You are on page 1of 30

DAFTAR ISI

I. II.

Pendahuluan....................................................................................................1 Pembahasan.....................................................................................................2 2.1 Anatomi Saluran Nafas Atas2 2.2 Pengelolaan Jalan Nafas...3 2.2.1 2.2.2 Pengelolaan Jalan Nafas Tanpa Alat......4 Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat...7 2.2.2.1 Pengertian Intubasi7 2.2.2.2 Tujuan Intubasi..7 2.2.2.3 Indikasi & Kontraindikasi Intubasi7 2.2.2.4 Kesulitan Intubasi..8 2.2.2.5 Persiapan Intubasi.14 2.2.2.6 Cara Intubasi.19 2.2.2.7 Ekstubasi Perioperatif...22 2.2.2.8 Komplikasi22 Penutup..26 Daftar Pustaka

III.

BAB I PENDAHULUAN

Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah. Seorang dokter anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas. Kesulitan terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting dalam latihan penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit penting untuk dilakukan penanganan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1 18% pasien memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Dari jumlah ini 0,05 0,35% pasien tidak dapat diintubasi dengan baik, bahkan sejumlah lainnya sulit untuk diventilasi dengan sungkup. Jika kondisi ini ditempatkankan pada seorang dokter yang memiliki pasien sedang sampai banyak maka dokter tersebut akan menemui 1 10 pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit untuk diintubasi. Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan otak sampai kematian. Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter anestesi adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal tanpa pengaruh yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan nafas.

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Anatomi Saluran Nafas Atas Napas manusia dimulai dari lubang hidung. Usaha bernapas menghantarkan udara lewat saluran pernapasan atas dan bawah kepada alveoli paru dalam volume, tekanan, kelembaban, suhu dan keberhasilan yang cukup untuk menjamin suatu kondisi ambilan oksigen yang optimal, dan pada proses sebaliknya, juga menjamin proses eliminasi karbondioksida yang optimal, yang diangkut ke alveoli lewat aliran darah. Hidung dengan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi serta kerja mirip katup dari jaringan erektil konka dan septum, menghaluskan dan membentuk aliran udara, mengatur volume dan tekanan udara yang lewat, dan menjalankan berbagai aktivitas penyesuaian udara (filtrasi, pengaturan suhu dan kelembaban udara). Beberapa daerah hidung dimana jalan napas menyempit dapat diibaratkan sebagai katup. Pada bagian vestibulum hidung, terdapat dua penyempitan demikian. Penyempitan yang lebih anterior terletak diantara aspek posterior kartilago lateralis superior dengan septum nasi. Tiap deviasi septum nasi pada daerah ini sering kali makin menyempitkan jalan napas dengan akibat gejala-gejala sumbatan jalan napas. Deviasi demikian dapat disebabkan trauma atau pertumbuhan yang tidak teratur. Penyempitan kedua terletak pada aperture piriformis tulang. Dalam waktu yang singkat saat udara melintasi bagian horizontal hidung yaitu sekitar 16-20 kali per menit, udara inspirasi dihangatkan (didinginkan) mendekati suhu tubuh dan kelembaban relatifnya dibuat mendekati 100 persen. Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Nasofaring meluas dari dasar tengkorak sampai batas palatum mole. Orofaring meluas dari batas palatum mole sampai batas epiglottis, sedangkan di bawah epiglottis adalah laringofaring atau hipofaring. Nasofaring meluas dari dasar tengkorak pada langit-langit lunak di aspek caudal dari atlas (C1). Dari sini pada aspek caudal dari C3 terletak orofaring, yang didepan batas adalah persimpangan antara dua pertiga anterior dan sepertiga posterior lidah. laryngopharyng atau hipofaring bergabung pada C6 dengan esofagus. Di sana, cricopharyngeus (serat lebih rendah inferior pembatas), berasal pada krikoid yang tulang rawan, mengelilingi esofagus untuk membentuk sfingter atasnya.

2.2. Pengelolaan Jalan Nafas Pengelolaan jalan nafas ialah memastikan jalan napas terbuka. Menurut The Commite on Trauma: American College of Surgeon tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan. Terdapat 2 cara untuk mengelola jalan nafas:

2.2.1. Pengelolaan Jalan Nafas tanpa Alat Adalah tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap memperhatikan kontrol servikal. Terlebih dahulu pernafasan dinilai dengan cara: L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi penolong Selanjutnya, tindakan pengelolaan jalan nafas yang dapat dilakukan adalah: 1. Membuka jalan nafas dengan proteksi cervical a. Chin Lift Dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan. Caranya yaitu dengan menggunakan jari tengah dan telunjuk untuk memegang tulang dagu pasien kemudian angkat. b. Head Tilt Dlilakukan bila jalan nafas tertutup oleh lidah pasien, manuver ini tidak boleh dilakukan pada pasien dengan dugaan fraktur servikal. Caranya adalah dengan meletakkan satu telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah sehingga
4

kepala menjadi tengadah dan penyangga leher tegang dan lidahpun terangkat ke depan. c. Jaw thrust Caranya adalah dengan mendorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala, hanya dilakukan maneuver jaw thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher. Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah. Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari. Apabila terjadi kegagalan dalam membuka nafas dengan cara ini, perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas (apnea). Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada sumbatan pada jalan nafas dan dilakukan maneuver Heimlich. Tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas tambahan): Mendengkur (snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara mengatasi: chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal. Berkumur (gargling), penyebab: ada cairan di daerah hipofaring. Cara mengatasi: finger sweep, pengisapan/suction. Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi:

cricotirotomi, trakeostomi.

2. Membersihkan jalan nafas Sapuan jari (finger sweep) Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya sehingga hembusan nafas hilang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas (maneuver emaresi) Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan sarung tangan/kassa/kain untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan menyapu. 3. Mengatasi sumbatan nafas parsial Dapat digunakan teknik manual thrust: Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) Manuver ini dapat dilakukan dalam posisi berdiri dan terlentang. Caranya adalah dengan memberikan hentakan mendadak pada ulu hati (daerah subdiafragma abdomen). Penolong harus berdiri di belakang korban, lingkari pinggang korban dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan kepalan tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap hentakan harus terpisah dan gerakan yang jelas. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak (tidak sadar) Korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke atas. Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan kedua diletakkan di

atas tangan pertama. Penolong menekan ke arah perut dengan hentakan yang cepat ke arah atas. Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi terbaring tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP). Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada yang dilakukan sendiri Pertolongan terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi jalan napas. Caranya : kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum, genggam kepala itu dengan kuat, beri tekanan ke atas kea rah diafragma dengan gerakan yang cepat, jika tidk berhasil dapat dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi

Back Blow (untuk bayi) Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak efektif atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/vertebrae)

Chest Thrust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil) Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukanchest thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan.

2.2.2. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Alat Pengelolaan jalan nafas dengan alat yang paling sering digunakan saat ini adalah dengan menggunakan teknik intubasi. 2.2.2.1. Pengertian Intubasi Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy. 2.2.2.2. Tujuan Intubasi Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut : a. Mempermudah pemberian anesthesia. b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernapasan. c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk). d. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial. e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama. f. Mengatasi obstruksi laring akut 7 2.2.2.3. Indikasi dan kontraindikasi Intubasi Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas. Perawatan kritis: mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi terhadap aspirasi paru,
8

kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal. Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi. Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis. Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit dilakukan intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan intubasi), diduga adanya kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis dan kompresi, menghindari ekstensi leher (insufisiensi arteri vertebra, leher yang tidak stabil), resiko tinggi kerusakan gigi (gigi goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar.2 2.2.2.4. Kesulitan Intubasi Selama anestesi, angka terjadinya kesulitan intubasi berkisar 3-18%.Kesulitan dalam intubasi ini berhubungan dengan komplikasi yang serius, terutama bila intubasi tersebut gagal. Hal ini merupakan salah satu kegawatdaruratan yang akan ditemui oleh dokter anestesi. Apabila anestetis dapat memprediksi pasien yang kemungkinan sulit untuk diintubasi, hal ini mungkin dapat mengurangi resiko anestesi yang lebih besar. Salah satu klasifikasi yang luas digunakan adalah klasifikasi oleh Cormack-Lehane yang menggambarkan laring bila dilihat dengan laringoskopi.

Gambar. Klasifikasi tampilan pada laringoskopi.Kelas I pita suara terlihat, kelas II pita suara terlihat sebagian, kelas ii hanya terlihat epiglotis, dan kelas IV epiglotis tidak terlihat. Mallampati merupakan tes skrining simpel yang luas digunakan sekarang. Pasien duduk di depan anestetis dan membuka mulutnya lebar. Secara klinis, tingkat 1 memprediksi intubasi yang mudah dan tingkat 3 atau 4 mengesankan pasien akan sulit diintubasi. Hasil dari tes ini dipengaruhi oleh kemampuan membuka mulut, ukuran dan mobilitas lidah dan struktur intra-oral lainnya, serta pergerakan craniocervical junction. Thyromental distance diukur dari thyroid notch ujung rahang dengan kepala yang diekstensikan.Jarak normal adalah 6,5 cm atau lebih dan ini juga tergantung anatomi termasuk posisi laring.Bila jaraknya kurang dari 6 cm maka intubasi tidak memungkinkan. Sternomental distance diukur dari sternum sampai ujung mandibula dengan kepala ekstensi dan ini dipengaruhi oleh ekstensi leher. Jarak sternomental 12,5 cm atau kurang diperkirakan akan sulit untuk diintubasi. Extension at the atlanto-axial joint dilakukan dengan menyuruh pasien untuk memfleksikan leher mereka dengan menengadahkan dan menundukkan

kepala.Penurunan gerakan sendi ini berhubungan dengan kesulitan intubasi. Protrusion of the mandible merupakan gambaran mobilitas dari mandibula.Bila pasien dapat menonjolka gigi bawah, intubasi biasanya mudah.
10

Beberapa penelitian mencoba memprediksi kesulitan intubasi dengan melihat anatpomi mandibula dengan sinar X. Hal ini menunjukkan kedalaman mandibula, namun hal ini tidak umum dilakukan sebagai tes skrining Tahun 1993, American Society of Anesthesiologists (ASA) menuliskan algoritma American Society of Anesthesiologists Difficulty Airway.Langkah pertama dari algoritma ini meliputi penilaian kesulitan intubasi menggunakan laringoskop. Tiga gambaran yang dilaporkan berhubungan dengan laringoskopi yang sulit meliputi ukuran lidah dalam faring (Mallampati), keterbatasan mobilitas leher, dan jarak thyromental yang pendek. Karaketristik fisik yang berhubungan kesulitan intubasi meliputi obesitas, pergerakan kepala dan leher, pergerakan rahang, mandibula, gigi tonggos, nilai Mallampati, karakteristik maksilaris, laki-lai, usia 40-59, penurunan dalam membuka mulut, pendeknya jarak thyromental, dan leher pendek. Pelatihan manajemen nasional kegawatdaruratan jalan nafas US

mencanangkan metode LEMON. Sistem penilaian ini meliputi sebagian besar karakteristik yang disebutkan sebelumnya dan diadaptasi untuk digunakan pada ruang resusitasi. L= Look externally Lihat pasien keseluruhan luar untuk mengetahui penyebab kesulitan laringoskopi, intubasi, atau ventilasi. Yang biasanya dilihat adalah bentuk wajah abnormal (subjektif), gigi seri yang lebar/menonjol, gigi palsu (sulit dinilai) E= Evaluate the 3-3-2 rule Hubungan faring, laring dan oral berhubungan dengan intubasi. Jarak antara gigi seri pasien sekurangnya 3 jari (3), jarak antara tulang hyoid dan dagu sekurangnya 3 jari (3), dan jarak antara thyroid notch dan dasar mulut sekurangnya 2 jari (2).

11

Gambar 2. 1 jarak antar gigi seri dalam jari, 2 jarak hyoidmental dalam jari, dan 3 jarak thyroid ke dasar mulut dalam jari M= Mallampati

O= Obstruction Beberapa kondisi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yang membuat sulitnya laringoskopi dan ventilasi.Selain keadaan epiglotis, adanya abses peritonsiler dan trauma. N= Neck mobility Ini merupakan hal yang vital dalam keberhasilan intubasi.Hal ini dapat dinilai mudah dengan menyuruh pasien menundukkan kepala dan kemudian

menengadahkannya. Pasien dengan imobilisasi leher lebih sulit diintubasi Cara penilaian LEMON dapat dilihat dalam tabel berikut, dengan nilai maksimal 10 (1 point ditambahkan bila nilai Mallampati 3 atau lebih) dan minimal adalah nol.

12

Pasien dengan gigi seri yang lebar mengurangi pembukaan mulut, kurangnya jarak antara thyroid dan dasar mulut menghasilkan penglihatan yang kurang dari laringoskopi.Pasien dengan kurangnya jarak hyoid dan dagu, obstruksi jalan nafas, dan kurangnya mobilitas leher mempunyai pengaruh dalm penglihatan yang kurang pula walaupun faktor tersebut tidak signifikan. Selama kunjungan pre-anestesi, ahli anestesi dapat memperkirakan resiko kesulitan dalam intubasi, untuk mengantisipasi manajemen jalan nafas yang sulit meliputi peralatan jalan nafas alternatif.Deteksi pre-operasi pasien ada tidaknya resiko kesulitan intubasi adalah langkah awal dalam manajemen jalan nafas.

13

Klasifikasi IDS Skala kesulitan intubasi (IDS) diajukan pada tahun 1997 sebagai karakteristik dan standarisasi dalam intubasi endotrakeal dan secara objektif memberi keseragaman pendekatan untuk membandingkan penelitian yang berhubungan dengan kesulitan intubasi dan dengan tujuan menetapkan nilai relatif faktor resiko dalam kesulitan intubasi. Sejak itu IDS > 5 digunakan untuk definiso intubasi sulit pada populasi yang berbeda, seperti Combes et al untuk menentukan faktor prediksi jalan nafas sulit pada keadaan prehospital, Amathieu et al untuk menilai faktor resiko intubasi sulit dalam pembedahan thyroid, dan Gonzalez et al untuk mengevaluasi faktor resiko intubasi sulit pada pasien yang obesitas. Evaluasi jalan nafas untuk setiap pasien meliputi klasifikasi Mallampati modifikasi tanpa fonasi, jarak thyromental, pergerakan kepala dan leher, lebarnya membuka mulut, ada tidaknya gigi tonggoss, dan resesi mandibula. Pengukuran BB dan TB serta perhitungan BMI. Pencatatan umur, jenis kelamin, status fisik ASA, jenis pembedahan dan komorbiditas.Mallampati 3-4 diprediksikan sulit dalam intubasi pada pasien obesitas. Nilai IDS ditemukan lebih tinggi pada pasien obesitas : sedikitnya glotis yang terlihat, meningkatnya kekuatan mengangkat selama
14

laringoskopi, dan perlunya bantuan tekanan eksternal untuk meningkatkan pandangan glotis (N4, N5, N6). Selain itu, payudara besar, leher pendek. Lidah lebar, laring yang tinggi dan anterior, restriksi dalam membuka mulut, dan terbatasnya flexi-ekstensi vertebra servikal dan atlantooccipital mempunyai kontribusi dalam kesulitan intubasi.23, 24 Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan: a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap. b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antaramental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar

memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi. c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth). e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine. f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital. g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher. Beberapa pasien memerlukan evaluasi berhubungan dengan kesulitan intubasi dan komplikasi. Beberapa individu memiliki jalan nafas yang tidak sesuai, dengan pembatasan pergerakan leher atau rahang, adanya tumor, adanya pembengkakan akibat luka atau alergi, abnormalitas perkembangan rahang, tebalnya jaringan lemak wajah dan leher. Ketika melihat riwayat pasien, tanyakan dan lihat gejala atau tanda, seperti kesulitan berbicara atau bernafas; hal ini memperkirakan adanya obstruksi pada jalan nafas atas, laring, atau cabang trakeobronkial. Adanya riwayat operasi sebelumnya, trauma, terapi radiaso atau tumor di daerah kepala, leher, dan dada atas yang berpotensial menyulitkan intubasi. 2.2.2.5 Persiapan intubasi Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alatalat dan memposisikan pasien.ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT sebaiknya di tes
15

terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT.Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus sejajar dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah ketegangan pinggang selama laringoskopi.Persiapan untuk induksi dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin.Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan oksigen 100 %. Persiapan alat untuk intubasi antara lain : STATICS Scope Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop: a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa. b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa. Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat. Gambar Laringoscope

Tube Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk
16

penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.19 Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii.

Ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini. Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Bibir Prematur Neonatus 1-6 bulan -1 tahun 1-4 tahun 4-6 tahun 6-8 tahun 8-10 tahun 10-12 tahun 12-14 tahun Dewasa wanita Dewasa pria 2,0-2,5 2,5-3,5 3,0-4,0 3,0-3,5 4,0-4,5 4,5-,50 5,0-5,5* 5,5-6,0* 6,0-6,5* 6,5-7,0 6,5-8,5 7,5-10 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28-30 28-30 32-34 10 cm 11cm 11 cm 12 cm 13 cm 14 cm 15-16 cm 16-17 cm 17-18 cm 18-22 cm 20-24 cm 20-24 cm Sampai

*Tersedia dengan atau tanpa kaf Tabel Pipa Trakea dan peruntukannya (Endotracheal Tube (Breathing Tube)) Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil: Diameter dalam pipa trakea (mm) Panjang pipa orotrakeal (cm) Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 4,0 + umur (tahun) = 12 + umur (tahun) = 12 + umur (tahun)

17

Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas, mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.

Gambar Pipa endotrakeal

Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optic. Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif. Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + umur (tahun).
18

Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis. Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi dilakukan lebih dini Size PLAIN 2,5 mm 3,0 mm 3,5 mm 4,0 mm 4,5 mm 5,0 mm 5,5 mm Size CUFFED 4,5 mm 5,0 mm 5,5 mm 6,0 mm 6,5 mm 7,0 mm 7,5 mm

Tabel Ukuran Pipa Endotrakeal Airway Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidungfaring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

19

Tape Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut. Introducer Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

Gambar Stylet Connector Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask ataupun peralatan anesthesia. Suction Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.

Gambar Alat-alat Intubasi Endotrakeal 2.2.2.6 Cara Intubasi Intubasi Endotrakeal Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan
20

lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tandatanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadangkadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadangkadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

21

Gambar Auskultasi Suara Napas Setelah Dilakukan Intubasi Intubasi yang gagal tidak harus dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan, seperti reposisi pasien, mengurangi ukuran tabung, menambahkan stylet, memilih pisau yang berbeda, mencoba jalur lewat hidung, atau meminta bantuan dari ahli anestesi lain. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan masker, bentuk alternatif manajemen saluran napas lain (misalnya, LMA, Combitube, cricothyrotomy dengan jet ventilasi, trakeostomi) harus segera dilakukan. Intubasi Nasotrakeal Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan. NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari NTT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.

22

2.2.2.7. Ekstubasi Perioperatif Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan. Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang mungkin menjadi komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah hambatan pada central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien dengan membuat pasien sadar betul atau pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan dalam keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat anastesi hipnotik maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai kemampuan membuka mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas spontan dengan jalan nafas yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup banyak, dan setelahnya pasien menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas tetap lapang berupa pipa orofaring atau nasofaring dan disertai pula dengan triple airway manuver standar. Syarat-syarat ekstubasi : 1. Vital capacity 6 8 ml/kg BB. 2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O. 3. PaO2 diatas 80 mm Hg. 4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil. 5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot. 6. Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.

2.2.2.8. Komplikasi Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik anestesi dan perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang cukup selama dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya. Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal dapat dibagi menjadi :
23

Faktor pasien 1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan napas. 2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma. 3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung

mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama intubasi. 4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi. Faktor yang berhubungan dengan anestesia 1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya komplikasi selama tatalaksana jalan napas. 2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien dan peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.

Faktor yang berhubungan dengan peralatan 1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube tersebut. 2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma. 3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan. 4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat. 5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di bagian yang tidak tepat. Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan melakukan intubasi dan kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena
24

proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian atau hipoksia otak. Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika dalam keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation (CVCI). Tabel Komplikasi pada ETT

Komplikasi pada ETT Saat Intubasi Kegagalan intubasi Cedera korda spinalis dan kolumna vertebralis Oklusi arteri sentral pada retina dan kebutaan Abrasi kornea Trauma pada bibir, gigi, lidah dan hidung Refleks autonom yang berbahaya Hipertensi, takikardia, bradikardia dan aritmia Peningkatan tekanan intrakranial dan intraocular Laringospasme Bronkospasme Trauma laring Avulsi, fraktur dan dislokasi arytenoids Perforasi jalan napas Trauma nasal, retrofaringeal, faringeal, uvula, laringeal, trakea, esofageal dan bronkus Intubasi esophageal Intubasi bronchial
25

Saat ETT Sudah Digunakan Tension pneumotoraks Aspirasi pulmoner

Obstruksi jalan napas

Diskoneksi Tube trakeal

Pemakaian yang tidak nyaman Peletakan yang lemah

ETT yang tertelan

Selama Ekstubasi Kesulitan ekstubasi Kesulitan melepas kaf Terjadi sutura ETT ke trakea atau bronkus Edema laring Aspirasi oral atau isi gaster

Setelah Intubasi Suara mendengkur Edema laring Suara serak

Cedera saraf Ulkus pada permukaan laring Granuloma laring Jaringan granulasi pada glotis dan subglotis Sinekiae laring Paralisis dan aspirasi korda vokal Membran laringotrakeal Komplikasi pada ETT

Saat Intubasi

Saat ETT Sudah Digunakan Stenosis trakea Trakeomalacia Fistula trakeo-esofageal Fistula trakeo-innominata

26

BAB III PENUTUP

Airway merupakan komponen terpenting dalam menjaga keadaan vital pasien, sehingga dalam keadaaan gawat darurat komponen inilah yang pertama kali dipertahankan. Pengelolaan jalan nafas ialah memastikan jalan napas terbuka, sementara itu, tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran pernapasan. Terdapat 2 cara untuk mengelola jalan nafas, yaitu: Pengelolaan jalan nafas tanpa alat Adalah tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap memperhatikan kontrol servikal. Terlebih dahulu pernafasan dinilai dengan cara look, listen, and feel. Selanjutnya, tindakan yang dapat dilakukan adalah: 1. Membuka jalan nafas dengan proteksi servikal dengan cara chin lift, head tilt, maupun jaw thrust. 2. Membersihkan jalan nafas dengan sapuan jari (finger sweep) 3. Mengatasi sumbatan nafas parsial dengan teknik manual, yaitu dengan abdominal thrust (manuver Heimlich), back blow (untuk bayi), chest thrust (untuk bayi, anak yang gemuk, dan wanita hamil) Adapun tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas tambahan), yaitu: o Mendengkur (snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara mengatasi: chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal. o Berkumur (gargling), penyebab: ada cairan di daerah hipofaring. Cara mengatasi: finger sweep, pengisapan/suction. o Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi:

cricotirotomi, trakeostomi. - Pengelolaan jalan nafas dengan alat Yaitu dengan teknik intubasi, yaitu memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung. Dengan berbagai indikasi dan kontraindikasi yang dimiliki, intubasi sendiri memiliki kesulitan yang dapat dinilai dengan scoring mallampati.

27

Pelatihan

manajemen

nasional

kegawatdaruratan

jalan

nafas

US

mencanangkan metode LEMON, yaitu: L= Look externally E= Evaluate the 3-3-2 rule M= Mallampati O= Obstruction N= Neck mobility Sistem penilaian ini meliputi sebagian besar karakteristik yang disebutkan sebelumnya dan diadaptasi untuk digunakan pada ruang resusitasi. Disamping itu, skala kesulitan intubasi (IDS) diajukan pada tahun 1997 sebagai karakteristik dan standarisasi dalam intubasi endotrakeal dan secara objektif memberi keseragaman pendekatan untuk membandingkan penelitian yang

berhubungan dengan kesulitan intubasi dan dengan tujuan menetapkan nilai relatif faktor resiko dalam kesulitan intubasi. Oleh karena pentingnya teknik intubasi dalam mengelola jalan nafas, diharapkan setiap dokter mampu untuk melakukan intubasi dan menguasai indikasi serta kontraindikasi untuk memperkecil kemungkinan terjadinya komplikasi dari intubasi itu sendiri.

28

DAFTAR PUSTAKA

Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6 . Penerbit BukuKedokteran EGC. Jakarta 1997 Longnecker D, Brwon D, Newman M, Zapol W. Anesthesiology. USA. The McGraw-Hill Companies. 2008 Dorland,Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29, Jakarta:EGC,1765. Pasca Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, BagianAnestesio logi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta, 2002, Hal :253-256. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In : Morgan GE, Mikhai l MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology 4th ed. USA, McGrawHill Comp anies, Inc.2006, p. 9806. Gail Hendrickson, RN, BS., (2002), Intubation,

http://www.health.discovery.com/diseasesandcond/encyclopedia/1219.html3) Gisele de Azevedo Prazeres,MD., (2002), Orotracheal Intubation,


th ed

http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html Greenberg MS, Glick M. Burkets oral medicine diagnosis and treatment. 10 Ontario: BC Decker Inc, 2003: 94,126, 612 Samsoon GLT, Young JRB. Difficult tracheal intubation: A retrospective study. Anaesthesia. 1987;42:487-490 Wilson ME, Speigelhalter D, Robertson JA, et al. Predicting difficult intubation. Br J Anaesth. 1988;61:211-216 Endotracheal Tube (Breathing Tube). Available at: http://www.suru.com/endo.htm. Accessed: 8th July 2012 Friedland DR, et all. Bacterial Colonization of Endotracheal Tubes in Intubated Neonatal in Arch Otolaringol Head and Neck Surg 2001;127:525-528. Available at: http://www.archoto.com. Accessed: 8th July 2012 Gregory GA, Riazi J. Classification and assessment of the difficult pediatric airway. Anesth Clin North Am. 1998;16:729-741 Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI: Jakarta.
29

Safar P. Cardiopulmonary Ressucitation. W.B. Saunders. Canada.1981 Wilson IH, Kopf A. Prediction and Management of Difficullt Tracheal Intubation. Update in Anaesthesia 1998, 37-45 Levitan RM, Everett WW, Ochroch EA. Limitations of Difficult Airway Prediction in Patients Intubated in the Emergency Department. Ann Emerg Med. 2004;44:307-313. Reed MJ, Dunn MJG, McKeown DW. Can an airway assessment score predict difficulty at intubation in the emergency department?. Emerg Med J 2005;22:99102 Hermitea JL, Nouvellona E, Cuvillona P, Fabbro-Peraya P, Langerond O, Riparta J. The Simplified Predictive Intubation Difficulty Score: a new weighted score for difficult airway assessment. Eur J Anaesthesiol 2009, 26:10031009 Lavi R, Segal D, Ziser A. Predicting difficult airways using the intubation difficulty scale: a study comparing obese and non-obese patients. Journal of Clinical Anesthesia 2009, 21; 264267 Gupta AK, Ommid M, Nengroo S, Naqash I, Mehta A. Predictors of Difficult Intubation : Study in Kashmiri Population.BMPJ 2010;3(1):307 Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis Anastesiologi.Edisi Kedua.Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta : FKUI. Mangku, Gde dan Senapathi, Tjokorda GA. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta Mansjoer, Arif dkk. 2005. Intubasi Trakea, Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius Miller, Stone DJ, Gal TJ. Airway Management. 2000; 1414-51

30

You might also like