You are on page 1of 45

1

SKENARIO A BLOK 13 Ny. A, usia 42 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit dengan demam tinggi disertai menggigil. Sejak 1 minggu sebelum masuk ke rumah sakit ia mengeluh mata dan badan kuning, BAK seperti teh tua, BAB seperti dempul, dan gatal-gatal. Sejak 1 bulan sebelum masuk RS, Ny. A mengeluh nyeri perut kanan atas yang berulang dan menjalar sampai ke bahu sebelah kanan, disertai mual. Pemeriksaan Fisik: Keadaan umum : tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis. Tanda Vital : TD 110/70 mmHg, Nadi 108 x/menit, RR 20x/menit, suhu 39,5 C BB: 60 kg, TB : 158 cm Pemeriksaan Spesifik Kepala : skelera ikterik Leher dan thoraks dalam batas normal Abdomen : inspeksi : datar Palpasi : lemas, nyeri tekan kanan atas (+) Murphys sign (+), hepar tidak teraba, kandung empedu : sulit dinilai. Perkusi : shifting dullness (-) Ekstremitas : palmar eritema (-), akral pucat, edema perifer (-) Pemeriksaan Laboratorium Darah rutin : Hb 12,4 g/dl, Ht 36 vol%, leukosit 16.800/mm3, trombosit : 329.000/mm3, LED 104 mm/jam

Liver function test (LFT) : bil tatal 20,49mg/dl, bil direk 19,94 mg/dl, bil indirek 0,55 mg/dl, SGOT 19u/l SGPT 37 u/l fosfatase alkali 864 u/l Amylase 40 unit/l dan lipase 50 unit/L I. Klarifikasi istilah a. Badan dan mata kuning (ikterus) : warna kekuningan pada skelera, kulit dan mukosa akibat penumpukan bilirubin pada jaringan b. Nyeri perut : rasa tidak nyaman pada perut c. Murphys sign : pemeriksaan untuk menunjang cholesistitis d. Shifting dullness : suara pekak yang berpindah-pindah saat perkusi akibat adanya cairan bebas dalam rongga abdomen e. Palmar eritema : kemerahan pada telapak tangan f. Akral : mengenai ekstremitas g. Bilirubin direk : bilirubin yang telah diambil oleh sel hati dan terkonjugasi. h. Bilirubin indirek : bilirubin yang larut dalam lemak yang bersirkulasi dengan asosiasi longgar terhadap protein i. Amylase : enzim yang mengkatalis peristiwa hidrolisis zat tepung menjadi molekul yang lebih kecil. j. Lipase : Setiap enzin yang mengkatalis anion asam lemak dari trigliserida dan fosfolipida k. Fosfatase alkali : enzim yang diproduksi terutama oleh sel sel hati dan osteoblas yang berasal dari usus dan disekresikan melalui sel empedu.

II.

Identifikasi Masalah

1. Anamnesis Keluhan utama : demam tinggi disertai menggigil RPP : o Sejak 1 bulan yang lalu mengeluh nyeri perut sebelah kanan atas berulang dan menjalar sampai kebahu sebelah kanan disertai mual. o Sejak satu minggu yang lalu mengeluh mata dan badan kuning, BAK seperti teh tua, BAB seperti dempul disertai gatal-gatal.

2. Pemeriksaan fisik Keadaan umum : tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis. Tanda Vital : TD 110/70 mmHg, Nadi 108 x/menit, RR 20x/menit, suhu 39,5 C BB: 60 kg, TB : 158 cm Pemeriksaan Spesifik Kepala : skelera ikterik Leher dan thoraks dalam batas normal Abdomen : inspeksi : datar Palpasi : lemas, nyeri tekan kanan atas (+) Murphys sign (+), hepar tidak teraba, kandung empedu : sulit dinilai. Perkusi : shifting dullness (-)

Ekstremitas : palmar eritema (-), akral pucat, edema perifer (-) 3. Pemeriksaan lab Darah rutin : Hb 12,4 g/dl, Ht 36 vol%, leukosit 16.800/mm3, trombosit : 329.000/mm3, LED 104 mm/jam Liver function test (LFT) : bil tatal 20,49mg/dl, bil direk 19,94 mg/dl, bil indirek 0,55 mg/dl, SGOT 19u/l SGPT 37 u/l fosfatase alkali 864 u/l Amylase 40 unit/l dan lipase 50 unit/L III. Analisis masalah 1. Apa etiologi dan mekanisme dari: a. Demam tinggi disertai menggigil falih lena Jawab : Penyebab kemungkinan adanya inflamasi dan infeksi Mekanisme : adanya choledokolitiasis aliran cairan empedu menjadi terhambat dan terjadi inflamasi pada dinding saluran empedu menjadi tempat yang potensial untuk perkembangan bakteri difagositosis oleh sel-sel radang terjadi pelepasan IL-1 dan TNF alfa mempengaruhi pusat pengaturan suhu dihipotalamus demam kompensasi tubuh untuk meningkatkan suhu tubuh sesuai dengan yang di set oleh hipotalus menggigil. b. Mata dan badan kuning Jawab : Kemungkinan penyebabnya adalah peningkatan bilirubin di darah dan jaringan

Mekanisme : Adanya obstruksi pada ductus choledokus bilirubin terkonjugasi tidak dapat masuk ke duodenum menumpuk di dalam hati dilepaskan kedalam darah peningkatan bilirubin terkojugasi dalam plasma mata dan badan kuning. c. BAK seperti teh tua

Adanya obstruksi pada ductus choledokus

bilirubin

terkonjugasi tidak dapat masuk ke duodenum regurgitasi cairan cairan empedu ke sistemik, dalam hal ini termasuk bilirubin terkonjugasi peningkatan bilirubin konjugasi di plasma ikut terfitrasi di ginjal urin berwarna teh tua d. BAB seperti dempul Jawab : Kemungkinan choledokus. Mekanisme : Adanya obstruksi pada ductus choledokus disebabkan adanya obstruksi total ductus

bilirubin terkonjugasi tidak dapat masuk ke duodenum tidak terbentuk sterkobilin feses berwarna seperti dempul e. Gatal-gatal Jawab : Kemungkinan disebabkan oleh peningkatan garam empedu dalam sirkulasi sistemik dan endapan garam empedu pada saraf di tepi kulit. Mekanisme: Obstruksi saluran empedu empedu gagal masuk ke duodenum bendungan cairan empedu dalam hati regurgutasi empedu (bilirubin, garam empedu, lipid) ke sirkulasi sistemik peningkatan dan penumpukan garam empedu dalam sirkulasi merangsang ujung serabut saraf C pruritoseptif impuls dihantarkan sepanjang serabut saraf sensorik terjadi input eksitasi di kornu dorsalin susunan saraf tulang belakang diproses di korteks serebri timbul perasaan gatal.

f. Nyeri perut kanan atas yang menjalar sampai ke bahu sebelah kanan ? Jawab : Kemungkinan disebakan oleh adanya nyeri alih dari vesica biliaris Mekanisme : Pada kasus ny. A menderita batu empedu dan kolesistitis. Pada batu empedu biasanya akan terjadi usaha dari otot polos dinding vesica biliaris untuk mengeluarkan batu tersebut. Hal ini akan mensensitasi serabut saraf yang menpersarafi otot polos dinding vesica biliaris yaitu plexus coeliacus dan nervus splanchnicus major, dan akan dirasakan nyeri alih di kuadran kanan atau atau daerah epigastrium ( dermatome T7,8,9). Sedangkan nyeri yang menjalar hingga kebahu kanan berkaitan dengan kolesistitis akut yang dapat menyebabkan iritasi peritoneum parietale subdiagfragmaticus yang sebagain dipersarafi oleh nervus phrenicus (C3,4 dan 5). Hal ini akan menimbulkan nyeri alaih ke bahu karena kulit dibahu dipersarafi oleh nervus supraclaviculaer (C3,4)

g. Mual Jawab : Berhubungan dengan nyeru yang dirasakan pada daerah kuadran kanan atas dan epigastrium. 2. Apa interpretasi pemeriksaan fisik? Jawab : Keluhan Ny. A Keadaan umum Normal : Normal, sedang (-) Interpretasi Sakit Pasien masih bisa

tampak sakit sedang

melakukan aktivitas sehari-hari.

Kesadaran:

kompos Kompos mentis

Normal

mentis TD 110/70 mmHg Nadi 108 x/menit RR 20x/menit Suhu 39,5o C BB: 60 kg, TB : 158 cm 120/80 mmHg 60-100x/menit 18-24x/menit 36,5-37,2 oC Normal Normal Febris BMI: 24 Interpretasi: Normal Pemeriksaan Spesifik: Kepala : skelera Kepala: sclera ikterik Bilirubin ikterik Leher dan thoraks dalam normal Abdomen inspeksi : datar Palpasi : lemas, nyeri Nyeri tekan kanan atas (+) atas (-) Murphys hepar dinilai. sign (+), tidak teraba, Murphys sign (-) tekan kanan Nyeri parietal Ada pada empedu Cholecystitis menarik panjang Kandung nyeri. empedu peradangan kandung nafas : batas (-) dalam

jaringan mata

kandung empedu : sulit

Nyeri tekan sewaktu

sulit dinilai karena

10

Perkusi dullness (-)

shifting Tymphani

Adanya cairan

Ekstremitas : palmar eritema (-), akral pucat, edema perifer (-)

Akral: Pucat kuning

3. Bagaimana mekanisme keabnormalan dari pemeriksaan fisik? Jawab : a. Febris (39,5oC) Batu empedu di kandung empedu menyumbat ductus syscticus berpindah ke ductus choledocus (gerakan peristaltik) obstruksi total cairan empedu menjadi statis potensial sebegai tempai perkembang biakan kuman infeksi dan inflamasi pembentukan PGE2 di hipotalamus peningkatan set point dihipotalamus febris b. Sklera icterus Batu empedu di kandung empedu menyumbat ductus syscticus berpindah ke ductus choledocus (gerakan peristaltik) obstruksi total regurgitasi bilirubin sirkulasi sklera sklera icterus c. Murphys Sign (+) Batu empedu di kandung empedu menyumbat ductus syscticus berpindah ke ductus choledocus (gerakan peristaltik) obstruksi total cairan empedu menjadi statis statis potensial sebagai tempat perkembangan kuman terjadi infeksi dan inflamasi nyeri tekan saat pemeriksaan Murphys Sign d. Akral Kuning Pucat

11

Batu empedu di kandung empedu menyumbat ductus syscticus berpindah ke ductus choledocus (gerakan peristaltik) obstruksi total regurgitasi bilirubin sirkulasi kulit di ekstremitas (akral) akral kuning 4. Apa kesimpulan dari pemeriksaan laboratorium? Jawab :

Hasil Ny. A Hb 12,4 g/dl Ht 36 vol%, Leukosit 16.800/mm3 Trombosit : 329.000/mm3 LED 194 mm/jam

Normal 12-16 g/dl 38-48 vol% 4.500-11.000 150.000-350.000

Kesimpulan Normal Normal Leukositosis Normal

Wintrobe: 0-15 mm/jam Westergen: 0-20 mm/jam

LFT: bil total: 20,49 mg/dL Bil. Total: 0,2-1,2 mg/dL bil direk: 19,94 mg/dL Bil. Direk: 0-0,4 mg/dL bil indirek: 0,55 mg/dL SGOT: 19 /L SGPT: 37 /L Bil. Indirek: 0,2-0,8 mg/dL SGOT: 5-40 IU/L SGPT: 0-40 IU/L Normal Normal Normal

12

Fosfatase alkali: 864 /L Amylase: 40 unit/L Lipase: 50 unit/L

Fosfatase alkali: 35125 IU/L Amilase: <120 unit/L Lipase: < 190 unit/L

normal normal

5. Bagaimana mekanisme keabnormalan laboratorium? Jawab : a. Leukosit meningkat : adanya peradangan peningkatan leukosis b. LED meningkat karena adnya peradangan Bilirubin total dan bilirubin direk meningkat : Adanya obstruksi pada ductus choledokus bilirubin terkonjugasi tidak dapat masuk ke duodenum memumpuk di hati regurgitasi cairan cairan empedu ke sistemik, dalam hal ini termasuk bilirubin terkonjugasi peningkatan bilirubin konjugasi dan bilirubin total di dalam plasma Fosfatase alkali meningkat: fosfatase alkali dibuat oleh sel hati dan disekresikan bersama cairan empedu. Jika terjadi obstruksi total pada ductus choledokus cairan empedu beserta fosfatase alkali tidak dapat di sekresikan kedalam duodenum regusgitasi ke sistemik peningkatan fosfatase alkali 6. Apa diagnosis banding kasus ini?

13

Jawab :

7. Apa pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan? Jawab :

14

a. USG, untuk melihat besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik b. endoscopic ultrasonography ( ESU) untuk mendeteksi batu saluran empedu c. endoscopic retro grade cholangio pancreatography (ERCP) Untuk mendeteksi batu saluran empedu d. magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) untuk mendeteksi batu empedu.

8. Bagaimana cara penegakan diagnosis dan apa diagnosis kerja dari kasus ini? Jawab : Diagnosis kerja: Ny. A, 42 tahun menderita ikterik obstruktif a. Anamnesis : nyeri kolik perut kanan atas epigastrium yang menjalar ke pundak/skapula kanan, nyeri tekan, peningkatan suhu badan b. Pemeriksaan fisik : murphy sign yaitu teraba massa kandung empedu, nyeri tekan, tanda-tanda peritonitis lokal serta ikterik dengan peningkatan bilirubin tinggi c. Pemeriksaan laboratorium : leukositosis, peningkatan transaminase dan fosfatase alkali d. Pemeriksaan penunjang : USG untuk memastikan adanya batu, memperlihatkan besar, bentuk, dan tebal kandung empedu 9. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari hepar dan vesica fellea? Sintesis 10. Apa etiologi dan factor resiko kasus ini?

15

Jawab : Faktor resiko tersebut antara lain: 1. Genetik Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan

membentuk batu empedu bisa berjalan dalam keluarga. Di negara Barat penyakit ini sering dijumpai, di USA 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu. Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan Swedia. 2. Umur Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Sangat sedikit penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu dengan semakin bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu, sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga orang. 3. Jenis Kelamin Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki. Sementara di Indonesia jumlah penderita wanita lebih banyak dari pada laki-laki. 4. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga

16

mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu. 5. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu. 6. Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi . 7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik. 8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

11. Bagaimana epidemiologi kasus ini? Jawab : Paling banyak ditemukan di Amerika 10% dan di seluruh dunia 20% pada mereka yang berumur di atas 40 tahun.

17

Wanita 4 : 1

12. Bagaimana pathofisiologi kasus ini? Ceyka Adrian

3F 18 Fatty Forty female

Hipersaturasi kolesterol Terbentuk batu dalam kantung empedu Ductus cysticus tersumbat Gerakan peristaltic untuk mengeluarkan batu

kolelitiasis

kolengitis

Sensitasi saraf aferen plexus coeliacus setinggi T 7, 8, 9 Nyerih alih yang dirasakan pada kuadran kanan atas. Dermatom yang dipersarafi oleh T 7, 8 9 Regurgitasi cairan empedu dan fosfatase alkalin ke sistemik

Batu berpindah ke ductus cysticus Obstruksi total choledokolitiasis

Tidak terbentuk sterkobilin Feses seperti dempul

Cairan empedu statis Infeksi dan inflamasi

Badan dan skelera kuning dan Peningtakan fosfatase alkalin

Garam empedu mensentitasi ujung saraf tipe C

Demam

Leukositosis dan LED meningkat

Gatal-gatal Iritasi peritoneum parietal subdiagfragmaticus y dipersarafi oleh N. phrenicus (C3-5)

Nyeri alih ke bahu karena kulit bahu di persarafi oleh n. supraclaviculares (C3, 4)

13. Bagaimana manifestasi klinis kasus ini? Adrian asep Ikterus, nyeri perut kanan atas dengan kombinasi mual, muntah dan panas. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pada

19

kuadran kanan atas dan sering teraba kandung empedu yang membesar dna tanda-tanda peritonitis, pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis dan peningkatan bilirubin. 14. Bagaimana tatalaksan kasus ini? jawab a. Pengobatan umum seperti istirahat total, pemerian nutrisi parenteral (agar tidak terjadi gerakan paristaltik vecisa biliaris), diet ringan, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodic. Pemberian antibiotic penting untuk mencegah komplikasi. Golongan AB yang dapat digunakan seperti ampisilin, sefalosporin, dan metramidazol karena biasanya kuman-kuman penyebab adalah E. coli, s. faecalis, dan klebsiella. b. Kolesistektomi invansif laparoskopi didalam merupan rongga teknik pembedahan dengan

menimal

abdomen

menggunakan pneumoperitoneum, system endokamera, dan instrument khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh langsung kandung empedunya. Jika usaha ini tidak berhasil atau tidak memungkinkan dilakukan kolesistektomi laparoskopi maka dilakukan kolesistektomi terbuka. c. Nutrisi 1. Rendah lemak dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna. 2. Cukup kalori, protein dan hidrat arang. Bila terlalu gemuk jumlah kalori dikurangi. 3. Cukup mineral dan vitamin, terutama vitamin yang larut dalam lemak. 4. Intake banyak cairan untuk mencegah dehidrasi.

20

15. Bagaimana prognosis kasus ini? Fungsionam bonam Vitam bonam 16. Apa komplikasi yang dapat terjadi dalam kasus ini? Jawab : a. Hepatorenalsyndrome, b. Severe septis sampai septic shock, c. Kegagalan hati. 17. Bagaimana tindakan preventif untuk kasus ini? Jawab : Karena dalam kasus ini penyebab ikterusnya adalah

choledokolitiasis maka tindakan preventif ny adalah untu mengehindari terjadinya kolelitiasis membatasi makanan berlemak memperbanyak makanan berserat untuk mencegah

pembentukan batu empedu lebih lanjut. Bila kelebihan berat badan, menurunkan berat badan secara bertahap sangat penting untuk mencegah dan meminimalkan keluhan batu empedu. Tidak makan sebelum tidur. Karena Makanan kecil sebelum tidur dapat menaikkan garam empedu dalam kandung empedu. Membiasakan minum kopi dan makan kacang-kacangan. Selain berbagai manfaat lainnya ada beberapa bukti bahwa kopi bisa mengurangi risiko mengembangkan batu empedu,

21

setidaknya pada orang berusia 40 hingga 75 tahun. Dalam sebuah studi pengamatan yang melacak sekitar 46.000 dokter laki-laki selama 10 tahun, mereka yang minum dua sampai tiga cangkir kopi berkafein setiap hari mengurangi risiko pengembangan batu empedu sampai 40%. Dalam studi lain, konsumsi kacang tanah atau kacang-kacangan lainnya juga berhubungan dengan risiko yang lebih rendah untuk kolesistektomi. 18. Apa KDU untuk kasus ini? Tingkat Kemampuan 3 3a. Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).

IV.

Hipotesis Ny. A 42 tahun menderita cholesistitis karena choledokolithiatis

V.

Kerangka konsep

22

Ny. A, 42 tahun Faktor resiko: 3F cholecystitis Hipersaturasi kolesterol Batu empedu Tersumbat di ductus cysticus Gerakan peristaltik Obstruksi total (choledocholithiasis) Icterus obstruksi VI. Sintesis A. Anatomi fisiologi hepar dan vesica biliaris a. HEPAR Anatomi Hepar adalah kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat rata-rata 1.500 gr atau2% dari total berat badan orang dewasa normal. Letaknya tepat dibawah diafragma kanan. Hati memiliki 2 lobus, yaitu lobus kiri dan lobus kanan yangdibatasi oleh ligamentum falsiformis. Pada bagian posterior hati terdapat portahepatica tempat dimana masuknya vena porta dan arteria hepatica dan keluarnyaduktus hepatica.Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominlaistepat dibawah diafrgama. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus costalisdextra, dan hemidiafrgma dextra memisahkan

cholangitis

23

hepar dari pleura, pulmo, pericardium dan cor. Hepar terbentang ke seblah kiri untuk mencapaihemidiafragma sinistra. Permukaan atas hepar yang cembung melengkung di bawah kubah diafragma. Fascia viseralis membentuk cetakan visera tang letaknya berdekatan sehingga bentuknya menjadi tidak beraturan. Permukaan ini berhubungan dengan pars abdominalis oesofagus, gaster, duodenum, fleksura colidextra, rend extra dan glandula suprarenalis dextra, serta vesica biliaris.Hepar dibagi menjadi lobus hepatis dexter yang besar dan lobus hepatis sinister yang kecil oleh perlekatan ligamentum peritoneale, ligamentum falciforme. Lobushepatis dexter terbagi lagi menjadi lobus quadrates, dan lobus caudatus olehadanya vesica biliaris, fissure ligament teretis, vena cava inferior, dan fissureligament venosi. Porta hepatis, atau hilus hepatis, terdapat pada fascies viseralis, dan teletak diantara lobus caudatus dan lobus quadrates. Bagian atas ujung bebas omentumminus melekat pada pinggir-pinggir porta hepatis. Pada tempat ini terdpat duktushepaticus sinister dan dexter, ramus dexter dan sinister arteria hepatica, vena portae hepatis, serta serabut saraf simpatis dan parasimpatis. Disisni terdapat beberapa kelenjar limf hepar. Kelenjar-kelnjar ini menapung cairan limf hepar danvesica biliarus, dan mengirimkan serabut eferannya ke nodi lymphoidei coeliaci.Seluruh hepar dikelilingi oleh capsula fibrosa, tetapi hanya sebagian ditutupi oleh peritoneum. Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena sentralis pada masing-masing lobules bermuara ke vena hepaticae. Di dalam ruangan diantara lobules-lobulus terdapat canalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena portae hepatis, dan sebuah cabang duktus choledochus (trias hepatis). Daraharteria dan vena berjalan diantara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkanmelalui vena sentralis.

24

Pendarahan Vasa darah yang memberi darah ke hepar adalah a.hepatica dan v.portae hepatis.a.hepatica membawa darah yang kaya oksigen ke hepar, sedangkan v.portaehepatis membawa darah vena yang kaya hasil pencernaan yang telah diserap daritractus gastrointestinal. Darah arteri

25

dan vena masuk ke v.centralis dari setiaplobules hepatis melalui sinusoid hepar.Vena centralis bermuara ke vena hepaticadextra et sinistra, dan meninggalkan permukaan posterior hepar menuju vena cavainferior. Limfe Hepar menghasilkan banyak limfe, sekitar 1/3-1/2 seluruh limfe tubuh. Vasa limfemeninggalkan hepar dan masuk ke beberapa lymphonodus di porta hepatis. Vassaefferent menuju LN.coeliacus. Sejumlah kecil vasa limfe menembus diafragmamenuju LN.mediastinalis posterior. Persyarafan N.symphaticus dan N.parasymphaticus yang berasal dari plexus coeliacus. Fisiologi Fungsi hepar yaitu (1) membentuk dan mensekresikan empedu ke dalam traktusintestinalis; (2) berperan pada banyak metabolisme yang berhubungan dengankarbohidrat, lemak dan protein; (3) menyaring drah untuk membuang bakteri dan benda asing lain yang masuk ke dalam darah dari lumen intestinum. Fungsi hepar yang utama adalah membentuk dan mengekskresi empedu. Hatimenyekresi sekitar sekitar 500 hingga 1.000 ml empedu kuning setiap hari. Hati juga berperan dalam metabolism makronutrien yaitu karbohidrat, lemak dan protein, serta berperan dalam fungsi detoksifikasi. Metabolisme Bilirubin Bilirubin adalah suatu pigmen berwarna kuning berasal dari unsure porfirin dalamhemoglobin yang terbentuk sebagai akibat penghancuran sel darah merah oleh selretikuloendotelial. Wlaupun berasal dri hemoglobin, bilirubin tidak mengandungzat besi. Bilirubin yang baru terbentuk ini larut dalam lemak. Di dalam plasmaakan berikatan dengan albumin. Oleh karena terbentuk secara normal dari penghancuran sel darah merah, maka metabolism dan sekresi selnjutnya dapat berlangsung secara terus-menerus.Hemoglobin yang berasal dari

26

penghancuran sel eritorsit oleh makrofag di dalamlimpa, hati, dan alat retikuloendotel lain akan mengalami pemecahan menjadiheme dan globin. Melalui proses oksidasi, komponen globin mengalami degradasimenjadi asam amino dan digunakan untuk pembentukan protein lain. Unsur heme selanjutnya oleh heme-oksigenase, teroksidasi menjadi biliverdindengan melepas zat besi dan karbonmonoksida. Bilirubin reduktase akanmereduksi biliverdin menjadi bilirubin tidak terkonjugasi. Walaupun lebih dari 80% bilirubin terjadi dari eritrosit namun sekitar 1520% bilirubin dapat pula berasal dari hemoprotein lain seperti mioglobin, sitokrom.Bilirubin tak terkonjugasi ini adalah suatu zat lipofilik, larut dalam lemak, hampir tidak larut dalam air sehingga tidak dapat dikeluarkan lewat urine melalui ginjal(disebut pula bilirubin indirek karena hanya bereaksi positif pada tes setelahdilarutkan ke dalam alcohol). Karena sifat lipofilik zat ini dapat melaluimembrane sel dengan relative musah. Setelah dilepas ke dalam plasma sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi ini akan membentuk ikatan dengan albuminsehingga dapat larut dalam darah. Pigmen ini secara bertahap berdifusi ke dalamsel hati (hepatosit). Dalam hepatosit, bilirubin tak terkonjugasi ini dikonjugasidengan asam glukoronat membentuk bilirubin glukoronida atau bilirubinterkonjugasi (bilirubin direk). Reaksi konjugasi dikatalisasi oleh enzim glukoroniltransferase, yaitu suatu enzim yang terdapat di RE dan merupakankelompok enzim yang mampu memodifikasi zat asing yang bersifat toksik.Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, dapat dikeluarkan melalui ginjal namundalam keadaan normal tidak dapat dideteksi dalam urine. Sebagian besar bilirubinterkonjugasi ini ini dikeluarkan ke dalam empedu, suatu komponen kolesterol,fosfolipid, bilirubin diglukoronida dan garam empedu. Sesudah dilepas kedalamsaluran cerna bilirubin glukoronida diaktifasi oleh enzim bakteri dalam usus,sebagian menjadi

27

urobilinogen yang akan keluar melalui tinja (sterkobilin), ataudiserap kembali dari saluran cerna, dibawa ke hati dan dikeluarkan kembali kedalam empedu. Urobilinogen dapat larut ke dalam air, oleh karena itu sebagiandikeluarkan melalui ginjal. PATOFISIOLOGI IKTERIK Ikterus yaitu penimbunan pigmen empedu dalam tubuh sehingga tubuh jadi kuning. Bisa dideteksi terutama pada jaringan permukaan yang kaya elastin seperti sklera, permukaan bawah lidah, kemudian kulit, urine, apabila kadar bilirubin mencapai 2-3 mg/dl, dimana normalnya hanya 0.3-1 mg/dl.

Metabolisme Bilirubin Normal Bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit yang masa hidupnya hanya 120 hari. Setiap hari 50 ml darah akan dihancurkan sehingga terbentuk 200-250 mg bilirubin. Prosesnya; Pembentukan bilirubin secara berlebihan Penyebab utamanya karena anemia hemolitik, sehingga disebut ikterus hemolitik. Dimana bilirubin tak terkonyugasi tersedia dalam jumlah banyak melampaui kemampuan hati. Kadar bilirubin serum meningkat, namun karena Bilirubin tak terkonyugasi tidak larut dalam air, jadi tidak dikeluarkan melalui urine. Urobilinogen dan sterkobilinogen meningkat. Akibat peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan konyugasi dan ekskresi, maka kemih dan feses menjadi gelap. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati Bisa terjadi karena obat-obatan, seperti flavaspida (obat cacing pita), novobiasin, dan beberapa zat warna kolesistgrafik. Gangguan konyugasi bilirubin

Ikterus fisiologis pada neonatus, apabila hiperbilirubinemia tak terkonyugasi yang ringan (<11.9 mg/100 ml) pada hari ke 2-

28

5 setelah lahir. Hal ini disebabkan kurang matangnya enzim glukornil transferase

Kernikterus atau Bilirubin enselopati, apabila kadar bilirubin >20 mg/100 ml pada bayi baru lahir. Penyebabnya poses hemolitik (eritoblastsis fetalis) terjadi pada bayi baru lahir karena defisiensi glukoronil transferase

Penurunan ekskresi bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstrahepatik. Bisa menimbulkan bilirubinuria karena bilirubin terkonyugasi larut dalam air, sehingga kemih menjadi gelap. Urobilinogen feses dan kemih sering berkurang sehingga feses pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonyugasi disertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti meningkatnya fosfatase alkali serum, meningkatnya AST, meningkatnya kolesterol, meningkatnya garam-garam empedu.

b. Vesica Fellea anatomi Kandung empedu ( Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada permukaan visceral hepar. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.

29

Pembuluh darah kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica kanan. V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.

Fisiologi Vesica Fellea Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini, mukosanya

30

mempunyai lipatan lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Selsel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli. Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum. Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. B. kolelitiasis a. Defenisi Kolelitiasis Kolelitiasis disebut juga Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.

31

b. Etiologi Kolelitiasis Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan ole perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu. c. Faktor Risiko Kolelitiasis Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain : 1. Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki) 2. Usia lebih dari 40 tahun . 3. Kegemukan (obesitas). 4. Faktor keturunan 5. Aktivitas fisik 6. Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan) 7. Hiperlipidemia 8. Diet tinggi lemak dan rendah serat 9. Pengosongan lambung yang memanjang 10. Nutrisi intravena jangka lama 11. Dismotilitas kandung empedu 12. Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)

32

13. Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan (kekurangan garam empedu) 14. Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih, baru orang Afrika) d. Patofisiologi Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik. Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan. e. . Klasifikasi Kolelitiasis Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan: 1. Batu kolesterol penyakit ileus

33

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama : a. Supersaturasi kolesterol b. Hipomotilitas kandung empedu c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat. 2. Batu pigmen Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20% kolesterol. Jenisnya antara lain: a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat) Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim Bglukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi. b. Batu pigmen hitam. Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini

34

terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril. 3. Batu campuran Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.

Gambar 2. Klasifikasi batu dalam kandung empedu f. Manifestasi Klinis Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali terulang. Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau

35

dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu. g. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis : 1. Asimtomatik 2. Obstruksi duktus sistikus 3. Kolik bilier 4. Kolesistitis akut 5. Perikolesistitis 6. Peradangan pankreas (pankreatitis)-angga 7. Perforasi 8. Kolesistitis kronis 9. Hidrop kandung empedu 10. Empiema kandung empedu 11. Fistel kolesistoenterik 12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu muncul lagi) angga 13. Ileus batu empedu (gallstone ileus) Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu

36

menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alatalat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata. Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. h. Diagnosa 1. Anamnesis Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah

asimtomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.

37

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. 2. Pemeriksaan Fisik i. Batu kandung empedu Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. ii. Batu saluran empedu Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis. 3. Pemeriksaan Penunjang i. Pemeriksaan laboratorium Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar

38

fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. ii. Pemeriksaan Radiologis Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.3

Gambar 3. Foto rongent pada kolelitiasis iii. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG) Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi

39

karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

Gambar 4. FotoUSG pada kolelitiasis 14

iv. Kolesistografi Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. i. Penatalaksanaan

40

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak. Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan. Pilihan penatalaksanaan antara lain : 1. Kolesistektomi terbuka Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. 10 2. Kolesistektomi laparaskopi Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah

41

dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.

Gambar 5. Kolesistektomi laparaskopi 3. Disolusi medis Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu empedu dilakukan cara ini an sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi criteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten. 4. Disolusi kontak

42

Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun). 5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biayamanfaat pad saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

43

Gambar 6. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)

6. Kolesistotomi Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya kritis. 7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

44

Pada

ERCP,

suatu

endoskop

dimasukkan

melalui

mulut,

kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat.

Gambar 7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

DAFTAR PUSTAKA Snell, Richard S. 2000 Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran , Jakarta : EGC

45

Guyton, Arthur C.2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta : EGC Prince, Sylvia A. Lorraine M. Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, Jakarta : EGC Sudoyo, Aru W. dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : internalpublising Murray, Robert K. dkk.2006. Biokimia Harper. Jakarta : EGC Lesmana L. Batu empedu. Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380384.

You might also like