Professional Documents
Culture Documents
Oleh : M.Habibi Adi Cipto ( Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas )
.Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,. Maka telah gamblang dijelaskan dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 bahwa mencerdaskan kehidupan Bangsa merupakan kewajiban konstituonal yang harus dijalankan oleh Negara. Hal ini merupakan perwujudan cita-cita Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Mengingat pada zaman penjajahan, Bangsa Indonesia berada dalam posisi tidak terdidik dan pendidikan hanya diperoleh bagi kaum tertentu. Bahwa pendidikan kemudian juga menjadi hak bagi setiap warga Negara yang telah ditegaskan dalam batang tubuh UUD 1945 pada pasal 31 ayat (1). Dalam norma hukum Internasional, hak warga Negara memperoleh pendidikan juga termaktub dalam Universal Declaration of Human Rights pasal 26 bahwa pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan kemanusiaan, wajib diterapkan untuk dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun untuk mewujudkan kehidupan Bangsa yang cerdas, berbagai prahara terus menerpa Indonesia. Salah satu akar permasalahannya adalah ketika Indonesia yang diwakili oleh pemerintah sepakat untuk masuk ke dalam bagian World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. Sebagai bentuk konsekuensinya, Indonesia harus tunduk kepada aturan-aturan pokok yang ditetapkan dalam perjanjian General Agreement on Trade in Service (GATS). Pada perjanjian tersebut terdapat 12 sektor jasa yang dimasukkan dalam komoditas perdagangan jasa
internasional, termasuk pendidikan. Inilah awal dibukanya keran komersialisasi dan liberalisasi pendidikan Nasional dalam wujud penetrasi asing. Pemerintah bersama DPR telah menetapkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang substansinya merupakan UU titipan produk liberal. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi telah berhasil memandulkan produk hukum tersebut pada tanggal 31 Maret 2010. Namun pada tanggal 10 Agustus 2012 telah disahkan sebuah produk hukum yang diindikasikan reinkarnasi dari UU BHP, yakni UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam menyikapi UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tersebut, saya menyatakan keberatan dan menolak adanya UU ini. Terdapat 3 argumentasi yang melandasi sikap tersebut, yaitu : 1. Adanya campur tangan dan penetrasi asing yang menginjeksikan kepentingan tertentu. Hal ini dapat dilihat dari semangat substansi UU No. 12 Tahun 2012 yang mengarah kepada globalisasi dan pro-pasar bebas. Sangat kental ditunjukkan pada pasal 50 dan pasal 90. Menurut Jan Aart Scholtc, secara garis besar ada 5 definisi luas tentang globalisasi seperti ditemukan dalam literatur yang salah satunya adalah globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi, yakni merebaknya ke seluruh dunia struktur modernitas barat yang menyangkut kapitalisme, rasionalisme, industrialism,
birokratisme, dan lain sebagainya yang cenderung merusak budaya lokal yang sudah ada lebih dulu. Soekarno pernah menyatakan bahwa arti kebangsaan Indonesia bukan kebangsaan yang chauvinistic, yang sempit dan menyendiri, tetapi kebangsaan yang menjadi bagian dari dunia. Akan tetapi perlu kita refleksi sejenak sebelum menuju globalisasi, yakni penguatan rasa nasionalisme. Apakah pendidikan kita sudah menanamkan rasa nasionalisme dalam arti cinta kepada Indonesia yang sebenar-benarnya? Apakah
pemerintah berani menjamin bahwa nilai-nilai keindonesiaan pada pendidikan tidak akan luntur ketika dihantam arus globalisasi. Kami kira tidak! 2. Terdapat konsep Badan Hukum dan ketidakjelasan konsep otonomi yang memberikan ruang bagi liberalisasi (swastanisasi) serta komersialisasi untuk masuk ke dalam sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pemerintah memberikan keleluasaan tertentu kepada Perguruan Tinggi untuk melalukan pengelolaan Pendidikan Tinggi. Semangat ini merupakan semangat yang sama pada UU BHP yang telah dimandulkan oleh MK yang kemudian dikatakan bahwa UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi hanya merupakan ganti baju dari UU BHP. MK dalam amar putusan pembatalan UU BHP berpendapat bahwa perlu adanya kejelasan secara detail atas kajian empirik yang membuktikan bahwa tanpa otonomi tujuan pendidikan nasional tidak dapat secara maksimal dicapai. Selain itu, MK juga berpendapat bahwa bisa jadi dalil otonomi tersebut hanya merupakan spekulasi, yang hanya didasari atas intuisi, yang pada praktiknya dapat hanya bersifat trial and error belaka. Artinya, konsep otonomi pengelolaan Pendidikan Tinggi bukan merupakan sebuah keharusan. Terlebih lagi jika konsep otonomi yang dimaksud berpotensi melanggar hak atas pendidikan peserta didik, kami dengan tegas menolak perihal tersebut! Selain itu, kita juga perlu mempertanyakan sejauh mana optimalisasi anggaran pendidikan sebesar minimal 20% dari APBN seperti yang diamanatkan Undang-Undang? Benarkah tidak cukup anggaran sebesar itu untuk menbiayai Pendidikan Nasional sehingga perlu melibatkan peran swasta dalam pembiayaan? 3. Adanya ketidakpastian hukum yang berpotensi memunculkan wajah-wajah regulasi baru. Hal ini dapat ditinjau dari banyaknya pasal dimana ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri ataupun aturan-aturan lainnya.
Tercatat kurang lebih sekitar 40 pasal yang masih butuh penjelasan lebih lanjut yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, atau peraturan-peraturan lainnya. Ketidakpastian hukum ini juga berpotensi untuk memberikan peluang adanya kegagalankegagalan pelaksanaan yang diamanatkan dalam UU ini. Fakta yang sudah terjadi adalah bagaimana terdapat ketidakjelasan (simpang siur) landasan hukum tentang kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terindikasi dalam pasal 88.