You are on page 1of 28

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Blok Kedokteran Keluarga adalah blok dua puluh satu pada semester 7 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus skenario D yang memaparkan kasus Dokter Amin dokter layanan primer yang berpraktek mandiri sebagai dokter keluarga, dikunjungi pasien bernama Aman (10 tahun) suspect TB. Dalam keluarga ada riwayat penderita TB paru pengobatan tidak displin. Dr. Amin merujuk pasien ke lab PRM untuk pemeriksaan sputum

1.2

Maksud dan Tujuan Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu : 1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari system pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. 2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan pembelajaran diskusi kelompok. 3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Data Tutorial Pembimbing Tutorial Waktu : dr. Yessi Astri, M.Kes : Selasa, 20 Desember 2011 Kamis, 22 Desember 2011 Moderator Sekretaris Meja Sekretaris papan Rule Tutorial : Farah Dibah : Rahman Wahyudin Sensi : Rizki Amelia : 1. Ponsel dalam keadaan nonaktif 2. Tidak boleh membawa makanan dan minuman 3. Angkat tangan bila ingin mengajukan pendapat 4. Izin terlebih dahulu bila ingin keluar ruangan

2.2. Skenario D Blok XXI Dokter Amin seorang dokter layanan primer yang berpraktek mandiri sebagai dokter keluarga, dikunjungi pasien seorang anak laki-laki berumur 10 tahun bernama Aman dengan keluhan batuk berdahak yang sudah berlangsung lebih kurang 6 bulan. Pada saat datang diantar oleh ibunya dan ia mengeluh batuknya bertambah sering , berdahak yang disertai darah. Sebelumnya tidak berobat ke dokter dengan keluhan seperti ini.

Pada anamnesis diketahui bahwa keluarga, didapati neneknya (dari pihak ibu) menderita batuk yang menahun dan sudah mendapat pengobatan OAT tetapi tidak teratur. Dr. Amin menyuruh ibunya Aman untuk membawa dahak anaknya ke laboratorium puskesmas rujukan mikroskopis (PRM) untuk pemeriksaan sputum SPS, sementara menunggu hasil pemeriksaan SPS, Aman diberi obat simptomatik.

2.3. Seven Jump Step 2.3.1. Klarifikasi istilah: a. Dokter layanan primer: dokter yang melayani pelayanan tingkat medis dasar. b. Praktik mandiri: tempat pelayanan kesehatan yang diselengarakan oleh satu dokter keluarga c. OAT: obat yang diberikan untuk pengobatan anti TB berdasarkan standar WHO d. Batuk berdahak disertai darah: reflek fisiologis tubuh unyuk mengeluarkan benda asing dari saluran nafas yang disertai mukus bercampur darah. e. Anamnesis: hasil wawancara antara dokter dan pasien untuk membantu menegakan diagnosis f. Sputum SPS: pemeriksaan dahak sewaktu, pagi, sewaktu untuk menentukan diagnosis TB. g. PRM: laboratorium pusat rujukan puskesmas untuk pemeriksaan mikroskopis dan penilainya h. Obat simptomatik: obat yang digunakan untuk mengobati gejala suatu penyakit i. Dokter keluarga: dokter yang melayani suatu komunitas tertentu yang melayani pelayanan kesehatan secara komprehensif.

2.3.2. Identifikasi masalah. 1. Dokter Amin, dokter layanan primer yang berpraktek mandiri sebagai dokter keluarga, dikunjungi pasien seorang anak laki-laki berumur 10 tahun bernama Aman dengan keluhan batuk berdahak yang sudah berlangsung lebih kurang 6 bulan. Pada saat datang diantar oleh ibunya dan ia mengeluh batuknya bertambah sering, berdahak yang disertai darah. Sebelumnya tidak berobat ke dokter dengan keluhan seperti ini. 2. Pada anamnesis diketahui bahwa keluarga, didapati neneknya (dari pihak ibu) menderita batuk yang menahun dan sudah mendapat pengobatan OAT tetapi tidak teratur. 3. Dr. Amin menyuruh ibunya Aman untuk membawa dahak anaknya ke laboratorium puskesmas rujukan mikroskopis (PRM) untuk pemeriksaan sputum SPS, sementara menunggu hasil pemeriksaan SPS, Aman diberi obat simptomatik. 2.3.3. Analisis Masalah 1. Dokter amin seorang dokter layanan primer yang berpraktek mandiri sebagai dokter keluarga, dikunjungi pasien seorang anak laki-laki berumur 10 tahun bernama Aman dengan keluhan batuk berdahak yang sudah berlangsung lebih kurang 6 bulan Pada saat datang diantar oleh ibunya dan ia mengeluh batuknya bertambah sering , berdahak yang disertai darah. Sebelumnya tidak berobat ke dokter dengan keluhan sepertui ini. a. Apa yang dimaksut dengan dokter layanan primer? (definisi; tugas) b. Apa saja jenis pelayanan yang diberikan oleh dokter layanan primer? c. Bagaimana tanggung jawab dokter keluarga terhadap komunitasnya ? (amin) d. Apa kemungkinan penyakit yang dialami oleh Aman?

e. Mengapa batuknya bertambah sering, berdahak disertai darah dan sebelumnya Amin tidak berobat kedokter dengan keluahan seperti ini? 2. Pada anamnesis deketahui bahwa keluarga, didapati neneknya (dari pihak ibu) menderita batuk yang menahun dan sudah mendapat pengobatan OAT tetapi tidak teratur.

a. Bagaimana pola pengobatan OAT yang sesuai standar? b. Mengapa pengobatan OAT tidak teratur? (peran dokter keluarga dalam pengobatan ini) c. Apa akibat dari pengobatan OAT yang tidak teratur?

3. Dr. Amin menyuruh ibunya Aman untuk membawa dahak anaknya ke laboratorium puskesmas rujukan mikroskopis (PRM) untuk pemeriksaan sputum SPS, sementara menunggu hasil pemeriksaan SPS, Aman diberi obat simptomatik a. Bagaimana prosedur pengambilan sampel sputum dan pengiriman sampel pada sputum SPS? b. Apakah tindakan Dr. Amin untuk menyuruh ibu Aman membawa dahak anaknya ke PRM? c. Apa yang dimaksut Lab PRM? d. Bagaimana sistem rujukan dalam praktek dokter keluarga? (rujuk balik) e. Apakah prosedur penatalaksanaan yang diberikan dr. Amin sudah benar? (obat simptomatik) f. Dalam keadaan apa saja dokter keluarga boleh melakukan rujukan? () g. Apa manfaat sistem rujukan dalam dokter keluarga?

h. Apa yang harus dilakuakan dokter keluarga jika mendapatkan kasus seperti ini? 2.3.4. Kerangka Konsep
PDKM Dr.Amin Anamnesis: nenek Anam, OAT tidak teratur Suspect TB Aman

Rujukan ke PRM Tidak sesuai standar rujukan

2.3.5. Hipotesis

Dr. Amin belum memahami sistem rujukan dengan baik sehingga tempat rujukan yang dituju tidak sesuai dengan standar rujukan.

2.3.6. Learning Issue Pokok Bahasan What I Know What I Dont What I Have How Know (Learning Issue) Sistem rujukan dokter keluarga Dokter Amin dokter layanan primer yang berpraktek sebagai mandiri dokter 1. Dokter layanan primer 2. TB paru Dr. belum memahami sistem Amin Kuliah dosen, Text Pakar Book, Lain to Prove Learn I Will

keluarga, dikunjungi pasien Aman (10 suspect TB. Dalam keluarga ada riwayat penderita TB paru pengobatan tidak displin. Dr. Amin merujuk pasien ke lab PRM untuk sputum. pemeriksaan bernama tahun)

3. Pemerik rujukan saan sputum 4. Pengob paru 5. Sistem rujuk dokter keluarg a dengan baik sehingga tempat yang dituju tidak sesuai dengan standar rujukan.

(internet)

atan TB rujukan

2.3.7. Sintesis 1. Dokter amin seorang dokter layanan primer yang berpraktek mandiri sebagai dokter keluarga, dikunjungi pasien seorang anak laki-laki berumur 10 tahun bernama Aman dengan keluhan batuk berdahak yang sudah berlangsung lebih kurang 6 bulan Pada saat datang diantar oleh ibunya dan ia mengeluh batuknya bertambah sering , berdahak yang disertai darah. Sebelumnya tidak berobat ke dokter dengan keluhan seperti ini. a. Apa yang dimaksut dengan dokter layanan primer? Dokter layanan primer adalah dokter yang memberikan pelayanan kesehatan dimana terjadi kontak pertama secara perorangan sebagai proses awal pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan perorangan primer yang diberikan sebagai berikut (SKN, 2009). 1. penekanan pada pelayanan pengobatan dan pemulihan; dan

2. tetap melakukan upaya peningkatan dan pencegahan, termasuk di dalamnya pelayanan kebugaran dan gaya hidup sehat ( healthy life style). Pelayanan kesehatan perorangan primer diselenggarakan dengan dukungan pelayanan kesehatan perorangan sekunder dalam sistem rujukan yang timbal balik. Berikut lokasi penyelenggaraan pelayanan dokter layanan primer (SKN, 2009). 1. pelayanan yang bergerak (ambulatory) 2. pelayanan yang menetap seperti: a. rumah; b. tempat kerja, seperti klinik perusahaan; c. fasilitas kesehatan perorangan primer baik Puskesmas dan jaringannya; d. fasilitas kesehatan lainnya milik pemerintah, masyarakat, maupun swasta; e. disesuaikan dengan lingkungan atau kondisi tertentu (kesehatan matra, seperti: kesehatan haji, kesehatan kelautan, kesehatan penerbangan, kesehatan wisata); f. pelayanan kesehatan berbasis masyarakat dalam bentuk seperti Pos Kesehatan Desa (Poskesdes); dan g. pengobatan tradisional serta pengobatan alternatif yang secara ilmiah telah terbukti terjamin keamanan dan khasiatnya Pelayanan kesehatan perorangan primer diselenggarakan berdasarkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan masukan dari organisasi profesi dan masyarakat. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan primer untuk penduduk miskin dibiayai oleh pemerintah, sedangkan golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh pemerintah (SKN, 2009).

b. Apa saja jenis pelayanan yang diberikan oleh dokter layanan primer? 1. Penilaian status kesehatan pribadi (well checkup); 2. program proaktif pengendalian penyakit atau kondisi khusus; 3. pendidikan kesehatan; 4. imunisasi; 5. pemeliharaan kesehatan bayi dan anak balita; 6. pemeliharaan kesehatan anak usia sekolah; 7. pemeliharaan kesehatan wanita dan kesehatan reproduksi; 8. pemeliharaan kesehatan lansia; 9. pemeriksaan ante dan postnatal; 10. konsultasi dan pengobatan; 11. peresepan obat; 12. tindakan medis; 13. konseling; 14. penunjang diagnostik; 15. layanan kesehatan gigi dan mulut; 16. rehabilitasi medik; 17. kunjungan rumah; 18. perawatan di rumah; 19. kunjungan ke rumah sakit; 20. layanan mendesak atau gawat darurat; dan 21. ambulans.

c. Bagaimana tanggung jawab dokter keluarga terhadap komunitasnya ? Seorang DK dituntut untuk menjalankan fungsinya sebagai seorang The Five-star Doctor yang meliputi :
1. Pemberi layanan ( care provider )

Sebagai pemberi layanan DK mempertimbangkan kebutuhan pasien secara total dengan komitmen yang kuat terhadap mutu
2. Pengambil keputusan ( decision maker )

Dalam sistem pelayanan DK bertindak sebagai mitra pasien dalam mengambil keputusan medis
3. Komunikator ( communicator )

Dalam menjalankan perannya DK dituntut mampu berkomunikasi penuh empati dan dapat menyampaikan pesan kesehatan dengan keteladanan dan penjelasan yang rasional
4. Pemimpin kelompok ( community leader )

DK merupakan orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat di wilayah kerjanya sehingga mampu menggalang peran serta masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
5. Manajer

Sebagai koordinator dalam pemeliharaan kesehatan bagi pasien dan keluarganya, DK seyogjanya dapat bekerja sama secara harmonis dengan setiap individu dan institusi, baik di dalam maupun di luar system pelayanan kesehatan

d. Apa kemungkinan penyakit yang dialami oleh Aman? Aman datang dengan keluhan batu berdahak yang sudah berlangsung lebih kurang 6 bulan, batuknya bertambah sering, berdahak

10

yang disertai darah. Berdasarkan anamnesis tersebut gejala pasien mengarah ke TB paru. Bedasarkan Buku Pedoman TB Nasional Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain tb, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

e. Mengapa batuknya bertambah sering, berdahak disertai darah dan sebelumnya Aman tidak berobat kedokter dengan keluhan seperti ini? Memburuknya suatu penyakit bisa dibabkan oleh kurang telitinya dokter dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang menyebabkan kesalahan diagnosis dan pengobatan. Atau dokter sudah melakukan diagnosis yang tepat namun edukasi pengobatan kepada pasien kurang sehingga terget pengobatan yang diharapkan tidak tercapai.

2. Pada anamnesis deketahui bahwa keluarga, didapati neneknya (dari pihak ibu) menderita batuk yang menahun dan sudah mendapat pengobatan OAT tetapi tidak teratur.

11

a. Bagaimana pola pengobatan OAT yang sesuai standar? Standar pengobatan TB berdasarkan International Standard for

Tuberculosis Care (ISTC) sebagai berikut 1. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasuskasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai. 2. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan panduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan pada kasus yang keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut diatas khususnya pada pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan rifampisin ,yang terdiri dari 3 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat menelan obat. Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan masing-masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung minum obat oleh Pengawas Minum Obat (PMO) (untuk TB dan jika

12

memungkinkan untuk HIV) yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggung jawab kepada pasien dan sistem kesehatan. 3. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan kelima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan kelima pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat. 4. Penilai respons terapi pada pasien TB paru ekstra paru dan anak-anak, paling baik dinilai secara klinis.Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading). 5. Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien. Uji sensiviti obat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya pernah diobati. Pasien yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan tiga bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat, atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti/resistensi obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksanakan segera untuk meminimilkan kemungkinan penularan. Cara-cara pengenalian infeksi yang memadai seharusnya dilakukan sesuai tempat pelayanan. 6. Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan panduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Panduan obat yang dipilih dapat distandarisasi atau sesuai pola sensitiviti obat berdasarkan dugaan atau yang telah terbukti. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif, termasuk obat suntik, harus diberikan paling tidak 18 bulan setalah konversi biakan. Cara-cara yang

13

berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB harus dilakukan 7. Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.

Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT sebagai berikut (Depkes, 2002). 1. Kategori 1 : 2 HRZE / 4H3R3, diberikan untuk :

Penderita baru TBC Paru BTA Positif; Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat ; dan Penderita TBC Ekstra Paru berat.

Tabel 1. Panduan OAT Kategori 1 Keterangan :


- dosis tersebut diatas untuk penderita dengan B antara 33-50 kg. - satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri dari

60 blister HRZE untuk tahap intensif dan 54 blister HRH untuk tahap lanjutan masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.

2. Kategori 2 :

2HRZES / HRZE / 5H3R3E3, diberikan untuk :

Penderita kambuh (relaps) Penderita Gagal (failure)

14

Penderita dengan Pengobatan setelah lalai (after default)

Tabel 2. Panduan OAT Kategori 2 Keterangan : - dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg. - satu paket kombipak kategori 2 berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90 blister HRZE untuk tahap intensif dan 66 blister HRE untuk tahap lanjutan masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan d alam 1 dos besar disamping itu disediakan 30 vial streptomicin @ 1,5 gr dan pelengkap pengobatan (60 spuit dan aquabidest untuk tahap intensif.

3. Kategori 3 :

2 HRZ / 4H3R3, diberikan untuk :

Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan; Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis) pleuritis eksudativa unilateral TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan kelenjar aderenal.

Tabel 3. Panduan OAT Kategori 3 Keterangan: - Dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg.

15

- satu paket kombipak kategori 3 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZ untuk tahap intensif dan 54 bliter HR untuk tahap lanjutan masing masing di kemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.

Disamping ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan (HRZE). Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk memudahkam pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai satu (1) paket untuk satu (1) penderita dalam satu (1) masa pengobatan. Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Tabel 4. Panduan OAT Sisipan Keterangan: - dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33 50 kg. - satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil.

b.

Mengapa pengobatan OAT tidak teratur? Berbagai faktor yang menyebabkan pengobatan tidak teratur baik dari segi

pasien maupun dari segi dokter sebagai berikut (Depkes, 2002).

16

1. Pasien belum memahami bahwa obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan; 2. pendidikan kesehatan tidak dilakukan oleh dokter keluarga dan petugas kesehatan lainnya; 3. konsultasi dan konseling tidak dilakukan oleh dokter keluarga dan petugas kesehatan lainnya; 4. petugas kesehatan, baik dokter maupun petugas paramedis lainnya tidak melakukan pemantauan berkala terhadap kemajuan pengobatan dengan cara kunjungan rumah atau menghubungi keluarga pasien; dan tidak ada orang pengawasan menelan obat (PMO), atau petugas PMO telah lalai dalam melakukan tugasnya (Depkes, 2002).

c. Apa akibat dari pengobatan OAT yang tidak teratur? Masalah yang muncul dengan pengobatan OAT yang tidak teratur sebagai berikut (Depkes, 2002). 1. Pengobatan harus diulang dari awal; 2. pengobatan gagal, terkadang perlu pengobatan seumur hidup; 3. cenderung berpotensi hasil BTA kembali positif dan menularkan kepada orang sekitar terutama keluarga satu rumah; dan 4. petugas kesehatan harus mengusahakan penderita untuk kembali ke unit pelayanan kesehatan;

3. Dr. Amin menyuruh ibunya Aman untuk membawa dahak anaknya ke laboratorium puskesmas rujukan mikroskopis (PRM) untuk pemeriksaan sputum SPS, sementara menunggu hasil pemeriksaan SPS, Aman diberi obat simptomatik a. Bagaimana prosedur pengambilan sampel sputum dan pengiriman sampel pada sputum SPS?

17

Cara pengambilan sputum secara umum sebagai berikut. 1. Pengambilan sputum sebaiknya dilakukan pada pagi hari, dimana kemungkinan untuk mendapat sputum bagian dalam lebih besar. Atau juga bisa diambil sputum sewaktu. Pengambilan sputum juga harus dilakukan sebelum pasien menyikat gigi. 2. Agar sputum mudah dikeluarkan, dianjurkan pasien mengonsumsi air yang banyak pada malam sebelum pengambilan sputum. 3. Jelaskan pada pasien apa yang dimaksud dengan sputum agar yangdibatukkan benar-benar merupakan sputum, bukan air liur/saliva ataupun campuran antara sputum dan saliva. Selanjutnya, jelaskan cara mengeluarkan sputum. 4. Sebelum mengeluarkan sputum, pasien disuruh untuk berkumurkumurdengan air dan pasien harus melepas gigi palsu (bila ada). 5. Sputum diambil dari batukkan pertama (first cough).

Cara membatukkan sputum sebagai berikut. 1. Tarik nafas dalam dan kuat (dengan pernafasan dada); 2. batukkan kuat sputum dari bronkus ke trakea ke mulut ke wadah penampung; wadah penampung berupa pot steril bermulut besar dan berpenutup (screw cap medium); 3. periksa sputum yang dibatukkan, bila ternyata yang dibatukkan adalah air liur/saliva, maka pasien harus mengulangi membatukkan sputum. 4. sebaiknya, pilih sputum yang mengandung unsur-unsur khusus, seperti, butir keju, darah dan unsur-unsur lain; 5. bila sputum susah keluar maka lakukan perawatan mulut; perawatan mulut dilakukan dengan obat glyseryl guaiacolate (expectorant) 200 mg atau dengan mengonsumsi air teh manis saat malam sebelum pengambilan sputum; dan 6. bila sputum juga tidak bisa didahakkan, sputum dapat diambil secara: - aspirasi transtracheal;

18

- bronchial lavage;dan - lung biopsy.

Cara pengiriman spesimen sebagai berikut. 1. Baik spesimen yang dikirim dalam pot maupun wadah harus disertai dengan data/keterangan, baik mengenai kriteria spesimen maupun pasien. Ada 2 data yang harus disertakan sebagai berikut: a. Data 1: Pot/wadah dilabel dengan menempelkan label pada dinding luar pot. Proses direct labelling yang berisi data: nama, umur, jenis kelamin, jenis spesimen, jenis tes yang diminta dan tanggal pengambilan. b. Data 2: Formulir/kertas/buku yang berisi data keterangan klinis: dokter yang mengirim, riwayat anamnesis, riwayat pemberian antibiotik terakhir (minimal 3 hari harus dihentikan sebelum pengambilan spesimen), waktu pengambilan spesimen, dan keterangan lebih lanjut mengenai biodata pasien. Jadi, data mengenai spesimen harus jelas: label dan formulir. 2. Spesimen tidak akan diterima apabila: a. tidak dilengkapi dengan data yang sesuai; b. jumlah yang dibutuhkan untuk pemeriksaan kurang; dan c. cara pengambilan tidak sesuai dengan prosedur yang ada.

Untuk prosedur yang dilakukan praktik dokter keluarga tanpa laboratorium lengkap dengan memanfaatkan fasilitas yang ada sebagai berikut.

19

1. Pengambilan dahak dapat dilakukan di praktik dokter keluarga dengan prosedur yang dijelaskan kepada pasien atau dokter keluarga mengeluarkan surat rujukan untuk melakukan pengambilan dahak di Puskesmas Satelit yang terkait; 2. jika pengambilan sputum dilakukan di praktik dokter keluarga, sputum yang diambil dikirim ke Puskesmas Satelit untuk membuat sediaan apus dan memfiksasi. 3. setelah proses fiksasi selesai, Puskesmas Satelit (PS) mengirimkan sediaan apus yang telah dibuat ke Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) untuk dilakukan pembacaan; 4. setelah dilakukan pembacaan di PRM, hasil dikirimkan kembali PS; 5. setelah mendapatkan hasil, PS merancang rencana pengobatan dan melakukan rujuk balik ke dokter keluarga untuk menindak lanjuti pengobatan terhadap pasiennya.

b. Bagimana mekanisme rujukan ke laboratorum pada kasus TB? Laboratorium tuberkulosis tersebar luas dan berada disetiap wilayah, mulai dari tingkat Kecamatan, Kab/Kota, Propinsi, dan Nasional, yang berfungsi sebagai laboratorium pelayanan kesehatan dasar, rujukan maupun laboratorium pendidikan/penelitian. Setiap laboratorium yang memberikan pelayanan pemeriksaan tuberkulosis mulai dari yang paling sederhana, yaitu pemeriksaan apusan secara mikroskopis sampai dengan pemeriksaan paling mutakhir seperti PCR, harus mengikuti acuan/standar. Oleh karena itu diperlukan jejaring laboratorium tuberkulosis untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar. Dengan demikian setiap pasien tuberkulosis akan mendapatkan pelayanan yang prima. Tanggung jawab yang saling berkaitan, mencakup standard mutu pelayanan dan Quality Assurance (QA). Sistem jejaring laboratorium dalam Program Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia memakai sistem pendekatan fungsi. Sistem jejaring laboratorium TB adalah sebagai berikut:

20

a.

Laboratorium mikroskopis TB UPK 1. UPK dengan kemampuan pelayanan laboratorium hanya pembuatan sediaan apusan dahak dan fiksasi. Misalnya: Puskesmas Satelit (PS). 2. UPK dengan kemampuan pelayanan laboratorium mikroskopis deteksi Basil Tahan Asam (BTA), dengan pewarnaan Ziehl Neelsen dan pembacaan skala IUATLD. Contoh: Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM), Rumah Sakit, BP4, RSP dll. 3. Mutu pemeriksaan laboratorium ini akan ditera oleh laboratorium rujukan uji silang, dapat dilaksanakan oleh laboratoium kesehatan daerah, laboratorium di salah satu Rumah Sakit, BP4 ataupun Rumah Sakit Paru (RSP), dll.

b.

Laboratorium rujukan uji silang mikroskopis 1. Laboratorium ini melaksanakan pemeriksaan mikroskopis BTA seperti pada laboratorium UPK ditambah dengan melakukan uji silang mikroskopis dari laboratorium UPK binaan dalam sistem jejaring. 2. Laboratorium rujukan uji silang mempunyai sarana, pelaksana dan kemampuan yang memenuhi kriteria laboratorium rujukan uji silang mikroskopis.

c.

Laboratorium rujukan Provinsi 1. Laboratorium ini melakukan pemeriksaan seperti laboratorium uji silang mikroskopis dan memberikan pelayanan pemeriksaan isolasi, identifikasi, uji kepekaan M. tb dari spesimen dahak.

21

2. Laboratorium

rujukan

propinsi

melakukan

uji

silang

hasil

pemeriksaan mikroskopis Lab ujukan uji silang 3. Laboratorium rujukan propinsi melakukan uji silang ke II jika terdapat kesenjangan antara hasil pemeriksaan mikroskopis Lab UPK dan laboratorium rujukan uji silang

d.

Laboratorium rujukan Regional. 1. Laboratorium rujukan tingkat regional adalah laboratorium yang melakukan emeriksaan kultur, identifikasi dan DST M.tb dan MOTT dari dahak dan bahan lain dan menjadi laboratorium rujukan untuk kultur dan DST M.tb bagi laboratorium rujukan tingkat provinsi. 2. Laboratorium rujukan regional secara rutin mengirim tes uji profisiensi kepada laboratorium rujukan provinsi.

e.

Laboratorium rujukan Nasional. Laboratorium rujukan nasional melakukan pemeriksaan dan

penelitian biomolekuler dan mampu melakukan pemeriksaan non konvensional lainnya, serta melakukan uji silang ke dua untuk pemeriksaan biakan.

22

Gambar 2.1: Mekanisme Rujukan laboratorium TB

f. Apakah tindakan Dr. Amin untuk menyuruh ibu Aman membawa dahak anaknya ke PRM? Tidak benar, selayaknya dr. Amin melakukan pengambilan dahak di PDKM kemudian mengirimkannya ke Puskesmas Satelit untuk dibuat sediaan kemudian dilakukan pembacaan di Puskesmas Rujukan Mikroskopis. Dapat juga dengan membuat surat rujukan untuk melakukan
23

pengambilan dahak langsung ke Puskesmas Satelit kemudian ditindaklanjut, bukan dengan menyuruh ibu Aman mengantarkan dahak Aman sendiri ke PRM karena seharusnya di melalui PS dahulu baru ke PRM.

g. Bagaimana sistem rujukan dalam praktek dokter keluarga? Rujukan adalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan suatu kasus penyakit dan ataupun masalah kesehatan secara timbal balik yang dapat dilakukan secara vertikal (dari unit yang lebih mampu menangani) atau secara horizontal (antar unit-unit yang setingkat kemampuannya).

h. Apakah prosedur penatalaksanaan dengan memberikan obat simptomatik yang dilakukan dr. Amin sudah benar? tindakan dokter amin memberikan obat simptomatik sementara hasil lab belum keluar sudah benar. Dokter dapat memberikan obat simptomatik guna membuat pasien lebih nyaman.

i. Dalam keadaan apa saja dokter keluarga boleh melakukan rujukan? Doker keluarga boleh dan wajib melakukan rujukan jika suatu masalah kesehatan sudah diluar kompetensi dokter keluarga sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditentukan KKI. Hal ini diatur dalam UU No. 29 tahun 2004.

j. Apa manfaat sistem rujukan dalam dokter keluarga?

24

1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan (bila sistemnya berjalan sesuai dengan seharusnya); 2. kebutuhan dan tututan kesehatan pasien akan terpenuhi; dan 3. terbentuk team work.

k. Apa yang harus dilakuakan dokter keluarga jika mendapatkan kasus seperti ini? 1. Mencatat identitas pasien dengan lengkap 2. Melakukan anamesis secara lengkap 3. Pemeriksaan fisik 4. Pemeriksaan BTA 5. Pemberian obat simptomatik 6. Pemberian obat yang dibutuhkan 7. Edukasi menelan obat untuk pasien 8. Melakukan kunjungan rumah 9. Melakukan edukasi ke keluarga tentang TB, cara penularan, dan usaha preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan.

25

BAB III KESIMPULAN

Dr. Amin belum memahami sistem rujukan dengan baik sehingga tempat rujukan yang dituju tidak sesuai dengan standar rujukan laboratorium TB.

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional: Bentuk dan

Cara Penyelenggaraan Pembangunan Kesehatan. Depkes RI, Jakarta, Indonesia, hal. 34-36.

2. Soetono, G. Dkk. Membangun Praktik Dokter Keluarga Mandiri. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, Indonesia, hal. 34-42.

3. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. 2006. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). The Hague, TBCTA, San Francisco, USA, hal. 7-8.

4. Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Depkes RI, Jakarta, Indonesia.

5. Junadi, P. 2005. Kualitas Tenaga Mikroskopis untuk Program Directly Observed Treatment Short-course-therapy (DOTS) di Pusat Kesehatan

27

Masyarakat. Universa Medicina. 24 (2): 63, (http://www.univmed.org/, diunduh 21 Desember 2011, 20:56).

6. Gerakan Terpadu Penanggulangan TB Terpadu. 2011. Struktur Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional. Stop TB Partnership Indonesia (http://www.tbindonesia.or.id/, diunduh 21 Desember 2011, 21:40).

7. Amelia, R. 2010. Konsultasi dan Rujukan dalam Praktik Dokter Keluarga. Departemen IKM/IKP/IKK, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.

28

You might also like