You are on page 1of 3

KASUS DEMARKETING GRAND HYATT HOTEL

Akhir tahun 1992, pada saat semua hotel di Jakarta banting harga Grand Hyatt malah naik harga. Sementara Hotel bintang lima lain seperti Hilton dan Borobudur pasang harga antara Rp 150.000,- sampai Rp 200.000,permalam, maka Grand Hyatt patok harga US$ 200 plus plus ! itupun harus minimal diambil dua malam sekaligus. Tidak boleh kurang!! Karena kebanyakan kegiatan bisnis berhenti selama kurun waktu itu, maka hotel bintang lima di Jakarta seakan berlomba menarik turis lokal yaitu penduduk Jakarta sendiri untuk merayakan malam tahun baru. Tapi, Grand Hyatt punya pengalaman jelek tahun lalu. Para turis lokal tersebut ternyata suka bawa oleh-oleh waktu Chek Out yaitu barang-barang perlengkapan kamar yang dianggap sebagai sovenir gratis. Karena itu, Grand Hyatt Jakarta tetap mengalami Full Occupancy Rate. Selain itu, yang luar biasa, pada malam itu semua outlet yang berupa bar, coffee shop, restoran tidak punya meja kosong habis terjual, karena orang yang akan makan disitu harus membayar terlebih dulu dengan uang kontan. Tetapi banyak pelanggan merasa kecewa bahwa kamar yang diberikan tidak standar. Semua keramik, seperti tempat sabun, vas bunga dan kotak tissue dihilangkan dari kamar. Melihat situasi seperti itu banyak pelanggan menanyakan alasannya pada house keeping departemen. Persediaan keramik kami hampir habis pak. Belum datang dari Singapura.

Jadi manajemen mengambil keputusan sementara untuk mengambil keramik dari semua kamar. Tidak puas akan jawaban tersebut, ada pelanggan minta bicara dengan assisten manajer yang bertugas terus terang, Pak. Kami punya pengalaman jelek tahun lalu. Keramik kami banyak hilang, dan kami tidak dapat menuduh siapapun ! Mendengar jawaban itu. Sipelanggan tersebut mengatakan pada assisten manajer bahwa bagaimanapun buruk situasinya, penurunan standar kamar adalah tidak benar. apakah Anda juga tidak memberi keramik pada kamar beberapa bule yang pada saat ini juga menginap dihotel ini? Tanya pelanggan tersebut. Tidak lama kemudian, ada seorang petugas house keeping yang datang dan membawa keramik untuk membuat kamar yang ditempati Sipelanggan. Sebentar lagi, ada kiriman tiga buah jug gelas ukuran gelas besar yang berisi Juice Orange, Melon dan Water Melon sebagian tanda permintaan maaf. Keesokan harinya, setelah juice itu setengah habis dan tidak diambil walaupun sudah diberitahukan ke room service, letakkan ketiga jug gelas itu didepan kamar. Beberapa jam kemudian betapa terkejutnya sipelanggan tersebut, ketika melihat bahwa kejug gelas tersebut telah lenyap, yang tersisa hanyalah serbet kainnya. Sipelanggan laporkan hal tersebut pada room service dan mereka hanya mengatakan kemungkinan besar ketiga jug gelas itu terbawa oleh para turis lokal dari lantai yang sama. Disitu, sipelanggan mengerti betapa sulitnya manajer hotel seperti Grand Hyatt tersebut. Disatu sisi, konsumen yang mau diberi service justru malah menyalagunakan kesempatan tersebut. Hotel ini bahkan pernah tercatat sebagai the best profitable Hyatt Hotel in the world, di tahun 1992 yang lalu.

Dengan modal seperti Grand Hyatt Jakarta lantas berani minta toleransi yang lebih besar dari konsumennya yang kebanyakan turis lokal untuk bisa menerima suatu keadaan kamar yang tidak standar. Toh turis lokal bukan reguler customer tapi hanya one time customer. Dengan membuat harga kamar lebih mahal dikamar yang tidak standar pada akhir tahun. Sebenarnya Grand Hyatt Jakarta melakukan apa yang disebut sebagai demarketing yang tujuannya untuk mengurangi demand. Tapi

hebatnya justru permintaan tetap meledak melebihi penawaran. Ini hanya bisa terjadi pada penjual yang sudah punya bargaining position yang kuat

Bagaimana menurut pendapat anda tentang demarketing yang telah dilakukan oleh Grand Hyatt Hotel Jakarta ????

You might also like