You are on page 1of 12

Ada dua kelemahan yang terkandung dalam Undang-Undang Desain Industri yang terletak pada desain industri 1.

ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Desain Industri yang menjelaskan bahwa unsur-unsur desain industri harus mengandung kesan estetika. Akan tetapi batasan obyektifnya atas suatu kreasi yang mempunyai kesan estetis tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Desain Industri. Untuk menyatakan suatu kreasi mempunyai kesan estetis sangat subjektif. Undang-undang tidak memberikan penegasan siapa yang mempunyai hak untuk menentukan suatu kreasi mempunyai kesan estetis atau tidak adalah dilakukan oleh pihak Direktorak Jendaral HAKI. 2. Kedua, dalam proses pendafttaran desain industri yang mengandung ketidakadilan hukum antara ketentuan Pasal 26 dan Pasal 29 Undang-Undang Desain Industri. Hal ini dibuktikan dimana disatu sisi apabila dalam pengumuman permohonan desain industri itu ada keberatan dari pihak ketiga, maka pemeriksaan akan dilakukan secara substantif. Namun, ketika tidak ada keberatan atas permohonan desain industri, maka secara serta merta pihak Direktorat Jendral HAKI begitu saja memberikan hak desain industri.

Permasalahan yang terjadi di Undang-Undang Desain Industri kita adalah sistemnya yang merupakan kombinasi dari pendekatan hak cipta dan paten. Pendekatan hak cipta tanpa pemeriksaan, pendekatan paten melalui pemeriksaan. Di Undang-undang Desain Industri tersebut dikatakan bahwa apabila permohonan tidak mendapatkan oposisi maka langsung diberi. Dulu kenapa dibuat sedemikian rupa Undang-undang Desain Industri tersebut itu, alasannya adalah dalam rangka memberikan kesempatan yang seluas-luasnya terhadap usaha kecil dan menengah. Artinya desain-desain mereka bisa masuk kalau tidak ada oposisi. Ternyata sistem ini yaitu yang menggunakan pendekatan hak cipta banyak dimanfaatkan oleh para pemohon yang memiliki pikiran tidak baik, yang notabene bukan dari UKM tapi dari pengusaha menengah, kalau pengusaha atas mereka sudah lepas. Mereka banyak mendaftarkan desain-desain yang sebenarnya sudah tidak baru, tetapi karena undang-undangnya seperti itu dan kalau tidak ada oposisi maka mereka granted.

Kemudian waktu pengumumannya juga sangat singkat, hanya tiga bulan di Tangerang. Kalau kondisinya seperti itu orang tidak sempat untuk melihat. Celakanya begitu mereka sudah mendapatkan sertifikat desain industri mereka melaporkan pesaing-pesaingnya ke polisi.

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL


URGENSI PEMBENTUKAN PERATURAN BIDANG PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DITINJAU DARI ASPEK LEGAL VALIDITY (Kajian Analitis Kritis terhadap Pembentukan UU No. 29 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bernegara, salah satu hal yang harus ditegakkan adalah suatu kehidupan hukum dalam masyarakat.[1] Hal tersebut perlu dilakukan agar hukum yang diciptakan dapat sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dan menjamin rasa keadilan bagi seluruh masyarakat. Sebagaimana adagium yang mengatakan ibi ius ibi society yang mendefinisikan hukum berkembang dan tumbuh dalam masyarakat, dan dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Jadi hukum terdapat dalam masyarakat manusia. Dalam setiap masyarakat selalu ada sistem hukum.[2] Hal tersebut menunjukkan sangat erat hubungan antara hukum dengan masyarakat. Dalam melaksanakan peranan pentingnya bagi masyarakat, hukum mempunyai fungsi, seperti penertiban, pengaturan, penyelesaian pertikaian dan sebagainya sedemikian rupa, sehingga dapat mengiringi masyarakat yang berkembang.[3] Suatu pendekatan yang telah dilakukan oleh E. Adamson dan Karl Llwellyn dalam melihat fungsi hukum dalam menjaga keutuhan masyarakat dapat berupa : 1. Menetapkan hubungan antara warga masyarakat, dengan menetapkan perikelakuan mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang. 2. Membuat alokasi wewenang (authority) dan menentukan dengan seksama pihakpihak yangs secara sah dapat melakukan paksaan dengan sekaligus memilih sanksi-sanksi yang tepat dan efektif.

3. Disposisi masalah-masalah sengketa. 4. Menyesuaikan pola-pola hubungan dengan perubahan-perubahan kondisi kehidupan.[4] Dari fungsi hukum tersebut diatas dapat dilihat bahwa selain berfungsi mengatur hubungan antara masyarakat dengan pemerintah dan antar sesama masyarakat itu sendiri hukum juga memiliki fungsi sebagai sarana penyelaras hubungan masyarakat yang terus berkembang dengan perubahan-perubahan kondisi kehidupan. Perubahan-perubahan pada masyarakat-masyarakat didunia dewasa ini, merupakan gejala yang normal, yang pengaruhnya menjalar dengan cepat ke bagian-bagian lain dari dunia, antara lain berkat adanya komunikasi modern. Penemuan-penemuan baru dibidang teknologi, terjadinya suatu revolusi, modernisasi pendidikan, dan seterusnya terjadi di suatu tempat, dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat lain yang letaknya jauh dari tempat tersebut.[5]. Namun disisi lain situasi hubungan individu antar negara sudah tidak bisa dipisahkan lagi oleh jarak dan waktu (borderless), sehingga penemuan-penemuan baru dari para inventor bukan tidak mungkin akan dinikmati dan dimanipulasi oleh individu yang tidak memiliki hak atas invensi tersebut. Termasuk didalamnya penemuan dibidang teknologi pertanian yang merupakan andalan negara Indonesia sebagai negara agraris. Sistem globalisasi akibat pengaruh majunya teknologi informasi, membawa konsekuensi bagi negara berkembang perlunya profesionalisasi peningkatan daya saing produk-produk dalam negeri. Demikian pula untuk negara Indonesia, dimana sektor pertanian merupakan sektor non migas motor penggerak perekonomian.Usaha agribisnis dimana produk pertanian sebagai objeknya merupakan sektor ekonomi rakyat merupakan andalan Indonesia dalam perdagangan bebas. Hal tersebut dilihat sisi permintaan (demand side) pasar produk agribisnis cukup besar, baik di pasar internasional maupun didalam negeri, Indonesia memiliki sumberdaya melimpah bagi pengembangan agribisnis selain memiliki lembaga penelitian dan pengembangan potensial untuk dikembangkan.[6] Upaya pengembangan potensi agribisnis tersebut tidak terlepas dari campur tangan pemerintah dalam pengelolaanya. Dalam bentuk konkritnya dilakukan dengan mengeluarkan aturan yang jelas mengenai perlindungan hukum terhadap upaya pengembangan dan bagi pengembang itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan peraturan-peraturan perundang-undangan Hak Milik Intelektual bidang varietas tanaman yang lebih tepat, dapat memberikan perlindungan secara komprehensif, jelas dan tegas sehingga dapat menjamin situasi yang kondusif untuk mengembangkan inovasi, terutama dalam memperbaiki potensi genetik varietas tanaman dengan menggali dan memanfaatkan semua potensi kekayaan alam untuk dapat menghasilkan varietas yang lebih unggul.[7] Untuk itu pemerintah Indonesia telah mengeluarkan suatu peraturan mengenai perlindungan bagi individu-individu atau masyarakat yang telah melakukan pengembangan dibidang agribisnis yaitu dikeluarkannya UU no 29 Tahun 2000

Tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Salah satu pemicu lahirnya UU ini adalah guna lebih meningkatkan minat dan peran serta baik perseorangan maupun badan usaha untuk melakukan kegiatan pemuliaan dalam rangka menghasilkan varietas unggul baru, kepada pemulia tanaman atau pemegang hak perlindungan varietas tanaman (selanjutnya disingkat perlindungan varietas tanaman) perlu diberikan hak tertentu serta perlindungan hukum atas hak tersebut secara memadai berupa hak perlindungan varietas tanaman.[8] Tapi kurang tepat apabila UU Perlindungan Varietas Tanaman ini hanya diperuntukkan untuk memberikan hak perlindungan varietas tanaman saja. Karena disamping memperhatikan kepentingan pengembang varietas tanaman masih terdapat faktor-faktor lain yang turut melandasi pembentukan Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman tersebut. Hal itu disebabkan masalah varietas tanaman tidak termasuk dalam objek pengaturan paten pada waktu pertama kali UU Paten dikeluarkan. Dan setelah beberapa kali mengalami perubahan akhirnya UU Paten mencantumkan varietas tanaman sebagai perpanjangan hak ekslusif dari hak kekayaan intelektual di bidang paten. Untuk itulah penulis akan membahas apa yang menjadi penyebab secara urgensi dikeluarkannya UU Perlindungan Varietas Tanaman dengan melihat latar belakang keabsahan hukum atau legal validity dari UU tersebut. B. Permasalahan Dari uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan yaitu apa yang melatar belakangi urgensi pembentukan Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman ditinjau dari aspek legal validity? C. Metode Penelitian Dalam penulisan makalah ini metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif, dimana dipaparkan mengenai latar belakang dibentuknya Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman beserta aspek legal validity yang menyertainya. II.Tinjauan Pustaka Hukum secara sosiologis adalah penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidahkaidah, dan pola-pola prikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.[9] Untuk itulah hukum harus dirumuskan dengan memakai metoda yang mampu menjamin keberlangsungan hukum itu sendiri. Salah satu syarat agar suatu hukum dapat bertahan adlah dengan mememnuhi persyaratan yang dibutuhkan dalam penegakkan huku itu sendiri,sebagaimana yang diungkapkan oleh L.M. Friedman yaitu adanya : 1. Aturan hukum (legal substance). 2. Kelembagaan hukum (legal structure) 3. Budaya hukum (legal culture)[10]

Pada aspek pertama yaitu legal substansi merupakan patokan awal apakah suatu hukum layak dibuat atau tidak ataukah layak diterapkan atau tidak, karena untuk menjadi suatu UU yang konkrit, terlebih dahulu harus melalui tahap legislasi dengan melalui perumusan RUU. Hal ini dapat dimulai dengan meninjau sifat urgensi dari dibentuknya RUU tersebut. Hal itu sesuai dengan konsep pengaturan RUU yang meliputi : 1. Urgensi dan tujuan penyusunan. 2. Sasaran yang ingin diwujudkan. 3. Pokok pikiran, lingkup, atau objek, yang akan diatur. 4. Jangkauan serta arah pengaturan. Dari konsep diatas dapat diuraikan bahwa : 1. Yang diuraikan secara singkat dalam urgensi dan tujuan penyusunan RUU adalah latar belakang filosofis, yuridis dan sosiologis perlu disusun RUU, serta tujuannya apakah untuk mengatur, menetapkan, mengubah, suatu UU, mengarahkan untuk mengubah perilaku masyarakat, ataukah hanya mengangkat nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. 2. Sasaran yang ingin diwujudkan berisi uraian ringkas apakah RUU (UU) yang akan disusun tersebut untuk meningkatkan kepatuhan atau kesadaran masyarakat atau memberikan beban kepada masyarakat. Sedangkan sasaran dalam artian adressat kepada masyarakat, apakah RUU tersebut ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat ataukah terutama hanya untuk kelompok masyarakat tertentu, misalnya RUU Advokat, RUU Praktik kedokteran, RUU Jabatan Notaris. 3. Yang dimuat dalam pokok-pokok pikiran lingkup atau objek yang akan diatur dalamn RUU adalah substansi atau yang sering disebut materi muatan, atau isi dalam bentuk uraian singkat berupa pokok-pokok pikiran, lingkup, dan objek yang akan diatur. 4. Yang dimaksud dengan jangkauan dan arah pengaturan adalah jangkauan dan arah pengaturan RUU tersebut untuk orang/masyarakat, yaitu apakah hanya untuk sekelompok masyarakat atau berlaku untuk umum (seluruh warga negara atau masyarakat).[11] Sedangkan tujuan penyusunan suatu UU tergantung dari peruntukan UU tersebut. Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai[12]. Sasaran tersebut dapat dituangkan kedalam RUU yang akan dibuat. Dalam pembuatan UU tersebut harus dilihat terlebih dahulu sumber dari aturan yang akan dibuat. Menurut Van Apeldoorn, terdapat empat macam sumber hukum yaitu : 1. Sumber hukum dalam arti historis, yaitu tempat kita dapat menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum dalam arti historis ini dibagi lebih lanjut menjadi dua, yaitu : a. Sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan atau dikenal hukum secara historis : dokumen-dokumen kuno, lontar dan sebagainya. b. Sumber hukum yang merupakan tempat pembentuk undang-undang mengambil bahnnya. 2. Sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis) merupakan faktor-faktor yang menentukan sisi hukum positif, seperti misalnya keadaaan agama, pandangan

agama dan sebagainya. 3. Sumber hukum dalam arti filosofis, yang dibagi lebih lanjut menjadi dua : a. sumber isi hukum; disini dinyatakan isi hukum itu asalnya dari mana. b. Sumber kekuatan mengikat dari hukum. 4. Sumber hukum dalam arti formil, yang dimaskudkan ialah sumber dilihat dari cara terjadinya hukum positif merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku yang mengikat hakin dan penduduk. Isinya timbul dari kesadaran masyarakat.[13] Dengan diketahuinya sumber hukum tersebut dapat diukur mengenai kekuatan keberlakuan suatu hukum. Kemudian untuk merumuskan apakah hukum tersebut telah dianggap mengakomodir kepentingan masyarakat adalah dengan menguji keabsahan UU tersebut dengan metoda legal validity atau keabsahan hukum. Legal validity atau keabsahan hukum merupakan dasar pemberlakuan suatu hukum. Hukum yang memadai menurut Bagir Manan mengandung tiga unsur penting yang tercakup dalam suatu UU yaitu kaidah-kaidahnya sah secara hukum (legal validity), dan berlaku secara memadai, karena dapat diterima oleh masyarakat secara wajar dan berlaku dalam jangka panjang. Unsur-unsur tersebut adalah unsur yuridis, sosiologis dan filosofis.[14] Aspek filosofis dan sosiologis merupakan aspek yang penting dalam proses perancangan peraturan perundang-undangan agar undang-undang setelah diterbitkan pemerintah dapat efektif dan diterima masyarakat. Pengabaian aspek filosofdis dan sosiologis dalam perancangan peraturan perUU akan menyebabkan penurunan kualitas dari perUU tersebut.[15] III. PEMBAHASAN A. Varietas Tanaman Sebagai Plasma Nutfah Yang Harus Dilindungi. Indonesia adalah negara beriklim tropis dengan sebagian besar wilayahnya terletak di daerah tropis yang dilintasi oleh garis Khatulistiwa. Pergeseran posisi matahari setiap tahunnya menyebabkan sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Dengan adanya musim hujan menyebabkan Indonesia memiliki iklim hujan tropis yang berpengaruh kepada persebaran flora dan fauna. Iklim tropis tersebut dapat dikenali melalui tumbuhan yang sangat besar dan selalu hijau sepanjang tahun. Hutan hujan tropis terdapat di daerah tropis dan subtropis. Hutan ini sepanjang tahun selalu mendapatkan air dan mempunyai spesies pepohonan yang beragam. Ciri-ciri tanaman daerah hujan tropis biasanya sebagai berikut: 1. Masa pertumbuhan tanaman lama, 2. Jenis tanaman banyak. 3. Memiliki ketinggian 20-40 meter. 4. Berdaun lebar. 5. Hutan basah. 6. Jenis pohon sulur sehingga kayu keras. Dengan banyaknya persebaran tanaman tersebut, di beberapa bagian di wilayah

Indonesia ada yang memiliki tanaman khas atau endemik yang tidak dimiliki oleh daerah lain, termasuk daerah yang juga memiliki hutan hujan tropis lainnya sekalipun. Adapun contoh tumbuhan yang merupakan endemik Indonesia antara lain adalah dari genus Rafflesia yaitu Rafflesia arnoldi (endemik di Sumatra Barat, Bengkulu, dan Aceh), R. Borneensis (Kalimantan), R. cilliata (Kalimantan Timur), R. horsfilldii (Jawa), R. patma (Nusa Kambangan dan Pangandaran), R. rochussenii (Jawa Barat), dan R. contleyi (Sumatera bagian timur). Dari satu genus tanaman tersebut saja, Indonesia sudah memiliki banyak spesies turunan makin menambah kekayaan hayati Indonesia. Hal tersebut dapat lebih berkembang lagi apabila terhadap tanaman tersebut diberi perlakuan khusus untuk memperoleh jenis tanaman baru yang disebut dengan proses varietas tanaman. Upaya memperbanyak varietas tanaman merupakan faktor penunjang keberhasilan pembangunan pada sektor pertanian. Kemampuan untuk menghasilkan varietas baru khususnya varietas unggul bermutu merupakan potensi bangsa yang harus dikembangkan.. Varietas merupakan faktor yang sangat menentukan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Penggunaan varietas yang mempunyai sifat-sifat unggul merupakan teknologi andalan yang digunakan oleh masyarakat, relatif murah dan memiliki kompatibilitas yang tinggi dan tidak mencemari lingkungan. Di samping itu penggunaan varietas unggul diharapkan proses produksi menjadi lebih efisien serta produktivitas dan mutu hasil menjadi lebih baik. Dalam proses penciptaannya suatu varietas baru tanaman dihasilkan melalui perakitan yang lazim disebut pemuliaan tanaman. Pemuliaan adalah suatu proses dan juga mengasilkan produk. Sebagai seorang pemulia, diperlukan penguasaan ilmu dan teknologi serta memerlukan pencurahan pikiran, tenaga, waktu dan dana yang cukup besar. Rumitnya kegiatan ini mengharuskan adanya penghargaan atas hasil invensi para pemulia melalui pemberian jaminan perlindungan hukum yang jelas dan tegas. Adanya kepastian hukum akan mendorong para pemulia lebih giat melakukan penelitian untuk menghasilkan varietas baru tanaman yang unggul. Varietas Tanaman yang selanjutnya disebut Varietas, adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan.

B. Urgensi Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman di Indonesia ditinjau dari Aspek Legal Validity Berkaitan dengan varietas baru tanaman, terdapat satu konvensi internasional yang khusus memberikan perlindungan bagi hal tersebut. Ketentuan internasional tersebut adalah International Convention for The Protection of New Varieties of Plants (UPOV Convention) yang dibentuk untuk melindungi hak pemulia (breeders rights) yang mengacu pada Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual

Property Rights (TRIPs Agreement). Urgensi mengenai lahirnya UU Varietas Tananam di Indonesia, sendiri tidak terlepas dari tuntutan dan sekaligus sebagai konsekuensi Indonesia atas keikutsertaannya sebagai negara penandatangan kesepakatan GATT/WTO 1994, yang salah satu dari rangkaian persetujuan itu memuat tentang kesepakatan TRIPs. Persetujuan itu mengisyaratkan setelah ratifikasi, Indonesia harus menyelaraskan peraturan perUU bidang HAKI-nya dengan persetujuan TRIPs, yang salah satu didalamnya termasuk perlindungan Varietas Baru Tanaman.[16] Sebenarnya perlindungan tentang varietas tanaman sudah lama diatur yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya. Kemudian disusul UU No. 2 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, kemudian disusul dengan UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan dan Tanaman. Akan tetapi UU tersebut diatas tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak yang dimiliki oleh pemulia tanaman hanya memberikan penghargaan (reward), seperti halnya keuntungan/manfaat apa yang akan diperoleh oleh pemulia tanaman apabila varietas tanaman barunya diperbanyak atau dijual.[17] Perlindungan HAKI yang berkaitan dengan varietas tanaman baru dimulai dari UU Paten 1989, yang tidak mengizinkan perlindungan paten bagi makanan, minuman dan varietas tanaman. Hal tersebut dengan alasan bagi negara Indonesia, masalah benih (varietas tanaman) sebagai awal dalam mendapatkan produksi pangan merupakan masalah yang sangat pokok sifatnya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Juga dirasakan sebagian besar petani dan peternak di Indonesia masih dapat digolongkan sebagai ekonomi lemah yang akan sangat berat sekali bila harus menanggung biaya atas benih (varietas tanaman) yang dilindungi paten.[18] Pada tahun 1997 UU tersebut diamandemen dan mencabut pasal yang menagtur pelaranagan perlindungan varietas tanaman.. Artinya varietas tanaman baru dilindungi. Namun UU Paten yang baru UU no 14 Tahun 2001 telah mengubah kembali hal yang berkaitan dengan perlindungan tanaman yang menyatakan bahwa Paten tidak diberikan untuk semua makluk hidup kecuali jasad renik dan juga tidak diberikan kepada proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non biologis atau proses mikrobiologis. Hingga akhirnya pada tahun 2000 melalui UU No. 29 Tahun 2000 dikeluarkan aturan mengenai Perlindungan Varietas Tanaman yang lebih pasti dan terinci. Dari dinamika perkembangan perlindungan varietas tanaman tersebut diatas dapat dicermati permasalahan mengenai urgensi dari dikeluarkannya UU Perlindungan Varietas Tanaman sejak dari diratifikasinya kesepakatan TRIPs hingga dikeluarkannya UU Perlindungan Varietas Tanaman No. 29 Tahun 2000 disyahkan pada tanggal 20 Desember 2000 dan khusus mengatur perlindungan varietas tanaman secara tersendiri serta mengakui bahwa perlindungan Varietas Tanaman merupakan hak kekayaan intelektual di bidang industri dan pengelolaannya berada di bawah koordinasi Departemen Pertanian. Undang-undang RI No. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. UU tersebut kemudian disempurnakan dengan mengeluarkan beberapa peraturan pelaksanaan di bidang perlindungan varietas tanaman yaitu sebagai berikut:

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 13 Tahun 2004 tentang Penamaan, pendaftaran dan Penggunaan Varietas Turunan Esensial; 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 14 Tahun 2004 tentang Syarat dan Tata Cara Pengalihan Perlindungan Varietas Tanaman dan Penggunaan Varietas yang Dilindungi oleh Pemerintah; 3. Keputusan Menteri Pertanian No. 442/Kpts/HK.310/7/2004 tentang Syarat dan Tata Cara Permohonan dan Pemberian Hak Perlindungan Varietas Tanaman; 4. Keputusan Menteri Pertanian No. 443/Kpts/KU.330/7/2004 tentang Biaya Pengelolaan Hak Perlindungan Varietas Tanaman; 5. Keputusan Menteri Pertanian No. 444/Kpts/OT.160/7/2004 tentang Pembentukan Komisi Perlindungan Varietas Tanaman; 6. Keputusan Menteri Pertanian No. 445/Kpts/OT.140/7/2004 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Banding Perlindungan Varietas Tanaman; 7. Keputusan Menteri Pertanian No. 446/Kpts/HK.310/7/2004 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Konsultan Perlindungan Varietas Tanaman. Dari peraturan-peraturan diatas baik peraturan induk maupun peraturan pendukung jelas berujung kepada penciptaan payung hukum terbaik yang disesuaikan dengan hakekat pembentukan UU itu sendiri yang tujuan utamanya adalah menjamin rasa keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dengan vrietas tanaman. Namun apakah Aturan-aturan dalam UU Perlindungan Varietas Tanaman itu sendiri telah dirasakan memberikan manfaat dan memenuhi tujuan dibentuknya UU tersebut mengingat UU Perlindungan Varietas Tanaman sendiri lahir dari adanya urgensi akibat diratifikasinya TRIPs Agreement perlu ditinjau dari aspek legal validity hukum itu sendiri. Idealnya dalam suatu pembentukan suatu peraturan perUndang-undangan ada beberapa faktor pemikiran yang melandasi pembentukan UU tersebut. Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai[19]. Demikian juga dengan hukum yang mengatur bidang varietas tanaman. Terdapat dasar hukum legal validity yang menyebabkan mengapa dikeluarkannya UU Perlindungan Varietas Tanaman. Dari penentuan sistem hukum diatas dapat dilihat bahwa kekuatan hukum UU Perlindungan Varietas Tanaman merupakan aturan hukum yang muncul dari perintah penguasa yang merupakan dasar keberlakukan hukum. Undang-undang dalam fungsinya sebagai sumber hukum dalam pengertiannya sebagai asal hukum positif berwujud sebagai keputusan penguasa yang berwenang. Dalam hal ini badan pembentuk UU.[20] Bila ditinjau dari unsur-unsur yang menjadi landasan legal validity suatu peraturan hukum, maka unsur-unsur yang harus dikandung oleh UU Perlindungan Varietas Tanaman sehingga berlaku memadai dan dapat diterima oleh masyarakat dalam jangka waktu panjang harus mememnuhi unsur yuridis, sosiologis dan filosofis.[21] Dari ketiga aspek tersebut bila dihubungkan dengan UU Perlindungan Varietas Tanaman dapat diklasifikasikan aspek legal validitynya adalah sebagai berikut : 1. Aspek Filosofis Dasar filosofis yang harus tertuang dalam UU Perlindungan Varietas Tanaman yaitu dasar cita yang diharapkan atau dicita-citkan oleh masyarakat atau inventor. Dasar

filosofis rechtside bangsa Indonesia adalah Pancasila. Nilai-nilai Pancasila tersebut harus terakomodir dalam UU Perlindungan Varietas Tanaman dalam bentuk karakter demokrasi dan berkeadilan. Sebagai dasar filosofis yang perlu diakomodir dalam perundang-undangan tersebut yaitu dasar cita yang diharapkan atau dicitacitakan oleh masyarakat Indonesia (rechtside), yang dibiarkan tumbuh dalam kehidupan bangsa Indonesia yaitu nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila berupa nilai kesinambungan, berkarakter demokratis, berkeadilan sehingga dapat mnewujudkan ketertiban.[22] Sebagai implementasi nilai-nilai filosofi Pancasila tersebut, UU Perlindungan Varietas Tanaman telah membatasi monopoli dengan fungsi sosial. Hak ekslusif dalam perlindungan varietas tanaman tidak bersifat mutlak namun mengatur keseimbangan antara individu/pemulia dan kepentingan masyarakat. Selain itu dasar filosofis juga tertuang dalam perlindungan hukum bagi pengetahuan tradisional akan mengurangi atau menghapus rasa ketidakadilan bagi masyarakat tradisional. Hal ini terjadi karena petani tradisional yang telah berkontribusi secara turun temurun untuk pengetahuan tradisional akan mendapat kompensasi. Mencegah penggunaan pengetahuan dengan cara yang merugkan pemiliknya merupakan pengakuan luar biasa terhadap nilai pengetahuan tradisional, adalah menghormati siapapun yang telah memeliharanya.[23] Hal tersebut akan mengantarkan kesejahteraan bagi negara Indonesia sebagai negara berkembang, perlindungan akan menjaga sumberdaya secara optimal untuk memunculkan standar kehidupan perekonomian yang lebih baik selain memelihara lingkungan. 2. Aspek Yuridis Unsur yuridis berupa ketentuan dan peraturan yang bersifat mengikat. Dikaitkan dengan varietas tanaman, prinsip tersebut diwujudkan dalam bentuk peraturan yang berifat mengikat berupa hak ekslusif yang tepat serta perlu memperhatikan unsur sosiologis, berupa nilai-nilai yang ada dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang bercirikan gotong royong. Oleh karena itu perlu mempertimbangkan masyarakat petani kecil yang merupakan sebagian besar dari masyarakat Indonesia saerta turut memberikan kontribusi besar dalam mewujudkan pembangunan pertanian sebagai salah satu sektor pembangunan ekonomi. Hal tersebut harus diakomodir secara komprehensif dalam bentuk sitem perlindungan hukum yang tepat. Sejalan dengan teori pembangunan hukum bahwa hukum yang ditentukan tersebut harus sesuai dengan keberadaan masyarakat yang akan memanfaatkannya. Sebagai lembaga yang dapat mewujudkan hal tersebut adalah pemerintah, aparat penegak hukum, maupun institusi lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan agribisnis terkait dengan varietas tanaman antara lain industri perbenihan dan lembaga penelitian yang merangkum seluruh bagian secara utuh sehingga dapat mendukung pengembangan agribisnis berdaya saing tinggi. Selanjutnya UU Perlindungan Varietas Tanaman sebagai salah satu bentuk rejim hukum HMI bersifat mengikat merupakan dasar bagi pemerintah sebagai upaya mewujudkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) dalam melakukan inisiatif

untuk melakukan pembuatan UU atau pembenahaan terhadap UU yang telah ada sehingga UU tersebut dapat dipatuhi karena dapat memebrikan perlindungan sesuai dengan harapan semua pihak terkait. 3. Aspek Sosiologis Bentuk pemikiran dalam aspek sosisologis UU Perlindungan Varietas Tanaman adalah perlindungan varietas tanaman mencoba mengakomodir kenyataan yang ada yaitu terdapatnya nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat terutama nilai yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia yaitu petani kecil. Penghargaan berupa hak eksklusif bagi para pemula berisfat monopilistis, tidak bersifat mutlak, tidak boleh melupakan kepentingan masyarakat petani kecil dan petani tradisional yang dengan pengetahuan dan pengalamannya juga menemukan dan mengembangkan varietas tanaman sehingga petani kecil dapat ikut berperan dalam pembangunan ekonomi, mengingat petani kecil di Indonesia menempati angka terbesar sehingga memiliki peran strategis dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi apalagi dikaitkan dengan konteks persaingan dalam menghadapi era perdagangan bebas. Hal tersebut mulai tercermin dari UU Paten Tahun 1989 hingga UU Perlindungan Varietas Tanaman Tahun 2000. IV. Kesimpulan Urgensi mengenai lahirnya UU Varietas Tananam di Indonesia tidak terlepas dari tuntutan dan sekaligus sebagai konsekuensi Indonesia atas keikutsertaannya sebagai negara penandatangan kesepakatan GATT/WTO 1994, yang salah satu dari rangkaian persetujuan itu memuat tentang kesepakatan TRIPs. Persetujuan itu mengisyaratkan setelah ratifikasi, Indonesia harus menyelaraskan peraturan perUU bidang HAKI-nya dengan persetujuan TRIPs, yang salah satu didalamnya termasuk perlindungan Varietas Baru Tanaman. Sedangkan aspek-aspek yang dikandung oleh UU Perlindungan Varietas Tanaman memuat tiga aspek yaitu aspek filososfis, yuridis dan sosiologis. Sebagai implementasi nilai-nilai filosofis, UU Perlindungan Varietas Tanaman telah membatasi monopoli dengan fungsi sosial. Hak ekslusif dalam perlindungan varietas tanaman tidak bersifat mutlak namun mengatur keseimbangan anatara individu/pemulia dan kepentingan masyarakat. Aspek yuridis diwujudkan dalam bentuk peraturan yang berifat mengikat berupa hak ekslusif yang tepat serta perlu memperhatikan unsur sosiologis, berupa nilai-nilai yang ada dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang bercirikan gotong royong. Oleh karena itu perlu mempertimbangkan masyarakat petani kecil yang merupakan sebagian besar dari masyarakat Indonesia saerta turut memberikan kontribusi besar dalam mewujudkan pembangunan pertanian sebagai salah satu sektor pembangunan ekonomi. Dan untuk aspek sosiologis UU Perlindungan Varietas Tanaman mencoba mengakomodir kenyataan yang ada yaitu terdapatnya nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat terutama nilai yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia yaitu petani kecil. Penghargaan berupa hak eksklusif bagi para pemula berisfat monopilistis, tidak bersifat mutlak, tidak boleh melupakan

kepentingan masyarakat petani kecil dan petani tradisional yang dengan pengetahuan dan pengalamannya juga menemukan dan mengembangkan varietas tanaman sehingga petani kecil dapat ikut berperan dalam pembangunan ekonomi.
Menilik dari historical background (latar belakang historis) dari UU Paten di Indonesia sendiri, merujuk pada Pasal 7 UU Paten terdahulu (Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten), pembatasan dikaitkan dengan produk inovasi yang ditujukan untuk dikonsumsi manusia dan atau hewan (vide huruf b). Jadi, seandainya ada temuan berupa hewan transgenik, seperti sapi yang melalui rekayasa genetika mampu menghasilkan susu lebih banyak atau daging yang lebih halus seratnya, temuan ini termasuk dalam pengecualian pemberian hak Paten, karena untuk konsumsi manusia. Sementara, apabila ada temuan berupa kuda pacuan yang lebih kuat dan mampu berlari lebih kencang, rekayasa genetika ini termasuk dalam temuan di bidang teknologi yang dapat memperoleh perlindungan Paten. Sementara, dalam ketentuan ataupun penjelasan Pasal UU Paten yang sekarang berlaku, ihwal pembatasan serupa ini tidak ditemukan. Dengan demikian, proses untuk memproduksi tanaman dan hewan melalui bioteknologi modern dan mikrobiologi, seperti rekayasa genetika dan teknik-teknik transgenik dapat memperoleh perlindungan Patennya di Indonesia, sepanjang tidak bertentangan dengan moralitas, agama dan ketertiban umum. Namun, tidak ada penjelasan per se mengenai perlindungan metode persilangan hewan yang memiliki nilai kebaruan, seperti halnya pada tanaman dalam UUPVT.

Demikian jawaban saya, semoga dapat memberikan sekilas gambaran mengenai perlindungan hukum terhadap bioteknologi, khususnya hewan di Indonesia.

You might also like