You are on page 1of 9

PENEGAKKAN SUPREMASI HUKUM DALAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Disusun Oleh : Ratna Pratiwi Rodiah Ayu Siti Marlina Evanny Indah M Remi Sumarta S Novie Marselina 220110080005 220110080027 220110080055 220110080060 220110080112 220110080156

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS KEPERAWATAN JATINANGOR 2012

KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam Sang Penjaga Hati, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya berupa iman, Islam, dan pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah kewarganegaraan dengan judul Penegakkan Supremasi Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia. Makalah ini dibuat sebagai tugas mata kuliah kewarganegaraan di Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa, makalah ini masih jauh dari sempurna mengingat terbatasnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Kendala dan kesulitan sudah merupakan bagian dalam setiap proses usaha, termasuk dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan lebih lanjut.

Jatinangor,

Maret 2012

Penulis

ABSTRAK Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan supremasi hukum di Indonesia masih sangat kurang karena masih ada para koruptor yang belum diketahui. Sedangkan kita tahu bahwa korupsi adalah suatu tindakan kriminal yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Korupsi berkembang dengan semakin majunya dunia ekonomi dan politik, berbarengan pula dengan kecepatan modernisasi ekonomi dan sosial. Dengan bertambahnya kekayaan dan keuangan negara, semakin kuat pula dorongan individu untuk melakukan korupsi dan usaha penggelapan.Tindakan korupsi sudah merajalela dan karena itu pula rakyat menuntut pemerintah agar bersikap terbuka dan berupaya memberantas korupsi. Berdasarkan data ICW, sedikitnya 66 koruptor batal dieksekusi oleh kejaksaan, karena terjadi keterlambatan proses salinan putusan dan adanya penundaan eksekusi. Dengan kata lain perlu ada serangkaian tindakan untuk memberantas tindak pidana korupsi baik itu secara teoritis dan praktis.

PENEGAKKAN SUPREMASI HUKUM DALAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA 1. Latar Belakang Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Kartono, 2011). Penegakan supremasi hukum di Indonesia masih penuh kerawanan dalam nuansa unjuk kekuasaan dengan menggunakan payung hukum, karena ada celah untuk disetir sedemikian rupa. Sepanjang penegakan hukum masih ditentukan oleh penguasa yang melaksanakan penegakan hukum itu sendiri, sangat sukar akan lahir suatu putusan atau kebijakan mengemban hukum yang dinilai oleh para pencari keadilan berpihak kepadanya. Sebab, menuntut penegakan hukum dengan supremasi yang berkeadilan murni, terlalu getir untuk rakyat kecil yang tidak berkemampuan untuk didampingi pengacara di meja hijau (Taharudin, 2007). Lembaga peradilan bukan lagi tempat untuk mendapat keadilan, tetapi sebagai pusat jual beli keadilan, setidaknya keadilan hanyalah milik mereka yang memiliki akses karena didukung oleh sumber daya ekonomi, politik, kekuasaan, atau kekerabatan. Dalam penegakan hukum pidana tampak jelas bahwa hukum hanya ibarat jaring laba-laba yang hanya mampu menjaring serangga kecil yang tak berdaya, dan jaring hukum itu akan mudah robek dan terkoyak-koyak jika berhadapan dengan binatang yang besar dan kuat. Salah satu tolak ukur yang cukup signifikan untuk melihat sejauh mana penegakan supremasi hukum adalah sejauh mana keberhasilan pemberantasan KKN dilakukan (Jamin, 2009). Banyak fenomena hukum yang tidak dapat dicerna oleh rakyat. Setidaknya logika hukum masyarakat sulit menerima jika maling ayam begitu mudah dimasukan penjara, namun hukum menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan para

terdakwa korupsi kelas kakap hanya karena alasan sakit atau sedang berobat ke luar negeri. Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Korupsi merupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan dan menjadi hambatan paling utama bagi pembangunan. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak. Akibatnya, kaum koruptor yang kaya-raya dan para politisi korup yang berlebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elite yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga menduduki status sosial yang tinggi (Kartono, 2011). Korupsi berkembang dengan semakin majunya dunia ekonomi dan politik, berbarengan pula dengan kecepatan modernisasi ekonomi dan sosial. Dengan bertambahnya kekayaan dan keuangan negara, semakin kuat pula dorongan individu untuk melakukan korupsi dan usaha penggelapan. Ada orang mengatakan, korupsi merupakan seni hidup, dan menjadi salah satu aspek kebudayaan Indonesia (Kartono,2011). Semakin berkembang subur pertumbuhan kasus korupsi di Indonesia, dikarenakan lemahnya penegakan supremasi hukum di Indonesia sendiri. Kelemahan hukum tampaknya selalu menjadi senjata ampuh para koruptor untuk menghindar dari tuntutan hukum. Padahal, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, delik korupsi adalah kejahatan atau kesalahan, ataupun perbuatan-perbuatan yang bisa dikenai tindak dan sanksi hukum. Sehingga sudah seharusnya para koruptor bisa diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun dalam praktiknya, korupsi sukar sekali bahkan hampir-hampir tidak mungkin diberantas. Sebab, amat sulit memberikan pembuktian-pembuktiannya, lagi pula sulit mengejarnya dengan dasar-dasar hukum. Seperti pada kasus-kasus yang mencuat di media massa mengenai kasus korupsi yang dilakukan para pejabat, hingga akhir ini belum ada juga hasil keputusan hukuman, para koruptor selalu berkelit mengenai perilaku korupsi yang mereka lakukan. Seperti menurut koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, mengatakan

sedikitnya ada 66 perkara korupsi yang belum dieksekusi kejaksaan dan kenyataannya kejaksaan serta institusi pengadilan terkesan mulai berkompromi dengan para koruptor. Berdasarkan data ICW, sedikitnya 66 koruptor batal dieksekusi oleh kejaksaan, karena terjadi keterlambatan proses salinan putusan dan adanya penundaan eksekusi. Hal ini berdampak pada putusan peninjauan kembali (PK) MA yang membebaskan para koruptor (Republika, 2012). Jaringan para koruptor saat ini bagaikan organisasi kejahatan yang bergerak secara tertutup, saling membantu untuk tindakan ilegal, dan terus bertahan. Demikian kuatnya jaringan itu sehingga sulit diperangi, meski sudah ada upaya reformasi birokrasi dan gerakan pemberantasan korupsi (Kompas, 2012). Oleh karena itu perlu dimulai upaya pencegahan korupsi. Bagaimanapun juga, perbuatan korupsi sangat merugikan negara dan bangsa. Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syaratsyarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah. Hingga saat ini korupsi merupakan bahaya laten dan ditanggapi secara serius baik oleh pemerintah sendiri, maupun oleh bagian-bagian dari masyarakat.

2. Masalah Pokok Bagaimana penegakkan supremasi hukum dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia? 3. Solusi a. Teoritis Adanya kesadaran dan kejujuran tiap individu, maka dengan mudah dapat mencegah dan memberantas korupsi. Konsisten, professional, dan punya integritas dalam menjalankan amanat UU Tindak Pidana Korupsi oleh aparat penegak hukum, juga dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai aparatur Negara. b. Praktis Untuk fungsi pengawasan tidak hanya dari aparat penegak hukum saja. Misal, Polisi, Jaksa, dan KPK. Tetapi juga dilakukan secara internal kelembagaan baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang juga harus berfungsi dengan baik. Adanya pengawasan yang ketat dari berbagai pihak ini, juga dapat memperkecil pergerakan korupsi. Ancaman hukuman terhadap para koruptor haruslah benar-benar dilakukan, sehingga dapat menimbulkan efek jera kepada orang lain. Perlakuan istimewa terhadap koruptor ditiadakan. Perlakuan istimewa yang sering terjadi, membuat orang yang melihat tidak takut melakukan korupsi. Mereka akan menyimpulkan, meskipun korupsi, masih bisa hidup enak. Yaitu dengan adanya sel pribadi yang didalamnya ada berbagai fasilitas atau ketika sidang malah menggunakan baju batik. Peniadaan perlakuan istimewa, akan memberikan dampak bahwa hukuman untuk para koruptor tidak

ada bedanya dengan hukuman tindakan kejahatan lain, yaitu : tinggal dalam 1 sel yang berisi 25 orang, dan setiap sidang memakai baju seragam orange yang bertuliskan TAHANAN. Pada intinya, tidak ada perlakuan yang baik untuk setiap koruptor, tidak pandang apakah orang itu berjasa atau tidak. Para koruptor yang sudah terbukti korupsi, masuk kedalam DAFTAR HITAM negara. Seluruh harta kekayaan korupsi disita oleh negara.

4. SIMPULAN a. Penegakan hukum dalam kasus korupsi di Indonesia masih sangat kurang karena masih memberikan ruang bebas bagi terdakwa meskipun masih berstatus sebagai tahahan. b. Salah satu tolak ukur yang cukup signifikan untuk melihat sejauh mana penegakan supremasi KKN hukum dilakukan adalah , sejauh itu mana keberhasilan upaya pemberantasan untuk diperlukan

pemberantasan korupsi. c. Secara teoritis korupsi dapat diberantas dengan kesadaran dan kejujuran individu. d. Secara praktis dapat dilakukan dengan pengawasan (penegak hukum, legislatif, eksekutif, dan yudikatif), ancaman hukuman bagi pelaku yang dapat membuat jera, tidak diberlakukannya perlakuan istimewa, para koruptor yang terbukti bersalah dimasukkan ke dalam daftar hitam negara dan penyitaan seluruh harta hasil korupsi.

DAFTAR PUSTAKA Djani, L. Jaringan Korupsi Bagaikan Organisasi Kejahatan. Jakarta : Kompas. http://nasional.kompas.com/read/2012/03/09/23345865/Jaringan.Korupsi.Bag aikan.Organisasi.Kejahatan (diakses tanggal 26 Maret, 17:35 ) Jamin, M. 2008. Penegakan Supremasi Hukum Di Reformasi. http://Mohjamin.blogspot.com/2008/04/penegakan-supremasi-hukum-diera.html?m=1 (diakses tanggal 26 Maret 2012, 16:30) Kartono, K. 2011. Patologi Sosial : Jilid 1. Jakarta: Rajawali Pers Putra, E.P. 2012. ICW: 66 Kasus Korupsi Tak Dieksekusi. Jakarta: Republika. http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/03/20/m16ow5-icw66-kasus korupsi-tak-dieksekusi (diakses tanggal 26 Maret, 17:40 ) Taharuddi, K. 2007. Idealnya Supremasi Penegakan Hukum. http://koong.wordpress.com/2007/05/23/idealnya-supremasi-penegakanhukum/ (diakses tanggal 26 Maret 2012, 17: 50) www.stialan.ac.id/artikel yogi.pdf. ( diakses tanggal 26 Maret 2012, 18.00)

You might also like