You are on page 1of 32

Jalan Ke Koto Panjang (Kronologi 1979 - 2000) 1979 September.

PLN merencanakan pembangunan dam skala kecil di Tanjung Pauh dalam rangka memanfaatkan potensi Batang Mahat anak Sungai Kampar Kanan. September dan November TEPSCO (Tokyo Electric Power Service Co. Ltd) perusahaan konsultan Jepang mengirim tim pencarian proyek (project finding) ke Sumatera . Dari hasil survey yang dilakukan, TEPSCO mengusulkan pembangunan waduk dengan skala besar, yakni pertemuan antara Kampar Kanan dengan Batang Mahat dengan lokasi damsitenya di daerah Koto Panjang. Potensi sungai-sungai di Riau Kampar Kanan; 233 MW Kampar Kiri, 178 MW; Rokan Kanan, 56 MW; Rokan Kiri132 MW; Kuantan,350 MW. 1980 Maret, TEPSCO mempresentasikan usulannya ke Pemerintahan Jepang dan Indonesia Agustus, TEPSCO kembali mengirim tim penelitian pra studi kelayakan ke damsite. Hasil TEPSCO 1980 membuahkan 2 usulan. Pertama, dibangun -rencana--bendungan sebanyak 2 buah yang berlokasi di Tanjung Pauh dan Koto Panjang. Kedua, dibangun bendungan tunggal berskala besar di lokasi Koto Panjang. Dari hasil pra studi kelayakan ini, TEPSCO menyarankan kepada PLN/Pemerintah untuk melakukan perbandingan kedua usulan tersebut. Dalam hal ini khusus TEPSCO memiliki kecendrungan membangun bendungan tunggal berskala besar di Koto Panjang. Karena dianggap biayanya lebih murah dan kapasitas listrik yang akan dihasilkan jauh lebih besar 1981 September-Oktober Japan International Cooperation Agency (JICA) menindak lanjuti hasil dari TEPSCO, dan mengirim tim sebanyak 4 (empat) orang yang terdiri dari 2 (dua) orang consultan dari perusahaan Hokuden Kogyo Ltd dan 2 (dua) orang dari anggota JICA. 1982 JICA melakukan survey penuh berupa studi kelayakan proyek untuk usulan ini. Tim beranggotakan sebanyak 14 orang bersama dengan TEPSCO. Dalam pelaksanaan ini,

TEPSCO juga bekerja sama dengan PT. Yodoya Karya Studi ini juga dalam rangka memperbandingkan rencana bendungan tunggal dengan dua bendungan bertahap Bendungan tunggal, lokasi di Koto Panjang; kapasitas 114 MW; tinggi bendungan 58 meter. Yang akan tenggelam 2.6444 rumah; 8.989 ha kebun-sawah; jalan negara 25,3 km dan jalan propinsi 27,2 km Dua bendungan bertahap, bendungan I lokasi Tanjung Pauh; kapasitas 23 MW; tinggi bendungan 38 meter. Bendungan II lokasi di Koto Panjang; kapasitas 41 MW; tinggi bendungan 30,5 m. Dari studi kelayakan tersebut, kedua bendungan ini akan menenggelamkan rumah sebanyak 390 buah, 1.860 ha sawah dan kebun dan jalan negara sepanjang 16 meter. Berdasarkan studi ini akhirnya diputuskan untuk membangun Bendungan tunggal skala besar dengan pertimbangan biaya lebih murah sedagkan kapasitas listrik yang dihasilkan lebih besar dibanding denga dua bendungan bertahap. 1983 Pemda Kampar mulai melakukan Rekayasa sosial, penggalangan masa dengan jargon Kebulatan tekad bertempat di Pesantren Tarbiyah Islamiyah Batu Bersurat yang dilakukan atas nama Masyarakat XIII Koto Kampar yang siap berkorban untuk mewujudkan pembangunan Dam Koto Panjang,. 1984 Berdasarkan hasil laporan penelitian JICA dan TEPSCO, Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) memberi Pemerintah Indonesia bantuan sebesar 1, 152 Miliar Yen untuk Engineering Service. 1987-1990 Pemerintah Daerah Kampar antara tahun 1987-1990 sudah mengambil langkah cepat. Seluruh harta kekayaan penduduk yang bakal tenggelam di daftar. Pohon, rumah, pekarangan, sawah semua dicatat. Pemerintah melarang penduduk membangun atau membuka lahan pertanian baru. Pemerintah Daerah juga menghentikan pembangunan sarana dan prasarana umum seperti, puskesmas, pasar atau juga sekolah bahkan jalan sepanjang 35 kilometer di daerah ini tidak lagi diperhatikan. 1990 April. Koran Nihon Keizai Shinbun memuat berita tentang kerusakan lingkungan berkaitan dengan proyek Koto Panjang Agustus. Prof. Sumi Kazuo (Yokohama City University) dan Damoto Akiko (Anggota

Dewan Majelis Tinggi) Jepang mengunjungi lokasi September. Prof. Prof. Sumi Kazuo. Cs mengajukan permohonan kepada Pemerintah Jepang untuk menghentikan pemberian pinjaman untuk pembangunan dam Koto Panjang September, Pemerintahan Jepang mengirim tim Appraisal ke Indonesia. Karena di Jepang terjadi perdebatan soal kelayakan secara ekonomi, sosial dan lingkungan dari proyek ini Oktober, Di berbagai media sudah gencar memberitakan bahwa PLTA Koto Panjang positif di bangun. Oktober, 9 Rekayasa sosial ke II terjadi lagi dengan adanya kebulatan tekad di desa Pulau Gadang. Kebulatan tekad ini , dibacakan oleh Imam Bachtiar Datuak Tandiko Pemuka Adat Desa Pulau Gadang. Acara yang diawali dengan peyerahkan sebilah keris oleh salah seorang pucuk adat XIII Koto Kampar kepada Gub. Riau Soeripto, kemudian pucuk adat yang lain memberikan Lambang Adat dan Miniatur Perahu kepada Bupati Kampar Saleh Djasit dan Kep. Proyek Koto Panjang Tunjung Wicaksono. Salah satu diktum penting yang termaktup dalam kebulatan tekad th 1983 di Batu Bersurat dan Pulau Gadang tgl 9 Okt. 1990 adalah bahwa syarat pemindahan harus meliputi seluruh masyarakat yang ada disuatu desa dan di tempatkan di sekitar piggiran danau. Kemudian, penempatan kembali harus secara kolektif mutlak harus dilakukan agar masyarakat dapat mempertahankan adat dan tradisi mereka. Desember, 7. Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan SK Gubernur KDH TK I Nomor 671.21-610-90 tentang Panitia Pembebasan Tanah, dengan struktur Ketua : Bupati Kepala Daerah Kab. 50 Kota Sekretaris : Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten 50 Kota Anggota : Instansi Bappeda, Kantor Pelayanan Pajak Bumi, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas PU, Camat Pangkalan Koto Baru, Kepala Desa Tanjung Pauh -Tanjung Balit dan Ketua KAN Tanjung Pauh-Tanjung Balit Desember,. Di Jepang desakan untuk menghentikan pendanaan atas proyek Koto Panjang Semakin Kuat . Walaupun demikian, pada 13 Desember Pemerintahan Indonesia dan Jepang tetap menanda tangani kesepakatan Exchance Note (E/N) atas proyek Koto Panjang dengan nama "Koto Panjang Hydroelecttric Power and Asosiated Transmision Line Project" .dan menurunkan dana bantuan pertama 12,500 Milyar Yen. Selanjutnya OECF membuat Law Agreement dengan Pemerintah Indonesia. 1991 Januari, 19. Dubes Jepang untuk Indonesia di Jakarta mengatakan bahwa pihak Jepang

telah menerima semua laporan dari pihak Indonesia mengenai syarat-syarat yang berhubungan dengan pembanguan PLTA Koto Panjang. Disamping itu, Pemerintah Jepang juga telah menerima laporan dari delegasi Fact Finding yang dikirim oleh OECF pada bulan Des. 1990. Berdasrakan laporan tersebut, dikatakan bahwa sudah tidak ada masalah untuk soal ganti rugi. Walaupun demikian, isi laporan tersebut belum diketahui dengan pasti. Hanya saja disebut-sebut bahwa nilai ganti rugi sudah dinaikan sedikit, tetapi besar kenaikannya belum diketahui. April. 3 Saleh Djasit dilantik menjadi Bupati Kampar Priode II oleh Soeripto (Gubernur Riau). Dalam pidatonya, Soripto mengingatkan agar persiapan pelaksanaan pembangunan proyek listrik tenaga air Koto Panjang terus dilaksanakanan dan tidak boleh berhenti karena kehadiran proyek itu merupakan perjuangan yang cukup panjang sejak tahun 1979. Kehadiran proyek ini akan dapat megubah wajah Kab. Kampar kearah yang lebih cerah. Manfaat lain dari proyek ini akan mampu mendorong pembangunan industri, seperti pabrik kelapa sawit, kayu lapis dan industri hilir lainnya April, 24. Rapat terpadu di kantor Bappeda Sumbar antara Pemda Riau dan Sumbar dan Kepala Biro Regional I Bappenas Pusat DR. Ir. Manuhoto. Seusai rapat, Ir. Syahhril Amir --Pimpinan Proyek Induk Pembangkit Jaringan (Pikitring) PLN Sumbar-Riau- menyatakan adanya rencana untuk melakukan studi banding ke Cirata dan Saguling di Jawa Barat itu diberikan untuk 150 orang pimpinan masyarakat. Pengiriman 150 pemuka masyarkat Kampar dan 50 Kota menurut Wagub Sumbar Drs. Sjoerkani, "adalah untuk memperlancar proses realisasi proyek fisik PLTA Koto Panjang. Sebab masyarakat harus tahu persis peran apa yang dimintakan kepada mereka agar PLTA Koto Panjang berjalan mulus. April. Diberitakan bahwa pemerintah Jepang memberikan tiga sayarat untuk pinjaman Yen pembangunan Dam Koto Panjang, 1. Gajah yang bermukim di lokasi harus diselamatkan dengan memindahkannya ke tempat perlindungan yang cocok 2. Tingkat kehidupan KK yang kena dampak dari proyek Koto Panjang tingkat kehidupannya harus sama atau lebih baik dari kehidupannya di tempat lama 3. Persetujuan pemindahan bagi yang terkena dampak proyek prosesnya harus dilakukan dengan adil dan merata

Juli. Wakil dari masyarakat Koto Panjang mengunjungi Kantor Perwakilan OECF di Jakarta dan mengklaim bahwa persetujuan pemindahan dan ganti rugi didapat dengan intimidasi September, Lima orang utusan yang mewakili 4.885 KK warga Koto Kampar melakukan aksi ke Jakarta menyampaikan tuntutan mereka tentang rendahnya harga ganti rugi. Tuntutan itu disampaikan dengan mendatangi : DPR RI, 2 Sepetember 1991 Kedubes Jepang, 3 Sepetember 1991 Ke kantor OECF Jakarta 4 Sept. 1991 Aksi ke Depdagri Kamis , 5 September 1991 Oktober, Pemerintah Indonesia menyerahkan rencana Aksi (Action Plan) menyangkut tiga syarat yang diajukan Pemerintah Jepang November, 6-7. OECF bersama Aparat Pemda Riau dan Sumbar mengunjungi lokasi pemukiman Koto Ranah dan Muara Takus Desember. Pemerintah Jepang dan OECF mengirim tim ke lokasi duntuk konfirmasi mengenai rencana pelaksanaan Dana tahap II Koto Panjang sebesar 17,525 Miliar Yen diturunkan 1992 Januari. Pemerintah Indonesia menyerahkan laporan akhir yang berisi bahwa tiga syarat yang ditetapkan telah dipenuhi July. Pemerintah Jepang menilai bahwa tiga syarat telah dipenuhi dan secara resmi membuat kontrak perjanjian Agustus, Masyarakat Pulau Gadang Mulai dipindahkan ke lokasi pemukiman baru di Silam Koto Ranah. Pemindahan rakyat Pulau Gadang ke pemukiman baru, dibawah ancaman pihak militer, terutama yang sangat berperan adalah dari Bataliyon 132 yang bermarkas di Bangkinang. 1993 Januari. Pembangunan mulai dilaksanakan Juni. TEPSCO menerima kontrak untuk mengawasi proyek, sedangakan untuk pembangunan dam kontraknya dilakukan oleh HAZAMA dengan perusahaan lokal Juli, 29, Rakyat Tanjung Pauh sebanyak 312 KK atau 1152 jiwa dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II di Rimbo Datar Kecamatan Pangkalan Juli, Rakyat Tanjung Balit sebanyak 401 KK atau dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II di Rimbo Datar 1994 Empat orang warga Tanjung Balit (Syamsuri Cs) mendatangi DPRD Tk I Sumbar

menyampaikan tuntutan ganti rugi yang belum dibayar. Januari, 8 -10. Rakyat Muara Takus sebanyak 244 KK dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) I di Selatan Muara Takus Kec. XIII Koto Kampar Maret, 21. Rakyat Muara Mahat sebanyak 447 KK dipindahkan Satuan Pemukiman (SP) Blok X/G di daerah Sibuak Bagkinang Kec. Tapung dengan Pola PIR Maret, 28, Kamis. Rakyat Koto Tuo sebanyak 599 KK dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II Selatan Muara Takus Kec. XIII Koto Kampar Agustus, Rakyat Tanjung Pauh sebanyak 38 KK atau 387 jiwa kembali dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II di Rimbo Datar Agustus, Rakyat Tanjung Balit sebanyak 49 KK kembali dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II di Rimbo Datar Oktober, Rakyat Tanjung Alai sebanyak 313 KK atau sebanyak 1600 jiwa dipindahkan ke ke Unit Pemukiman Penduduk (UPP) Ranah Koto Talago Kec. XIII Koto Kampar. 1995 Juli, 2, Sabtu. Rakyat Lubuk Agung sebanyak 220 KK atau 1082 jiwa dipindahkan ke Unit Pemukiman Penduduk (UPP) Ranah Sungkai Koto Tangah Kec. XIII Koto Kampar. 1996 Warga Tanjung Balit mengadukan kasus ganti rugi mereka ke Komnas Ham Maret. Bendungan selesai dibangun dan penggenangan percobaan dilakukan 1997 Feruari, 28 hari Jumat, Penggenangan secara resmi, penekanan tombol penurunan pintu-pintu sekat air dam dilakukan Mei, Masyarakat Tanjung Pauh yang dimukimkan di Rimbo Datar, menolak pemberian sertifikat atas lahan kebun karet yang dikeluarkan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kab. 50 Kota. 1998 Januari 6, Pangkalan Mengalami banjir besar. Wilayah Kecamatan Pangkalan Koto Baru (diluar areal proyek PLTA) kabupaten 50 kota secara umum merupakan daerah tangkapan air dengan beberapa sungai dan anak sungai seperti; Batang Mangilang, batang Samo dan Batang Mahat. Meskipun hujan turun berhari-hari, tidak pernah terjadi banjir besar. Karena, wilayah ini memiliki siklus banjir alami yakni satu kali dalam 25 tahun. Februari 2, Pangkalan Kembali mengalami banjir. Pasca dam Koto Panjang, setiap hari

hujan wilayah ini mengalami banjir besar. Banjir besar sekarang ini, merupakan banjir kedua kali (pertama tanggal 6 Januari 1998), dan menyebabkan terputusnya transportasi Sumbar - Riau. Ketinggian muka air disaat banjir, tidak wajar lagi. Capaian ketinggian air sudah sampai keloteng rumah penduduk bahkan Mapolsek dan Puskesmas Pangkalan ikut ditenggelamkan. Mei . 10 (Minggu), Banjir Pangkalan didiskusikan di GOR Rumah Makan Rangkiang Pangkalan. Penyebab banjir besar, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh adanya dam Koto Panjang.. Sebelum adanya PLTA Koto Panjang, air sungai diwilayah ini mengalir sampai jauh sampai ke Muaro Mahat. Sekarang, sampai di Tanjung Balit aliran air sungai menjadi tersendat, sehingga air sungai Batang Mangilang, batang Samo dan Batang Mahat menjadi naik. Disamping itu, terlihat bahwa, ketika hari hujan, air sungai cepat naik, turunnya sangat lambat. Bagi penduduk Pangkalan yang berjumlah 22.000 jiwa, banjir yang dua kali melanda wilayah ini membuat mereka menjadi stress dan traumatik. Oleh karena itu, dalam kunjungan lapangan ke 50 Kota, Komisi A Bidang Pemerintahan DPRD Sumbar yang dipimpin oleh ketuanya Drs. Syahrial, SH, mengharapkan kepada Pemda Kab. 50 Kota agar menuntaskan persolan banjir Pangkalan ini bersama dengan PLN Pikitring Sumbar-Riau. Tidak hanya itu, kenaikan elevasi air mencapai 82 meter juga berpengaruh terhadap pemukiman baru rakyat Koto Tuo. Juni, 15, Bersama dengan KBH- Bukittinggi "Taratak" mengangkat kasus kompensasi sebanyak 13 orang masyarakat Tanjung Balit ke Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Pati. Perkara ini didaftar secara resmi di PN Tanjung Pati pada tgl 15 Juni 1998 dengan No. 03/Pdt.G/1998/PN.TJP 2000 Mei, 20. Masyarakat Tanjung Pauh sebanyak 67 kk dari 180 kk yang ganti ruginya belum tuntas, mengajukan gugatan ke PN Tanjung Pati dengan kuasa hukum KBH-YPBHI Bukittingg. Perkara Ini terdaftar dengan No.03/Pdt.G/2000/PN.TJP Mei, 26 - 28, BP RKDKP melakukan Kongres I di Padang yang dihadiri sebanyak 112 anggota dari 12 desa. Juli. 1 (Senin). Presentasi Hasil Survey Study SAPS PLTA Koto Panjang oleh Team JBIC di BAPPEDA Sumbar. Studi lapangan dilakukan oleh PT. Bita Bina Semesta dan LSM Bina Swadaya.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Isna Hertati : Hukum dan Litigasi Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363 Fax: +62-(0)21-794 1673

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Friends of the Earth Indonesia Jl. Tegal Parang Utara No. 14 Jakarta 12790, INDONESIA Tlp : +62(0)21-791 93 363 | Fax : +62(0)21-794 1673 | E-mail : info@... http://www.foei.org/cyberaction/kotopanjang.html

Proyek PLTA Koto Panjang Lingkungan Rusak, Warga Riau Gugat Pemerintah Jepang Jakarta, Sinar Harapan Besok, Kamis (3/7), warga 10 desa di Provinsi Riau dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia mengajukan gugatan terhadap pemerintah Jepang di Pengadilan Negeri Tokyo. Mereka menuntut agar pihak Jepang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan serta kerugian yang diderita sekitar 4.000 penduduk di Kabupaten Kampar, Riau dan Kabupaten Limapuluh Kota Agam, Sumatera Barat (Sumbar) akibat proyek pembangunan dam Koto Panjang. "Pembangunan dam ini dananya berasal dari Jepang yang memberi hutang sebesar 31 miliar yen kepada pemerintah Indonesia melalui Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) pada 1993. Dam tersebut dibangun untuk membangkitkan listrik sebesar 114 Mega Watt (MW)," jelas Nur Hidayati, Divisi Kampanye Walhi kepada pers di Jakarta, Selasa (1/7). Yaya, demikian panggilan akrab Nur, menambahkan, pembangunan tersebut menyebabkan tenggelamnya wilayah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Sungai Batang Mahat seluas 124 kilometer persegi. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan seperti hilangnya habitat gajah Sumatera serta sejumlah spesies langka lain yang dilindungi seperti tapir, harimau Sumatera, beruang Melayu dan kera siamang. Gajah-gajah

dipindahkan ke daerah lain yang sama sekali tidak cocok untuk habitat gajah. Maka populasi gajah Sumatera yang sudah langka kian berkurang. Hutan lindung yang juga berada di kawasan tersebut juga dibabat habis dan diubah peruntukannya menjadi kebun kelapa sawit dan area dam. Dengan kondisi seperti ini, area hutan mengalami kemerosotan kian parah. Intimidasi Berdasar keterangan Iman Masfardi, ahli hukum yang mewakili warga setempat, 4.000 kepala keluarga yang desanya ditenggelamkan tidak pernah mendapat ganti rugi layak. Mereka dipindahkan dari tempat yang subur ke tempat gersang dan terpaksa hidup sebagai buruh kayu, padahal sebelumnya mereka adalah petani. Di tempat baru ini warga juga menderita kekurangan air bersih, berlumpur dan tidak ada akses listrik. Kondisi tersebut berlangsung hingga saat ini tanpa ada tanggung jawab dari pihak Jepang maupun pemerintah Indonesia yang dalam hal ini diwakili Perusahaan Listrik Negara (PLN). Proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang awalnya dijanjikan akan mampu mencapai kapasitas sevesar 114 MW ternyata hanya bisa mencapai 30MW. "Ini berarti proyek hutang yang direncanakan akan dilunasi dengan hasil penjualan listrik tidak tercapai. Kalau ingin menghasilkan kapasitas listrik tinggi, otomatis permukaan dam harus dinaikan dan akan menenggelamkan lebih banyak desa," tutur Iman pada kesempatan serupa. Proyek PLTA Koto Panjang ini dibangun sarat dengan ancaman terhadap warga, intimidasi, dan penangkapan terhadap rakyat yang tak setuju. Chairilsyah, wakil sekretaris dewan pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang juga menjadi kuasa hukum warga menyatakan bahwa semua intimidasi dan penangkapan tersebut dilakukan oleh TNI, tepatnya Batalyon Bangkinang. Rencananya warga dan Walhi juga akan menuntut pemerintah Indonesia sebagai pihak yang menyetujui proyek merugikan tersebut. Namun langkah pertama adalah mengajukan gugatan terhadap pemerintah Jepang lebih dulu selaku pemilik dana. Yaya menjelaskan, selama ini memang tidak pernah ada tuntutan tanggung jawab terhadap negara pemberi hutang. Padahal tidak selalu dana yang mereka berikan berjalan sesuai dengan tujuan semula. Di samping itu ternyata dana pinjaman kepada Indonesia

berasal dari dana publik, hasil pungutan pajak rakyat Jepang. Dukungan terhadap gugatan ini juga didapat dari sejumlah masyarakat Jepang yang merasa dirugikan karena dana publiknya digunakan untuk proyek yang merusak lingkungan di Indonesia. "Kelompok pendukung ini dipimpin oleh Koyama, seorang pegawai negeri di Osaka, Jepang," tutur Iman. Namun ada beberapa kendala dalam gugatan hukum ini, antara lain adanya perbedaan prosedur hukum di Jepang dan Indonesia. Di Negeri Sakura tersebut tidak dikenal apa yang namanya class action, pengatasnamaan gugatan sekelompok orang kepada satu pihak. Otomatis semua gugatan harus diajukan setiap warga dalam bentuk surat kuasa tertulis. Rehabilitasi Proses pembangunan PLTA Koto Panjang yang terletak di Provinsi Riau dan Sumbar diawali dengan project finding oleh perusahaan konsultan dari Jepang, Tokyo Electric Power Service Co.Ltd (TEPSCO). Pada September dan November 1989. Pembangunan fisik proyek dimulai tahun 1991 dan diresmikan 28 Februari 1997. Untuk proyek tersebut, 10 desa harus ditenggelamkan dan sebanyak 4.889 kepala keluarga terusir dari desa mereka. Sebelum sampai ke gugatan terhadap pemerintah Jepang ini, sempat dilakukan kampanye langsung ke Jepang selama 19 Juli hingga 1 Agustus 2001. Dari kampanye ini didapat dukungan masyarakat Jepang yang menamakan dirinya Badan Pendukung Rakyat Korban Dam Koto Panjang. Kelompok ini dideklarasikan 7 Desember 2001. Dalam gugatan yang akan dibacakan esok, Walhi dan warga 10 desa yang dirugikan menuntut agar pemerintah Jepang diwakili TEPSCO merehabilitasi kembali fungsi lingkungan yang rusak, mengembalikan habitat gajah dan hewan langka lain ke tampatnya, juga bertanggungjawab terhadap penderitaan warga yang desanya ditenggelamkan. "Semua ganti rugi itu tidak bisa dihitung dengan nilai nominal," ujar Chairil. Sementara itu Yuji Hamada, First Secretary Information and Culture Kadutaan Besar Jepang untuk Indonesia menyatakan tidak bisa berkomentar mengenai masalah proyek tersebut. "Kami tidak bisa memberi komentar apa-apa karena semuanya masih dalam proses pengadilan," ujar Yuji saat dihubungi SH, Selasa (1/7). Yang ia tahu bahwa TEPSCO merupakan perusahaan swasta, bukan pemerintah. TEPSCO saat ini populer dengan nama Japan Bank for International Cooperation (JBIC).(mer

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/08/daerah/611387.htm Rabu, 08 Oktober 2003 3.861 Korban Koto Panjang Gugat Pemerintah Jepang Pekanbaru, Kompas - Pengadilan Distrik Tokyo, Jepang, akhirnya menerima gugatan 3.861 warga dari 12 desa di Provinsi Riau dan Sumatera Barat akibat kerusakan lingkungan, sosial, dan budaya, menyusul terendamnya permukiman mereka oleh luapan air dari bendungan PLTA Koto Panjang, Riau. Mereka menggugat Pemerintah Jepang untuk membayar ganti rugi sebesar 167 juta dollar Amerika Serikat, khususnya untuk kerugian sosial yang mereka derita. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Rully Sumanda mengungkapkan itu saat ditemui di Pekanbaru, Selasa (7/10). Menurut Rully, paparan tentang gugatan atas kerugian sosial yang diderita oleh 3.861 warga desa itu telah disampaikan oleh kuasa hukum mereka yang berasal dari Jepang, Fumio Asano, dalam persidangan kedua tanggal 11 September 2003. Mereka menggugat Official Development Assistance (ODA) Jepang, yakni lembaga milik Pemerintah Jepang yang menjadi penyandang dana utama proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Koto Panjang. "Warga menggugat mereka dengan ganti rugi sekitar 167 juta dollar AS, khusus untuk kerugian sosial dan budaya yang mereka alami. Itu belum lagi gugatan ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang memang masih dalam penelitian kami," katanya. Rully mengatakan, persidangan tahap ketiga akan digelar pada 9 Oktober 2003 di Pengadilan Distrik Tokyo. Sidang ketiga itu mengagendakan pemaparan pihak penggugat tentang kerugian lingkungan yang dialami pascaberoperasinya bendungan PLTA Koto Panjang hingga merendam 12 desa di Provinsi Riau dan Sumatera Barat itu, mulai Februari 1998. Proyek PLTA Koto Panjang didanai oleh ODA Jepang sekitar 31,77 miliar yen atau Rp 2,1 triliun. Selain ODA, ada empat tergugat lainnya, yakni Tokyo Electric Power Service, Japan International Cooperation Agency (JICA), Japan Bank for International Cooperation (JBIC), serta Pemerintah Jepang sendiri. Jadi danau Sementara itu, anggota Tim Investigasi Kantor Bantuan Hukum Riau, Ahmad Zazali, mengatakan, proyek PLTA Koto Panjang telah menenggelamkan lahan pertanian, perkebunan karet, dan sawah milik masyarakat. Lahan pertanian dan perkebunan tersebut saat ini sudah berubah menjadi danau, setelah air Sungai Kampar dibendung untuk waduk PLTA Koto Panjang. Dikatakan, gugatan warga desa itu mendapat perhatian dari masyarakat pencinta

lingkungan di Jepang. Salah seorang pendukung gugatan itu adalah Kazou Sumi, guru besar bidang hukum dari Universitas Nasional Niigata, Jepang. (OIN) Koto Panjang : Dampak Keganasan Pembangunan DAM PLTA Proses pembangunan PLTA Koto Panjang yang terletak di Provinsi Riau dan dan Sumatera Barat, diawali dengan project finding oleh perusahaan konsultan dari Jepang TEPSCO (Tokio Electric Power Service Co. Ltd) bulan September dan November 1989. Untuk pembangunan fisik proyek, mulai dilakukan tahun 1991 dan diresmikan pada tanggal 28 Februari 1997. Dam PLTA Koto Panjang yang memotong aliran Sungai Kampar Kanan dan menggenangi areal seluas 124 km2, dibangun untuk menghasilkan listrik dengan kapasitas sebesar 114 MW melalui 3 unit turbin. Proyek ini dibiayai dengan dana dalam bentuk hutang sebesar 31,177 Miliar Yen dari OECF (Overseas Economic Development Fund) Jepang. Untuk Kepentingan pembangunan PLTA Koto Panjang ini, 10 desa harus ditenggelamkan dan 4.886 kepala keluarga terusir dari desa mereka untuk pindah ketempat pemukiman baru yang kondisinya sangat buruk dan hanya menjanjikan penderitaan. Proyek ini jelas dilihat sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan, karena dalam prosesnya telah mengesampingkan hak rakyat untuk hidup didesa yang sudah ditempati sejak ratusan tahun yang lalu, dan kebudayaan yang sudah dianut sejak dari nenek moyang mereka. Proyek PLTA Koto Panjang yang dibangun dibawah ancaman, intimidasi, penangkapan terhadap rakyat yang tidak setuju dengan proyek ini, dilakukan oleh pemerintah Indonesia, rekayasa dan bujuk rayu. Pemerintah menjanjikan bahwa setiap harta dan tanaman masyarakat yang terkena proyek akan diganti; disediakan lahan usaha I dan II yang akan menjadi basis ekonomi di pemukiman baru ; rumah semi permanen siap huni dengan fasilitas air bersih serta listrik gratis selama setahun. Jelasnya Proyek PLTA tidak akan menyengsarakan rakyat 10 des, bahkan akan meningkatlkan kualitas hidup mereka. Cara ini dilakukan pemerintah untuk memudahkan dapatnya persetujuan kerelaan pindah, kesepakatan besarnya ganti rugi dari masyarakat yang menjadi prasyarat proyek oleh pihak OECF. Dengan cara-cara yang demikian pemerintah Indonesia berhasil menyakinkan Jepang, Sehingga pada tanggal 13 Desember 1990 ditanda tangani kesepakatan proyek PLTA Koto Panjang. (Kotopanjang Hydroelectric Power and Assosiated Transmision Line Project antara pemerintah Indonesia dan Jepang. Meskipun secara sepihak, pemerintah mengklaim tidak ada masalah dan rakyat 10 desa sudah sangat setuju, pada bulan September 1991 masyarakat Kec. XIII Kotokampar Riau melakukan aksi protes ke DPR RI, Kedubes Jepang, Depdagri dan Kantor Perwakilan OECF di Jakarta. Isunya adalah soal ganti rugi yang tidak layak (dan ditetapkan secara sepihak) terhadap rumah, tanah dan tanaman masyarakat yang akan ditengelamkan. Namun hal ini belum mampu merubah keinginan pemerintah Indonesia untuk tetap membangun Dam berskala besar tersebut.

Pada tahun 1993, masyarakat mulai dipaksa pindah ke pemukiman baru. Dipemukiman baru yang ditemui sangat jauh dengan apa yang dijanjikan oleh pihak pemerintah ketika masih dikampung lama. Rumah yang akan ditempatai sangat jauh dari layak huni. Rumah yang akan ditempati sangat jauh dari layak huni, berlumpur dan listrik tidak ada. Masyarakat harus bekerja keras untuk membersihkan rumah jatah tersebut untuk dapat ditempati, semetara itu, sumber-sumber ekonomi mereka dikampung lama sudah tenggelam. Rakyat terpaksa memecah batu dan menjadi buruh tani. Gambaran yang diberikan kepada rakyat oleh pemerintah Indonesia, proyek PLTA Koto Panjang akan meningkatkan kualitas hidup masayarakat dilokasi baru. Kenyataannya, dilokasi pemukiman, masyarakat korban DAM PLTA Koto Panjangh sunguh sangat menderita. Bahkan secara tegas rakyat dari 10 desa menyatakan bahwa kehidupan saat dikampung lama jauh lebih baik dibandingkan sekarang ini. Dikampung lama kami tidak pernah merasakan kesulitan air bersih dan ekonomi harian sebagaimana yang kini dialami. Masyarakat yang 10 desanya telah ditenggelamkan untuk pembuatan waduk PLTA Koto Panajang, menyatakan merasa ditipu oleh pemerintah Indonesia. Berbagai cara dilakukan masyarakat untuk menuntut haknya yang dikesampingkan serta persoalan yang ditimbulkan akibat pembangunan PLTA Koto Panjang. Tuntutan melalui jalur hukum telah pula dilalui, dan tetap saja dikalahkan. Bentuk lain yang terus dilakukan, adalah dengan mengkampanyekan isu PLTA Koto Panajng untuk mendapatkan solidaritas. Bahkan kampanye langsung ke Jepang sudah dilakukan tanggal 19 Juli-1 Agustus 2001. Dari kampanye di Jepang, masyarakat Jepang ikut bersolidaritas dengan dideklarasikanberdirinya Badan Pendukung Rakyat Korban Dam Koto Panjang Jepang pada 7 Desember 2001. Ditingkat rakyat korban, sekarang ini, rakyat korban 10 desa sedang berupaya melakukan konsolidasi, mengorganisir diri dan juga telah mendeklarasikan berdirinya Badan Perjuangan Korban Dam Koto Panjang (BP RKDKP) pada tanggal 7 November 2001 sebagai wadah perjuangan bersama. Proyek PLTA Koto Panjang, secara substansif sebenarnya merupakan pembunuhan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan dijalankan dengan penuh penyelewengan serta menjadi sarang korupsi. Setelah 5 tahun ( 28 Februari 1997 ) beroperasi dan sampai sekarang hanya mampu memproduksi energi listrik sebesar 17 MW, sementara itu penderitaan rakyat yang diusir dari kampung halamanya untuk kepentingan proyek ini terus berlangsung. Dan semakin parah. Maka dari pada itu, masyarakat yang telah dikesampingkan sehubungan dengan telah dibangunnya PLTA Koto Panjang akan terus dilakukan, dengan menuntut : 1. Pemerintah Indonesia dan Jepang harus bertanggung jawab atas kesengsaraan rakyat 10 desa 2. Pemerintah Indonesia dan Jepang melakukan pemulihan ekonomi rakyat dan perbaikan infrastruktur pemukiman baru 3. Pembatalan pembayaran hutang pembangunan DAM Koto Panjang karena dala tersebut disalah gunakan (dikorup) dan menyesengsarakan rakyat korban.

No. Nama Desa 1 Muaro Mahat

Jumlah KK 447

Wilayah Propinsi Kab. XIII Koto Kampar Kab. Kampar Riau

Lokasi Pemindahan PIR Trans Bangkinang Blok X /G

2 3 4

Pulau Gadang Tanjung Alai Batu Bersurat a. batu bersurat Pasar b. Batu Bersurat Seberang

592 313 700 557

Kotoi Ranah Sei Silam Ranah Koto Talago Selatan Batu Bersurat Ranah Su\ngkai

Pongkai

259 200

PIR Trans Sungai Pagar Selatan Siberuang SP II

Koto Tuo

599

Selatan Muara Takus SP II Selatan Muara Takus SP I Selatan Siberuang SP I Kec Pangkalan Koto Baru Kab. 50 Kota Agam RimboDatar SPI

Muara Takus

244

8 9

Gunung Bungsu Desa Tanjung Balit

244 421

10

Desa Tanjung Pauh TOTAL

312 4886

Rimbo Datar SP II

LAPORAN PENELITIAN LAPANGAN DI RIMBO DATA Oleh Tim Hukum Agraria/Ulayat (Kurnia Warman) Indentifikasi dan Perumusan Masalah 1. Permasalahan tanah ulayat telah terjadi sejak awal ressettelment penduduk pada dua kenagarian tersebut (Tanjung Balit dan Tanjung Pauh). Menurut Hukum Adatnya, lokasi pemukiman yang ditempati oleh masyarakat Tj. Pauh sekarang, adalah termasuk tanah ulayat

Nagari TJ. Balit. Masyarakat Tj. Balit tampaknya ingin menuntut kembali tanah ulayatnya. Permaslahan ini belum pernah didudukkan sampai sekarang, sehingga terdapat potensi konplik batas antara dua nagari tersebut. Apalagi dengan adanya rencana pembangunan Tambang Timah Hitam di daerah Marang, yang secara geografis lebih dekat dengan Nagari Tj. Pauh. Kedua nagari saling mengkalim daerah tersebut. Konplik batas ini, bahkan juga terjadi antara Sumatera Barat dan Riau. 2. Tanah ulayat merupakan salah satu syarat adanya suatu nagari, sedangkan di kedua nagari tersebur sampai sekarang tidak ada lagi tanah ulayat. Kalaupun ada, batas-batasnya tidak jelas. Kebun karet seluas 2 Ha yang diberikan kepada masyarakat itu bukanlah tanah ulayat, tetapi tanah milik masing-masing kepala keluarga (KK). Padahal dahulu, waktu mereka masih tinggal di daerah genangan sekarang, masing-masing nagari mempunyai tanah ulayat. 3. Masalah yang berkaitan dengan ganti rugi (GR) lebih banyak terjadi di Tj. Pauh bila dibandingkan dengan Tj. Balit, karena: a. Nagari Tj. Balit semuanya merupakan daerah genangan, sedangkan Nagari Tj. Pauh, sebagian daerah yang diganti rugi juga merupakan daerah terisolir. Permasalahan GR yang masih ada, pada umumnya adalah tanah dan tanaman penduduk yang terisolir. b. Masyarakat Tj. Pauh yang masih belum menerima GR sebagaimana mestinya lebih kompak dan berani melawan pemerintah untuk memperjuangkan nasib mereka. c. Ninik mamak dan Wali Nagari Tj. Balik tampaknya cenderung menekan dan bahkan mengancam anggota masyarakatnya yang masih mempermasalahkan GR. Sedangkan di Tj. Pauh, ninik mamaknya tidak mampu membendung keinginan masyarakat untuk menuntut, apalagi perjuangan mereka didukung sepenuhnya didukung oleh Wali Nagari setempat. Sehingga 67 KK dari 181 KK yang belum menerima GR sebagaimana mestinya menempuh jalur hukum melalui pengajuan gugatan ke Pengadilan. 4. Timbulnya permasalahan GR juga dipicu oleh ketidakadilan/ ketidaktransparan pihak Panitia Pembebasan Tanah (Panitia) yang diketuai oleh Bupati pada waktu itu, antara lain: a. Penyerahan GR yang seharusnya diserahkan langsung oleh PLN kepada masyarakat (masing-masing KK) dengan disaksikan oleh Panitia, dalam pelaksanaannya GR tersebut malah diserahkan oleh Panitia. Jadi PLN tidak tahu persis berapa jumlah GR yang diterima oleh masing-masing KK dan apakah dana yang sudah dibayar lunas tersebut betul-betul sampai seluruhnya kepada masyarakat atau tidak. b. Inventarisasi tanah, bangunan dan tanaman serta penentuan kelas tanahnya (tipe A, B atau C dsb.) tidak transparan. Masyarakat hanya diminta langsung menandatangani hasilnya dan menerima GR. Ada kecenderungan panitia melaporkan tipe tanahnya A sementara GR yang diserahkan kepada masyarakat hanya kelas B. c. Banyak terjadi praktik KKN dalam penetuan dan pemberian GR serta penyediaan pasilitas di pemukiman baru. Anggota masyarakat yang dekat dengan panitia (terutama Kepala Desa, unsur KAN (ninim mamak), kedua nagari serta Camat) mendapat GR dan Pasilitas yang lebih

daripada anggota masyarakat lainnya. Bahkan, terdapat di Tj. Balit sebagian anggota masyarakat yang mendapatkan rumah dan tanah tanpa melalui pengundian. Mereka bisa memilih rumah yang berada di tempat yang mereka inginkan, seperti di pinggir jalan raya. Ada pula beberapa rumah yang merupakan jatah orang Pemda (Camat dan jajarannya). Hal di atas mengakibatkan kecurigaan dan kebencian masyarakat terhadap pemerintah semakin besar. 5. Di samping permasalahan GR, masyarakat juga menuntut (menagih) janji-janji Pemda (Bupati) pada saat memberikan penyuluhan dan meminta kesediaan masyarakat untuk meninggalkan tempat tinggalnya. Padahal, janji-janji tersebut adalah di luar tanggungjawab PLN. PLN hanya bertanggungjawab atas biaya pembebasan tanah (termasuk bangunan dan tanaman) untuk daerah genangan waduk sampai elevasi 8500 m DPL. Jadi, janji-janji Pemda (Bupati) kepada masyarakat berupa; pasilitas rumah, jalan desa, air bersih, listrik desa dan lahan kebun karet 2 Ha per KK merupakan tanggungjawab Pemda memalui APBD dan APBN (Surat Sekwilda Sumbar kepada Bupati 50 Kota, No: 593/5560/Tapum-99, 30 April 1999). 6. Dapak dari GR dan janji-janji Pemda yang belum tuntas tersebut adalah sangat luas: a. Semakin meluasnya/bertambahnya jumlah KK yang akan menuntut GR, sehingga permasalahannya semakin rumit. b. Yang lebih membahayakan lagi adalah timbulnya keinginan masyarakat baik yang termasuk Sumbar mapun Riau untuk bersama-sama merusak atau menjebol bendungan waduk dan pasilitas PLN lainnya di Pikitring Sumbar Riau tersebut. c. Masalah GR juga sangat berpengaruh terhadap bidang-bidang lain, karena kalau GR ini tidak tuntas maka partisipasi masyarakat sangat sulit bisa diharapkan dalam mendukung setiap program pembangunan. Bahkan sebaliknya, masyarakat justru mungkin akan menghalanginya. 7. Karena tidak menjanjikan maka masyarakat, terutama yang mendapat GR tipe A, sekarang banyak yang menjual tanah dan rumahnya kepada orang lain. Mereka pindah dan berusaha di daerah lain, seperti ke Riau dan lain-lain. 8. Karena persoalan GR dan pasilitas yang dijanjikan itu tidak tuntas, maka sekarang masyarakat selalu merindukan kondisi kehidupan mereka yang tenang dan sejahtera waktu di lokasi genangan dulu. 9. Karena lokasi pemukiman baru tersebut dahulunya merupakan hutan primer yang ditumbuhi oleh kayu-kayu besar, maka masyarakat sejak awal juga telah mengetahui bahwa kalau dihitung hasil penjualan kayu yang tumbuh di tanah ulayat mereka itu, akan melebihi jumlah GR yang diterima masyarakat. Jadi sebetulnya, menurut masyarakat, apa yang mereka dapat sekarang belum berimbang dengan pengorbanan hak yang mereka berikan kepada pemerintah.

http://walhijabar.wordpress.com/2007/12/25/bendungan-besar-petaka-dibalik-mitologikesejahteraan/

Three Gorges Dam February 7th, 2012 | Author: arifin

Manfaat dan permasalah tidak mungkin dihindari dalam setiap pembangunan. Begitu juga dengan Three Gorges Dam sebuah calon bendung terbesar, termahal beserta masalah terbesarnya. Bukan hanya PLTA Koto Panjang di daerah kita saja yang menimbulkan permasalahan lingkungan, akan tetapi pembagunan Sang Raksasa Three Gorges Dam dimaksudkan untuk mengontrol banjir yang kerap terjadi di derah aliran Sungai Yangtze (sungai terpanjang di Asia) dan memenuhi kebutuhan listrik yang makin meningkat di kemudian hari ternyata juga menimbulkan masalah raksasa pula. Pada saat pembangunannya. Proyek PLTA Koto Panjang yang boleh dikatakan sebuah bendungan kecil bila dibandingkan dengan Three Gorges Dam saja sudah sangat banyak menimbulkan masalah sosial dan lingkungan. Menurut (Tempo, 02 Juli 2003), Proyek itu penuh dengan kejahatan lingkungan, ekonomi dan kemanusiaan, ujar Iman Masfardi, pengacara yang mewakili Walhi di Jepang. proyek pembangunan dam PLTA Koto Panjang, di Riau, menggunakan dana dari pemerintah Jepang sebesar Rp 31,177 miliar yen melalui OECF (Overseas Economic Development Fund). Proyek Koto Panjang yang dibangun 1997 ini, menggenangi areal seluas 124 Km persegi dengan menenggelamkan 12 desa yang terdiri dari 10 desa di provensi Riau dan 2 desa di Sumatra Barat sehingga 4886 kepala keluarga terusir dan dipaksa meninggalkan desanya dengan ancaman dan teror dari aparat. Proyek ini juga memotong aliran sungai Kampar Kanan sehingga mengganggu ekosistim lingkungan sekitar serta mengganggu habitat gajah yang merupakan hewan dilindungi. Selain itu masyarakat adat yang sudah berada di lokasi itu secara turun menurun dipaksa untuk pindah

dengan intimidasi tanpa fasilitas yang memadai. Sehingga masyarakat yang biasa hidup didaerah aliran sungai dipaksa untuk tinggal di daerah pegunungan. Kalau proyek PLTA Koto Panjang yang kecil saja sudah menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang begitu serius. Bagaimana dengan si Raksasa Three Gorges Dam? Sejak dimulainya tahap konstruksi Proyek Three Gorges Dam di Cina ini tahun 1993, hampir dua juta penduduk (sama dengan tiga kali lebih jumlah penduduk Pekanbaru) di relokasi dari tempat tinggalnya. Para kritikus menyampaikan pelanggaran HAM dalam proses relokasi. Ketika bendungan ini akan beroperasi nantinya, 13 kota besar, 140 kota kecil, dan 1.300 desa akan terendam seluruhnya oleh reservoir bendungan. Reservoir ini juga akan menenggelamkan 1.300 situs sejarah selamanya, angka ini menunjukkan 80 sampai 90 persen situs arkeologi yang terancam punah. Para arkeolog Cina yang hampir tidak berdaya meminta bantuan dan dukungan internasional untuk menyelamakan peninggalan-peninggalan kuno tersebut. Tidak hanya harta arkeologi yang harus diselamatkan, tetapi juga kelangsungan hidup spesies-spesies air yang berhabitat di Sungai Yangtze, lahan pertanian yang subur dan hutan di sekitar sungai. Persiapan, pelaksanaan konstruksi sampai beroperasi bendungan nantinya mengakibatkan polusi air, erosi, dan ketidakseimbangan ekosistem serta kepunahan satwa dan flora air seperti yang diramalkan para biologis.

Perdebatan tidak berhenti di situ, kritikus menggarisbawahi besarnya jumlah sedimen, lebih dari 700 juta ton, yang mengendap di Sungai Yangtze setiap tahunnya. Para ahli percaya sedimen tersebut akan mengumpul direvervoir bendungan dan saat itu akan sia-sia untuk mencegah banjir. Lebih jauh lagi, bendungan tidak akan pernah mencegah banjir dipercabangan sungai yang di hilir. Bahkan jika skenario mengerikan tersebut terjadi, kesalahan perhitungan kecil saja dalam penanganan sedimentasi akan menimbulkan masalah keuangan besar-besaran. Peng-endapan lumpur yang hebat juga menyumbat dermaga pada beberapa tahun kemudian dan menggagalkan pengembangan pelayaran. Marilah kita mengenal lebih jauh kisah si Raksasa Three Gorges Dan bersama (Nirwala Hailinawati dalam majalah Clapeyron), yang kisahnya dimulai dari mitos terjadinya empat sungai besar di Cina yang ceritanya sebagai berikut. Di suatu masa ketika belum terdapat sungai dan danau di muka bumi, keempat naga bersaudara telah membuat kesalahan besar dengan menurunkan hujan di datran Cina yang kekeringan dan kekurangan pangan tanpa izin dari Kaisar Langit. Kaisar Langit sangat murka, keempat naga tersebut masing-masing disekapnya dalam sebuah gunung. Mereka tidak menyesalinya, lebih dari itu mereka memutuskan untuk terus berbuat baik bagi orang banyak dengan mengubah diri mereka menjadi empat sungai besar di Cina. Sungai Heilongjian di utara adalah sang Naga Hitam, sedangkan Sungai Zhujiang di selatan merupakan jelmahan dari Naga Mutiara. Naga Kuning berubah menjadi Sungai Huanghe, dan yang tertua dari keempat naga barsaudara, Naga Panjang menjelma menjadi Sungai Yangtze. Sungai Yangtze yang merupakan sungai terpanjang di Asia ini, melayani kebutuhan sekitar 20 persen dari total daratan dan 25 persen lahan pertanian di negara tersebut. Selain sungai

dengan panjang total 6.380 km ini juga menyediakan jaringan transportasi air yang melewati beberapa daerah paling padat penduduk dan sentra ekonomi penting di Cina. San Xia, atau yang lebih dikenal dengan The Three Gorges Dam (Tiga Ngarai), merupakan bagian tak terpisahkan dari ekosistem Sungai Yangtze. Dengan panorama alam luar biasa indah dan tinggi dinding tebing mencapai 3.000 kaki, ketiga ngarai ini, Ngarai Qutang, Ngarai Wu, dan Ngarai Xiling, telah memanjakan mata wisatawan. Di area Three Gorges inilah, atau lebih tepatnya di Sandaouping, tengah dibangun mega konstruksi termahal dalam sejarah. Sebuah bendungan dengan tinggi 185 meter (berkisar tinggi gedung 55 lantai), lebar 1,3 mil dan membentuk reservoir sepanjang 370 mil yang mampu menampung lebih dari 5 triliun galon air. Proyek ini dirancang dengan kemampuan menahan gempa 7,0 skala Richter dan membutuhkan jumlah beton dua kali lipat dari bendungan Itaipu di Brazil, yang saat ini adalah bendungan terbesar di dunia. Jika terselesaikan nanti pada tahun 2009 dengan masa konstruksi 15 tahun, Three Gorges Dam akan menjadi bendungan terbesar di dunia, ..Ph.D., salah satu project engineer Three Gorges Dam mengatakan bahwa pembangkit listrik tenaga air di bendungan tersebut nantinya akan menghasilkan listrik sebesar 85 milyar KWH per tahunnya, yang setara dengan energi yang dihasilkan 25 juta ton minyak mentah, 15 pembangkit listrik tenaga nuklir, atau 50 juta batu bara. Ide pembangunan bendungan ini untuk mengontrol banjir dan menghasilkan energi hidroelektrik dalam jumlah besar telah menjadi impian beberapa generasi di Cina.***

sumber: http://ronymedia.wordpress.com/2010/05/09/three-gorges-dam-2/ PLTA Koto Panjang, Proyek Siluman

Pembangunan PLTA Kotopanjang adalah bentuk penjajahan gaya baru JEPANG kepada INDONESIA. Kebutuhan energi listrrik dan potensi alam yang mendukung menjadi alasan utama jeratan utang bangsa Jepang kepada Indonesia sebesar 31,177 milyar yen, utang haram pembawa bencana yang tak pernah diinginkan masyarakat 10 desa. Tahun 1979, TEPSCO (Tokyo Electric Power Servis Co.ltd) melakukan project finding di Sumatera. Dari hasil survey TEPSCO mengusulkan kepada pemerintah Indonesia agar membangun bendungan skala besar untuk PLTA, yakni dengan memanfaatkan pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dengan Batang (baca: sungai) Mahat. Kemudian JICA (Japan International Cooperation Agency) mulai melakukan Studi Kelayakan Teknis dan Ekonomi pada tahun 1983 yang kemudian dilanjutkan dengan Studi Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) bendungan Kotopanjang pada tahun 1984 oleh Universitas Andalas dan pada 1988 dilakukan Studi Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dilaksanakan oleh konsultan TEPSCO yang bekerjasama dengan Pusat Penelitian Universitas Riau. Setelah itu, dimulailah pembangunan fisik proyek pada tahun 1993 dan diresmikan pada tahun 28 Februari 1997. Pembangunan PLTA Kotopanjang yang akan menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya memang sudah terpikirkan oleh pemerintah Indonesia. Untuk meminimalisir dampakdampak negatif tersebut, maka pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang sebagai negara yang memberikan Pinjaman untuk pembangunan menyepakati beberapa hal. Pertama, Gajah, Harimau, Tapir, dan satwa yang dilindungi lainnya, yang bermukim di lokasi harus diselamatkan dengan memindahkannya ke tempat perlindungan yang cocok. Kedua, tingkat kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak dari proyek PLTA Kotopanjang harus menjadi lebih baik dari kehidupan di tempat lama. Ketiga, persetujuan pemindahan bagi yang terkena dampak proyek adalah tanpa paksa dan prosesnya harus dilakukan secara adil dan merata. Namun, hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, bahkan tindak kekerasan TNI AD kental sekali selama proses pemindahan masyarakat. Dampak lain yang harus diterima sebagai konsekuensi pembangunan sebuah Dam berskala besar adalah jalan negara sepanjang 25,3 km dan jalan propinsi sepanjang 27,2 km harus ditenggelamkan begitu juga dengan 2.6444 rumah, 8.989 ha sawah. Secara geografis, desa-desa yang terkena dampak dari pembangunan Dam Kotopanjang ada 10 desa. Delapan di antaranya berada di propinsi Riau, Kabupaten Kampar, Kecamatan XIII Koto Kampar, sedangkan yang dua lagi berada di propinsi Sumatera Barat. Akibat adanya proses otonomi daerah, delapan desa yang ada di propinsi Riau tersebut mengalami pemekaran sehingga sekarang menjadi tiga belas desa. Sepuluh desa tersebut mengalami pemindahan ke lokasi baru yang terdapat di sekitar kawasan Dam Kotopanjang dengan perjanjian masyarakat akan disediakan rumah semi permanen lengkap dengan fasilitas air bersih, kebun karet siap panen masing-masing kepala

keluarga 2 hektar, ladang untuk palawija seperempat hektar, listrik, sarana dan prasarana umum lainnya, seperti rumah ibadah, jalan, jembatan, dan jaminan hidup selama dua tahun. Namun, semuanya itu tidak dilaksanakan pemerintah sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian pemindahan. Masyarakat hanya menerima rumah kayu selebar 6m X 5m dengan atap Asbes, tidak ada listrik, tidak ada fasilitas air bersih, kebun karet belum tersedia sarana dan prasarana umum, seperti jalan hanya sebagian kecil yang diaspal, jembatan tidak dibangun untuk Desa Balung. Masjid yang dibangun salah kiblat sedangkan lahan pertanian yang tersedia tidak subur dan berbatu. Hal ini mendapat reaksi perlawanan dari masyarakat, namun masyarakat tidak bisa berbuat banyak untuk merubah kondisi ini dikarenakan pemerintah menolak bertanggung jawab. Kondisi di atas mengakibatkan Desa Balung dan Desa Pongkai Baru menjadi terisolir, karena tidak ada akses transportasi ditambah lagi letak desa yang jauh dan tertutup. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, akibat tidak ada alternatif mata pencaharian lain, sebagian besar masyarakat melakukan kegiatan pembalakan haram di kawasan resapan air Dam Kotopanjang, sebagian lagi memilih menjadi buruh kebun di daerah lain. Pembalakan haram bukan saja dilakukan oleh masyarakat setempat, pihak luar pun melakukan hal yang sama dan dibiayai oleh cukong-cukong kayu. Kondisi ini sangat mengancam fungsi ekologis kawasan yang salah satunya diharapkan mampu menjadi pengendali banjir. Ketidaksejahteraan masyarakat setelah dipindahkan, membawa perubahan dalam kehidupan sosial-budaya. Mereka yang dulu memegang teguh adat istiadat, mempunyai sifat sosial yang tinggi, namun sekarang menjadi masyarakat yang sangat individualis dan tidak berbudaya. Banyak anakanak yang tidak bersekolah dan harus bekerja membantu orang tua, baik untuk mencari kayu maupun menjadi buruh kebun. Bagi sebagian orang tua yang mempunyai anak perempuan terpaksa menikahkan anaknya dalam kondisi di bawah umur dengan tujuan mengurangi beban hidup dan hal ini terjadi di desa Pongkai Baru. Satwa liar yang dilindungi, seperti gajah dan harimau, sering masuk ke desadesa, karena tidak ada proses pemindahan satwa tersebut pada saat pembangunan Dam Kotopanjang dan terganggunya habitat satwa tersebut akibat kerusakan fungsi ekologis kawasan Dam Kotopanjang. Sampai saat ini, hampir tidak ada perhatian yang diberikan pemerintah untuk membuat kondisi menjadi lebih baik. Bahkan, setelah 8 tahun beroperasi, PLTA Kotopanjang hanya mampu mengoperasikan satu buah turbin dengan produksi energi listrik maksimal hanya sebesar 23 MW dari 114 MW yang direncanakan. Untuk itu, kepada seluruh rakyat Indonesia dirasa perlu melakukan penolakan terhadap pembangunan bendungan-bendungan skala besar dan SUTET di Indonesia. A. PLTA Koto Panjang 1) Gambaran Umum PLTA Koto Panjang

Pada hari sabtu tanggal 04 Desember 2010 pukul 15.30 WIB kami Rombongan Kuliah Kerja lapangan yang dipimpin Dosen Pembina mata kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup Ibu Dra. Heny Muchtar, M.Hum. dan bapak Drs. Ideal Putra , M.Si sampai di PLTA Koto panjang dalam rangka Kuliah kerja lapangan. Kawasan PLTA Koto Panjang memiliki panorama alam yang indah dengan latar deretan bukit-bukit yang ditumbuhi berbagai jenis pepohonan. Dari jauh terlihat Gunung Bukit Barisan yang menjadi hulu air waduk ini. Air danaunya yang biru seakan-akan menarik pengunjung untuk mengarungi areal sekitar 12.900 hektar ini dengan perahu atau pompong. Kawasan yang asri dan tenang ini sangat cocok dijadikan tempat untuk melepaskan penat sehabis bekerja seharian atau sekadar untuk mencari inspirasi. Menurut bapak Yoga kawasan PLTA Koto Panjang tidak semata-mata sebagai sumber tenaga listrik dan sumber air bersih, tapi juga menyimpan nilai historis bagi masyarakat Kabupaten Kampar dan Kabupaten Lima Puluh Kota khususnya serta masyarakat Provinsi Riau dan Sumatera Barat pada umumnya. Pembangunan kawasan PLTA Koto Panjang dimulai tahun 1979, ketika PLN berencana membangun dam skala kecil di Tanjung Pauh untuk memanfaatkan air Batang Mahat, anak Sungai Kampar Kanan. Pada bulan September dan November 1979, TEPSCO (Tokyo Electric Power Service Co. Ltd.), sebuah perusahaan konsultan Jepang, mengirim tim pencarian proyek (project finding) ke Sumatera. Dari hasil survey yang dilakukan, TEPSCO mengusulkan pembangunan waduk berskala besar di pertemuan Sungai Kampar Kanan dengan Batang Mahat yang lokasi damsitenya di daerah Koto Panjang. Pada bulan Januari 1993, pembangunan proyek yang terletak di tapal batas Provinsi Riau dengan Provinsi Sumatera Barat ini pun dimulai. Pada bulan Maret 1996, bendungan selesai dibangun dan langsung dilakukan ujicoba penggenangan air. Bertepatan dengan hari Jumat tanggal 28 Februari 1997, penggenangan air secara resmi dilakukan. Hingga kini PLTA Koto Panjang bukan saja menjadi sumber tenaga listrik di Riau tapi juga banyak di minati orang untuk berkunjung sebagai tempat wisata dan tempat sarana pembelajaran. 2) Cara kerja PLTA Koto Panjang PLTA merubah energi yang disebabkan gaya jatuh air untuk menghasilkan listrik. Turbin mengkonversi tenaga gerak jatuh air ke dalam daya mekanik. Kemudian generator mengkonversi daya mekanik tersebut dari turbin ke dalam tenaga elektrik.

Jenis PLTA bermacam-macam, mulai yang berbentuk mikro-hidro dengan kemampuan mensuplai untuk beberapa rumah saja, jenis yang sedang sampai berbentuk raksasa yang dapat mensuplai jutaan rumah atau industri. PLTA tergolong jenis PLTA yang menengah karena haya dapat menyediakan arus listrik untuk 60 % pemukiman penduduk propinsi Riau. 3) Komponen komponen PLTA Koto Panjang. Berdasarkan penjelasan dari bapak yoga dan pak Daniel maka secara umum PLTA Koto panjang mempunyai empat komponen utama sebagai berikut : 1. Bendungan, berfungsi menaikkan permukaan air sungai untuk menciptakan tinggi jatuh air. Selain menyimpan air, bendungan juga dibangun dengan tujuan untuk menyimpan energi.

Foto Bendungan PLTA Koto Panjang. 2. Turbine, gaya jatuh air yang mendorong baling-baling menyebabkan turbin berputar. Turbin air kebanyakan seperti kincir angin, dengan menggantikan fungsi dorong angin untuk memutar baling-baling digantikan air untuk memutar turbin. Selanjutnya turbin merubah energi kenetik yang disebabkan gaya jatuh air menjadi energi mekanik. 3. Foto Turbine PLTA Koto Panjang

4. Generator, dihubungkan dengan turbin melalui gigi-gigi putar sehingga ketika balingbaling turbin berputar maka generator juga ikut berputar. Generator selanjutnya merubah energi mekanik dari turbin menjadi energi elektrik. Generator di PLTA bekerja seperti halnya generator pembangkit listrik lainnya. 5. Ruangan pendingin, ruangan ini berfungsi untuk mendininkan generator dan tempat penstabil suhu di ruangan pekerja sehingga para karyawan dapat beristirahat di sana saat mengalami kepanasan di rungan turbin. Foto di Ruang pendingin PLTA Koto Panjang 6. Jalur Transmisi, berfungsi menyalurkan energi listrik dari PLTA menuju rumah-rumah dan pusat industri. Foto di ruangan pengaturan daya sebelum di salurkan ke jalur transmisi Secara sederhana dapat dilihat proses terbentuknya energy listrik seperti pada gambar di bawah ini :

Pak Daniel juga menjelaskan bahwa besarnya listrik yang dihasilkan PLTA tergantung dua faktor sebagai berikut : 1. Berapa besar air yang jatuh. Semakin tinggi air jatuh, maka semakin besar tenaga yang dihasilkan. Biasanya, tinggi air jatuh tergantung tinggi dari suatu bendungan. Semakin tinggi suatu bendungan, semakin tinggi air jatuh maka semakin besar tanaga yang dihasilkan. Ilmuwan mengatakan bahwa tinggi jatuh air berbanding lurus dengan jarak jatuh. Dengan kata lain, air jatuh dengan jarak dua satuan maka akan menghasilkan dua satuan energi lebih banyak. 2. Jumlah air yang jatuh. Semakin banyak air yang jatuh menyebabkan turbin akan menghasilkan tenaga yang lebih banyak. Jumlah air yang tersedia tergantung kepada jumlah air yang mengalir di sungai. Semakin besar sungai akan mempunyai aliran yang lebih besar dan dapat menghasilkan energi yang banyak. Tenaga juga berbanding lurus dengan aliran sungai. Dua kali sungai lebih besar dalam mengalirkan air akan menghasilkan dua kali lebih banyak energi. 4) Dampak Pembangunan PLTA terhadap lingkungan 1) Dampak pembangunan PLTA Koto panjang terhadap lingkungan alam. Salah satu konsep tentang studi dampak sosial bertolak dari pemikiran bahwa masyarakat itu dipandang sebagi suatu bagian dari suatu ekosistem. Perubahan dari salah satu subsistem akan mempengaruhi subsistem yang lain. Daerah yang terkena dampak ( impacted area )

dipandang sebagi suatu ekosistem dengan bermacam-macam komponen saling berhubungan. Menurut Majosati sebelum membangun PLTA Koto panjang Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang sebagai negara yang memberikan Pinjaman untuk pembangunan PLTA Koto Panjang telah membuat beberapa kesepakatan untuk meminimalisir dampakdampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Pertama, Gajah, Harimau, Tapir, dan satwa yang dilindungi lainnya, yang bermukim di lokasi harus diselamatkan dengan memindahkannya ke tempat perlindungan yang cocok. Kedua, tingkat kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak dari proyek PLTA Kotopanjang harus menjadi lebih baik dari kehidupan di tempat lama. Ketiga, persetujuan pemindahan bagi yang terkena dampak proyek adalah tanpa paksa dan prosesnya harus dilakukan secara adil dan merata. Namun, hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, bahkan tindak kekerasan TNI AD kental sekali selama proses pemindahan masyarakat.(http://majosati.blogspot.com/2009/12/plta-koto-panjangproyeksiluman.html ). Menurut Emil salim ( 1986 : 12 ) Di daerah Riau, gajah merusak ladang sehingga pendudk setempat merasa perlu menjirat satwa yang dilindungi ini. Hal ini sejalan dengan apa yang di akata kan Majoriti Satwa liar yang dilindungi, seperti gajah dan harimau, sering masuk ke desadesa, karena tidak ada proses pemindahan satwa tersebut pada saat pembangunan Dam Kotopanjang dan terganggunya habitat satwa tersebut akibat kerusakan fungsi ekologis kawasan Dam Kotopanjang. Pada saat kami berkunjung ke PLTA koto panjang tidak ditemui lagi di atas. Perbincagan kami dengan karyawan PLTA membuat kami mengerti bahwa ternyata peralatan di gunakan disana merupakan peralatan yang ramah lingkungan, proses pembangkitan tenaga listrik tersebut tidak menimbulkan pencemaran air. Pada PLTA tersebut Sampah- sampah yang ada di sana di kelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu : Sampah organik, sampah anorganik dan sampah B3 ( berupa cairan seperci OLi dll ). Dengan kondisi alam yang juga cukup indah maka PLTA ini juga di jadikan tempat wisata bagi masyarakat.

2) Dampak pembangunan PLTA Koto Panjang terhadap lingkungan Sosial. Menurut Emil ( 1997 : 23-24 ) Dampak sosial muncul ketika terdapat aktivitas : Proyek,

program, atau kebijakan yang akan di terapkan pada suatu masyarakat. Bentuk intervensi ini mempengaruhi keseimbangan suatu sistem ( masyarakat ). Pengaruh itu bisa positif , bisa pula negatif. Hal ini hanya dapatdi uji dari nilai, norma, aspirasi dan kebiasaan dari masyarakat yang bersangkutan. Pembangunan PLTA Koto Panjang memiliki dampak positif dan negatif. Adapun damapk positifnya yaitu terpenuhinya kebutuhan listrik masyarakat di Riau. Sedangkan damapak negative dari pembangunan PLTA ini terjadi akibat tidak dilaksanakanya tiga butir kesepakan yang telah disepakati pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang ( seperti yang di tulis di atas ) sehingga menimbulkan dampak sosial terhadap masyarakat sekitar. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, akibat tidak ada alternatif mata pencaharian lain, sebagian besar masyarakat melakukan kegiatan pembalakan haram di kawasan resapan air Dam Kotopanjang, sebagian lagi memilih menjadi buruh kebun di daerah lain. Pembalakan haram bukan saja dilakukan oleh masyarakat setempat, pihak luar pun melakukan hal yang sama dan dibiayai oleh cukong-cukong kayu. Kondisi ini sangat mengancam fungsi ekologis kawasan yang salah satunya diharapkan mampu menjadi pengendali banjir. Ketidaksejahteraan masyarakat setelah dipindahkan, membawa perubahan dalam kehidupan sosial-budaya. Mereka yang dulu memegang teguh adat istiadat, mempunyai sifat sosial yang tinggi, namun sekarang menjadi masyarakat yang sangat individualis dan tidak berbudaya. Banyak anakanak yang tidak bersekolah dan harus bekerja membantu orang tua, baik untuk mencari kayu maupun menjadi buruh kebun. Bagi sebagian orang tua yang mempunyai anak perempuan terpaksa menikahkan anaknya dalam kondisi di bawah umur dengan tujuan mengurangi beban hidup dan hal ini terjadi di desa Pongkai Baru. Pada saat wawancara dengan pak Yoga sebagi perwakilan dari PLTA Koto Panjang untuk mendampingi kami beliu mengatakan bahwa masyarakat sekitar bendungan membuat kerambah untuk beternak ikan di dalam bendungan yang seharus tidak dibolehkan berdasarkan aturan yang ada, tetapi dengan berbagai pertimbangan maka tindakan masyrakat ini dibiarkan saja. Jalan Ke Koto Panjang (Kronologi 1979 2000) Salah satu sumber energi listrik dan sumber air bersih, dan objek wisata yang saat ini dibanggakan orang Riau umumnya, Kabupaten Kampar khususnya, yaitu PLTA Koto Panjang yang terletak di Tanjung Pauh,Kampar. Pembangunan PLTA ini memiliki sejarah pembangunan panjang. Karena pembangunan sumber energi listrik itu, di ikhlaskan warga Kampar dengan mengorbankan harta dan jiwanya. Untuk mengetahui sejarah pembangunan PLTA Koto Panjang, seperti yang saya kutip, saya sajikan untuk dibaca. Selamat membaca perjalanan pembangunan energi pembangkit yang memiliki nilai historical itu.

1979 September. PLN merencanakan pembangunan dam skala kecil di Tanjung Pauh dalam rangka memanfaatkan potensi Batang Mahat anak Sungai Kampar Kanan. September dan November TEPSCO (Tokyo Electric Power Service Co. Ltd) perusahaan konsultan Jepang mengirim tim pencarian proyek (project finding) ke Sumatera . Dari hasil survey yang dilakukan, TEPSCO mengusulkan pembangunan waduk dengan skala besar, yakni pertemuan antara Kampar Kanan dengan Batang Mahat dengan lokasi damsitenya di daerah Koto Panjang. Potensi sungai-sungai di Riau

Kampar Kanan; 233 MW Kampar Kiri, 178 MW; Rokan Kanan, 56 MW; Rokan Kiri132 MW; Kuantan,350 MW. 1980 Maret, TEPSCO mempresentasikan usulannya ke Pemerintahan Jepang dan Indonesia Agustus, TEPSCO kembali mengirim tim penelitian pra studi kelayakan ke damsite. Hasil TEPSCO 1980 membuahkan 2 usulan. Pertama, dibangun rencanabendungan sebanyak 2 buah yang berlokasi di Tanjung Pauh dan Koto Panjang. Kedua, dibangun bendungan tunggal berskala besar di lokasi Koto Panjang. Dari hasil pra studi kelayakan ini, TEPSCO menyarankan kepada PLN/Pemerintah untuk melakukan perbandingan kedua usulan tersebut. Dalam hal ini khusus TEPSCO memiliki kecendrungan membangun bendungan tunggal berskala besar di Koto Panjang. Karena dianggap biayanya lebih murah dan kapasitas listrik yang akan dihasilkan jauh lebih besar 1981 September-Oktober Japan International Cooperation Agency (JICA) menindak lanjuti hasil dari TEPSCO, dan mengirim tim sebanyak 4 (empat) orang yang terdiri dari 2 (dua) orang consultan dari perusahaan Hokuden Kogyo Ltd dan 2 (dua) orang dari anggota JICA. 1982 JICA melakukan survey penuh berupa studi kelayakan proyek untuk usulan ini. Tim beranggotakan sebanyak 14 orang bersama dengan TEPSCO. Dalam pelaksanaan ini, TEPSCO juga bekerja sama dengan PT. Yodoya Karya Studi ini juga dalam rangka memperbandingkan rencana bendungan tunggal dengan dua bendungan bertahap Bendungan tunggal, lokasi di Koto Panjang; kapasitas 114 MW; tinggi bendungan 58 meter. Yang akan tenggelam 2.6444 rumah; 8.989 ha kebun-sawah; jalan negara 25,3 km dan jalan propinsi 27,2 km

Dua bendungan bertahap, bendungan I lokasi Tanjung Pauh; kapasitas 23 MW; tinggi bendungan 38 meter. Bendungan II lokasi di Koto Panjang; kapasitas 41 MW; tinggi bendungan 30,5 m. Dari studi kelayakan tersebut, kedua bendungan ini akan menenggelamkan rumah sebanyak 390 buah, 1.860 ha sawah dan kebun dan jalan negara sepanjang 16 meter. Berdasarkan studi ini akhirnya diputuskan untuk membangun Bendungan tunggal skala besar dengan pertimbangan biaya lebih murah sedagkan kapasitas listrik yang dihasilkan lebih besar dibanding denga dua bendungan bertahap. 1983 Pemda Kampar mulai melakukan Rekayasa sosial, penggalangan masa dengan jargon Kebulatan tekad bertempat di Pesantren Tarbiyah Islamiyah Batu Bersurat yang dilakukan atas nama Masyarakat XIII Koto Kampar yang siap berkorban untuk mewujudkan pembangunan Dam Koto Panjang,. 1984 Berdasarkan hasil laporan penelitian JICA dan TEPSCO, Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) memberi Pemerintah Indonesia bantuan sebesar 1, 152 Miliar Yen untuk Engineering Service. 1987-1990 Pemerintah Daerah Kampar antara tahun 1987-1990 sudah mengambil langkah cepat. Seluruh harta kekayaan penduduk yang bakal tenggelam di daftar. Pohon, rumah, pekarangan, sawah semua dicatat. Pemerintah melarang penduduk membangun atau membuka lahan pertanian baru. Pemerintah Daerah juga menghentikan pembangunan sarana dan prasarana umum seperti, puskesmas, pasar atau juga sekolah bahkan jalan sepanjang 35 kilometer di daerah ini tidak lagi diperhatikan. 1990 April. Koran Nihon Keizai Shinbun memuat berita tentang kerusakan lingkungan berkaitan dengan proyek Koto Panjang Agustus. Prof. Sumi Kazuo (Yokohama City University) dan Damoto Akiko (Anggota Dewan Majelis Tinggi) Jepang mengunjungi lokasi September. Prof. Prof. Sumi Kazuo. Cs mengajukan permohonan kepada Pemerintah Jepang untuk menghentikan pemberian pinjaman untuk pembangunan dam Koto Panjang September, Pemerintahan Jepang mengirim tim Appraisal ke Indonesia. Karena di Jepang terjadi perdebatan soal kelayakan secara ekonomi, sosial dan lingkungan dari proyek ini Oktober, Di berbagai media sudah gencar memberitakan bahwa PLTA Koto Panjang positif di bangun. Oktober, 9 Rekayasa sosial ke II terjadi lagi dengan adanya kebulatan tekad di desa Pulau Gadang. Kebulatan tekad ini , dibacakan oleh Imam Bachtiar Datuak Tandiko Pemuka Adat

Desa Pulau Gadang. Acara yang diawali dengan peyerahkan sebilah keris oleh salah seorang pucuk adat XIII Koto Kampar kepada Gub. Riau Soeripto, kemudian pucuk adat yang lain memberikan Lambang Adat dan Miniatur Perahu kepada Bupati Kampar Saleh Djasit dan Kep. Proyek Koto Panjang Tunjung Wicaksono. Salah satu diktum penting yang termaktup dalam kebulatan tekad th 1983 di Batu Bersurat dan Pulau Gadang tgl 9 Okt. 1990 adalah bahwa syarat pemindahan harus meliputi seluruh masyarakat yang ada disuatu desa dan di tempatkan di sekitar piggiran danau. Kemudian, penempatan kembali harus secara kolektif mutlak harus dilakukan agar masyarakat dapat mempertahankan adat dan tradisi mereka. Desember, 7. Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan SK Gubernur KDH TK I Nomor 671.21-610-90 tentang Panitia Pembebasan Tanah, dengan struktur Ketua : Bupati Kepala Daerah Kab. 50 Kota Sekretaris : Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten 50 Kota Anggota : Instansi Bappeda, Kantor Pelayanan Pajak Bumi, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas PU, Camat Pangkalan Koto Baru, Kepala Desa Tanjung Pauh -Tanjung Balit dan Ketua KAN Tanjung Pauh-Tanjung Balit Desember,. Di Jepang desakan untuk menghentikan pendanaan atas proyek Koto Panjang Semakin Kuat . Walaupun demikian, pada 13 Desember Pemerintahan Indonesia dan Jepang tetap menanda tangani kesepakatan Exchance Note (E/N) atas proyek Koto Panjang dengan nama Koto Panjang Hydroelecttric Power and Asosiated Transmision Line Project .dan menurunkan dana bantuan pertama 12,500 Milyar Yen. Selanjutnya OECF membuat Law Agreement dengan Pemerintah Indonesia. 1991 Januari, 19. Dubes Jepang untuk Indonesia di Jakarta mengatakan bahwa pihak Jepang telah menerima semua laporan dari pihak Indonesia mengenai syarat-syarat yang berhubungan dengan pembanguan PLTA Koto Panjang. Disamping itu, Pemerintah Jepang juga telah menerima laporan dari delegasi Fact Finding yang dikirim oleh OECF pada bulan Des. 1990. Berdasrakan laporan tersebut, dikatakan bahwa sudah tidak ada masalah untuk soal ganti rugi. Walaupun demikian, isi laporan tersebut belum diketahui dengan pasti. Hanya saja disebutsebut bahwa nilai ganti rugi sudah dinaikan sedikit, tetapi besar kenaikannya belum diketahui. April. 3 Saleh Djasit dilantik menjadi Bupati Kampar Priode II oleh Soeripto (Gubernur Riau). Dalam pidatonya, Soripto mengingatkan agar persiapan pelaksanaan pembangunan proyek listrik tenaga air Koto Panjang terus dilaksanakanan dan tidak boleh berhenti karena kehadiran proyek itu merupakan perjuangan yang cukup panjang sejak tahun 1979. Kehadiran proyek ini akan dapat megubah wajah Kab. Kampar kearah yang lebih cerah. Manfaat lain dari proyek ini akan mampu mendorong pembangunan industri, seperti pabrik kelapa sawit, kayu lapis dan industri hilir lainnya

April, 24. Rapat terpadu di kantor Bappeda Sumbar antara Pemda Riau dan Sumbar dan Kepala Biro Regional I Bappenas Pusat DR. Ir. Manuhoto. Seusai rapat, Ir. Syahhril Amir Pimpinan Proyek Induk Pembangkit Jaringan (Pikitring) PLN Sumbar-Riau menyatakan adanya rencana untuk melakukan studi banding ke Cirata dan Saguling di Jawa Barat itu diberikan untuk 150 orang pimpinan masyarakat. Pengiriman 150 pemuka masyarkat Kampar dan 50 Kota menurut Wagub Sumbar Drs. Sjoerkani, adalah untuk memperlancar proses realisasi proyek fisik PLTA Koto Panjang. Sebab masyarakat harus tahu persis peran apa yang dimintakan kepada mereka agar PLTA Koto Panjang berjalan mulus. April. Diberitakan bahwa pemerintah Jepang memberikan tiga sayarat untuk pinjaman Yen pembangunan Dam Koto Panjang, 1. Gajah yang bermukim di lokasi harus diselamatkan dengan memindahkannya ke tempat perlindungan yang cocok 2. Tingkat kehidupan KK yang kena dampak dari proyek Koto Panjang tingkat kehidupannya harus sama atau lebih baik dari kehidupannya di tempat lama 3. Persetujuan pemindahan bagi yang terkena dampak proyek prosesnya harus dilakukan dengan adil dan merata Juli. Wakil dari masyarakat Koto Panjang mengunjungi Kantor Perwakilan OECF di Jakarta dan mengklaim bahwa persetujuan pemindahan dan ganti rugi didapat dengan intimidasi September, Lima orang utusan yang mewakili 4.885 KK warga Koto Kampar melakukan aksi ke Jakarta menyampaikan tuntutan mereka tentang rendahnya harga ganti rugi. Tuntutan itu disampaikan dengan mendatangi : DPR RI, 2 Sepetember 1991 Kedubes Jepang, 3 Sepetember 1991 Ke kantor OECF Jakarta 4 Sept. 1991 Aksi ke Depdagri Kamis , 5 September 1991 Oktober, Pemerintah Indonesia menyerahkan rencana Aksi (Action Plan) menyangkut tiga syarat yang diajukan Pemerintah Jepang November, 6-7. OECF bersama Aparat Pemda Riau dan Sumbar mengunjungi lokasi pemukiman Koto Ranah dan Muara Takus Desember. Pemerintah Jepang dan OECF mengirim tim ke lokasi duntuk konfirmasi mengenai rencana pelaksanaan Dana tahap II Koto Panjang sebesar 17,525 Miliar Yen diturunkan 1992 Januari. Pemerintah Indonesia menyerahkan laporan akhir yang berisi bahwa tiga syarat yang ditetapkan telah dipenuhi

July. Pemerintah Jepang menilai bahwa tiga syarat telah dipenuhi dan secara resmi membuat kontrak perjanjian Agustus, Masyarakat Pulau Gadang Mulai dipindahkan ke lokasi pemukiman baru di Silam Koto Ranah. Pemindahan rakyat Pulau Gadang ke pemukiman baru, dibawah ancaman pihak militer, terutama yang sangat berperan adalah dari Bataliyon 132 yang bermarkas di Bangkinang. 1993 Januari. Pembangunan mulai dilaksanakan Juni. TEPSCO menerima kontrak untuk mengawasi proyek, sedangakan untuk pembangunan dam kontraknya dilakukan oleh HAZAMA dengan perusahaan lokal Juli, 29, Rakyat Tanjung Pauh sebanyak 312 KK atau 1152 jiwa dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II di Rimbo Datar Kecamatan Pangkalan Juli, Rakyat Tanjung Balit sebanyak 401 KK atau dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II di Rimbo Datar 1994 Empat orang warga Tanjung Balit (Syamsuri Cs) mendatangi DPRD Tk I Sumbar menyampaikan tuntutan ganti rugi yang belum dibayar. Januari, 8 10. Rakyat Muara Takus sebanyak 244 KK dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) I di Selatan Muara Takus Kec. XIII Koto Kampar Maret, 21. Rakyat Muara Mahat sebanyak 447 KK dipindahkan Satuan Pemukiman (SP) Blok X/G di daerah Sibuak Bagkinang Kec. Tapung dengan Pola PIR Maret, 28, Kamis. Rakyat Koto Tuo sebanyak 599 KK dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II Selatan Muara Takus Kec. XIII Koto Kampar Agustus, Rakyat Tanjung Pauh sebanyak 38 KK atau 387 jiwa kembali dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II di Rimbo Datar Agustus, Rakyat Tanjung Balit sebanyak 49 KK kembali dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II di Rimbo Datar Oktober, Rakyat Tanjung Alai sebanyak 313 KK atau sebanyak 1600 jiwa dipindahkan ke ke Unit Pemukiman Penduduk (UPP) Ranah Koto Talago Kec. XIII Koto Kampar. 1995 Juli, 2, Sabtu. Rakyat Lubuk Agung sebanyak 220 KK atau 1082 jiwa dipindahkan ke Unit Pemukiman Penduduk (UPP) Ranah Sungkai Koto Tangah Kec. XIII Koto Kampar. 1996 Warga Tanjung Balit mengadukan kasus ganti rugi mereka ke Komnas Ham

Maret. Bendungan selesai dibangun dan penggenangan percobaan dilakukan 1997 Feruari, 28 hari Jumat, Penggenangan secara resmi, penekanan tombol penurunan pintupintu sekat air dam dilakukan Mei, Masyarakat Tanjung Pauh yang dimukimkan di Rimbo Datar, menolak pemberian sertifikat atas lahan kebun karet yang dikeluarkan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kab. 50 Kota. 1998 Januari 6, Pangkalan Mengalami banjir besar. Wilayah Kecamatan Pangkalan Koto Baru (diluar areal proyek PLTA) kabupaten 50 kota secara umum merupakan daerah tangkapan air dengan beberapa sungai dan anak sungai seperti; Batang Mangilang, batang Samo dan Batang Mahat. Meskipun hujan turun berharihari, tidak pernah terjadi banjir besar. Karena, wilayah ini memiliki siklus banjir alami yakni satu kali dalam 25 tahun. Februari 2, Pangkalan Kembali mengalami banjir. Pasca dam Koto Panjang, setiap hari hujan wilayah ini mengalami banjir besar. Banjir besar sekarang ini, merupakan banjir kedua kali (pertama tanggal 6 Januari 1998), dan menyebabkan terputusnya transportasi Sumbar Riau. Ketinggian muka air disaat banjir, tidak wajar lagi. Capaian ketinggian air sudah sampai keloteng rumah penduduk bahkan Mapolsek dan Puskesmas Pangkalan ikut ditenggelamkan. Mei . 10 (Minggu), Banjir Pangkalan didiskusikan di GOR Rumah Makan Rangkiang Pangkalan. Penyebab banjir besar, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh adanya dam Koto Panjang.. Sebelum adanya PLTA Koto Panjang, air sungai diwilayah ini mengalir sampai jauh sampai ke Muaro Mahat. Sekarang, sampai di Tanjung Balit aliran air sungai menjadi tersendat, sehingga air sungai Batang Mangilang, batang Samo dan Batang Mahat menjadi naik. Disamping itu, terlihat bahwa, ketika hari hujan, air sungai cepat naik, turunnya sangat lambat. Bagi penduduk Pangkalan yang berjumlah 22.000 jiwa, banjir yang dua kali melanda wilayah ini membuat mereka menjadi stress dan traumatik. Oleh karena itu, dalam kunjungan lapangan ke 50 Kota, Komisi A Bidang Pemerintahan DPRD Sumbar yang dipimpin oleh ketuanya Drs. Syahrial, SH, mengharapkan kepada Pemda Kab. 50 Kota agar menuntaskan persolan banjir Pangkalan ini bersama dengan PLN Pikitring Sumbar-Riau. Tidak hanya itu, kenaikan elevasi air mencapai 82 meter juga berpengaruh terhadap pemukiman baru rakyat Koto Tuo. Juni, 15, Bersama dengan KBH- Bukittinggi Taratak mengangkat kasus kompensasi sebanyak 13 orang masyarakat Tanjung Balit ke Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Pati. Perkara ini didaftar secara resmi di PN Tanjung Pati pada tgl 15 Juni 1998 dengan No. 03/Pdt.G/1998/PN.TJP

2000 Mei, 20. Masyarakat Tanjung Pauh sebanyak 67 kk dari 180 kk yang ganti ruginya belum tuntas, mengajukan gugatan ke PN Tanjung Pati dengan kuasa hukum KBH-YPBHI Bukittingg. Perkara Ini terdaftar dengan No.03/Pdt.G/2000/PN.TJP Mei, 26 28, BP RKDKP melakukan Kongres I di Padang yang dihadiri sebanyak 112 anggota dari 12 desa. Juli. 1 (Senin). Presentasi Hasil Survey Study SAPS PLTA Koto Panjang oleh Team JBIC di BAPPEDA Sumbar. Studi lapangan dilakukan oleh PT. Bita Bina Semesta dan LSM Bina Swadaya.

You might also like