You are on page 1of 20

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat dan selalu melakukan interaksi dengan masyarakat lainnya tentu membutuhkan suatu alat komunikasi agar bisa saling memahami tentang suatu hal. Dan ada banyak hal yang perlu dipahami salah satunya adalah tanda. Supaya tanda itu bisa dipahami secara benar dan sama membutuhkan konsep yang sama supaya tidak terjadi misunderstanding atau salah pengertian. Namun pada kenyataannya tanda itu tidak selamanya bisa dipahami secara benar dan sama di antara masyarakat. Setiap orang memiliki interpretasi makna tersendiri dan tentu saja dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Ilmu yang membahas tentang tanda disebut semiotik ( the study of signs). Masyarakat perlu mengetahui maksud dari tanda tersebut. Banyak tanda dalam kehidupan sehari-hari kita seperti tanda-tanda lalu lintas, tandatanda adanya suatu peristiwa atau tanda-tanda lainnya. Semiotik meliputi studi seluruh tanda-tanda tersebut sehingga masyarakat berasumsi bahwa semiotik hanya meliputi tanda-tanda visual (visual sign). Di samping itu sebenarnya masih banyak hal lain yang dapat kita jelaskan seperti tanda yang dapat berupa gambaran, lukisan dan foto sehingga tanda juga termasuk dalam seni dan fotografi. Atau tanda juga bisa mengacu pada kata-kata, bunyi-bunyi dan bahasa tubuh (body language). Untuk memahami semiotik lebih jauh ada baiknya kita perlu membahas pengertian dari semiotik itu sendiri, beberapa tokoh semiotik dan pemikiran -pemikirannya dalam semiotik, macam-macam semiotik,

pengertian tanda, dan langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan penelitian dengan metode semiotik.
Eka Hardiyanti

BAB II PEMBAHASAN

II.1 PENGERTIAN SEMIOTIK Semiotik (semiotics) berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda atau sign. Tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, mampu menggantikan suatu yang lain (stand for something else) yang dapat dipikirkan atau dibayangkan. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda atau teori tentang pemberian tanda. Dalam bahasa Inggris semiotik didefinisikan sebagai berikut.(1) Semiotics is usually definde as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagi teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbolsimbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk

mengkomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia). Istilah semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika sedangkan di Eropa lebih banyak menggunakan istilah semiologi. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku

Eka Hardiyanti

bagi tanda. A. Teew mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Pada mulanya, istilah semiotik (semieon) digunakan oleh orang Yunani untuk merujuk pada sains yang mengkaji sistem perlambangan atau sistem tanda dalam kehidupan manusia. Dari akar kata inilah terbentuknya istilah semiotik, yaitu kajian sastra yang bersifat saintifik yang meneliti sistem perlambangan yang berhubung dengan tanggapan dalam karya. Bukan saja merangkumi sistem bahasa, tetapi juga merangkumi lukisan, ukiran, fotografi atau lainnya yang bersifat visual. Perhatian semiotik adalah mengkaji dan mencari tanda-tanda dalam wacana serta menerangkan maksud dari tandatanda tersebut dan mencari hubungannya dengan ciri-ciri tanda itu untuk mendapatkan makna signifikasinya. Bahasa sebagai sistem tanda seringkali mengandung sesuatu yang misterius. Sesuatu yang terlihat terkadang tidak sesuai dengan realita yang sesungguhnya. Oleh karena itu, pengguna bahasalah manusia yang mempunyai otoritas untuk melihat dan mencari seperti apa sesuatu yang tidak tampak pada bahasa. Teori semiotik adalah teori kritikan pascamodern, ia memahami karya sastra melalui tanda-tanda atau perlambangan yang ditemui di dalam teks. Teori ini berpendapat bahwa dalam sebuah teks terdapat banyak tanda dan pembaca atau penganalisis harus memahami apa yang dimaksudkan dengan tanda-tanda tersebut. Secara garis besar, Pierce menggolongkan semiotik menjadi tiga konsep dasar. (2:1) a. Pertama, semiotik pragmatik, yaitu yang menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menggunakannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikannya dalam batas perilaku subjek atau yang
Eka Hardiyanti

mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. b. Kedua, semiotik sintaktik yang menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan maknanya atau hubungannya dengan perilaku subjek atau secara singkat adalah yang mempelajari hubungan antartanda. Semiotik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subjek yang menginterpretasikan. c. Ketiga, semiotik semantik yang menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan arti yang disampaikan atau dengan kata lain yaitu yang mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Metode yang telah diacu oleh banyak ahli semiotik adalah metode struturalisme. Hal itu berdasarkan pada model linguistik de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa. Strauss dengan Mith dalam teori kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammer of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena. Strukturalisme dan semiotik dinamakan oleh Ferdinand de Saussure dengan semiologi. (3:1) Pengertian strukturalisme sendiri masih sulit ditemukan secara pasti karena kata struktur dan strukturalisme banyak digunakan dalam pelbagai bidang seperti matematika, logika, fisika, antropologi, linguistik, sastra, dan lain-lain. Kata struktur sendiri bisa diartikan sebagai kaitan -kaitan yang tetap dan teratur antara kelompok-kelompok gejala. Sedangkan strukturalisme diartikan sebagai gerakan pemikiran atau metodologi yang memberikan implikasi ideologi. Pengertian lain strukturalisme adalah suatu cara berfikir yang memandang seluruh realitas sebagai keseluruhan yang terdiri dari struktur-struktur yang saling berkaitan. Atau dengan kata lain, strukturalisme adalah salah satu cara pandang yang menekankan pada persepsi dan

Eka Hardiyanti

deskripsi tentang struktur yang mencakup keutuhan, transformasi, dan pengaturan diri. Fokus utama strukturalis adalah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin

keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena. Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud, mungkin struktur itu adalah psyche (psikis), bagi Marx, struktur itu adalah economy, dan bagi Saussure, struktur itu adalah language (bahasa). Strukturalisme berkembang sejak Levy Strauss mengungkapkan bahwa hubungan antara bahasa dan mitos menjadi posisi sentral. Pemikiran primitif menampakkan dirinya dalam struktur-struktur mitosnya sebanyak struktur bahasanya. Menurutnya, mitos memiliki hubungan dengan bahasa karena merupakan suatu bentuk pengucapan manusia sehingga analisisnya bisa diperluas ke bidang linguistik struktural. Sebuah mitos, secara individual melahirkan parole yang memberikan kontribusi terhadap struktur langue-nya. II.2 TEORI SEMIOTIK A. C.S Peirce Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan

Eka Hardiyanti

tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.(4:1) B. Ferdinand De Saussure Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (18571913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsepkonsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda
Eka Hardiyanti

tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai objek sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata anjing (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas. (4:1-2) C. Roland Barthes Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural

penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes
Eka Hardiyanti

meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi keramat karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi keramat ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, pohon beringin yang keramat akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos. (4:2-3) D. Baudrillard Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya. Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya mengada -ada. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk
Eka Hardiyanti

beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat luar biasa agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah direkayasa agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya. (5:100) E. J. Derrida Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya.

Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi yang dimulai dengan konsep demistifikasi,

pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitaspada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah

mengandung artikulasi lain (6:100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa

dilanjutkan tanpa batas. Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa
Eka Hardiyanti

menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung sesat atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya. Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai klasik yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, berpengalaman, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai fokus ke atas yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja te rsebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang mempertemukan jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa. Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (menghancurkan atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut. (5:100) F. Umberto Eco Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena
Eka Hardiyanti

ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam. Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean. Eco menggunakan kode-s untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat denotatif (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau konotatif (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini. (5:100) G. Ogden & Richard Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda (signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan

gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek benda, kondisi


Eka Hardiyanti

obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud obyek/benda/fungsi aktual (Christian). (5:100) II.3 MACAM-MACAM SEMIOTIK Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang. Jenis -jenis semiotik ini antara lain: (6:7) 1. Semiotik Analitik. Semiotik analitik adalah semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakanbahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu. 2. Semiotik Deskriptif. Semiotik deskriptif adalah semiotk yang

memeperhatikan sistem tanda yang adapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksiskan sekarang. 3. Semiotik Faunal Zoo semiotic. Semiotik Faunal adalah semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. 4. Semiotik Kultural. Semiotik kultural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. 5. Semiotik Naratif. Semiotik Naratif adalah semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (Folkkore). 6. Semiotik Natural. Semiotik natural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. 7. Semiotik Normatif. Semiotik normatif adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang di buat oleh manusia yang berwujud normanorma, misalnya rambu-rambu lalu lintas.

Eka Hardiyanti

8. Semiotik Sosial. Semiotik sosial adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berupa lambang. 9. Semiotik Struktural. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yag dimanifestasikan melalui struktur bahasa. II.4. PENGERTIAN TANDA Peirce mengungkapkan bahwa tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Objek acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab akibat). Bagi Peirce, tanda is something which stands to some body for something in some respect or capacity. Sesuatu yang digunakan agar bisa berfungsi sebagai ground. Ia mengklasifikasikan tanda yang dikaitkan dengan ground sebagai berikut: (1)
a. Qualisign, adalah kualitas yang ada pada tanda; kata keras menunjukkan

kualitas tanda. Misalnya, suaranya keras yang menandakan orang itu marah atau ada sesuatu yang diinginkan.
b. Sinsign, adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada

tanda.
c. Iconic sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. Contohnya

adalah foto, diagram, peta, dan tanda baca. (5:42)


d. Rhematic

indexical sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman

langsung yang menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu.


e. Dicent sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu f.

Legisign, adalah norma yang dikandung oleh tanda.

Eka Hardiyanti

g. Iconic legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau hukum,

misalnya rambu lalu lintas. (5:42)


h. Rhematic indexical legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek

tertentu, misalnya kata ganti penunjuk.


i.

Dicent indexical legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan menunjuk subjek informasi, misalnya tanda lampu merah di mobil ambulan menandakan ada orang sakit atau orang yang meninggal dunia.

j.

Rhematic symbol atau symbolic rheme, yaitu tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum.

k. Dicent symbol atau proposistion (proposisi) adalah tanda yang langsung

menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Misalnya, ada seseorang yang berkata pergi! maka otak akan mengasosiasikan pendengarnya dan sertamerta ia pun akan pergi.
l.

Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu. Misalnya, seseorang mengatakan gelap berdasarkan penilaian terhadap tem pat yang cocok dikatakan gelap. Van Zoest (1993), memberikan lima ciri dari tanda, yakni sebagai

berikut: (1)
a. Tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. b. Harus bisa ditangkap merupakan syarat mutlak. c. Merujuk pada sesutau yang lain, sesuatu yang tidak hadir. d. Tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan

langsung dengan sifat inter-pretatif.


e. Sesuatu hanya dapat berupa tanda atas dasar satu dan lain.

Peirce menyebutnya ground (dasar, latar) dari tanda. Berbeda dengan Peirce, Saussure mengungkapkan bahwa tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
Eka Hardiyanti

bermakna. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsepkonsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. (1) Menurut Saussure, bahasa sebagai sistem tanda diindikatori oleh adanya hubungan erat antara signifiant, signifie, form, dan substance (7:77).
a. Signifiant, yakni gambaran tatanan bunyi secara abstrak dalam kesadaran

batin para pemakainya;


b. Signifie, yakni gambaran makna secara abstrak sehubungan dengan

adanya kemungkinan hubungan antara abstraksi bunyi dengan dunia luar;


c. Form, yakni kaidah abstrak yang mengatur hubungan antara butir-butir

absraksi bunyi sehingga memungkinkan digunakan untuk berekspresi;


d. Substance, yakni perwujudan bunyi ujaran khas manusia.

Mengembangkan teori tanda yang digunakan oleh Saussure, Barthes merambah studi tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Ia juga mengulas sistem penandaan tingkat kedua. Sistem ini ia dinamakan dengan konotatif, yang secara tegas berbeda dari sistem penandaan tingkat pertama atau denotatif (8:22). Tanda denotatif menurut Barthes terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Pada saat yang bersaman tanda denotatif juga merupakan penanda konotatif. Jadi, menurut Barthes, tandakonotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. a. Signifier (penanda) b. Signified (petanda) c. Denotative sign (tanda denotatif) d. Connotative signifier (penanda konotatif) e. Connotative signified (petanda konotatif) f. Connotative sign (tanda konotatif).
Eka Hardiyanti

Ditinjau dari hubungan antara tanda dengan interpretannya, maka tanda dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Rheme, bilamana lambang tersebut interpretannya adalah sebuah first dan makna tanda tersebut masih dapat dikembangkan, b. Decisign (dicentsign) bilamana antara lambang itu dan interpretannya terdapat hubungan yang benar adanya (merupakan secondness), c. Argument, bilamana suatu tanda dan interpretannya mempunyai sifat yang berlaku umum (merupakan thirdness). Barthes berupaya untuk mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Lima kode yang ditinjau Barthes adalah kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomik atau kode kultural yang membangkitkan badan pengetahuan tertentu (6:65). Kode hermeneutik berkisar pada harapan pembaca mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode semik menawarkan banyak sisi dalam proses pembacaan, dalam menyusun tema atau teks. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural atap pascastruktural. Kode proaretik adalah pelengkap utama teks yang dibaca orang, artinya semua teks bersifat naratif. Kode gnomik merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasikan oleh budaya (5:65-66). Ada dua pendekatan terhadap tanda-tanda yang biasanya menjadi ukuran para ahli (5:31-35). a. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada pandangan Saussure yang mengatakan bahwa tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan. b. Kedua, adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan Peirce. Ia menegaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang
Eka Hardiyanti

menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional. II.5 LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN SEMIOTIKA Berikut ini langkah-langkah umum yang bisa dijadikan pedoman Penelitian Semiotika / semiotik khususnya dalam kajian Ilmu Komunikasi: (9) 1. Cari topik yang menarik perhatian anda 2. Buat pertanyaan penelitian yang menarik (mengapa, bagaimana, dimana, apa) 3. Tentukan alasan /rationale dari penelitian anda? 4. Rumuskan penelitian anda dengan mempertimbangkan tiga langkah sebelumnya (topik, tujuan, dan rationale) 5. Tentukan metode pengolahan data (kualitatif/semiotika) 6. Klasifikasi data : (a) Identifikasi teks; (b) Berikan alasan mengapoa teks tersebut dipilih dan perlu diidentifikasi; (c) Tentukan pola semiosis yang umum dengan mempertimbangkan hierarki maupun sekuennya atau, pola sintagmatik dan paradigmatik; (d) Tentukan kekhasan wacananya dengan mempertimbangkan elemen semiotika yang ada. 7. Analisis data berdasarkan : (a) Ideologi, interpretan kelompok, frame work budaya; (b) Pragmatik, aspek sosial, komunikatif; (c) Lapis makna, intekstualitas, kaitan dengan tanda lain, hukum yang mengaturnya; (d) Kamus vs ensiklopedi. 8. Kesimpulan.

Eka Hardiyanti

BAB III KESIMPULAN Semiotik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda atau teori tentang pemberian tanda. Ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) seorang filsuf Amerika, Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993), Christian Metz (193 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan Roman Jakobson (1896 - 1982). Dalam ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam psikoanalisis. Terdapat sembilan jenis dari semiotik. Jenis -jenis semiotik tersebut antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk

(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Berikut ini langkah-langkah umum yang bisa dijadikan pedoman Penelitian Semiotika / semiotik khususnya dalam kajian Ilmu Komunikasi: (9) a. Cari topik yang menarik perhatian anda b. Buat pertanyaan penelitian yang menarik (mengapa, bagaimana, dimana, apa) c. Tentukan alasan /rationale dari penelitian anda?
Eka Hardiyanti

d. Rumuskan penelitian anda dengan mempertimbangkan tiga langkah sebelumnya (topik, tujuan, dan rationale) e. Tentukan metode pengolahan data (kualitatif/semiotika) f. Klasifikasi data g. Analisis data h. Kesimpulan.

Eka Hardiyanti

DAFTAR PUSTAKA

1. Syarifuddin,

Dede

Ahmad. pengertian

Available -semiotik.html/

in diakes

http://ode87.blogspot.com/2011/03/

tanggal 11 Mei 2013 pukul 21.00 WITA. 2. Zoest, Aart van. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993. 3. Hoed, Benny H. Strukturalisme, Prag -matik dan Semiotik dalam Kajian Budaya, dalam Indonesia: Tanda yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002. 4. Dewi, Alit Kumala. Semiotika, bagian I. available in pdf. 5. Sobur, Alex, Analisis Teks Media.Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. 6. Sartini, Ni Wayan. Tinjauan Teoritik dari Semiotik. Surabaya: Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Airlangga. Available in pdf. 7. Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru, 1988. 8. Budiman, Manneke. Indonesia: Perang Tanda, dalam Indonesia: Tanda yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002. 9. Adriana, Deni. Avalaible in http://goyangkarawang.com/2010/10/kerangka -dan-langkah-langkah-penelitian-analisis-semiotika/ diakses tanggal 11 Mei 2013, Pukul 22.00 WITA.

Eka Hardiyanti

You might also like