You are on page 1of 26

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

batubara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen.

Di Indonesia, endapan batu bara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batu bara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batu bara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut Skala waktu geologi. Potensi sumberdaya batu bara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, sedangkan di daerah lainnya dapat dijumpai batu bara walaupun dalam jumlah kecil dan belum dapat ditentukan keekonomisannya, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, dan Sulawesi. batu bara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel fuel) yang telah umum digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batu bara jauh lebih hemat dibandingkan solar, dengan perbandingan sebagai berikut: Solar Rp 0,74/kilokalori sedangkan batu bara hanya Rp 0,09/kilokalori, (berdasarkan harga solar industri Rp. 6.200/liter). Dari segi kuantitas batu bara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia. Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan milyar ton. Jumlah ini sebenarnya cukup untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun ke depan. Sayangnya, Indonesia tidak mungkin membakar habis batu bara dan mengubahnya menjadi energis listrik melalui
1

PLTU. Selain mengotori lingkungan melalui polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy cara ini dinilai kurang efisien dan kurang memberi nilai tambah tinggi. Pada suatu ketika, di awal decade 70-an, dunia dicekam ketegangan. Perang menjalar di Timur Tengah. Negara Negara Arab menyerang Israel dan terjadilah krisis minyak Presiden Soeharto, waktu itu, memandang bahwa batu bara layak menjadi sumber energi alternatif. Tak hanya demikian dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, pengembangan batubara dipandang bertujuan untuk : pertama, menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing; kedua, menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; ketiga, menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan / atau sebagai sumber energy untuk kebutuhan dalam negeri; keempat, mendukung dan

menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; kelima, meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan terakhir, menjamin kepastian hukum dan penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Soeharto pun menginstruksikan para menteri untuk mengembangkan batu bara. Pada 1980, pemerintah RI mengundang kalangan investor dunia untuk pengembangan potensi batu bara di Kalimantan dan Sumatra. Para investor asing itulah yang kemudian menjadi kontraktor pengembangan batu bara di bawah naungan Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) generasi pertama. PKP2B generasi pertama diteken antara kurun 1981 hingga 1990. Tercatat, ada 11 perusahaan pertambangan yang dibentuk untuk menjalankan kontrak itu. Volume produksi batu bara dari para kontraktor PKP2B generasi pertama itu amat besar. Hingga saat ini, pemerintah sudah meneken 376 kontrak pertambangan batu bara. Ada 141 kontrak PKP2B dari generasi I hingga VII. Volume produksi kontraktor PKP2B generasi pertama tercatat menyumbang 75% dari seluruh total produksi.(trust,2008) Saat ini, perusahaan perusahaan PKP2B generasi pertama sudah tidak lagi merupakan perusahaan asing. Sesuai kontrak PKP2B itu pula, asing-asing tadi memang harus menjual
2

sahamnya ke perusahaan domestic dalam kurun tertentu setelah kontrak berjalan. 11 perusahaan PKP2B generasi pertama itu diantaranya : 1. PT KALTIM PRIMA COAL (KPC) Awalnya, KPC merupakan perusahaan patungan milik Rio Tinto Australia (50%) dan British Petroleum (50%) dari Inggris. KPC adalah operator batu bara terbesar di Indonesia. Kegiatan produksi secara komersial di KPC dimulai pada tahun 1991. setelah itu KPC sanggup memproduksi batu bara secara stabil di level stabil 15 juta metric ton per tahun. Kini, KPC berada di bawah kepemilikan PT Bumi Resources, unit usaha kelompok Bakrie. Pada tahun 2007 silam produksi KPC mencapai 50 juta metric ton. 2. PT ARUTMIN INDONESIA Sejak awal kelompok Bakrie terlibat di Arutmin. Perusahaan ini tadinya merupakan hasil; kongsi antara Bakrie (20%) dengan BHP Minerals Australia (80%). Arutmin

mengoperasikan dua tambang terbuka di Kalimantan Selantan. Arutmin bias memproduksi 19 juta metric ton batu bara setiap tahun. Kini, Arutmin juga sepenuhnya berada di bawah naungan PT Bumi resource. 3. PT ADARO INDONESIA Perusahaan ini sekarang dimiliki PT Adaro Energy. Awalnya, Adaro dimiliki oleh New Hope Corporation Australia (50%), PT Asminco Bara Utama Indonesia (40%), dan Mission Energy Amerika (10%). Adaro memiliki sumber daya batu bara sekitar 2,803 milliar tonseparuhnya merupakan cadangan. Saat ini, produksi tahunan Adaro sekitar 40 juta ton- nyaris setara dengan 20 % produksi nasional yang, sepanjang tahun 2007, mencapai 205 juta ton. Adaro pernah dilaporkan melakukan transfer pricing pajak. Selain itu, Adaro punya kasus sengketa saham dengan Beckett Pte. Ltd. gara-gara kredit yang diberikan Deutsche Bank sebesar US$ 100 juta kepada Asminco. Pemilik Asminco adalah PT Swabara Mining energy. Beckett adalah pemilik utama Swabara. Asmingo mengalami gagal bayar dan Deutsche Bank
3

mengeksekusi jaminan utang asminco di Adaro dan IBT kepada pemilik Adaro sekarang, seharga US$ 46 juta. Syahdan, penjualan itu dilakukan secara diam-diam dan harganya kemurahan. 4. PT BERAU COAL PT Berau Coal saat ini berada di tangan kendali PT Armadaian Tritunggal (51%)- milik Rizal Risjad (anak Ibrahim Risjad). Selain itu, ada juga Rognar holding BV Belanda (39%), dan Sojitc Corp dari Jepang. Tadinya, Berau dimiliki oleh United Tractors (60%), PT Pandua Dian Pertiwi (20%), dan Nissho Iwai (20%). Berau memiliki tiga lokasi tambang di kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yaitu Lati, Binungan, dan Sambrata. Berau memegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan pemerintah Indonesia atas konsesi sekitar 118 ribu hectare (ha) dengan lahan produksi 40 ribu ha. Tahun ini perusahaan menargetkan produksi 15 juta metric ton batu bara setelah tahun lalu mebukukan 12,5 juta ton. 5. PT KIDECO JAYA AGUNG Saat ini, Kideco adalah andalan utama PT Indika Energy ( milik keluarga Sudwikatmono). Tadinya, seluruh saham Kideco dimiliki Samtan Co. Ltd. Dari Korea Selatan. Di tahun 2008, Kideco menargetkan volume penjualan sebesar 22 juta metric ton dengan perkiraan harga rata-rata antara US$ 45-48 per ton. Tahun depan, Kideco berniat menggenjot produksi hingga 30 juta metric ton. 6. PT ALLIED INDO COAL (AIC) Perusahaan ini merupakan hasil patungan antara keluarga Thohir dengan keluarga Salway. Tapi, kini, keluarga Thohir menguasai sepenuhnya perusahaan pertambangan yang beroperasi sejak 1987 di Sumatra Barat itu. AIC setiap tahunntya sanggup memproduksi sekitar 2 juta metric ton batu bara. Pada tahun 2005, Allied sempat membayar tunggakan restitusi senilai Rp 4,2 milliar atau 21% dari jumlah tunggakannya saat itu.
4

7. PT MULTI HARAPAN UTAMA (MHU) New Hope tadinya memiliki 40% saham MHU. Lalu, ada Asminco Bara Utama (10%) dan kelompok Risjad (40%). Perusahaan ini berbasis di Busang, Kalimantan Timur, dengan cadangan potensial sekitar 126 juta metric ton. Setiap tahun, MHU memproduksi sekitar 1,6 juta metric ton batu bara. Kini, pemilik MHU meliputi pihak Australia (40%), PT Agrarizki Media (37,5%), Ibrahim Risjad (12,5%), dan PT Asmin Pembangunan Pratama (10%). 8. PT TANITO HARUM Sejak awal, PT Tanito Harum adalah perusahaan local. Setiap tahun, perusahaan ini sanggup memproduksi sekitar sejuta metric ton batu bara. Pada 2005, PT Tanito Harum sudah melunasi tunggakan royaltinya senilai US$ 4,4 juta. 9.PT BHP KENDILO COAL INDONESIA PT BHP Kendilo Coal Indonesia didirikan sebagai perusahaan patungan antara BHP (80%) dan Mitsui (20%). Kendilo beroperasi di Petangis dan Rindu, di Kalimantan Timur. Kini, BHP Kendilo sudah tak lagi beroperasi. Tapi, tunggakan royalty dikabarkan cukup besar. 10.PT INDOMINCO MANDIRI Awalnya, PT Indominco Mandiri sepenuhnya dimiliki Kelompok Salim. Indominco mampu memproduksi 1,5 juta metric ton batu bara setiap tahunnya. Kini 35% saham Indominco dimiliki Banpu Public Limited asal Thailand. Sebanyak 35% lagi dikuasai oleh PT Indo Tambangraya Megah Tbk. 11. PT CHUNG HUA MINING DEVELOPMENT Sejak awal, Chung Hua dinilai tak sanggup melaksanakan kontrak sehingga izin PKP2B nya diputus.

Para pemain pertama itu memang mendapat banyak keuntungan. Semua kontraktor PKP2B generasi pertama, misalnya mendapat ketentuan system perpajakan yang telah tetap. Jadi sepanjang masa kontraknya, perusahaan tidak terkena aturan pajak baru. Jika ada pajak baru yang tidak tercatat dalam kontrak, maka pemerintah akan me-reimburse nilai yang sama pada kontraktor.(trust,2008) Pada tahun 1983, lahir UU tentang pajak pertambahan nilai (PPN). Karena PPN lahir setelah sejumlah PKP2B diberlakukan, maka PPN juga tidak masuk dalam kewajiban kontraktor PKP2B generasi pertama. Kalau PPN itu dibayar oleh perusahaan PKP2B, pemerintah wajib mengganti.(trust,2008) Namun mekanisme penggantian atau reimbursement mengalami kesendatan dalam praktik realisasinya. Berdasarkan PKP2B, pajak penjualan atas jasa yang diterima menjadi tanggung jawab Perusahaan Pertambangan, sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Perusahaan Pertambangan berpendapat, dengan diberlakukannya Undang Undang No. 8 tahun 1983 mengenai PPN (UU PPN), maka peraturan pajak penjualan sudah tidak berlaku karena pajak penjualan berbeda dengan PPN baik dalam bentuk maupun substansi, sehingga PPN merupakan pajak baru dan Pemerintah seharusnya tidak mengenakan pajak baru ini kepada Perusahaan Pertambangan. (Wahyu, 2008) Berdasarkan PKP2B, mereka juga berpendapat bahwa PPN Masukan dapat diperoleh kembali dengan cara mengkompensasikan klaim atas PPN Masukan terhadap pembayaran royalti yang terhutang kepada Pemerintah Indonesia, dan sisa saldo yang belum diterima diharapkan dapat diperoleh seluruhnya. (Wahyu, 2008).

Polemik bertambah ketika terbitnya PP No. 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan PPN, yang pada Pasal 2 menyebutkan bahwa batu bara tidak termasuk barang kena pajak. Efeknya, yaitu karena batu bara bukan BKP maka atas penjualannya tidak dikenakan PPN dan tentunya pajak masukan atas kegiatan yang berhubungan dengannya tidak bisa dikreditkan. ( Chandra Budi, 2008 )
6

Peraturan pemerintah (PP) itu digugat oleh wajib pajak PKP2B karena dengan dikeluarkannya PP tersebut, mereka tidak akan lagi memperoleh restitusi. Padahal, PKP2B generasi I sudah mengajukan surat pemberitahuan (SPT) masa PPN-nya. Mereka menganggap bahwa PP tersebut bertentangan dengan UU No 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai, terutama pada penjelasan pasal 4A ayat 2 huruf a di mana batu bara tidak disebutkan secara eksplisit dalam daftar barang atau jasa tidak kena pajak.(Chandra budi,2008) Ketika persoalan itu diajukan ke Mahkamah Agung untuk menguji materiil PP Nomor 144 Tahun 2000, sebenarnya pendapat hukum (legal opinion) dari Mahkamah Agung menyatakan PP tersebut bertentangan dengan peraturan di atasnya (UU). Tetapi, karena tidak memenuhi jangka waktu pengajuan gugatan, maka MA tidak bisa mengeluarkan putusan.(Chandra budi,2008) Pemberlakuan PP ini memang membuat perusahaan batu bara tidak terkena PPN hasil produksi (keluaran), namun dikenakan PPN saat awal proses produksi (masukan). Padahal, sesuai kontrak PKP2B, perusahaan juga tidak terkena PPN masukan. Akibatnya, perusahaan meminta penggantian sesuai ketentuan yang tercantum dalam kontrak PKP2B.(suara karya,2008) Akibat pemerintah tidak mengakui adanya restitusi PPN kepada perusahaan pemilik PKP2B generasi pertama enam perusahaan pemegang izin PKP2B, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Berau Coal, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Kendilo Coal Indonesia telah menahan royalti selama 2001-2007 sebesar Rp 7 triliun. Mereka tidak mau melunasi royalti, sebelum pemerintah membayar biaya yang ditalangkan untuk membayar pajak pertambahan nilai (PPN). Di sisi lain, Departemen Keuangan menilai, restitusi PPN tidak bisa dijadikan alasan untuk menahan royalti kepada negara. Terlebih lagi, pemerintah tidak memiliki utang pembayaran restitusi PPN batubara kepada kontraktor pertambangan Bintarnyo,2008) PKP2B generasi pertama.( Happy Amanda Amalia dan Toidin

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini antara lain: a. Apa isi kontrak Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) generasi pertama yang menyebabkan PKP2B memiliki hak untuk restitusi PPN ? apakah restitusi tersebut b. Apa isi kontrak Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) generasi pertama yang menyebabkan PKP2B memiliki kewajiban membayar royalti ? c. Alasan PKP2B menahan royalti dan hubungannya dengan hak restitusi PPN ?

1.3 Batasan Masalah Batasan masalah yang terdapat dalam makalah ini ialah terletak pada sengketa antara antara Pemerintah dan Kontraktor PKP2B Generasi Pertama mengenai PPN.

1.4 Tujuan Penulisan

Tujuan disusunnya makalah ini ialah untuk memenuhi salah satu tugas dalam proses recruitment asisten dosen perpajakan. Tujuan lain yang hendak dicapai dala penyusunan makalah ini diantaranya : a. Menganalisis penyebab perusahaan batubara yang tergolong dalam Perjanjian Karya Pengusaha Batubar (PKP2B) generasi pertama meminta haknya dalam restusi PPN terkait dengan isi kontrak PKP2B. b. Menganalisis penyebab perusahaan batubara yang tergolong dalam Perjanjian Karya Pengusaha Batubar (PKP2B) generasi pertama berkewajiban dalam pembayaran royalti sesuai dengan isi kontrak PKP2B. c. Menganalisis hubungan antara penahanan royalti dan hak restitusi PPN bagi perusahaan batubara yang tergolong dalam Perjanjian Karya Pengusaha Batubar (PKP2B) generasi pertama

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pajak Pertambahan Nilai

Pertimbangan Pemerintah Indonesia mengganti Pajak Penjualan dengan PPN pada tahun 1984 adalah bahwa sistem Pajak Penjualan yang merupakan dasar pelaksanaan pemungutan pajak negara yang berlaku sampai dengan akhir tahun 1983, tidak sesuai lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, baik dalam segi kegotongroyongan nasional maupun dalam laju pembangunan yang telah tercapai. Sistem Pajak Penjualan 1951, tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mancapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak. Dalam rangka itulah dengan dilandasi pertimbangan yang seksama tentang kemampuan rakyat, rasa keadilan dan kebutuhan pembangunan serta untuk mendorong dan meningkatkan daya saing komoditi ekspor non minyak di pasaran luar negeri, dengan dukungan kondisi dan kemampuan aparat perpajakan yang terus berkembang, pajak penjualan dengan sistem pengenaan PPN dan pajak penjualan atas barang mewah diberlakukan untuk menggantikan pajak penjualan yang berlaku. PPN dapat dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur perusahaan. Kendatipun dipungut beberapa kali, tetapi karena pengenaannya hanya terhadappertambahan nilai yang timbul pada setiap penyerahan barang atau jasa pada jalur perusahaan berikutnya, maka beban pajak ini pada akhirnya tidaklah lebih berat. Pertambahan nilai itu sendiri timbul karena dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa tanah, upah kerja, dan

laba pengusaha adalah merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan PPN.

2.2 Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


1. Pajak Pertambahan Nilai a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen). c. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen). 2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah a. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen). b. Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).

2.3 Subyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha, yaitu Orang Pribadi atau Badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Pengusaha tersebut melakukan penyerahan BKP dan atau JKP yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Ketentuan mengenai Pengusaha Kecil diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 571/KMK.03/2003 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 tentang batasan Pengusaha Kecil PPN. Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp
10

600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Atas penyerahan BKP dan JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil tidak dikenakan PPN, namun jika Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP maka kewajiban sebagai PKP juga harus dipenuhi.

Kewajiban PKP diatur dalam penjelasan Pasal 3A Ayat (1) yaitu: a. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP; b. Memungut pajak yang terutang; c. Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, serta menyetorkan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang; d. Melaporkan penghitungan pajak.

2.4 Obyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Obyek PPN diatur dalam Pasal 4 UU PPN yaitu : 1. Objek Pajak Pertambahan Nilai a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; b. c. impor Barang Kena Pajak; penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

2. Barang Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

11

c.

makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya;

d.

uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

3. Jasa Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. jasa di bidang pelayanan kesehatan medik; jasa di bidang pelayanan sosial; jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko; jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi; jasa di bidang keagamaan; jasa di bidang pendidikan; jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan; jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan; jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air; jasa di bidang tenaga kerja; jasa di bidang perhotelan; jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum. Pengaturan lebih lanjut mengenai barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, tidak dikenakan PPN diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 2000. Jenis barang hasil tambang dan pengeboran tersebut adalah : a. minyak mentah (crude oil); b. gas bumi; c. panas bumi; d. pasir dan kerikil; f. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih bauksit.

12

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 2000 yang berlaku sejak 1 Januari 2001 menambah jenis barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, yang tidak dikenakan PPN, yaitu dengan penambahan pada panas bumi; batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak dan bijih bauksit.

2.5 Pengkreditan Pajak Masukan

Pengkreditan Pajak Masukan diatur dalam Pasal 9 UU PPN yaitu Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan PPN yang wajib dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.

Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan Pajak Masukan yang dapat diminta kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak Berikutnya. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan untuk perolehan BKP dan / atau JKP yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 9 ayat 5 UU PPN.

Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 9 ayat 5 UU PPN dijabarkan, yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang PPN, dikenakan PPN. Sementara yang dimaksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13

4A UU PPN dan yang dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud Pasal 16B UU PPN. Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.

2.6 Instrumen Hukum Pertambangan Batubara di Indonesia

PKP2B merupakan salah satu instrumen hukum dalam bidang pertambangan, khususnya dalam bidang batubara. Perjanjian ini dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan kontraktor swasta. Instrumen hukum lainnya adalah Kuasa Pertambangan yang memberikan wewenang kepada badan / perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Berikut akan diuraikan instrumen hukum tersebut, baik perjanjian karya maupun kuasa pertambangan.

PKP2B Generasi Pertama (sebelum 1983) Latar Belakang Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara Generasi I :

1. Bahwa PKP2B merupakan kontrak generasi I dimana Pemerintah Republik Indonesia sebagai pemegang amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia merupakan pelaksana dari kekayaan yang dikandung dalam bumi Indonesia termasuk tetapi tidak terbatas pada Batubara. Adapun Pemerintah Republik Indonesia pada waktu itu memerlukan investor baik dari segi finansial maupun teknologi guna melakukan kegiatan pertambangan batubara sehingga Pemerintah Republik Indonesia mengintruduksi kontrak generasi I guna memfasilitasi kepentingan investor atas investasi yang nilainya tidak sedikit dalam bidang pertambangan.

14

2. Bahwa PKP2B merupakan lex spesialis derogate lex generalis (special treatment) karena mekanisme PKP2B yang mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia. Hal ini dikonfirmasikan oleh Surat Presiden Republik Indonesia No. S-50/Pres/10/1981, tanggal 31 Oktober 1981 juncto Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor. S-1427/MK.01/1992, tanggal 25 Nopember 1992 juncto Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor. SE14/PJ.321/1993, tanggal 9 Juni 1993 ;

3. Bahwa dalam PKP2B diatur secara terperinci hak dan kewajiban PKP2B berkaitan dengan masalah perpajakan dan bagi hasil produksi antara lain berupa : (i) kontraktor memiliki kewajiban pembayaran DHPB kepada pemerintah (vide Pasal 11 dari PKP2B); dan ; (ii) Pemerintah memiliki kewajiban untuk menanggung pajak pertambahan nilai atas produksi batubara yang dihasilkan oleh kontraktor (vide Pasal 11 dari PKP2B) ;

4. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11.1 PKP2B maka ketentuan pembagian seluruh hasil penambangan batubara setiap tahunnya antara kontraktor dan Pemerintah terhitung sejak dimulainya produksi komersial dengan perincian sebagai berikut : (i) Hak atas hasil batubara yang dimiliki oleh kontraktor adalah sebesar 86,5% (delapan puluh enam koma limapersen); dan (ii) Hak atas hasil batubara yang dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral adalah sebesar 13,5% ;

5.Bahwa pemerintah selanjutnya menunjuk investor sebagai agen penjual dari porsi batubara yang dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (sesuai dengan harga Pasar dan hasil penjualan tersebut setelah dikurangi dengan pengeluaran lainnya seperti pengapalan dan

15

biaya administrasi dan pajak pertambahan nilai) disetorkan ke Rekening Kas Negara pada Bank Indonesia.

7.Bahwa dari perumusan ketentuan Pasal 11.2 PKP2B maka dapat disimpulkan Pajak yang dapat dipungut dari kontraktor hanyalah sebatas pajak- pajak sebagai berikut : (a) Pajak Perseroan (Pasal 11.2 (i)) ; (b) Pajak atas dividen, bunga dan royalty atas paten (Pasal 11.2 (ii) (a)) ; (c) Pajak atas gaji karyawan (Pasal 11.2 (ii) (b)) ; (d) Pajak atas pembayaran-pembayaran lain yang dilakukan oleh kontraktor (Pasal 11.2 (iii)) ; (e) IPEDA dan Pajak Daerah lain (Pasal 11.2 (iii)) ; (f) Pajak Penjualan (Pasal 11.2 (iv)) ; (g) Bea Materai (Pasal 11.2 (v)); dan (h) Cukai tembakau dan minuman beralkohol (Pasal 11.2 (vi)) ;

8.Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 11.3 PKP2B menyebutkan bahwa pajak-pajak selain dari yang dicantumkan dalam ketentuan Pasal 11.2 PKP2B menjadi tanggung jawab Pemerintah dan jika pembayaran atas pajak yang bersangkutan telah dibayarkan oleh kontraktor atau oleh pihak lain untuk dan atas nama kontraktor, maka Pemerintah wajib mengganti atau membayar kembali sejumlah yang telah dibayarkan tersebut. Perjanjian Kerjasama Batubara Bersifat Lex Spesialis.

9.Bahwa PKP2B merupakan perjanjian yang bersifat khusus (lex spesialis) dan oleh karenanya dalam penerapannya mengenyampingkan aturan aturan yang bersifat umum (lex spesialis derogate lex generalis), hal ini dijelaskan dalam Surat Menteri Keuangan R.I yang ditujukan ke Menko Ekuin tanggal 14 Mei 2003 perihal : Peraturan Pemerintah Nomor. 144 Tahun 2000 yang isinya pada butir 2 sebagai berikut : Sesuai Surat Menteri Keuangan Nomor. S-1427/MK.01/1992 tanggal 25 Nopember 1992 tentang ketentuan Perpajakan dalam perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara, bahwa perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara yang telah mendapatkan persetujuan DPR dan Presiden berlaku sama dan dipersamakan dengan undang-undang.
16

Oleh karena itu ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian dibidang Pertambangan Batubara diberlakukan secara khusus (lex spesialis) ;

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

dari perumusan ketentuan Pasal 11.2 PKP2B,Pajak yang dapat dipungut dari kontraktor hanyalah sebatas pajak- pajak sebagai berikut : (a) Pajak Perseroan (Pasal 11.2 (i)) ; (b) Pajak atas dividen, bunga dan royalty atas paten (Pasal 11.2 (ii) (a)) ; (c) Pajak atas gaji karyawan (Pasal 11.2 (ii) (b)) ; (d) Pajak atas pembayaran-pembayaran lain yang dilakukan oleh kontraktor (Pasal 11.2 (iii)) ; (e) IPEDA dan Pajak Daerah lain (Pasal 11.2 (iii)) ; (f) Pajak Penjualan (Pasal 11.2 (iv)) ; (g) Bea Materai (Pasal 11.2 (v)); dan (h) Cukai tembakau dan minuman beralkohol (Pasal 11.2 (vi)) ;

Dalam isi perjanjian tersebut dinyatakan bahwa salah satu pajak yang wajib dipungut dari kontraktor ialah Pajak Penjualan (PPn). Pajak Penjualan merupakan pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa, pemungutannya dilakukan secara single stage tax pada tingkat pabrikan. Tarif Pajak Penjualan bervariasi menurut berbagai golongan barang dan jasa yaitu 0% (nol persen), 1% (satu persen), 2,5% (dua setengah persen), 5% (lima persen), 10% (sepuluh persen) dan 20% (dua puluh persen). Pajak
17

Penjualan ini bersifat kumulatif. Sistem yang dianut dalam Pajak Penjualan adalah sistem pemungutan satu kali yakni pada waktu penyerahan barang kepada pembeli. Karena tarifnya yang kumulatif dan dapat menyebabkan pajak berganda maka PPn ini akhirnya ditiadakan atau dihapuskan.

Pada tahun 1983, lahir Undang-undang No.8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) , karena PPN lahir setelah sejumlah PKP2B generasi pertama diberlakukan hal ini menimbulkan persepsi bagi beberapa perusahaan diantaranya enam perusahaan pemegang izin PKP2B, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Berau Coal, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Kendilo Coal Indonesia bahwa pemberlakuan PPN ini merupakan jenis pajak baru sedangkan menurut perjanjian yang tertuang dalam PKP2B menyebutkan bahwa perjanjian tersebut bersifat lex spesialis
Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).[1] Contohnya, dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota harus dipilih secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama juga menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis), sehingga keistimewaan daerah yang gubernurnya tidak dipilih secara demokratis sepertiDaerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_generali

sifatnya lex spesialis menimbulkan alasan perusahaan-perusahaan tersebut tidak tunduk terhadap Undang-undang baru yang muncul setelah kontrak karya ditandatangani. Walau demikian perusahaan-perusahaan tersebut tetap membayar Pajak Pertambahan Nilai sesuai aturan, dengan spekulasi bahwa : PPN yang dibayar oleh PKP atas pembelian BKP atau penerimaan JKP dari PKP lain yang disebut pajak masukan, dapat diperhitungkan (dikreditkan) dengan PPN yang dipungut atas penyerahan BKP atau JKP kepada pembeli atau penerima yang disebut pajak keluaran atau dapat disebut pengkreditan pajak masukan.(Untung Sukardji, 2011) dengan spekulasi tersebut perusahaan dapat menuntut adanya restitusi PPN.

18

Pada tahun 2000 dilakukan perubahan kedua atas Undang -undang No.8 tahun 1983 dalam pasal 4A ayat 2 : 2. Penetapan jenis barang yang tidakdikenakan Pajak Pertambahan Nilai didasarkanatas kelompok-kelompok barang sebagai berikut : a. barang hasil pertambangan atauhasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b. barang-barang kebutuhan pokokyang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; c. makanan dan minuman yangdisajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya; d. uang, emas batangan, dansurat-surat berharga. Sesuai peraturan pelaksana yaitu PP No.144 tahun 2000 : Jenis barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a adalah: a. minyak mentah (crude oil); b. gas bumi; c. panas bumi; d. pasir dan kerikil; e. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan f. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih bauksit. Dengan peraturan baru tersebut yang menetapkan bahwa batubara sebelum diproses menjadi briket batubara tidak dikenakan PPN (termasuk bukan barang kena pajak) semakin menegaskan kembali polemik yang terjadi mengenai restitusi PPN pada batubara. Tetapi, meskipun kontraktor lewat Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) tetap berupaya mengajukan uji materil terhadap PP 144/2000 ke Mahkamah Agung, namun MA menyebutkan dalam jawabannya : Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang ULDILTUN dalam suratnya Nomor 2/Td.TUN/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 hal Permohonan Pertimbangan Hukum, berpendapat : a. Bahwa sesuai Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Hak Uji Materiil, Gugatan dan Permohonan Keberatan atas peraturan perundang-

19

undangan di bawah Undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. b. Bahwa telah disadari sesungguhnya memang tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan uji materiil atas Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan pertimbangan telah melampaui batas waktu yang ditetapkan dalam PERMA tersebut. c. Bahwa walaupun tenggang waktu untuk melakukan uji materiil atas Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai telah lewat, Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang ULDILTUN tetap memberikan pertimbangan hukum dan berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sesungguhnya secara substansial memang benar telah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang oleh karena itu Peraturan Pemerintah tersebut batal demi hukum sejak dikeluarkan dan tidak dapat diberlakukan secara umum.

Jawaban tersebut ternyata dapat menepis anggapan bahwa PP 144 2000 dapat dihapuskan. Sebab, pernyataan tersebut bukan merupakan uji materiil melainkan hanya pendapat hukum MA dan tidak mengikat siapapun. Sehingga permohonan restitusi PPN pun tetap tidak mudah bahkan tidak mungkin untuk direalisasikan.

Menurut beberapa ahli diantaranya : Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave (1989) adalah bukan merupakan jenis pajak baru melainkan merupakan pajak penjualan, perbedaan sematamata cara mengadministrasikannya sebagaimana dikatakan oleh kedua ahli tersebut dalam Public Finance in Theory and Practice, The Fourth : the value added tax is not genuinely new form of taxation, but merely a sales tax which is administrated in different from.. Undang-Undang PPN di Indonesia secara jelas menyatakan pula bahwa PPN yang diberlakukan mulai tahun 1985 adalah suatu jenis Pajak Penjualan. Hal ini terlihat
20

dalam Penjelasan Umum Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam alinea kelima, yang menyatakan antara lain, Pajak Penjualan dengan sistem pengenaan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ini diberlakukan untuk menggantikan Pajak Penjualan yang sekarang berlaku. Pendapat para ahli perpajakan dan Penjelasan Umum UU PPN seperti diuraikan diatas, menunjukan secara jelas bahwa PPN merupakan Pajak Penjualan dan bukan merupakan jenis pajak baru.

Sejalan dengan pernyataan tersebut maka pembayaran PPN yang telah dilaksanakan oleh enam perusahaan batubara dalam PKP2B merupakan salah satu kewajiban dalam perjanjian PKP2B menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Oleh karena itu, hak restitusi PPN sebenarnya bukan termasuk dalam pajak selain yang disebutkan dalam kontrak atau pajak yang dapat di reimburse oleh pemerintah.

2.2 Royalti Batubara

berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11.1 PKP2B maka ketentuan pembagian seluruh hasil penambangan batubara setiap tahunnya antara kontraktor dan Pemerintah terhitung sejak dimulainya produksi komersial dengan perincian sebagai berikut : (i) Hak atas hasil batubara yang dimiliki oleh kontraktor adalah sebesar 86,5% (delapan puluh enam koma limapersen); dan (ii) Hak atas hasil batubara yang dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral adalah sebesar 13,5% ;

Pernyataan tersebut pada huruf ii merupakan kewajiban royalti atau iuran tetad dan iuran produksi yang wajib dibayarkan oleh perusahaan yang tergabung dalam Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B), dimana bagi pemerintah royalti adalah salah satu jenis pendapatan Negara bukan pajak.

21

Melalui perjanjian kerjasama penjualan batubara, pemerintah menunjuk perusahaan untuk menjualkan batubara bagian pemerintah. Dengan demikian, royalty yang dibayarkan perusahaan ialah penjualan batubara bagian pemerintah, dikurangi dengan pengeluaran bersama yang diperhitungkan secara proporsional.

Aturan-aturan PKP2B tentang royalty : 1. royalti wajib dibayar pert riwulan 2. perusahaan wajib menyetorkan langsung ke kas Negara 3. terlmbat menyetor, perusahaan dikenakan denda 2% perbulan untuk mata uang rupiah dan 1% untuk mata uang US$ 4. jika terjadi keterlambatan dalam menyetor, Direktur Pembinaan Pengusaha Mineral Batubara, Ditjen Minerbapapum akan mengirimkan pemberitahuan atau surat teguran kepada perusahaan. 5. jika perusahaan tidak segera menanggapi ( surat teguran atas tunggakan royalti ) Ditjen Minerbapapumakan memutuskan surat kontrak sepihak.

2.3 Hubungan Antara Polemik Restitusi PPN dan Penahanan Royalti

Berdasarkan perjanjian PKP2B mengenai kewajiban pemerintah (Departemen ESDM) untuk mebayar, menanggung, dan membebankan kontraktor atas segala pajak selain yang disebutkan dalam kontrak, dalam hal ini pembayaran pajak pertambahan nilai (PNN) oleh perusahaan yang bernaung dalam PKP2B, membuat keenam perusahaan PKP2B bersikukuh untuk tetap memperjuangkan restitusi PPN yang menjadi hak bagi ke enam perusahaan tersebut.

Hal tersebut ternyata berdampak pada penyenderaan royalti yang seharusnya menjadi kewajiban bagi kontraktor batubara kepada pemerintah terkait perjanjian PKP2B sebesar 13,5% dari total produksi pertahun. Menurut data Ditjen Kekayaan Negara Depkeu, jumah tunggakan dana hasil batubara sejak 2001 hingga 2006 mencapai Rp 864.000.000.000 dan US$330,20 Juta (atau sekitar Rp 3,9 triliun). Berdasarkan data ESDM tercatat hingga tahun 2007 mencapai Rp 7 triliun.

22

Pernyataan Surat Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen ESDM No.2162/84/DJG/2001 tertanggal 18 september 2001 yang ditujukan ke Dirjen Lembaga Keuangan Depkeu. Pada butir 6-e surat itu disebutka, khusus untuk PKP2B generasi I dan sesuai pasal 11 ayat 3, PPN yang tidak dapat direstitusi akan dibebankan kepada pemerintah dengan memotong Dana Hasil Produksi Batubara (DPHB) (13,5%) yang akibatnya akan mengurangi royalti bagian pemerintah pusat dan daerah. Sumber: martin,sony. 2011. Pajak batubara. Jakarta : NTC halaman 27

Pernyataan tersebut semakin menegaskan alasan perusahaan dalam penahanan royalti sebagai akibat restitusi PPN. Padahal, jika dilihat kembali pada hukum Lex Specialis yang selama ini dianggung-agungkan ketetapannya oleh keenam perusahaan tersebut untuk meyudutkan pemerintah bahwa pemerintah sudah melanggar kontrak perjanjian PKP2B, mengapa dalam hal penahanan royalti perusahaan-perusahaan tersebut berkiblat pada pernyataan Surat Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen ESDM No.2162/84/DJG/2001 bukan pada hukum lex specialis yang seharusnya tetap menjadi acuan perusahaan-perusahaan tersebut dalam mempertahankan hak yang seharusnya didapatkan.

Penyelesaian konflik antara Kontraktor Pertambangan Batubara Generasi Pertama dengan Pemerintah pada akhirnya dikembalikan kepada kontrak karya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan dari para pejabat terkait, baik dari pemerintah maupun Kontraktor Pertambangan atau Asosiasi Pengusaha Pertambangan Indonesia. Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, mengatakan akan mengikuti kontrak karya. Adanya kewajiban pemerintah yang belum dijalankan kepada kontraktor PKP2B Generasi Pertama, bentuknya bukan restitusi PPN melainkan reimbursement PPN.

Lebih lanjut Lutfi menjelaskan pengusaha memberikan komitmen akan memenuhi semua kewajibannya sesuai dalam kontrak. Jika ada pembayaran yang lebih daripada kewajiban, maka harus dikembalikan dalam bentuk reimbursement tidak boleh lebih lama dari 60 hari. Pengusaha dan pemerintah harus sama-sama menghormati kontrak yang seharusnya menjadi guidance. Menteri Keuangan dan Menteri Perekonomian memberi jaminan bahwa pemerintah juga akan

23

menghargai kontrak.Pengusaha pun juga akan hargai kontrak dengan melunasi seluruh kewajiban.

24

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pengaruh Pengaruh Kontrak Perjanjian Karya Pengusaha Batubara terhadap Penerapan UU No.18 Tahun 2000 tentang PPN dan Pembayaran royalty ialah a. terhadap penerapan UU No.18 tahun 2000 : polemik mengenai restitusi PPN yang dihapuskan meskipun secara tersirat sejak UU No.8 tahun 1983 tentang PPN merupakan pengganti dari adanya pajak penjualan (PPn) dimana pajak tersebut merupakan salah satu kewajiban kontraktor dalam perjanjian PKP2B, serta terjadinya perbedaan penafsiran antara pemerintah dan kontraktor batubara dibawah naungan PKP2B yang seharusnya menjadi persoalan yang dapat diselesaikan secara damai tanpa perlu adanya saling menggugat. b. Terhadap pembayaran royalty Polemic yang terjadi akibat restitusi PPN ikut menyeret tertahannya royalti yang harus dibayarkan kepada pemerintah padahal tercantum jelas dalam kontrak mengenai kewajiban dan sanksi pembayaran royalty.

4.2 Saran Sesuai dengan simpulan diatas, untuk mengurangi polemik antara pihak pemerintah dan kontraktor batubara sebaiknya keduabelah pihak selalu berpegang pada Perjanjian Karya Pengusaha Batubara. Selain itu mengadakan pembahasan mengenai kontrak tersebut secara intensif untuk menyamakan persepsi. Kemudian melakukan pembaharuan terkait ketetapan perjanjian agar setiap diksinya jelas dan tidak menimbulkan ambigu.

25

DAFTAR PUSTAKA

martin,sony. 2011. Pajak batubara. Jakarta : NTC


http://www.pajakonline.com http://id.wikipedia.org

budi,Chandra. 2011. Memahami Pajak Batu Bara. artikel

26

You might also like