You are on page 1of 27

BAB II LANDASAN TEORI

2.1. Praktik Dokter Keluarga Dokter keluarga adalah dokter praktik umum yang menyelenggarakan pelayanan primer yang komprehensif, kontinyu, mengutamakan pencegahan, koordinatif, mempertimbangkan keluarga, komunitas, dan lingkungan yang dilandasi keterampilan dan keilmuan yang mapan. Pelayanan dokter keluarga melibatkan dokter keluarga sebagai penyaring di tingkat primer, dokter spesialis (DSp) di tingkat pelayanan sekunder, rumah sakit rujukan, dan pihak pendana yang semuanya bekerja sama di bawah naungan peraturan dan perundangundangan. Pelayanan yang diberikan kepada semua pasien tidak memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis penyakitnya. Dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada komunitas dengan titik berat kepada keluarga, ia tidak hanya memandang penderita sebagai individu yang sakit tetapi sebagai bagian dari unit keluarga dan tidak menanti secara pasif, tetapi bila perlu aktif mengunjungi penderita atau keluarganya (IDI 1982). Menurut Persatuan Dokter Keluarga Indonesia (2000), dokter keluarga adalah tenaga kesehatan tempat kontak pertama pasien (fasilitas/sistem pelayanan kesehatan) untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin sedini dan sedapat mungkin, secara paripurna, dengan pendekatan holistik, bersinambung, dan dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan mennerapkan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien yang mengutamakan pencegahan serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang diselenggarakannya (wewenang) sebatas kompetensi dasar kedokteran yang diperolehnya selama pendidikan kedokteran dasar ditambah dengan kompetensi dokter layanan primer yang diperoleh melalui (Continuing Medical Education) CME/ (Continuing

Professional Development) CPD terstruktur atau program spesialisasi kedokteran keluarga. Secara lebih singkat dokter (basic medical doctor) adalah Dokter Praktik Umum (DPU) penyelenggara pelayanan primer dasar dengan pendekatan kedokteran keluarga. Oleh karena itu mereka dapat berpraktik sebagai dokter keluarga sekalipun belum berpredikat DK di belakang namanya masing-masing. Menurut the American Board of Family Practice (1969), dikatakan sebagai dokter keluarga merupakan dokter yang memiliki tanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama serta pelayanan kesehatan yang menyeluruh/komprehensif yang dibutuhkan oleh semua anggota keluarga dan bila berhadapan dengan masalah kesehatan khusus yang tidak mampu ditanggulangi, meminta bantuan konsultasi dari dokter ahli yang sesuai. Adapun ciri ciri profesi dokter keluarga sebagai berikut. a. Mengikuti pendidikan dokter sesuai standar nasional; b. pekerjaannya berlandaskan etik profesi; c. mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan; d. pekerjaannya legal melalui perizinan; e. anggota anggotanya belajar sepanjang hayat; f. anggota anggotanya bergabung dalam suatu organisasi profesi; g. melayani penderita tidak hanya sebagai orang perorang, melainkan sebagai anggota satu keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat sekitarnya; h. memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan memberikan perhatian kepada penderita secara lengkap dan sempurna, jauh melebihi jumlah keseluruhan keluhan yang di sampaikan; i. mengutamakan pelayanan kesehatan guna meningkatkan derajat seoptimal mungkin, mencegah timbulnya penyakit dan mengenal serta mengobati sedini mungkin; j. mengutamakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya; dan k. menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan kesehatan tingkat pertama dan bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan lanjutan.

Kompetensi sebagai dokter layanan primer sebatas yang diperoleh selama pendidikan, terbatas pada kedokteran dasar (basic medical knowledge and skills) artinya belum seluruh cakupan ilmu dan keterampilan dokter layanan primer dikuasai dan dimahir. Gelar profesional yang dapat digunakan adalah dokter sesuai dengan peringkat kompetensi, kewenangan, dan cakupan layanannya. Dokter keluarga juga merupakan dokter yang melayani masyarakat sebagai kontak pertama yang merupakan pintu masuk ke sistem pelayanan kesehatan, menilai kebutuhan kesehatan total pasien dan menyelenggarakan pelayanan kedokteran perseorangan dalam satu atau beberapa cabang ilmu kedokteran serta merujuk pasien ke tempat pelayanan lain yang tersedia sementara tetap menjaga kesinambungan pelayanan, mengembangkan tanggung jawab untuk pelayanan kesehatan menyeluruh dan berkesinambungan serta bertindak sebagai koordinator pelayanan kesehatan, menerima tanggung jawab untuk perawatan total pasien termasuk konsultasi sesuai dengan keadaan lingkungan pasien yakni keluarga serta masyarakat (The American Academic of General Practice, 1947). Dalam penyelenggaraan praktik dokter keluarga, biasanya dokter keluarga memiliki Klinik Dokter Keluarga (KDK) yang merupaka klinik yang menyelenggarkan Sistem Pelayanan Dokter Keluarga (SPDK). Sebuah klinik dokter keluarga layaknya memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut. a. Mudah untuk dicapai dengan kendaraan umum atau berada di tempat yang strategis; b. memiliki bangunan yang memadai, dilengkapi dengan sarana komunikasi; c. memiliki sejumlah tenaga dokter yang telah lulus pelatihan DK; d. mempunyai sejumlah tenaga pembantu klinik dan paramedis yang lulus dengan pelatihan khusus pembantu KDK; e. bentuk praktik mandiri atau berkelompok; f. memiliki izin berorientasi wilayah; g. penyelenggaraan berupa pelayanan bersifat paripurna, holistik, terpadu, dan berkesinambungan; h. melayanai semua jenis penyakit dan golongan umur; dan i. mempunyai sarana medis yang memadai sesuai dengan peringkat klinik yang bersangkutan.

2.2. Hak dan Kewajiban Dokter Keluarga 2.2.1. Hak Dokter Keluarga Dokter keluarga memiliki hak atau wewenang dalam menjalankan praktik kedokterannya. Adapun hak atau wewenang dokter keluarga sebagai berikut. a. Menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standard; b. melaksanakan pendidikan kesehatan bagi masyarakat; c. melaksanakan tindakan pencegahan penyakit; d. mengobati penyakit akut dan kronik di tingkat primer; e. mengatasi keadaan gawat darurat pada tingkat awal; f. melakukan tindakan prabedah, bedah minor, rawat pascabedah di unit pelayanan primer; g. melakukan perawatan sementara; h. menerbitkan surat keterangan medis; i. memberikan masukan untuk keperluan pasien rawat inap; dan j. memberikan perawatan di rumah untuk keadaan khusus. 2.2.2. Kewajiban Dokter Keluarga Di samping hak atau wewenang yang dimiliki oleh dokter keluarga, seorang dokter keluarga juga memiliki kewajiban yang harus diselenggarakan dengan baik. Adapun kewajiban dokter keluarga sebagai berikut. a. Menyelenggarakan pelayanan primer secara paripurna, menyeluruh, dan bermutu guna penampisan untuk pelayanan spesialistik yang diperlukan; b. mendiagnosis secara cepat dan memberikan terapi secara cepat dan tepat; c. memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan sakit; d. memberikan pelayanan kedokteran kepada individu dan keluarganya; e. membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan rehabilitasi; f. menangangi penyakit akut dan kronik g. melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke rumah sakit; h. tetap bertanggungjawab atas pasien yang dirujuk ke dokter spesialis atau di rawat di rumah sakit;

i. memantau pasien yang telah dirujuk atau dikonsultasikan; j. bertindak sebagai mitra, penasikat, dan konsultan bagi pasiennya; k. mengkoordinasikan pelayanan yang diperlukan untuk kepentingan pasiennya; l. menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standard; dan m. melakukan penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran secara umum dan ilmu kedokteran keluarga secara khusus. 2.3. Jenis Pelayanan Dokter Keluarga Pelayan kedokteran keluarga adalah pelayanan dengan pendekatan menyeluruh (holistik), terpadu dan berkesinambungan. Batasan pelayanan dokter keluarga (lebih menunjukkan kepada ciri pelayanan) adalah pelayanan kedokteran yang menyeluruh yang memusatkan pelayanannya kepada keluarga sebagai suatu unit, pada mana tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak di batasi oleh golongan umur atau jenis kelamin pasien, juga tidak oleh organ tubuh atau jenis penyakit tertentu saja. Adapun 9 prinsip pelayanan kesehatan oleh dokter keluarga sebagai berikut. a. Pelayanan yang holistik dan komprehensif; b. pelayanan yang kontinyu; c. pelayanan yang mengutamakan pencegahan; d. pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif; e. penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian integral dari keluarganya; f. pelayanan yang mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan tempat tinggalnya; g. pelayanan yang menjunjung tinggi etika dan hukum; h. pelayanan yang sadar biaya dan sadar mutu; dan i. pelayanan yang dapat diaudit dan dapat dipertangungjawabkan. Pelayanan kedokteran yang menyeluruh/komprehensif yang memusatkan pelayanannya kepada keluarga sebagai suatu unit dimana tanggungjawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi oleh golongan umur atau jenis kelamin pasien, juga tidak oleh organ tubuh atau jenis penyakit tertentu saja (The American Academy of Family Physician, 1969).

Pelayanan dokter keluarga juga dapat dikatakan merupakan pelayanan spesialis yang luas yang bertitik tolak dari suatu pokok ilmu yang dikembangkan dari berbagai disiplin ilmu lainnya terutama ilmu penyakit dalam, ilmu kesehatan anak, ilmu kebidanan dan penyakit kandungan, ilmu bedah, ilmu kedokteran jiwa yang membentuk kesatuan yang terpadu, diperkaya dengan ilmu perilaku, biomedik dan klinik sehingga mampu mempersiapkan dokter untuk mempunyai peran unik dalam menyelenggarakan penatalaksanaan pasien, penyelesaian masalah, pelayanan konseling serta bertindak sebagai dokter pribadi yang mengkoordinasikan seluruh pelayanan kesehatan (The American Academy of Family Physician, 1969). 2.4. Kompetensi Dokter Keluarga Dokter keluarga harus mempunyai kompetensi khusu yang lebih dari lulusan fakultas kedokteran pada umumnya. Kompetensi inilah yang perlu dilatihkan melalui program pelatihan. Secara garis besar, kompetensi yang harus dimiliki oleh dokter keluarga adalah sebagai berikut. a. Menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran keluarga. b. Menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan keterampilan klinik dalam pelayanan kedokteran keluarga. c. Menguasai keterampilan berkomunikasi. d. Menyelenggarakan hubungan profesional dokter-pasien yang beguna untuk sebagai berikut. 1. Secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua anggota keluarga dengan perhatian khusus terhadap peran dan risiko kesehatan keluarga; 2. secara efektif memanfaatkan kemampuan keluarga untuk bekerja sama menyelesaikan masalah kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit serta pengawasan dan pemantauan risiko kesehatan keluarga; dan 3. dapat bekerja sama secara profesional secara harmonis dalam satu tim pada penyelenggaraan pelayanan kedokteran/kesehatan. e. Memiliki keterampilan manajemen pelayanan klinis.

10

f. Memberikan pelayanan kedokteran berdasarkan etika moral dan spiritual. 1. Dapat memanfaatkan sumber pelayanan primer dengan memperhitungkan potensi yang dimiliki pengguna jasa pelayanan untuk menyelesaikan masalahnya; dan 2. Menyelenggarakan pelayanan kedokteran keluarga yang bermutu sesuai dengan standard yang ditetapkan. g. Memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang pengelolaan pelayanan kesehatan termasuk sistem pembiayaan (asuransi kesehatan atau Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat/JPKM). Untuk semua memiliki kompetensi tersebut, dokter keluarga setidaknya telah menjalani standard pendidikan dokter keluarga sebagai berikut. a. Paket A : konsep kedokteran keluarga; b. Paket B : manajemen klinik DK; c. Paket C : keterampilan klinis; dan d. Paket D : keluasan wawasan ilmu dan penerapannya. 2.5. Kendali Mutu Pelayanan Kesehatan Berbagai batasan mutu pelayanan kesehatan dijelaskan oleh banyak pakar. Menurut WHO (1988), mutu pelayanan kesehatan mencakup Profer performance (according to standards) of interventions that are known to be safe, that are affordable to the society in question, and that have the ability to produce an impact on mortality, disablity, and malnutrition. Menurut Kemenkes RI, mutu pelayanan kesehatan meliputi kinerja yang menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, tidak saja yang dapat menimbulkan kepuasan bagi pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata penduduk tetapi juga sesuai dengan standard dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Pelanggan institusi pelayanan kesehatan dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut. a. Pelanggan internal (internal customer), yaitu mereka yang bekerja di dalam institusi kesehatan seperti staf medis, paramedis, teknisi, administrasi, pengelola, dan sebagainya.

11

b. Pelanggan eksternal (eksternal customer), yaitu pasien, keluarga pasien, pengunjung, pemerintah, perusahaan asuransi kesehatam, masyarakat umum, rekanan, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya. Menurut Zeithmalh, dkk (1990) dalam menilai kualitas jasa/pelayanan, terdapat sepuluh ukuran kualitas jasa/ pelayanan sebagai berikut. a. Tangible (nyata/berwujud); b. reliability (keandalan); c. responsiveness (Cepat tanggap); d. competence (kompetensi); e. access (kemudahan); f. courtesy (keramahan); g. communication (komunikasi); h. credibility (kepercayaan); i. security (keamanan); dan j. understanding the customer (Pemahaman pelanggan). Namun, dalam perkembangan selanjutnya dalam penelitian dirasakan adanya dimensi mutu pelayanan yang saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya yang dikaitkan dengan kepuasan pelanggan. Selanjutnya oleh Parasuraman dkk. (1990) dimensi tersebut difokuskan menjadi (ukuran) kualitas jasa/pelayanan sebagai berikut. a. Tangible (berwujud); meliputi penampilan fisik dari fasilitas, peralatan, karyawan dan alat-alat komunikasi; b. realibility (keandalan); yakni kemampuan untuk melaksanakan jasa yang telah dijanjikan secara konsisten dan dapat diandalkan (akurat); c. responsiveness (cepat tanggap); yaitu kemauan untuk membantu pelanggan (konsumen) dan menyediakan jasa/pelayanan yang cepat dan tepat; d. Assurance (kepastian); mencakup pengetahuan dan keramah-tamahan para karyawan dan kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan; dan 5 dimensi

12

e. empaty (empati); meliputi pemahaman pemberian perhatian secara individual kepada pelanggan, kemudahan dalam melakukan komunikasi yang baik, dan memahami kebutuhan pelanggan. Menurut Tjiptono (2000), kualitas memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan hubungan yang kuat dengan penyedia layanan kesehatan. Dalam jangka panjang, ikatan seperti ini memungkinkan penyedia layanan kesehatan untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan serta kebutuhan mereka. 2.5.1. Pemasaran Jasa Dalam suatu penawaran pelayanan kesehatan biasanya disertai beberapa penawaran jasa dimana dalam penawaran tersebut komponen jasa bisa merupakan komponen kecil atau sebaliknya. Menurut Kotler (2000), membedakan lima kategori dalam penawaran seperti yang disebutkan di atas sebagai berikut. a) Barang berwujud murni (a pure tangible good); disini penawaran utamanya terdiri dari barang berwujud, seperti garam, pasta gigi atau sabun. Tidak ada jasa yang menyertai produk ini; b) barang yang berwujud yang disertai jasa (a tangible good with accompanying services); dimana penawaran terdiri dari barang berwujud disertai dengan satu atau lebih jasa untuk mempertinggi daya tarik pelanggan (konsumen), seperti seorang produsen mobil tidak hanya menjual mobil tetapi juga memberikan jasa servis mobil tersebut; c) campuran, penawaran terdiri dari barang dan jasa dengan proporsi yang sama. Contoh: seseorang datang ke restoran tidak hanya untuk mendapatkan makanan yang dan pelayanannya; d) jasa utama yang disertai barang dan jasa tambahan ( a major service with accompanying minor goods and services); dimana penawaran terdiri dari jasa utama dengan jasa tambahan dan atau barang pelengkap, misalnya penumpang pesawat terbang membeli jasa transportasi, mereka sampai ke tujuan tanpa sesuatu hal yang berwujud namun dalam perjalanan mereka mendapatkan barang berwujud seperti makanan dan minuman.

13

e) Jasa murni (a pure service); dimana penawaran hanya terdiri dari jasa, misalnya jasa penitipan anak, pendidikan. Di dalam penawaran jasa, pelayanan kesehatan harus memeriksa secara mendalam terhadap masing- masing jasa yang dihasilkannya dibandingkan dengan tawaran para pesaing dan melaksanakannya sesuai dengan kualitas yang dituntut oleh pasar sasaran. Semakin banyak jasa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi khusus semakin ketat pula pengawasan yang harus dilakukan pelayanan kesehatan terhadap tingkatan, waktu, dan komposisi permintaan atas jasa mereka. 2.5.2. Kepuasan Pelanggan (Konsumen) Secara umum pengertian kepuasan konsumen atau ketidakpuasan konsumen merupakan perbedaan antara harapan (expectations) dan kinerja yang dirasakan (perceived performance). Sehingga dapat dikatakan bahwa kepuasan konsumen berarti kinerja suatu barang/jasa sekurang-kurangnya sama dengan yang diharapkan. Menurut Kotler (2000) mengemukakan bahwa tingkat kepuasan adalah satisfaction is a persons feelings of pleasure or disapointment resulting from comparing a products percieved performance (or outcome) in relation to his or her expectations. Artinya, kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan harapan-harapannya. Kepuasan seorang pembeli (konsumen) setelah melakukan pembelian tergantung pada kesesuaian antara prestasi dari produk yang dibeli dengan harapan dari pembelian tersebut. Menurut Lupiyoadi (2001) menyatakan bahwa dalam menentukan tingkat kepuasan, terdapat lima faktor utama yang harus diperhatikan oleh pelayanan kesehatan sebagai berikut. a. Kualitas produk; pelanggan akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas. b. Kualitas pelayanan; terutama untuk industri jasa, pelanggan akan merasa puas bila mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai dengan yang diharapkan.

14

c. Emosional; pelanggan akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan kagum terhadap dia bila menggunakan produk dengan merek tertentu yang cenderung mempunyai tingkat kepuasan lebih tinggi. Kepuasan yang diperoleh bukan karena kualitas dari produk tetapi nilai sosial atau self esteem yang membuat pelanggan menjadi puas terhadap merek tertentu. d. Harga; produk yang mempunyai kualitas sama tetapi menetapkan harga yang relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pelanggannya. e. Biaya; pelanggan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa cenderung puas terhadap produk atau jasa itu. Penyedia layanan jasa kesehatan harus dapat mengetengahkan secara konsisten jasa yang berkualitas lebih tinggi daripada para pesaingnya. Pelanggan (konsumen) memilih penyedia jasa dengan membandingkan pelayanan yang dirasakan (perceived services) dengan yang diharapkan (expected services). Jika pelayanan yang dirasakan berada dibawah yang diharapkan, maka timbul suatu ketidak puasaan pelanggan, rasa kepercayaan pelanggan terhadap penyedia jasa menjadi berkurang (hilang), pendapatan penyedia layanan kesehatan akan menurun dan akhirnya membahayakan kelangsungan hidup usahanya. Sebaliknya jika pelayanan yang dirasakan sama atau lebih besar dari yang diharapkan, maka pelanggan merasa puas. Mereka akan menggunakan kembali jasa tersebut dan memberitahukan kepada yang lain, sehingga menjadi alat promosi yang efektif, dan kelangsungan hidup penyedia layanan kesehatan menjadi lebih terjamin. Oleh karena itu penyedia jasa harus dapat mengidentifikasikan keinginan konsumen dalam hal kualitas pelayanan secara umum maupun khusus.

15

Gambar 1. Kesenjangan yang Berpengaruh pada Kualitas Pelayanan

2.5.3. Service Recovery Menurut Armistead dkk.(1995) dalam Lewis (2001), definisi service recovery merupakan tindakan spesifik yang dilakukan untuk memastikan bahwa pelanggan mendapatkan tingkat pelayanan yang pantas setelah terjadi masalahmasalah dalam pelayanan secara normal. Sedangkan menurut Zemke dan Bell (1990) dalam Lewis (2001) menyebutkan bahwa service recovery merupakan suatu hasil pemikiran, rencana, dan proses untuk menebus kekecewaan pelanggan menjadi puas terhadap organisasi setelah pelayanan yang diberikan mengalami masalah (kegagalan). Dari berbagai definisi tersebut di atas dapat diambil beberapa key-term yang menjadi perhatian dalam melakukan service recovery, yaitu service recovery merupakan tindakan, pemikiran, rencana, dan proses untuk memperbaiki

16

pelayanan bila terjadi kesalahan atau kekecewaan pelanggan dengan menebus kesalahan atau kekecewaan, sehingga pelanggan menjadi puas. Service recovery bukan hanya sekedar penanganan terhadap keluhan dan interaksi antara penyedia layanan dan pelanggan. Sebuah sistem service recovery yang baik juga mendeteksi dan memecahkan masalah, mencegah kekecewaan dan didisain untuk mengakomodasi keluhan. Banyak pakar yang menyatakan bahwa hukum pertama kualitas adalah melakukan segala sesuatu secara benar sejak awal. Bila hal itu tercapai, maka akan terwujud kepuasan pelanggan. Meskipun demikian, dalam suatu penyedia layanan kesehatan yang telah menyampaikan jasanya dengan baik, tetap saja akan ada pelanggan yang tidak puas atau kecewa. Menurut Tjiptono (2000), penyebab ketidak puasan itu sebagai berikut. a. Faktor internal yang relatif dapat dikendalikan penyedia layanan kesehatan, misalnya karyawan yang kasar, karyawan yang tidak tepat waktu, kesalahan pencatatan transaksi, dan lain-lain. b. Faktor eksternal yang diluar kendali penyedia layanan kesehatan, seperti cuaca, bencana alam, gangguan pada infrastruktur umum (listrik padam, jalan longsor), aktivitas kriminal, dan masalah pribadi pelanggan, misalnya dompet hilang. Service recovery berkaitan erat dengan kepuasan pelanggan dan secara umum dapat diwujudkan dengan tiga cara pokok. Pertama, memperlakukan para pelanggan yang tidak puas dengan sedemikian rupa sehingga bisa mempertahankan loyalitas mereka. Kedua, penyedia jasa memberikan jaminan yang luas dan tak terbatas pada ganti rugi yang dijanjikan saja. Ketiga, Penyedia jasa memenuhi atau melebihi harapan para pelanggan yang mengeluh dengan cara menangani keluhan mereka. Hal-hal yang banyak diterapkan untuk menangani service recovery sebagai berikut. 1. Melakukan aktivitas rekrutmen, penempatan, pelatihan, dan promosi yang mengarah pada keunggulan service recovery secara keseluruhan. 2. Secara aktif mengumpulkan atau menampung keluhan pelanggan yang dipandang sebagai peluang pelasaran dan penyempurnaan proses.

17

3. Mengukur biaya primer dan sekunder dari pelanggan yang tidak puas, lalu melakukan penyesuaian investasi terhadap tingkat biaya tersebut. 4. Memberdayakan karyawan lini depan untuk mengambil tindakan tepat dalam rangka service recovery. 5. Mengembangkan jalur komunikasi yang singkat antara pelanggan dan manajer. 6. Memberikan penghargaan kepada setiap karyawan yang menerima dan memecahkan masalah keluhan pelanggan, serta memperbaiki sumber-sumber masalahnya. 7. Memasukkan keunggulan pelayanan dan recovery sebagai bagian dari strategi bisnis penyedia layanan kesehatan. 8. Komitmen manajer puncak terhadap dua hal utama, yaitu melakukan segala sesuatu secara benar sejak awal dan mengembangkan program service recovery yang efektif. Menurut Mudie dan Cottam (1993), upaya mewujudkan kepuasan pelanggan total bukanlah hal yang mudah. Kepuasan pelanggan total tidak mungkin tercapai, sekalipun hanya untuk sementara waktu. Namun, upaya perbaikan atau penyempurnaan kepuasan dapat dilakukan dengan berbagai strategi. Menurut Tjiptono (1995) ada beberapa strategi yang dapat dipadukan untuk meraih dan meningkatkan kepuasan pelanggan sebagai berikut. 1. Relationship Marketing. Dalam strategi ini, hubungan transaksi antara penyedia jasa layanan kesehatan dan pelanggan berkelanjutan, tidak berakhir setelah penjualan selesai. Salah satu faktor yang dibutuhkan untuk mengembangkan strategi ini ialah dengan membentuk customer database, yaitu daftar nama pelanggan yang perlu dibina hubungan jangka panjang. Database ini tidak hanya berisi nama pelanggan, tetapi juga mencakup hal-hal penting lainnya, misalnya frekuensi dan jumlah pembelian, apa yang menjadi kesukaan pelanggan, dan sebagainya. 2. Strategi Superior Service Strategi ini berusaha menawarkan pelayanan yang lebih unggul daripada pesaingnya. Untuk mewujudkannya diperlukan dana yang besar, kemampuan sumber daya manusia, dan usaha yang gigih. Meskipun demikian, melalui pelayanan yang lebih unggul, penyedian layanan kesehatan dapat membebankan

18

harga yang lebih tinggi pada jasa yang ditawarkan. Akan ada konsumen yang tidak berkeberatan dengan harga yang lebih mahal tersebut. 3. Strategi Unconditional Guarantees/Extraordinary Guarantees Strategi dengan memberikan jaminan terhadap jasa yang ditawarkan atau memberikan pelayanan purnajual yang baik menjadi penting bagi penyedia layanan untuk menjaga loyalitas konsumen. Pelayanan purnajual ini juga harus menyediakan media yang efisien dan efektif untuk menangani keluhan. Penyedia layanan kesehatan juga harus mau mengakui kesalahannya dan menyampaikan permohonan maaf, serta memberikan ganti rugi yang berharga bagi konsumen apabila terjadi kesalahan yang dilakukan. 4. Strategi Penanganan Keluhan yang Efektif. Penanganan keluhan yang baik memberikan peluang mengubah seorang pelanggan yang tidak puas menjadi pelanggan yang puas. Menurut Mudie dan Cottam (1993) menyatakan bahwa menangani keluhan pelanggan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai berikut. a. Penyedia jasa memperoleh kesempatan lagi memperbaiki hubungannya dengan pelanggan yang kecewa; b. penyedia jasa bisa terhindar dari publisitas yang negatif; c. penyedia jasa akan mengetahui aspek-aspek yang perlu dibenahi dalam pelayanan saat ini; d. penyedia jasa akan mengetahui sumber masalah operasinya; dan e. karyawan dapat termotivasi untuk memberikan pelayanan yang berkualitas lebih baik. 2.6. Sistem Kapitasi Jaminan Pelayanan Kesehatan Paul Elwood, seorang dokter di Minesota, akhimya melontarkan ide cemerlang dengan mengembangkan prepaid health care yang kemudian dikenal dengan nama Health Maintenance Organization (HMO) yang diundangkan pada tahun 1973 di Amerika. Sebenamya, sistem pembayaran praupaya sudah berjalan jauh sebelum HMO Act. Namun penyelenggaraannya masih secara sporadis dan tidak mendapatkan dukungan politik dari pemerintah Federal Amerika. Kehadiran HMO ini merupakan altematif dari sistem asuransi konvensional yang sudah

19

berkembang pesat di Amerika dan menyebabkan inflasi tinggi. Tujuannya adalah antara lain untuk mengurangi terjadinya moral hazard melalui manajemen utilisasi. Bentuk awal HMO yang berkembang adalah yang dikenal dengan HMO Staff dan Grup, yang paling banyak menggunakan sistem pembayaran kapitasi. Pada perkembangan berikutnya, jumlah penduduk yang tercakup dengan HMO staff dan grup tersaingi dengan perkembangan HMO Network, Independent Practice Association (IPA), dan tumbuhnya Proferred Provider Organizations (PPO) dan belakangan Point of Service (POS) plan (Luft, 1987; Boland, 1993; Kongsvedt, 1995). Secara teoritis, pengendalian utilisasi dan biaya kesehatan dapat dilakukan dengan intervensi kepada sisi suplai dan sisi demand. Asuransi konvensional yang tidak memiliki hubungan kerja dengan provider melakukan intervensi kepada sisi demand (peserta/konsumen) dengan memberlakukan resiko sendiri dalam bentuk deductible, coinsurance, limitasi dan pengecualian. Pendekatan HMO melakukan pengendalian biaya dengan intervensi kepada sisi suplai Program Pengembangan Kesehatan (PPK) yaitu dengan pembayaran kapitasi. Sedangkan PPO, yang mulai berkembang sejak pertengahan tahun 1980an, menocba mengkombinasikan pendekatan asuransi konvensional dan HMO dengan menerapkan manajemen utilisasi kepada kedua pihak. Program managed care (HMO, PPO, dan POS) di Amerika kini telah merebut lebih dari 70% pangsa pasar asuransi kesehatan (HIAA, 1997). Masalah yang paling penting dalam pembayaran kapitasi adalah menyangkut penetapan berapa besar kebutuhan pelayanan kesehatan seseorang (Gambar 2) yang kemudian dapat dikonversi dalam bentuk kapitasi. Pada umumnya orang berpendapat bahwa manfaat konsumsi pelayanan mengikuti hukum diminishing marginal utility.

20

Gambar 2. Gambar Hipotetikal tentang Kebutuhan dan Konsumsi Pelayanan Kesehatan

Pada harga H1 orang mengkonsumsi sebanyak 5 unit pelayanan, pada harga H2 ia mengkonsumsi 8 unit dan pada harga HO (gratis) ia mengkonsumsi 15 unit. Garis lengkung adalah status kesehatan sehubungan dengan konsumsi tersebut. Dengan pendekatan ini dapat dilihat bahwa konsumsi yang berlebihan tidak akan meningkatkan status kesehatan. Benar metoda ini dapat menurunkan utilisasi (lihat Gambar 3). Pada harga H1, dimana seseorang harus membayar penuh biaya pelayanan kesehatan, jumlah pelayanan yang dikonsumsi adalah 5 unit. Kalau asuransi menanggung semua biaya, maka dia akan mengkonsumsi 15 unit. Tetapi kalau ia harus membayar 20% (coinsurance) dari harga pelayanan, maka ia akan mengkonsumsi sebanyak 10 unit. Gambar 3. Pengaruh Coinsurance terhadap Utilisasi

21

Sulit diketahui karena sistem asuransi konvensional tidak mempunyai instrumen untuk mengetahui tingkat kebutuhan. Sistem pembayaran kapitasi didasari pada asumsi bahwa dokter pada panel sistem HMO atau Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) lebih tahu tentang kebutuhan pasiennya dan bekerja lebih dekat dengan pasiennya dan karenanya akan memberikan pelayanan yang pas, sesuai dengan kebutuhan (Gambar 3). Jika perusahaan asuransi (Pembayar JPK) membayar PPK dengan harga kapitasi sebesar H3, maka PPK akan berusaha menekan jumlah konsumsi sampai 9 unit, jumlah di mana PPK tidak akan merugi.Jika jumlah yang dikonsumsi kurang dari 9 unit, maka PPK akan menikmati laba. Gambar 4. Efek Kapitasi terhadap Utilisasi Pelayanan Kesehatan

Pembayaran kapitasi antara sebuah Pembayar atau asuradur kepada PPK dapat dilakukan dengan berbagai model. Masing-masing model memiliki persyaratan dan keunggulan tersendiri. Kegagalan pembayaran kapitasi dapat terjadi jika model kontrak kapitasi disama ratakan, tanpa memperhatikan kondisi lapangan.

22

Model pembayaran kapitasi memiliki berbagai macam model yang diterapkan dalam penyelenggaraannya sebagai berikut. 2.6.1. Kapitasi Parsial Individual Model 1 ini dapat dilaksanakan jika Pembayar memiliki jumlah anggota cukup banyak dan masing-masing individu PPK atau rumah sakit mendapatkan jumlah anggota yang memadai jumlahnya. Jumlah anggota yang terlalu sedikit pada suatu PPK menyebabkan varians utilisasi menjadi besar dan karenanya resiko PPK menjadi besar pula. Dengan jumlah anggota yang kecil, PPK akan enggan menerima pembayaran kapitasi, apalagi jika PPK tersebut telah memiliki pasien langganan yang cukup banyak. Jika ada PPK yang mau menerima jumlah kecil tersebut, kemungkinan besar PPK itu adalah PPK baru yang belum memiliki langganan dan tidak memberikan pelayanan yang memadai kualitasnya. Model ini tentu saja memberikan pekerjaan yang cukup banyak bagi Pembayar untuk melakukan kontrak kapitasi dengan tiap-tiap PPK. Kapitasi parsial mengandung resiko lebih banyak bagi Pembayar untuk menanggung biaya rujukan dan obat.

Gambar 5. Model Individual/Kapitasi Parsial Akan tetapi, model ini akan memberikan peluang lebih besar kepada Pembayar untuk mendapatkan informasi utilisasi yang lebih baik. Pembayar juga dapat melakukan pemantauan kinerja masing-masing PPK secara rinci.

23

2.6.2. Kapitasi Parsial Kombinasi Independent Practice Association Pada model kedua, Pembayar melakukan kontrak kapitasi kepada asosiasi PPK untuk wilayah dimana jumlah anggota sangat menyebar. Di Amerika asosiasi ini disebut Independent Practice Association, IPA (PT. Jamsostek menyebutnya main provider). Asosiasi PPK membayar anggotanya dengan berbagai cara, misalnya dengan Fee for Service (FFS), gaji, atau bujet; tetapi umumnya dengan cara FFS. Hal ini mengingat kendala manajemen yang paling memungkinkan. Akan tetapi pada daerah dimana jumlah anggota cukup memadai, Pembayar masih melakukan kontrak langsung secara individual. Dengan cara ini, Pembayar dapat mengatasi sulitnya mengadakan kontrak di daerah yang sebaran anggotanya sedikit, padahal menurut peraturan Pembayar harus membayar kapitasi. Hal ini terjadi pada JPK yang secara legal tidak memberikan alternatif pembayaran lain.

Gambar 6. Model Kombiansi IPA/Kapitasi Parsial 2.6.3. Kapitasi Parsial Grup Model ini membagi dua kelompok perawatan kepada PPK rawat jalan dan PPK rawat inap. Pada model ini, seluruh rawat jalan dikontrak kepada kelompok (main provider) dengan pembayaran kapitasi, sementara untuk rawat inap juga

24

dikontrakkan kepada kelompok rumah sakit. Kelompok PPK dapat membayar anggota kelompok dengan cara FFS atau cara lain. Secara legal tidak ada larangan kelompok membayar kapitasi kepada anggota kelompoknya, akan tetapi hal ini bukanlah tujuan pembayaran kapitasi. Lagi pula, kelompok/grup bukanlah organisasi risk bearer, sehingga tidak tepat jika kelompok kemudian membayar kapitasi lagi kepada anggotanya, apalagi jika jumlah tertanggung yang terdaftar pada anggota PPK1 misalnya tidak cukup banyak. Dengan model ini, Pembayar dapat berkonsentrasi mengembangkan kepesertaan sementara grup dan PPK dapat berkonsentrasi dengan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan tertanggung. 2.6.4. Kapitasi Penuh Grup Model ini sangat memudahkan pembayar dalam mengembangkan kepesertaan sementara grup dapat berkonsentrasi penuh dengan pelayanan. Disini grup menanggung resiko penuh atas fluktuasi utilisasi dan dapat mengendalikan rujukan dengan baik. Pada model terdahulu, rujukan rawat inap dapat cukup tinggi jika komunikasi antara Pembayar dengan kedua grup tidak baik. Pada model ini, Pembayar tidak perlu khawatir dengan adanya rujukan yang berlebihan. Karenanya pada model ini dana withold atau referal pool tidak diperlukan. Anggota grup dapat dibayar dengan FFS, gaji, atau cara lain. Pembayaran FFS merupakan pilihan yang paling dapat diterima oleh masing-masing anggota PPK.

Gambar 7. Model Grup, Kapitasi Penuh

25

Tentu saja, sebuah Pembayar dapat mengembangkan berbagai kombinasi kontrak kapitasi. Namun perlu diingat bahwa konsep kapitasi dilakukan antara Pembayar kepada PPK bukan antara Pembayar dengan Pembayar yang lain atau antara PPK dengan PPK yang lain. Dalam peraturan JPK Jamsostek saya kira hal ini sudah jelas, bahwa penyedia pelayanan kesehatan dibayar secara kapitasi oleh Pembayar. 2.6.5. Kapitasi Kombinasi Lain Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara pengendalian biaya dengan menempatkan PPK pada posisi menanggung resiko, seluruhnya atau sebagian, dengan cara menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang ditanggung. Di Amerika, ada keharusan bahwa HMO merupakan badan penanggaung resiko penuh (asume risk), sehingga kapitasi penuh kepada PPK tidak berarti bahwa PPK akan menanggung segala resiko katastropik. Ada mekanisme stop loss dalam kontrak kapitasi penuh. Meskipun di Indonesia, secara eksplisit hal ini belum diatur, mengingat sifat alamiah PPK bukanlah risk bearer, maka mekanisme stop loss haruslah juga berlaku. Hal ini sangat penting dalam menjaga kesinambungan kontrak kapitasi.

Gambar 8. Model Kombinasi Lain

26

Mekanisme

ini

merupakan

cara

meningkatkan

efisiensi

dengan

memanfaatkan mekanisme pasar pada sistem pembayar pihak ketiga, baik itu asuransi, JPK, maupun pemerintah. Pada situasi pasar kompetitif, PPK akan memasang tarif sama dengan average market cost. Tetapi pada pasar monopoli atau oligopoli, PPK dapat menetapkan harga diatas average cost. Jika pembayar membayar dengan kapitasi, PPK akan menekan biaya hingga paling tidak biaya per unit pelayanan yang diberikan sama atau lebih kecil dari average cost. Dengan demikian PPK akan menekan jumlah kunjungan sehingga revenue akan sama dengan atau lebih besar dari revenue jika ia harus melayani pasien FFS. Untuk mencapai hal tersebut, PPK yang bersifat memaksimalkan laba dapat melakukan hal-hal sebagai berikut. a. Yang positif; 1. Memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, dengan menegakkan diagnostik yang tepat dan memberikan pengobatan atau tindakan yang tepat. Dengan pelayanan yang baik ini, pasien akan cepat sembuh dan tidak kembali ke PPK untuk konsultasi atau tindakan lebih lanjut yang menambah biaya. 2. Memberikan pelayanan promotif dan preventif untuk mencegah insidens kesakitan. Apabila angka kesakitan baru menurun, maka peserta tentu tidak perlu lagi berkunjung ke PPK yang akan menurunkan utilisasi menjadi lebih rendah dan biaya pelayanan menjadi lebih kecil. 3. Memberikan pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak kurang, untuk mempertahankan efisiensi operasi dan tetap memegang jumlah pasien JPK sebagai income security. Hal ini akan berfungsi baik jika situasi pasar sangat kompetitif, dimana PPK sulit mencari pasien/langganan baru. b. Yang negatif; 1. Jika kapitasi yang diberikan terpisah-pisah (parsial) antara pelayanan rawat jalan tingkat pertama dan rujukan dan tanpa diimbangi dengan insentif yang memadai untuk mengurangi rujukan, PPK akan dengan mudah merujuk pasiennya ke spesialis atau merawat di rumah sakit. Dengan merujuk, waktunya untuk memeriksa menjadi lebih cepat dan resiko menjadi lebih

27

kecil. Dengan demikian, PPK tingkat pertama dan rawat jalan rujukan dapat mengantongi surplus yang dikehendaki. 2. Mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu lebih banyak untuk melayani pasien non JPK yang "dinilai" membayar lebih banyak. Artinya mutu pelayanan dapat dikurangi, karena waktu pelayanan yang singkat. Jika ini terjadi, pada kapitasi parsial pihak JPK pada akhimya dapat memikul biaya lebih besar karena efek akumulatif penyakit yang menjadi lebih mahal di kemudian hari. Pasien yang tidak mendapatkan pelayanan rawat jalan yang memadai akan menderita penyakit yang lebih berat, akibatnya biaya pengobatan sekunder dan tersier menjadi lebih mahal. 3. Tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya kunjungan pasien kapitasi tidak cukup banyak. Hal ini menimbulkan banyaknya keluhan anggota atas pelayanan yang tidak memuaskan. Untuk jangka pendek strategi ini mungkin berhasil tetapi untuk jangka panjang hal ini akan merugikan PPK itu sendiri. Salah satu cara untuk mengevaluasi berbagai kekhawatiran prilaku PPK yang mendapatkan pembayaran sistem kapitasi dan yang mendapatkan pembayaran FFS adalah dengan mengevaluasi utilisasi biaya, status kesehatan, dan kepuasan peserta. Di Indonesia, sepanjang pengetahuan saya, belum ada evaluasi yang sahih dan terpercaya. Di Amerika, pada awal perkembangan HMO di mana serangan atas rendahnya kualitas pelayanan HMO sangat gencar, hal ini pernah diteliti secara eskperimental. Hasilnya tidak menunjukkan adanya penurunan mutu pelayanan pada HMO yang membayar kapitasi akan tetapi terdapat efisiensi sampai 30%. Keseimbangan informasi antara PPK dan pembayar merupakan kunci sustainabilitas pembayaran kapitasi. Transfer resiko tidaklah berarti bahwa PPK harus menanggung rugi karena informasi yang tidak memadai. Transfer resiko dengan pembayaran kapitasi menempatkan PPK pada resiko fluktuasi utilisasi yang bukan katastropik dan memberikan insentif kepada PPK untuk menghindari moral hazard. Karena rentang resiko kapitasi bagi PPK adalah fluktuasi normal dan pemberian insentif kepada PPK untuk melakukan usaha-usaha pencegahan guna mendapatkan laba yang memadai, maka informasi utilisasi haruslah

28

diketahui bersama. Artinya, keterbukaan data utilisasi antara Pembayar dan PPK harus cukup memadai agar besaran biaya kapitasi tidak menyebabkan salah satu pihak menderita kerugian. Jadi dalam sistem pembayaran kapitasi, telaah utilisasi (utilization review) mutlak diperlukan untuk dua hal. Pertama, telaah utilisasi dapat memberikan informasi kepada Pembayar dan PPK apakah pelayanan yang diberikan selama ini sudah pas, pada titik optimal. Utilisasi di bawah optiomal menunjukkan mutu pelayanan yang tidak memenuhi standar. Sementara utilisasi yang berlebihan merugikan PPK, jika dikapitasi penuh. Telaah utilisasi dilakukan pada PPK yang dikontrak kapitasi dan PPK rujukan. Dengan demikian dapat dipantau PPK mana yang rajin merujuk dan mana yang kurang merujuk. Telaah utlisasi ini juga sangat penting untuk mengetahui apakah keluhan anggota/peserta tentang kualitas yang kurang memadai memang terjadi. Keterbukaan dan saling percaya merupakan faktor yang sangat penting yang secara periodik dikomunikasikan. Telaah utlisasi membutuhkan keterbukaan ini, sehingga Pembayar dan PPK sama-sama mengetahui besarnya resiko yang ditransfer dari Pembayar ke PPK. Dengan demikian, maka besaran kapitasi menjadi fair. Biaya kapitasi yang ditetapkan sepihak tidak akan menghasilkan hasil yang optimal dan merupakan ancaman kelangsungan hubungan Pembayar dan PPK. Dalam mengkomunikasikan data utilisasi, Pembayar dan PPK harus samasama menyadari bahwa terjadi variasi di dalam PPK dan di luar PPK. Di dalam suatu PPK terjadi variasi utilisasi dari waktu ke waktu dan dari suatu kelompok ke kelompok lain. Sementara di antara berbagai PPK terjadi juga variasi yang sama. Besaran biaya kapitasi dihitung berdasarkan rata-rata utilisasi antar PPK, bukan hanya variasi yang terjadi di dalam suatu PPK. Hal ini dapat menimbulkan salah pengertian jika tidak dikomunikasikan terhadap besarnya resiko yang harus dengan baik. Memang, penyesuaian ditanggung oleh suatu PPK atau suatu

kelompok PPK dapat disesuaikan (adjusted capitation rate). Namun hal ini tidak didasarkan atas variasi utilisasi di dalam suatu PPK, akan tetapi atas dasar variasi resiko kelompok suatu PPK yang berbeda dengan resiko rata-rata anggota seluruhnya.

29

2.7. Rekuitmen Dokter Keluarga oleh Jaminan Pelayanan Kesehatan Program pembiayaan kesehatan yang ideal untuk masyarakat Indonesia adalah yang dikenal sebagai Program Jaminan Kesehatan atau di Amerika disebut sebagai Managed Care, yaitu suatu bentuk asuransi dengan sistem prabayar (prepayment) berdasarkan kapitasi (per kepala). Bentuk asuransu ini berbeda dengan asuransi konvensional yang sistemnya pasca bayar berdasarkan biaya yang dibayar ke dokter atau rumah sakit, sehingga sering disebut sebagai asuransi atau insurance, tetapi lebih sebagai jaminan kesehatan atau managed care. Secara ringkas, Program Jamkes ini akan merekrut dokter-dokter umum layanan primer yang sudah disepakati sebagai dokter keluarga. Masing-masing dokter keluarga mencakup atau menangani sejumlah keluarga/orang di sekitar tempat prakteknya. Biasanya sekitar 3.000-4.000 orang atau sekitar 850 keluarga. Badan pengelola Jamkes akan membayar dimuka kepada masing-masing dokter sebesar misalnya Rp 5.000,00 per kepala setiap bulannya. Biaya per kepala ini harus dinegosiasikan antara Badan Pengelola dan masing-masing dokter tergantung misalnya senioritas dan lokasi dokter bersangkutan. Jadi dokter tersebut akan menerima sekitar Rp 15 juta hingga Rp 20 juta setiap bulannya. Besar bayaran akan tetap sejumlah demikian tanpa memandang masyarakat yang menjadi tanggungan dokter keluarga sering datang atau tidak. Karena telah dibayar di muka, dokter bersangkutan akan lebih senang pasien tanggungannya tidak sering datang, yaitu dengan dokter melakukan upaya-upaya promotif preventif sehingga pasien menjadi lebih sehat dan tidak sering datang berobat. Jadi, Program Jamkes ini berorientasi kepada supaya para tertanggung menjadi sehat atau sering disebut paradigma sehat. Ini berbeda dengan asuransi kesehatan konvensional yang dokter dibayar hanya kalau tertanggung jatuh sakit dan berobat ke dokter. Program Jamkes akan menekan biaya kesehatan yang dikeluarkan masyarakat, karena dokter keluarga di layanan primer akan menjadi gate keeper sehingga pasien tidak akan banyak peri ke pelayanan sekunder dan tersier di RS yang biaya mahal.

30

Pasien tidak bisa langsung pergi ke RS/spesialis, kecuali dirujuk oleh dokter keluarganya. Pasien yang dirujuj berobat ke RS akan dibayar berdasarkan perjanjian antara RS dan Badan Pengelola Jamkes sesuai dengan tindakan/pengobatan dan biaya perawatan yang disepakati bersama. Jadi setiap RS harus mempunyai standard pembiayaan yang biasanya berupa paket untuk tiaptiap masalah kesehatan. Jadi misalnya operasi usus buntu, mempunyai paket pembayaran misalnya Rp 5 juta keseluruhan. Program Jamkes ini harus bersifat universal, artinya mencakup seluruh masyarakat Indonesia. Ini harus diatur melalui UU yang sebenarnya sudah ada yaitu UU Sistem Jaminan Sosial Nasional tahun 2004. Hanya saja sejak tahun 2004 tidak ada pelaksanaannya. Sistemnya juga dengan cross subsidy (subsidi silang) yaitu masyarakat kelas atas membantu masyarakat kelas bawah. Premi untuk masyarakat atas akan lebih tinggi untuk membantu masyarakat miskin. Tentunya misi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang ada untuk kemudiannya akan memberikan keuntungan tersendiri pada perekonomian Indonesia memasuki Area Free Trade 2010 (AFTA 2010). Berkenaan dengan AFTA 2010, pembenahan sistem pelayanan kesehatan khususnya sistem Jamkes secara sungguh-sungguh, terutama peningkatan kualitas prakter dokter umum menjadi dokter keluarga yang komprehensif dan holistik dengan dilakukan pelatihan-pelatihan, sehingga diperlukan kerja sama erat antara Departemen Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia(KKI), Asosiasi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan Perusahaan Asuransi Kesehatan seperti Askes, Jamsostek, Asabri, Taspen. Tuntutan akan adanya universal coverage health insurance bagi seluruh rakyat Indonesia harus diagendakan. Terutama untuk mencapai (Millennium Development Goals) MDGs yang ditargetkan harus dicapai di tahun 2015.

You might also like