You are on page 1of 18

GLOBALISASI-REGIONALISMETEKNONASIONALISME

blog presentation sitemap webmail You are not logged in You are here: home - presentation - show presentation
Login
e mail Pass ord

GLOBALISASI-REGIONALISME-TEKNONASIONALISME

I forgot m password. ple ase se nd me a ne w one .

Log in

creator: Rahardi Ramelan categor : Papers create date: 2007-06-05 user group: role: all GLOBALISASI REGIONALISME TEKNONASIONALISME Tantangan Bagi Manajemen Oleh: Rahardi Ramelan Pengantar Globalisasi sudah menjadi icon baru dalam kehidupan kita diplanet ini. Tema globalisasi sudah menyisihkan modernisasi, pertumbuhan dan kesejahteraan. Kenyataan menunjukan bahwa globalisasi telah menimbulkan kepincangan yang makin mendalam antara negara maju dan negara berkembang. Dominasi negara maju dalam menentukan peraturan permainan sering merugikan negara berkembang. Globalisasi telah merambah kesektor-sektor lain seperti keuangan, HKI, dan ketenaga kerjaan. Hal ini mendorong negara-negara berkembang berupaya untuk memberikan perlawanan. Diluar sektor perdagangan, negara-negara maju enggan melakukan globalisasi antara lain dalam teknologi dan lingkungan hidup. Sebagai contoh AS tidak mau mengratifikasi dan melaksanakan Kyoto Protocol. Tetapi EU pada awal tahun 2007 telah membuat kesepakatan sendiri dalam menangani isu global warming, dan berusaha menekan AS untuk mengikutinya. Isu global warming saat ini sudah memuncak dikalangan negara industri maju. Dimana AS harus berhadapan dengan G 7. Dominasi negara-negara maju dalam globalisasi, dan yang terus menerus memperjuangkan kepentingan negaranya masing-masing, telah memicu makin menguatnya regionalisme, dan orientasi lokal. Menghadapi hegemoni negara industri maju dalam teknologi,

December 2012 sun mon tue wed thu fri sat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 nov | jan
Google Search

Google Search I'm Feeling Luck

sebelum terjadinya krisis keuangan di Asia pada tahun 1997, telah mendorong munculnya kekuatan tekno-nasionalisme di negara industri baru di Asia, yaitu dengan melakukan investasi besar-besaran dan melakukan inovasi dalam menguasai teknologi. Fenomena baru yang muncul di China dan India akhir-akhir ini telah memberikan paradigma baru bagi suatu negara untuk menentukan perannya dalam percaturan internasional. Menghadapi perkembangan yang sangat dinamis ini, diperlukan suatu pendekatan yang baru dalam manajemen ditingkat negara, publik, pemerintah daerah, maupun perusahaan, yaitu dengan pendekatan pembaharuan atau change. Selain change yang menjadi pusat perhatian bagi manajemen sekarang ini, juga masalah multi-cross cultural management dan CSR. Sebagai negara dengan jumlah penduduk nomor empat didunia, bagaimana kita menghadapinya? Masalah utama yang kita hadapi adalah hilangnya rasa saling percaya atau trust, baik horizontal maupun vertikal, sehingga meninggalkanhanya sebagian kecil energi kita untuk menyelesaikan pokok masalah bangsa, yaitu mensejahterakan masyarakat.

Globalisasi Di dasawarsa 1970 dan 1980 kita meyakini bahwa globalisasi akan membangun citra dunia yang kita percayai kebenarannya dan berbeda dengan citra-citra sebelumnya. Pengaruh yang sangat kuat dari globalisasi itu adalah melembaganya citra baru, yaitu perdagangan bebas yang akan memberikan peningkatan kesejahteraan bagi bangsa-bangsa yang makin konvergen. Dunia baru kita itu adalah dunia perdagangan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni dunia yang tidak mengenal batas-batas pemerintahan ataupun batas-batas geografis satu negara. Pembatas yang ada hanyalah kemampuan kita bersaing baik di dalam negeri maupun di pasar internasional dengan para pengusaha di dan dari negara lain. Citra budaya proteksi, yang pernah menjadi argumen yang benar untuk meningkatkan kemampuan ekonomi nasional bagi kesejahteraan masyatakatnya, sudah digeser dengan citra budaya baru, yaitu pentingnya meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia dan IPTEK bangsa sebagai prasyarat untuk berhasilnya pembangunan nasional. Oleh karena itu, globalisasi akan menjadi "milik kita" hanya jika kita berhasil membangun kebudayaan bangsa yang bertumpukan pada peningkatan kemampuan bersaing, dan bukan pada

ketergantungan atau proteksi. Globalisasi telah menjadi satu fenomena yang luar biasa. Seandainya mulus berjalan maka seluruh penduduk planet kita akan hidup lebih baik dan lebih sejahtera. Tetapi dalam perjalanannya, sejak pertemuan terakhir Uruguay Round di Marakech tahun 1994, ternyata tidak demikian adanya. Pertentangan antara negara industri maju G-8 dengan The Rest makin menajam, jurang kemiskinanpun makin menganga. Globalisasi yang kita percaya sebagai proses perubahan budaya, tanpa kita sadari, telah merasuki kehidupan kita sehari-hari. Saya selalu menekankan bahwa kepincangan yang terjadi disebabkan juga antara lain justru oleh peran WTO. WTO yang dipengaruhi oleh kelompok G-8, sehingga menghambat dan mempersulit negara-negara industri baru untuk memasuki pasar global dalam produk teknologi tinggi. Khususnya bagi Indonesia, yang dilanda krisis sejak tahun 1997, para pemimpin bangsa belum dapat membawa bangsa ini keluar dari schock yang disebabkan krisis tersebut. Disisi lain etos kerja dan produktivitas nasional makin menurun. Kendala ini terus menjadi hambatan kita untuk segera keluar dari keterpurukan. Disisi lain keterbukaan informasi telah menjadikan sebagian masyarakat kita hidup seperti dinegara maju lainnya, budaya internasional sudah menyusup kedalam kehidupan kita. Ditambah lagi dengan keberadaan perusahaan multinasional dan profesional asing yang ikut mempercepat proses perubahan budaya khususnya dikota-kota besar. Tanpa kita rencanakan dan kita sadari, proses globalisasi ini terus berjalan dengan deras. Citra baru sudah menjadi realita dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam kebiasaan makan dan minum misalnya, hamburger pizza sushi ginseng -capucino dll, sudah dinikmati sampai dikota-kota kecil. Blue Jeans, TShirt, baju loreng, bermacam warna rambut, laki-laki pakai anting, bibir diberi anting, sudah menjadi pemandangan seharihari, dan pusar (udel) bukan lagi bagian badan yang harus ditutupi. Handphone sudah menjadi bagian dari perangkat pakaian para remaja kita. Demikian juga hiburan seperti karoke, play station sudah mewabah. Dan banyak lagi contoh kebiasaan hidup masyarakat kita yang tidak perlu saya jelaskan disini, yang membuat kita risi. Kenyataan menunjukan bahwa globalisasi ini adalah arus perubahan budaya. Taufik Abdullah (2000) mengatakan sebagai berikut: Belum pernah, seingat dan sepengetahuan saya, dalam sejarah tanah air kita ini, kita dibanjiri oleh berita tentang segala hal

dan mengenai semua hal. Berguna atau bukan, penting atau tidak, berita itu masuk ke dalam kesadaran dan perbendaharaan pengetahuan kita bukan saja melalui ruang depan rumah atau kantor, tetapi sering pula langsung saja masuk ke kamar tidur, bahkan tanpa kita kehendaki, kadangkadang berita itu meresap juga ke dunia mimpi. Belum pernah pula dalam sejarah tanah air kita komunitas bangsa kita sedemikian gencar diserbu oleh suasana tunggal yang bernama kegetiran. Apakah yang tinggal dalam diri kita setelah mengetahui peristiwa yang terjadi di sana dan kejadian yang meletus di situ atau komentar keras yang dilemparkan oleh tokoh itu dan sambutan yang tidak kurang kerasnya oleh tokoh yang lain, selain daripada kegetiran? Globalisasi dan kesepakatan GATT memang dapat membawa masalah bagi kita. Dalam jangka panjang bahkan bisa menjadi kendala, manakala semua ketetapan sudah harus terlaksana, sementara kita belum siap menghadapinya. Di samping itu, globalisasi yang ditandai oleh meningkatnya perdagangan internasional dapat memperlebar ketidak merataan dalam suatu negara, baik ketidak merataan antara golongan pendapatan maupun ketidak merataan antar wilayah. Dengan meningkat dan meluasnya aplikasi teknologi digital kesenjanganpun makin melebar (digital devide). Tantangan kesenjangan ini jika tidak ditangani secara berhati-hati dan secara tepat, mempunyai potensi makin membesar terutama dengan digulirkannya deregulasi, reformasi dan demokrasi. Upaya deregulasi sebagai penyesuaian diri terhadap globalisasi membuka persaingan lebih leluasa, bagi yang kuat dan mampu bersaing akan lebih mampu memanfaatkannya dibandingkan dengan yang lebih lemah. Aset produktif dapat makin terkonsentrasi pada kelompok atau wilayah yang terbatas. Apabila untuk menegakkan ekonomi pasar dan menggerakkan kegiatan ekonomi diperlukan deregulasi, maka untuk mengatasi kesenjangan diperlukan intervensi, yakni melindungi dan memberi kesempatan bagi yang lemah dan tertinggal untuk tumbuh. Inilah tema keberpihakan kepada yang lemah yang didasari oleh konsep intervensi secara selektif (selective intervention). WTO (World Trade Organisation) dibentuk untuk mengelola perdagangan dunia yang telah disepakati dan tertuang dalam GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). GATT yang tadinya hanya ditujukan untuk mengatur perdagangan, telah memasuki bidang-bidang lain seperti HAKI, investasi, perburuhan sampai kepada masalah pengadaan pemerintah.

WTO dengan berbagai komisi dan badan didalamnya sangat didominasi oleh negara-negara maju (G-8). WTO adalah birokrasi dengan pemihakan kepada negara-negara industri. Hegemoni negara-negara maju dalam bidang teknologi dan industri makin dikukuhkan dalam berbagai keputusan WTO. Negara maju ingin tetap menjadikan negara-negara berkembang menjadi sumber untuk mendapatkan bahan baku, khususnya untuk industri agro, kehutanan dan hasil tambang, serta menjadi pasar hasil industrinya. Pengembangan industri hilir agro, kehutanan, perikanan dan hasil tambang akan terus dihambat masuk kepasar negara industri maju, antara lain dengan berbagai tariff dan bea masuk untuk produk-produk jadi atau setengan jadi. Sedang disisi lain masuknya bahan baku kenegara-negara industri maju terus dipermudah. Sehingga globalisasi sebagai citra baru untuk dunia dengan kesejahteraan yang makin meningkat dengan perdagangan bebas telah dinodai dan menimbulkan reaksi keras dan tantangan dari negara-negara berkembang (Demonstrasi di Seattle 1999, Genoa 2001). Berbagai upaya melalui diplomasi di PBB telah dilakukan antara lain oleh Kelompok 77 dan G21. Akhir-akhir ini dengan aktualisasi gerakan Asia-Afrika, merupakan pertanda makin meningkatnya ketidak puasan dengan perkembangan globalisasi. Kedudukan Direktur Jenderal WTO selalu menjadi perebutan antara negara-negara maju. Persaingan yang tajam pada tahun 1999 mengharuskan terjadinya kompromi dimana Direktur jenderal WTO untuk 3 tahun pertama dipegang oleh Mike Moore dari Selandia Baru, dan 3 tahun berikutnya sampai dengan 2005 oleh Dr. Supachai Panitchpakdi dari Thailand. Ketidak puasan akan peran WTO dan proses globalisasi ini juga telah disuarakan oleh tokoh-tokoh pemikir dari negara maju (Joseph Stiglitz2002, George Monbiot-2003, Alice Amsden-2001). Yang dihadapi dan menjadi masalah bagi negara-negara berkembang dan industri baru, bukan hanya perdagangan bebas. Mereka juga menghadapi berbagai masalah dinegaranya masing-masing, yang pada dasarnya disebabkan oleh kemiskinan dan ketertinggalan, pendidikan dan ketrampilan, penguasaan teknologi, dan lain-lain. Saya berpendapat bahwa pengaturan perdagangan dunia, tidak bisa hanya diserahkan kepada WTO saja. Badan lain yang bisa berperan aktif dan efektif adalah UNCTAD (UN Conference on Trade and Development). Selama ini 1995 - 2004 Sekretaris Jenderal UNCTAD dijabat oleh Rubens Rucopero dari Brasil, yang telah memimpin UNCTAD dengan baik, tetapi masih terbatas dalam pengaruhnya menghadapi WTO.

Saat ini jabatan Sekretaris Jenderal UNCTAD dipegang oleh Dr. Supachai dari Thailand. Ada harapan UNCTAD akan lebih berperan dalam menanggulangi jurang antara negara maju dan negara berkembang. Mengenai globalisasi ini, UNDP (2000) dalam laporannya mengenai Human Development Report mengidentifikasi adanya kemungkinan bahwa "globalization is proceeding largely for the benefit of the dynamic and powerful countries". Regionalisme Regionalisme sudah lahir lebih awal dari globalisme. Perdagangan antar negara dan antar kota dimasa lalu dimungkinkan dan dibatasi oleh kemampuan transportasi. Perdagangan dikawasan Laut Tengah bagian Timur dan kawasan laut Baltik berkembang pesat diabad pertengahan. Di abad modern muncul berbagai kerjasama regional seperti NAFTA, Mercusor, EC-EU, ASEAN, SAARC dan APEC. Bersamaan dengan berakhirnya perang dingin dan munculnya gerakan Glasnost dan Peretroiska pada tahun 1985 di Uni Soviet, serta runtuhnya tembok Berlin pada 1989, telah mendorong negara-negara di Eropa Timur, yang semula tergabung dalam COMECON, bergabung dengan EC-EU, sehingga EEC yang dimulai dengan 6 anggota pada tahun 1957, telah berkembang menjadi EU pada tahun 1992, beranggotakan 27 negara pada tahun 2007. Di Asia Tenggara pun hal serupa terjadi dengan berkembangnya anggota ASEAN dari semula 5 anggota pada tahun 67, menjadi 10 anggota di tahun 1999. EEC yang berkembang menjadi EU, sudah menjadi kekuatan yang besar dan mulai melembaga sebagai sebuah konfederasi. Sedangkan ASEAN yang terus berupaya memperkuat kelembagaannya, masih diliputi dengan berbagai isu bilateral, antara lain masalah teritorial, yang menyebabkan timbulnya saling curiga dan konflik. Perkembangan di Amerika Selatan, akhir-akhir ini menunjukan munculnya gerakan nasionalisme (anti Amerika) yang sangat kuat. Terpilihnya kembali Hugo Chavez sebagai presiden Venezuela pada tahun 2006, dan Evo Morales pada tahun yang sama sebagai presiden Bolivia, telah menjurus kepada pembentukan kelompok negara yang didasari ideology sosialisme, seperti halnya pada era perang dingin. Kelompok baru ini telah mengangkat kembali peran Kuba (Fidel Castro) dalam gerakan melawan kapitalisme. Diperkirakan kelompok ini akan memperlambat perkembangan Mercusor dalam tahun-tahun mendatang.

Di benua Afrika pun gerakan regionalisme tidak dapat dihindari, saat ini Afrika Selatan bersama beberapa negara di sekitarnya mulai menggalang kerjasama untuk lebih efektif meningkatkan perdagangan dan industri mereka. Berbagai kerjasama dan makin kuatnya pasar regional telah dimanfaatkan oleh perusahaan dalam bidang jasa, contohnya SingTel Singapura telah memasuki Indonesia dan negara ASEAN lainnya, Air Asia yang berbasis di Kuala Lumpur dan Lion Air yang berbasis di Jakarta, telah mengembangkan jaringan pelayanannya kebeberapa negara ASEAN. Jaringan restoran Pho dari Vietnam sudah dapat kita temui di Jakarta, demikian juga Es Teler 77 kita temui di Singapura dan berbagai franchise restoran Thailand. Jaringan kue doughnut Dunkin Donuts dan Krispy Kreme dari AS di Indonesia mendapat saingan ketat dari Ring Master serta J. Co dari Indonesia. Demikian halnya juga dengan Bread Talk dari Singapura bersaing ketat dengan Bread Life. Masih banyak lagi perusahaan-perusahaan lokal yang sudah memasuki pasar regional secara intensif, melalui strategi branding, positioning and differentiation yang tepat (Philip Kotler, Herman Kartajaya, Hooi Den Huan 2007). Bisa diutarakan bahwa beberapa perusahaan telah berupaya berperan lebih dikawasan ASEAN, antara lain Bengawan Solo, Dji Sam Soe/Sampurna, Goldilocks (Filipina), Extra Joss, Royal Selangor (Malaysia), San Migue (Filipina), sampai Sari Ayu dan Mustika Ratu. Perusahaan multinasionalpun makin deras mengembangkan jaringannya ke berbagai kawasan seperti ASEAN, diantaranya Samsung dan Kinokuniya. Pendekata MNC dalam memasuki kawasan tertentu memanfaatkan juga keadaan tiap negara. Glorecalization (GlobalozationRegionalization-Localization) telah menjadi konsep baru dalam penetrasi pasar, yaitu dengan pendekatan 3 C: Globalization of Value (Consistent global value), Regionalization of Strategy (Coordinated regional strategy), and Localization of Tactic (Customized local tactic). Dalam bidang ketenagakerjaan, dengan mudah kita jumpai eksekutif berkebangsaan Indonesia yang bekerja di Singapura dan berdomisili di Jakarta atau kebalikannya, demikian juga yang terjadi dengan eksekutif Singapura dan Malaysia. Regionalisme telah berkembang dari kerjasama antar negara untuk meningkatkan persahabatan sebagai tetangga, telah berkembang menjadi satu pakta perdagangan dan ekonomi, sedang globalisasi perdagangan yang dimotori negara-negara maju dimulai dari sektor perdagangan dan kemudian

memasuki sector-sektor lainnya. Fenomena pertumbuhan ekonomi dan munculnya kekuatan baru China dan India dalam perdagangan internasional merupakan hal yang perlu mendapat perhatian bagi semua negara. China dengan tenaga kerjanya yang murah (karena masih dalam alam komunisme) telah menguasai pasar consumer goods sampai low end consumer durables. Industri dari negara-negara maju yang memproduksi di China, kemudian menerapkan branding baru, untuk tidak merusak image dari brand aslinya. Perusahaan China pun rajin membeli perusahaan terkemuka dunia. Contohnya IBM-Personal Computer telah dijual kepada Lenovo dari China. Demikian juga perusahaan-perusahaan China dalam bidang energi dan baja, telah agresif meng-akuisisi beberapa perusahaan dunia. Kitapun merasakan akibat tsunami produk Cina ini dalam industri TPT, consumer electronic, sepatu sampai mainan anak-anak.

Tekno-nasionalisme Keterpaksaan, antara lain melalui embargo, sering kali mendorong sebuah negara untuk dapat meningkatkan kemandiriannya didalam teknologi, tetapi kadang kala karena ketidak siapan SDM yang dimilikinya menyebabkan keterpurukan yang makin mendalam. Sebagai contoh kemandirian teknologi yang ingin dibangun oleh rakyat dan bangsa Irak sejak tahun tujuhpuluhan belum mencapai titik lepas landasnya. Bangsa Irak belum berhasil memiliki critical mass yang diperlukan untuk lepas landas, sehingga embargo dan pembatasan anggaran sejak tahun 1991 telah melumpuhkan upaya kemandirian teknologinya. Demikian halnya juga terjadi di tanah air kita di era perang dingin sampai dengan tahun 1967. Tetapi dibagian dunia lain kita menyaksikan juga bagaimana embargo atau pengucilan yang berlangsung lama telah menghasilkan critical mass untuk menumbuhkan kemandirian suatu bangsa. Afrika Selatan, Republik Rakyat Cina dan Taiwan merupakan contoh yang mengesankan dalam penguasaan teknologi selama mereka menghadapi embargo. Negara-negara tersebut telah menguasai beberapa teknologi tinggi dan dapat bersaing dipasar global. Hal ini dimungkinkan karena adanya kekuatan teno-nasionalisme yang tangguh, dinamis, konsisten dan berkesinambungan. Dalam satu kesempatan tahun 2003, saya menyatakan bahwa

krisis tahun 1965, maupun krisis tahun 1998 yang kita hadapi, mengakibatkan terjadinya pembangunan teknologi yang terputus (disruptive technological development). Kenyataannya menunjukan bahwa proses penguasaan teknologi, melalui lisensi, belum mencapai titik tinggal landasnya (take off), malah ada kesan bahwa proses dan investasi tersebut menjadi terbengkalai, dan dianggap keliru. Dalam mengembangkan industri berbasis teknologi, termasuk industri militer, kita tidak dapat terlepas dari kenyataan bahwa satu bangsa harus memiliki techno-ideology, yang menjadi landasan bahwa bangsa ini memang sungguh-sungguh ingin menguasai teknologi dan industri. Strategi pengembangan industri dan penguasaan teknologi bukanlah kebijakan sesaat. Janganlah setiap pergantian pemerintahan, kita melakukan perombakan tanpa dikaitkan pada techno-ideology yang kita sepakati. Sebuah kebijakan terpadu TIPS (Technology and Industrial Policies), yaitu kebijakan industri yang didasari dengan penguasaan teknologi harus dapat dilaksanakan dalam kurun waktu yang panjang secara konsisten. Di negara berkembang pada umumnya keterkaitan antara teknologi dengan ekonomi pada dasarnya sangat lemah. Pengalaman negara-negara industri baru seperti Jepang, Taiwan dan Korea dalam membangun kemandirian bangsa, menunjukkan bahwa bantuan pemerintah yang mendorong penerapan IPTEK ke dalam ekonomi cukup signifikan. Hampir semua kasus perkembangan IPTEK dalam industri di negara industri baru menunjukkan bahwa kondisi minimal dari tenaga kerja baik dalam ketrampilan maupun sikap merupakan prakondisi dapatnya suatu teknologi baru dikapitalisasi dalam kegiatan ekonomi. Dalam menghadapi perubahan yang cepat dalam bidang teknologi, maka perencanaan penerapan teknologi baru agar dilakukandalam tiga dimensi yang bersamaan dilaksanakan: product-process-supply chain. Pada dasawarsa 1970,1980 dan 1990, pasar dunia dikejutkan dengan kemajuan industri dibeberapa negara yang kemudian dinamakan sebagai negara-negara industri baru. Sejak akhir Perang Dunia II, sudah nampak adanya perbedaan perkembangan indusri dinegara-negara yang dikatagorikan terbelakang. Negara-negara industri baru yang kemudian disebut juga The Rest ternyata sejak lama telah mempunyai manufacturing experience dari industri tradisionalnya, serta kemampuan yang merupakan budaya yang sudah dimiliki secara turun temurun. Diantara negaranegara tersebut adalah Cina, India, Indonesia, Korea, Malaysia, Taiwan dan Thailand di Asia; Argentina, Brasilia,

Chili dan Meksiko di Amerika Latin; dan Turki di Timur Tengah. Negar-negara tersebut mempunyai pengalaman yang cukup panjang dalam kemampuan manufakturing, antara lain dalam memproduksi tekstil (tenun, batik, pewarnaan) termasuk peralatannya, sutera, alat-alat kebutuhan rumah tangga dan pertanian, senjata, pengawetan bahan makanan dan lain sebagainya. Secara bertahap dan berkelanjutan kemudian memasuki kedalam industri dengan teknologi menengah (sunset industri dari negara industri maju) dan akhirnya memasuki teknologi tinggi (late industrialized country). Kita sendiri di Indonesia banyak memiliki kearifan lokal dan tradisional (local and traditional genius) dibidang teknologi, industri, dan manajemen. Pengetahuan yang berkembang turun menurun dan selalu disesuaikan dengan perkembangan menjadi tacit knowledge, seperti antara lain tenun, batik (tulis dan cap), pengecoran logam, alat-alat pertanian dan perikanan, alat transportasi (becak, delman, dll), pengawetan makanan, dan manajemen pengairan (subak di Bali). Perkembangan yang terjadi dinegara-negara yang tadinya dikatagorikan sebagai negara terbelakang, yang tidak memiliki proprietary innovations dan teknologi, merupakan phenomena yang menjadi perhatian banyak pakar, scholars dan politisi. Negara-negara tersebut, telah berhasil melompat kedepan dalam persaingan global. Tidak dimilikinya proprietary innovations and technology, menyebabkan negara-negara ini lambat memasuki industrialisasi (late industrialization). Keberhasilan mereka mengembangkan industrinya didasasri atas kemampuan belajar, walaupun tergantung dari teknologi dari negara-negara industri maju yang tersedia dipasar (commercialized technology). Negara-negara tersebut termasuk Indonesia, pada dasarnya telah memiliki aset yang penting untuk menuju ke knowledge based economy, karena telah terjadi pergeseran aset dari bidang primary product yang dilakukan oleh tenaga tidak trampil, menjadi aset yang didasari knowledge dan dilakukan oleh tenaga-tenaga trampil. Pergeseran atau transformasi ini melibatkan perubahan orientasi pelaku bisnis dan modal, dari rent seeking, perdagangan, dan pertanian, menjadi manufakturing yang menjadi dasar pertumbuhan ekonomi modern. Sampai beberapa tahun yang lalu, sebelum krisis, kita telah berhasil mencapai transformasi ini, hal ini dapat dilihat dari indikator ekonomi, seperti kontribusi industri pengolahan dalam PDB, maupun dilihat dari distribusi tenaga kerja. Kemampuan negara The Rest dalam mengembangkan knowledge based

asset ini sangat mengesankan. Kemampuan manajerial telah memungkinkan mereka bisa memasuki pasar internasional secara kompetitif. Apa yang telah dicapai dalam teknologi, terutama oleh Korea, Taiwan, Cina, Turki dan Indonesia (pernah dalam teknologi dirgantara), menunjukan bahwa negara dan bangsa tersebut telah dapat menguasai manajemen teknologi secara memadai. The Rest telah menguasai generic capabilities dalam produksi, manajemen dan mengembangkan sistem inovasinya. Dalam hal ini saya masih melihat bahwa Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara The Rest lainnya. Dihampir semua negara, juga negara industri maju, intervensi pemerintah dalam proses pengembangan knowledge based asset sangat diperlukan dan harus dilakukan. Memang porsinya berbeda, dan ini sangat tergantung dari prilaku para pebisnis dan pemilik modal. Kalau pebisnis dan pemodal masih banyak berorientasi dengan kegiatan rent seeking, maka dibutuhkan bukan hanya intervensi pemerintah (dengan kebijakan), tetapi keterlibatan pemerintah dalam pengembangan knowledge based asset tersebut melalui special structured companies seperti BUMN. Produk-produk dalam negeri yang dikembangkan harus bisa dibanggakan, sehingga menjadi national champion atau unggulan nasional. Semua wajib mendukung dan mempertahankan berbagai national champion. Kita semua harus menjadi tekno-nasionalis yang loyal dan setia. Kemandirian teknologi telah membawa beberapa negara industri baru mempunyai posisi tawar yang kuat dipercaturan internasional. Korea Utara, Pakistan, India dan mungkin Iran menguasai teknologi nuklir termasuk untuk persenjataan. Cina, India, Iran dan Pakistan, memiliki kemandirian teknologi peroketan, misil dan bahkan ruang angkasa. Upaya menuju kemandirian bangsa ini terasa terhenti dengan terjadinya krisis pada tahun 1997. Gencarnya reformasi yang terus digulirkan tidak menyentuh sama sekali upaya menegakkan kemandirian melalui penguasaan teknologi. Fokus manajemen Bersamaan dengan proses globalisasi ekonomi terjadi transformasi struk tural dalam dunia usaha. Kita cermati adanya kecenderungan perusahaan-perusahaan besar, terutama multi national company, mulai menempuh upaya memperkecil ukuran unit produksi (downsizing). Internalisasi kegiatan usaha, misalnya melalui integrasi vertikal atau horizontal, pada akhirnya menyebabkan biaya transaksi yang

sebelumnya merupakan biaya overhead ternyata kemudian secara operasional berkembang menjadi fixed cost. Gejala downsizing tersebut merupakan upaya restrukturisasi usaha dengan makin diperhitungkannya aspek economic of scope dan economic of time, disamping pentingnya economic of scale. Kecenderungan demikian mendorong perusahaanperusahaan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahanya serta responsif terhadap perubahan pasar yang berubah sangat cepat. Globalisasi perdagangan menjadikan interaksi antara bangsa bukan hanya sebagai persahabatan saja, tetapi sudah merupakan interaksi yang diliputi oleh persaingan dan negosiasi untuk mencari keuntungan. Kita dihadapkan pada berbagai masalah multi- and cross cultural. Bagi bangsa Indonesia sebetulnya dalam perdagangan dan persaingan usaha, sudah biasa dihadapkan pada budaya dan penempatan nilai-nilai (values) yang berbeda untuk setiap suku. Adanya perusahaan multinasional, penanaman modal asing, dan pemilikan saham oleh perusahaan asing, telah menimbulkan terjadinya pertukaran budaya yang intensif, termasuk dalam kehidupan diluar jam kerja. Khususnya dalam persaingan global perlu kita mengenali budaya dan nilai-nilai yang dimiliki oleh pesaing ataupun partner kita. Farid Elashmawi (2001), memberikan gambaran bagaimana berbagai bangsa menempatkan nilai-nilai dalam urutan yang berbeda. Dari 20 katagori nilai-nilai yang diperlukan dalam persaingan, yaitu Group Harmony, Competition, Seniority, Cooperation, Privacy, Openness, Equality, Formality, Risk Taking, Reputation, Freedom, Family Security, Relationship, Self-reliance, Time, Group Consensus, Authority, Material Possesions, Spiritual Enlightenment, Group Achievment, telah dapat disusun urutan seperti dibawah ini. AMERIKA JEPANG KOREA THAI INDONESIA ARAB Equality Relationship Family Seniority Seniority Seniority Freedom Gr Harmony Cooperation Reputation Reputation Spiritual Openness Family Relationship Cooperation Gr Harmony Reputation Self-Reliance Freedom Gr Harmony Authority Family Family Cooperation Cooperation Spiritual Relationship Relationship Authority Sedang diantara bangsa Cina dari beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Cina, didapatkan gambaran sebagai

berikut CHINA TAIWAN HONGKONG SINGAPORE Equality Competition Competition Relationship Freedom Family Relationship Family Family Reputation Reputation Openness Gr Harmony Seniority Time Cooperation Cooperation Authority Wealth Freedom Competition Wealth Authority Equality Bagi para pengusaha, pejabat luar negeri terutama diplomat, pengetahuan mengenai nilai-nilai dan kebiasaan tiap bangsa perlu diketahui dan dikenali secara baik. Apalagi dalam mengembangkan ekspor yang sudah mulai berubah, dari produk pertanian primer menjadi produk agro olahan, yang berimplikasi bahwa konsumen kitapun berubah. Sehingga pengetahuan kita mengenai berbagai aspek dari budaya pembeli kita menjadi penting. Ekspor merupakan bagian yang penting dari ekonomi negara kita, dan lebih penting dari pinjaman atau bantuan luar negeri, sehingga pengetahuan kita akan budaya partner dagang kita menjadi sangat penting. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya saing adalah produktivitas dan efisiensi. Kita ketahui bawa tingkat produktivitas bangsa kita sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara pesaing. Rendahnya produktivitas menyebabkan kita memerlukan dana dan waktu yang lebih banyak dibandingkan dengan pesaing kita, untuk memproduksi barang yang sama. Peningkatan produktivitas dan efisiensi merupakan sumber pertumbuhan utama untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan meningkatkan daya saing kita. Dan sebaliknya pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan juga merupakan unsur penting dalam menjaga kesinambungan peningkatan produktivitas jangka panjang. Dalam beberapa dekade yang lalu, perusahaan-perusaah didunia telah melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan produktivitas dan tingkat kompetitifnya. Sebut saja mulai dari TQM, reengineering, value analysis, right sizing, restructuring, turnarounds, and cultural change. Upaya tersebut hanya diterapkan sebagai langkah revitalisasi atau reformasi saja, maka kita terpaku pada proses implementasi yang sifatnya pendekatan internal tanpa mengindahkan struktur sosial masyarakat sekitarnya. Sebagian besar upaya demikian telah gagal (John P. Kotter 1995). Dalam menghadapi dunia persaingan yang makin ketat ini, maka perubahan atau perombakan (Change) menjadi pilihan (Mary Lynn Manns and

Linda Rising 2005). Satu perubahan mendasar hanya bisa dijalankan dengan baik, kalau kita memperhatikan tiga aspek yang dominan, yaitu: Inisiator atau Pemeran utama (The Change Agent), Budaya (The Culture) dan Masyarakat (The People) Inisiator atau Pemeran Utama The Change Agent, harus dilakukan oleh pimpinan sendiri, yang berarti pendekatan top down. Pimpinan seyogyanya menguasai secara mendalam mengenai latar belakang, falsafah, dan tujuan serta dampak (output, outcome, impact) dari perubahan tersebut. Sebagai the change agent, sudah harus memiliki strategi dan pentahapan untuk melaksanakan perubahan tersebut. Menginternalisasikan rencana penerapannya dalam kebijakan yang terintergrasi, serta menyusun kelompok-kelompok kecil di lapangan yang fanatik akan perubahan tersebut. Budaya The Culture, ini adalah bagian yang paling sukar. Berbagai kebiasaan yang sudah melembaga jadi budaya yang menghambat seperti alon asal kelakon, monopoli, asal bapak senang, dan lainnya, perlu ditangani secara professional. Masyarakat - The People, sebuah perubahan sangat tergantung dari orang-perorangan anggota masyarakat yang berbeda dari sisi sosio-ekonominya. Penerimaan mereka atas satu perubahan sangat berbeda. Umumnya kita percaya bahwa seseorang mengambil keputusan mengandalkan logika, tetapi dalam beberapa hal mereka akan lebih mengandalkan emosinya, dan membandingkan dengan fakta yang ada. Dalam penerimaan satu ide baru atau perubahan, menurut E.M. Rogers (Diffusion of Innovations) pentahapannya ditentukan sebagai berikut: " Pemrakarsa (Innovators 2,5%) hanya merupakan bagian kecil dari masyarakat. " Kelompok kedua Dini (Early Adopters 13,5%) - adalah mereka yang mempertimbangkan dengan seksama keuntungan yang diperoleh. " Kelompok ketiga Pengikut (Early Majority 33,3%) mereka adalah kelompok besar yang memperhatikan dan mengikuti panutannya. Mereka hanya berpikir secara pragmatis untuk menerima perubahan. " Kelompok yang merasa tertekan (Late Majority 33,3%) mereka yang selalu skeptis dan hati-hati. Mereka sudah mapan dengan keadaan yang lama, dan hanya menerima kalau melihat sekitarnya sudah menjalankan dengan baik. Bisa juga mereka hanya menerima setelah mendapatkan pressure atau tekanan. " Kelompok siput (Laggards) mereka adalah kelompok

terakhir yang akan menerima perubahan atau sama sekali akan menolaknya. Mereka merasa nyaman dengan yang ada, dan selalu mencurigai segala macam perubahan. Mereka bukanlah pembangkang, tapi dapat menerima perubahan dengan pemaksaan. Sejak dua dekade terakhir ini hampir setiap pemimpin suatu organisasi, baik organisasi bisnis maupun pemerintah, mulai meninggalkan prinsip-prinsip pendekatan manajemen lama, dan menerapkan manajemen modern yang lebih dikenal dengan penerapan prinsip tanggung jawab sosial organisasi (corporate social responsibility-CSR), yang tujuannya lebih banyak menitikberatkan pada pencapaian sasaran suatu organisasi untuk jangka panjang. Dalam penerapan prinsip ini, seorang pemimpin harus memiliki pandangan jauh kedepan untuk mempertahankan organisasinya tidak hanya menerapkan prinsip-prinsip ekonomi dan hukum (legal) semata, melainkan mencakup hal yang lebih luas lagi yaitu dengan penerapan prinsip-prinsip tanggung jawab etika dan kepedulian sosial. Dua prinsip tersebut diatas tidak lepas dari suatu kenyataan bahwa suatu organisasi, baik organisasi bisnis dan lebih-lebih lagi organisasi publik, menpunyai sifat terbuka dan harus peka terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat luas sebagai stakeholders, baik yang terkait langsung dengan organisasi maupun yang tidak langsung. Prinsip tanggung jawab etika dan kepedulian sosial diterapkan dalam manajemen modern karena pada kenyataannya banyak hal-hal yang berkaitan dengan tuntutan masyarakat tersebut tidak cukup hanya diatur oleh suatu ketentuan-ketentuan hukum dan ekonomi yang bersifat formal dan kaku. Prinsip ini berbeda dengan prinsip manajemen lama (tradisional) yang hanya mementingkan organisasinya (an sich) dengan menekankan prinsip hukum dan ekonomi semata dan lebih banyak memusatkan kebijakannya untuk kepentingan jangka pendek, suatu prinsip yang semula didasari atas pemikiran klasik, kapitalistis seperti Adam Smith dan Milton Friedman. Pemikiran modern telah dikembangkan oleh para ahli dan pemikir yang menandaskan bahwa tanggung jawab sosial adalah suatu keharusan bagi organisasi, sebagai menu utama dalam mencapai kesehatan organisasi untuk jangka panjang. Dilihat dari piramida (strata) cakupan tanggung jawab organisasi modern, maka tanggung jawab ekonomi (economic responsibility) menduduki strata paling rendah sebagai kebutuhan dasar atau sebagai titik tolak, kemudian tanggung jawab hukum (legal), disusul dengan tanggung jawab etika

(ethical responsibility) dan paling tinggi adalah tanggung jawab kepedulian sosial (philanthropic responsibility). Seperti kita ketahui bahwa tidak setiap harapan dan kepentingan masyarakat (social expectation) dapat dituangkan ke dalam hukum dan perundangan, terlebih lagi dalam masa transisi dan transformasi yang kita alami sejak tahun 1998. Demikian juga dalam alam demokrasi yang sekarang ini, banyak lapisan dan kelompok masyarakat, sebagai stakeholder, tidak diikutkan dalam proses pengambilan keputusan yang penting. Sistim demokrasi sekarang ini menurut pakar-pakar ilmu politik sering disebut dengan demokrasi tipis ( thin democracy), yang menjadi sumber dari berbagai protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, tanggung jawab sosial mengarahkan organisasi kepada pengambilan keputusan yang didasari atas benar (right) atau salah (wrong) dan baik (good) atau buruk (bad), dilihat dari kacamata organisasi dan normanorma dinamis yang ada di masyarakat (Philip Kotler, Nancy Lee- 2005). Yang penting adalah diperhatikannya prinsipprinsip keseimbangan dalam masyarakat. Hal ini memang merupakan tantangan berat dalam manajemen, sehingga dalam kenyataannya diterapkan pendekatan yang dikenal dengan pendekatan Kant (Immanuel Kant, 1964) dengan the golden rule nya yang terbaik untuk kepentingan komunitas yang lebih luas. Kepedulian sosial adalah bentuk tanggung jawab suatu organisasi, terlebih-lebih organisasi publik. Tanggung jawab ini mencakup berbagai aktivitas organisasi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare) atau good will yang tidak diatur dalam aturan formal akan tetapi harus dilakukan demi keberhasilan organisasi. Bentuk-bentuk tanggung jawab ini biasa diwujudkan dalam berbagai kegiatan, yang bersifat sumbangan (donations), bersifat promosi (promotions), dan yang berkaitan dengan amal (charity). Dari prinsip-prinsip di atas, maka secara keseluruhan dalam terminologi ilmu manajemen biasa disebut sebagai prinsip tanggung jawab sosial yang merupakan kunci keberhasilan pengembangan dari suatu budaya organisasi modern (modern organizational culture). Prinsip ini tidak lepas dari kepekaan pimpinan suatu organisasi (sebagai individu maupun organisasi) terhadap kondisi lingkungan, norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku setempat dan dinamis, kaidah-kaidah agama, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat, yang pada umumnya tidak diatur dalam aturan-aturan formal (hukum dan ekonomi) namun harus dilakukan karena menyangkut etika dan

kepedulian sosial. Dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, maka organisasi akan berkembang dengan tiga ciri atau sifat utama yang mencerminkan sifat organisasinya yaitu: 1. Kepatuhan sosial (social obligation), dimana organisasi dalam menjalankan tugasnya hanya didasari atas batasanbatasan formal (legal dan ekonomi), hak (rights), dan karena tugas-tugas formal dari atas (duties). 2. Bersifat sosial (social behavior), dimana organisasi diarahkan untuk memenuhi tuntutan masyarakat sesuai normanorma dan nilai-nilai yang berlaku setempat. 3. Kepekaan sosial (social responsiveness), dimana organisasi harus melakukan perubahan strategi secara aktif (responsive) dalam cara berfikir dan bertindak terhadap perkembangan masyarakat, yang menurut urgensinya perlu dilakukan demi kepentingan jangka panjang organisasi. Dengan demikian semakin besar organisasi akan semakin besar tuntutannya terhadap tanggung jawab sosial. Tentu menerapkan sesuatu yang baru tidaklah mudah, apalagi kalau organisasi tersebut telah lama berkembang dengan budaya organisasinya (corporate culture). Tantangan yang dihadapi bukan saja tantangan dari luar (external) yang sangat dinamis dan selalu menginginkan adanya paradigma baru yang ingin keluar dari pengaruh rezim lama, tetapi juga tantangan dari dalam (internal) yang telah lama berkembang dengan berbagai bentuk kekuasaan. Hal terakhir yang perlu menjadi fokus manajemen saat ini adalah mengenai arah perkembangan setelah Information Age sekarang ini. Daniel H.Pink (2005) menyampaikan pandangannya mengenai munculnya Conceptual Age di abad 21. Kalau sampai sekarang perkembangan didunia di dominasi oleh pemikiran-pemikiran yang didasari hasil olah otak sebelah kiri, maka abad 21 ini peran hasil olah otak sebelah kanan akan lebih dominan. Kenyataan bahwa di Amerika Serikat dan negara maju telah mencapai hidup berkecukupan, meluasnya otomatisasi dan robot, serta bergesernya pekerjaan ke Asia, menyebabkan pendidikan di perguruan tinggipun bergeser. Kalau MBA program (Harvard) hanya dapat menerima 10 persen dari pelamar, sedangkan di Fine Arts Graduate School (UCLA) hanya dapat menampung 3 persen dari pelamar. Juga dicermati dibeberapa perusahaan telah terjadinya pergeseran dari MBA (Master of Business Administration) ke MFA (Master of Fine Arts). Hal inilah yang berkembang akhir-akhir ini mengenai pentingnya EQ disamping IQ. Konsep high concept yang banyak diterapkan

dalam manajemen haruslah diimbangi dengan high touch: Fungsi-Desain, Argumen-Cerita, Fokus-Simfoni, LogikaEmpati, Serius-Permainan, dan Akumulasi-Arti. Penutup Globalisasi terus bergulir dan regionalisme pun makin menguat. Kesenjangan yang dimunculkan oleh hegemoni negara maju memicu lahirnya gerakan nasionalisme baru (Amerika Selatan) dan menguatnya pengaruh tekno-nasionalis. Orientasi regionalpun makin meningkat. Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para pimpinan baik perusahaan maupun lembaga publik. Dalam dunia yang terus berkembang dengan sangat dinamis, waktu menjadi kendala yang paling besar. Segala keputusan yang diambil oleh pimpinan selalu mengandung risiko. Keputusan harus diambil pada saat yang tepat. Surabaya, 4 Juni 2007

Pustaka: Joseph Stiglitz - Globalization and Its Discontents (2002) - Making Globalization Work (2006) Alice H.Amsden - The Rise of The Rest (2001) John P.Kotter - Leading Change: Why Transformation Effort Fail (HBR 1995) Mary Lynn Manns, Linda Rising - Fearless Change (2005) Farid Elashmawi - Competing Globally (2001) Thomas L.Friedman - The World Is Flat (2005) Richard J.Samuels, Wlliam W.Keller - Crisis and Innovation in Asian Technology (2003) Daniel H.Pink - A Whole New Mind (2005) E.M.Roggers - Diffusion of Innovations George Monbiot - The Age of Consent (2003) Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, Hooi Den Huan - Think ASEAN (2007) Thomas L. Friedman - The World is Flat (2005)

ebmaster

You might also like