You are on page 1of 4

1.

Studi pemilihan bahasa dalam masyarakat seperti itu lebih mengutamakan aspek tutur ( speech) daripada aspek bahasa (language). Sebagai aspek tutur, pemakaian bahasa relatif berubah-ubah sesuai dengan perubahan unsur-unsur dalam konteks sosial budaya. Hymes (1972; 1973; 1980) merumuskan unsur-unsur itu dalam akronim SPEAKING, yang merupakan salah satu topik di dalam etnografi komunikasi (the etnography of communication), yang oleh Fishman (1976: 15) dan Labov (1972: 283) disebut sebagai variabel sosiolinguistik. Yang meliputi : 1) setting and scene (latar dan suasana tutur) (2) participants (peserta tutur) (3) ends (tujuan tutur), (4) act sequence (topik/urutan tutur) (5) keys (nada tutur) (6) instrumentalities (sarana tutur) (7) norms (norma-norma tutur), dan (8) genre (jenis tutur) Latar tutur meliputi tempat tutur dan suasana tutur. Tempat tutur mengacu pada keadaan fisik, sedangkan suasana tutur mengacu pada suasana psikologis (baik bersifat resmi maupun tidak rsemi) tindak tutur dilaksanakan. Peserta tutur mengacu pada penutur, mitra tutur, dan orang yang dituturkan. Pemilihan bahasa antar-peserta tutur ditentukan oleh perbedaan dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi pertama meliputi perbedaan umur, status sosial eknomi, dan kedudukan dalam masyarakat.

Perbedaan dimensi kedua antara lain meliputi perbedaan tingkat keakraban antarpeserta tutur. Tujuan tutur merupakan hasil yang diharapkan atau yang tidak diharapkan dari tujuan tindak tutur, baik ditujukan kepada individu maupun masyarakat sebagai sasarnnya. Suatu tuturan mungkin bertujuan menyampaikan buah pikiran, membujuk, dan mengubah perilaku (konatif). Topik tuturan mengacu pada apa yang dibicarakan (massage content) dan cara penyampaiannya (massage form). Dalam sebuah peristiwa tutur, beberapa topik tutur dapat muncul secara berurutan. Perubahan topik tutur dalam peristiwa tutur akan berpengaruh terhadap pemilihan bahasa. Nada tutur diwujudkan, baik berupa tingkah laku verbal maupun nonverbal. Nada tutur verbal mengacu pada perubahan bunyi bahasa, yang dapat menunjukkan keseriusan, kehumoran, atau kesantaian tindak tutur. Nada tutur non-verbal dapat berujud gerak anggota badan, perubahan air muka, dan sorot mata. Sarana tutur mengacu pada saluran tutur dan bentuk tutur. Sarana tutur dapat berupa sarana lisan, tulis, dan isyarat. Bentuk tutur dapat berupa bahasa sebagai sistem mandiri, variasi bahasa seperti dialek, ragam, dan register. Norma tutur berhubungan dengan norma interaksi dan norma interpretasi/ Yang dimaksud norma interaksi adalah norma yang bertalian dengan boleh tidaknya sesuatu dilaksanakan oleh peserta tutur pada waktu tuturan berlangsung, sedangkan norma interpretasi merupakan norma yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tutur tertentu.

Adapun jenis tutur meliputi kategori kebahasaan seperti prosa, puisi, dongeng, legenda, doa, kuliah, iklan dan sebagainya. Kedelapan variabel komponen tutur Hymes tidaklah sepenuhnya digunakan dalam setiap pemerian fenomena pemakaian bahasa dalam dimensi sosial budaya, tetapi tergantung pada fokus variabel yang diperhatikan. Dalam kenyataannya, kedelapan variabel komponen tersebut tidak selalu hadir secara bersamaan dalam sebuah peristiwa tutur tertentu. Untuk itu pembatasan variabel komponen tutur yang sesuai dengan fokus pemerian pemilihan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam penelitian ini sangatlah diperlukan. Pandangan Hymes di atas dijadikan kerangka konsep pelaksanaan penelitian ini. Kedelapan komponen peristiwa tutur tersebut merupakan faktor luar bahasa yang menentukan pemilihan bahasa.

2.

Pemertahanan Bahasa Sebagai salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala pemertahanan bahasa sangat menarik untuk dikaji. Konsep pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata masyarakat pendukungnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Danie (dalam Chaer 1995:193) bahwa menurunnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena pengaruh bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa Indonesia yang jangakauan pemakaiannya bersifat nasional. Namun ada kalangnya bahasa pertama (B1) yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua (B2) yang lebih dominan. Konsep lain yang lebih jelas lagi dirumuskan oleh Fishman (dalam Sumarsono 1993: 1). Pemerthanan bahasa terkait dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di satu pihak dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain dalam masyarakat multibahasa. Salah satu isu yang cukup menarik dalam kajian pergeseran dan pemerthanan bahasa adalah ketidakberdayaan minoritas imigran mempertahankan bahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa mayoritas yang lebih dominan. Pergeseran Bahasa Pergeseran bahasa (language shift) merupakan fenomena sosiolinguistik yang terjadi akibat adanya kontak bahasa (language contact). Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Apabila seseorang atau sekelompok penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan berinteraksi dengan masyarakat tutur di wilayah tersebut, maka akan terjadilah pergeseran bahasa. Kelompok pendatang umumnya harus menyesuaikan diri dengan menanggalkan bahasanya sendiri dan menggunakan bahasa penduduk setempat. Jika berkumpul dengan kelompok asal, mereka dapat menggunakan bahasa pertama mereka tetapi untuk berkomunikasi dengan selain kelompoknya tentu mereka tidak dapat bertahan untuk tetap menggunakan bahasanya sendiri. Sedikit demi sedikit mereka harus belajar menggunakan bahasa penduduk setempat.

Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran/transmigran untuk mendatanginya (Chaer 1995: 190). Fishman (1972) menunjukkan contoh terjadinya pergeseran bahasa pada para imigran di Amerika. Keturunan ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah tidak mengenal lagi bahasa ibunya dan malah menjadi telah menjadi monolingual bahasa Inggris. 3. 1. Tindak Tutur Lokusi Tindak Tutur Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan Aku ngelak dalam tindak lokusi kita akan mengartikan aku sebagai pronomina persona tunggal (yaitu si P) dan ngelak mengacu ke tenggorokan kering dan perlu dibasahi, tan pa bermaksud untuk minta minum.

2.

Tindak Tutur Ilokusi Tindak Tutur Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang

maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, Aku ngelak yang diujarkan oleh P dengan maksud minta minum adalah sebuah tindak ilokusi.

3.

Tindak Tutur Perlokusi Tindak Tutur Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh

P. Secara singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi. 4. Politik bahasa nasional berarti adanya pengolahan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dalam seluruh kebijakan nasional. Politik bahasa nasional mulai didengungkan sejak 29-30 Oktober 1974 di Jakarta dengan penyelenggaraan Praseminar Politik Bahasa Nasional, disusul dengan seminarnya 2528 Februari 1975 di Jakarta. Dalam kedua pertemuan tersebut, para tokoh dan budayawan membahas masalah bahasa yang bersangkutan dengan masalah nasional secara luas. Dalam pidato pengarahan, Amran Halim, Ketua Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, menyatakan bahwa tujuan politik bahasa nasional adalah. 1. Perencanaan dan perumusan kerangka dasar kebijaksanaan dalam kebahasaan. 2. Perumusan dan penyusunan ketentuan-ketentuan dan pengembangan kebijakasanaan umum

mengenai penelitian, pengembangan pembakuan, dan pengajaran bahasa dan sastra. 3. Penyusunan rencana pengembangan kebijaksanaan/nasional.

Dengan kebijaksanaan bahasa nasional yang berencana, terarah, dan terinci dapat diatur fungsi antara bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah, serta antara bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa asing yang digunakan di Indonesia. Yang jelas, politik bahasa nasional menempatkan bahasa Indonesia sebagai urusan negara, karena sesuai dengan bunyi UUD 1945 Bab XV, Pasal 36: Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia . Ketentuan ini menyatakan bahwa Bahasa Indonesia tidak lagi dipakai sebagai bahasa perhubungan, tetapi juga sebagai bahasa resmi kenegaraan. Sebagai alat satu implementasi politik bahasa, sekarang (2007) sedang dibahas Rencana Undang-Undang Bahasa. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai dalam. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pelaksanaan administrasi pemerintahan. Pendidikan dan pengajaran baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Pengembangan nasional. Pengembangan kesusastraan nasional. Peningkatan mutu media massa. Penulisan buku-buku pelajaran dan buku-buku ilmu pengetahuan (baik asli maupun

terjemahan).

You might also like