You are on page 1of 13

PRESENTASI KASUS I. IDENTITAS PASIEN II.

II. Nomor RM Tanggal masuk Tanggal operasi Nama pasien Alamat Umur Jenis kelamin : 313256 : 11 Desember 2010 : 13 Desember 2010, pukul 12.50 : Ny. Nelli M : Leuwi Majalengka : 33 tahun : Perempuan

ANAMNESIS (Anamesis pada tanggal 11 Desember 2010 pukul 05.20 WIB). Riwayat Penyakit Sekarang Riwayat Penyakit Dahulu : Mengeluh sakit tenggorngokan : Dalam satu tahun terakhir pasien sering mengeluh sakit tenggorokan Riwayat operasi/anestesi sebelumnya (-) Riwayat alergi makanan/obat (-) Riwayat asma dan penyakit paru (-) Riwayat minum alcohol (-) Riwayat tekanan darah tinggi (-) Riwayat penyakit jantung (-) Riwayat merokok (-)

III.

PEMERIKSAAN FISIK (Pemeriksaan fisik pada tanggal 11 Desember 2010). Keadaan umum : sedang

Vital sign Kesadaran Mata Hidung Mulut Cor Pulmo Pencernaan Ekstremitas Tinggi Badan Berat Badan

: Nadi 85 x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu 36,8oC. : Compos Mentis : konjungtiva normal, sklera tidak ikterik : nafas cuping hidung (-/-) : Sianosis (-) : S1-S2 reguler, tidak ada bunyi jantung tambahan : suara nafas vesikuler sama kanan dan kiri. : dinding perut supel,balotement(-),nyeri tekan/nyeri lepas (-) peristaltic usus normal. : akral hangat,sianosis perifer (-) : 159 Kg : 74 Kg

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Hb Ht Eritrosit MCV MCH MCHC Leukosit Trombosit Ureum Kreatinin SGOT SGPT GDS EKG : 13,3 gr/dl : 40,5% : 4,49 106 mm3 : 90 m3 : 29,6 pg : 32,8 gr/dl : 6,9 x 103/mm3 : 379 x 103/mm3 : 18,5 mg/dl : 0,81 mg/dl : 26 /l : 24 /l : 72 mg/dl : normal

Radiologi Foto thorax Tampak infiltrate perihiler CTR < 50 % Sinus costofrenikus kanan dan kiri lancip Kesan : Bronchitis kronis Besar Cor normal Tidak tampak efusi pleura

V.

DIAGNOSIS Diagnosis Pre-operasi Diagnosis Post-operasi : Tonsilitis : Tonsilitis

Klasifikasi Status Operasi : ASA II VI. TATA LAKSANA ANESTESI Persiapan anestesi : Pukul 12.30 WIB dilakukan pemeriksaan kembali identitas pasien, persetujuan operasi, lembar konsultasi anestesi, obat-obatan dan alatalat yang diperlukan. Pukul 12.35 WIB dilakukan pemeriksaan tanda vital. Infus RL terpasang pada tangan kanan. Kateter urin tidak terpasang. Mengganti pakaian pasien dengan pakaian operasi.

Jenis anestesi : general anestesi

Teknik anestesi : respirasi kontrol dengan ETT nasal no. 30

Premedikasi -

Pukul 12.35 WIB penderita ditidurkan di ruang operasi dengan posisi terlentang. Pengukuran tekanan darah terpasang di tangan kiri dan pengukur SpO2 terpasang di jari ke-1 tangan kanan. Tekanan darah pasien meningkat drastis

Diberikan obat-obatan premedikasi berupa SA 0,25 mg, petidin 50 mg. Induksi :

Induksi dimulai pukul 12.40 WIB. Induksi dilakukan dengan pemberian propofol 100 mg IV, dan tramus 25 mg IV. Dilakukan pemasangan ETT, melalui nasal kemudian mulut di buka dengan laringoskop lalu ETT di tarik dengan magill tang lalu di masukkan ke trakea. Cuff dikembangkan agar ETT terfiksasi. Intubasi ETT berhasil dilakukan.ETT dan pipa difiksasi dan dihubungkan dengan mesin anestesi. Maintenance :

Pukul 13.00 anestesi sudah cukup dalam,kemudian leher pasien di beri bantalan agar tetap dalam posisi ekstensi,dan operasi mulai di lakukan. Untuk mempertahankan status anestesi digunakan N2O 2L/menit,O2 2L/menit,enfluran 2-2,5 vol% , ketorolac 30 mg. Pukul 13.45 operasi selesai. Operasi berlangsung selama 40 menit. kemudian dilakukan ekstubasi,saat ekstubasi tampak darah memancar cukup banyak dari hidung lalu dilakukan suction dan penekanan pada lubang hidung,setelah darah yang memancar tersebut telah teratasi

diberikan oksigen murni menggunakan sungkup sebanyak 2L/menit selama 10 menit.

Monitoring : Tanda vital dan SpO2 setiap 15 menit,kedalaman anestesi,cairan dan perdarahan.

Keadaan Postoperasi dan Perawatan pasca anestesi di RR : Pukul 13.50 WIB pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Pasien diberikan oksigen 1 L/menit kanul nasal. Kemudian diobservasi aktivitas motorik, pernapasan, dan kesadaran sbb: Kesadaran Infus Tensi Nadi Respirasi Suhu Saturasi O2 perincian sbb: Kesadaran Warna kulit Respirasi Aktifitas bedah (skor 2) : dapat dibangunkan (skor 1) : normal (skor 2) : nafas dalam, batuk (skor 2) : empat extremitas dapat digerakkan (skor 2) : somnolen : RL : 120/palpasi : 80 x/menit : 20 x/menit : 37oC : 95 %

Pasien dipindahkan ke bangsal dengan skor aldrete 10, dengan

Tekanan darah: berubah kurang dari 20 mmHg dari tekanan pra

PEMBAHASAN Permasalahan dari segi medis Adanya penyakit tersebut menyebabkan nyeri tenggorokan,nyeri menelan dan dapat menjadi fokal infeksi. Keluhan nyeri tengorokan juga dirasa mengganggu pasien sebab terjadi cukup sering dalam setahun belakangan ini. Permasalahan dari segi bedah 1. Jika operasi tidak dilakukan maka dapat menyebabkan fokal infeksi yang jika dibiarkan dapat menjadi bakteremia. 2. Pasien dengan obesitas dapat mempersulit pembedahan. 3. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan Permasalahan dari segi anestesi 1. Penilaian dan persiapan pra anestesi menanyakan identitas pasien, hari operasi, dan bagian tubuh yang akan dioperasi anamnesa pasien pemeriksaan fisik pemeriksaan laboratorium pemeriksaan radiologi Pada pemeriksaan radiologi didapatkan Bronchitis Kronis. Pasien dengan bronchitis kronis, mempunyai tingkat obstruksi yang tidak dapat kembali lagi. Pada waktu menanyakan riwayat penyakit, tanyakan bagaimana toleransi pasien terhadap latihan, rokok dan produksi sputum. Pasien harus diberitahu agar menghentika rokoknya sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum operasi. Tes klinis sederhana fungsi paru mungkin dapat berguna orang sehat dapat mematikan korek api dari jara 20 cm tanpa mengerutkan bibirnya dan dapat berhitung 1-40 dengan suara keras tanpa diselingi menarik napas. Jenis tindakan operasi sangat penting, operasi elektif untuk abdomen atas merupakan kontraindikasi, karena akan terjadi gagal pernapasanpascabedah. Pasien yang memerlukan operasi seperti itu,

harus dirujuk ke rumah sakit besar, dimana bila perlu paru-paru dapat diberikan ventilasi buatan selama 1-2 hari pascabedah. Pada kasus gawat darurat gunakan teknik intubasi dan IPPV dengan menambahkan oksigen. Pasca bedah tidak diberikan oksigen lebih dari 1 L/menit dengan menggunakan kateter nasal. Hati-hati terhadap opium karena biasanya lebih mudah menyebabkan depresi pernapasan. Untuk analgesia abdomen bagian atas dapat digunakan blok interkostalis berulang. Dengan bupivakain 0,5 % blok ini dapat bertahan 6-8 jam, selam waktu ini pasien dapat bernapas dan membatukkan sputum tanpa rasa sakit. Pasien harus menerima fisioterapi dada, baik preoperative maupun pasca bedah. menyuruh pasien puasa jam pre operasi Menentukan klasifikasi ASA: pada pasien ini termasuk dalam kategori ASA II, karena: Pasien termasuk obesitas. Pasien dengan obesitas bcenderung untuk memberikan masalah jika dilakukan anestesi. Obesitas sering disertai hipertensi meskipun pada lengan yang gemuk tekanan darah sulit diukur dan tampak lebih tinggi dari sebenarnya. Karena massa tubuh yang besar, maka curah jantung juga harus lebih besar daripada orang yang tidak gemuk; dan lebih tinggi pada saat kerja atau stress. Adanya hubungan antara rokok, obesitas dan hipertensi sering menyebabkan kematian dengan atau tanpa anestesi. Adanya lemak pada abdomen akan menyebabkan diafragma pada saat bernapas akan terganggu dan dinding dada menjadi kaku secara abnormal karena banyaknya lemak. Pernapasan menjadi lebih tidak efektif bila pasien berbaring, mungkin. Masalah teknis tambahan, timbul pada pasien yang gemuk. Lemak di leher membuat intubasi dan control jalan napas menjadi sulit, dan lemka subkutan yang berlebihan akan menimbulkan keslitan pungsi vena dan anestesi konduksi. Tidak diberikan obat berdasarkan berat bdan karena akan menimbulkan dosis yang berlebihan. Untuk kebanyakan obat yang diberikan intravena, pasien dengan berat badan 120 Kg hanya membutuhkan lebih kurang 130% dari dosis normal untuk dewasa dengan berat 60-70 Kg. Untuk anestesi pada pasien yang gemuk dianjurkan menggunakan teknik intubasi endotrakea dengan IPPV dan relaksan otot.

Menentukan jenis anestesi yang akan dilakukan: pada kasus ini dipilih tindakan anestesi umum dengan ETT nasal karena lapangan operasi berada di rongga mulut. 2. Pelaksanaan anestesi: persiapan pasien: - Cek ulang tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. - Pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan tindakan anestesi, meliputi: kondisi gigi geligi (memakai gigi palsu atau tidak), membuka mulut, lidah besar atau tidak, leher pendek atau tidak. Memeriksa apakah ada deviasi septum nasi,fraktur os nasal,edema mukosa hidung yang akan mempersulit intubasi ETT melalui nasal. persiapan alat: meliputi STATICS S= Scope: stetoskop dan laringoskop T= tube: pipa trakea non KK dengan cuff (+) No.30. A= airway: pipa mulut-faring (guedel, orotracheal airway) T= tape: plester I= introducer: mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) C= conector: penyambung antara pipa dengan peralatan anestesia S= suction: penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.

Persiapan obat: 1. Premedikasi: SA 0,25 mg, Petidin 50 mg. Sulfas atropin dosis kecil (0,25 mg) diperlukan untuk menekan sekresi saliva, mukus bronkus, dan keringat. Sulfas atropin merupakan anti muskarinik yang bekerja pada alat yang dipersarafi serabut pasca ganglion kolinergik. Pada ganglion otonom dan otot rangka, tempat asetilkolin juga bekerja, penghambatan oleh atropin hanya terjadi pada dosis sangat besar.

Petidin (meperidin, damerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-metil-fenilpiperidin-4-karboksilat. Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas, dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. 2. Induksi: propofol 100 mg, suksinilkolin 60 mg, dan atracurium 10 mg. Propofol dikemas dalam cairan berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg).Suntikan intravena dapat menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg,dosis rumatan untuk anestesi intravena 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Atracurium merupakan pelumpuh otot sintetik dengan masa kerja sedang. Obat ini menghambat transmisi neuromuskuler sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Kegunaannya dalam pembedahan adalah sebagai adjuvant dalam anesthesia untuk mendapatkan relaksasi otot rangka terutama pada dinding abdomen sehingga manipulasi bedah lebih mudah dilakukan. Dengan demikian anestesi dapat dilakukan dengan anesthesia yang lebih dangkal. Hal tersebut menguntungkan karena resiko depresi napas dan kardiovaskuler akibat anesthesia dikurangi. Selain itu pemulihan pasca anestesi dipersingkat. 3. Maintenance : Enfluran 2-2,5 vol%,N2O 2L/menit, O2 2 L//menit Enfluran (etran,aliran) merupakan halogenasi eter dan cepat popular setelah ada kecurigaan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada penggunaan ulang.Pada EEG menunjukkan tanda-tanda epileptic,apalagi disertai hiokapnia,karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan epilepsi,walaupun ada yang beranggapan bukan indikasi kontra untuk dipakai pada kasus dengan riwayat epilepsi.Kombinasi dengan adrenalin lebih aman tiga kali dibanding halotan.

Enfluran yang dimetabolisme hanya 2-8 % oleh hepar menjadi produk non volatile yang di keluarkan lewat urin sisanya lewat paru dalam bentuk asli.Induksi dan pulih dari anesthesia lebih cepat dibanding halotan.Vasodilatasi serebral antara halotan dan isofluran. Efek depresi nafas lebih kuat di banding halotan dan enfluran lebih iritatif dibanding halotan.Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan,tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia.Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan. N2O (gas gelak,laughing gas,nitrous oxide,dinitrogen monoksida) diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240C. N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna,bau manis,tak iritasi,tak terbakar,dan beratnya 1,5 kali berat udara.Zat ini di kemas dalam bentuk cair dalam silinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan psi atau 50 atm. Pemberian anesthesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%.Gas ini bersifat anestetik lemah,tetapi analgesiknya kuat,sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan.Pada anesthesia inhalasi jarang digunakan sendirian,tetapi dikombinasikan dengan salah satu cairan anestetik lain seperti halotan dan sebagainya.Pada akhir anesthesia setelah N2O dihentikan,maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi.Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi; berikan O 2 100% selama 5-10 menit. Monitoring Selama Anestesi 1. Monitoring Kedalaman Anestesi Pada kasus ini, sebelum dimulai intubasi, tekanan darah pasien sempat meningkat drastis. Tetapi lambat laun tekanan darah pasien mulai turun setelah proses induksi dimulai. 2. Monitoring Kardiovaskular: Nadi, tekanan darah, curah jantung, dan EKG Saat operasi tekanan darah pasien relatif tinggi, namun cukup stabil, yaitu berkisar antara 155/90 mmHg 175/105 mmHg. Nadi: 95 115 x per menit 3. Monitoring respirasi: Gerakan nafas, saturasi O2

Pernafasan pasien selama operasi dilakukan merupakan pernafasan yang dikontrol oleh ventilator mekanik. Saturasi O 2 stabil dan cukup yaitu antara 95 100 %. 4. Monitoring Suhu : dilakukan pada pembedahan lama, bayi/anak kecil, pasien demam, dan teknik anesthesia dengan anesthesia buatan. Pada pasien ini tidak dilakukanmonitoring suhu. 5. Monitoring ginjal: produksi urin Pada pasien ini tidak dilakukan pemasangan kateter urethra, sehingga monitoring produksi urin tidak dilakukan 6. Monitoring kebutuhan cairan Dilakukan pemberian cairan infuse RL selama operasi berlangsung 7. Monitoring perdarahan pasien Pada kasus ini, meskipun terjadi perarahan yang memancar saat ekstubasi, namun, tidak diperlukan transfusi darah. Pemulihan pasca anestesi 1. Pemantauan SSP: derajat kesadaran, refleks pupil, reaksi rangsang dengar, nyeri, gelisah, dan pernafasan. 2. Pemantauan respirasi: airway, gerakan dinding dada, frekuensi, dan kedalamannya. 3. Pemantauan kardiovaskular: TD, nadi, akral hangat/dingin. 4. Pemantauan pencernaan: mual/muntah 5. Pemantauan warna kulit: pucat/sianosis 6. Pemantauan perdarahan 7. Pemantauan suhu 8. Pengukuran skor alderate.

Case report

KESULITAN GENERAL ANESTHESIA DENGAN TEKNIK INTUBASI ENDOTRAKEAL MELALUI NASAL PADA OPERASI TONSILEKTOMI

Pembimbing: Dr. Widodo, Sp An

Disusun oleh: Arsi Shabrina Atika Tri Ayuningtyas (110.2006.048) (110.2006.051)

Indah Purnama

(110.2006.126)

SMF ILMU ANESTESI RSUD GUNUNG JATI CIREBON DESEMBER 2010

You might also like