You are on page 1of 35

TINJAUAN PUSTAKA MALARIA

Disusun oleh Nama : Bagus Adi Suberkah

Pembimbing : dr. Triastutik Sp. A

RSUD dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto


i

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas rahamat-Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis ini. Penyusunan karya tulis ini merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik di SMF Anak dimana saya mendapatkan judul tentang Malaria. Tak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada dr. Triastutik Sp. A sebagai dokter pembimbing. Sebagai manusia biasa saya tak luput dari kesalahan dan khilaf. Oleh karena itu saya mohon maaf apabila ada sesuatu yang tak berkenan di hati dan kesalahan dalam pengetikan dalam penyusunan tinjauan pustaka ini yang membuat tidak nyaman pembaca. Saya juga berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca.

Mojokerto, 31 April 2013

ii

Lembar Pengesahan
Telah Disetujui dan Disahkan pada :

Hari Tanggal

: :

Mengetahui, Dokter Pembimbing

dr. Triastutik Sp. A

iii

DAFTAR ISI
Cover Kata Pengantar Lembar pengesahan Daftar isi BAB I Pendahuluan BAB II Tinjauan Pustaka BAB III Kesimpulan BAB IV Daftar Pustaka i ii iii iv 1 2 30 31

iv

BAB I PENDAHULUAN
Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di banyak Negara di dunia terutama Afrika, Amerika Latin dan Asia. Setiap tahun kira-kira 300 juta sampai 500 juta orang di dunia terinfeksi malaria dan antara 750.000 sampai 2 juta jiwa meninggal dunia setiap tahun akibat malaria (WHO, 2004). Populasi yang paling dirugikan akibat malaria adalah: ibu hamil, anak-anak terutama kelompok umur balita, pendatang yang berasal dari daerah non-endemis ke daerah endemis, serta para penderita penyakit dengan penurunan sistim imunitas tubuh. Permasalahan pengendalian malaria di negara-negara endemis, mobilitas manusia yang tinggi, perubahan iklim, kondisi sosial-ekonomi yang lemah, perilaku manusia, sulitnya membuat vaksin malaria, serta ditambah adanya resisten terhadap obat anti malaria, merupakan faktor-faktor yang memperberat dan menyebabkan malaria belum dapat dieradikasi hingga saat ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


a. Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan

hepatosplenomegali yang dapat berlangsung akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.

b. Epidemiologi
Malaria merupakan penyakit endemis atau hiperendemis di daerah tropis maupun subtropis dan menyerang negara dengan penduduk padat. Kini malaria terutama dijumpai di Meksiko, sebagian Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah, India, Asia Selatan, Indo Cina, dan pulau-pulai di Pasifik Selatan. Diperkirakan prevalensi malaria di seluruh dunia berkisar antara 160-400 kasus. Plasmodium vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas, mulai dari daerah yang beriklim dingin, subtropik sampai ke daerah tropis, kadang-kadang dijumpai di Pasifik Barat. Plasmodium falciparum terutama menyebabkan malaria di Afrika dan daerah-daerah tropis lainnya. Di Indonesia malaria tersebar di seluruh pulau dengan derajat endemisitas yang berbedabeda dan dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1800 meter di atas permukaan laut. Angka Annual Parasite Incidence (API) malaria di pulau Jawa dan Bali pada tahun 1997 adalah 0,120 per 1000 penduduk, sedangkan di luar pulau Jawa angka Parasite Rate (PR) tetap tinggi yaitu 4,78% pada tahun 1997, tidak banyak berbeda dengan angka PR tahun 1990 (4,84%). Spesies yang terbanyak dijumpai adalah Plasmodium falciparum dan
2

Plasmodium vivax. Plasmodium malariae dijumpai di Indonesia bagian timur, Plasmodium ovale pernah ditemukan di Irian Jaya dan Nisa Tenggara Timur. Angka kesakitan malaria untuk Jawa Bali diukur dengan API dan untuk luar Jawa Bali diukur dengan PR. Air tergenang dan udara panas masing-masing diperlukan untuk pembiakan nyamuk menunjang endemisitas penyakit malaria. Pada dua puluh lima tahun terakhir ini dijumpai adanya resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin telah menyebar ke berbagai negara endemis malaria termasuk Indonesia. Resistensi ini mungkin karena munculnya gen yang telah mengalami mutasi. Akhir-akhir ini juga dijumpai resistensi Plasmodium falciparum terhadap pirimetamin-sulfadoksin meningkat di negara-negara Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika Sub-Sahara.

Gambar 1. Peta penyebaran infeksi malaria di Indonesia

c. Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium. Pada manusia Plasmodium terdiri dari 4 spesies, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Plasmodium falciparfum merupakan penyebab infeksi
3

berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies Plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu Plasmodium falciparfum yang menyebabkan malaria tropika, Plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan Plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale. Seorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai infeksi campuran atau majemuk. Pada umumnya dua jenis Plasmodium yang paling banyak dijumpai adalah campuran antara Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax atau Plasmodium malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis Plasmodium sekaligus, meskipun hal ini jarang sekali terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah dengan angka penularan tinggi. Akhir-akhir ini di beberapa daerah dilaporkan kasus malaria yang telah resisten terhadap klorokuin, bahkan juga resisten terhadap pirimetamin-sulfadoksin. Penyakit ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan, tetapi pada anak-anak yang berumur beberapa tahun dapat terjadi serangan malaria tropika yang berat, bahkan tertiana dan kuartana dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak dengan gangguan gizi.

d. Daur Hidup Plasmodium


Pada tahun 1898 Ronald Ross membuktikan keberadaan Plasmodium pada dinding perut tengah dan kelenjar liur nyamuk Culex. Atas penemuan ini ia memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran pada tahun 1902, meskipun sebenarnya penghargaan itu perlu diberikan kepada profesor Italia Giovanni Battista Grassi, yang membuktikan bahwa malaria manusia hanya bisa disebarkan oleh nyamuk Anopheles. Siklus hidup Plasmodium amat rumit. Sporozoit dari liur nyamuk betina yang mengigit disebarkan ke darah atau sistem limfa penerima. Penting disadari bahwa bagi sebagian spesies vektornya mungkin bukan nyamuk. Nyamuk dalam genus Culex, Anopheles, Culiceta, Mansonia dan Aedes mungkin bertindak sebagai vektor. Vektor yang diketahui kini bagi malaria manusia (>100 spesies) semuanya tergolong dalam genus Anopheles. Malaria burung biasanya dibawa oleh spesies genus Culex. Siklus hidup Plasmodium diketahui oleh Ross yang menyelidiki spesies dari genus Culex.
4

Dalam daur hidup Plasmodium mempunyai 2 hospes, yaitu vertebrata dan nyamuk. Siklus aseksual dalam proses hospes vertebrata dikenal sebagai skizogoni, sedangkan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai sporogoni. Sporozoit yang aktif dapat ditularkan ke dalam tubuh manusia melalui ludah nyamuk, kemudian menempati jaringan parenkim hati dan tumbuh sebagai skizon (stadium eko-eritrositer atau stadium praeritrositer). Sebagian sporozoit tidak tumbuh dan tetap tidur (dormant) yang disebut hipnozoit. Plasmodium falciparum hanya terjadi satu kali stadium pra-eritrositer sedangkan spesies lain mempunyai hipnozoit bertahun-tahun sehingga pada suatu saat dapat aktif dan terjadilah relaps. Sel hati yang berisi parasit akan pecah dan terjadilah merozoit. Merozoit akan masuk ke dalam eritrosit (stadium eritrositer), tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk cincin, disebut tropozoit. Tropozoit membentuk skizon muda dan setelah matang, membelah menjadi merozoit. Setelah pembelahan eritrosit akan hancur; merozoit, pigmen dan sel sisa akan keluar dan berada di dalam plasma. Parasit akan difagositosia oleh RES. Plasmodium yang dapat menghindar akan masuk kembali ke dalam eritrosit lain untuk mengulangi stadium skizogoni. Beberapa merozoit tidak membentuk skizon tetapi memulai dengan bagian gametogoni yaitu membentuk mikro dan makro gametosit (stadium seksual). Siklus tersebut disebut masa tunas intrinsik. Dalam tubuh nyamuk, parasit parasit berkembang secara seksual (sporogoni). Sporogoni memerlukan waktu 8-12 hari. Dalam lambung nyamuk, makro dan mikrogametosit berkembang menjadi makro dan mikrogamet yang akan membentuk zigot yang disebut ookista, yang selanjutnya menembus dinding lambung nyamuk membentuk ookista yang membentuk banyak sporozoit. Kemudian sporozoit akan dilepaskan dan masuk kedalam kelenjar liur nyamuk. Siklus tersebut disebut masa tunas ekstrinsik. Secara umum, pada dasarnya semua orang dapat terkena malaria; walaupun terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu: 1. Ras atau suku bangsa. Di Afrika, apabila prevalensi hemoglobin S (HbS) cukup tinggi, penduduknya lebih tahan terhadap infeski P. Falciparum. Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa HbS menghambat perkembangan P. Falciparum baik sewaktu invasi maupun sewaktu berkembang biak.

2.

Kurangnya suatu enzim tertentu. Kurangnya enzim G6PD (glucosa 6-phosphat dehydrogenase) memberikan perlindungan terdapat infeksi P. falaciparum yang berat. Walaupun demikian, sulfonamid dan primakuin oleh karena dapat terjadi hemolisis darah. Definisi enzim G6PD ini merupakan penyakit genetik dengan manifestasi utama pada perempuan.

Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan Plasmodium yang masuk atau menghalangi perkembangbiakannya

Gambar 2. Daur hidup plasmodium

e. Transmisi
Malaria dapat ditularkan melalui dua cara alamiah dan bukan alamiah. 1. Penularan secara alamiah (natural infection), melalui gigitan nyamuk Anopheles. 2. Penularan bukan alamiah, dapat dibagi menurut cara penularannya, yaitu:

a.

Malaria bawaan (kongenital), disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya. Selain melalui plasenta penularan dari ibu kepada bayi melalui tali pusat.

b.

Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik. Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi malaria melalui transfusi hanya menghasilkan siklus eritrositer karena tidak melalui sporozoit yang memerlukan siklus hati sehingga dapat diobati dengan mudah.

c.

Penularan secara oral, pernah dibuktikan pada ayam (Plasmodium gallinasium), burung dara (Plasmodium relection) dan monyet (Plasmodium knowlesi).

Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.

f. Patogenesis
Selama skizogoni sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk samping parasit, seperti membran dan isi sel-sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik, tetapi menyebabkan tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag dalam sistem retikuloendotelial dan dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada sebagian besar jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi saat skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan kaskade pembekuan darah. Mengenai patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan

permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi intravaskular. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit, pada percobaan binatang dibuktikan adanya gangguan transportasi natrium sehingga keluar dari eritrosit yang mengandung parasit dan tanpa parasit malaria. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa dan keluarlah parasit. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Suatu bentuk
7

khusus anemia hemolitik pada malaria adalah black water fever, yaitu bentuk malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum, ditandai oleh hemolosis intravaskular berat, hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi. Telah lama dicurigai bahwa kini dapat memprovokasi terjadinya black water fever. Sebagai tambahan, kasus meninggal yang disebabkan malaria selalu menunjukkan adanya perubahan yang menonjol dari sistem retikuloendotelial dan mungkin juga melibatkan berbagai sistem organ. Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagisitosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa di daerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi terhadap malaria ini mungkin menimbulkan respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis. Pada malaria juga terjadi pembesaran hepar, sel Kupffer seperti sel dalam sistem retikuloendotelial terlibat dalam respon fagositosis. Sebagai akibatnya hati menjadi berwarna kecoklatan agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi infiltrasi difus oleh sel mononukleus pada periportal yang meningkat sejalan dengan berulangnya serangan malaria. Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus merupakan bagian dari sindrom pembesaran hati di daerah tropis. Nekrosis sentrilobulus terjadi pada syok. Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan ginjal. Pada malaria serebral, otak berwarna kelabu akibat pigmen malaria, sering disertai edema dan hiperemis. Perdarahan berbentuk petekie tersebar pada substansi putih otak dan dapat menyebar sampai ke sumsum tulang belakang. Pada pemeriksaan mikroskopik, sebagian besar dari pembuluh darah kecil dan menengah dapat terisi eritrosit yang telah mengandung parasit dan dapat dijumpai bekuan fibrin, dan terdapat reaksi selular pada ruang perivaskular yang luas. Terserangnya pembuluh darah oleh malaria tidak saja terbatas pada otak tetapi juga dapat dijumpai pada jantung atau saluran cerna atau di tempat lain dari tubuh, yang berakibat pada berbagai manifestasi klinik. Pada ginjal selain terjadi pewarnaan oleh pigmen malaria juga dijumpai salah satu atau dua proses patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan atau membranoproliverative
8

glomerulonephritis. Nekrosis tubulus akut dapat terjadi bersama dengan hemolisis masif dan hemoglobinuria pada black water fever tetapi dapat juga tanpa hemolisis, akibat berkurangnya aliran darah karena hipovolemia dan hiperviskositas darah Plasmodium falciparum menyebabkan nefritis sedangkan Plasmodium malariae menyebabkan

glomerulonefritis kronik dan sindrom nefrotik.

g. Patofisiologi
Gejala malaria tumbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala yang paling mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen, yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah trombosit dan leukosit neurtofit. Terjadinya kongesti pada organ lain meningkatkan resiko terjadinya ruptur limpa. Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan difagositosis oleh sistem retikuloendotelial. Hebatnya hemolisis tergantung pada jenis Plasmodium dan status imunitas pejamu. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuestrasi oleh limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal, dan gangguan eritropoiesis. Pada hemolisis berat dapat terjadi hemoglobinuria dan hemoglobinemia. Hiperkalemia dan hiperbilirubinemia juga sering ditemukan. Kelainan patologik pembuluh darah kapiler pada malaria tropika, disebabkan karena sel darah merah yang terineksi menjadi kaku dan lengket, sehingga perjalanannya dalam kapiler teganggu dan mudah melekat pada endotel kapiler karena adanya penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi penumpukan sel dan bahan pecahan sel, maka aliran kapiler terhambat dan timbul hipoksia jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan bahkan pendarahan ke jaringan sekitarnya. Rangkaian kelainan patologis ini dapat menimbulkan manifestasi klinis sebagai malaria serebral, edema paru, gagal ginjal dan malabsorpsi usus.

Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor yang diturunkan maupun yang didapat. Pertahanan terhadap malaria yang diturunkan terutama penting untuk melindungi anak kecil/bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan berkembang-biaknya parasit malaria. Masuknya parasit tergantung pada interaksi antara organel spesifik pada merozoit dan struktur khusus pada permukaan eritrosit. Sebagai contoh eritrosit yang mengandung glikoprotein A penting untuk masuknya Plasmodium falciparum. Individu yang tidak mempunyai determinan golongan darah Duffy (termasuk kebanyakan negro Afrika) mempunyai resistensi alamiah terhadap Plasmodium vivax; spesies ini mungkin memerlukan protein pada permukaan sel yang spesifik untuk dapat masuk ke dalam eritrosit. Resistensi relatif yang diturunkan pada individu dengan HbS terhadap malaria telah lama diketahui dan pada kenyataannya terbatas pada daerah endemis malaria. Seleksi yang sama juga dijumpai pada hemoglobinopati tipe lain, kelainan genetik tertentu dari eritrosit, thalasemia, difisiensi enzim G6PD dan difisiensi pirufatkinase. Masing-masing kelainan ini menyebabkan resistensi membran eritrosit atau keadaan sitoplasma yang menghambat pertumbuhan parasit. Imunitas humoral dan seluler terhadap malaria didapat sejalan dengan infeksi ulangan. Namun imunitas ini tidak mutlak dapat mengurangi gambaran klinis infeksi ataupun dapat menyebabkan asimptomatik dalam periode panjang. Pada individu dengan malaria dapat dijumpai hipergamaglobulinemia poloklonal, yang merupakan suatu antibodi spesifik yang diproduksi untuk melengkapi beberapa aktivitas opsonin terhadap eritrosit yang terinfeksi, tetapi proteksi ini tidak lengkap dan hanya bersifat sementara bilamana tanpa disertai infeksi ulangan. Tendensi malaria untuk menginduksi imunosupresi, dapat diterangkan sebagian oleh tidak adekuatnya respon ini. Antigen yang heterogen terhadap Plasmodium mungkin juga merupakan salah satu faktor. Monosit/makrofag merupakan partisipan seluler yang terpenting dalam fagositosis eritrosit yang terinfeksi.

h. Manifestasi Klinik
Secara klinis, gejala malaria tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh suatu periode (periode laten) bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada
10

nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan infeksi majemuk/ campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau satu jenis Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam terus menerus (tanpa interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal. Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang berurutan yakni stadium dingin (cold stage), stadium demam (hot stage) dan stadium berkeringat (sweating stage). Paroksisme ini biasanya jelas terlihat pada orang dewasa namun jarang dijumpai pada usia muda. Pada anak di bawah umur lima tahun, stadium dingin sering kali bermanifestasi sebagai kejang. Serangan demam yang pertama didahului oleh masa inkubasi (intrinsik). Masa inkubasi bervariasi antara 9-30 hari tergantung pada spesies parasit, paling pendek pada Plasmodium falciparum dan paling panjang pada Plasmodium malariae. Masa inkubasi ini juga tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, dan derajat imunitas pejamu. Pada malaria akibat transfusi darah, masa inkubasi Plasmodium faliciparum adalah 10 hari, Plasmodium vivax 16 hari dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah transfusi. Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing spesies parasit, untuk Plasmodium falaciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13-17 hari dan Plasmodium malariae 28-30 hari. Setelah lewat masa inkubasi, pada anak besar dan orang dewasa timbul gejala demam yang terbagi dalam tiga stadium yaitu: Stadium dingin Stadium ini diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak dan pasien biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat lemah, bibir dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering dan pucat, pasien mungkin muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam. Stadium demam Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini pasien merasa kepanasan. Muka merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, nyeri kepala, seringkali terjadi mual dan muntah, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus dan suhu badan dapat meningkat sampai 41oC atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2-12 jam. Demam disebabkan oleh karena pecahnya skizon dalam sel darah merah yang telah matang dan masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium
11

ovale, skizon dari tiap generasi menjadi setiap 48 jam sekali, sehingga timbul demam setiap hari ketiga terhitung dari serangan demam sebelumnya. Pada Plasmodium malariae, demam terjadi pada 72 jam (setiap hari keempat), sehingga disebut malaria kuartana. Pada Plasmodium falciparum, setiap 24-48 jam. Stadium berkeringat Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah, kemudian suhu badan menurun dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah normal. Gejala tersebut di atas tidak selalu sama pada setap pasien, tergantung pada spesies parasit, berat infeksi dan usia pasien. Gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria tropika yang disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk tropozoit dan skizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ-organ tubuh tersebut. Gejala mungkin berupa koma, kejang sampai gangguan fungsi ginjal. Kematian paling banyak disebabkan oleh malaria jenis ini. Black water fever yang merupakan komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin pada urin sehingga menyebabkan warna urin berwarna tua atau hitam. Gejala lain dari black water fever adalah ikterus dan muntah berwarna seperti empedu. Black water fever biasanya dijumpai pada mereka yang menderita infeksi Plasmodium falciparum berulang dengan infeksi yang cukup berat. Di daerah yang tinggi tingkat endemisitas (hiper atau holoendemik), pada orang dewasa seringkali tidak dijumpai gejala klinis walaupun darahnya mengandung parasit malaria. Hal ini disebabkan imunitas yang telah timbul pada mereka karena infeksi berulang. Limpa biasanya membesar pada serangan pertama yang berat atau setelah beberapa serangan dalam periode yang cukup lama. Dengan pengobatan yang baik, limpa secara berangsur-angsur akan mengecil kembali. Untuk memudahkan penatalaksanaan penanganan kasus malaria, manifestasi klinis dikelompokkan menjadi 1. Malaria tanpa Komplikasi Pada daerah hiper atau holoendemik, kontrol malaria tidak efektif sehingga serangan malaria akut sering terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, secara bertahap menginduksi imunitas secara aktif. Pada anak besar yang sudah mendapat imunitas, maka gejala klinisnya menjadi lebih ringan. Infeksi akut dapat terjadi pada anak besar yang mendapat kemoprofilaksis yang tidak sempurna atau lupa minum obat pada saat masuk ke
12

daerah endemis malaria. Pada daerah hipoendemik malaria, semua usia dapat terserang malaria. Hati biasanya lunak dan terus membesar sesuai dengan progresifitas penyakit, namun fungsinya jarang terganggu dibandingkan dengan orang dewasa. Ikterus dapat dijumpai pada beberapa anak, terutama berhubungan dengan hemolisis. Kadar transaminase darah sedikit meningkat untuk waktu singkat. Limpa yang besar umumnya dapat diraba pada minggu kedua; pembesaran limpa progresif sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada anak yang telah mengalami serangan berulang, limpa dapat sangat besar dengan konsistensi keras. Anemia merupakan akibat penting malaria tropika pada anak. Pada infeksi akut, beratnya anemia berhubungan langsung dengan derajat parasitemia. Malaria ovale mempunyai gejala klinis lebih ringan daripada malaria tertiana. Pada hari terakhir masa inkubasi, anak menjadi gelisah, anoreksia sedangkan anak besar mengeluh nyeri kepala dan nausea. Demam periodik tiap 48 jam tetapi stadium dingin dan menggigil jarang dijumpai pada bayi dan balita. Selama periode demam, anak selalu merasa dingin dan menggigil dalam waktu singkat. Demam sering terjadi pada sore hari. Pada anak jarang terjadi parasitemia berat, terdapat pada kurang dari 2%. Malaria tertania dan ovale jarang disertai anemia berat. Hati pada umumnya membesar dan teraba pada akhir minggu pertama. Bilirubin total dapat meningkat tetapi jarang disertai ikterus, sedangkan kadar transaminase sedikit meningkat untuk waktu singkat limpa bertambah besar selama serangan dan dapat teraba pada saat minggu kedua. Kejang dapat terjadi pada saat demam tinggi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Kematian pada anak sangat jarang terjadi, tetapi terjadi bila disertai penyakit lain yang berat, gizi buruk dan anemia berat. Pada Malaria Tertiana dan ovale bentuk dormant dari parasit dapat tetap berada dalam hati dan dapat menyebabkan relaps. Relaps dapat terjadi pada kasus yang mendapat pengobatan hanya dengan obat skizontosida saja. Gambaran klinis malaria kuartana menyerupai malaria tertiana, hanya periode demam terjadi tiap 72 jam. Sindrom nefrotik dapat terjadi pada umur 2 sampai 12 tahun dengan puncak pada usia 5-7 tahun. Dijumpai edema berat, proteinuria berat yang menetap, hipoproteinema berat dan asites. Serum albumin kurang dari 2g/dl bahkan pada 95% kurang dari 1 g/dL. Tekanan darah biasanya normal dan tidak jelas adanya azotemia dan hematuria.
13

2. Malaria Berat Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum stadium aseksual. Malaria dengan disertai satu atau lebih kelainan seperti tertera dibawah ini merupakan malaria berat, antara lain: Malaria serebral dengan kesadaran menurun (delirium, stupor, koma) Anemia berat, kadar hemoglobin 5 g/dl atau hematokrit < 15% Dehidrasi, gangguan asam basa (asidosis metabolik) dan gangguan elektrolit Hipoglikemia berat (gula darah < 40 mg%) Gagal ginjal (urin < 1 ml/kgBB/jam, kreatinin serum > 3 mg%) Edema paru akut Kegagalan sirkulasi (algid malaria), tekanan nadi 20 mmHg Kecenderungan terjadi perdarahan Hiperpireksia/hiperthermia (suhu badan > 41C) Hemoglobinuria/Black water fever Ikterus (kadar bilirubin darah > 3 mg%) Hiperparasitemia (> 5% eritrosit dihinggapi parasit)

a.

Malaria Serebral Kejang pada anak dengan malaria dapat merupakan permulaan serangan malaria serebral. Walaupun demikian, harus diingat bahwa kejang demam sering terjadi pada anak balita oleh sebab lain. Di Thailand, angka kejadian kejang pada malaria tropika 9,6% pada anak kurang dari 5 tahun dan hanya 1,5% pada anak 512 tahun. Pada penelitian di RSUP Manado selama 2 tahun (1997-1998) dari 133 penderita malaria 2 bulan sampai 13 tahun, ditemukan kejang sebanyak 13,53% dan malaria serebral sebanyak 8,27%. Pada malaria serebral, kesadaran anak apatis sampai koma, 3 dengan disorientasi dan 2 dengan mengamuk. Pada penelitian tersebut, dijumpai 10% penderita malaria serebral yang disertai dengan anemia berat meninggal sebelum sempat diberi transfusi darah. Tanda neurologik yang penting pada malaria serebral adalah gangguan upper motor neuron yang simetris
14

dan batang otak. Perdarahan dan eksudat pada retina dijumpai pada beberapa kasus namun lebih jarang dibandingkan orang dewasa. Delirium, halusinasi atau mengamuk sangat jarang dijumpai pada anak. Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya dalam batas normal. Pada kebanyakan kasus malaria serebral, dijumpai parasitemia berat disertai anemia berat. Kadang-kadang jumlah parasitemia didalam darah tepi rendah yang mungkin disebabkan oleh pengobatan antimalaria yang tidak adekuat atau parasitnya berada di dalam kapiler organ dalam. Hati dan limpa sering dapat diraba. Edema paru dijumpai pada 10% kasus anak, sedangkan oliguria dan azotemia jarang ditemukan pada anak dibandingkan dengan orang dewasa. Permeriksaan EKG terdapat kelainan yang tidak spesifik. Malaria serebral adalah malaria falciparum yang sertai kejang dan koma, tanpa penyebab lain dari koma. Gejala paling dini malaria serebral pada anak-anak umumnya adalah demam (370-410C). Selanjutnya tidak bisa makan atau minum, sering mengalami rasa mual dan batuk, jarang diare. Riwayat gejala yang mendahului koma dapat sangat singkat, umumnya 1-2 hari. Anak-anak yang sering kehilangan kesadaran setelah demam harus diperkirakan mengalami malaria serebral, terutama jika koma menetap lebih dari setengah jam. Dalamnya koma dapat dinilai sesuai dengan skala koma Glasgow atau modifikasi khusus pada anak yaitu Blantyre, melalui pengamatan terhadap respon ransangan bunyi atau rasa nyeri yang standar, ketukan (knucke) iga pada dada anak dan jika tidak ada respon lakukan tekanan kuat pada kuku ibu jari dengan pensil pada posisi mendatar. Selalu singkirkan dan atasi kemungkinan hipoglikemia. Skala koma dapat digunakan berulang kali untuk menilai ada kemajuan atau kemunduran. Kejang biasanya terjadi pada sebelum atau sesudah timbul koma. Hal ini secara bermakna berhubungan dengan morbiditas dan gejala sisa. Sekelompok anak-anak yang dapat bertahan hidup setelah menderita malaria serebral kurang lebih 10% mengalami gejala sisa neurologik yang menetap. Setelah periode penyembuhan, gejala sisa dapat berbentuk hemiparesis, ataksia serebral, kebutuhan kortikal, hipotonia berat, retardasi mental, kekauan yang menyeluruh atau afasia.

15

b.

Anemia Derajat anemia tergantung dari derajat dan lama parasitemia terjadi. Pada beberapa pasien, serangan malaria berulang yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan anemia normokrom sebagai akibat perubahan eritopoetik di dalam sumsum tulang. Walaupun parasitemia tidak berat, di dalam darah perifer sudah tampak sel leukosit monosit berpigmen. Seorang anak yang mendadak menderita anemia berat seringkali berhubungan dengan hiperparasitemia. Anemia dapat pula terjadi akibat penghancuran eritrosit yang mengandung parasit. Anak dengan anemia berat dapat menderita takikardia dan dispnu. Anemia turut berperan dalam (1) gejala serebral yaitu bingung, gelisah, koma dan perdarahan retina, (2) gejala kardiopulmonal yaitu irama derap, gagal jantung, hepatomegali dan edema paru. Pada penelitian di RSUP Manado selama 2 tahun (1997-1998) ditemukan anemia (Hb<10gr%) sebanyak 38,85%.

c.

Dehidrasi, gangguan Asam-Basa (Asidosis Metabolik) dan Gangguan Elektrolit Gejala klinis dehidrasi sedang sampai berat adalah penurunan perfusi perifer, rasa haus, penurunan berat badan 3-4%, nafas cepat dan dalam (Kusmaull), penurunan turgor kulit, peningkatan kadar ureum darah (6,5 mmol / L atau 40 mg/ dL), asidosis metabolik pada pemeriksaan urin, kadar natrium urin rendah dan sedimen normal, merupakan tanda terjadinya dehidrasi dan bukan gagal ginjal. Pada penelitian di RSUP Manado selama 2 tahun (1997-1998) ditemukan penderita malaria dengan gastroenteritis dehidrasi sebanyak 0,75%.

d.

Hipoglikemia Berat Hipoglikemia dapat terjadi pada malaria berat, terutama pada anak kecil (di bawah 3 tahun) dengan gejala kejang, hiperparasitemia, penurunan kesadaran (profound coma) atau dengan gejala yang lebih ringan seperti berkeringat, kulit teraba dingin dan lembab, serta napas yang tidak teratur. Hipoglikemia berhubungan dengan hiperinsulinemia yang diinduksi oleh malaria dan kina. Gejala hipoglikemia ini serupa dengan malaria serebal. Hipoglikemia pada anak adalah keadaan di mana kadar glukosa darah turun menjadi 40 mg/ dL atau lebih rendah. Pada penderita yang sadar dapat timbul hipoglikemia dengan gejala klasik rasa cemas, berkeringat, dilatasi pupil, sesak
16

napas, pernapasan sulit dan berbunyi, oliguria, rasa kedinginan, takikardia dan pening. Gambaran klinis ini dapat berkembang menjadi penurunan kesadaran, kejang umum, sikap tubuh ekstensi, syok dan koma. Diagnosis mudah terabaikan. Penurunan tingkat kesadaran dapat menjadi satu-satunya tanda. Jika

memungkinkan pastikan melalui pemeriksaan glukosa darah. e. Gagal Ginjal Gagal ginjal jarang terdapat pada anak dengan malaria terutama pada anak kecil. Demikian juga oliguria jarang dijumpai pada anak kecil bila dibandingkan dengan anak besar. Kadar ureum serum sedikit meningkat kira-kira 10% pada anak lebih dari 5 tahun, seringkali gagal ginjal disebabkan oleh dehidrasi yang tidak diobati adekuat. Pada orang dewasa dapat pula disertai nekrosis tubular akut; bagaimana mekanismenya sampai sekarang belum diketahui. Gagal ginjal pada umunya bersifat reversibel. f. Edema Paru Akut Pada kasus malaria serebal dapat dijumpai anemia berat dan parasitemia berat. Frekuensi napas meningkat dan dijumpai krepitasi serta ronki yang menyebar. Gejala edema paru seringkali timbul beberapa hari setelah pemberian obat anti malaria, pada umumnya terjadi bersamaan dengan hiperparasitemia, gagal ginjal, hipoglikemia dan asidosis. Apabila kita menemukan peningkatan frekuensi napas, harus harus dibedakan antara edema paru akibat pemberian cairan yang berlebihan atau akibat bronkopneumonia. Sebagai akibat edema paru dapat terjasi hipoksia yang mengakibatkan kejang dan penurunan kesadaran serta kematian. g. Kegagalan Sirkulasi (algid malaria) Hipotensi lebih banyak dilaporkan pada malaria berat orang dewasa dan jarang dijumpai pada anak. Malaria algid adalah malaria falciparum yang disertai syok oleh karena adanya septikemia kuman gram negatif. Penderita malaria berat pada anak dapat jatuh pada keadaan kolaps dengan tekanan darah sistolik kurang dari 50 mmHg pada posisi berbaring, kulit teraba dingin, lembab, sianotik, konstruksi vena perifer, denyut nadi lemah dan cepat. Di beberapa negara berkembang gambaran klinis ini seringkali berhubungan dengan septikemia gram negatif yang berkomplikasi. Kolaps sirkulatori juga terlihat pada penderita dengan edema paru
17

atau asidosis metabolik dan diikuti dengan pendarahan gastrointestinal yang hebat. Dehidrasi dengan hipovolemia juga dapat menyebabkan hipotensi. Tempat yang mungkin berkaitan dengan infeksi harus diperiksa misalnya paru-paru, saluran kemih, meningitis, tempat suntikan intravena, jalur intravena. h. Kecenderungan Terjadi Pendarahan Pendarahan yang sering dijumpai adalah pendarahan gusi, epistakis, petekie dan pendarahan subkonjungtiva. Apabila terjadi koagulasi intravaskular diseminata (KID), akan timbul pendarahan yang lebih hebat yaitu melena dan hematemesis. Koagulasi intravaskular diseminata pada umumnya terjadi pada seseorang yang tidak mempunyai imunitas terhadap malaria, baik dia pergi ke daerah endemis atau sebagai malaria impor. Kecenderungan terjadi pendarahan ditandai dengan perpanjangan waktu pendarahan, trombositopenia dan menurunnya faktor koagulasi. Pendarahan spontan dari saluran cerna terjadi pada kira-kira 10% malaria serebral. i. Hiperpireksia / Hipertermia Hiperpireksia lebih banyak dijumpai pada anak daripada dewasa dan seringkali berhubungan dengan kejang, delirium dan koma, maka pada malaria monitor suhu berkala sangat dianjurkan. Hiperpireksia adalah keadaan di mana suhu tubuh meningkat menjadi 42oC atau lebih dan dapat menyebabkan gejala sisa neurologik yang menetap. Pada penelitian di RSUP selama 2 tahun (1997-1998) ditemukan hiperpireksia pada penderita malaria sebanyak 3,75%. j. Hemoglobinuria / Black Water Fever Hemolisis intravaskular masif dengan hemoglobinuria merupakan komplikasi malaria yang jarang terjadi pada anak. Hampir seluruh kasus hemoglobinuria berkaitan dengan defisiensi G6PD pada pasien dengan infeksi malaria. Pada kasus ini, hemolisis akan berhenti setelah pecahnya eritrosit tua. Pada penelitian di RSUP selama 2 tahun (1997-1998) ditemukan 0,75% penderita black water fever. k. Ikterus (Bilirubin > 3 mg %) Manifestasi ikterus (kadar bilirubin darah > 3 mg %) sering dijumpai pada orang dewasa, namun bila ditemukan pada anak pronogsisnya jelek.

18

l.

Hiperparasitemia Umumnya penderita yang non-imun, densitas parasit > 5% dan adanya skizontaemia sering berhubungan dengan malaria berat. Penderita dengan parasitemia berat akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi berat.

i. Gambaran Laboratorium
Anemia pada malaria dapat terjadi akut maupun kronis; pada keadaan akut penurunan hemoglobin terjadi dengan cepat. Anemia pada malaria disebabkan kerusakan eritrosit oleh parasit, penekanan eritropoesis dan terjadinya hemolisis oleh proses imunologis. Pada malaria akut juga akan terjadi penghambatan eritropoesis pada sumsum tulang, tetapi bila parasitemia menghilang, sumsum tulang menjadi hipermik, pigmentasi aktif dengan hiperplasia dan normoblast. Pada darah tepi dapat dijumpai poikilositosis, anisosisotis, polikromatosis dan bintik-bintik basofilik yang menyerupai anemia pernisiosa. Dijumpai pula trombositopenia sehingga dapat mengganggu proses koagulasi. Pada malaria tropika yang berat maka plasma fibrinogen dapat menurun disebabkan peningkatan konsumsi fibrinogen karena terjadinya koagulasi intravaskular. Terjadi ikterus ringan dengan peningkatan bilirubin indirek dan tes fungsi hati yang abnormal seperti meningkatnya transaminase, kadar glukosa dan fosfatase alkali menurun. Plasma protein menurun terutama albumin, walaupun globulin meningkat. Perubahan ini tidak hanya disebabkan oleh demam semata melainkan juga karena meningkatnya fungsi hati. Hipokolesterolemia juga dapat terjadi pada malaria. Glukosa penting untuk respirasi plasmodia, yang berakibat penurunan glukosa darah dijumpai pada malaria tropika dan tertiana; hal ini mungkin berhubungan dengan kelenjar suprarenalis. Kalium dalam plasma meningkat pada saat demam, mungkin karena destruksi dari sel-sel darah merah. Laju endap darah meningkat pada malaria namun kembali normal setelah diberi pengobatan. Dapat juga terjadi asidosis walaupun sangat jarang. Nefritis akut jarang dijumpai, oleh karena perubahan pada ginjal terutama akibat proses degeneratif bukan karena peradangan. Sering dijumpai proteinuria dan gangguan ginjal sehingga menyebabkan terjadinya nefrosis kronik dengan retensi air, natrium dan azotemia terutama pada malaria kuartana. Otak pasien yang meninggal karena malaria serebral mengalami edematous dengan giri yang melebar dan
19

pipih. Terlihat pembendungan pada daerah giri dan pada substansi kelabu terlihat pembendungan dan petekia. Pendarahan disekeliling kapiler dan arteriol terjadi sebagai akibat penyumbatan eritrosit yang mengandung parasit. Plasmodium falciparum menyerang semua bentuk eritrosit mulai dari retikulosit sampai eritrosit yang telah matang. Pada pemeriksaan darah tepi baik hapusan maupun tetes tebal terutama dijumpai parasit muda bentuk cincin (ring form). Juga dijumpai gametosit dan pada kasus berat yang biasanya disertai komplikasi, dapat dijumpai bentuk skizon. Pada kasus berat parasit dapat menyerang sampai 20% eritrosit. Bentuk seksual/gametosit muncul dalam waktu satu minggu dan dapat bertahan sampai beberapa bulan setelah sembuh. Tanda-tanda parasit malaria yang khas pada sediaan tipis, gametositnya berbentuk pisang dan terdapat bintik Maurer pada sel darah merah. Pada sediaan darah tebal dapat dijumpai gametosit berbentuk pisang, banyak sekali benuk cincin tanpa bentuk lain yang dewasa (stars in the sky), terdapat balon merah di sisi luar gametosit. Plasmodium vivax terutama menyerang retikulosit. Pada pemeriksaan darah tepi baik hapusan tipis maupun tetes tebal biasanya dijumpai semua bentuk parasit aseksual dari bentuk ringan sampai skizon. Biasanya menyerang kurang dari 2% eritrosit. Tanda-tanda parasit malaria yang khas pada sediaan darah tipis, dijumpai sel darah merah membesar, terdapat titik Schuffner pada sel darah merah dan sitoplasma amuboid. Pada sediaan darah tebal dijumpai sitoplasma amuboid (terutama pada tropozoit yang sedang berkembang) dan bayangan merah di sisi luar gametosit. Plasmodium malariae terutama menyerang eritrosit yang telah matang. Pada sediaan hapus darah perifer tipis maupun tebal dapat dijumpai semua bentuk parasit aseksual. Biasanya parasit menyerang kurang dari 1% dari jumlah eritrosit. Parasit pada sediaan darah tepi tipis berbentuk khas seperti pita (band form), skizon berbentuk bunga ros (rosette form), tropozoit kecil bulat dan kompak berisi pigmen yang menumpuk, kadang-kadang menutupi sitoplasma/ inti atau keduanya.

20

Gambar 4. Sediaan darah apus plasmodium

i. Diagnosis
Pada daerah endemis diagnosis malaria tidak sulit, biasanya diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala serta tanda klinis. Tetapi walaupun di daerah bukan endemis malaria, diagnosis banding malaria harus dipikirkan pada riwayat demam tinggi berulang, apalagi disertai gejala trias yaitu demam, splenomegali dan anemia. Perlu diingat bahwa diagnosis malaria merupakan hasil pertimbangan klinis dan tidak selalu disertai hasil laboraturium
21

oleh karena beberapa kendala pada pemeriksaan laboraturium. Ditemukannya beberapa parasit dalam sediaan darah seorang anak penduduk asli yang semi-imun menunjukkan adanya infeksi, tetapi anak tersebut tidak selalu harus sakit; mungkin parasit ditemukan secara tidak sengaja pada saat anak berobat untuk penyakit lain. Di lain pihak, dapat saja tidak ditemukan parasit pada pemeriksaan darah pada anak yang sedang sakit malaria. Maka untuk menemukan parasit di dalam darah harus di perhatikan waktu pengambilan spesimen darah dan apakah pasien sedang minum obat anti malaria (yang akan mengurangi kemungkinan ditemukannya parasit). Pemeriksaan hapusan darah tepi tipis dengan pewarnaan Giemsa dan tes tebal merupakan metode yang baik untuk diagnosis malaria. Pada pemeriksaan hapusan darah tepi dapat dijumpai trombositopenia dan leukositosis. Peningkatan kadar ureum, kreatinin, bilirubin dan enzim seperti aminotransferase dan 5-nukleitidase. Pada penderita malaria berat yang mengalami asidosis, dijumpai pH darah dan kadar bikarbonat rendah. Kekurangan cairan dan gangguan elektrolit (natrium, kalium, klorida, kalsium dan fosfat) sering pula dijumpai. Kadar asam laktat dalam darah dan likuor serebrospinal juga meningkat. Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adalah IFA (indirect luorescent antibody test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA (enzyme linked immunosorbent assay). Kegunaan tes serologis untuk diagnosis malaria akut sangat terbatas, karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan dalam darah. Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik untuk studi epidemiologi. Pada daerah endemis atau pernah endemis, tes serologi berguna untuk: (1) menentukan berapa lama endemisitas berlangsung, (2) menentukan perubahan derajat transmisi malaria, (3) menentukan daerah malaria dan fokus transmisi. Sedangkan di daerah non endemis, tes serologi digunakan untuk: (1) skrining donor darah, (2) menyingkirkan diagnosis malaria pada kasus demam sedangkan pada pemeriksaan darah tidak ditemukan parasit, (3) menentukan kasus dan mengidentifikasi spesies parasit malaria bila cara lain tidak berhasil.
22

Teknik diagnostik lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat), dengan menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa di bawah mikroskop fluoresens. Teknik mutakhir lain yang dikembangkan saat ini menggunakan pelacak DNA probe untuk mendeteksi antigen. Karena adanya berbagai variasi gejala malaria pada anak maka perlu dibedakan dengan demam oleh sebab penyakit lain seperti demam tifoid, meningitis, apendisitis, gastroenteritis atau hepatitis. Malaria dengan manifestasi klinis yang lebih ringan, harus dibedakan dengan influenza atau penyakit virus lainnya.

k. Penatalaksanaan
Pengobatan malaria menurut keperluannya dibagi menjadi pengobatan pencegahan bila obat diberikan sebelum infeksi terjadi, pengobatan supresif bila obat diberikan untuk mencegah timbulnya gejala klinis, pengobatan kuratif untuk pengobatan infeksi yang sudah terjadi terdiri dari serangan akut dan radikal, dan pengobatan untuk mencegah transmisi/penularan bila obat digunakan terhadap gametosit dalam darah. Sedangkan dalam program pemberantasan malaria dikenal 3 cara pengobatan, yaitu pengobatan presumtif dengan pemberantasan skizontisida dosis tunggal untuk mengurangi gejala klinis malaria dan mencegah penyebaran, pengobatan radikal diberikan untuk malaria yang menimbulkan relaps jangka panjang, dan pengobatan massal digunakan pada setiap penduduk di daerah endemis malaria secara teratur. Saat ini pengobatan massal hanya diberikan pada saat terjadi wabah. (3)

1. Malaria Tanpa Komplikasi Malaria tanpa komplikasi dapat diberikan obat anti malaria dengan rawat jalan. Berdasarkan hasil penelitian, resistensi malaria vivaks terhadap klorokuin ditemukan sangat tinggi di berbagai daerah di Indonesia sehingga Departemen Kesehatan RI

merekomendasikan pengobatan malaria vivaks sama dengan malaria falsiparum, yaitu dengan menggunakan kombinasi anti malaria yang mengandung derivate artemisinin (Artemisinin based combination therapy- ACT)
23

a. Untuk daerah yang sudah resistensi terhadap obat malaria yang biasa digunakan, saat ini WHO merekomendasikan penggunaan kombinasi antimalaria terutama yang mengandung artemisin. Obat-obat antimalaria kombinasi yang direkomendasikan oleh WHO antara lain: Artemeter/lumefantrin (Co-artem) diberikan dengan dosis Artemeter 2 mg/kgBB 2 kali sehari selama 3 hari dan lumefantrin 12 mg/kgBB 2 kali sehari selama 3 hari. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet kombinasi 20 mg artemeter + 120 mg lumefantrin Artesunat + amodiakuin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan amodiakuin dosis standar 25 mg basa/kgBB selama 3 hari. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet terpisah artesunat 50 mg/tablet dan amodikuin basa 153 mg/tablet. Artesunat + meflokuin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan meflokuin basa 15-25 mg/kgBB dosis tunggal atau dibagi dalam dosis 2 3 kali. Artesunat + sulfadoksin-pirimetamin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan sulfadoksin-pirimetamin 25 mg/kgB dosis tunggal. Dihidroartemisinin + piperakuin, dengan dosis dehidroartemisinin 6,4 mg/kgBB dan piperakuin 51,2 mg/kgBB dosis tunggal selama 3 hari. Artesunat + klorokuin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan klorokuin basa dosis standar 25 mg/kgBB selama 3 hari. Artesunat + atovokuon-proguanil (Malaron) tablet film coated untuk anak dosis dari artesunat 4 mg/kgBB/hari dan 62,5 mg atovakuon dan 25 mg proguanil. Artesunat + klorproguanil-dapson (Lapdop), dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan klorproguanil-dapson. Artemisinin + piperakuin, dengan dosis artemisinin 20 mg/kgBB 2 kali sehari pada hari pertama, selanjutnya 1 kali sehari pada hari kedua dan ketiga, dan piperakun 51,2 mg/kgBB dosis tunggal selama 3 hari. Artesunat + pironaridin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan pironaridin.

24

Naftokuin + dehidroartemisinin, terdiri dari naftokuin dan dihidroartemisinin 6,4 mg/kgBB selama 3 hari. (6)

b. Untuk daerah yang belum ada resisten terhadap obat malaria yang biasa digunakan atau obat-obat tersebut di atas belum tersedia, pengobatan malaria adalah: Klorokuin dosis standar (25 mg basa/kgBB) untuk 3 hari dan sulfadoksin pirimetamin dosis tunggal (25 mg/1,25 mg/kgBB). Sulfadoksin/pirimetamin dosis tunggal dan kina (10 mg garam/kgBB/dosis) 3 kali sehari selama 7 hari. Amodikuin dosis standar (25 mg basa/kgBB untuk 3 hari) dan sulfadoksin dosis tunggal. Kombinasi klorokuin dosis standard dan primakuin dosis harian tunggal 0,75 mg basa/kgBB tunggal untuk malaria falsiparum atau 0,25 mg basa/kgBB/hari selama 14 hari. Klorokuin dosis standard dan doksisiklin (2 mg/kgBB/dosis) 2 kali sehari selama 7 hari. Kina (10 mg garam/kgBB/dosis) 3 kali sehari selama 7 hari dan doksisiklin (2 mg/kgBB/dosis) 2 kali sehari selama 7 hari. Kina (10 mg garam/kgBB/dosis) 3 kal sehari selama 7 hari dan klindamisin (10 mg/kgBB/dosis) 3 kali sehari selama 7 hari. (6)

2. Malaria Berat Anak dengan malaria berat harus dirawat inap dan diberikan pengobatan dengan artesunat intravena atau kina HCl intravena per infus. Terapi suportif harus diberikan sesuai dengan gejala komplikasinya: a. Malaria serebral Diberikan infus kina dihiroklorida, dosis 10 mg/kgBB/kali dilarutkan dalam 50 100 ml infus garam fisiologis atau cairan 2 a atau dekstrose 5% dan diberikan selama 2 4 jam, 3 kali sehari selama pasien belum sadar. Pemberian tidak boleh terlalu cepat (<10 menit) oleh karena tekanan darah dapat turun mendadak disertai
25

aritmia jantung. Apabila pasien sudah sadar kina dilanjutkan per-oral hingga total intravena + oral selama 7 hari. Dapat ditambahkan fansidar atau suldox dengan dosis seperti diatas (melalui sonde). Apabila disertai kejang berikan diazepam 0,5 mg/kgBB intravena perlahan-lahan. b. Anemia berat Anemia berat ditandai dengan kepucatan yang sangat pada telapak tangan, sering diikuti dengan denyut nadi cepat, kesulitan bernafas, kebingungan atau gelisah. Tanda gagal jantung seperti irama derap, pembesaran hati dan terkadang edema paru (nafas cepat, fine basal crackles dalam pemeriksaan auskultasi) bisa ditemukan. Berikan transfusi darah sesegera mungkin kepada: Semua anak dengan hematokrit 15% atau Hb 5 g/dl Anak yang anemianya tidak berat (hematokrit > 15%; Hb > 5 g/dl) dengan tanda berikut: Dehidrasi Syok Penurunan kesadaran Pernafasan Kusmaull Gagal jantung Parasitemia yang sangat tinggi (>10% sel darah merah mengandung parasit). Berikan packed red cells (10 ml/kgBB), jika tersedia, selama 3 4 jam. Jika tidak tersedia berikan darah utuh segar 20 ml/kgBB selama 3 4 jam. Periksa frekuensi nafas dan denyut nadi setiap 15 menit. Jika salah satunya mengalami kenaikan, berikan transfusi dengan lebih lambat. Jika ada bukti kelebihan cairan karena transfusi darah, berikan furosemid intravena (1 2 mg/kgBB) hingga jumlah maksimal 20 mg/kgBB. Setelah transfusi, jika Hb tetap rendah, ulangi transfusi. Pada anak dengan gizi buruk, kelebihan cairan merupakan komplikasi yang umum dan serius. Berikan fresh whole blood 10 ml/kgBB hanya sekali. (4)

26

c.

Dehidrasi, gangguan asam basa dan elektrolit Lactic acidosis sering terjadi sebagai penyulit malaria berat, ditandai dengan peningkatan kadar asam laktat darah atau dalam likuor serebrospinal. Larutan garam fisiologis isotonis atau glukosa 5% segera diberikan dengan hati-hati dan awasi tekanan darah. Di rumah sakit dengan fasilitas pediatrik gawat darurat, dapat dipasang central venous pressure (CVP) untuk mengetahui kebutuhan cairan lebih cermat. Apabila telah tercapai rehidrasi, tetapi jumlah urin tetap < 1 ml/kgBB/jam makan dapat diberikan furosemid inisial 2 mg/kgBB kemudian dilanjutkan 2 x dosis dengan maksimal 8 mg/kgBB (diberikan dalam waktu 15 menit). Untuk memperbaiki oksigenasi, bersihkan jalan nafas, beri oksigen 2 4 liter/menit, dan apabila diperlukan dapat dipasang ventilator mekanik sebagai penunjang.

d.

Hipoglikemia Hipoglikemia (gula darah: < 2,5 mmol/liter atau < 45 mg/dl) lebih sering terjadi pada pasien umur < 3 tahun, yang mengalami kejang dan/atau hiperparasitemia dan pasien koma. Berikan 5 ml/kgBB glukosa 10% intravena secara cepat. Periksa kembali glukosa darah dalam waktu 30 menit dan ulangi pemberian glukosa (5 ml/kgBB) jika kadar glukosa rendah (< 2,5 mmol/liter atau < 45 mg/dl). Cegah agar hipoglikemia tidak sampai parah pada anak yang tidak sadar dengan memberikan glukosa 10% intravena. Jangan melebihi kebutuhan cairan rumatan untuk berat badan anak. Jika anak menunjukan tanda kelebihan cairan, batasi cairan parenteral; ulangi pemberian glukosa 10% (5 ml/kgBB) dengan interval yang teratur. Bila anak sudah sadar dan tidak ada muntah atau sesak, stop infus dan berikan makanan/minuman per oral sesuai umur. Teruskan pengawasan kadar glukosa dan obati sebagaimana mestinya.

l. Prognosis
Prognosis malaria yang disebabkan oleh P.vivax pada umumnya baik, tidak menyebabkan kematian, walaupun apabila tidak diobati infeksi rata-rata dapat berlangsung 3 bulan atau
27

lebih lama oleh karena mempunyai sifat relaps. Sedangkan P.malariae dapat berlangsung sangat lama dengan kecenderungan relaps, pernah dilaporkan sampai 30 50 tahun. Infeksi P.falciparum tanpa penyulit berlangsung sampai satu tahun. Infeksi P.falciparum dengan penyulit prognosis menjadi buruk, apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat meninggal terutama pada gizi buruk. WHO mengemukakan indikator prognosis buruk (klinis dan laboratorium) apabila, Indikator klinis: Umur < 3 tahun Koma berat Kejang berulang Refleks kornea negatif Deserebrasi Dijumpai disfungsi organ (gagal ginjal, edema paru) Terdapat perdarahan retina

Indikator laboratorium: Hiperparasitemia (> 250.000/ml atau > 5%) Skizontemia dalam darah perifer Leukositosis PCV (packed cell volume) < 20% Kadar hemoglobin < 7,1 g/dl Kadar glukosa darah < 40 mg/dl Kadar ureum > 60 mg/dl Kadar glukosa likuor serebrospinal meningkat Kadar kreatinin > 3 mg/dl Kadar laktat dalam likor serebrospinal meningkat Kadar SGOT meningkat > 3 kali normal Antitrombin rendah Peningkatan kadar 5-nukleotidase plasma
28

m. Pencegahan
1. Pemakaian obat antimalaria Semua anak dari daerah non-endemis malaria apabila masuk ke daerah endemis malaria, maka 2 minggu sebelumnya sampai dengan 4 minggu setelah keluar dari daerah endemis malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria. a. Klorokuin basa 5 mg/kgBB basa (8,3 mg garam, maksimal 300 mg basa), sekali seminggu atau b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 0,5 0,75 mg/kgBB atau sulfadoksin 10 15 mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur > 6 bulan). 2. Menghindari dari gigitan nyamuk a. Memakai kelambu atau kasa anti nyamuk b. Menggunakan obat pembunuh nyamuk 3. Vaksin malaria Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah penyakit ini, tetapi adanya bermacam stadium pada perjalanan penyakit malaria menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu: a. Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: Sporozoit yang berkembang dalam nyamuk dan menimbulkan infeksi pada manusia Merozoit yang menyerang eritrosit Gametosit yang menyebabkan infeksi pada nyamuk

b. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan


Jadi pendekatan pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit P.falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan apabila telah berhasil, dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas malaria tropika terutama anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin dengan rekayasa genetika.

29

BAB III KESIMPULAN


Malaria adalah penyakit infeksi akut atau kronis yang disebabkan oleh Plasmodium, ditandai dengan gejala demam rekuren, anemia dan hepatosplenomegali. Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium. Pada manusia Plasmodiumterdiri dari 4 spesies, yaitu: 1. Plasmodium falciparum 2. Plasmodium vivax 3. Plasmodium malariae 4. Plasmodium ovale. Keempat spesies Plasmodium yang yang terdapat di Indonesia yaitu, Plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika, Plasmodium vivax yang yang menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana, dan Plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale. Gejala demam yang terbagi dalam tiga stadium, yaitu: 1. Stadium dingin 2. Stadium demam 3. Stadium berkeringat Penatalaksanaan malaria dibagi menjadi malaria ringan tanpa komplikasi dan malaria berat. Pencegahan malaria, yaitu: 1. Pemakaian obat anti- malaria 2. Menghindar dari gigitan nyamuk 3. Vaksin malaria.

30

BAB IV DAFTAR PUSTAKA


1. http://jelayan07.blogspot.com/2012/11/makalah-penyakit-malaria.html 2. http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/epidemiologi-malaria.html 3. http://fadlyknight.wordpress.com/2011/10/06/makalah-malaria/ 4. http://2leep.com/bar.php?url=http://drboen.blogspot.com/2009/08/malaria.html 5. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20428/2/Reference.pdf 6. Harijanto PN, Nugroho A & Gunawan CA. Bab IX Malaria pada Anak dalam buku Malaria dari Molekuler ke Klinis. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010: 156 - 94. 7. http://www.microbiologybytes.com/introduction/Malaria.html 8. http://www.fk.unja.ac.id/index.php?option=com_phocadownload&view=category&id=12 :blok-7&download=67:tatalaksana-kasus-malaria-dinkes-prop&start=20&Itemid=83 9. http://www.depkes.go.id/downloads/world_malaria_day/fac_sheet_malaria.pdf

31

You might also like