You are on page 1of 43

ASMA BRONKHIALE

1 LATAR BELAKANG Asma merupakan suatu penyakit yang dapat mengenai pada anak-anak hingga dewasa dengan serangan yang sangat menakutkan tanpa mengenal waktu yang selalu membawa penderitaan bagi pasien dan asma dapat timbul karena kecemasan, kegiatan aktivitas yang berat, kelelahan, kurang tidur, infeksi pernafasan, obat-obatan dan alergen. Di negara-negara yang telah maju penelitiannya, diperkirakan 5% - 20% bayi dan anak-anak menderita asma. Sedangkan pada orang dewasa dan orang tua rata-rata berkisar antara 2% - 10%.(Sundaru H., hal-6, 1995). Penelitian yang pernah dilakukan dibeberapa tempat diperkirakan 2-5 % menderita asma. Insiden penyakit asma dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain : umur pasien, jenis kelamin, bakat alergi, bunga, keturunan, lingkungan dan faktor psikologi. Berbagai masalah yang ditimbulkan pada penyakit asma tergantung pada usia, pekerjaan dan fungsi klien dalam keluarga tersebut. Tingginya angka kekambuhan pada penderita asma sering memberikan dampak pada psikologis dan biologis pasien. Tingkat emosi yang labil dan adanya kecenderungan untuk menolak saran-saran dalam upaya mengeliminasi perilaku yang mendukung kesehatannya, merupakan salah satu respon psikologis pasien asma. Pada serangan asma pasien mengalami keterbatasan fungsi dalam memenuhi segala kebutuhan dasarnya. Dengan demikian perlu kiranya difikirkan tentang pola asuhan keperawatan yang mampu memenuhi keterbatasan fungsi tersebut tanpa menambah beban emosional klien akibat tindakan perawat baik selama serangan, maupun setelah serangan sehingga klien terhindar dari kekambuhan dan dapat berfungsi secara optiman. 2 DEFINISI ASMA BRONKHIALE Menurut Crocket (1997), Asma Bronkhiale didefinisikan sebagai suatu penyakit dari sistem pernafasan yang meliputi peradangan dari jalan nafas dan gejala-gejala bronkhospasme yang bersifat reversibel. Asma bronchiale menurut Americans Thoracic Society dikutip dari Barata Wijaya (1990) adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respons trakhea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan.

tim kmb ngudi waluyo

3 3.1

PATOFISIOLOGI Patofisiologi Asma Bronkhiale Alergenik Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan Alergen. Alergen yang masuk ke tubuh melalui saluran pernapasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkp oleh makrofaq yang bekerja sebagai Antigen Presenting Cells (APC). Setelah Alergrn diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut alergen dipresentasikan ke sel TH. Sel APC melalui penglepasan Interleukin I (IL-1) mengaktifkan sel TH, melalui penglepasan IL-2 oleh sel TH yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk Ig-E. Ig-E yang terbentuk diikat mastoit. yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi.Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk.Ig-E.Sel eosinofil, makrofaq dan trombosit juga memiliki reseptor untuk Ig-E tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastoit dan basofil dengan Ig-E pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala .Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke tubuh akan diikat oleh Ig-E yang sudah ada pada permukaan mastoit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil, Chemotactic Faktor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), Trypase dan Kinin.Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi bronkhus oleh histamin. Menurut konsep masa kini asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas (Samsuridjal & Bharatawidjaja, 1994; Sundaru, 1996) yang disertai kepekaan saluran napas terhadap rangsangan atau hiper reaksi bronkhus (Bronchial Hiper Responsivnees / BHR). Sifat peradangan pada asma khas yaitu adanya tanda-tanda peradangan saluran nafas disertai infiltrasi sel eosinofil. Hipereaktifitas bronkhus yaitu bronkhus yang mudah sekali mengkerut (Konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah

tim kmb ngudi waluyo

yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok/dapur, bau-bauan yang tajan dan lainnya baik yang berupa irutan maupun yang bukan irutan (Sundaru, H. hal. 27,1996).Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper reaktifitas bronkhus disebabkan oleh inflamasi bronkhus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkhus pasien asma bronkhiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajat berat penyakit.Di klinik adanya hiper reaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asma dianggap secara klinik sebagai penyakir bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkhus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran napas. Bronkhus pada pasien asma mengalami odema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asma bronkhiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus. Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (whezzing) dan batuk yang produktif. 3.2 Patofisiologi Asma Bronkhiale Non Alergenik Asma Bronkhiale Non Alergenik (Asma Intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olahraga atau kegiatan jasmani yang berat, serta stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan dari pada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkho konstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas. Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut

tim kmb ngudi waluyo

juga massenger kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenylcyclase tersebut diaktifkan dan akan menghasilkan ATP dalam sel menjadi 35 cyccyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkhus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit/basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkho konstriksi, hiper sekresi kelenjar mukus dan oedema kelenjar mukus bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (Baratawidjaja, 1990). 4 FAKTOR PENCETUS SERANGAN ASMA BRONKHIALE Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronkhiale atau sering disebut sebagai faktor pencetus adalah : 4.1 Alergen Alergen adalah zat-zat tertentu bila dihisap atau dimakan dapat menimbulkan serangan asma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus), spora jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya 4.2 Infeksi saluran nafas Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influensa merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma bronkhiale. Diperkirakan dua pertiga pasien asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran nafas.(Sundaru, 1991). 4.3 Stress psikologik Stress psikologik bukan sebagai penyebab asma tetapi sebagai pencetus asma, karena banyak orang yang mendapat Stress psikologik tetapi tidak menjadi penderita asma bronkhiale. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang agak labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak (Yunus, 1994). 4.4 Olah raga / kegiatan jasmani yang berat Sebagian penderita asma bronkhiale akan mendapatkan serangan asma bila melakukan olahraga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena

tim kmb ngudi waluyo

kegiatan jasmani (Exercise Induced Asthma / EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olahraga. 4.5 Obat-obatan Beberapapasien asma bronkhiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya. 4.6 Polusi udara Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik/kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran sulfur dioksida dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam. 4.7 Lingkungan kerja Diperkirakan 2 15% pasien asma bronkhiale pencetusnya adalah lingkungan kerja (Sundaru H., 1991). Beberapa zat yang didapat di tempat pekerjaan yang dapat mencetuskan serangan asma seperti pada tabel berikut : PENCETUS 1). Bulu dan serpih kulit binatang 2). Enzim bakteri subtilis 3). Debu kopi dan teh 4). Debu kapas 5). Toluen diisosianat 6). Debu gandum dan padi-padian LOKASI 1). Laboratorium hewan dan peternakan 2). Industri detergen 3). Pengolahan kopi dan teh 4). Industri tekstil 5). Industri plastik 6). Pabrik roti dan bongkar muat di gudang gandum dan padi-padian 7). Amoniak, sulfur dioksida, asam klorida, 7). Industri kimia dan perminyakan klorin 8). Garam platina 9). Ampisiln, spiramisin, piperasin. 4.8 Lain-lain Selain faktor-faktor tersebut di atas masih terdapat faktor-faktor yang mencetuskan serangan asma seperti lingkungan dan cuaca yang terlalu lembab, terlalu panas, terlalu dingin, bumbu masak (monosodium glutamat), bahan pengawet makanan (asam benzoat), zat pewarna kuning (tartarazin). Dan beberapa keadaan dapat memperberat serangan asma seperti sinusitis, rinitis dan regurgitasi asam lambung. 8). Pemurnian Platina 9). Industri Obat-obatan

tim kmb ngudi waluyo

MANIFESTASI KLINIS Selama serangan asma, klien mengalami dispnea dan tanda-tanda kesulitan pernapasan. Permulaan tanda-tanda serangan terdapat sensasi konstriksi dada (dada terasa berat), whezing, batuk non produktif, takhikardi dan takipnea. Beratnya asma dapat diklasifikasikan dalam : ringan, sedang dan berat tergantung gejala-gejala. Sistem skoring diberikan untuk mengklasifikasikan tersebut. Tabel Penilaian Keperahan Asma (Skoring) Gejala Penggunaan 4 3 2 Bronkhodilator > 4 x / hari 1 4 x / hari < tiap hari < per minggu tidak selama 3 bulan Variabilitas PEFR (APE) > 25 % 15 25 % 10 15 % 6 10 % <6% 4 3 2 1 0

Terjaga malam hari Gejala tiap hari Gejala < tiap hariperminggu

< tiap minggu atau waktu olah raga 1 Tidak ada serangan selama 3 bulan 0

Dikutip dari Assagaf H & Mukty A, 1995 Skore maksimum Asma ringan Asma sedang Asma berat Variabilitas PEFR % Harga PEFR tertinggi PEFR : Peak Expiratory Flow Rate APE 6. : Arus Puncak Ekspirasi : 12 :15 :68 : 9 12 : Harga PEFR tertinggi harga PEFR terendah X 100

MANAGEMEN MEDIS Episode asma akut (serangan asma) dapat termasuk kedaruratan medis. Intervensi medis untuk episode ini secara primer bertujuan : 1. Memelihara kepatenan jalan nafas dengan menurunkan bronkhospasme atau membersihkan sekret yang berlebihan atau yang tertahan. 2. 3. Memelihara keefektifan pertukaran gas Mencegah komplikasi seperti gagal nafas akut dan status

tim kmb ngudi waluyo

asmatikus Obat-obatan yang dipakai meliputi bronkhodilator dan anti inflamasi atau keduanya. Obat anti inflamasi meliputi : Kortikosteroid Sodium kromolin Anti inflamasi lainnya Obat bronkhodilator : a. Adrenergik : b. Epinefrin Efedrin Isoproterenol Beta adrenergik agonis selektif

Non Adrenergik : Teofilin Aminofilin

Perlu juga dibeirkan oksigen 2 4 liter/menit. 7 MANAGEMEN KEPERAWATAN Pengkajian : 1. Riwayat Keperawatan Perlu dikaji riwayat adanya pemaparan (pemajanan) faktor-faktor yang biasanya mencetuskan serangan asma bronkhiale. Dan perlu ditanyakan bagaimana kemampuan klien untuk menghindari faktor pencetus tersebut, ataukah klien sudah mengetahui beberapa faktor pencetus tersebut. 2. Keluhan Utama Keluhan utama klien adalah sesak napas, setelah terpapar oleh alergen atau faktor lain yang mencetuskan serangan asma bronkhiale. 3. Pemeriksaan Fisik : a. Sistem pernafasan Peningkatan frekuensi pernafasan, susah bernafas, perpendekan periode inspirasi. Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi sternum,

pengangkatan bahu waktu bernafas). Pernafasan cuping hidung.

tim kmb ngudi waluyo

Adanya mengi yang terdengar tanpa stetoskop. Bunyi nafas : whezzing, pemanjangan ekspirasi. Batuk keras, kering dan akhirnya batuk produktif.

b. Sistem Kardiovaskuler Takhikardia Tensi meningkat Pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah > 10 mmHg pada waktu inspirasi) Sianosis Dehidrasi Diaforesis

c. Psikososial Peningkatan ansietas : takut mati, takut menderita, panik, gelisah

4. Pemeriksaan penunjang : a. Darah : Kadar IgE meningkat dan eosinophil meningkat b. Gas darah arteri : Penurunan PaO2 dan PaCO2 namun selanjutnya PaCO2 meningkat sesuai dengan meningkatnya tekanan jalan nafas c. Faal Paru : Menurunnya FEV1 d. Tes kulit : Untuk menentukan jenis alergen. Diagnose Keperawatan dan Rencana Intervensi : 1. Ketidak efektifan pola napas sehubungan dengan gangguan ekspirasi dan ansietas Tujuan : Klien mampu menunjukkan pola pernafasan yang normal Ditandai : a. b. nafas. c. d. Analisa gas darah dalam batas normal Vital capacity dalam batas normal Penurunan frekuensi pernapasan sampai kebatas normal Penurunan tanda dari sesak nafas, dan penurunan otot bantu

Rencana Intervensi : a. Kaji kembali dan observasi frekuensi pernafasan, kedalaman pernapasan dan adanya tanda-tanda sesak nafas. b. Monitor nilai analisa gas darah untuk mengetahui keefektifan pengobatan c. Baringkan pasien dalam posisi fowlers untuk meminimalkan kerja tim kmb ngudi waluyo

ekspansi dada. d. Berikan Oksigen pernasal sesuai order dokter. e. Lakukan kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat-obatan : Kortikosteroid Bronkhodilator Antihistamin

2. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas sehubungan dengan peningkatan produksi sekret. Tujuan : Klien akan menunjkkan keefektifan jalan nafas/klien mampu mempertahankan jalan napas yang paten. Ditandai : a. Penurunan whezzing dan ronchi b. Kecepatan dan kedalaman pernafasan normal c. Tak ada dispenia, sianosis d. Analisa gas darah dalam batas normal e. Penurunan batuk kering/non produktif Rencana intervensi : a. Kaji suara nafas tiap jam selama episode akut untuk menilai keadekuatan pertukaran gas. b. Jika memungkinkan lakukan suction c. Monitor warna dan konsistensi sputum karena asma sering sebagai akibat infeksi saluran nafas atas. d. Kaji keefektifan batuk klien, anjurkan untuk batuk efektif. e. Tingkatkan intake cairan untuk mencegah sekret yang kental, untuk mengembalikan cairan yang hilang akibat respirasi yang cepat. f. Berikan humidifier untuk mengencerkan dahak. g. Jika sekret kental dan sulit dikeluarkan, lakukan fisioterapi dada : Perkusi dan vibrasi. h. Berikan perawatan mulut, setiap 2 4 jam, untuk menghilangkan rasa tidak enak akibat dari sekret. i. Lakukan order dokter dalam pemberian expectoran. 3. Ansietas sehubungan dengan kesulitan bernafas, takut menderita, dan atau takut serangan berulang.

tim kmb ngudi waluyo

Tujuan : Klien mendemonstrasikan penurunan rasa takut dan ansietas Ditandai : a. Ekspresi wajah relaks b. Mengungkapkan perasaan cemas berkurang c. Tanda vital dalam batas normal Rencana intervensi : a. Kaji tingkat ansietas (ringan, sedang, berat) b. Kaji kebiasaan ketrampilan koping c. Berikan dukungan emosional : Tetap berada di dekat pasien selama serangan akut Antisipasi kebutuhan pasien Berikan keyakinan yang menenangkan

d. Implementasikan teknik relaksasi e. Kegiatan sehari-hari yang ringan dan sederhana f. Jangan berbicara bila sedang dispnea berat 4 Potensial terjadi kekambuhan serangan asma Tujuan : Mencegah terjadinya kekambuhan Rencana intervensi Berikan penyuluhan tentang usaha pencegahan serangan asma,yaitu : a. Menjaga kesehatan dengan cara makan makanan yang bergizi, istirahat cukup, minum banyak, rekreasi dan olahraga yang sesuai. b. Menjaga kesehatan lingkungan, dengan cara membersihkan rumah, ruangan, kamar tidur dan menghindari tempat lembab. c. Menghindari faktor pencetus. d. Menggunakan obat-obatan anti asma. Peran peraat di sini yaitu mengajarkan cara menggunakan obat anti asma sesuai dengan aturan pakai. e. Lain-lain (Meditasi). Evaluasi : Tujuan yang telah direncanakan harus dievaluasi. Revisi dari rencana keperawatan mungkin diperlukan. Pada asma bronkhiale dapat kembali (sembuh) dengan mudah jika tidak terdapat masalah lain seperti infeksi.

tim kmb ngudi waluyo

10

KERANGKA KONSEPTUAL Faktor Pencetus Stressor Perawat / keperawatan

Klien Asma Emosi labil. Perilaku sehat yang menurun. Keterbatasan Pola Asuhan Keperawatan Adaptasi. Terpenuhi kebutuhan dasarnya. Perubahan perilaku yang Stressor +

KESIMPULAN Asma timbul karena beberapa faktor pencetus dengan serangan yang sangat menakutkan dan cenderung mengakibatkan kekambuhan.Keadaan ini menimbulkan beberapa dampak antara lain : 1. Emosi yang labil. 2. Perilaku sehat yang menurun. 3. Keterbatasan fungsi tubuh. Dalam hal ini perawat mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengatasi dan mencegah timbulnya serangan asma. Asuhan keperawatan yang diberikan akan membantu klien memenuhi

tim kmb ngudi waluyo

11

kebutuhan dasarnya dan menghindarkan diri dari kekambuhan sehingga dapat berfungsi secara optimal.

tim kmb ngudi waluyo

12

DAFTAR PUSTAKA Anes, SW. (1998). Essentials of Adult Health Nursing. Menlo Park. California. Baratawidjaja, G. K. (1990). Asma Bronkhiale.Dalam Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid II. FKUI. Jakarta. Black. JM and Ester MJ (1997). Medical Surgical Nursing.Vol. 2, W. B. Saunders Company. Philadelphia. Engram,B. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan medical bedah. Vol 1. EGC. Jakarta. Fax ,SI and Graw ,M (1999). Human Physiology. Hill Companies. Nort America. Gibson, JM. (1998). Mikrobiologi dan Patologi Modern untuk Jakarta. Kaliner, MA. (1991). Astma its Pathology and Treatment. Vol. 49, National Institutes of Health Bethesda, Maryland. Kontaraf, J. (1992). Olah Raga Sumber Kesehatan. Advent. Bandung. Sundaru H. (1995). Asma : Apa dan Bagaimana Pengobatannya. FKUI. Jakarta. perawat. EGC.

tim kmb ngudi waluyo

13

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ASMA PENGERTIAN Penyakit pada bronkus dengan karakteristik bronkospasme ( Black, 1997). Etiologi dan Faktor Resiko Faktor lingkungan Infeksi virus Allergens pollutan Faktor dari dalam (predisposisi) Stress, laughing, crying Exercise (latihan) Perubahan temperatur Bau yang menyengat Patofisiologi Asma merupakan proses peradangan kronik yang menyebabkan edema mukosa, sekresi mukus, peradangan saluran pernapasan. Ketika seseorang dengan asma terpapar allergen ekstrinsik dan iritan (seperti debu, serbuk, asap rokok, jamur, obat, makanan), saluran pernapasan menjadi terinflamasi, menyebabkan napas pendek, sesak napas, daqn wheezing. Manifestasi klinik awal ( Reaksi fase awal) terjadi segera + 1 jam. Pada saat klien kontak dengan allergen, Ig E dihasilkan oleh limfosit B. Antibodi Ig E menempel pada sel mast dan basofil pada dinding bronkus. Sel mast melepaskan mediator kimia peradangan seperti histamin, Bradikinin, prosraglandin dan SRS-A (slow reacting subsctance of anaphylaxis). Substansi ini menyebabkan dilatasi kapiler yang menyebabkan edema pada saluran pernapasan sebagai usaha untuk mencairkan allergen dan membersihkannya dari saluran pernapasan. Substansi ini juga menyebabkan konstriksi saluran pernapasan untuk menutup airway guna mencegah terhirupnya allergen lebih banyak lagi. Pada sebagian

tim kmb ngudi waluyo

14

klien dengan asma mengalami Reaksi yang terlambat. Walaupun gejala pada fase ini sama dengan gejala awal, gejala tidak muncul sampai 2-8 jam setelah terpapar allergen dan munkin sampai berjam-jam atau bahkan 1 hari. Pada kedua fase, pelepasan mediator kimia menyebabkan respon airway. Walaupun pada Reaksi fase yang terlambat, mediator menarik sel-sel yang terinflamasi yang lain dan menimbulkan obstruksi dan inflamasi yang terus-menerus. Inflamasi yang kronik ini menghasilkan hiperresponsif dari saluran pernapasan. Hal ini menyebabkan episode respon yang berikutnya dimana tidak hanya antigen yang spesifik tetapi juga merangsang pengerahan tenaga atau pernapasan sehingga manifestasi kliniknya mungkin terjadi peningkatan frekuensi dan kegawatan. Reseptor adrenergik alpha dan beta pada sistem saraf Simpatis ditemukan di bronkus. Hal ini menyebabkan bronkokonstriksi. Sebaliknya stimulasi reseptor adrenergik beta menyebabkan bronkodilatasi. AMP menyeimbangkan 2 reseptor. Beberapa teori menyarankan bahwa asma mungkin kekurangan Stimulasi adrenergik. Jika klien mengalami serangan asma dan tidak ada pengobatan yang dekat, serangan kadang bisa dikurangi dengan pernapasan bibir. Kafein juga dapat digunakan untuk menghentikan serangan asma, tetapi keefektivannya belum terbukti. Manifestasi Klinik 1. Dyspnea 2. Penggunaan otot bantu pernapasan 3. Cyanosis 4. Wheezing terutama saat ekspirasi 5. Batuk Pemeriksaan Diagnostik Spirometer : FR, FEV1, dan FVC menurun Kapasitas residu, TLC, volume residu meningkat Nadi oksimetri : saturasi oksigen rendah Analisa Gas Darah (AGD/BGA) berubah selama serangan. Penatalaksanaan Emergency Care Mempertahankan kepatenan jalan napas dengan mengurangi bronkospasme

tim kmb ngudi waluyo

15

dan membersihan produksi secret yang berlebih. Mempertahankan Pertukaran gas yang efektif. Mencegah komplikasi seperti gagal napas akut dan status asmatikus. Inhaler beta-adrenergik Beta-adrenergik merupakan bronkodilator yang merangsang reseptor beta-adrenergik dan memperlebar airway. Jika asma tidak berkurang berikan sulfat atropine nebulizer. Theophyline IV atau steroids IV. Atropin merupakan antikolinergik dan memblok efek sistem Parasimpatis. Ketika nervus vagus terstimuli, tonus otot halus bronkus meningkat. Theophylline merupakan relaxan otot halus. Sedangkan steroid mencegah sel mast dari kerusakan, dengan demikian mengurangi edema dan spasme. Jika pengobatan ini tidak mengurangi gejala, klien disarankan dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut. Penatalaksanaan Medis Dilator bronchial Steroid Oksigen jika PaO2 di bawah 60 mmHg Monitor manifestasi klinis terhadap peningkatan anxiety, peningkatan kerja pernapasan, dan indikasi kelelahan. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis mungkin diperlukan Sedasi (paralytic agents) diperlukan untuk blunt usaha pernapasan dan mencegah udara terperangkap lebih lanjut dan meningkatkan tekanan. Status asmatikus diobati dengan kortikosteroid IV dan pemberian betaadrenergik inhaler untuk menghindari intubasi dan ventilasi Mekanik. Sesudah serangan asma akut teratasi, klien dikaji untuk mengetahui peristiwa pencetus atau factor pencetus dan dilatih dalam aktivitas perawatan diri. Steroid biasanya dihentikan karena menyebabkan supresi adrenal akibat pengobatan steroid. Penatalaksanan Keperawatan Kaji tanda klinik terhadap distress pernapasan Emergency care jika ada distress pernapasan Pastikan apakah klien memiliki riwayat penyakit jantung, karena beta

tim kmb ngudi waluyo

16

adrenergik dapat menyebabkan takikardi dan stress pada jantung. Kaji riwayat asma Kaji klien untuk memastikan/menentukan jika ada pola manifestasi untuk membantu mengidentifikasi yang mencetuskan gejala asma. Jika yang mencetuskan factor ekstrinsik dapat teridentifikasi ada kemungkinan untuk mengurangi/menghindari faktor tersebut. Contoh : jika klien alergi terhadap asap, maka asap dapat dihindari. Tanya tentang pengobatan sekarang khususnya untuk mengobati penyakit yang lain. Beberapa klien kurang hati-hati dalam mengkonsumsi obat untuk mengurangi bronkospasme. Contoh : Propanolol (beta blocker) yang diresepkan untuk Hipertensi dapat menyebabkan bronkospasme. Psikososial. Tanya kemampuan klien untuk mengatasi asma dan adaptasi merekan terhadap penyakit. Penolakan terhadap penyakit dapat mengganggu pengobatan awal. Ini penting untuk memastikan apakah klien mampu mengatasi penyakit. Deteksi apakah klien mengalami peningkatan jumlah stressor. Gaya hidup penuh stress dapat membuat lebih buruk gejala asma. Kaji perilaku keluarga. Keluarga dapat menjadi support terbesar dan membantu klien dalam mengenal gejala awal. Sebaliknya tidak adanya support keluarga menyebabkan denial dan menambah sumber stress klien. Klien yang baru terdiagnosa asma, dikaji tentang lingkungan rumah dan kerja yang dapat mencetuskan gejala klinik asma. Kemudian adanya binatang kesayangan yang berbulu, asap rokok dll yang merupakan allergen.

Diagnosa Keperawatan, Planning dan Implementasi Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan gangguan pernapasan dan anxiety. Spasme saluran pernapasan dan edema menyebabkan udara tidak dapat masuk dan keluar dari paru-paru. Planning : Kriteria hasil : Klien dapat memperbaiki pola pernapasan ditandai dengan : a. Penurunan RR dalam batas normal b. Sesak berkurang, penurunan penggunaan otot bantu pernapasan,

tim kmb ngudi waluyo

17

penurunan pernapasan cuping hidung. c. Penurunan cemas d. Nilai BGA kembali ke batas normal e. SaO2 > 95 % f. Vital Capacity dalam batas normal/ > 40 % Intervensi : a. Kaji RR dan kedalaman pernapasan lebih sering b. Kaji pola napas adanya napas pendek, pernapasan bibir, cuping hidung, retraksi sternal dan interkosta. c. Monitor BGA dan saturasi oksigen untuk memastikan efektifnya pengobatan. d. Posisikan klien Fowler e. Berikan oksigen sesuai indikasi f. Kolaborasi pemberian bronkodilator dan steroid Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret dan bronkospasme. Produksi mukus berlebih dan spasme saluran pernapasan menyebabkan kesulitan menjaga kepatenan jalan napas Planning : Kriteria hasil : Klien memiliki bersihan jalan napas efektif ditandai dengan : a. Wheezing berkurang b. Ronchi berkurang c. Batuk produktif Intervensi : a. Lakukan suction jika jalan napas membahayakan b. Monitor warna dan konsistensi sputum c. Kaji kemampuan klien untuk batuk efektif d. Ukur cairan oral untuk mengencerkan secret dan mengganti cairan yang hilang melalui pernapasan yang cepat e. Postural drainage, Perkusi paru dan Vibrasi dan alih posisi lebih sering jika secret kental dan sulit dikeluarkan. f. Berikan perawatan oral tiap 2-4 jam untuk menghilangkan bau sekret

tim kmb ngudi waluyo

18

Gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan udara terjebak (air tripping) Jika udara terjebak dalam alveoli maka akan menyebabkan hipoksia. Planning : Kriteria Hasil : Klien mempunyai Pertukaran gas yang adekuat ditandai dengan : a. Wheezing berkurang b. Ronchi berkurang c. Pa O2 > 60 mmHg d. PaCO2 (Partial pressure of arterial carbon dioxide) < 45 mmHg e. PH 7.35 7.45 f. Tidak ada cyanosis g. Batuk kering berkurang, klien dapat batuk efektif Intervensi : a. Kaji suara paru tiap jam selama episode akut untuk memastikan kecukupan pertukaran gas. b. Kaji kulit dan warna membran mukosa terhadap cyanosis. Ingat bahwa cyanosis merupakan manifestasi dan indikasi masalah ertukaran gas yang serius. c. Monitor nadi oksimetri terhadap saturasi oksigen. d. Berikan oksigen sesuai indikasi. Diagnosa keperawatan lain : 1. 2. 3. 4. Intoleransi aktivitas Cemas Gangguan nutrisi Gangguan pola tidur

BAB II

tim kmb ngudi waluyo

19

TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep dasar 1. Pengertian a. Asthma Bronkiale Asthma Bronkiale merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya respon yang berlebihan dari trakea dan bronkus terhadap bebagai macam rangsangan, yang mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang tersebar luas diseluruh paru dan derajatnya dapat berubah secara sepontan atau setelah mendapat pengobatan,(Tjen Daniel, 1991). b. Status Astmatikus Status Asthmatikus merupakan serangan asthma berat yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan konvensional dan merupakan keadaan darurat medik ,bila tidak diatasi dengan cepat akan terjadi gagal pernafasan, (Aryanto Suwondo, karnen B. Baratawidjaja, 1995). Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Masalah a. Anatomi Dan Fisiologi Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen kedalam tubuh. Serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi (Lorraine M.wilson,1995). Secara garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona konduksi yang dimulai dari hidung, faring, laring,trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis dan berakir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveulus terminalis (N.L.G.Yasmin, 1995 dan Syaifuddin,1997). Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epiotel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel goblet.Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang sisekresi sel goblet dan kelenjar serosa.

tim kmb ngudi waluyo

20

Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan pembulu darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu,bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembapanya mencapai 100% (Lorraine M. Wilson, 1995). Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring dan laringofaring. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat follikel getah bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan kanan dari tekak, (Syaifuddin,1997). Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya (Syaifuddin,1997). Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Pada saat menelan, gerakan laring keatas, penutupan dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih bisa melampaui glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan membantu merngeluarkan benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah, (Larroin M.W, 1995). Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk seperti kuku kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan diantara kartilago satu dengan yang lain dihubaungkan oleh jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar(sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukusa, (Syaifuddin,1997). Bronkus merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yamg

tim kmb ngudi waluyo

21

terdapat pada ketinggian vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk dirangsang . Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang,(Syaifuddin,1997). Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran uadara ,mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung lebih banyak sel goblet dan otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh nervus vagus, (Lorraine M. Wilson,1995). Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru , yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru. (Lorraine M.Wilson,1995 ). Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga proses yang terjadi. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan yang tianggi ke tekanan yang rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan menurunan tekanan intra pleura dari 4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi sekita 8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun 2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir kedalam paru sampai tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi

tim kmb ngudi waluyo

22

tekanan intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil sehingga udara mengalir keluar paru,(Lorraine M. Wilson,1995). Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggai tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli. Akibatnya karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli,(John Gibson,1995). Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan melalui transpor aliran darah. Oksigen dapat masik ke jaringan melalui dua jalan : pertama secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi berikata dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin, sedangkan karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat, natrium bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah. Satu gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1 ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa O2 = 100% ),bila darah teroksigenasi mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah masuk ke cairan jaringan karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida dalam jaringan lebih besar dari pada tekanan dalam darah maka karbondioksida mengalir dari cairan (Lorraine M.Wilson, 1995). Fungsi sebagain pengaturan keseimbangan asam basa : pH darah yang normal berkisar 7,35 7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0 7,45. Pada peninggian CO2 baik karena kegagalan fungsi maupun tambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak dikompensasi oleh paru menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah keadaan terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang jaringan kedalam darah

tim kmb ngudi waluyo

23

diproduksi oleh jaringan lebih banyak dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius adalah suatu keadaan Pa CO2 turun akibat hiper ventilasi, (Hudak dan Gallo,1997 ). b. Patofisiologi Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap

tim kmb ngudi waluyo

24

yangsangat lanjut, (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995 ) Berdasarkan etiologinya, asthma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu asthma intrinsik dan asthma ektrinsik. Asthma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik yang dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain. Sedangkan asthma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang bersifat sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan cuaca, aktifitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik lain. ( Antoni C, 1997 dan Tjen Daniel, 1991 ). Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak nafas, berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing ). Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita tampak pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya suara nafas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk,pernafasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan tinggi karena asfiksia, ( Tjen daniel,1991 ). c. Penatalaksanaan Pengobatan asthma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non farmakologik dan pengobatan farmakologik. 1. Penobatan non farmakologik a) Penyuluhan Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan.

tim kmb ngudi waluyo

25

b) Menghindari faktor pencetus Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari c) Fisioterapi Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi dada. 2. Pengobatan farmakologik a) Agonis beta Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol ( Alupent, metrapel ). b) Metil Xantin Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali sehari. c) Kortikosteroid Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol ( beclometason dipropinate ) dengan disis 800 empat kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat. d) Kromolin Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anakanak. Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari. e) Ketotifen Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari. Keuntunganya dapat diberikan secara oral. f) Iprutropioum bromide (Atroven) dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang cukup bagi klien.

tim kmb ngudi waluyo

26

Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan bersifat bronkodilator. (Evelin dan joyce L. kee, 1994 ; Karnen baratawijaja, 1994 ) 3. Pengobatan selama serangan status asthmatikus a) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam b) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul c) Aminophilin bolus 5 mg / kg bb diberikan pelan-pelan selama 20 menit dilanjutka drip Rlatau D5 mentenence (20 tetes/menit) dengan dosis 20 mg/kg bb/24 jam. d) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan. e) Dexamatason 10-20 mg/6jam secara intra vena. f) Antibiotik spektrum luas. (Pedoman penatalaksanaan status asthmatikus UPF paru RSUD Dr Soetomo Surabaya ). Dampak masalah a. Pada klien Penderita asthma harus merubah gaya hidup sehari-hari untuk menghindari faktor pencetus. Perubahan ini dimulai dari lingkungan hidup sanpai dengan lingkungan kerja. Pada klien dengan serangan asthma, maka terjadi penurunan nafsu makan, minum sehingga mempengarui status nutrisi klien. Dalam istirahat klien sangat terganggu sehingga dapat menyebabkan kelelahan. Adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan penyediaan oksigen mempengarui toleransi dalam melakukan aktivitas, kelelahan cepat lelah dan ketidak mampuan memenuhi ADL. Klien dapat tumbuh dan berkembang menjadi rendah diri, merasa tidak mampu, berkepribadian labil,mudah tersinggung,gelisah dan cemas. Adanya keterbatasan aktifitas, klien lebih tergantung pada orang lain, terkadang klien tidak dapat berperan sesuai dengan peranya, (Antony C. 1997 ; Tjen daniel, 1991). b. Pada keluarga Melihat kondisi klien dengan gejala asthma dan dirawat dirumah sakit, tentang penyebab, prognosa penyakit dan keberhasilan dari terapi, akan menimbulkan kecemasan pada keluarga. Perlunya klien dirawat dirumahsakit menimbulkan respon kehilangan pada keluarga yang ditinggalkan. Peran klien dalam keluarga sebagai sumber ekonomi akan

tim kmb ngudi waluyo

27

terganggu karena klien tidak bisa masuk kerja serta perawatan dan biaya rumah sakit yang tidak sedikit akan menjadi beban bagi keluarga.

tim kmb ngudi waluyo

28

B. Asuhan Keperawatan Asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga, atau masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang, optimal didalam memberikan asuhan keperawatan dugunakan metode proses keperawatan yang meliputi:pengkajian, diagnosa keperawatanm, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. 1. Pengkajian a. Pengumpulan data. 1) Identitas klien. Pengajian mengenai nama, umur danjenis kelamin perlu di kaji pada penyakit status asthmatikus. Serangan asthma pada usia dini memberikan implikasi bahwa sangat mungkin terdapat status atopi. Sedangkan serangan pada usia dewasa di mingkinkan adanya faktor non atopi. Alamat menggambarkan kondisi lingkungan tempat klien berada, dapat mengetahui kemungkinan faktor pencetus serangan asthma. Status perkawinan, gangguan emosional yang timbul dalam keluarga atau lingkungan merupakan faktor pencetus serangan asthma, pekerjaan, serta bangsa perlu juga digaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan elergen. Hal lain yang perlu dikaji tentang : Tanggal MRS, Nomor Rekam Medik, dan Diagnosa medis. (Antony C, 1997; M Amin 1993; karnen B 1994). 2) Riwayat penyakit sekarang. Klien dengan serangan asthma datang mencari pertolongan dengan keluhan, terutama sesak napas yang hebat dan mendadak kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain yaitu : Wheezing, Penggunaan otot bantu pernapasan, Kelelahan, gangguan kesadaran, Sianosis serta perubahan tekanan darah. Perlu juga dikaji kondisi awal terjadinya serangan. 3) Riwayat penyakit dahulu. Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti infeksi saluran napas atas, sakit tenggorokan, amandel, sinusitis, polip hidung. Riwayat serangan asthma frekuensi, waktu, alergen-alergen yang dicurigai sebagai pencetus serangan serta riwayat pengobatan yang dilakukan untuk meringankan gejala asthma (Tjen Daniel, 1991) 4) Riwayat kesehatan keluarga. Pada klien dengan serangan status asthmatikus perlu dikaji

tim kmb ngudi waluyo

29

tentang riwayat penyakit asthma atau penyakit alergi yang lain pada anggota keluarganya karena hipersensitifitas pada penyakit asthma ini lebih ditentukan oleh faktor genetik oleh lingkungan, (Hood Alsagaf, 1993). 5) Riwayat spikososial Gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu pencetus bagi serangan asthma baik ganguan itu berasal dari rumah tangga, lingkungan sekitar sampai lingkungan kerja. Seorang yang punya beban hidup yang berat berpotensial terjadi serangan asthma. yatim piatu, ketidak harmonisan hubungan dengan orang lain sampai ketakutan tidak bisa menjalankan peranan seperti semula, (Antony Croket, 1997 dan Tjen Daniel, 1991). 6) Pola fungsi kesehatan a) Pola resepsi dan tata laksana hidup sehat Gejala asthma dapat membatasi manusia untuk berprilaku hidup normal sehingga klien dengan asthma harus merubah gaya hidupnya sesuai kondisi yang memungkinkan tidak terjadi serangan asthma (Antony Crokett ;1997, Tjien Daniel ;1991, Karnen B;1994) b) Pola nutrisi dan metabolisme Perlu dikaji tentang status nutrisi klien meliputi, jumlah, frekuensi, dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Serta pada klien sesak, potensial sekali terjadinya kekurangan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi, hal ini karena dipsnea saat makan, laju metabolisme (Hudak dan Gallo;1997). c) Pola eliminasi Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna bentuk, kosentrasi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam melaksanakannya. d) Pola tidur dan istirahat Perlu dikaji tentang bagaimana tidur dan istirahat klien meliputi berapa lama klien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan yang dialami klien. Adanya wheezing, sesak dan serta ansietas yang dialami klien,

tim kmb ngudi waluyo

30

ortopnea dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat klien, ( Antony C;1997) e) Pola aktifitas dan latihan Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian klien seperti olah raga, bekerja dan aktifitas lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi faktor pencetus terjadinya asthma yang disebut dengan Exerase Induced Asthma, (Tjien Daniel;1991) f) Pola hubungan dan peran Gejala asthma sangat membatasi gejala klien untuk menjalani kehidupan secara normal. Klien perlu menyesuaikan kondisinya dengan hubungan dan peran klien baik dilingkungan rumah tangga, masyarakat ataupun lingkungan kerja, (Antony C, 1997) g) Pola persepsi dan konsep diri Perlu dikaji tentang persepsi klien tarhadap penyakitnya. Persepsi yang salah dapt menghambat respon kooperatif pada diri klien. Cara memandang diri yang salah juga akan menjadi stresor dalam kehidupan klien. Semakin banyak stresor yang ada pada kehidupan klien dengan asthma meningkatkan kemungkinan serangan asthma yang berulang. h) Pola sensori dan kognetif Kelainan pada pola persepsi dan kognetif akan memepengaruhi konsep diri klien dan akhirnya mempengaruhi jumlah stresor yang dialami klien sehingga kemungkinan terjadi serangan asthma yang berulangpun akan semakin tinggi. i) Pola reproduksi seksual Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan klien. Masalah ini akan menjadi stressor yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan asthma. j) Pola penangulangan stress Stress dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus serangan asthma maka perlu dikaji penyebab terjadinya stres. Frekuensi dan pengaruh terhadap kehidupan klien serta cara penanggulangan terhadap stresor, (Tjien Daniel;1991) k) Pola tata nilai dan kepercayaan Kedekatan klien pada sesuatu yang ia yakini dunia percayai

tim kmb ngudi waluyo

31

dapat meningkatkan kekuatan jiwa klien. Keyakinan klien terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pendekatan diri pada Nya merupakan metode penanggulangan stres yang konstruktif. 2) Pemeriksaan fisik a) Status kesehatan umum Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah, kelemahan suara bicara, tekanan darah nadi, frekuensi pernapasan yang meningkatan, penggunaan otot-otot pembantu pernapasan sianosis batuk dengan lendir lengket dan posisi istirahat klien (Laura A. T.; 1995, Karnen B ;19983). b) Integumen Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembapan, mengelupas atau bersisik, perdarahan, pruritus, ensim, serta adanya bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis pada rambut di kaji warna rambut, kelembaban dan kusam. (Karnen B ;1994, Laura A. Talbot; 1995). c) Kepala. Dikaji tentang bentuk kepala, simetris adanya penonjolan, riwayat trauma, adanya keluhan sakit kepala atau pusing, vertigo kelang ataupun hilang kesadaran.(Laura A.Talbot;1995). d) Mata. Adanya penurunan ketajaman penglihatan akan menambah stres yang di rasakan klien. Serta riwayat penyakit mata lainya (Laura A. Talbot ; 1995)). e) Hidung Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung,rinitis alergi dan fungsi olfaktori (Karnen B.;1994, Laura A. Talbot;1995) f) Mulut dan laring Dikaji adanya perdarahan pada gusi. Gangguan rasa menelan dan mengunyah, dan sakit pada tenggorok serta sesak atau perubahan suara. (Karnen B.:1994)). g) Leher Dikaji adanya nyeri leher, kaku pada pergerakaan, pembesran tiroid serta penggunaan otot-otot pernafasan (Karnen B.;1994). h) Thorak (1) Inspeksi

tim kmb ngudi waluyo

32

Dada di inspeksi terutama postur bentuk dan kesemetrisan adanya peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot Interkostalis, sifat dan irama pernafasan serta frekwensi peranfasan.(Karnen B.;1994, Laura A.T.;1995). (2) Palpasi. Pada palpasi di kaji tentang kosimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus (Laura A.T.;1995). (3) Perkusi Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah. (Laura A.T.;1995). (4) Auskultasi. Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan expirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi pernafasan dan Wheezing. (Karnen B .;1994). i) Kardiovaskuler. Jantung di kaji adanya pembesaran jantung atau tidak, bising nafas dan hyperinflasi suara jantung melemah. Tekanan darah dan nadi yang meningkat serta adanya pulsus paradoksus, (Robert P.;1994, Laura A. T.;1995). j) Abdomen. Perlu di kaji tentang bentuk, turgor, nyeri, serta tanda-tanda infeksi karena dapat merangsang serangan asthma frekwensi pernafasan, serta adanya konstipasi karena dapat nutrisi (Hudak dan Gallo;1997, Laura A.T.;1995). k) Ekstrimitas. Di kaji adanya edema extremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada extremitas karena dapat merangsang serangan asthma, (Laura A.T.;1995). 3) Pemeriksaan penunjang. a) Pemeriksaan spinometri. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma, (Karnen B;1998). b) Tes provokasi brokial. Dilakukan jika pemeriksaan spinometri internal. Penurunan

tim kmb ngudi waluyo

33

FEV, sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90 % dari maksimum di anggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 10 % atau lebih,(Karnen B.;1998). c) Pemeriksan tes kulit. Untuk menunjukan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh, (Karnen B.;1998). d) Laboratorium. (1) Analisa gas darah. Hanya di lakukan pada serangan asthma berat karena terdapat hipoksemia, hyperkapnea, dan asidosis respiratorik,(Karnen B.;1998). (2) Sputum. Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan Asthma yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari adema mukasa, sehingga terlepaslah sekelompok sel sel epitel dari perlekatannya. Peawarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik, (Arjadiono T.;1995). (3) Sel eosinofil Pada penderita status asthmatikus sel eosinofil dapat mencapai 1000 1500 /mm3 baik asthma Intrinsik ataupun extrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm 3. Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat,(Arjadiono T.;1995). (4) Pemeriksaan darah rutin dan kimia Jumlah sel leukosit lebih dari 15.000 terjadi karena adanya infeksi. SGOT dan SGPT meningkat disebabkan karena kerusakkan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea,(Arjadiono T.;1995). e) Radiologi Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan adanya proses patologik diparu atau komplikasi asthma seperti pneumothorak, pneumomediastinum, atelektosis dan lain lain, (Karnen B.;1998). f) Elektrokardiogram

tim kmb ngudi waluyo

34

Perubahan EKG didapat pada 50% penderita Status Asthmatikus, ini karena hipoksemia, perubahan pH, hipertensi pulmunal dan beban jantung kanan . Sinus takikardi sering terjadi pada asthma. b. Analisa data Data yang dikumpulkan harus dianalisa untuk menentukan masalah klien. Analisa data merupakan proses intelektual yang meliputi pengelompokan data, mengidentifikasi kesenjangan dan menentukan pola dari data yang terkumpul serta membandingkan susunan atau kelompok data dengan standart nilai normal, menginterprestasikan data dan akhirnya membuat kesimpulan. Hasil dari analisa adalah pernyataan masalah keperawatan.

2. Diagnosa Keperawatan . Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status kesehatan atau masalah aktual atau potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mensintesis data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan atau mencegah masalah kesehatan klien yang ada pada tanggung jawabnya, (Lismidar ; 1992). Berikut adalah diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien status astmatikus. a. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi kental peningkatan produksi mukus dan bronkospasme (Lindajual C.;1995). b. Ketidak efektifan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding dada dan kelelahan akibat kerja pernafasan, (Hudak dan Gallo ;1997). c. Ansietas yang berhubungan dengan sulit bernafas dan rasa takut sufokasi. (Lindajual C;1995). d. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan sekresi, peningkatan kerja pernafasan dan proses penyakit, (Susan Martin Tucker;1993). e. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat makan dan ansietas, (Hudak dan Gallo;1997). f. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan retensi sekresi, batuk

tim kmb ngudi waluyo

35

tidak efektif dan imobilisasi, (Hudak dan Gallo;1997). g. Resiko tinggi kelelahan yang berhubungan dengan retensi CO2 hipoksemia, emosi terfokus pada pernafasan dan apnea tidur, (Hudak dan Gallo;1997). h. Resiko tinggi ketidak patuhan yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi dan perawatan diri saat pulang,(Susan Martin Tucker;1993). 3. Perencanaan Setelah pengumpulan data klien, mengorganisasi data dan menetapkan diagnosis keperawatan maka tahap berikutnya adalah perencanaan . Pada tahap ini perawat membuat rencana perawatan dan menentukan pendekatan apa yang digunakan untuk memecahkan masalah klien. Ada tiga pase pada tahap perencanaan yaitu menentukan prioritas, menentukan tujuan dan merencanakan tindakan keperawatan, (Lismidar;1992). Perencanaan dari diagnosis diagnosis keperawatan diatas adalah sebagai berikut: a. Ketidak efektifan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi peningkatan produksi mukus bronkospasme. 1) Tujuan Jalan nafas menjadi efektif. 2) Kriteria hasil (a) menentukan posisi yang nyaman sehingga memudahkan peningkatan pertukaran gas. (b) dapat mendemontrasikan batuk efektif (c) dapat menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi (d) tidak ada suara nafas tambahan 3) Rencana tindakan (a) Kaji warna, kekentalan dan jumlah sputum (b) Instruksikan klien pada metode yang tepat dalam mengontrol batuk. (c) Ajarkan klien untuk menurunkan viskositas sekresi (d) Auskultasi paru sebelum dan sesudah tindakan (e) Lakukan fisioterapi dada dengan tehnik drainage postural,perkusi dan fibrasi dada. (f) Dorong dan atau berikan perawatan mulut 4) Rasional kental

tim kmb ngudi waluyo

36

(a) Karakteristik sputrum dapat menunjukkan berat ringannya obstruksi (b) Batuk yang tidak terkontrol melelahkan dan inefektif serta menimbulkan frustasi (c) Sekresi kental sulit untuyk dikeluarkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus yang dapat menimbulkan atelektasis. (d) Berkurangnya suara tambahan setelah tindakan menunjukan keberhasilan (e) Fisioterpi dada merupakan strategi untuk mengeluarkan sekret. (f) Hygiene mulut yang baik meningkatkan rasa sehat dan mencegah bau mulut. b. Ketidak efektifan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding dada, dan kelelahan akibat peningkatan kerja pernafasan. 1) Tujuan Klien akan mendemontrasikan pola nafas efektif 2) Kriteria hasil (a) Frekuensi nafas yang efektif dan perbaikan pertukaran gas pada paru (b) Menyatakan faktor penyebab dan cara adaptif mengatasi faktorfaktor tersebut 3) Rencana tindakan (a) Monitor frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan (b) Posisikan klien dada posisi semi fowler (c) Alihkan perhatian individu dari pemikiran tentang keadaan ansietas dan ajarkan cara bernafas efektif (d) Minimalkan distensi gaster (e) Kaji pernafasan selama tidur (f) Yakinkan klien dan beri dukungan saat dipsnea 4) Rasional (a) Takipnea, irama yang tidak teratur dan bernafas dangkal menunjukkan pola nafas yang tidak efektif (b) Posisi semi fowler akan menurunkan diafragma sehingga memberikan pengembangan pada organ paru (c) Ansietas dapat menyebabkan pola nafas tidak efektif (d) Distensi gaster dapat menghambat kontraksi diafragma (e) Adanya apnea tidur menunjukkan pola nafas yang tidak efektif

tim kmb ngudi waluyo

37

(f) Rasa raguragu pada klien dapat menghambat komunikasi terapeutik. c. Ansietas yang berhubungan dengan sulit bernafas dan rasa takut sufokasi. 1) Tujuan Asietas berkurang atau hilang. 2) Kriteria hasil (a) Klien mampu menggambarkan ansietas dan pola fikirnya. (b) Munghubungkan peningkatan psikologi dan kenyaman fisiologis. (c) Menggunakan mekanisme koping yang efektif dalam menangani ansietas. 3) Rencana tindakan. (a) Kaji tingkat ansietas yang dialami klien. (b) Kaji kebiasaan keterampilan koping. (c) Beri dukungan emosional untuk kenyamanan dan hati. (d) Implementasikan teknik relaksasi. (e) Jelaskan setiap prosedur tindakan yang akan dilakukan. (f) Pertahankan periode istirahat yang telah di rencanakan. 4) Rasional. (a) Mengetahui tinggkat kecemasan untuk memudahkan dalam perencanaan tindakan selanjutnya. (b) Menilai mekanisme koping yang telah dilakukan serta menawarkan alternatif koping yang bisa di gunakan. (c) Dukungan emosional dapat memantapkan hati untuk mencapai tujuan yang sama. (d) Relaksasi merupakan salah satu metode menurunkan dan menghilangkan kecemasan (e) Pemahaman terhadap prosedur akan memotifasi klien untuk lebih kooperatif. d. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan sekresi, peningkatan pernafasan, dan proses penyakit. 1) Tujuan Klien akan mempertahankan pertukaran gas dan oksigenasi adekuat. 2) Kreteria hasil ketentraman

tim kmb ngudi waluyo

38

(a) Frekuensi nafas 16 20 kali/menit (b) Frekuensi nadi 60 120 kali/menit (c) Warna kulit normal, tidak ada dipnea dan GDA dalam batas normal 3) Rencana tindakan (a) Pantauan status pernafasan tiap 4 jam, hasil GDA, pemasukan dan haluaran (b) Tempatkan klien pada posisi semi fowler (c) Berikan terapi intravena sesuai anjuran (d) Berikan oksigen melalui kanula nasal 4 l/mt selanjutnya sesuaikan dengan hasil PaO2 (e) Berikan pengobatan yang telah ditentukan serta amati bila ada tanda tanda toksisitas 4) Rasional (a) Untuk mengidentifikasi indikasi kearah kemajuan atau penyimpangan dari hasil klien (b) Posisi tegak memungkinkan expansi paru lebih baik (c) Untuk memungkinkan rehidrasi yang cepat dan dapat mengkaji keadaan vaskular untuk pemberian obat obat darurat. (d) Pemberian oksigen mengurangi beban otot otot pernafasan (e) Pengobatan untuk mengembalikan kondisi bronkus seperti kondisi sebelumnya (f) Untuk memudahkan bernafas dan mencegah atelektasis. e. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat makan dan ansietas 1) Tujuan Pemenuhan kebutuhan nutrisi terpenuhi 2) Kriteria hasil (a) Klien menghabiskan porsi makan di rumah sakit (b) Tidak terjadi penurunan berat badan 3) Rencana tindakan (c) Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan nafsu makan menurun misalnya muntah dengan ditemukannya sputum yang banyak ataupun dipsnea. (d) Anjurkan klien untuk oral hygiene paling sedikit satu jam sebelum

tim kmb ngudi waluyo

39

makan. (e) Lakukan pemeriksaan adanya suara perilstaltik usus serta palpasi untuk mengetahui adanya masa pada saluran cerna (f) Berikan diit TKTP sesuai dengan ketentuan (g) Bantu klien istirahat sebelum makan (h) Timbang berat badan setiap hari 4) Rasional (i) Merencanakan tindakan yang dipilih berdasarkan penyebab masalah. (j) Dengan perawatan mulut yang baik akan meningkatkan nafsu makan. (k) Mengetahui kondisi usus dan adanya dan konstipasi. (l) Memenuhi jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh. (m)Kelelahan dapat menurunakn nafsu makan. (n) Turunya berat badan mengindikasikan kebutuhan nutrisi kurang. f. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan retensi sekresi, batuk tidak efektif dan imobilisasi. 1) Tujuan Klien tidak mengalami infeksi nosokomial 2) Kriteria hasil Tidak ada tanda tanda infeksi 3) Rencana tindakan (a) Monitor tanda tanda infeksi tiap 4 jam. (b) Gunakan teknik steril untuk perawatan infus. atau tidakan infasif lainnya. (c) Pertahankan kewaspadaan umum. (d) Inspeksi dan catat warna, kekentalan dan jumlah sputum. (e) Berikan nutrisi yang adekuat (f) Monitor sel darah putih dan laporkan ketidak normalan (g) Berikan antibiotik sesuai dengan indikasi 4) Rasional (a) Adanya rubor, tumor, dolor, kalor menunjukan tanda tanda infeksi (b) Teknik steril memutus rantai infeksi nosokomial (c) Kewaspadaan memberikan persiapan yang cukup bagi perawat untuk melakukan tindakan bila ada perubahan kondisi klien.

tim kmb ngudi waluyo

40

(d) Sputum merupakan media berkembangnya kuman. (e) Nutrisi yang adekuat memberikan peningkatan daya tahan tubuh. (f) Sel darh putih yang meningkat menunjukan kemungkinan infeksi. (g) Tindakan pencegahan terhadap kuman yang masuk tubuh. g. Resiko tinggi kelelahan yang berhubungan dengan refensi CO 2, hypoksemia, emosi yang terfokus pada pernafasan dan apnea tidur. 1) Tujuan Klien akan terpenuhi kebutuhan istirahat untuk mempertahankan tingkat enegi saat terbangun 2) Kriteria hasil (a) Mampu mendiskusikan penyebab keletihan (b) Klien dapat tidur dan istirahat sesuai dengan kebutuhan tubuh (c) Klien dapat rilek dan wajahnya cerah. 3) Rencana tindakan (a) Jelaskan sebab sebab keletihan individu (b) Hindari gangguan saat tidur. (c) Menganalisa bersama sama tingkat kelelahan dengan menggunakan skala Rhoten (1982). (d) Indentivikasi aktivitas aktivitas penting dan sesuaikan antara aktivitas dengan istirahat. (e) Ajarkan teknik pernafasan yang efektif. (f) Pertahankan tambahan O2 bila latihan . (g) Hindarkan penggunaan sedatif dan hipnotif. 4) Rasional (a) Diketahuinya faktorfaktor penyebab maka diharapkan bias menghindarinya. (b) Tidur merupakan upaya memulihkan kondisi yang telah menurun setelah aktivitas. (c) Skala Rhoten untuk mengetahui tingkat kelelahan yang dialami klien. (d) Kelelahan terjadi karena ketidak seimbangan antara kebutuhan aktifitas dan kebutuhan istirahat. (e) Pernafasan efektif membantu terpenuhnya O2 dijaringan. (f) O2 digunakan untuk pembakaran glukosa menjadi energi. (g) Sedatif dan hipnotik melemahkan otototot khususnya otot pernafasan.

tim kmb ngudi waluyo

41

h. Resiko tinggi ketidak patuhan yang berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kondisi dan perawatan diri pada saat pulang. 1) Tujuan Klien mampu mendemontrasikan keinginan untuk mengikuti rencana pengobatan. 2) Kriteria hasil (a) Klien mampu menyampaikan pengertian tentang kondisi dan perawatan diri pada saat pulang (b) Menggunakan alat alat pernafasan yang tepat 3) Rencana tindakan (a) Bantu mengidentifikasi faktor faktor pencetus serangan asthma (b) Ajarkan tindakan untuk mengatasi asthma dan mencegah perawatan di rumah sakit (c) Anjurkan dan beri alternative untuk menghindari faktor pencetus. (d) Ajarkan dan biarkan klien mendemontrasikan latihan pernafasan . (e) Jelaskan dan anjurkan untuk menghindari penyakit infeksi. (f) Instruksikan klien untuk melaporkan bila ada perubahan karakteristrik sputum, peningkatan suhu, batuk, kelemahan nafas pendek ataupun peningkatan berat badan atau bengkak pada telapak kaki. 4) Rasional (a) Diketahuinya faktor pencetus mempermudah cara menghindari serangan asthma . (b) Tindakan preventif merupakan salah satu upaya yang di lakukan untuk memberikan pelayanan secara komprehensif. (c) Salah satu upaya preventif adalah menghindarkan klien dari faktor pencetus. (d) Klien dengan asthma sewring mengalami kecemasan yang mengakibatkan pola nafas tidak efektif sehingga perlu dilakukan latihan pernafasan. (e) Infeksi terutama ISPA menjadi faktor penyebab serangan asthma . (f) Perubahan yang terjadi menunjukan perlunya penanganan segera agar tidak mengalami komplikasi. 4. Implementasi Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh

tim kmb ngudi waluyo

42

perawat . Seperti tahap tahap yang lain dalam proses keperawatan , fase pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan antara lain : a. b. c. d. Validasi (pengesahan) rencana keperawatan Menulis/ mendokumentasikan rencana keperawatan Memberikan asuhan keperawatan Melanjutkan pengumpulan data.

5. Evaluasi Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan yang merupakan kegiatan sengaja dan terus menerus yang melibatkan klien perawat dan anggota tim kesehatan lainnya Tujuan evaluasi adalah : a. Untuk menilai apakah tujuan dalam rencana perawatan tercapai atau tidak b. Untuk melakukan pengkajian ulang Untuk dapat menilai apakah tujuan ini tercapai atau tidak dapat dibuktikan dengan prilaku klien a. Tujuan tercapai jika klien mampu menunjukkan prilaku sesuai dengan pernyataan tujuan pada waktu atau tanggal yang telah ditentukan b. Tujuan tercapai sebagian jika klien telah mampu menunjukkan prilaku, tetapi tidak seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan c. Tujuan tidak tercapai jika klien tidak mampu atau tidak mau sama sekali menunjukkan prilaku yang telah ditentukan

tim kmb ngudi waluyo

43

You might also like