoirnya tentang Agama Buddha pada masanya. Memoir ini diselesaikan dan dikirim ke Tiongkok tahun 692, dan tahun 695 ia kembali ke Tiongkok. Pada saat yang bersamaan, sebanyak 41 bhiksu yang mahasiswa datang belajar Agama Buddha Mahayana di Crivijaya. Dalam bukunya dikatakan bahwa Biksu asli Jawa dan Sumatra adalah sarjana sanskrit yang sangat bagus. Salah saatunya adalah Jnanabhadra yang merupakan orang Jawa Asli yang tinggal di Sumatra dan bertindak sebagai guru bagi biksu China dan membantu menterjemahkan sutra kedalam bahasa China. Bahasa yang digunakan oleh 11

biksu Buddha adalah bahasa sanskrit. Bahasa pali tidak digunakan. Bagaimanapun hal ini tidak boleh dijadikan patokan bahwa agama Buddha yang berkembang disini adalah Mahayana. I-tsing menjelaskan dalam bukunya Agama Buddha dipeluk diseluruh negri ini dan kebanyakan sistem yang diadopsi adalah Hinayana, kecuali di Melayu dimana ada sedikit yang mengadopsi Mahayana. di Sumatra dan Jawa lebih berkembang Hinayana. I-tsing menceritakan bahwa di Melayu, ditengah-tengah pesisir timur Sumatra ada pula yang menganut Mahayana. Dari sumber lain dijelaskan bahwa sebelum kedatangan I-tsing, telah datang biksu dari India Dharmapala, ke Melayu dan menyebarkan aliran Mahayana. Dari berita I-tsing itu selanjutnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada waktu itu Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha. 5. Atisa (982-1054) di Crivijaya. Atisa, seorang bangsawan dari Benggala lahir tahun 982, datang ke Crivijaya untuk belajar filosofi dan logika Agama Buddha Mahayana selama 12 tahun di sini (1011-1023). Atisa berguru kepada Dharmakirti, pendeta tertinggi di Suvarnadvipa yang tergolong ahli terbesar pada zaman itu. Raja Dharmapala yang memerintah pada waktu itu memberikan sebuah Kitab Suci Agama Buddha kepada Atisa. Riwayat hidup Atisa di Tibet menyebut Sumatera sebagai pusat terbesar pada masa itu. 6. Keturunan Syailendra di Jawa. Pada tahun 775, ketika Batu Ligor ditemukan di Wat Semamuang. Batu Ligor itu mempunyai 2 muka, keduanya berisikan tulisan. Muka A berisi 10 syair Sansekerta yang memperingati pendirian tempat suci Agama Buddha Mahayana oleh Raja Crivijaya dan memakai tahun Caka yang sama dengan 15 April 775, ini menunjukkan perluasan kerajaan Crivijaya dan juga Agama Buddha Mahayana ke Semenanjung Melayu. Muka B Batu Ligor itu berisi tulisan yang belum selesai sebagai merayakan kemenangan seorang Raja bergelar Sri Maharaja, karena beliau dari keluarga Syailendra. Keluarga Syailendra memerintah Crivijaya pada pertengahan abad ke-9 terlihat di dalam sebuah maklumat yang dikeluarkan oleh seorang Raja Pala dari Benggala sekitar tahun 850, maklumat itu menyatakan penyerahan lima buah desa untuk sebuah Vihara yang dibangun di Nalanda oleh Bhalaputradewa 7. Kerajaan Kuno Mataram Kerajaan Kuno Mataram ada di Jawa Tengah dan Sanjaya sebagai rajanya sekarang disimpulkan sebagai Maharaja itu adalah Syailendra. Sanjaya adalah penganut Siva, raja dari kerajaan kuno Mataram. Sanjaya digantikan oleh Pancapana 12

Panangkaran yang memerintah pada tahun 778 digambarkan sebagai seorang Syailendra pada prasasti Kalasan ditulis dalam huruf pra-nagari dalam bahasa Sansekerta tahun 778. Pada tahun yang sama, 778, didirikan Candi Kalasan di sebelah timur Yogyakarta oleh Pancapana Panangkaran sebagai tempat suci bagi Dewi Tara dalam agama Buddha Mahayana yang telah bercampur dengan Tantrayana. Jelaslah sudah bahwa pengganti Sanjaya (beragama Hindu) adalah beragama Buddha Mahayana. Menilik candi-candi dari abad ke-8 dan ke-9 yang ada di Jawa Tengah Utara bersifat Hindu, sedangkan yang ada di Jawa Tengah Selatan bersifat Buddha. Pada pertengahan abad ke-8, Jawa Tengah uang berada di bawah kekuasaan rajaraja Dinasti Syailendra merupakan penganut Buddhisme. Mereka membangun berbagai monumen Buddha di Jawa, yang paling terkenal yaitu Candi Borobudur. Monumen ini selesai di bagian awal abad ke-9. 8. Kerajaan Majapahit (1293-1520). Puncak kejayaan masa agama Buddha di Indonesia adalah masa kerajaan Majapahit. Raden Wijaya mendirikan keratonnya di Majapahit, tempat markas besarnya di lembah kali Brantas, menjadi pendiri dinasti besar terakhir dalam sejarah jawa. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit pada zaman kedua kerajaan itu dapat dijadikan tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia. Sriwijaya dan Majapahit memenuhi persyaratan sebagai bangsa yang mempunyai negara karena berdaulat, bersatu, dan mempunyai wilayah Nusantara, dan bangsa Indonesia telah pernah mengalami masa kehidupan yang gemah-rimah loh-jinawi, tata-tentram, kerta-raharja. 9. Universitas Agama Buddha. Kita telah mengetahui bahwa di Zaman Sriwijaya di Palembang telah ada Universitas Agama Buddha yang bernilai internasional, I-Tsing pernah dua kali ke Palembang, juga 41 bhiksu semuanya mahasiswa datang belajar Agama Buddha Mahayana. Atisa dari Benggala juga datang ke Sriwijaya belajar filsafat dan logika Agama Buddha Mahayana selama 12 tahun. Di Jawa juga ada pendidikan Agama Buddha. Seorang sarjana dari Tiongkok bernama Hwui Ning pernah belajar disini selama tiga tahun (664-667), mahagurunya bernama Janabhadra. 10. Candi-candi Agama Buddha Mahayana Bekas-bekas peninggalan dari kejayaan dan kemashuran Agama Buddha Mahayana pernah ada di Indonesia ialah candi-candi antara lain : Mendut, Pawon, Borobudur, Sewu, Kalasan, Plaosan, Ngawen, Sari, Sojiwan, Lumbung, semua candi ini terdapat di Jawa Tengah bagian Selatan. Terdapat juga candi Muara Takus di Riau13

Sumatera, candi Gunung Tua di Tapanuli Selatan.

SEJARAH KLENTENG PAK KIK BIO HIAN THIAN SIANG TEE SURABAYA

Riwayat Singkat Pembangunan Klenteng Pak Kik Bio Hian Thian Siang Tee Surabaya Asal mulanya, membangun Pak Kik Bio adalah cita-cita penganut Tuan Gan Ban Kiem dari tahun 1935 karena ia menerima ilham kehikmatan dari Hian Thian Siang Tee Yang Maha Mulia. Untuk berterima kasih pada Yang Maha Mulia berwujud sebuah klenteng untuk memperingatinya. Berhubung pembangunan itu tak mungkin diselenggarakan oleh hanya seorang, maka dengan kurnia Yang Maha Mulia pada tahun 1942 telah datang seorang kawan setia dan seiya-sekata untuk bersama-sama membangun yaitu Tuan Kho Sien Tjing dan kemudian berdua berdoa agar pembangunan klenteng itu dapat mudah dilaksanakan. Pada tahun 1946 sewaktu Tuan Kho mengungsi di Tretes akibat adanya peperangan di negeri ini, ia memberitahukan dengan surat pada Tuan Gan, bahwa ia mempunyai sebidang tanah di Jalan Jagalan 74-76 yang rumahnya terbakar habis oleh api peperangan. Tuan Kho ingin mempersembahkan sebidang tanah itu kepada Hian Thian Siang Tee untuk klentengnya. Setelah menerima surat itu Tuan Gan bersembahyang kepada Hian Thian Siang Tee untuk menanyakan apakah Yang Maha Mulia setuju dengan pemberian tanah itu dan akhirnya oleh 14

Yang Maha Mulia dapat disetujui. Pada 1950 kabar tentang pembangunan dari klenteng itu juga dapat didengar oleh Tjhay Ko Yap Thiok Moy di Malang dan ia mengutus seseorang untuk memberitahukan bahwa ia ingin menyembahkan harta yang tidak sedikit jumlahnya untuk ikut serta mendirikan klenteng itu dengan memohon diterima sebagai pembantupengurus klenteng. Lantaran soal itu menyangkut khalayak umum, maka Tuan Gan menanyakan dengan pakpwee kepada Hian Thian Siang Tee apakah sekiranya Tjhay KoYap dapat dipilih sebagai pembantu-pengurus klenteng dan terselesaikan masalah tersebut dengan dijawab setuju. Kemudian oleh ingenieurs & aannemersbureau Han Soen Liong dibuatkan rencana untuk pembangunan itu dan pada tanggal 8 April 1951 setelah dapat izin dari kotapraja, pembangunan klenteng tersebut dapat dimulai oleh ingenieurs & aannemersbureau Han tersebut serta segala biayanya dipikul oleh Tuan Kho dan Tuan Gan serta Tjhay Ko Yap, sehingga tercapailah maksud tersebut. Ada peribahasa yang mengatakan : Hasrat yang mulia, Tuhan beserta..

Batu Marmer yang berisikan riwayat Klenteng Pak Kik Bio

15

Susunan Pengurus Perkumpulan Pak Kik Bio Hian Thian Siang Tee

Jabatan
Penasehat Harsono Harto Djunaidy

Nama

Ws. Siek Liang Khing Liem Ming Fee Ketua Umum Wakil Ketua Djoko Sutrisno M. Surya Adjie Ir. Budilistijo Suboko Haelambang Widji Penulis Bendahara Kepala Komisaris Koordinator sembahyang dan keagamaan Nanang Wiryanto I Soepadmogiri Ganiadi Enny Wilyani S. E. Benny Limanto S. E. Js. Denny Christoper Putong S. E. Js. Adi Broto Sudewo Michenko Sindunata Soepadmogiri Ganiadi Pikiati L. Budiono Megawati T. Yunitawati Koordinator kebersihan Chandra Christanto W. Honggara Oei Ing Siang Lo Siang Yen Hermawan Djaya Saputra Tio Hwie Kiong Koordinator kewanitaan Go Ping Kong Oh Mei Ling Sie Jiauw Lan Kwong Lai Tjin Go Siu Lian Ong Siu Fang Koordinator pemuda Liauw Kin Fong Hainess Pujianto 16

Koordinator pendidikan

Js. Denny Christoper Putong SE. Go Fee Mong Gunawan Yunitawati

Daftar Kegiatan Klenteng Pak Kik Bio Han Thian Siang Tee Minggu: Selasa Sabtu 19.30-22.00 WIB : Diskusi WIKA 16.00-19.00 WIB : Latihan Musik 08.00-09.00 WIB 09.30-11.00 WIB 16.00-19.00 WIB : Kebaktian Anak-Anak : Kebaktian Umum : Latihan Bulu Tangkis

Altar Altar Yang Ada Di Klenteng Pak Kik Bio Hian Thian Siang Tee

Aula Depan

Aula Belakang

Klenteng Pak Kik Bio mempunyai 2 aula persembahyangan di bangunan induk, satu di depan dan satu di belakang. Yang di depan hanya untuk 1 altar Xuan Tian Shang Di. Sementara yang di belakang ada 4 altar, yang terdiri dari 3 berjajar, untuk Guan Shi Yi Pu Sa (di tengah), dengan di sebelah kiri altar Di Zang Wang Pu Sa dan di sebelah kanan altar Yoo Wang Pu Sa, dan 1 Altar di hadapannya untuk Wei Tuo Pu Sa. 1. Xuan Tian Shang Di / Hian Thian Siang Tee Hian Thian Siang Tee adalah Sien Bing yang pemujaannya berdasarkan iman Ru Jiao (Konghucu) dan Dao Jiao (Taois); hal ini setidaknya berdasarkan : 17

Ru dan Jiao berakar sama dalam ketuhanan, hanya dibedakan dalam pendekatan dan orientasi penjabarannya.

Sejarah kedua agama ini berendeng terus bahkan sampai sekarang dan tumbuh di tempat dan kalangan yang sama pula.

Saripati makna & semangat imanai dalam pemujaannya erat berhubungan dengan keyakinan umat Ru dan Dao, hanya dalam cara mungkin tak sama.

Karenanya penganut / umat kedua agama ini sama bersembahyang padanya, walau pada kenyataannya menjadi tak terbatas meluas pada siapa saja yang percaya khususnya di masyarakat Tionghoa, tak lagi memandang agama yang mereka anut.

2.

Guan Shi Yi Pu Sa / Kwam She Im Po Sat Dewi Welas Asih Kwam Im adalah Sien Bing yang pemujaannya sangat merata di kalangan umat Klenteng khususnya umat Buddhis, walau pada kenyataannya (pada umumnya) orang Tionghoa rata-rata menyembahyangi Dewi Kwam Im karena kedekatannya dengan Sien Bing ini. Agama Buddha (asli) di India pada hakekatnya tak mengenalnya, kalaulah ada penyebutan Avalokite svara Boddhisava itupun gelar yang diberikan kepada Dewi Kwam Im dengan nama itu (Yang di India disandang oleh seorang Boddhisatva pria).

3.

Di Zang Wang Pu Sa / Tee Cong Ong Po Sat Dalam Agama Buddha di Tiongkok, Di Zang Wang Pu Sa beroleh gelar Ksitigarbha Boddhisatva yang artinya Boddhisatva yang berkenaan dengan semua hal ihwal yang terkandung dalam bumi, dan mememang pemujaannya selalu berhubungan dengan neraka yang dipercaya ada dalam dunia akhirat di perut bumi. Di Zang Wang Pu Sa disembahyangi merata di kalangan umat utamanya bila berhubungan dengan kematian dan perkabungan karena dipercaya Di Zang Wang Pu Sa akan menjadi pelindung para Roh ( sukma & arwah ) agarinsyaf dan sadar dari segalal laku perbuatan semasa hidupnya di dunia, dengan demikian bisa terbebas dari siksa nerak dan kembali pada kekelan-Nya.

4.

Yao Wang Pu Sa / Yok Ong Po Sat

18

Untuk sebutan Yao Wang Pu Sa, ada 2 Sien Bing yang bisa diasosiasikan dengan gelar tersebut. Mereka adalah : Yao Wang Da Di yang menurut catatan sejarah bernama Wei Ci Zang (dipercaya sebagai titisan Sien Bing) seorang menteri jaman pemerintahan Raja Zhang Zong ( Dinasti Tang); yang mempunyai karya besar dalam investigasi berbagai penyakit dan membuat katalog besar ramu-ramuan obat. Juga dipuja sebagai Dewa Pelindung pedagang obat & apoteker. Yao Wang yang bernama Sun Shi Miao, hidup pada masa akhir Dinasti Sui awal Dinasti Tang (581-682 M). Seorang jenius yang sudah menunjukkan bakatnya sejak umur 7 tahun dengan kemampuan menghafal ribuan huruf; seorang yang mempunyai karya besar dalam resep-resep obat berbagai penyakit, Qian Jin Yao Fang (Seribu Tali Resep Penting Obat Obatan) dan Qian Jin Yi Fang (Seribu Tali Resep), yang menjadi buku pengobatan paling lengkap dalam sejarah Tiojgkok. 5. Wei Tuo Pu Sa / Wei Tho Po Sat Sien bing ini juga mempunyai sejarah yang satu berasal dari Dewa Hindhu: Veda,yang satu berasal dari Buddha (India):Skanda, Sang Pelindung dari gangguan iblis. Sementara di Tiongkok Wei Tuo Pu Sa diceritakan sebagai Putra Raja Langit / Tian Wang yang menjabat komandan 31 jenderal langit di bawah Si Da Tian Wang / Soe Tay Thian Ong denngan gelar Hu Fa Pu Sa (Boddhisatva Pelindung Ajaran Buddha / Buddha Dharma sekaligus pelindung anggota Sangha dari gangguan Mara, si penggoda dan pendamai pertentangan antara sekte). Yang jelas Wei Tuo Pu Sa adalah seorang panglima perang yang mampu memenangkan beratus pertempuran tanpa membunuh lawan, inilah mengapa Wei Tuo Pu Sa dijuluki pengenap misi dengan jalan damai. Yang unik Wei Tuo Pu Sa adalah seorang Xian Dewa yang (juga) mendapat gelar Boddhisatva (karena diramalkan akan menjadi Buddha Rucika/ Buddha terakhir dari ribuan Buddha si jaman ini). Di samping sebagai Shen Ming yang bersama Qie Lan disebut sebagai Men Shen, penjaga kelenteng/kuil.

19

20

DAFTAR PUSTAKA Buku kenang kenangan 50 tahun Klenteng Pak Kik Bio Hian Thian Siang Tee 1951 - 2001 http://id.wikipedia.org/wiki/Mahayana http://ilmuagamabuddha.byethost12.com/berita-155-hinayan-dan-mahayana.html http://inzpirasikuw.blogspot.com/2010/12/aliran-buddha-mahayana-hinayana.html http://www.indoforum.org/t27037/ http://www.scribd.com/doc/31097065/Proses-Masuk-Dan-Berkembangnya-Pengaruh-AgamaHindu-Budha-Di-Indonesia

21

You might also like