You are on page 1of 2

Undang-Undang Pemilu 2014 DPR telah mengesahkan Rencana Undang-Undang (RUU)

Perubahan atas Undang-Undang (UU) No 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD melalui voting dalam rapat paripurna pada 12 April 2012 lalu. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, masih terdapat 4 (empat) masalah yang dipandang para legislator sangat penting dan menjadi perdebatan, walaupun kemudian diambil keputusan melalui voting. 4 (empat) permasalah itu adalah sebagai berikut : 1. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold). 2. Alokasi Kursi Di Setiap Daerah Pemilihan (Dapil). 3. Sistem Pemilu 4. Metode Penghitungan atau Konversi Suara Menjadi Kursi Parlemen. Melihat hasil voting tentang masalah tersebut diatas, yakni menangnya alternatif parliamentary threshold sebesar 3,5% yang berlaku secara nasional, alokasi kursi DPR sebanyak 310 per dapil dan DPRD 312 kursi per dapil, sistem pemilu proporsional terbuka dan metode penghitungan suara menjadi kursi dengan sistem kuota murni, itu berarti tidak ada perubahan signifikan jika dibandingkan dengan pemilu 2009, kecuali hanya satu perubahan yakni masalah parliamentary threshold. Padahal, Pansus RUU Pemilu dibentuk 4 Oktober 2011, hingga pengesahan RRU menjadi UU berarti sebuah kerja Pansus yang relatif lama, yakni butuh waktu 6 (enam) bulan lebih, dan tentu butuh dana yang besar, namun masih tidak menghasilkan output perubahan yang signifikan dan nyaris tidak terdengar perdebatan bermutu yang disampaikan para anggota DPR. Perdebatan yang ada hanyalah persoalan teknis penyelenggaraan pemilu yang sepi dari subtansi dan para legislator tersebut lebih berkonsentrasi bagaimana dengan Undang-Undang (UU) Pemilu partainya memperoleh keuntungan, yaitu dengan cara memperoleh kursi sebanyak-banyaknya, atau minimal lolos parliamentary threshold. 4 (empat) hal tersebut seolah-olah menjadi persoalan yang amat penting, sehingga butuh negosiasi yang alot dan melelahkan, kemudian tidak bisa dikompromikan lagi, hingga akhirnya divoting. Padahal, sebenarnya 4 (empat) masalah tersebut sama sekali tidak ada hubungan dengan persoalan bangsa dan rakyat. Peristiwa ini semakin memberikan konfirmasi bahwa Partai Politik lebih peduli terhadap kepentingan dirinya sendiri dan mengabaikan masalah bangsa. Seharusnya pembahasan perubahan UU Pemilu diposisikan sebagai pintu masuk untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan negara sehingga produknya juga lebih berkualitas. Pemilu adalah instrumen perekrutan pejabat publik. Dalam konteks pemilu legislatif, UU Pemilu harus bisa dijadikan instrumen untuk merekrut orang terbaik dalam suatu komunitas daerah atau daerah pemilihan untuk mewakili rakyat di daerah itu dalam lembaga parlemen. Apa kata pendapat Anggota DPRD Boyolali Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro, akan hal tersebut : Lantas, apa implikasi UU Pemilu yang disahkan tersebut terhadap Pemilu 2014 ? Menurut saya, kualitas penyelenggaraan pemilu dan legislator terpilih tidak akan lebih baik daripada yang ada sekarang, bahkan bisa lebih buruk. Pertama, tidak ada syarat mempersulit orang untuk menjadi calon legislator, bahkan syarat-syaratnya diperlonggar dengan alasan demi menghargai hak asasi manusia (HAM). Seorang tersangka, terdakwa atau koruptor yang masih dalam proses hukum oleh UU dipersilahkan mencalonkan diri.

Bahkan, mantan terpidana lima tahun pun diperbolehkan menjadi calon sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang kemudian diakomodasi dalam UU, meskipun dengan syarat minta maaf dan sebagainya. Akhirnya, filter calon diserahkan kepada partai politik, padahal sistem perekrutan politik di partai juga sudah rusak. Ketika partai telah dibajak oleh para pemburu rente ekonomi, proses politik di partai juga lebih bersifat transaksional. Orang yang mempunyai sikap politik yang cenderung ideologis tidak akan memperoleh tempat di partai. Dengan demikian, partai hanya akan mencari calon yang punya duit. Praktik politik uang diperkirakan akan semakin ganas karena UU Pemilu tidak mengatur secara tegas bahwa calon dilarang melakukan politik uang. Di tengah situasi mistrust society, sulit tampaknya mendorong pemilih agar lebih bersikap rasional dengan mempertimbangkan kualitas calon. Sementara itu, pemilih berpendidikan dan ideologis, cenderung menjadi golongan putih (golput). Dengan demikian, bilik-bilik suara lebih banyak dipenuhi oleh para pemilih karena dorongan uang. Kualitas pilihannya juga rendah dan potret buram inilah barangkali yang akan terjadi dalam Pemilu 2014.

You might also like