You are on page 1of 3

Membangun Ekonomi Berbasis Masjid

Posted by LPES Salman

foto: majalahekonomisyariah.com Masjid merupakan tempat orang berkumpul melakukan sholat secara berjamaah, dan meningkatkan solidaritas serta silaturrahmi di antara sesama kaum muslim. Di masa-masa kejayaan Islam, masjid bukan saja menjadi tempat sholat, tetapi menjadi pusat kegiatan kaum muslim seperti pemerintahan, ideologi, politik, ekonomi, sosial, peradilan, dan kemiliteran. Masjid juga berfungsi sebagai pusat pengembangan kebudayaan Islam seperti diskusi, mengaji, dan memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan agama serta pengetahuan umum. Namun, sudahkah peran dan fungsi masjid dapat kita hadirkan untuk menjawab tantangan umat masa kini? Menurut catatan Departemen Agama, terdapat sekitar 700.000 buah masjid yang tersebar di tanah air. Bila setiap masjid dapat membuka lapangan pekerjaan dan memperkerjakan rata-rata 200 orang per tahun, maka akan ada 140 juta orang yang lepas dari pengangguran per tahunnya. Sudah saatnya institusi masjid menambah perannya sebagai basis pendidikan moral masyarakat yang didorong menjadi basis pengembangan ekonomi masyarakat agar memungkinkan masyarakat memperoleh pendapatan secara lebih halal dan berkah. Setiap pengelola masjid, didorong untuk menyusun sebuah proposal pengembangan ekonomi masyarakat sekitar dengan didukung oleh BAZ dan LAZ dari aspek pendanaan. Tentu saja, pengelolaan secara transparan dan professional, merupakan prasyarat berjalannya idealisme ini secara berkelanjutan. Kita patut bersedih dengan jumlah masjid yang besar, tetapi lembaga wakaf dan zakat sebagai sumber pendanaannya, masih berjalan sendiri-sendiri. Belum lagi, setiap lembaga ingin menonjolkan dirinya sendiri, menambah rumitnya masalah masyarakat. Pernahkah kita mendengar bahwa sejarah Bank Rakyat Indonesia itu bermula dari kegiatan pengelolaan kencleng masjid untuk membiayai jamaah masjid dan masyarakat sekitarnya untuk berdagang? Mereka diajarkan untuk jujur dalam berdagang agar menjadi berkah dan berinfak

kepada masjid apabila memperoleh keuntungan. Barangsiapa yang berinfak kepada masjid untuk memperoleh ridlo Allah, tentunya pahalanya akan dilipat gandakan oleh Allah. Jadi ada kepercayaan bisnis ilahiyah yang dibangun melalui masjid di sini. Bagi jamaah haji, mungkin sudah tidak asing lagi apabila selesai shalat di masjidil haram, akan jalan-jalan melalui pusat pertokoan. Semua toko tersebut akan tutup apabila menjelang adzan tiba. Ini berarti, semua pedagang akan menuju Allah. Mereka akan mensyukuri nikmat-Nya dan segera bertaubat apabila telah membohongi konsumen. Apabila dalam setiap perdagangan tertanam nilai kejujuran dan keberkahan, suasana pasar akan menjadi tempat yang menyenangkan bagi semua pihak dan tidak takut adanya kedzaliman. Aktivitas pasar modern, seperti bursa efek yang digandrungi masyarakat kini, justru telah menjadi tempat untuk memperoleh keuntungan yang besar dalam sekejap, namun juga mengundang kematian dalam hitungan detik. Dampak psikologis dari mekanisme pasar ini, mendorong pelaku pasar untuk saling menguasai tanpa mau peduli kepada konsumennya. Apakah rugi, sakit, atau bahkan meninggal karena jantungan gara-gara kalah dalam bersaing. Allah Berfirman : Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu. QS. Annisa [4]: 29. Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya . QS. Al-Baqarah [2]: 283 Beberapa hasil penelitian tugas akhir menemukan bahwa belum terdapat hubungan antara kegiatan kolektif shalat di masjid dengan aktivitas perekonomian di pasar. Sehingga, masjid tetap menjadi tempat shalat dan pasar sebagai tempat usaha sendiri. Betapapun asimetri informasi, bisa menjadi instrumen kedzaliman satu sama lain. Mengajarkan ilmu bisnis di ruang-ruang kelas seputar masjid, menjadi tuntutan. Konsep jual beli (murabahah), sewa menyewa (ijarah), dan jual beli (mudharabah) serta pinjaman tanpa bunga (Qard), menjadi bekal agar pedagang tidak terjebak bisnis ribawi, pinjaman bunga berbunga (rente), ketidakpastian (gharar), atau perjudian (maysir). Mari kita cermati anjuran khalifah Umar bin Khattab mengenai kegiatan pasar: 1. Untuk mencegah terjadinya kekafiran, kefasikan, kekejian, sumpah palsu, dan transaksi yang merugikan di pasar, Khalifah Umar mengutus petugas untuk mengusir orang-orang yang tidak memahami syariah. 2. Khalifah mencambuk mereka yang berada di pasar dan tidak memahami syari ah untuk kegiatan ekonomi yang dilakukannya. 3. Barang siapa yang tidak mengerti hukum riba, jangan duduk di pasar kami. 4. Barang siapa yang tidak memahami agama, janganlah dia berdagang di pasar kami.

You might also like