You are on page 1of 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.

1 Teori Umum Sistem saraf merupakan struktur pusat pengaturan yang tersusun oleh milyaran sel-sel neuron yang berorganisasi dengan berbagai macam jaringan (Carlsson dkk, 2000). Sistem saraf terbagi menjadi dua tipe sel, yaitu neuron dan neuroglia. Neuron merupakan stuktur dasar dan unit fungsional pada sistem saraf (Fox, 2004). Sel neuroglia merupakan sel penunjang tambahan neuron yang berfungsi sebagai jaringan ikat dan mampu menjalani mitosis yang mendukung proses proliferasi pada sel saraf otak (Sloane, 2003). Sistem saraf yang dapat mengendalikan sistem saraf dalam tubuh dibagi dua golongan, yaitu (Alole, 1989): 1. Sistem saraf pusat (SSP) atau system saraf sentral (SSS), terdiri dari otak dan sum-sum tulang belakang (spinal cord) 2. Sistem saraf perifer yang terdiri dari: a. Saraf otak dan sumsum tulang belakang b. Susunan saraf otonom Rangsang seperti sakit, panas, rasa, cahaya, suara, mula-mula diterima oleh sel-sel penerima (reseptor), kemudian dilanjutkan ke otak dan sumsum tulang belakang. Sistem saraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik misalnya sedative-hipnotik. Obat yang lainnya di

dapat merangsang SSP disebut analeptik (wekamin) dan obat antidepresi (Alole, 1989). II.1.1 Neurotransmisi dalam SSP Dalam banyak hal, fungsi dasar neuron dalam SSP sama dengan sistem saraf otonom (SSO) . Misalnya, transmisi informasi dalam SSP dan di perifer keduanya menyangkut lepasnya neurotransmiter yang melintas pada celah sipnatik untuk kemudian terikat pada reseptor spesifik neuron post sipnatik. Dalam kedua sistem pengenalan neurotransmiter oleh membran

reseptor neuron postsinaptik memberikan perubahan intraselular (Evelyn, 2002). Beberapa perbedaan utama terdapat antara neuron dalam SSO perifer yang ada pada SSP. Percabangan SSP lebih kompleks dari SSA, dan jumlah sinaps dalam SSP jauh lebih banyak. SSP beda dengan SSA perifer, mempunyai anyaman neuron inhibitif yang kuat, aktif dalam modulasi kecepatan transmisi neuron. Selain itu, SSP menggunakan lebih dari 10 dan barangkali sampai 50 neurotransmiter yang berbeda. Sebaliknya sistem otonom hanya menggunakan dua neurotransmiter utama asetilkolin dan norepinefrin (Evelyn, 2002). II.1.2 Obat Anastetik Anastesi umum diperlukan untuk pembedahan karena dapat menyebabkan penderita mengalami analgesia, amnesia, dan tidak sadar sedangakn otot otot mengalami relaksasi dan penekanan refleks yang tak dikehendaki. Tak ada obat tunggal yang dapat mencapai efek-efek ini secara

cepat dan aman. Walaupun, beberapa kategori obat yang berbeda digunakan untuk menghasilkan keseimbangan anestesi. Misalnya tambahan terhadap anastesi terdiri dari pengobatan preanestetik, dan pelemas otot rangka (Myceck, 2002). Pengobatan preanestetik menyebabkan penderita tenang,

menghilangkan sakit, dan melindungi terhadapp efek yang tidak dikehendaki dari pemberian anestetik atau prosedur pembedahan yang berikutnya. Pelemas otot rangka ,memelihara intubasi dan menekan tonus otot sampai pada tingkat yang diperlukan untuk operasi. Anastetik umum yang paten diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena (Myceck, 2002). Tahap tahap anastesi (Myceck, 2002): 1. Analgesia : kesadaran berkurang, rasa nyeri hilang, dan terjadi euphoria (rasa nyaman) yang disertai impian impian yang menyerupai halusinasi. Ester dan nitrogen monoksida memberikan analgesia yang baik pada tahap ini sedangkan halotan dan thiopental tahap berikutnya. 2. Eksitasi : kesadaran hilang dan terjadi kegelisahan (tahap edukasi) 3. Anestesi : pernapasan menjadi dangkal dan cepat, teratur seperti tidur. (pernapasan perut), gerakan bola mata dan refleks mata hilang, otot lemas 4. Pangumpulan sumsum tulang : kerja jantung dan pernapasan berhenti. Tahap ini harus dihindari. Anastetik umum yang ideal, adalah mempunyai sifat analgetik, relaksasi otot, onset cepat, tidak ada efek samping seperti gelisah dan perangsangan mukosa, kembalinya kesadaran cepat tanpa rasa kacau, mual,

muntah, tidak memperbesar pendarahan. Karena tidak ada anastetik lokal yang ideal, maka ditambah obat lain sebagai premedikasi dan postmedikasi untuk mencapai keadaan ideal tersebut, misalnya morfin, petidin,

klorpromazin, diazepam, pentobarbital, untuk menghilangkan kegelisahan, atropine, skopolamin untuk menghilangkan sekresi ludah dan dahak ditenggorokan, tubokurarin dan galamin untuk mendapatkan relaksasi otot. Klorpromazin untuk mual dan gelisah (Myceck, 2002). II.1.3 Faktor Penderita dalam Pemilihan Anestesi Faktor penderta dalam pemilihan anestesi sebagai berikut (Santoso, 2001): 1. Hati dan ginjal Karena hati dan ginjal tidak hanya mempengaruhi distribusi jangka lama dan pembersihan obat obat anestetik, tetapi juga berlaku sebagai organ sasaran untuk efek toksik, status fisiologi organ organ ini harus diperhatikan. 2. Sistem respirasi Kondisi sistem respirasi harus diperhatikan jika ada indikasi pemberian anestetik. Misalnya, asma atau perfusi yang abnormal mengganggu kontrol suatu anestetik inhalasi. 3. Sistem kardiovaskular Selain efek hipotensi kebanyakan anastetik yang kadang kadang timbul, iskemia jaringan dapat terjadi mengikuti berkurangnya tekanan perfusi. Bila episode hipotensi selama suatu prosedur pembedahan memaksa suatu pengobatan, substansi vasoaktif harus dipilih setelah

dipertimbangkan adanya anastetik dapat menyebabkan jantung peka terhadap efek aritmogenik obat obat simpatomimetik. 4. Sistem saraf Adanya kelainan neurologi (misalnya epilepsy, miastenia gravis) mempengaruhi pemilihan anestetik. Jadi, juga riwayat penderita

mengingatkan pada penentuan sensitivitas genetik terhadap hidrokarbon halogenasi yang menginduksi hipertermia maligna. II.1.4 Obat yang Bekerja pada SSP Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat memperlihatkan efek yang sangat luas (merangsang atau menghambat secara spesifik atau secara umum). Kelompok obat memperlihatkan selektifitas yang jelas misalnya analgesik antipiretik khusus mempengaruhi pusat pengatur suhu pusat nyeri tanpa pengaruh jelas (Tjay, 2002). Hipnotika dan sedativa dapat menekan fungsi SSP seluruhnya secara tidak spesifik yang mengakibatkan kesadaran impuls eksogen turun dan aktivitas fisik dan mental berkurang. Namun, obat-obat ini tidak mempengaruhi tingkah laku secara spesifik serta mampu mempengaruhi semangat dan suasana jiwa (Tjay, 2002). Obat yang bekerja terhadap SSP dapat dibagi dalam beberapa golongan besar, yaitu (Tjay, 2002): a. Psikofarmaka (psikotropika), yang meliputi Psikoleptika (menekan atau menghambat fungsi-fungsi tertentu dari SSP seperti hipnotika, sedativa

dan tranquillizers, dan antipsikotika); Psiko-analeptika (menstimulasi seluruh SSP, yakni antidepresiva dan psikostimulansia (wekamin). b. Untuk gangguan neurologis, seperti antiepileptika, MS (multiple sclerosis), dan penyakit Parkinson. c. Jenis yang memblokir perasaan sakit: analgetika, anestetika umum, dan lokal. d. Jenis obat vertigo dan obat migrain (Tjay, 2002). Umumnya semua obat yang bekerja pada SSP menimbulkan efeknya dengan mengubah sejumlah tahapan dalam hantaran kimia sinap (tergantung kerja transmitter) (Katzung, 1985). Dalam menjalankan fungsi sistem saraf diperlukan bantuan suatu zat kimia endogen yang disebut neurotransmiter. Neurotransmiter yang dikenal adalah asetilkolin (terlibat dengan memori dan pembelajaran), norepinefrin (terlibat dengan mania-depresi dan emosi), dan serotonin (terlibat dengan ritme biologis, tidur, emosi, dan rasa sakit) (Sunardi, 2009). Berdasarkan fungsinya neurotransmiter dibagi menjadi dua, yaitu (Sunardi, 2009): 1. Neurotransmiter (NT) peransang (pengeksitasi), bekerja menurunkan potensial membran neuron pasca sinaptik sehingga suatu impuls baru dapat dibangkitkan melintasi sinaps. NT perangsangan utama pada SSP adalah asetilkolin. Obat-obat stimulan sistem saraf pusat dapat memprofokasi terjadinya peningkatan neurotransmiter perangsangan, contohnya obat amfetamin dan derivatnya.

2.

Neurotransmiter

penghambat

(penginhibisi),

bekerja

menghambat

penghantaran impuls pada suatu sinaps. Contoh NT penghambatan antara lain GABA (Gamma Amino Butyric Acid). Obat-obat depresan sistem saraf pusat terlibat dalam pelepasan neurotransmiter penghambatan, contohnya obat kelompok barbiturat. Hipnotik Sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang berkhasiat menekan SSP. Bila digunakan dalam dosis yang meningkat, suatu sedativum, misalnya barbiturate, akan menimbulkan efek berturut-turt peredaan, tidur dan pembiusan total (anesthesia). Pada dosis yang lebih besar lagi terjadi koma, depresi pernapasan dan kematian (Tjay,2007). Pada dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respon terhadap rangsangan emosi dan menenangkan. Obat Hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis. Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Umumnya, obat ini diberikan pada malam hari. Bila zat-zat ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan sedatif (Tjay,2002). Secara kimiawi hipnotika dapat digolongkan menjadi lima, yaitu

(Tjay,2003):: 1. Golongan barbiturat (fenobarbital, butobarbital, siklobarbital,

heksobarbital, dan lain-lain); 2. Benzodiazepin (temazepam, nitrazepam, flunitrazepam, dan tiozepam);

3. Alkohol-alkohol

dan

aldehid-aldehid,

kloralhidrat

dan

turunannya

(triklofos dan dikloralfenazon), paraldehida; 4. Bromida (kalium, natrium, dan amoniumbromida), dan 5. Turunan ureida (ureida karbomal dan bromisoval); serta obat-obat lainnya seperti senyawa-senyawa piperidindion (glutetimid, termasuk talidomida) dan metaqualon. Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan (Tjay,2003). Golongan barbiturat mekanisme kerjanya yaitu bekerja pada seluruh sistem saraf pusat, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis nonanestesi terutama menekan respons pasca sinaps. Pengghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA- nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA seagai mediator. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas barbiturate membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzoldiazepin, namun pada dosis yang lebih tiinggi bersifat sebagai agonis GABA nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturate dapat menimbulkan depresi sistem saraf pusat yang berat (Ganiswara, dkk, 1995). juga

Untuk pengobatan sedatif-hipnotik, barbiturat biasanya diberikan secara oral. Dosis tersebut diabsorpsi dengan cepat dan mungkin, secara sempurna; garam natrium diabsorbsi lebih cepat dari formulasi cair. Rute intravena biasanya disediakan untuk menangani status epileptikus

(fenobarbital natrium) atau untuk menginduksi dan/atau mempertahankan anastesia umum (misalnya tiopental,metoheksital) (Tjay,2007). Barbiturat yang digunakan sebagai hipnotik sedatif tidak memiliki waktu paruh yang cukup singkat untuk dapat dieliminasi sempurna dalam 24 jam. Jadi semua barbiturate akan diakumulasikan selama pemberian berulang, kecuali bila dilakukan pengaturan dosis yang cermat. Selain itu, menetapnya obat dalam plasma sepanjang hari mempermudah terjadinya toleransi dan penyalahgunaan (Ganiswara, dkk, 1995). Rute onset permulaan PO yaitu 30-60, puncaknya tidak diketahui, dengan durasi 10-16 jam. Dengan rute onset permulaan IV yaitu 5 menit, dengan puncaknya 30 menit, dan durasi 10-16 jam. Rute onset permulaan IM 10-30 menit, puncaknya tidak diketahui, dan durasi 10-16 jam (Ganiswara, dkk, 1995). Golongan benzoldiazepin mempunyai efek yang meruapakan kerja golongan yang efek utamanya sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ansietas, relaksasi otot dan antikkonvulsi. Hanya dua efek saja yang merupakan kerja golongan ini pada jaringan perifer: vasodilatasi koroner stetlah pemberian dosis terapi benzoldiazepin tertentu secara IV, dan

blokade neuromuscular yang hanya terjadi pada pemberian dosis sangat tinggi (Ganiswara, dkk, 1995). Peningkatan dosis benzoldiazepin menyebabkan depresi SSP yang meningkat dari sedasi ke hypnosis, dan dari hypnosis ke stupor ; keadaan ini sering dinyatakan sebagai efek anestesia ,tapi obat golongan ini tidak benarbenar memperlihatkan efek anestesia umum yang spesifik, karena kesadaran penderita biasanya tetap bertahan dan relaksasi otot yang diperlukan untuk pmebedahan tidak tercapai (Ganiswara, dkk, 1995). Mekanisme kerja benzoldiazepin yaitu yaitu potensiasi inhibisi neuron dengan asam gamma-aminobutirat (GABA) sebagai mediator. Pendapat ini ditunjang oleh hasil elektrofisiologik dan prilaku hewan coba yang menunjukkan adanya penghambatan efek benzoldiazepin oleh antagonis GABA,seperti bikukulin atau penghambat sintesis GABA misalnya tiosemikarbasid (Ganiswara, dkk, 1995). Benzoldiazepin dimetabolisme secara ekstensif oleh beberapa sistem enzim mikrosom hati. Beberapa benzoldiazepin dimetabolisme menjadi metabolit yang aktif. Metabolit aktif umumnya dimetabolisme lebih lambat dari senyawa asalnya, sehingga lama kerja benzoldiazepin tidak sesuai dengan waktu paruh eliminasi obat asalnya; misalnya waktu paruh flurazepam adalah 2,0-3,0 jam, tetapi waktu paruh metabolit aktifnya adalah 50,0 jam (Ganiswara, dkk, 1995).

Diazepam adalah obat anti cemas dari golongan benzodiazepin, satu golongan dengan alprazolam (Xanax), klonazepam, lorazepam, flurazepam, dan lainnya. Diazepam dan benzodiazepin lainnya bekerja dengan meningkatkan efek GABA (gamma aminobutyric acid) di otak. GABA adalah neurotransmitter (suatu senyawa yang digunakan oleh sel saraf untuk saling berkomunikasi) yang menghambat aktifitas di otak. Diyakini bahwa aktifitas otak yang berlebihan dapat menyebabkan kecemasan dan gangguan jiwa lainnya (Ganiswara, dkk, 1995). Efek relaksan otot diazepam 10 x lebih selektif dibandingkan meprobamat, namun tingkat selektifitas ini tidak jelas terlihat pada manusia (Ganiswara, dkk, 1995). Absorpsi diazepam dalam tubuh yaitu 1,5 sampai 4,0 jam. Rata-rata paruh waktu diazepam adalah 20-50 jam. Diazepam dan midazolam dosis preanestetik memdepresi ringan ventilasi alveolar dan menyebabkan asidosis respirator, lebih karena perangsangan hipoksia daripada karena penurunan rangsangan hiperkapnia (Ganiswara, dkk, 1995). Mekanisme kerja diazepam adalah bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja sebagai antagonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan adanya interaksi

benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang (Ganiswara, dkk, 1995). Depresi adalah gangguan jiwa yang paling umum di dunia. Teori monoamine menunjukkan sebagai penyebab depresi terganggunya

keseimbangan antara neurotransmitter di otak. Khususnya akibat terutama kekurangan serotonin dan/atau noradrenalin di saraf-saraf otak (Tjay,2007). Keadaan depresif lazimnya diiringi dengan daya tangkis tubuh yang berfungsi buruk, sehingga terdapat resiko besar dihinggapi segala macam penyakit. Antidepressiva adalah obat-obat yang mampu memperbaiki suasana jiwa (mood) dengan mengilangkan atau meringankan gejala keadaan murung, yang tidak disebabkan oleh kesulitan social-ekonomi, obat-obatan atau penyakit (Tjay,2007). Penanganan depresi dapat dibantu dengan menggunakan obat antidepresi. Pilihan obat pada umumnya menggunakan ATC (Anti-depressiva TriCyclics). Lazimnya obat-obat antidepresi dibagi dalam 4 kelompok besar, yakni .(Tjay,2007): 1. Antidepresiva klasik: obat-obat ini menghambat resorpsi kembali dari serotonin dan noradrenalin dari sela sinaps di ujung-ujung saraf.

a. Zat trisiklis (ATC): amitriptilinm doksepin, imipramin, desipramin. Obatobat ini memiliki struktur dasar cincin tiga, mirip dengan struktur antipsikotika kelompok fenotiazin dan thioxanten. b. Zat tetrasiklis: maprotilin, miaserin, dengan struktur tetrasiklis, tetapi dengan sifat yang hampir sama. 2. Obat generasi ke-2 dengan strukutur kimiawi lain, yang menimbulkan lebih sedikit efek samping, khususnya berkurangnya efek jantung dan kerja antikolinergis, maka lebih aman pada overdose dan bagi pasien lansia. a. SSRIs (Selective serotonin Re-uptake Inhibitors): fluvoxamin, sertralin dan citalopram b. NaSa (Noradrenalin and Serotonin Antidepressants): mirtrazapin dan venlafaxin (efexor). c. MAO-blocker: obat ini menghambat enzi mono-amin-oksidase (MAO), yang menguraikan zat-zat monoamine setelah selesai aktivitasnya. Contoh: fenelzin. d. Lainnya: tryptofan, okstriptan dan pridoksin. II. 2 Uraian Bahan 1. Alkohol (Dirjen POM, 1979) Nama resmi Sinonim RM/BM : Aethanolum : Etanol, alcohol : C2H6O/46,07

Pemerian

: Jernih,

tidak

berbau,

bergerak,

cairan

pelarut,

menghasilkan bau yang khas dan rasa terbakar pada lidah. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya, di tempat sejuk jauh dari nyala api. 2. Aquades (Dirjen POM, 1979) Nama Resmi Sinonim RM / BM Pemerian : AQUA DESTILLATA : Air Suling : H2O / 18.02 : Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak mempunyai rasa. Penyimpanan Kegunaan 3. : Dalam wadah tertutup baik : Sebagai pelarut

Na CMC (Dirjen POM, 1995) Nama resmi Nama lain RM/BM Pemerian : Natrii Carboxymethylcellulosum : Natrium karboksimetilselulosa : C23H46N2O6.H2SO4.H2O/694,85 : Serbuk gading atau tidak butiran putih berbau/hamper atau putih kuning berbau,

tidak

higroskopik.

Kelarutan

: Mudah mendispersi dalam air, membentuk suspensi koloidal, tidakl arut dalam eter dan dalam pelarut organik. etanol (95%), dalam

Penyimpanan Kegunaan Khasiat 4.

: Dalam wadah tertutup rapat. : Sebagai pensuspensi obat/sampel. : Sebagai kontrol.

Kloroform (Dirjen POM, 1979) Nama Resmi Nama Lain RM/BM Pemerian : CHLOROFORM : Kloroform : CHC13/119,38 : Cairan mudah menguap, tidak berwarna, bau khas, Rasa manis dan membakar. Kelarutan : Larut dalam kurang lebih 200 bagian air, mudah larut dalam etanol mutlak P, dalam sebagian pelarut organik dalam minyak atsiri dan minyak lemak.

5.

Diazepam (Dirjen POM, 1979) Nama resmi : DIAZEPAMUM

Nama lain : Diazepam Rumus Kimia Berat molekul Rumus struktur : C 16H 13ClN 2O : 284,74 :

Pemerian

: Serbuk hablur, putih atau hampir putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau, mula mula tidak mempunyai rasa lama lama pahit. NNCH 3OCl

Kelarutan

: Agak sukar larut dalam air, tidak larut dalam etanol (95%) P, mudah larut dalam klorofarm P.

Kegunaan

: Sedativum

Dosis Maksimum : Sehari 40 mg Penyimpanan II. 2 Uraian Hewan Uji : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya.

Gambar 1 Mencit (Mus musculus)

Mencit (Mus musculus) a. Klasifikasi Kerajaan Filum Kelas Ordo Family Genus : : : : : : Animalia Chordata Mamalia Rodentia Muridae Mus

Spesies b. Morfologi

Mus musculus

Ukuran lebih kecil, bulu berwarna putih, dan warna kulit lebih pucat, mata berwarna hitam dan kulit berpigmen. c. Karakteristik Lama hidup Lama bunting Umur dewasa Siklus eksterus Lama ekstrus : : : : : 1-2 tahun bisa sampai 3 tahun 19-21 hari 35 hari 4-5 hari 12-24 jam

You might also like