You are on page 1of 32

SKENARIO 3 RONA MERAH DI PIPI

Seorang wanita, 25 tahun, masuk Rumah Sakit YARSI dengan keluhan demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan, nyeri pada persedian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena sinar matahari. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan di mulut. Pada wajah terlihat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan. Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus. Kemudian dokter menyarankan Pemeriksaan laboratorium hematologi, urin dan markerautoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup.

SASARAN BELAJAR LI. 1 Mampu memahami penyakit autoimun 1.1 Definisi 1.2 Klasifikasi 1.3 Etiologi 1.4 Mekanisme LI. 2 Mampu memahami penyakit Lupus Eritematosus Sistemik 2.1 Definisi 2.2 Prevalensi 2.3 Etiologi 2.4 Patogenesis 2.5 Gejala klinis 2.6 Diagnosis dan diagnosis banding 2.7 Penatalaksanaan 2.8 Prognosis LI. 3 Mampu menjelaskan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis penyakit autoimun LI. 4 Mampu menjelaskan tentang perspektif teologis, tentang kaitan antara kaidah dengan sabar, ikhlas, ridha menghadapi musibah

SASARAN BELAJAR LI. 1 Mampu memahami penyakit autoimun 1.1 Definisi Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun. 1.2 Klasifikasi penyakit organ Antibodi terhadap Organ spesifik T. hashimoto Grave D. Pernisious anemia IDDM Infertilitas laki Nonorgan spesifik Rheumatoid arthritis Virtiligo Kulit persendian Kulit Ginjal sendi SLE Sendi organ DNA RNA nucleiprotein DNA RNA latex Aglutination IgG IgG-latex Aglutination Melanosit tiroid Tiroid Del darah merah Pankreas sperma tiroglobulin TSH recep Intrinsik faktor Sel beta Sperma Aglutinasi immunofluorescen Immunofluorescen RIA Immunofluorescen Immunofluorescen Tes diagnosis

Organ spesifik melibatkan respon autoimun terutama terhadap organ tunggal atau kelenjar. Organ sistemik diarah kan ke jaringan dengan spectrum luas. 1.3 Etiologi Faktor Penyebab Penyakit Autoimun 1. Genetik Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major
3

Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi antiRo/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLADR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.

2. Defisiensi komplemen Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.

3. Hormon Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam

patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.

4. Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.

1.4 Mekanisme Ada beberapa mekanisme mengenai induksi autoimunitas 1.pelepasan antigen sekuester 2.kemiripan molekular 3.ekspresi MHC-II yang tidak sesuai

1.sequestered antigen Adalah antigen sendiri yang kkarena letak anatominya tidak terpajan dengan sel b/ sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomi dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia/ trauma) dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein lensa intraokular, sperma, dan MBP.

2.gangguan presentasi Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respons MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-B) dan gangguan respons terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts/ Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts/ Tr, maka terjadi rengsangan ke sel Th yang akhirnya menimbulkan autoimuntas

3.ekspresi MHC-II yang tidak benar Pada orang sehat, sel B mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak mengekspresikan MHC-II sama sekali. Namun pada penderita dengan IDDM

ekspresi MHC-I dan MHC-II denga kadar tinggi. Contoh lain pada penderita Grave yang mengekspresikan MHC-II pada membran. Ekspresi MHC-II Yng tidak pada tempatnya itu yang biasanya diekspreskan pada APC dapat mensensitasi sel Th terhadap peptida yang berasal dari sel B/ tiroid dan mengaktifkan sel B /Tc/ Th1 terhadap self antigen.

Kerusakan pada penyakit autoimun terjadi melalui antibodi (tipe II dan III), tipe IV yang mengaktifkan sel CD4+ /sel CD8+ kerusakan organ dapat juga terajdi melalui autoantibodi yang mengikat tempat fungsional self antigwn seperti reseptor hormon, reseptor neurotransmitor, dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat menyerupai /menghambat efek ligan endogen untuk self protein yang menibulkan gangguan fungsi tanpa terjadinya inflamasi/ kerusakan jaringan fenomena ini terliha t pda penyakit autoimunitas endokrin dengan autoantibodi yang menyerupai/ menghambat efek hoormon seperti TSH, yang menimbulkan aktifitas berlebihan/ kurang dari tiroid.

LI. 2 Mampu memahami penyakit Lupus Eritematosus Sistemik 2.1 Definisi SLE merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi yang berlebih terhadap komponenkomponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Penyakit ini multi sistim dengan etiologi dan patogenesis yang belum jelas. Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat matahari), multifaktor yang melibatkan faktor lingkungan (terpapar oleh

genetik (keturunan) dan

hormonal (berkaitan dengan hormon

testosteron dan LH untuk laki-laki dan estrogen untuk perempuan, dengan penderita lebih banyak pada wanita). Terganggunya mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari sel-sel yang mengalami apoptosis dan kompleks imun berperan penting terhadap terjadinya SLE. Hilangnya toleransi imun, banyaknya antigen, meningkatnya sel T helper, terganggunya supresi sel B dan perubahan respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan terbentuknya autoantibody.

2.2 Prevalensi Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada rasras tertentu seperti bangsa Afrika Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006). Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.

2.3 Etiologi 1. Genetik: a. Sering pada anggota keluarga dan saudara kembar monozigot (25%) dibanding kembar dizigotik (3%), berkaitan dengan HLA seperti DR2, DR3 dari MHC kelas II. b. Individu dengan HLA DR2 dan DR3 risiko 2-3 kali dibanding dengan HLA DR4 dan HLA DR5. c. Gen HLA diperlukan untuk proses pengikatan dan presentasi antigen, serta aktivasi sel T. d. Haploptip (pasangan gen yang terletak dalam sepasang kromosom yang menetukan ciri seseorang), HLA menggangu fungsi sistem imun yang menyebabkan peningkatan autoimunitas.
7

Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.

2. Defisiensi komplemen a. Defisiensi C3 / C4 jarang pada yang manifestasi kulit dan SSP. b. Defisiensi C2 pada LES dengan predisposisi genetik. c. 80% penderita defisiensi komplemen herediter cenderung LES. d. Defisiensi C3 menyebabkan kepekaan tehadap infeksi meningkat, yang akan menyebabkan predisposisi penyakit kompleks imun. e. Defisiensi komplemen menyebabkan eliminasi kompleks imun terhambat, menaikkan jumlah kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi lebih lama, lalu mengendap di jaringan yang menyebabkan berbagai macam manifestasi LES.

3. Hormon a. Estrogen : imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral yang akan menekan fungsi sel Ts dengan mengikat reseptor menyebabkan peningkatan produksi antibodi. b. Androgen akan induksi sel Ts dan menekan diferensiasi sel B (imunosupresor). c. Imunomodulator adalah zat yang berpengaruh terhadap keseimbangan sistem imun. d. 3 jenis imunomodulator : Imunorestorasi Imunostimulasi Imunosupresi

4. Autoantibodi

5. Lingkungan a. Bakteri atau virus yang mirip antigen atau berubah menjadi neoantigen. b. Sinar UV akan meningkatkan apoptosis, pembentukan anti DNA kemudian terjadi reaksi epidermal lalu terjadi kompleks imun yang akan berdifusi keluar endotel setelah itu terjadi inflamasi.

2.4 Patogenesis Faktor pemicu akan memicu sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi dan ekspansi sel B. Lalu, akan muncul antibodi terhadap antigen nukleoplasma,
9

meliputi DNA, nukleoprotein, dan lain- lain yang akan membentuk kompleks imun.Kompleks imun dalam keadaan normal, dalam sirkulasi diangkut oleh eritrosit ke hati dan limpa lalu dimusnahkan oleh fagosit. Tetapi dalam LES, akan terdapat gangguan fungsi fagosit, yang akan menyebabkan kompleks imun sulit dimusnahkan dan mengendap di jaringan. Lalu, kompleks imun tersebut akan mengalami reaksi hipersensitivita tipe IV.

2.5 Gejala klinis Macam-Macam Lupus Eritematosus Sistemik a. Lupus eritematosus sistemik b. Merupakan tipe lupus yang paling serius Menyerang organ tubuh seperti otak, hati, paru dan ginjal

Lupus diskoid Hanya menyerang kulit yang menyebabkan rash pada muka, leher, kulit kepala dan telinga

c.

Lupus obat Disebabkan oleh reaksi dari beberapa jenis obat Ketika terjadi penghentian obat, maka gejalanya akan hilang

d.

Lupus neonatal Lupus yang dipindahkan dari ibu ke bayi

Kulit Sebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Sekitar 7% Lupus diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu dimonitor secara rutin Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. Serositis (pleuritis dan perikarditis) Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial.
10

Ginjal Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, urutan jenis lupus nefritis yang terjadi pada anak berdasarkan prevalensinya adalah : (1) Klas IV, diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN) sebesar 40%-50%; (2) Klas II, mesangial nephritis (MN) sebesar 15%-20%; (3) Klas III, focal proliferative (FP) sebesar 10%-15%; dan (4) Klas V, membranous pada > 20%. Hematologi Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, trombositopenia, dan lekopenia. Pneumonitis interstitialis Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut. Susunan Saraf Pusat (SSP) Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan. Arthritis Dapat terjadi pada lebih dari 90% anak dengan LES. Umumnya simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis
11

menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi.Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES. Fenomena Raynaud Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal. Gejala yang lain: 1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95 % 2. Demam di atas 38oC 90 % 3. Bengkak pada sendi (arthriis) 90 % 4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue) berkepanjangan 81 % 5. Ruam pada kulit 74 % 6. Anemia 71 % 7. Gangguan ginjal 50 % 8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45 % 9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42 % 10. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30 % 11. Rambut rontok 27 % 12. Gangguan abnormal pembekuan darah 20 % 13. Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena Raynauds) 17 % 14. Stroke 15 % 15. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan 12 % 16. Selera makan hilang > 60 %

2.6 Diagnosis dan diagnosis banding Karena pasien dengan lupus eritematosus sistemik bisa memiliki gejala yang sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak ada pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk membantu keakuratan diagnosis lupus eritematosus sistemik, sebelas kriteria diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika. Kesebelas kriteria tersebut berkaitan dengan gejalagejala yang di diskusikan diatas. Beberapa pasien yang dicurigai menderita lupus
12

eritematosus sistemik mungkin tidak pernah memenuhi kriteria yang cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain mungkin mengumpulkan kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan atau tahun setelah observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih kriteria berikut, diagnosis lupus eritematosus sistemik sangat mungkin. Namun demikian, diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat ditegakkan pada pasien dengan kondisi tertentu dimana hanya sedikit kriteria yang dapat dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang lain dapat berkembang kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian

No 1

Kriteria Bercak malar (butterfly rash)

Definisi Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial

Bercak diskoid

Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi

Fotosensitif

Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik

Ulkus mulut

Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi

Artritis

Serositif

a. Pleuritis Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik atau

13

b. Perikarditis Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik 7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan atau b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran 8 Gangguan saraf Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) atau Psikosis Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) 9 Gangguan darah Anemia hemolitik dengan retikulositosis Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan Terdapat salah satu kelainan darah Kejang

14

Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat 10 Gangguan imunologi Anti ds-DNA diatas titer normal Anti-Sm(Smith) (+) Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema 11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+) Terdapat salah satu kelainan

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas Sebagai tambahan dari sebelas kriteria tersebut, pengujian lainnya dapat membantu mengevaluasi pasien dengan lupus eritematosus sistemik untuk menentukan keparahan organ-organ yang terlibat. Termasuk diantaranya darah rutin dengan laju endap darah, pengujian kimia darah, analisa langsung cairan tubuh lainnya, serta biopsi jaringan. Kelainan cairan tubuh dan sampel jaringan dapat membantu diagnosis lanjut lupus eritematosus sistemik Komplikasi LES pada anak meliputi:

15

Hipertensi (41%) Gangguan pertumbuhan (38%) Gangguan paru-paru kronik (31%) Abnormalitas mata (31%) Kerusakan ginjal permanen (25%) Gejala neuropsikiatri (22%) Kerusakan muskuloskeleta (9%) dan Gangguan fungsi gonad (3%)

Diagnosis banding Dengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang didiagnosis banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan LES mempunyai gejala-gejala yang dapat menyerupai LES, yaitu arthritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura

trombositopenik. 2.7 Penatalaksanaan Penyuluhan dan intervensi psikososial merupakan hal penting dalam penatalaksanaan penderita yang baru terdiagnosis SLE. Sistemik Lupus Eritematosus merupakan golongan penyakit yang dapat relaps dan remisi. Penatalaksanaan ditujukan pada manifestasi yang terjadi pada penyakit imun ini dan pada strategi-strategi pencegahan seperti : Perlindungan terhadap sinar UV (penderita mengalami fotosensitifitas) Profilaksis antibiotik (penderita menjalani tindakan-tindakan invasif) Pengaturan kehamilan (terutama pada penderita nefritis lupus/penderita mendapat terapi antimalaria atau siklifosfamid) Evaluasi serta terapi terhadap infeksi

Pemantauan klinis yang ketat, dengan penilainan perkembangan penyakit secara rutin, penting untuk menentukan kebutuhan terapi antiinflamasi dan imunosupresi, terutama untuk meminimalkan kerusakan ginjal dan sistem saraf pusat. Penderita SLE mendapat terapi tergantung tingkat keparahan yang dialami :

16

Terapi konservatif Diberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ. Bila dipertimbangkan pemberian glukokortikoid dapat diberikan prednison 0.5 mg/kgBB/hari. Arthritis, arthralgia, myalgia

Merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan ringan seperti ini dapat diberikan analgetik sederhana/obat antiinflamasi nonsteroid, tetapi pemberiannya dihentikan bila menunjukkan efek samping yang memperberat keadaan umum penderita, seperti pada sistem gastrointestinal, hepar, dan ginjal sehingga diperlukan pemantauan kreatinin serum berkala. Bila pemberian analgetik dan OAINS tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian obat antimalaria : Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan respon baik, maka pemberian dihentikan). Hidroksiklorokuin (> 6 bulan pemakaian) dan klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu diperiksa oftalmologik karena beresiko toksik terhadap retina.

Bila pemberian OAM tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg/pagi hari). Metotreksat (7.5-15 mg/minggu) dan diberikan berdampingan dengan obat anti artritis. Bila terjadi artralgia pada 1 atau 2 sendi yang menetap dan bukan merupakan bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakit, kemungkinan penderita mengalami osteonekrosis (terutama pada penderita terapi

kortikosteroid). Osteonekrosis awal, sering tidak menunjukkan gambaran bermakna pada foto radiologik konvensional, sehingga memerlukan pemeriksaan MRI.

Lupus kutaneus

Sekitar 70% mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE timbul bila penderita terpapar sinar UV, inframerah, fluoresensi. Sehingga perlu diberikan sunscreen berupa cream, minyak, lotion, atau gel yang mengandung PABA (aminobenzoit acid) dan esternya, benzofenon, salisilat, sinamat yang kesemuanya

17

dapat menyerap sinar UV dan (pemakaian diulang setelah mandi dan berkeringat).

Glukokortikosteroid lokal (cream, salep, atau injeksi) dapat dipertimbangkan pada dematitis lupus, pemilihan preparat harus diperhatikan karena bersifat diflorinasi (atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitis), anjuran preparat steroid untuk kulit : Muka [steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi (hidrokortison)] Badan dan lengan [steroid lokal berkekuatan sedang (betametason valerat dan triamsinolon asetonid)] Palmar dan plantar pedis dengan lesi hipertrofik (glukokortikoid berkekuatan tinggi contohnya betametason dipropionat, penggunaan cream dibatasi selama 2 minggu dan diganti dengan yang berkekuatan rendah)

OAM sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik subakut maupun diskoid. OAM mempunyai efek : o o o Sunblocking Mengikat melanin Antiinflamasi Imunosupresan Berhubungan dengan ikatannya pada membran lisosomal sehinggga mengganggu metabolisme rantai dan HLA II. o Mengurangi pelepasan IL-1, IL-6, TNF- oleh makrofag, IL-2 dan IFN- oleh sel T. Pada penderita resisten OAM, dapat dipertimbangkan pemberian

glukokortikoid sistemik dan obat eksperimental lainnya.

Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis, lesi LE berbula, selain itu perhatikan efek sampingnya seperti : o o Methemoglobinemia Sulfhemoglobinemia
18

Anemia hemolitik (memperburuk ruam LE kulit)

Fatigue dan keluhan sistemik

Fatigue merupakan keluhan yang sering terjadi, demikian juga penurunan berat badan, dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup dengan menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan akitivitas SLE dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.

Serositis (radang membran serosa)

Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15 mg/hari). Pada keadaan berat diberikan glukokortikoid sistemik.

Terapi agresif Pemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya : Vaskulitis Lupus kutaneus berat Poliartritis Poliserositis Miokarditis pneumonitis lupus Glomerulonefritis (bentuk proliferatif) Anemia hemolitik Trombositopenia Sindrom otak organik Defek kognitif berat Mielopati Neuropati perifer Krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)
19

Dosis glukokortikoid lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan jenisnya yang akan diberikan. Sebaiknya hindari pemberian deksametason karena berefek panjang, lebih baik menggunakan prednison karena lebih mudah untuk mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan pada pagi hari. Pada manifestasi berat dapat diberikan prednison 1-1.5 mg/kgBB/hari.

Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1.5 mg/kgBB/hari. Efek terapi dapat terlihat secepat mungkin atau mungkin 6-10 minggu kemudian. Toksisitas SLE merupakan masalah tersendiri pada penatalaksanaan SLE.

Setelah pemerian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus dilakukan penurunan dosis bertahap (5-10%) setiap minggu agar tidak timbul ekserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2.5 mg/minggu. Setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul ekserbasi akut, naikkan dosis hingga dosis efektif sampai beberapa minggu, kemudian turunkan dosis kembali.

Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, maka pertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. Obat sitotoksik adalah bolus siklofosfamid intravena 0.5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0.9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat. Siklofosfamid diindikasikan pada : Penderita SLE dengan terapi steroid dosis tinggi (steroid sparing agent) Penderita SLE dengan kontraindikasi terhadap steroid dosis tinggi Penderita yang kambuh setelah diterapi dengan steroid jangka panjang lama atau berulang Glomerulonefritis difus awal SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid
20

Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktorfaktor ekstrarenal lainnya. SLE dengan manifestasi SSP

Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian

siklofosfamid, segera pantau jumlah leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis yang tidak adekuat, sehingga harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid diberikan, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi : Nausea Vomitus alopesia Sistitis hemoragika Keganasan kulit Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia

Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih rendah dari siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif siklofosfamid dengan dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE, setelah penyakitnya dapat dikontrol dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin dapat diturunkan perlahan dan dihentikan. Toksisitas dari azatioprin meliputi : Penekanan sistem hemopoetik Peningkatan enzim hati Mencetuskan keganasan

Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada SLE baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa.
21

Selama pemberian harus diperhatikan tekanan darah dan kada kreatinin darah, bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar sebelum pemberian siklosporin maka dosis harus diturunkan.

Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu : Terapi hormonal Imunoglobulin Afaresis o Plasmafaresis o Leukofaresis o Kriofaresis Yang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang dapat mengatasi trombositopenia pada SLE. Mekanismenya tidak diketahui secara pasti. Pemberian Ig intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Pemberian Ig kontraindikasi mutlak dengan penderita defisiensi IgA pada penderita SLE.

Penatalaksanaan SLE keadaan khusus Trombosis Merupakan manifesatasi SLE dan berhubungan dengan adanya antibodi antifosfolipid. Antikoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya (warfarin) dan mempertahankan nilai INR (international normalization ratio) 3 3,5, terutama pada trombosis arteri karotis interna. Antikoagulan lupus berespon baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan sedangkan antibodi antikardiolipin sangat resisten terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lainnya.

Abortus berulang pada SLE Disebabkan oleh aktivitas SLE atau adanya antibodi antifosfolipid, untuk menekan aktivitas SLE, glukokortikoid cukup aman dan tidak mempengaruhi janin kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalam bentuk aktif. Pada penderita yang belum pernah mengalami abortus, dapat

22

dipertimbangkan untuk tidak diberikan terapi apapun. Makin sering terjadi abortus, kemungkinan mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi perlu diberikan. Pilihan terapi : Aspirin dosis rendah Kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid dosis sedang Glukokortikoid dosis tinggi Glukokortikoid dosis tinggi dengan aspirin Heparin (warfarin bersifat teratogenik pada kehamilan trimester I)

Semua regimen ini meningkatkan keberhasilan kehamilan secara bermakna, pemantauan pada ibu dan janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.

Lupus neonatal Merupakan sindrom pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita SLE. Gejala paling sering adalah ruam kemerahan dikulit disertai plakat. Lesi ini berhubungan dengan transmisi antibodi Anti Ro (SS-A) melalui plasenta. Kelainan yang serius seperti blok jantung kongenital jarang terjadi. Sehingga pada wanita hamil perlu diperiksa kemungkinan adanya antibodi anti-Ro.

Trombositopenia Pertama-tama cari penyebab terjadinya trombositopenia : Efek samping obat Purpura trombositopenia trombotik Infeksi virus (HIV, HBV, CMV) Infeksi bakteri (Endokarditis bakterialis, sepsis gram-negatif)

Berikan prednison 0.5-1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah trombosit < 50.000/ml kemudian turunkan dosis secara perlahan, target terapi ini trombosit > 50.000/ml. Bila prednison tidak berefek baik, berikan danazol 400800 mg/hari, Ig atau splenektomi. Pada penderita yang resisten atau penderita dengan keterlibatan organ mayor dapat diberikan bolus siklofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan.

SLE pada susunan saraf pusat


23

Penderita SLE pada susunan saraf pusat dibagi menjadi dua, yaitu : Penderita dengan strok Pemberian antikoagulan lebih berguna dibandingkan pemberian imunosupresan Penderita dengan kelainan SSP yang lebih luas Apabila disertai vaskulitis perifer, maka imunosupresan menjadi pilihan utama.

Pada penderita SLE dengan kejang-kejang tanpa aktivitas pada organ lain, dapat diberikan antikonvulsan tanpa imunosupresan. Pada penderita psikotik tanpa manifestasi SLE lain cukup diberikan obat psikoaktif. Kelainan kognitif ringan dapat diberikan prednison 30mg/hari selama beberapa minggu lalu dosis diturunkan secara bertahap. Pada sindrom otak organik berat, koma, mielopati diberikan terapi agresif dengan glukokortikoid dosis tinggi, dengan atau tanpa obat sitotoksik.

Nefritis lupus Penatalaksanaan umum : 1. Penderita yang diduga menderita nefritis lupus, harus dilakukan biopsi ginjal (bila tidak ada kontraindikasi) guna menentukan strategi penatalaksanaan lebih lanjut. 2. Kurangi asupan : a. Garam (bila ada hipertensi) b. Lemak (bila ada dislipidemia) c. Protein (bila fungsi ginjal mulai terganggu) 3. 4. 5. 6. 7. Perhatikan asupan kalsium untuk mencegah osteoporosis akibat steroid Berikan loop diuretics untuk mengatasi edema Hindari penggunaan salisilat dan OAINS Terapi agresif terhadap hipertensi Hindrai kehamilan, karena beresiko tinggi untuk mengalami kegagalan ginjal 8. Penderita nefritis lupus dengan manifestasi SLE kulit, dapat diberikan OAM

24

9.

Pemantauan berkala aktifitas penyakit dan fungsi ginjal meliputi : a. Tekanan darah b. Sedimen urin c. Kreatinin serum d. Albumin serum e. Protein urin 24 jam f. Komplemen C3 g. Anti DNA

2.8 Prognosis Angka harapan hidup : 5 tahun : 85-88% 10 tahun : 76-87% Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat : Infeksi penyakit Nefritis lupus Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya) Penyakit kardiovaskular Lupus sistem saraf pusat

Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.

LI. 3 Mampu menjelaskan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis penyakit autoimun Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah lengkap untuk melihat jumlah leukosit, trombosit, limfosit dan kadar Hb dan LED. LED yang meningkat menandakan aktifnya penyakit.

25

Pemeriksaan CRP sangat membantu untuk membedakan lupus aktif dengan infeksi. Pada lupus yang aktif kadar CRP norma atau meningkat tidak bermakna, sedangkan pada infeksi terdapat peningkatan CRP yang sangat tinggi. Pemeriksaan komplemen C3 dan C4 membantu untuk menilai aktivitas penyakit. Pada keadaan aktif kadar kedua komplemen ini rendah. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Lab yang dilakukan thd pasien SLE: Tes ANA (Anti Nuclear Antibody) Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifitas yang rendah Tes Anti dsDNA (double stranded) Tes ini sangat spesifik untuk SLE, biasanya titernya akan meningkat sebelum SLE kambuh. Tes Antibodi anti-S (Smith) Antibodi spesifik terdapat 20-30% pasien Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus anti SSB, dan antibodi antikardiolipin). Titernya tidak terkait dengan kambuhnya SLE Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik) Tes sel LE Kurang spesifik dan juga positif pada arthritis rheumatoid, syndrome sjogren, scleroderma, obat, dan bahan-bahan kimia lain Tes anti ssDNA (single stranded) Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis

Pemeriksaan serologi Tes ANA merupakan pemeriksaan serologi awal. ANA tes juga di pakai untuk menilai aktivitas penyakit. Antibodi antibodi lainnya mempunyai sensitivitas dan spesivitas yang berbeda beda.

26

Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk membuat diagnosa SLE, antara lain : 1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA) yaitu : pemeriksaan untuk menentukan apakah auto-antibodi terhadap inti sel sering muncul di dalam darah. 2. Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ). yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di dalam sel. 3. Pemeriksaan anti-Sm antibodi yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yang ditemukan dalam sel protein inti). 4. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes (kekebalan) di dalam darah 5. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok protein yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilai tingkat spesifik dari C3 dan C4 dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini. 6. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep) yaitu : pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang dipengaruhi membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain pemeriksaan ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingkan dengan LE cell prep. 7. 8. 9. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit Urine Rutin Antibodi Antiphospholipid

10. Biopsy Kulit 11. Biopsy Ginjal Hasil pemeriksaan ANA positif pada hampir semua pasien dengan sistemik lupus dan ini merupakan pemeriksaan diagnosa terbaik yang ada saat ini untuk mengenali sistemik lupus.

27

Hasil pemeriksaan ANA negatif merupakan bukti kuat bahwa lupus bukanlah penyebab sakitnya orang tersebut --- walaupun sangat jarang terjadi dimana SLE muncul tanpa ditemukannya ANA.

Kemungkinan seseorang mempunyai pemeriksaan ANA positif akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pola dari hasil pemeriksaan ANA sangat membantu dalam menentukan jenis penyakit auto imun yang muncul dan menentukan program pengobatan seperti apa yang cocok bagi seorang pasien Lupus. Hasil pemeriksaan ANA bisa positif pada banyak keadaan, oleh karena itu dalam pemeriksaan ANA harus di dukung dengan catatan kesehatan pasien serta gejala-gejala klinis lainnya. Karena itu apabila hasil tes laboratorium ANA positif (hanya ANA saja) tidak cukup untuk mendiagnosa lupus. Lain halnya jika ANA negatif merupakan bantahan terhadap lupus akan tetapi tidak sepenuhnya mengesampingkan adanya penyakit tersebut. Bagaimanapun juga jika hasil pemeriksaan ANA positif, bukanlah bukti keberadaan Lupus, karena hasil pemeriksaan juga bisa positif terhadap : Orang - orang dengan penyakit jaringan connective lainnya. Pasien yang sedang diobati dengan obat-obatan tertentu, misal menggunakan obat prokrainamid, hidralazin, isoniazidklorpromazin. dan Orang-orang dengan kondisi selain dari lupusseperti skeloderma, sjogrens syndrome,rematik arthritis, penyakit kelenjar gondok (thyroid), penyakit hati (liver) http://mandumna.webuda.com/1_30_8-Pemeriksaan-Laboratorium.htm

LI. 4 Mampu menjelaskan tentang perspektif teologis, tentang kaitan antara kaidah dengan sabar, ikhlas, ridha menghadapi musibah 1. SABAR Definisi sabar Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah berfirman:

28

Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari. (Al-Kahfi: 28)

Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka. Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah, Allah berfirman: Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya (Ar-Rad: 22). Macam macam sabar Sabar terdiri dari 3 macam, yaitu: 1) 2) 3) Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.

2. IKHLAS Definisi ikhlas Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Definisi ikhlas menurut istilah syari (secara terminologi)

Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui
29

apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu). Ayat ayatal-quran tentang ikhlas : "Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. AzZumar: 2-3). "Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama." (QS. Az-Zumar: 23). 3. RIDHO Definisi ridho Ridho ( ) berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha

dan qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya. Macam macam ridho Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah terbagi menjadi tiga macam: 1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam dan segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan
30

bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk kepentingan kita sebagai umat-Nya. 2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang hamba. Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja tidak rela terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah hal-hal yang sangat diharamkan oleh syariat. 3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas qodha Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk dihilangkan. Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan dan kemungkaran di muka bumi. Ayat al-quran tentnag ridho

Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali Imran ayat 19)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu alaih wa sallam itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab ayat 21) Sumber : eramuslim ( media islam rujukan ) www.harunyahya.com.indo ads.machbudin.com
31

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja KG, Rengganis I. (2010). Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Davey P. (2002). Medicine at a Glance. England : Blackwell Science Ltd. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. (2005). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Isbagio H, Kasjmir Y.I, Setyohadi B, Suarjana N. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, vol III Jakarta : Departemen Penyakit Dalam FKUI. Scrib, Interisti B. (2010). SLE. Silbernagl S, Lang F. (2007). Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC. http://www.scribd.com/doc/20459556/SLE http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/7_edited.pdf http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/1833314-penyakityang-paling-banyak-diderita/##ixzz1NqiOTl52 ners.unair.ac.id/materikuliah/IMUNOPATOLOGI.pdf repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7905/1/09E02736.pdf Systemic Lupus Eritematosus. Available at : http//www.medicinet.com/systemic_lupus Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus. Available at : http//www.geocities.com/alam_penyakit/ PenyakitSistemikLupusErithematosus.htm patoghenesis Lupus Erythematosus. Available at : http//www.thedoctordoctor.com/disease

32

You might also like