You are on page 1of 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Herpes Zoster Herpes zoster atau disebut juga dengan shingles atau cacar ular memiliki

insiden tertinggi dari semua penyakit neurologi, dengan sekitar 500.000 kasus baru setiap tahun di United States. Herpes zoster merupakan penyakit yang jarang terjadi, diperkirakan 10-12 % populasi akan mengalami serangan Herpes zoster selama hidupnya. Di Indonesia menurut Lumintang, prevalensi Herpes zoster kurang dari 1%. 1,4,13

2.1.1 Defenisi Herpes zoster merupakan manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster laten dari syaraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes zoster (cacar ular). Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang berkontak dengan virus varicella zoster. Pada 3-5 dari 1000 individu, virus Varisela-zoster mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles. 1,4 Herpes zoster adalah infeksi virus akut yang memiliki karakteristik unilateral, sebelum timbul manifestasi klinis pada kulit wajah dan mukosa mulut biasanya akan didahului oleh gejala odontalgia. Timbulnya gejala odontalgia pada Herpes zoster belum sepenuhnya diketahui. 1,12 5
Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Etiologi Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa melalui sternus sensory ke tepi ganglia spinal atau ganglia trigeminal kemudian menjadi laten. Varicella zoster, yaitu suatu virus rantai ganda DNA anggota famili virus herpes yang tergolong virus neuropatik atau neuroder-matotropik. Reaktivasi virus varicella zoster dipicu oleh berbagai macam rangsangan seperti pembedahan, penyinaran, penderita lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seorang yang sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik. Apabila terdapat rangsangan tersebut, virus varicella zoster aktif kembali dan terjadi ganglionitis. Virus tersebut bergerak melewati saraf sensorik menuju ujung-ujung saraf pada kulit atau mukosa mulut dan mengadakan replikasi setempat dengan membentuk sekumpulan vesikel.2,3,4

2.1.3 Gambaran Klinis Lesi Herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran mukosa. Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2-4 hari, yaitu rasa gatal, sakit yang menusuk, parastesi dan gejala-gejala terbakar serta sensitivitas muncul di sepanjang lintasan syaraf yang terkena. 4,12,15,17

2.1.3.1 Kulit Herpes zoster dikarakteristik oleh sakit dan sensasi lokal kulit lain (seperti terbakar, geli, dan gatal), sakit kepala, tidak enak badan dan (paling sering) demam,

Universitas Sumatera Utara

biasanya muncul ruam zoster (23 hari). Ruam menyebar ke seluruh kulit yang terkena, berkembang menjadi papula, vesikel (3-5 hari) dan tahap krusta (7-10 hari), memerlukan 2-4 minggu untuk sembuh. Lesi baru berlanjut muncul untuk beberapa hari. Kelainan kulit hanya setempat dan hanya mengenai sebelah bagian tubuh saja, yaitu terbatas hanya pada daerah kulit yang dipersyarafi oleh satu syaraf sensorik. Syaraf yang paling sering terkena adalah C3, T5, L1, dan L2, dan syaraf trigeminal.1,4,12,17

Gambar 1. Vesikel pada kulit yang disebabkan oleh infeksi herpes zoster. (Jhonson RW, Dworkin RH. Treatment of herpes zoster and postherpetic neuralgia. BMJ 2003; 326: 748-50)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Herpes Zoster pada kulit perut kanan. Beberapa lesi telah mengering. Lesi tersebut tidak melewati mid line. (McCary J. The Health Care of Homeless Persons)

2.1.3.2 Rongga Mulut Sebelum lesi di rongga mulut muncul, pasien akan mengeluhkan rasa nyeri yang hebat, kadang-kadang rasa sakitnya seperti rasa sakit pulpitis sehingga sering salah diagnosa. Lesi diawali oleh vesikel unilateral yang kemudian dengan cepat pecah membentuk erosi atau ulserasi dengan bentuk yang tidak teratur.4 Pada mukosa rongga mulut, vesikel hanya terdapat pada satu dari divisi nervus trigeminus. Vesikel unilateral tersebut dikelompokkan dengan area sekitar eritema, akhiran yang kasar pada midline (Gambar 2). Vesikel bernanah dan bentuk pustula selama 3 sampai 4 hari. 15,17 Apabila cabang kedua dan ketiga nervus trigeminal terlibat, maka akan muncul lesi-lesi di rongga mulut secara unilateral. Jika cabang kedua (nervus maksilaris) terlibat maka lokasi yang dikenai adalah palatum, bibir dan mukosa bibir atas. Jika cabang ketiga (nervus mandibula) terlibat, lokasi yang dikenai adalah lidah (Gambar 4), mukosa pipi, bibir dan mukosa bibir bawah.4

Universitas Sumatera Utara

Lesi-lesi intraoral adalah vesikuler dan ulseratif dengan tepi meradang dan merah sekali. Perdarahan adalah biasa. Bibir, lidah, dan mukosa pipi dapat terkena lesi ulseratif unilateral jika mengenai cabang mandibuler dari saraf trigeminus. Keterlibatan divisi kedua dari saraf trigeminus secara khas akan mengakibatkan ulserasi palatum unilateral yang meluas ke atas, tetapi tidak keluar dari raphe palatum.1,4,8

Gambar 3. Efek dari Herpes Zoster dapat mengenai 3 divisi dari nervus trigeminus (Scully C. Oral and Maxillofacial Medicine. 2004 ; 329)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4: Herpes Zoster, menunjukkan multipel ulser (Langlais RP, Miller CS. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. 2000 : 87)

Gambar 5. Infeksi herpes zoster pada lidah. (Oral Photograph)

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Diagnosis Diagnosa Herpes zoster biasanya ditegakkan berdasarkan riwayat kasus dan gambaran klinisnya yang khas, sehingga tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium. Meskipun begitu, pemeriksaan laboratorium direkomendasikan jika gambaran klinis tidak khas atau untuk menentukan status imun terhadap virus Varisela-zoster pada orang yang beresiko tinggi. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan meliputi hapusan Tzank, deteksi antigen virus dan tes antibodi virus. 4, 15, 17,18

2.1.5 Perawatan Perawatan dan penatalaksanaan herpes zoster dapat dilakukan dengan farmakologi atau non-farmakologi.

2.1.5.1 Farmakologi Perawatan terpenting untuk zoster akut adalah medikasi antivirus sesegera mungkin. Medikasi antivirus secara oral sebenarnya tidak memiliki efek samping. Perawatan farmakologi dapat dibagi atas topikal dan sistemik. A. Topikal 1. Analgetik Topikal a. Kompres Kompres terbuka dengan solusio Burowi dan losio Calamin (Caladryl) dapat digunakan pada lesi akut untuk mengurangi nyeri dan pruritus.2,7 Kompres dengan solusio Burowi (aluminium asetat 5%) dilakukan 4-6

Universitas Sumatera Utara

kali/hari selama 30-60 menit. Kompres dingin atau cold pack juga sering digunakan.2 b. Antiinflamasi nonsteroid (AINS) Berbagai AINS topical seperti bubuk aspirin dalam kloroform atau etil eter, krim indometasin dan diklofenak banyak dipakai.2 2. Anestesi Lokal Pemberian anestetik lokal pada berbagai lokasi sepanjang jaras saraf yang terlibat dalam HZ telah banyak dilakukan untuk memperbaiki nyeri, misalnya infiltrasi lokal subkutan, blok saraf perifer, ruang paravertebral atau epidural, dan blok simpatis. Infiltrasi lokal subkutan umumnya menggunakan bupivakain 0,125-0,25% dan triamsinolon 0,2 % dengan volume yang digunakan dapat mencapai hingga 50 ml. Infiltrasi dilakukan didaerah yang paling nyeri, dan dapat diulang tiap 2-3 hari hingga nyeri hilang.2,7,14,16

B. Sistemik 1. Agen antivirus Agen antivirus terbukti menurunkan durasi lesi herpes zoster (HZ) dan keparahan nyeri herpes akut , terlebih bila diberikan sebelum 72 jam awitan lesi. Dari 3 antiviral oral yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi HZ, famsiklovir dan valasiklovir hidroklorida lebih efektif daripada asiklovir. Antivirus famsiklovir 3 x 500 mg atau valasiklovir 3 x 1000 mg atau asiklovir 5 x 800 mg diberikan sebelum 72 jam awitan lesi selama 7 hari.2-

Universitas Sumatera Utara

7,9,12-14,16,21-24

Antivirus lain, sorivudin, secara in vitro memperlihatkan

aktivitas 1000 kali lipat dibandingkan asiklovir. Diberikan dengan dosis 40 mg/hari selama 7-10 hari. Sorivudin lebih efektif dibandingkan asiklovir dalam menghambat timbulnya lesi baru, tetapi tidak lebih efektif dalam memperbaiki nyeri herpes akut. 2. Analgetik Pasien dengan nyeri herpes akut ringan menunjukkan respons yang baik dengan AINS (asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak) atau analgetik non opioid (asetaminofen, tramadol, asam mefenamik). 2,22,24

2.1.5.2 Non-Farmakologi Perawatan non farmakologi juga sangat penting. Pendidikan pasien dan dukungan penting dalam penatalaksanaan Herpes zoster. Hal tersebut meliputi penjelasan atas jalannya penyakit, rencana pengobatan, dan perlu memperhatikan aturan dosis antivirus. Tidak adanya pengetahuan pasien dan ketakutan pasien tentang Herpes zoster harus diperhatikan dan pasien harus diberitahu tentang resiko menular terhadap orang yang belum pernah cacar air. Instruksikan pasien agar tetap menjaga ruam dalam keadaan bersih dan kering untuk meminimalkan resiko infeksi bakteri, melaporkan setiap perubahan suhu badan, dan menggunakan pembalut steril basah untuk mengurangi ketidaknyamanan. Topikal antibiotik dan pembalut adesif dapat menunda penyembuhan ruam dan harus dihindari.19

Universitas Sumatera Utara

2.1.6 Komplikasi Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi Herpes zoster yang paling sering terjadi. Herpes zoster optalmikus merupakan komplikasi umum yang lain. Postherpetic neuralgia terjadi sekitar 10-15 % pasien herpes zoster dan merusak syaraf trigeminal. Resiko komplikasi meningkat sejalan dengan usia. Postherpetic neuralgia didefenisikan sebagai symtom sensoris (biasanya sakit dan mati rasa). Postherpetic neuralgia atau rasa nyeri akan menetap setelah penyakit tersebut sembuh dan dapat terjadi sebagai akibat penyembuhan yang tidak baik pada penderita usia lanjut.1,3,17,18

2.2. Postherpetic Neuralgia Postherpetic neuralgia (PHN) merupakan komplikasi dari Herpes zoster. Nyeri ini merupakan nyeri neuropatik yang dapat berlangsung lama bahkan menetap setelah erupsi akut herpes zoster menghilang.

2.2.1 Defenisi Postherpetic neuralgia merupakan suatu bentuk nyeri neuropatik yang muncul oleh karena penyakit atau luka pada sistem syaraf pusat atau tepi, nyeri menetap dialami lebih dari 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster. Penyebab paling umum timbulnya peningkatan virus ialah penurunan sel imunitas yang terkait dengan pertambahan umur. Berkurangnya imunitas di kaitkan dengan beberapa penyakit berbahaya seperti lymphoma, perawatan penyakit berbahaya (kemoterapi atau radioterapi), infeksi HIV, dan penggunaan obat penghambat kekebalan (immune

Universitas Sumatera Utara

suppressan) setelah operasi transplantasi organ atau untuk manajemen penyakit (seperti steroid) juga faktor penyebab resiko. 19,20 Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan antara acute herpetic neuralgia (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), subacute herpetic neuralgia (30-120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit) dan Postherpetic neuralgia (di defenisikan sebagai rasa sakit yang terjadi setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).16,20

2.2.2 Etiopatogenesis Nyeri neuropatik adalah suatu bentuk nyeri kronis yang pada dasarnya melibatkan kerusakan jaringan saraf sebagai penyebab disfungsi normal.2 Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh mekanik, kimia, dan thermal, infeksi dan tumor bisa bersifat sebagai stimulus.2,23 Reaksi terhadap stimulus akan menyebabkan bebasnya beberapa zat, hormon dan neurotransmitter seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostaglandin, dan juga beberapa jenis ion seperti kalium, natrium, magnesium.2 Stimulasi dari zat-zat yang bebas tadi melalui jaringan saraf yang tidak bermielin akan menuju ke sumsum tulang belakang. Afferen nyeri yang berasal dari perifer kulit, persendian, perios, pembuluh darah dan lainnya. Melalui ramus komunikans albus menuju kornu dorsalis sumsum tulang belakang. Dari sini traktus spinothalamikus lateralis akan disampaikan ke bagian posteromedial dan

posterolateral talamus menuju bagian sentral korteks yang akan memberi persepsi nyeri.2,23 Blokade jalur ini dengan pemberian neurotransmitter atau jenis-jenis kimia lainnya merupakan tindakan pengobatan rasa nyeri. Terdapat beberapa mekanisme

Universitas Sumatera Utara

yang berperan dalam timbulnya sensasi nyeri pada Postherpetic neuralgia. Menurut teori Gate control, pada erupsi akut herpes zoster terjadi replikasi virus varisela zoster di serabut saraf, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan saraf pelbagai ukuran, serabut saraf berdiameter besar berfungsi sebagai inhibitor hilang atau rusak, dan mengalami kerusakan terparah. Akibatnya terjadi dominasi serabut saraf kecil bermielin dan tidak bermielin, sehingga transmisi impuls nyeri ke medulla spinalis meningkat.2 Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes zoster akut. Patogenesis postherpetic akut belum sepenuhnya dimengerti, tetapi nyeri tersebut dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster disebabkan oleh replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam ganglia yang ditemukan selama masa laten. Oleh karena itu, mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut syaraf sensoris yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut syaraf atau impuls abnormal, serabut saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang atau rusak dan mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang hebat. Faktor resiko yang paling umum untuk Postherpetic neuralgia adalah usia lanjut, rasa sakit yang lebih berat ketika terjadinya zoster, ruam yang lebih parah, dan (prodrome) tanda-tanda awal yang tidak spesifik dari penyakit kulit sebelum timbulnya ruam pada kulit. 2,19,21

Universitas Sumatera Utara

Gambar 6. (a) Situasi normal (b) AB fiber menyebar ke lamina superfisial dari sum-sum tulang belakang dan merusak C fiber (diangkat dari Woolf,dkk)

2.2.3 Gejala Klinis Pasien dengan postherpetic neuralgia mengalami nyeri yang hebat menetap seperti terbakar, nyeri tajam atau menusuk hilang timbul. Hiperalgesia, parastesi, hiperastesi, dan nyeri karena rangsangan yang biasanya tidak menimbulkan nyeri (alodinia) misalnya tersentuh pakaian. Nyeri dirasakan selama berbulan hingga bertahun setelah lesi zoster sembuh. Hampir seluruh penderita mengalami gangguan untuk mengenali sensasi para perabaan halus dan suhu pada daerah persarafan yang terkena. Pasien dewasa tua yang menderita postherpetic neuralgia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas hidup. Nyeri sering dihubungkan dengan

Universitas Sumatera Utara

penurunan sensoris, dan terdapat hubungan antara derajat penurunan sensoris dan keparahan nyeri.2,6,20

2.2.4 Diagnosis Diagnosis dapat dilakukan dengan cara mengetahui distribusi nyeri yaitu disepanjang saraf trigeminus, malakukan anamnesis diantaranya dengan menanyakan riwayat penyakit, apakah pasien demam, sudah pernah terkena cacar air, adakah timbul lesi seperti balon air, daerah yang terkena dimana saja, rasa sakitnya seperti apa, dan apakah sebelumnya anggota keluarga yang lain ada yang terkena penyakit yang sama. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan pula dengan langsung melihat lesi dan gambaran klinisnya. Pemeriksaan laboratorium dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang.

2.2.5 Perawatan Perawatan terhadap post herpetic neuralgia adalah dilakukan dengan obatobatan serta terapi selain dengan obat-obatan. I. Farmakologi A. Topikal Terapi topikal berguna untuk pasien usia lanjut yang tidak dapat mentoleransi pengobatan sistemik karena penyakit lain yang dideritanya. Sampai saat ini, terdapat 3 kategori pengobatan topikal yaitu :

Universitas Sumatera Utara

1. Anestetik topikal Formulasi topikal lidokain, lidokain dengan prilokain, eter dalam kombinasi dengan antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin dan indometasin dilaporkan juga bermanfaat dalam beberapa studi tanpa kontrol.2,5,6 Lidoderm (lidokain 5% skin patch), tersusun dari bahan perekat yang mengandung lidokain 5%, lidoderm menimbulkan analgesia dan memperbaiki alodinia dengan cara difusi lidokain ke lapisan-lapisan epidermis-dermis dan terikat pada kanal sodium saraf perifer.2,10,16,21 Untuk tiap aplikasi, efeknya berlangsung selama 4 hingga 12 jam.2,7 Karena keamanannya, kini disarankan untuk digunakan sebagai terapi awal post herpetic neuralgia dengan gejala alodinia atau nyeri yang intermiten. Penggunaan lidoderm telah disetujui oleh FDA.2

2. Anestetik lokal Hilangnya 50-90% nyeri dapat dicapai oleh anestesi infiltrasi subkutan, yang efeknya berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa minggu. Lidokain, prokain, dan mepivakain sering diberikan secara infiltrasi atau intravena.1,2 3. Kapsaisin Kapsaisin (dolorax, capsin, zoztrix), trans-8-metil-N-vanilil-6-nonenamida, ekstrak dari Capsicum frustecans, telah banyak digunakan untuk terapi topikal pada keadaan yang melibatkan nyeri, pruritus dan inflamasi. Kapsaisin berperan dalam meningkatkan pelepasan lalu deplesi substansi P, yang dianggap merupakan neurotransmiter peptida endogen utama rangsangan nyeri serabut C dari perifer ke susunan saraf pusat. Sehingga pada awalnya kapsaisin menyebabkan rasa terbakar

Universitas Sumatera Utara

dan hiperalgesia terhadap panas atau tekanan. Setelah beberapa hari hingga seminggu, efek ini digantikan oleh hipoalgesia. Analgesia baru timbul saat terjadi deplesi substansi P.2,5-7,21

B. Sistemik 1. Analgesik a. Antiinflamasi nonsteroid (AINS) Asetaminofen (tylenol), aspirin dan antiinflamasi nonsteroid lain umum digunakan untuk postherpetic neuralgia. AINS berguna untuk potensiasi efek analgetik opioid pada nyeri parah.2 b. Opioid Opioid memperbaiki nyeri melalui aktivasi reseptor spesifik di system saraf pusat dan perifer. Karena efek adiksinya, opioid hanya diindikasikan untuk penggunaan jangka pendek.2,3

2. Agen neuroaktif a. Psikotropik Antidepresan trisiklik (AT) merupakan terapi yang penting pada Postherpetic Neuralgia. Mekanisme kerja AT dalam menghilangkan nyeri adalah dengan memblokade reuptake neurotransmitter norepinefrin dan serotonin, serta

meningkatkan inhibisi neuron spinalis yang terlibat dalam persepsi nyeri seperti terbakar dan nyeri tajam atau menusuk.2,5 AT yang banyak digunakan pada

Universitas Sumatera Utara

Postherpetic Neuralgia adalah amitriptilin (elavil), nortriptilin (pamelor), imipramin (tofranil), desipramin (norpramin), dan maprotilin.2,6,7,9,10,21

b.

Antikonvulsan Antikonvulsan dapat mengurangi nyeri tajam atau menusuk pada Postherpetic

Neuralgia. Pada studi buta ganda dengan kontrol, karbamazepin mengurangi nyeri tajam atau menusuk namun tidak efektik untuk nyeri yang terus-menerus.2,5 Mekanisme kerja antikonvulsan dalam menghilangkan nyeri adalah dengan

memblokade kanal natrium dan berperan sebagai membran stabilizing agent sehingga mencegah impuls ektopik yang dapat mencetuskan nyeri. Antikonvulsan yang sering yang digunakan adalah karbamazepin (tegretol), fenitoin (dilantin), asam valproat (depakene), dan gabapentin (neurontin).2,7 Dosis yang dibutuhkan untuk analgesia lebih rendah dari dosis untuk epilepsi. Pemberian gabapentin untuk terapi post

herpetic neuralgia dimulai dengan dosis rendah, lalu dinaikkan bertahap hingga efek yang diinginkan tercapai atau timbul efek samping yang serius.2 c. Neuroleptik Golongan fenotiazin seperti flupenazin (prolixin), perpenazin (trilafon), dan tioridazin, telah lama digunakan untuk terapi postherpetic neuralgia dalam kombinasi dengan AT.2

d.

Metikobal Metikobal adalah derivate vitamin B12 yang bersifat koenzim, menjadi aktif di

tubuh, mempunyai afinitas yang besar terhadap jaringan saraf, dan dilaporkan efektif

Universitas Sumatera Utara

untuk neuralgia dan neuritis perifer. Selain itu metikobal dianggap mempunyai efek bila disuntikkan pada area saraf setempat, tetapi tidak efektif bila digunakan secara sistemik. Bersama dengan vitamin B1 dan B6 sering dipakai untuk membantu regenerasi saraf.2,5

II. Nonfarmakologi A. Pendekatan neuroaugmentif Beberapa pendekatan neuroaugmentif yang banyak digunakan antara lain counterirritation, transcutaneous, electrical nerve stimulation (TENS), akupuntur dan stimulasi deep brain.2,7,9,12,14 Penggunaan tehnik lain, seperti aplikasi ultrasound pada dermatom yang terkena dan stimuli korda dorsalis dikatakan tidak bermanfaat.2 1. Counterirritation Counterirritation (menggosok area yang terkena) dilaporkan dapat

memperbaiki post herpetic neuralgia dengan meningkatkan inhibisi normal serabut saraf kecil di medulla spinalis.2 2. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) TENS dapat memberikan perbaikan nyeri sebagian hingga sempurna pada beberapa pasien post herpetic neuralgia.2,7,9,12,14 3. Stimulasi deep brain Stimulasi di nucleus ventrobasal thalamus pada pasien Postherpetic Neuralgia memberikan perbaikan nyeri yang bermakna dan berlangsung selama 7 hingga 17 bulan.2

Universitas Sumatera Utara

4. Akupuntur Akupuntur tidak efektif untuk postherpetic neuralgia.2 5. Low Intensity Laser Therapy (LILT) Beberapa bukti menunjukkan LILT mempunyai efek terhadap sintesis, pelepasan, metabolisme, berbagai bahan neurokimia antara lain serotonin dan asetilkolin. LILT yang umum digunakan ialah laser HeNe.2

B. Prosedur neurosurgikal Prosedur neurosurgikal merupakan pilihan terakhir untuk postherpetic neuralgia yang refrakter.2,5 Neuroktomi, rizotomi, avulasi saraf, simpatektomi, trakotomi trigeminal pernah disarankan pada beberapa tahun yang lalu, namun tidak satupun yang menguntungkan untuk pengobatan postherpetic neuralgia.2 C. Terapi Psikososial Manajemen stress dan berbagai tehnik kognitif-perilaku, termasuk latihan relaksasi, biofeedback dan hypnosis dapat bermanfaat sebagai terapi penunjang. Pasien perlu diberi penjelasan mengenai perjalanan penyakitnya, dibuat strategi untuk mengikatkan kepatuhan pasien dan mempercepat kembali ke aktivitas sebelum sakit.2,7 D. Terapi Penunjang Alodinia taktil dapat diatasi dengan penggunaan artificial skin seperti kolodion spray atau penggunaan pakaian dengan bahan serat natural. Aplikasi cold packs juga bermanfaat sebagai terapi penunjang.2

Universitas Sumatera Utara

You might also like