You are on page 1of 278

No.

Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 1/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

1. Pemeliharaan Kehamilan Definisi: Suatu program berkesinambungan selama kehamilan, persalinan, kelahiran dan nifas yang terdiri atas edukasi, skrining, deteksi dini, pencegahan, pengobatan, rehabilitasi yang bertujuan untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada ibu dan janinnya sehingga kehamilan menjadi suatu pengalaman yang menyenangkan. Prinsip dasar: Tabulasi faktor risiko. Skrining dan deteksi dini. Evaluasi dan penilaian maternal dan pertumbuhan janin. Evaluasi dan penilaian rute persalinan dan kelahiran. Evaluasi dan penilaian nifas. Konseling nutrisi, gerak badan (exercise), medis, genetik. Diagnosis: Anamnesis. Pemeriksaan fisik. USG. Laboratorium. Manajemen: Trimester I: a. Pemastian kehamilan. b. Pemastian intrauterin hidup. c. Pemastian kehamilan tunggal/multipel. d. Pemastian usia kehamilan. e. Pemastian faktor risiko. f. Persiapan dan pemeliharaan payudara. g. Skrining thalasemia, hepatitis B, rhesus (bila mungkin). h. Pemeriksaan TORCH (bila mungkin). Trimester II: a. Skrining defek bumbung saraf (Neuro Tube Defect). b. Skrining defek jantung. c. Evaluasi pertumbuhan janin.

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 2/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

d. Evaluasi toleransi maternal. e. Skrining servikovaginitis. f. Skrining infeksi jalan kencing (UTI). g. Skrining Diabetes Melitus (DM) pada usia kehamilan 24-30 minggu. Trimester III: a. Evaluasi pertumbuhan janin. b. Evaluasi toleransi maternal. c. Evaluasi rute persalinan/kelahiran. d. Evaluasi fasilitas kelahiran/perawatan neonatal.

Prognosis: Sangat variatif, namun pada risiko rendah prognosis baik. 2. Versi Luar Definisi: Suatu tindakan untuk mengubah letak janin dalam rahim yang dikerjakan dari luar untuk mengubah letak sungsang menjadi letak kepala atau letak lintang menjadi letak memanjang (letak kepala atau sungsang). Indikasi: Letak lintang pada kehamilan 34 minggu. Letak sungsang pada kehamilan 36 minggu. Kontraindikasi: Bekas seksio sesarea. Pasca miomektomi. Panggul sempit absolut. Hidramnion. Insersi plasenta pada dinding anterior. Perdarahan antepartum. Hipertensi. Kelainan bentuk uterus. Hidrosefalus dan anensefalus. Kehamilan kembar. Dugaan CPD.

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 3/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Kepala janin defleksi pada letak sungsang.

Syarat: Umur kehamilan: letak lintang 34 minggu dan letak sungsang 36 minggu. Pada letak sungsang, bagian terendah janin masih dapat dimobilisasi. Bunyi jantung janin baik. Ketuban belum pecah. Pada persalinan pembukaan serviks < 3 cm. Pemeriksaan USG. Teknik: Kandung kemih dikosongkan. Periksa bunyi jantung janin. Posisi berbaring dengan kaki fleksi. Mobilisasi: bagian terendah janin. Sentralisasi: kepala dan bokong di dekatkan. Versi: pemutaran dilakukan ke arah yang paling rendah tahanannya (ke arah perut janin) supaya tidak terjadi defleksi kepala atau tali pusat terkemuka. Pantau bunyi jantung janin selama 5-10 menit pasca versi luar, bila terjadi gawat janin, diputar kembali ke posisi semula. Fiksasi: bila bunyi jantung janin baik, ibu berbaring sekitar 15 menit untuk kenyamanan dan ketenangan; kemudian fiksasi dinding perut dengan gurita atau stagen. Versi luar dianggap gagal bila timbul gawat janin dan letak anak yang diharapkan tidak tercapai. Versi luar ulangan: Dilakukan setiap kunjungan antenatal, maksimal 3 kali selama tidak ada kontraindikasi. Jika masih gagal, dapat dicoba lagi saat pasien masuk dalam persalinan selama syarat-syarat masih terpenuhi. Komplikasi: Solusio plasenta/abrusio plasenta. Lilitan tali pusat.

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 4/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Ruptura uteri. Gawat janin. Ketuban pecah.

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 5/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

3. Partograf Definisi: Suatu alat yang dipakai untuk memantau kemajuan persalinan, keadaan ibu dan kesejahteraan janin. Tujuan: Membantu petugas kesehatan mengambil keputusan secara cepat dalam penatalaksanaan persalinan. Partograf dimulai pada pembukaan 4 cm (fase aktif). Partograf sebaiknya dibuat untuk setiap ibu yang bersalin, tanpa menghiraukan apakah persalinan tersebut normal atau dengan komplikasi, kecuali pada ibu yang pada saat masuk rumah sakit harus dilakukan seksio sesarea seperti pada perdarahan antepartum, gawat janin, eklamsia atau malpresentasi. Petugas harus mencatat kondisi ibu dan janin sebagai berikut: Denyut Jantung Janin yang dicatat setiap 1 jam. Air ketuban. Catat warna air ketuban setiap melakukan pemeriksaan vagina: U: selaput Utuh. J: selaput pecah, air ketuban Jernih. M: air ketuban bercampur Mekoneum. D: air ketuban bernoda Darah. T: Tidak ada cairan ketuban. Perubahan bentuk kepala janin (molding atau molase): 0: sutura (pertemuan dua tulang kepala) teraba jelas. 1: sutura tidak teraba. 2: tulang kepala tumpang tindih tetapi masih dapat dipisahkan. 3: tulang kepala tumpang tindih tetapi tidak dapat dipisahkan. Pembukaan mulut rahim (serviks) yang dinilai setiap 4 jam dan diberi tanda silang (x).

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 6/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Penurunan kepala: mengacu pada bagian kepala yang teraba pada pemeriksaan abdomen/luar di atas simfisis pubis (menurut per lima-an); catat dengan tanda lingkaran (O) pada setiap pemeriksaan dalam. Waktu: menyatakan berapa jam waktu yang telah dijalani sesudah pasien dipantau. Jam: catat jam sesungguhnya. Kontraksi: catat setiap jam pada fase laten, dan setiap setengah jam pada fase aktif. Lakukan palpasi untuk menghitung banyaknya kontraksi dalam 10 menit dan lamanya tiap-tiap kontraksi dalam hitungan detik. - kurang dari 20 detik. - antara 20 dan 40 detik. - lebih dari 40 detik. Oksitosin: jika memakai Oksitosin, catatlah banyaknya Oksitosin pervolume cairan infus dan tetesan per-menit. Obat yang diberikan: catat semua obat lain yang diberikan. Nadi: catatlah setiap 30-60 menit dan tandai dengan sebuah titik besar (). Tekanan darah: catatlah setiap 4 jam dan tandai dengan anak panah (). Suhu badan: catatlah setiap dua jam. Protein, aseton, dan volume urine: catatlah setiap kali ibu berkemih. Jika temuan-temuan melintas ke arah kanan dari garis waspada, lakukan penilaian terhadap kondisi ibu dan janin serta lakukan tindakan yang tepat.

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 7/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 8/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 9/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

4. Tes Tanpa Kontraksi (NST) Definisi: Tes Tanpa Kontraksi/Uji Tanpa Beban/Non Stress Test adalah cara pemeriksaan kesehatan janin dengan menggunakan kardiotokografi pada umur kehamilan 32 minggu. Tujuan: Untuk menilai kesehatan janin dengan melihat hubungan perubahan denyut jantung janin dengan gerakan janin yang dirasakan oleh ibu. Patofisiologi: Aktivitas dinamika jantung janin dipengaruhi oleh sistem saraf otonom yaitu simpatis dan parasimpatis. Bunyi jantung dasar dan variabilitas dari jantung janin normal terjadi bila oksigenasi jantung normal. Bila cadangan plasenta untuk nutrisi (Oksigen) cukup, maka stres intrinsik (gerakan janin) akan menghasilkan akselerasi bunyi jantung janin, dan stres ekstrinsik (kontraksi rahim) tidak akan mengakibatkan deselerasi. Persiapan Tes Tanpa Kontraksi: Ibu hamil telah makan 1-2 jam sebelum prosedur dilakukan, sebaiknya pemeriksaan dilakukan pagi hari, 2 jam setelah sarapan. Ibu tidak sedang memakai obat-obatan sedatif. Kandung kemih dikosongkan. Informed consent. Indikasi: Semua kondisi yang dapat menyebabkan janin lahir dalam keadaan buruk, antara lain: Kondisi ibu: - Hipertensi kronis. - Diabetes Melitus. - Anemia berat (Hb < 8 gr% atau hematokrit < 26%). - Penyakit vaskuler kolagen. - Gangguan fungsi ginjal. - Penyakit jantung. - Pneumonia dan penyakit paru-paru berat.

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 10/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

- Penyakit dengan kejang. Kondisi janin: - Pertumbuhan Janin Terhambat. - Kelainan kongenital minor. - Aritmia jantung. - Isoimunisasi. - Infeksi janin seperti toksoplasmosis, parvovirus, sifilis, dll. - Pernah mengalami kematian janin dalam rahim yang tidak diketahui penyebabnya. Kondisi yang berhubungan dengan kehamilan: - Kehamilan multipel. - Ketuban pecah pada kehamilan kurang bulan. - Polihidramnion. - Oligohidramnion. - Plasenta abnormal. - Solusio plasenta. - Kehamilan Lewat Waktu.

Prosedur pelaksanaan: Pasien ditidurkan secara santai dengan posisi semi Fowler (45 derajat) dan miring ke kiri. Tekanan darah diukur setiap 10 menit. Dipasang kardiotokografi. Pada ibu diberikan tombol penanda yang harus ditekan apabila ibu merasakan gerak janin. Frekuensi denyut jantung janin dicatat selama 10 menit pertama untuk mendapatkan data dasar bunyi jantung janin. Pemantauan tidak boleh kurang dari 20 menit. Apabila pada 20 menit pertama didapatkan hasil non-reaktif, lanjutkan pemantauan 20 menit lagi. Pastikan bahwa tidak ada hal-hal yang mempengaruhi hasil pemantauan apabila hasilnya tetap non-reaktif (misalnya pemakaian obat sedatif). Bila pasien dalam keadaan puasa dan hasil pemantauan selama 20 menit tidak reaktif, pasien diberi larutan 100 gram gula oral dan dilakukan pemeriksaan ulang 2 jam kemudian (sebaiknya pemeriksaan dilakukan pagi hari setelah 2 jam sarapan). Pemeriksaan NST ulangan dilakukan berdasarkan pertimbangan hasil NST secara individual.

10

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 11/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Komplikasi: Hipotensi supinasi/ortostatik. Pembacaan hasil: Reaktif, bila: Denyut jantung janin basal antara 120-160 kali per-menit (beat per-menit) Variabilitas denyut jantung janin antara 6-25 kali per-menit (beat per-menit) Ada gerakan janin, terutama gerakan multipel dan berjumlah 5 gerakan atau lebih dalam pemantauan 20 menit, dengan kenaikan minimal 15 beat permenit selama minimal 15 detik. Reaktif berarti janin dalam keadaan sehat dan pemeriksaan dapat diulang 1 minggu kemudian. Tidak reaktif, bila: Denyut jantung janin basal antara 120-160 kali per-menit (beat per-menit). Variabilitas denyut jantung janin kurang dari 6 kali per-menit ( beat permenit) Gerak janin tidak ada atau kurang dari 5 gerakan dalam 20 menit. Tidak ada akselerasi denyut jantung janin meskipun diberikan rangsangan dari luar (rangsangan akustik atau taktil). Selain hasil yang reaktif dan tidak reaktif ini, ada bentuk antara, yaitu hasil yang kurang baik (non reassuring). Keadaan ini interpretasinya sukar, dapat disebabkan pemakaian obat-obatan seperti Barbiturat, Demerol, Fenotiasid dan Metildopa. Pada keadaan non reassuring dan pasien tidak menggunakan obat-obatan, dianjurkan agar NST diulangi keesokan harinya. Bila reaktivitas tidak membaik, dilakukan pemeriksaan Uji Beban Kontraksi (Oxytocin Challenge Test/OCT). Sinusoidal, bila: Ada osilasi yang persisten pada denyut jantung basal. Tidak ada gerakan janin. Tidak terjadi akselerasi, janin dalam keadaan bahaya. Bila paru-paru janin matur, janin dilahirkan. Gambaran ini didapatkan pada keadaan isoimunisasiRh.

11

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 12/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Deselerasi variabel dapat terdeteksi selama pemantauan. Apabila deselerasi variabel tidak berulang dan lamanya tidak lebih dari 30 menit, biasanya tidak menunjukkan keadaan janin yang buruk dan tidak memerlukan intervensi obstetri. Deselerasi lambat yang berlangsung lebih dari 1 menit pada pemeriksaan NST biasanya berhubungan dengan keadaan janin yang buruk. Pedoman pemeriksaan NST: Indikasi Kehamilan Lewat Waktu Ketuban pecah pada Kehamilan Kurang Bulan Perdarahan antepartum Oligohidramnion Polihidramnion DM tipe IDDM DM tipe NIDDM Hipertensi kronik atau Hipertensi dalam Kehamilan Penyakit kolagen vaskuler, termasuk Sindroma Anti Fosfolipid Asma yang tidak terkontrol atau dengan ketergantungan steroid Penyakit Sickle Cell/anemia berat Gangguan fungsi ginjal Penyakit tiroid yang tak terkontrol Pernah lahir mati Pemantauan awal 41 minggu Pada saat terjadi/diketahui > 32 minggu atau pada saat diketahui > 32 minggu atau pada saat diketahui 32 minggu 32 minggu 32 minggu 32 minggu 32 minggu 32 minggu 32 minggu 28 minggu 32 minggu 2 minggu sebelum usia kehamilan yang mengalami lahir mati terdahulu 32 minggu 32 minggu 32 minggu Pada saat keluhan Frekuensi 2 kali seminggu Setiap hari 2 kali seminggu 2 kali seminggu Seminggu sekali Setiap hari Seminggu sekali Seminggu sekali Seminggu sekali Seminggu sekali Seminggu sekali Seminggu sekali Seminggu sekali Seminggu sekali

Kehamilan multipel Kelainan kongenital Pertumbuhan Janin Terhambat Pergerakan anak terasa berkurang

Seminggu sekali Seminggu sekali Seminggu sekali -

12

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 13/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

5. Tes Dengan Kontraksi (CST) atau Tes Dengan Oksitosin (OCT) Definisi: Tes Dengan Kontraksi/Uji Beban Kontraksi/ Contraction Stress Test atau Tes Dengan Oksitosin/Uji Dengan Oksitosin/Oxytocin Challenge Test adalah cara pemeriksaan kesehatan janin dengan menggunakan kardiotokografi yang menilai perubahan denyut jantung janin pada saat kontraksi rahim. Tujuan: Untuk memantau kondisi janin pada usia kehamilan lanjut sebelum janin dilahirkan. Untuk menilai apakah janin dapat mentolerir beban persalinan normal. Untuk menilai fungsi plasenta. Persiapan: Ibu tidak makan/minum atau merokok 4-8 jam sebelumnya. Ibu tidak sedang memakai obat-obatan sedatif. Kandung kemih dikosongkan. Informed consent. Klasifikasi: Uji Beban Kontraksi (CST), bila pemeriksaan pola denyut jantung janin tersebut dihubungkan dengan kontraksi uterus yang spontan. Uji Dengan Oksitosin (OCT), bila kontraksi ditimbulkan dengan pemberian infus Oksitosin. Indikasi: Keadaan yang diduga terdapat insufisiensi plasenta, antara lain: - Uji Tanpa Beban yang tidak reaktif. - Diabetes Melitus. - Preeklamsia.

13

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 14/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Hipertensi kronik. Pertumbuhan Janin Terhambat. Kehamilan Lewat Waktu. Pernah mengalami lahir mati. Ketagihan narkotika. Hemoglobinopati akibat sickle cell. Penyakit paru kronik. Gangguan fungsi ginjal.

Kontraindikasi: - Luka parut pada rahim (bekas seksio sesarea atau bekas miomektomi) - Kehamilan ganda sebelum usia kehamilan 37 minggu. - Ketuban pecah sebelum usia kehamilan 37 minggu. - Risiko tinggi untuk Persalinan Kurang Bulan. - Perdarahan antepartum. - Serviks inkompeten atau pasca operasi serviks. - Kelainan bawaan atau cacat janin berat. - Adanya indikasi untuk seksio sesarea (misalnya Panggul Sempit Absolut/PSA, Disproporsi Kepala Panggul/CPD). Prosedur pelaksanaan: Pasien ditidurkan secara santai dengan posisi semi Fowler (45 derajat) dan miring ke kiri. Tekanan darah diukur setiap 10-5 menit, dicatat di kertas monitor. Dipasang kardiotokografi. Selama 10 menit pertama dicatat data dasar, seperti frekuensi, akselerasi dan variabilitas denyut jantung janin, gerakan janin dan kontraksi yang spontan. Pemberian tetesan Oksitosin untuk mengusahakan terbentuknya 3 kontraksi rahim dalam 10 menit. a. Bila telah ada kontraksi uterus spontan tapi kontraksi < 3 kali/10 menit, tetesan dimulai dengan 0,5 mIU/menit (10 tetes/menit). b. Bila belum ada kontraksi rahim, tetesan dimulai dengan 1 mIU/menit (20 tetes/menit). c. Bila kontraksi yang diinginkan belum tercapai, setiap 15 menit tetesan dinaikan 5 tetes/menit, sampai maksimal 60 tetes/menit. d. Tetesan Oksitosin dihentikan apabila terjadi: - Lima kontraksi atau lebih dalam 10 menit.

14

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 15/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Dalam 10 menit terjadi 3 kontraksi yang lamanya lebih dari 50-60 detik. - Kontraksi uteri hipertonus. - Deselerasi yang memanjang. - Terjadi deselerasi lambat yang terus menerus. - Selama 1 jam pemantauan hasilnya tetap mencurigakan (suspicious). Bila hasil yang diperoleh negatif, mencurigakan maupun tidak memuaskan maka pasien hendaknya tetap diawasi selama 30 menit setelah tetesan Oksitosin dihentikan.

Komplikasi: Persalinan Kurang Bulan. Pembacaan hasil: Negatif, bila: Tidak terjadi deselerasi lambat atau deselerasi variabel yang nyata (significant variable decelerations). Denyut jantung janin normal (120-160 kali per-menit/bpm), variabilitas 6-25 bpm. Bila hasil OCT negatif, maka kehamilan dapat diteruskan sampai 7 hari lagi (kecuali pada Diabetes Melitus), selanjutnya dilakukan OCT ulangan atau diartikan bahwa janin dapat mentolerir beban persalinan normal Positif, bila: Terjadi deselerasi lambat yang menetap pada sebagian besar kontraksi rahim, meskipun tidak selalu disertai dengan variabilitas yang menurun dan tidak ada akselerasi pada gerakan janin. OCT positif menandakan adanya insufisiensi uteroplasenta. Kehamilan harus segera diakhiri, kecuali bila paru-paru belum matang. Mencurigakan, bila: Terjadi deselerasi lambat yang tidak menetap, atau deselerasi variabel yang terus menerus. Deselerasi lambat terjadi hanya bila ada kontraksi rahim hipertonus. Bila dalam pemantauan 10 menit meragukan ke arah positif atau negatif. Adanya takikardi. Bila hasilnya mencurigakan, maka harus dilakukan pemeriksaan ulang 1-2 hari kemudian.

15

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 16/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Tidak memuaskan (unsatisfactory), bila: Kontraksi rahim kurang dari 3 kali dalam 10 menit. Pencatatan tidak baik, terutama pada akhir kontraksi. Dalam hal demikian, maka pemeriksaan harus diulang pada hari berikutnya. Hiperstimulasi, bila: Terjadi 5 atau lebih kontraksi rahim dalam 10 menit. Lama kontraksi 90 detik atau lebih. Tonus basal uterus meningkat (di atas 20 mmHg). Dalam hal demikian, maka tetesan Oksitosin harus dikurangi atau dihentikan.

16

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 17/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

6. Pemberian Obat-Obatan Tokolitik Definisi: Obat tokolitik adalah obat yang mempunyai pengaruh mengurangi, melemahkan atau menghilangkan kontraksi rahim. Kontraksi otot rahim bisa dihambat melalui perangsangan reseptor beta adrenergik (misalnya: Terbutalin, Isoksuprin). Indikasi: Pencegahan Persalinan Kurang Bulan. Kontraindikasi: Solusio plasenta. Infeksi intrauterin. Febris yang tidak diketahui sebabnya. Pertumbuhan Janin Terhambat. Penyakit jantung. Hipertensi dalam Kehamilan. Penyakit paru-paru. Hipertiroidi. Diabetes Melitus. Kriteria pemberian obat tokolitik: Umur kehamilan 24-34 minggu. Minimal terdapat 2 kontraksi dalam 15 menit. Adanya pengaruh kontraksi rahim yang jelas terhadap serviks (pendataran serviks). Pembukaan serviks kurang dari 3 cm. Tidak ada kontraindikasi pemberian obat-obat beta adrenergik agonis.

17

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 18/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pemeriksaan khusus untuk menyingkirkan kontraindikasi: Urine. Gula darah sewaktu. EKG. Hematokrit. Lekosit. Foto thoraks. USG. Macam dosis dan cara pemberian: Salbutamol: diberikan dengan dosis 10 mg dalam larutan NaCl atau Ringer Laktat. Dimulai dengan infus 10 tetes/menit, bila kontraksi masih ada tingkatkan tetesan infus 10 tetes/menit setiap 30 menit sampai kontraksi berhenti atau nadi ibu tidak melebihi 120 kali/menit. Bila kontraksi berhenti, tetesan tersebut dipertahankan sampai 12 jam setelah kontraksi berakhir. Sebagai dosis jaga, diberikan Salbutamol per-oral 3 x 4 mg per-hari selama 7 hari. Isoksuprin: diberikan per-infus dengan kecepatan 0,25-0,5 mg/menit (1,5-3 cc/menit) bisa dinaikkan sampai 1 mg/menit. Dua jam setelah kontraksi menghilang, dilanjutkan dengan pemberian 10 mg/3-6 jam secara IM, selama 12-24 jam kemudian dilanjutkan dengan pemberian 10-30 mg tablet setiap 6 jam selama 3 hari. Catatan: Duvadilan sebanyak 5 ampul dalam 250 cc cairan per-infus diberikan dengan kecepatan 10 tetes/menit dan dinaikkan 5 tetes/menit setiap 30 menit sampai kontraksi berhenti atau nadi ibu tidak melebihi 100 kali/menit. Nifedipin: diberikan dengan dosis 3 x 20 mg per-oral per-hari sampai kontraksi berhenti. Perhatikan tekanan darah ibu untuk mencegah keadaan hipotensi yang dapat berakibat menurunnya perfusi ke plasenta (insufisiensi). MgSO4: diberikan dengan dosis awal sebanyak 4 gr IV (MgSO 4 20% 20 cc), diikuti dengan pemberian 1-2 gr setiap jam per-infus dengan cara 10 gr MgSO4 dalam 500 cc Ringer Laktat dengan tetesan 20-30 tetes/menit. Diperhatikan syarat-syarat pemberian MgSO4 dan harus tersedia antidotum yaitu Kalsium Glukonas 10% 10 cc.

18

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 19/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Syarat pemberian MgSO4: Refleks patela positif kuat, frekuensi pernafasan 16 kali/menit, produksi urine 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5 cc/kg bb/jam), harus tersedia Kalsium Glukonas 10% (1 gram dalam 10 cc) diberikan IV dalam waktu 3-5 menit. Terbutalin: 250 g secara IV dilanjutkan dengan pemberian per-infus 10 g/menit. Pengobatan dipertahankan sampai 8 jam, kemudian dilanjutkan dengan pemberian subkutan 250 g setiap 4 jam selama 24 jam. Pengobatan dilanjutkan secara oral dengan dosis 2,5 g/4-6 jam. Catatan: Bricasma sebanyak 5 ampul dalam 250 cc cairan per-infus diberikan dengan kecepatan 10 g (20 tetes/menit) dan dinaikkan 5 tetes/menit setiap 30 menit sampai kontraksi berhenti atau nadi ibu tidak melebihi 100 kali/menit. Atosiban: belum ada di Indonesia. Ritrodin: tidak dipergunakan lagi.

Pengawasan: Selama pemberian pengobatan obat-obat tokolitik perlu diawasi dengan ketat: Keadaan umum ibu. Nadi. Pernafasan. Tekanan darah. Bunyi jantung janin. Kontraksi rahim. Timbulnya tanda-tanda kontraindikasi pemberian, antara lain dekompensasio kordis atau edema paru.

7. Asfiksia Intrauterin Definisi:

19

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 20/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Asfiksia intrauterin adalah keadaan kekurangan Oksigen dan adanya penimbunan Karbondioksida yang menyebabkan asidosis intrauterin akibat gangguan pertukaran gas melalui plasenta.

Klasifikasi: Akut: klinis berupa episode hipoksemia sementara, yang tidak disertai asidosis. Kronis: klinis hipoksemia menetap, disertai asidosis metabolik atau respiratorik. Etiologi: Insufisiensi utero plasenta. Kompresi tali pusat. Komplikasi janin misalnya akibat sepsis atau perdarahan. Asfiksia akut: Profil biofisik janin (seperti gerakan nafas, gerakan tubuh, tonus fleksor janin) berkurang atau menghilang. NST (Non Stress Test/Uji Tanpa Beban) dan OCT/CST (Oxytocin Challenge Test/Contraction Challenge Test/Uji dengan Kontraksi/Uji Beban Kontraksi) memperlihatkan kelainan. Terdapat tanda-tanda gawat janin. Asfiksia kronis: Oligohidramnion. PJT (Pertumbuhan Janin Terhambat). Pewarnaan mekoneum pada cairan ketuban maupun bagian luar janin. Sonografi Doppler memperlihatkan adanya Pertumbuhan Janin Terhambat. Pemeriksaan Penunjang: USG dan Sonografi Doppler. Kardiotokografi/CTG, NST dan OCT/CST. Amnioskopi. Pengambilan contoh darah janin (Fetal Blood Sampling). Penatalaksanaan:

20

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 21/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Resusitasi Intrauterin (lihat resusitasi intrauterin). Terminasi kehamilan tergantung keadaan asfiksia dan keadaan janin.

8. Resusitasi Intrauterin Definisi: Suatu tindakan sementara pada keadaan gawat janin akut sebagai usaha untuk mengurangi stres yang timbul pada persalinan. Prosedur ini dilakukan pada pasien sambil menunggu tindakan yang sesuai. Prosedur umum: Prosedur ini dilakukan pada keadaan-keadaan sebagai berikut: Takikardi janin. Bradikardi janin. Bunyi jantung janin tidak teratur. Cairan ketuban bercampur mekoneum. A. Memperbaiki sirkulasi darah di dalam rahim. 1. Posisi ibu: semua pasien dengan gawat janin harus diletakkan pada posisi miring ke kiri. 2. Pemberian cairan: pasien perlu diberi cairan infus Dekstrose 5%, NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. 3. Relaksasi rahim: bila sedang dalam pemberian tetes Oksitosin, hentikan tetes Oksitosin. B. Memperbaiki sirkulasi darah tali pusat. Bila ada kecurigaan penekanan pada tali pusat maka posisi ibu dapat diubah, sehingga bunyi jantung janin kembali normal. Mengurangi efek tekanan tali pusat dapat juga dengan cara meninggikan bagian terendah pasien (Trendelenberg).

21

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 22/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

C. Memperbaiki oksigenasi janin Dengan pemberian Oksigen sebanyak 5-7 liter/menit. Bila usaha-usaha tersebut di atas setelah 20 menit tidak berhasil, maka harus diputuskan untuk mengakhiri persalinan. Prosedur khusus: Deselerasi variabel Pengelolaan kasus dengan deselerasi variabel: Tindakan Manfaat Pemeriksaan dalam Mencari penyebab dekompresi tali pusat Merubah posisi ibu Mencari penyebab dekompresi tali pusat Menurunkan kontraksi uterus dengan Meningkatkan aliran darah uteroplasenter mengurangi dosis Oksitosin Pemberian Oksigen Meningkatkan oksigenasi ibu dan janin Persiapan tindakan operatif Mempersingkat waktu antara putusan dengan tindakan Meninggikan bagian terendah pasien Mengurangi efek tekanan tali pusat (posisi Trendelenburg)

Deselerasi lambat Pengelolaan kasus dengan deselerasi lambat Tindakan Manfaat Menurunkan frekuensi kontraksi dengan Meningkatkan waktu pemulihan uterus menghentikan tetesan Oksitosin Merubah posisi pasien menjadi posisi Meningkatkan aliran darah uteroplasenter miring Pemberian Oksigen 100% 5-7 liter/menit Meningkatkan kadar Oksigen darah ibu dan janin Meningkatkan volume darah dengan Memperbaiki hipotensi, meningkatkan pemberian cairan infus aliran darah uteroplasenter Persiapan tindakan operatif Mempersingkat waktu antara putusan dengan tindakan

22

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 23/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Aktivitas rahim Penerimaan janin terhadap stres yang terjadi karena kontraksi rahim berbeda-beda. Misalnya untuk janin PJT, kontraksi rahim prematur yang adekuat akan memberikan beban yang berat terhadap janin. Umumnya kontraksi rahim yang berlebihan dapat dikoreksi. Pengelolaan kasus dengan kontraksi rahim yang berlebih Penyebab* Tindakan Dosis Oksitosin berlebih Hentikan tetes Oksitosin Anestesi epidural Pemberian cairan sebelum tindakan. Hindarkan hipotensi karena posisi ibu telentang Blok paraservikal Pemberian dosis ringan dan tindakan ini jangan diberikan pada janin dengan asidosis Kontraksi uterus double dan tripel Merubah posisi ibu menjadi posisi miring, dan pemberian cairan. Bila berat dapat diberi obat tokolitik * Faktor-faktor tersebut tidak selalu menyebabkan kontraksi rahim berlebih Prosedur resusitasi intrauterin dilakukan pada keadaan-keadaan lain seperti: Takikardi janin. Bradikardi janin. Bunyi jantung janin tidak teratur. Cairan ketuban bercampur mekoneum.

23

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 24/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

9. Terminasi Kehamilan Definisi: Pengakhiran kehamilan untuk mengeluarkan buah kehamilan, baik janin dalam keadaan hidup atau mati. Indikasi: Abortus tertunda (missed abortion). Blighted ovum. Mola Hidatidosa. Abortus insipiens. Abortus inkomplit. Ketuban Pecah Dini. Kehamilan Lewat Waktu. Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) berat. Kematian janin dalam rahim (Intra Uterine Fetal Death/IUFD). Indikasi ibu: penyakit yang membahayakan ibu apabila kehamilan diteruskan. A. Terminasi kehamilan sampai umur kehamilan 12 minggu: Persiapan: Keadaan umum ibu memungkinkan yaitu Hb > 10 gr% dengan tekanan darah normal. Pada abortus terinfeksi diberikan dahulu antibiotika parenteral sebelum dilakukan kuretase tajam atau tumpul sedikitnya selama 48 jam dan kemudian barulah dilakukan evakuasi. Pada missed abortion dilakukan pemeriksaan laboratorium tambahan yaitu: diperiksa kadar trombosit, fibrinogen, waktu pembekuan, waktu perdarahan dan waktu protrombin. Tindakan: Kuretase vakum. Kuretase tajam. Dilatasi dan Kuretase tajam (DC). Pada kasus Mola Hidatidosa, dilakukan kuretase vakum setelah keadaan umum memungkinkan.

24

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 25/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

B. Terminasi kehamilan > 12-20 minggu: Misoprostol 200 ug intravaginal, yang dapat diulangi satu kali 6 jam sesudah pemberian pertama. Pemasangan batang laminaria 12 jam sebelumnya. Kombinasi pemasangan batang laminaria dengan Misoprostol atau pemberian tetes Oksitosin 10 IU dalam 500 cc D5% mulai 20 tetes permenit sampai maksimal 60 tetes permenit Bila masih terdapat sisa jaringan, dapat dilakukan kuretase. C. Terminasi kehamilan > 20-28 minggu: Misoprostol 100 ug intravaginal, yang dapat diulangi satu kali 6 jam sesudah pemberian pertama. Pemasangan batang laminaria 12 jam sebelumnya. Pemberian tetes Oksitosin 5 IU dalam 500 cc D5% mulai 20 tetes permenit sampai maksimal 60 tetes permenit. Kombinasi Misoprostol 100 ug intravaginal dan pemberian tetes Oksitosin 5 IU dalam 500 cc D5% seperti tersebut di atas untuk janin hidup maupun mati. Kombinasi pemasangan batang laminaria 12 jam sebelumnya dan pemberian tetes Oksitosin 5 IU dalam 500 cc D5% seperti tersebut di atas untuk janin mati. Dilakukan histerotomi bila upaya melahirkan per-vaginam dianggap tidak berhasil atau atas indikasi ibu. D. Terminasi kehamilan > 28 minggu: Misoprostol 50 ug intravaginal, yang dapat diulangi satu kali 6 jam sesudah pemberian pertama. Pemasangan metrolisa 100 cc 12 jam sebelum induksi untuk pematangan serviks (tidak efektif bila dilakukan pada KPD). Pemberian tetes Oksitosin 5 IU dalam D5% mulai 20 tetes permenit sampai maksimal 60 tetes permenit untuk primigravida dan multigravida atau 40 tetes permenit untuk grande multigravida sebanyak 2 labu. Dilakukan seksio sesarea bila upaya melahirkan per-vaginam tidak berhasil, atau bila didapatkan indikasi ibu maupun janin untuk menyelesaikan persalinan. Informed consent:

25

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 26/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Sangat diperlukan untuk setiap terminasi kehamilan.

10. Induksi Persalinan Definisi: Upaya untuk melakukan inisiasi/memulai persalinan sebelum timbul secara spontan untuk melahirkan janin-bayi dan plasenta, bisa secara mekanik ataupun secara kimiawi (farmakologik). Induksi persalinan yang diawali dengan pematangan serviks, akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa pematangan serviks. Tingkat kematangan serviks dinilai dengan Nilai/Skor Bishop/Skor Pelvik.

26

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 27/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Bila pasien telah inpartu/parturien, dilakukan percepatan/akselerasi (augmentation/acceleration), biasanya dilakukan dengan memberikan obat golongan uterotonika (misal Oksitosin). Prinsip dasar: Tujuannya karena ada ancaman untuk ibu atau janin, atau keduanya, apabila kehamilan diteruskan, sehingga kelahiran janin-bayi dan plasenta lebih menguntungkan (utamanya bagi ibu, idealnya bagi keduanya). Induksi persalinan tanpa melakukan pematangan serviks akan memberi angka keberhasilan kelahiran yang lebih rendah, terutama pada Skor Pelvik yang rendah (15% banding 85%). Walaupun pada saat pematangan serviks bisa langsung terjadi persalinan. Toleransi ibu dan janin untuk berlangsungnya persalinan dan kelahiran merupakan syarat utama untuk dilakukannya induksi persalinan. Indikasi: Hipertensi dalam Kehamilan. Kehamilan Lewat Waktu (post-term). Pertumbuhan Janin Terhambat/PJT (Intra Uterine Growth Restriction/IUGR). Hipertensi kronik. Kematian janin intrauterin. Inkompatibilitas Rhesus. Amnionitis/korio-amnionitis. Solusio plasenta. Kontraindikasi: Malpresentasi janin. Bekas seksio sesarea atau operasi uterus lainnya. Plasenta previa. Adanya tumor dinding uterus (misal mioma uteri). Insufisiensi utero-plasenta ataupun gawat janin dan kesejahteraan janin yang disangsikan. Disproporsi kepala panggul.

27

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 28/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Diagnosis: Toleransi ibu: keadaan umum, fungsi kardiovaskular, respirasi, hemostasis, kapasitas dan akomodasi jalan lahir. Toleransi janin: viabilitas, presentasi, posisi, volume air ketuban. Pemantauan dengan partogram. 11. Pemberian Tetes Oksitosin Definisi: Pemberian Oksitosin melalui infus dengan tujuan menimbulkan atau memperkuat kontraksi rahim. Indikasi: Mengakhiri kehamilan. Memperkuat kontraksi rahim selama persalinan. Kontra indikasi: Kehamilan dengan luka parut rahim (misal bekas seksio sesarea, miomektomi) Disproporsi Kepala Panggul. Letak lintang. Cara pemberian: 5 IU Oksitosin dalam 500 cc D5%, diberikan dengan kecepatan awal 20 tetes permenit, dinaikkan 5 tetes permenit setiap 30 menit sampai didapatkan his yang memadai (3 sampai 4 kali per 10 menit) atau sampai batas maksimum 60 tetes permenit. Untuk grande multipara dan kehamilan ganda maksimal 40 tetes permenit. Tetesan Oksitosin diberikan maksimal 2 labu dengan istirahat di antaranya 2 jam, kecuali untuk letak sungsang hanya 1 labu. Untuk kasus tertentu seperti perdarahan antepartum, infeksi intrauterin dan kemajuan persalinan yang nyata setelah pemberian tetes Oksitosin labu pertama, tetes Oksitosin labu kedua dapat langsung diberikan. Upaya untuk meningkatkan keberhasilan tetes Oksitosin dapat dilakukan: Amniotomi dilakukan sebelum pemberian Oksitosin (segera setelah pembukaan memungkinkan). Metrolisa:

28

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 29/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Dilakukan tindakan a dan antiseptik pada vagina dan sekitarnya. Metrolisa dimasukkan melalui kanalis servikalis, sehingga balon terletak di kavum uteri. Selanjutnya metrolisa diisi dengan 120-150 cc NaCl atau aquades. Metrolisa akan terlepas bila pembukaan lebih besar dari diameter balon. Informed consent: Sangat diperlukan untuk setiap pemberian tetes Oksitosin.

12. Kelainan His Definisi: Inersia hipotonik: kontraksi uterus terkoordinasi, tapi tidak adekuat untuk kemajuan persalinan. Inersia hipertonik: kontraksi uterus tidak terkoodinasi dan kuat, tapi tidak adekuat untuk kemajuan persalinan. His adekuat: his persalinan yang menyebabkan kemajuan persalinan. - Klinis: dalam 10 menit terdapat 3 kali kontraksi rahim, lamanya 40-60 detik, sifatnya kuat. - KTG/CTG: kontraksi 3 kali dalam 10 menit, lamanya 40-60 detik, dengan tekanan intrauterin 40-60 mmHg. Etiologi: Inersia uteri hipotonik:

29

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 30/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Penggunaan analgesia terlalu cepat, kesempitan panggul, letak defleksi, kelainan posisi, regangan dinding rahim (hidramnion, gemelli), perasaan takut dari ibu. Inersia uteri hipertonik: Dosis Oksitosin berlebihan. KPD. Infeksi intrauterin. Komplikasi: Kemungkinan infeksi bertambah, yang juga menyebabkan kematian anak meninggi. Kelelahan ibu dan dehidrasi: tanda-tandanya nadi naik, suhu meninggi, asetonuria, nafas cepat, meteorismus dan turgor kulit berkurang. Manajemen: Infus harus diberikan bila terjadi pemanjangan fase laten lebih dari 20 jam untuk nulipara dan lebih dari 14 jam untuk multipara dengan tujuan mencegah timbulnya gejala-gejala di atas. Inersia uteri hipotonik: Kalau ketuban positif, lakukan amniotomi dan pemberian tetes Oksitosin. Kalau ketuban sudah pecah, lakukan pemberian tetes Oksitosin. Inersia uteri hipertonik: Lakukan resusitasi intrauterin. Diberikan obat tokolitik. Pemberian obat golongan Anti-Prostagalandin seperti Ketoprofen supositoria. Tetes Oksitosin diberikan setelah gejala hipertonus menghilang dengan dosis yang disesuaikan/lebih rendah. Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah istirahat (pemberian sedatif) atau drip Oksitosin. Akan tetapi istirahat lebih baik dilakukan untuk mencegah kemungkinan belum inpartu (his palsu). Secara statistik dengan pemberian sedatif kuat 85% akan memasuki fase aktif, 10% his hilang (his palsu) dan 5% yang membutuhkan drip Oksitosin. 13. Skor Bishop/Pelvik

30

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 31/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Definisi: Suatu klasifikasi objektif untuk memilih pasien yang memenuhi syarat untuk persalinan per-vaginam pada janin presentasi belakang kepala. Faktor yang dinilai serta skornya: Faktor 0 Pembukaan serviks (cm) 0 Pendataran serviks (%) 0-30 Station -3 Konsistensi serviks kaku Posisi serviks posterior Skor 1 1-2 40-50 -2 sedang di tengah 2 3-4 60-70 - 1 atau 0 lunak anterior 3 5-6 80 + 1 atau + 2 -

Bila skor total 6 atau lebih, maka keberhasilan induksi persalinan tinggi. Sedangkan bila kurang dari 6, maka keberhasilan induksi persalinan akan rendah. Hal ini berhubungan dengan pertimbangan untuk memilih jenis persalinan, apakah pervaginam atau per-abdominam.

31

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 32/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

14. Skor Zatuchni - Andros Definisi: Merupakan skor dari 6 variabel klinis yang dibuat pada saat pasien masuk rumah sakit untuk prediksi keberhasilan persalinan letak sungsang pervaginam Faktor yang dinilai serta skornya: Faktor Paritas Umur kehamilan (minggu) Taksiran berat badan janin (gram) Persalinan sungsang terdahulu Dilatasi (cm) Station 0 0 39 > 3600 tidak pernah 2 -3 Skor 1 1 38 3000-3600 sekali 3 -2 2 37 < 3000 2 atau lebih 4 -1

Penggunaan skor Zatuchni - Andros: Bila skornya 4, lakukan seksio sesarea. Bila skornya 5, persalinan per-vaginam. Bila Taksiran Berat Badan Janin 3500 gram, lakukan seksio sesarea.

32

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 33/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

15. Episiotomi Definisi: Insisi perineum pada kala II persalinan untuk mencegah robekan perineum secara total dan memperlebar jalan lahir sehingga memudahkan kelahiran janin. Episiotomi dilakukan atas indikasi janin atau adanya ancaman robekan perineum total. Saat melakukan episiotomi yaitu kepala atau bokong membuka vulva 3-4 cm. Indikasi: Fasilitasi untuk persalinan dengan tindakan atau menggunakan instrumen.

33

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 34/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Mencegah robekan perineum yang kaku atau diperkirakan tidak mampu beradaptasi terhadap regangan yang berlebihan. Mencegah kerusakan jaringan pada ibu dan janin saat persalinan pada letak/presentasi abnormal (bokong, muka, ubun-ubun kecil di belakang) dengan menyediakan tempat lebih luas untuk persalinan yang aman.

Teknik: Episiotomi mediana: Insisi perineum dari komisura posterior sepanjang garis tengah ke bawah menuju ke Muskulus sfingter ani. Dilakukan pada Persalinan Kurang Bulan. Episiotomi mediolateral: Insisi perineum dimulai pada komisura posterior kemudian diteruskan ke lateral. Sering timbul perdarahan, karena Pleksus Bulbokavernosus ikut terluka. Untuk persalinan cukup bulan. Terapi: Antibiotik. Analgetik. Kompres Povidon Iodine.

34

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 35/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

16. Ekstraksi Forseps Definisi: Tindakan obstetrik yang bertujuan untuk mempercepat kala pengeluaran dengan menarik kepala janin dengan alat forseps. Indikasi: Indikasi ibu: Penyakit jantung. Edema paru. Infeksi intrapartum. Kelelahan ibu. Ibu yang tidak bisa meneran secara efektif atau ibu tidak boleh meneran. Indikasi janin: Tali pusat menumbung kala II. Gawat janin kala II. Indikasi waktu: Pemanjangan kala II (> 1 jam) pada presentasi kepala. Syarat: Kepala sudah turun sampai station > + 2. Presentasi belakang kepala atau presentasi muka dengan dagu di depan. Pembukaan lengkap. Ketuban sudah pecah atau dipecahkan. Tidak ada Disproporsi Kepala Panggul. Kontraksi uterus baik. Ibu tidak gelisah/kooperatif. Kepala dapat terpegang oleh daun forseps. Daun forseps diupayakan pada posis biparietal. Setelah bayi lahir nilai kondisi kepala dan bayi, juga penilaian apakah ada cidera dan komplikasi pada ibu dan bayi serta tindak lanjut yang diperlukan. Kriteria ekstraksi forseps gagal: Tidak bisa dipasang. Tarikan dirasakan berat.

35

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 36/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Bila ternyata kepala tidak turun, hentikan setelah 2 kali ekstraksi. Selama tindakan upayakan penilaian denyut jantung janin. Lamanya tindakan jangan lebih dari 20 menit karena morbiditas bayi akan meningkat. Bila ekstraksi forseps gagal, persalinan diakhiri dengan seksio sesarea.

17. Ekstraksi Vakum Definisi: Usaha untuk melahirkan janin dengan tarikan pada kepala, dengan membuat tekanan negatif melalui suatu kap pada kepala janin sehingga terbentuk kaput buatan. Indikasi: Pemanjangan kala II dengan indikasi waktu (indikasi profilaksis). Kontraindikasi: Presentasi muka, presentasi puncak kepala, letak sungsang. Disproporsi Kepala Panggul. Persalinan Kurang Bulan. Syarat: Kepala sudah turun sampai station + 2 (Hogde III-IV). Presentasi belakang kepala. Pembukaan lengkap. Ketuban sudah pecah atau dipecahkan. Tidak ada Disproporsi Kepala Panggul. Kontraksi uterus baik.

36

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 37/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Ibu tidak gelisah dan kooperatif. Pada ekstraksi vakum, mangkok berada pada sutura sagitalis mendekati oksiput. Setelah bayi lahir nilai kondisi kepala dan bayi, juga penilaian apakah ada cidera dan komplikasi pada ibu dan bayi serta tindak lanjut yang diperlukan. Kriteria ekstraksi vakum gagal: Tarikan dirasakan berat. Bila pemasangan benar, kap terlepas. Bila ternyata kepala tidak turun, hentikan setelah 2 kali ekstraksi. Selama tindakan upayakan penilaian denyut jantung janin. Lamanya tindakan jangan lebih dari 20 menit karena morbiditas bayi akan meningkat. Bila ekstraksi vakum gagal, persalinan diakhiri dengan seksio sesarea.

18. Embriotomi Definisi: Suatu tindakan pervaginam untuk melahirkan janin mati dengan tujuan mengecilkan bagian badan janin. Tindakan terdiri dari: Perforasi. Dekapitasi. Eviserasi.

37

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 38/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Syarat: Pembukaan lengkap. Ketuban negatif. Kunjugata vera > 8 cm. Indikasi: Penyakit jantung dan paru-paru. Preeklamsia dan eklamsia. Suhu lebih dari 38C. Edema jalan lahir. Kelelahan ibu. Letak lintang.

38

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 39/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

19. Panggul Sempit Definisi: Setiap kelainan pada diameter panggul yang mengurangi kapasitas panggul, sehingga dapat menimbulkan distosia pada persalinan. Klasifikasi: Kesempitan Pintu Atas Panggul. Kesempitan Panggul Tengah. Kesempitan Pintu Bawah Panggul. Kriteria diagnosis: Kesempitan Pintu Atas Panggul: - Panggul Sempit Relatif (PSR), jika konjugata vera > 8,5-10 cm. - Panggul Sempit Absolut (PSA), jika konjugata vera 8,5 cm. Kesempitan Panggul Tengah: Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan radiologis. Panggul tengah mungkin sempit: Kalau jumlah diameter interspinosum dan diameter sagitalis posterior pelvis mencapai < 13,5 cm (normalnya 10,5 cm + 5 cm = 15,5 cm). Bila diameter interspinosum < 10 cm, atau dinding panggul konvergen, sakrum lurus atau konveks. Kesempitan Pintu Bawah Panggul: - Bila arkus pubis < 90 derajat, atau sudut lancip. Pemeriksaan penunjang: Perasat Osborn: penonjolan kepala dua jari (2 cm) di atas simfisis pubis karena kepala janin belum masuk PAP yang menandakan adanya kesempitan PAP atau CPD. Cara: Kandung kemih dikosongkan. Kepala didorong kearah PAP, sementara itu asisten mendorong fundus uteri ke bawah. Apabila kepala mengolak, maka kepala tersebut harus diketengahkan dahulu dengan dua tangan, baru dilakukan pendorongan ke arah PAP. Perasat Osborn dikatakan positif, apabila kepala menonjol di atas simfisis pubis 2 cm atau lebih. Hal ini

39

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 40/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

menunjukkan kemungkinan adanya CPD, yang dapat terjadi karena anak besar/makrosomia atau Panggul Sempit Absolut. Perasat Miller Cara: Kandung kemih dikosongkan. Kepala didorong kearah PAP, sementara itu asisten mendorong fundus uteri ke bawah. Apabila kepala mengolak, maka kepala tersebut harus diketengahkan dahulu dengan dua tangan, baru dilakukan pendorongan ke arah PAP. Kemudian dilakukan pemeriksaan dalam, apabila kepala janin memasuki PAP, maka kedua jari yang melakukan pemeriksaan dalam tersebut akan dapat menyentuh kepala janin, dikatakan Perasat Miller positif. Hal ini menunjukkan bahwa janin dapat melalui PAP. USG: mengukur biometri janin untuk mengetahui besar janin, misal makrosomia.

Pengelolaan: Pada kesempitan panggul tengah dan pintu bawah panggul dilakukan seksio sesarea. Pada PSR dilakukan partus percobaan untuk janin dengan letak belakang kepala. Pada PSA dilakukan seksio sesarea.

40

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 41/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

20. Partus Percobaan Definisi: Percobaan persalinan per-vaginam pada PSR dengan janin presentasi belakang kepala pada kehamilan cukup bulan atau perkiraan berat badan janin 2500 gram. Partus percobaan dimulai dari awal persalinan dan berakhir setelah bayi lahir, atau diyakini bahwa persalinan tidak dapat berlangsung per-vaginam.

41

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 42/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Dengan demikian persalinan ini merupakan suatu tes terhadap kekuatan his dan daya akomodasi, terutama molase kepala janin pada keadaan ukuran panggul yang kurang baik. Partus percobaan tidak boleh dilakukan pada kehamilan 42 minggu. Ketentuan umum: Bila his belum ada, bisa dilakukan induksi persalinan. Bila didapatkan inersia uteri hipotonik, bisa dilakukan pemberian tetes Oksitosin. Jadi partus percobaan hanya dilakukan bila kontraksi rahim adekuat dan janin dalam keadaan baik. Dilakukan pemantauan janin dan kontraksi rahim dengan kardiotokografi. Bila ada indikasi melakukan partus buatan per-vaginam dan syarat terpenuhi, dipilih Ekstraksi Vakum. Partus percobaan tidak dilakukan pada: - Riwayat partus percobaan gagal. - Persangkaan bayi besar. - Anak mahal (tidak mempunya anak hidup, riwayat infertilitas lama, dll). Hasil: Dikatakan partus percobaan berhasil, apabila bayi berhasil lahir per-vaginam dengan keadaan ibu dan bayi baik. Partus percobaan dikatakan tidak lengkap, apabila persalinan harus diakhiri dengan seksio sesarea atas indikasi ibu atau anak. Dikatakan partus percobaan gagal, apabila: - Anak lahir mati, keadaan anak/ibu buruk. - Pada kala I, bila tidak ada kemajuan persalinan pada kontraksi rahim yang adekuat. - Pada kala II, kepala tidak engaged setelah dipimpin meneran 1 jam. - Partus buatan per-vaginam gagal.

42

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 43/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

21. Hiperemesis dalam Kehamilan Definisi: Muntah yang berlebihan dalam kehamilan yang menyebabkan terjadinya ketonuria dan penurunan berat badan > 5% sehingga mengganggu aktivitas dan kesehatan penderita secara keseluruhan. Prinsip dasar: Muntah dan enek adalah bagian dari adaptasi/reaksi fisiologis kehamilan akibat adanya pengaruh hormon kehamilan seperti: Progesteron, hCG dll. Hiperemesis dapat merupakan gejala penyakit-penyakit: - Mola Hidatidosa. - Hipertiroidi. - Defisiensi vitamin B kompleks. - Stres berat. Setiap liter cairan lambung yang dimuntahkan mengandung 40 meq Kalium. Diagnosis: Anamnesis: Sering muntah (lebih dari 10 kali per 24 jam). Pemeriksaan fisik: Kulit menjadi keriput (dehidrasi). BB mengalami penurunan. Pada keadaan yang berat dapat terjadi ikterus sampai gangguan kesadaran. Laboratorium: - Urinanalisis lengkap (terutama memeriksa ketonuria). - Elektrolit. - Fungsi hati. - Fungsi ginjal. USG: menilai dan memastikan kehamilan.

43

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 44/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Manajemen: Atasi dehidrasi dan ketosis. Berikan infus D 10% + B kompleks secara IV. Lanjutkan dengan infus yang mempunyai komposisi kalori dan elektrolit yang memadai seperti: KaEN Mg 3, Trifuchsin dll. Atasi defisit asam amino. Atasi defisit elektrolit. Balans cairan ketat hingga tidak dijumpai lagi ketosis dan defisit elektrolit. Berikan obat anti muntah: Vitamin B6, Metoklopramid. Berikan dukungan psikologis. Jika dijumpai keadaan patologis: atasi. Jika kehamilannya patologis lakukan evakuasi (misal: Mola Hidatidosa). Nutrisi per-oral diberikan bertahap dan jenis yang diberikan sesuai apa yang dikehendaki pasien (prinsip utama adalah pasien masih dapat makan) dengan porsi seringan mungkin dan baru ditingkatkan bila pasien lebih segar/enak. Infus dilepas bila kondisi pasien benar-benar telah segar dan dapat makan dengan porsi wajar (lebih baik lagi bila telah dibuktikan hasil laboratorium telah normal) dan obat per-oral telah diberikan beberapa saat sebelum infus dilepas. Pada keadaan tertentu segala pengobatan tidak mampu membantu penderita dan bahkan semakin parah, maka perlu terminasi kehamilan. Penyulit: Dehidrasi, gangguan fungsi hati dan febris. Prognosis: Umumnya baik, namun dapat menjadi fatal bila terjadi gangguan elektrolit dan ketoasidosis yang tidak dapat dikoreksi dengan tepat dan cepat. Biasanya setelah usia kehamilan 4 bulan atau lebih akan membaik. .

44

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 45/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

22. Abortus Definisi: Abortus adalah istilah yang diberikan untuk semua kehamilan yang berakhir sebelum periode viabilitas janin, yaitu yang berakhir sebelum berat janin 500

45

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 46/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

gram. Bila berat badan janin tidak diketahui, maka perkiraan lama kehamilan kurang dari 20 minggu lengkap (139 hari), dihitung dari hari pertama haid terakhir normal yang dapat dipakai Abortus iminens (threatened abortion, abortus mengancam): keadaan dimana perdarahan berasal dari intrauterin yang timbul sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu dengan atau tanpa kolik uterus, tanpa pengeluaran hasil konsepsi dan tanpa dilatasi serviks (ostium uteri eksternum masih tertutup). Abortus insipiens (inevitable abortion, abortus sedang berlangsung): keadaan perdarahan dari intrauterin yang terjadi dengan dilatasi serviks kontinyu dan progresif, tetapi tanpa pengeluaran hasil konsepsi sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu (ostium uteri eksternum terbuka). Abortus inkompletus: keluarnya sebagian, tetapi tidak seluruh hasil konsepsi sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu. Abortus kompletus: keluarnya seluruh hasil konsepsi sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu. Abortus spontan: pengeluaran hasil konsepsi tidak disengaja sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu. Abortus diinduksi: penghentian kehamilan sengaja dengan cara apa saja sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu. Dapat bersifat terapi atau non terapi. Abortus terapeutik: penghentian kehamilan sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu karena indikasi yang diakui secara medis, dan dapat diterima secara hukum. Abortus habitualis: terjadinya tiga atau lebih abortus spontan berturut-turut. Abortus terinfeksi: abortus yang disertai infeksi organ genitalia. Abortus septik: abortus yang terinfeksi dengan penyebaran mikroorganisme dan produknya kedalam sirkulasi sistemik ibu.

46

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 47/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Missed abortion: abortus yang embrio atau janinnya meninggal dalam uterus sebelum umur kehamilan 20 minggu, tetapi hasil konsepsi tertahan dalam uterus selama 8 minggu atau lebih. Prinsip dasar: Kira-kira 12-15% dari seluruh kehamilan berakhir spontan sebelum umur kehamilan 20 minggu. Sehingga, tidak mungkin mengetahui pada permulaannya, apakah abortus iminens akan berlanjut ke abortus insipiens, inkompletus atau kompletus. 60% faktor penyebab adalah genetik. USG dapat menentukan denyut jantung janin (> 5 mm) dan membantu menentukan kelainan organik (anensefalus, NT > 3 mm), dan kemungkinan nir-mudigah/blighted ovum. Diagnosis: Anamnesis: riwayat haid, gejala hamil (amenorea kurang dari 20 minggu), perdarahan per-vaginam, nyeri abdomen/kram di daerah supra simfisis. Abortus terinfeksi bila terdapat kenaikan suhu tubuh (> 38 C), lekositosis dan discharge berbau per-vaginam. Abortus septik bila ditandai dengan tanda-tanda sepsis, seperti nadi cepat dan lemah, syok dan penurunan kesadaran. Pemeriksaan fisik: umum, abdomen, pelvis. Tes tambahan: tes hCG, USG, tes koagulasi, pada missed abortion perlu diperiksa kadar trombosit, fibrinogen, waktu pembekuan, waktu perdarahan dan waktu protrombin. Manajemen: Pada keadaan iminens, tirah baring tidak memberikan hasil lebih baik (IA), namun dianjurkan untuk membatasi aktivitas. Upayakan untuk meminimalkan kemungkinan rangsangan Prostaglandin. Tidak dianjurkan terapi dengan hormon Estrogen dan Progesteron. Dapat diindikasikan sirklase serviks pada trimester kedua untuk pasien dengan inkompetensia serviks. Perdarahan subkhorionik dengan janin normal, sebagian besar akan berakhir dengan kehamilan normal. Sebaliknya pada nir-mudigah dianjurkan untuk evakuasi dengan obat Misoprostol atau Aspirasi Vakum Manual.

47

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 48/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pada keadaan insipiens, umumnya harus dirawat. Karena tidak ada kemungkinan kelangsungan hidup bagi janin, maka dapat diberikan Misoprostol untuk mengeluarkan konsepsi, analgetik mungkin diberikan. Demikian pula, setelah janin lahir, kuretase mungkin diperlukan. Pada keadaan inkompletus, apabila bagian hasil konsepsi telah keluar atau perdarahan menjadi berlebih, maka evakuasi hasil konsepsi segera diindikasikan untuk meminimalkan perdarahan dan risiko infeksi pelvis. Missed abortion sebaiknya dirawat di rumah sakit karena memerlukan kuretase dan ada kemungkinan perdarahan banyak serta risiko transfusi. Kuretase pada missed abortion sering kali cukup sulit, karena hasil konsepsi melekat sangat erat dengan dinding uterus. Abortus terinfeksi sebaiknya tidak langsung dilakukan evakuasi, melainkan diberikan dulu antibiotika sedikitnya selama 48 jam dan kemudian barulah dilakukan evakuasi. Tanpa antibiotika, tindakan kuretase justru dapat mengakibatkan sepsis.

Prinsip umum terapi abortus septik adalah: Infeksi harus dikendalikan dengan antibiotik yang tepat. Volume intravaskular efektif harus dipertahankan untuk memberikan perfusi jaringan yang adekuat. Hasil konsepsi dalam uterus harus dievakuasi, bila perlu dilakukan laparotomi eksplorasi, sampai pengangkatan rahim. Penyulit: Anemia terjadi bila perdarahan banyak. Pengobatannya dengan pemberian darah. Infeksi dapat terjadi pada abortus provokatus kriminalis, tetapi dapat juga terjadi setelah tindakan di RS. Dalam keadaan infeksi sebaiknya tidak dilakukan evakuasi dulu, sebelum diberikan antibiotika. Informed consent: Diperlukan pada setiap tindakan kuretase.

48

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 49/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

23. Kehamilan Ektopik Definisi: Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan gestasi di luar kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan istilah yang lebih luas daripada kehamilan

49

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 50/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

ekstrauterin; karena istilah ini juga mencakup kehamilan di pars-interstisialis tuba, kehamilan di kornu, dan kehamilan di serviks. Prinsip dasar: Pada wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan atau keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah, perlu difikirkan kehamilan ektopik terganggu. Gambaran klinik kehamilan ektopik yang terganggu amat beragam. Sekitar 10-29% pasien yang pernah mengalami kehamilan ektopik, mempunyai kemungkinan berulang. Kira-kira sepertiga sampai separuh dari pasien dengan kehamilan ektopik mempunyai riwayat infeksi pelvis sebelumnya. Diagnosis: Anamnesis: nyeri abdomen, perdarahan per-vaginam, terlambat haid. Pemeriksaan fisik: umum, abdomen, pelvis. Tanda-tanda syok seperti hipotensi karena hipovolemia pada sirkulasi, takikardi, pucat dengan ekstremitas/akral dingin. Gejala-gejala abdomen akut yang disebabkan perdarahan intraperitoneal, perut tegang seperti papan terutama di bagian bawah, nyeri spontan, nyeri ketok, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding perut. Pada pemeriksaan dalam didapatkan serviks teraba lunak dengan nyeri goyang porsio, uterus normal atau sedikit membesar, kadang-kadang uterus sulit dievaluasi karena pasien kesakitan dan kavum Douglasi menonjol karena terisi darah. Kehamilan ektopik belum terganggu dapat ditentukan dengan USG: akan tampak kantong gestasi bahkan janinnya. Tes tambahan: tes hCG, USG, kuldosentesis, kuretase endometrium, laparoskopi, kolpotomi/kolposkopi. Manajemen: Prinsip-prinsip umum penatalaksanaan: Rawat inap segera. Operasi segera setelah diagnosis dibuat. Penggantian darah sebagai indikasi untuk hipovolemik/anemia. Pada kehamilan ektopik belum terganggu, bila kantong gestasi tak lebih dari 3 cm, dapat dipertimbangkan terapi dengan MTX 50 mg/minggu yang dapat diulang 1 minggu kemudian bila janin masih hidup. Pasien dapat berobat

50

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 51/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

jalan setelah mendapat informasi bahwa keberhasilan terapi medikamentosa hanya 85%. Bila ternyata tak terjadi ruptura, maka pasien dapat diminta kontrol tiap minggu untuk USG dan pemeriksaan hCG. Bila terjadi tanda nyeri/abdomen akut pasien harus segera di laparatomi. Kehamilan abdominal dilakukan laparotomi lalu produk kehamilan diambil seluruhnya, jikalau kehamilan tersebut kecil. Pada kehamilan abdominal lanjut, tali pusat dipotong sedekat mungkin dengan plasenta dan plasenta tersebut ditinggalkan secara utuh dalam rongga abdomen lalu dinding abdomen ditutup, jika perlu dipasang drain. Upaya pengangkatan plasenta pada kehamilan abdominal lanjut dapat berakhir dengan perdarahan yang tidak dapat dikendalikan.

Diagnosis banding: Kista ovarium pecah dan mengalami perdarahan. Torsi kista ovarium. Kista terinfeksi. Abortus iminens. Apendisitis. Penyulit: Syok ireversibel. Perlekatan. Obstruksi usus. Informed consent: Sangat diperlukan. Berikan penjelasan tentang kemungkinan yang dapat terjadi sebelum dan sesudah operasi, terutama fungsi reproduksi pasien.

51

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 52/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

24. Persalinan Normal Definisi: Persalinan pada presentasi belakang kepala dengan lama kala I antara 8-14 jam dan berakhir dengan kelahiran bayi tanpa memerlukan bantuan alat (vakum atau cunam/forseps). Prinsip dasar: Karena besarnya kesalahan menentukan fase laten maka sejak tahun 2001 tidak dikenal lagi fase laten. Ciri kala I adalah pembukaan > 3 cm, dengan atau tanpa his. Presentasi belakang kepala adalah presentasi yang memberikan diameter terkecil bagi janin di jalan lahir. Perhatikan Universal Precaution dan hindari pencukuran pubis kecuali pada tempat yang diperlukan untuk mempermudah penjahitan luka episiotomi bila diperlukan, dan membatasi episiotomi.

52

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 53/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Diagnosis: Penilaian imbang fetopelvik. Penggunaan partogram. Prognosis: Sesuai hasil partogram.

53

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 54/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

25. Grande Multiparitas Definisi: Kehamilan, persalinan, dan atau kelahiran pada perempuan yang pernah melahirkan lebih dari 4 kali dengan berat bayi > 500 gram. Prinsip dasar: Kehamilan bersifat diabetogenik, pada grande multiparitas akan semakin manifes. Involusi berulang, memungkinkan untuk terjadinya defek minor-medium, yang berakibat pada berkurangnya serabut miometrium, sehingga persalinan pada grande multiparitas akan cenderung untuk mengalami hipotoni demikian pula pada pascasalin. Akibat berkurangnya serabut miometrium maka pada grande multiparitas elastisitas akan berkurang sehingga memudahkan untuk terjadinya ruptura uteri. Diagnosis: Anamnesis. Pemeriksaan fisik: parut perineum dan bekas laparatomi. Manajemen: Pemeliharaan kehamilan sesuai dengan kehamilan normal, terapi jika dijumpai kelainan. Waspada untuk Diabetes Melitus Gestasional. Waspada untuk makrosomia. Tidak melakukan induksi persalinan, sedangkan augmentasi persalinan masih dapat dipertimbangkan dimana pemberian 5 IU Oksitosin dalam 500 cc D5%, diberikan dengan kecepatan awal 20 tetes permenit, dinaikkan 5 tetes permenit setiap 30 menit sampai didapatkan his yang memadai (3 sampai 4 kali per 10 menit) atau sampai batas maksimum untuk grande multipara dan kehamilan ganda maksimal 40 tetes permenit. Tetesan Oksitosin diberikan maksimal 2 labu dengan istirahat di antaranya 2 jam, kecuali untuk letak sungsang hanya 1 labu. Penanganan kala III aktif.

54

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 55/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Prognosis: Pada umumnya baik.

26. Bekas Seksio Sesarea Definisi: Persalinan atau kelahiran pada pasien dengan riwayat kelahiran bayi melalui insisi perut (laparotomi) dan insisi uterus (histerotomi). Luka sayat di perut dapat transversal (Pfannenstiel) maupun vertikal (mediana); sedangkan di uterus dapat transversal (SC Transperitonealis Profunda) maupun insisi vertikal (SC klasik/corporal). Wanita yang pernah mengalami operasi-operasi lainnya seperti miomektomi yang irisannya menembus hingga dapat mencapai kavum uteri juga memiliki risiko saat hamil seperti bekas seksio sesarea. Prinsip dasar: Keberhasilan partus percobaan per-vaginam adalah 70-80% dan risiko ruptur adalah 1%. Indikasi absolut (bentuk dan besar tulang panggul, besar janin). Prinsip imbang fetopelvik (tiap persalinan normal). Rumah Sakit harus mampu melakukan seksio sesarea darurat dalam waktu 30 menit setelah diduga ruptura uteri. Diagnosis: Anamnesis. Parut luka operasi di perut.

55

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 56/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Dari anamnesis dan pemeriksaan diketahui yang bersangkutan pernah mengalami seksio sesarea atau miomektomi sebelumnya. USG untuk menentukan usia kehamilan, besar janin dan letak anak di dalam rahim, terutama pada kehamilan trimester ketiga. Manajemen: Anamnesis dan evaluasi catatan medis: - Waktu, tempat, pelaksana, jenis seksio sesarea yang lalu. - Indikasi seksio sesarea yang lalu. - Penyembuhan luka yang lalu. Bila indikasi seksio sesarea yang lalu adalah penyebab yang tetap seperti panggul sempit, maka dilakukan seksio sesarea primer pada umur kehamilan 37 minggu. Bila diketahui seksio sesarea yang lalu korporal/klasik dilakukan seksio sesarea primer pada umur kehamilan 37 minggu. Bila seksio sesarea sudah dilakukan sebanyak 2 kali dilakukan seksio sesarea primer pada umur kehamilan 37 minggu dan kontrasepsi mantap/tubektomi bilateral. Partus per-vaginam jika: - Imbang fetopelvik baik. - Perjalanan persalinan normal. Pada persalinan kala I: bila terjadi inersia uteri hipotonik, dilakukan amniotomi, observasi his selama 1 jam, bila tidak ada perbaikan his maka dilakukan seksio sesarea. Pada persalinan kala II: - Pimpin meneran selama 15 menit. - Bila tidak ada kemajuan dilakukan seksio sesarea. - Bila ada kemajuan, bisa dipimpin sampai 15 menit lagi. - Bila belum lahir, dilakukan partus buatan. Dianjurkan untuk melakukan eksplorasi/pemeriksaan terhadap keutuhan dinding uterus setelah lahirnya plasenta, terutama pada lokasi irisan seksio sesarea terdahulu. Dilarang keras melakukan ekspresi fundus uteri (perasat Kristeller). Kontraindikasi persalinan partus per-vaginam: - Bekas seksio sesarea korporal/klasik. - Pernah histerotomi/histerorafi. - Pernah miomektomi (yang mencapai kavum uteri).

56

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 57/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Terdapat indikasi seksio sesarea pada kehamilan saat ini (plasenta previa, gawat janin, letak lintang, CPD, makrosomia, dsb). Seksio primer jika: - Plasenta previa. - Vasa previa. - CPD/FPD. - Panggul patologik. - Presentasi abnormal. - Kelainan letak. - Postterm dengan Skor Pelvik rendah. - 2 kali seksio sesarea. - Penyembuhan luka operasi yang lalu buruk. - Operasi yang lalu kolporal/klasik. Perawatan rumah sakit: - Hanya dilakukan apabila akan dilakukan seksio primer atau jika tranportasi sulit, tingkat pendidikan pasien rendah. - Perawatan pasca seksio sesarea + 3-5 hari. Konseling: - Untuk informed consent pasien harus mendapatkan penjelasan untung rugi percobaan partus pervaginam dan kemungkinan seksio sesarea serta penyulit yang dapat terjadi. - Masa penyembuhan luka + 100 hari. Medikamentosa: Antibiotika. Analgetika. Uterotonika.

Komplikasi: Ruptura uteri: dapat dilakukan histerorafi atau histerektomi. Kematian janin, kematian ibu. Plasenta akreta, perkreta, inkreta: lakukan histerektomi. Endometritis, infeksi subkutis. Perdarahan.

57

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 58/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

27. Hipertensi dalam Kehamilan Definisi: Preeklamsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Dibedakan preeklamsia ringan (PER) dan berat (PEB). Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi Penyakit Trofoblas. Eklamsia adalah kelainan akut pada preeklamsia yang terjadi dalam kehamilan, persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat). Eclampsia sine eclampsia adalah eklamsia yang ditandai oleh penurunan kesadaran tanpa kejang. Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan/diketahui sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu pascasalin. Hipertensi kronik yang diperberat oleh preeklamsia/eklamsia adalah preeklamsia/eklamsia yang timbul pada hipertensi kronik. Hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi dalam kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak disertai proteinuria serta gejala ini akan hilang dalam waktu kurang dari 12 minggu pascasalin. Diagnosis: Preeklamsia ringan: Diagnosis PER didasarkan atas tekanan darah diastolik antara 90 - < 110 mmHg disertai proteinuria 300 mg/24 jam atau + 1 dipstick. Preeklamsia berat: Bila didapatkan satu atau lebih gejala di bawah ini preeklamsia digolongkan berat: 1. Tekanan darah diastolik 110 mmHg. 2. Proteinuria 2 g/24 jam atau + 2 dalam pemeriksaan kualitatif (dipstick) 3. Kreatinin serum > 1,2 mg% disertai oligouria (< 400 mL/24 jam).

58

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 59/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

4. Trombosit < 100.000/mm3. 5. Angiolisis mikroangiopati (peningkatan kadar LDH). 6. Peninggian kadar enzim hati (SGOT dan SGPT). 7. Sakit kepala yang menetap atau gangguan visus dan serebral. 8. Nyeri epigastrium yang menetap. 9. Pertumbuhan Janin Terhambat. 10. Edema paru disertai sianosis. 11. Adanya HELLP syndrome (H:Hemolysis; EL:Elevated Liver enzymes; LP: Low Platelet count). Diagnosis banding: Hipertensi kronik, kelainan ginjal, dan epilepsi. Pemeriksaan penunjang: a. PER: urine lengkap. b. PEB/eklamsia: pemeriksaan laboratorium, USG dan kardiotokografi. Pemeriksaan laboratorium: Hb, hematokrit. Urine lengkap. Asam urat darah. Trombosit. Fungsi hati. Fungsi ginjal. Konsultasi dengan Bagian Saraf, Mata, dan Penyakit Dalam (Ginjal dan Hipertensi) bila diperlukan. Terapi: I. Preeklamsia ringan: 1. Rawat inap. Istirahat (tirah baring) dan tidur miring kiri. Rawat jalan dilakukan apabila pasien menolak rawat inap. Dilakukan pemantauan tekanan darah dan protein urine setiap hari. 2. Pantau tekanan darah 2 kali sehari, dan protein urine setiap hari. 3. Dapat dipertimbangkan pemberian suplementasi obat-obat antioksidan atau anti agregasi trombosit. 4. Roboransia. 5. Diberikan kortikosteroid pada kehamilan 24-34 minggu. Deksametason 5 mg tiap 12 jam sampai 4 dosis secara IM.

59

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 60/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Betametason 12 mg sampai 2 dosis dengan interval 24 jam secara IM. 6. Berikan Metildopa 3 x 250 mg apabila tekanan darah diastolik antara 100110 mmHg. 7. Dilakukan pemantaun kesejahteraan janin dengan pemeriksaan USG (Doppler) dan CTG. 8. Jika tekanan darah diastolik turun sampai normal, pasien dipulangkan dengan nasihat untuk istirahat dan diberi penjelasan mengenai tandatanda PEB. Kontrol 2 kali seminggu. Bila tekanan darah diastolik naik lagi, pasien dirawat kembali. 9. Jika tekanan darah diastolik naik dan disertai dengan tanda-tanda PEB, pasien dikelola sebagai PEB. 10. Bila umur kehamilan 37 minggu, terminasi kehamilan. 11. Persalinan dapat dilakukan secara spontan. II. Preeklamsia berat: Rawat bersama dengan bagian yang terkait (Penyakit Dalam, Penyakit Saraf, Mata, Anestesi, dll) dan tentukan jenis perawatan/tindakan. Perawatan aktif berarti kehamilan segera diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan medisinal. Perawatan konservatif berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian pengobatan medisinal. A. Perawatan aktif: a. Indikasi: Bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah ini: i. Ibu : 1. Kehamilan 37 minggu. 2. Adanya gejala impending eclampsia (sakit kepala yang menetap atau gangguan visus dan serebral, nyeri epigastrium yang menetap). ii. Janin: 1. Adanya tanda-tanda gawat janin. 2. Adanya tanda-tanda PJT yang disertai hipoksia. iii. Laboratorik: adanya HELLP syndrome. b. Pengobatan medisinal: 1. Infus larutan Ringer Laktat. 2. Pemberian MgSO4. Cara pemberian MgSO4: 1. Pemberian melalui intravena secara kontinyu (dengan menggunakan infusion pump):

60

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 61/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

a. Dosis awal: 4 gram atau 20 cc MgSO4 20% dilarutkan ke dalam 100 cc Ringer Laktat, diberikan selama 15-20 menit. b. Dosis pemeliharaan: 10 gram atau 50 cc MgSO4 20% dalam 500 cc Ringer Laktat, diberikan dengan kecepatan 1-2 gram/jam (20-30 tetes per-menit). 2. Pemberian melalui intramuskuler secara berkala: a. Dosis awal: 4 gram atau 20 cc MgSO 4 20% diberikan secara IV dengan kecepatan 1 gram/menit, disusul 8 gram atau 20 cc MgSO 4 40% secara IM yang diberikan pada bokong kiri dan kanan masing-masing 4 gram atau 10 cc. b. Dosis pemeliharaan: selanjutnya diberikan 4 gram atau 10 cc MgSO 4 40% IM 6 jam setelah pemberian dosis awal. Selanjutnya diberikan 4 gram atau 10 cc MgSO4 40% IM setiap 6 jam. Tambahkan 1 cc Lidokain 2% pada setiap pemberian IM untuk mengurangi perasaan nyeri dan panas. Syarat-syarat pemberian MgSO4: 1. Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu Kalsium Glukonas 10% (1 gram dalam 10 cc) diberikan IV dalam waktu 3-5 menit. 2. Refleks patela (+) kuat. 3. Frekuensi pernafasan 16 kali per-menit. 4. Produksi urine 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5 cc/kg bb/jam). Sulfas magnesikus dihentikan bila: 1. Ada tanda-tanda intoksikasi. 2. Setelah 24 jam pascasalin. 3. Dalam 6 jam pascasalin sudah terjadi perbaikan tekanan darah (normotensif). 3. Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada: c. Edema paru. d. Payah jantung kongestif. e. Edema anasarka. 4. Antihipertensi diberikan bila: 1. Tekanan darah: - Sistolik 180 mmHg. - Diastolik 110 mmHg.

61

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 62/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

2. Obat-obat antihipertensi yang diberikan: - Obat pilihan adalah Hidralazin, yang diberikan 5 mg IV pelan-pelan selama 5 menit. Dosis dapat diulang dalam waktu 15-20 menit sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan. - Apabila hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan: Nifedipin: 10 mg dan dapat diulangi setiap 30 menit (maksimal 120 mg/24 jam) sampai terjadi penurunan tekanan darah. Labetolol: 10 mg IV. Apabila belum terjadi penurunan tekanan darah, maka dapat diulangi pemberian 20 mg setelah 10 menit, 40 mg pada 10 menit berikutnya, diulangi 40 mg setelah 10 menit kemudian, dan sampai 80 mg pada 10 menit berikutnya. Bila tidak tersedia, maka dapat diberikan Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam faal atau air untuk suntikan. Disuntikkan mula-mula 5 cc IV perlahan-lahan selama 5 menit. Lima menit kemudian tekanan darah diukur. Kemudian diikuti dengan pemberian secara tetes sebanyak 7 ampul dalam 500 cc Dekstrose 5% atau Martos 10. Jumlah tetesan dititrasi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan, yaitu penurunan MAP (Mean arterial pressure) sebanyak 20% dari awal. Pemeriksaan tekanan darah dilakukan setiap 10 menit sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan, kemudian setiap jam sampai tekanan darah stabil. 5. Kardiotonika: Indikasi pemberian kardiotonika, bila ada tanda-tanda payah jantung. Jenis kardiotonika yang diberikan ialah Cedilanid-D. Perawatan dilakukan bersama dengan Bagian Penyakit Jantung/Penyakit Dalam. 6. Lain-lain: 1. Obat-obat antipiretik. Diberikan bila suhu rektal di atas 38,5 C. Dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol. 2. Antibiotika. Diberikan atas indikasi. 3. Antinyeri. Bila pasien gelisah karena kontraksi rahim dapat diberikan Petidin HCl 50-75 mg sekali saja. c. Pengelolaan obstetrik:

62

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 63/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Cara terminasi kehamilan: Belum inpartu: 1. Induksi persalinan: Amniotomi + tetes Oksitosin dengan syarat Skor Bishop 6. 2. Seksio sesarea bila: a. Syarat tetes Oksitosin tidak dipenuhi atau adanya kontraindikasi tetes Oksitosin. b. Delapan jam sejak dimulainya tetes Oksitosin belum masuk fase aktif. Sudah inpartu: Kala I: Fase laten: amniotomi + tetes Oksitosin dengan syarat Skor Bishop 6. Fase aktif: 1. Amniotomi. 2. Bila his tidak adekuat, diberikan tetes Oksitosin. 3. Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap, pertimbangkan seksio sesarea. Catatan: amniotomi dan tetes Oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 15 menit setelah pemberian pengobatan medisinal MgSO4. Kala II: Pada persalinan pervaginam, maka kala II diselesaikan dengan partus buatan. B. Perawatan konservatif: a. Indikasi: Kehamilan preterm (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik. b. Pengobatan medisinal: Sama dengan perawatan medisinal pengelolaan secara aktif. Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan IV, cukup IM saja (8 gram atau 20 cc MgSO 4 40%). Pemberian MgSO4 dihentikan bila sudah mencapai tanda-tanda preeklamsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. c. Pengelolaan obstetrik: 1. Selama perawatan konservatif, tindakan observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif, termasuk pemeriksaan Tes Tanpa Kontraksi dan USG untuk memantau kesejahteraan janin.

63

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 64/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

2. Bila setelah 2 kali 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medisinal dan harus diterminasi. Cara terminasi sesuai dengan pengelolaan aktif. III. Eklamsia Rawat bersama di unit perawatan intensif dengan bagian-bagian terkait. Pengobatan medisinal: 1. Obat anti kejang: Pemberian MgSO4 sesuai dengan pengelolaan PEB. Bila timbul kejang-kejang ulangan maka dapat diberikan 2 gram atau 10 cc MgSO4 20% IV selama 2 menit, sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Dosis tambahan 2 gram hanya diberikan sekali saja. Bila setelah diberi dosis tambahan masih tetap kejang, maka diberikan Amobarbital 3-5 mg/kg bb/IV pelan-pelan. 2. Obat-obat suportif: Lihat pengobatan suportif PEB. 3. Perawatan pasien dengan serangan kejang: a. Dirawat di kamar isolasi yang cukup terang. b. Masukkan sudip lidah ke dalam mulut pasien. c. Kepala direndahkan, daerah orofaring diisap. d. Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendur guna menghindari fraktur. e. Pasien yang mengalami kejang-kejang secara berturutan (status konvulsivus), diberikan pengobatan sebagai berikut: Suntikkan Benzodiazepin 1 ampul (10 mg) IV perlahan-lahan. Bila pasien masih tetap kejang, diberikan suntikkan ulangan. Benzodiazepin IV setiap jam sampai 3 kali berturut-turut. Selain Benzodiazepin, diberikan juga Phenitoin (untuk mencegah kejang ulangan) dengan dosis 3 x 300 mg (3 kapsul) hari pertama, 3 x 200 mg (2 kapsul) pada hari kedua dan 3 x 100 mg (1 kapsul) pada hari ketiga dan seterusnya. Apabila setelah pemberian Benzodiazepin IV 3 kali berturut-turut, pasien masih tetap kejang, maka diberikan tetes Diazepam 50 mg/5 ampul di dalam 250 cc NaCl 0,9% dengan kecepatan 20-25 tetes/menit selama 2 hari. f. Atas anjuran Bagian Syaraf, dapat dilakukan: Pemeriksaan CT-scan untuk menentukan ada tidaknya perdarahan otak.

64

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 65/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Punksi lumbal, bila ada indikasi. Pemeriksaan elektrolit Na, K, Ca, dan Cl, kadar glukosa, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, analisis gas darah, dll untuk mencari penyebab kejang yang lain. 4. Perawatan pasien dengan koma: a. Rawat bersama dengan Bagian Syaraf: Diberikan infus cairan Manitol 20% dengan cara 200 cc diguyur, 6 jam kemudian diberikan 150 cc diguyur, 6 jam kemudian 150 cc diguyur. Total pemberian 500 cc sehari. Pemberian dilakukan selama 5 hari. Dapat juga diberikan cairan Gliserol 10% dengan kecepatan 30 tetes/menit selama 5 hari. Dapat juga diberikan Deksametason IV 4 x 8 mg sehari, yang kemudian di tappering off. b. Monitoring kesadaran dan dalamnya koma dengan memakai GlasgowPittsburgh Coma Scale. c. Pada perawatan koma perlu diperhatikan pencegahan dekubitus. d. Pada koma yang lama, pemberian nutrisi melalui NGT (Naso Gastric Tube). 5. Pengobatan obstetrik: Sikap terhadap kehamilan: a. Sikap dasar: Semua kehamilan dengan eklamsia dan impending eclampsia harus diakhiri tanpa memandang usia kehamilan dan keadaan janin. Gejala impending eclampsia adalah: - Penglihatan kabur. - Nyeri ulu hati yang hebat. - Nyeri kepala yang hebat. b. Saat terminasi kehamilan: Terminasi kehamilan pasien eklamsia dan impending eclampsia adalah dengan seksio sesarea. Saat terminasi dilakukan bila sudah terjadi stabilisasi hemodinamik dan metabolisme ibu, yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan di bawah ini: - Setelah pemberian obat anti kejang terakhir. - Setelah kejang terakhir. - Setelah pemberian obat-obat antihipertensi terakhir. - Pasien mulai sadar (responsif dan orientasi).

65

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 66/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Persalinan per-vaginam dipertimbangkan pada keadaan-keadaan sebagai berikut: - Pasien inpartu kala II. - Pasien yang sangat gawat (terminal state) yaitu dengan kriteria Eden yang berat. Kriteria Eden (1992) meliputi: 1. Koma yang lama lebih dari 24 jam. 2. Nadi di atas 120 kali/menit. 3. Suhu di atas 39C. 4. Tekanan darah sistolik di atas 200 mmHg. 5. Kejang lebih dari 10 kali serangan dalam 24 jam. 6. Proteinuria 10 gram sehari atau lebih. 7. Tidak ada edema. - Sindroma HELLP. - Komplikasi serebral (CVA, stroke, dll). - Kontraindikasi operasi (ASA IV). 6. Penyulit: Sindroma HELLP, gagal ginjal, gagal jantung, edema paru, kelainan pembekuan darah, perdarahan otak. IV. Sindroma HELLP: Weinstein (1982) yang mula-mula menggunakan istilah HELLP syndrome untuk kumpulan gejala Hemolysis, Elevated Liver enzym, dan Low Platelets yang merupakan gejala utama dari sindroma ini. 1. Diagnosis laboratorium: Hemolisis: - Adanya sel-sel spherocytes, schistocytes, triangular dan sel Burr pada apus darah tepi. - Kadar bilirubin total > 1,2 mg%. Kenaikan kadar enzim hati: - Kadar SGOT > 70 IU/I. - Kadar LDH > 600 IU/I. Trombositopenia: - Trombosit < 100.000/mm3. 2. Pengelolaan Sindroma HELLP: Pada prinsipnya pengelolaan Sindroma HELLP terdiri dari:

66

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 67/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

a. Atasi hipertensi dengan pemberian obat antihipertensi (lihat pengelolaan PEB). b. Cegah terjadinya kejang dengan pemberian MgSO4. c. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. d. Hemoterapi dengan pemberian transfusi trombosit apabila kadar trombosit < 30.000/mm3 untuk mencegah perdarahan spontan. e. Terapi konservatif dilakukan apabila umur kehamilan < 34 minggu, tekanan darah terkontrol < 160/110 mmHg, diuresis normal (> 30 cc/jam), kenaikan kadar enzim hati yang tidak disertai nyeri perut kuadran kanan atas atau nyeri ulu hati. f. Pemberian kortikosteroid, terutama pada kehamilan 24-34 minggu atau kadar trombosit < 100.000/mm3 dengan Deksametason 10 mg IV 2 kali sehari sampai terjadi perbaikan klinis (trombosit > 100.000/mm3, kadar LDH menurun dan diuresis > 100 cc/jam). Pemberian Deksametason dipertahankan sampai pascasalin sebanyak 10 mg IV 2 kali sehari selama 2 hari, kemudian 5 mg IV 2 kali sehari selama 2 hari lagi. g. Dianjurkan persalinan per-vaginam, kecuali bila ditemukan indikasi seperti serviks yang belum matang (Skor Bishop < 6), bayi prematur, atau ada kontraindikasi. h. Bila akan dilakukan operasi seksio sesarea, kadar trombosit < 50.000/mm3 merupakan indikasi untuk melakukan transfusi trombosit. i. Pemasangan drain intraperitoneal dianjurkan untuk mengantisipasi adanya perdarahan intraabdominal. Bila ditemukan cairan asites yang berlebihan, perawatan pasca bedah di ICU merupakan indikasi untuk mencegah komplikasi gagal jantung kongestif dan Sindroma Distres Pernafasan. 28. Penyakit Jantung dalam Kehamilan Diagnosis: Anamnesis: Riwayat demam rematik. Dispnu waktu melakukan kegiatan dan atau waktu istirahat. Dispnu paroksismal nokturnal. Angina atau sinkop waktu melakukan kegiatan. Hemoptisis. Pemeriksaan fisik: Murmur sistolik dan diastolik.

67

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 68/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Kelainan irama jantung. Precordial thrill. Kardiomegali. Sianosis dan/atau clubbing. Pemeriksaan penunjang: Foto thoraks. Elektrokardiografi. Ekokardiografi. Klasifikasi: I. Pasien sama sekali tak perlu membatasi kegiatan fisik. II. Pasien perlu membatasi kegiatan fisik sedikit, kalau melakukan pekerjaan seharihari terasa jantung berdebar-debar dan terjadi angina pektoris. III. Pasien sangat mudah merasa capai disertai timbulnya gejala-gejala lain kalau melakukan pekerjaan ringan sekalipun. IV. Pasien memperlihatkan gejala dekompensasi jantung walau dalam istirahat sekalipun. Perawatan antenatal: Konsultasi dan rawat bersama dengan Bagian Kardiologi/Penyakit Dalam di ruang penyakit dalam. Bila rawat jalan, kontrol setiap minggu, tiap kunjungan sekaligus memeriksakan diri ke Bagian Kebidanan dan Kardiologi/Penyakit Dalam. Tirah baring 2 jam waktu siang hari dan 10 jam waktu malam hari. Dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi dan foto thoraks, bila diperlukan dilakukan pemeriksaan ekokardiografi. Setelah umur kehamilan 32 minggu, dilakukan pemeriksaan NST dan USG serial. Pengobatan tergantung klasifikasi penyakit jantung: I. Tidak memerlukan pengobatan. II. Tidak memerlukan pengobatan, tetapi hindarkan kegiatan fisik terutama waktu umur kehamilan antara 28-32 minggu. III dan IV. Rawat di Rumah Sakit dengan pengelolaan bersama Bagian Kebidanan dan Kardiologi/Penyakit Dalam. Penatalaksanaan persalinan:

68

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 69/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Dilakukan bersama Bagian Kardiologi/Penyakit Dalam. 1. Induksi persalinan. Induksi dilakukan hanya atas indikasi obstetri. Tetes Oksitosin akan meningkatkan volume darah yang dapat menyebabkan edema paru. Untuk mencegah hal tersebut bila perlu diberikan diuretika. 2. Kala I. Perlu pemantauan ketat terhadap ibu maupun janin.Bila diperlukan, dapat diberikan profilaksis digitalis dan antibiotika (dilakukan atas konsultasi dengan Bagian Kardiologi/Penyakit Dalam. Berikan Oksigen bila terlihat adanya sianosis. 3. Kala II, tergantung klasifikasi. I. Persalinan dapat spontan. II-IV Cegah ibu meneran dan selesaikan persalinan dengan ekstraksi forseps. Selama kala II harus didampingi Bagian Kardiologi/Penyakit Dalam. 4. Kala III. Berikan Oksitosin 10 IU IM setelah bayi lahir. Hindari pemberian Ergometrin. Berikan Pack red cell bila diperlukan transfusi darah. Pada kasus tertentu dapat diberikan profilaksis Furosemid 40 mg IV. Pergunakan bantal pasir yang ditempatkan pada perut bawah ibu setelah plasenta lahir. 5. Masa nifas. Dalam 24 jam pertama pascasalin, pemantauan adanya tanda-tanda dekompensasi tetap dilakukan secara ketat. Bila keadaan kompensata dan stabil, pasien dipulangkan setelah 7 hari perawatan dan yakinkan pasien harus kontrol setelah keluar dari Rumah Sakit. Penanganan gagal jantung selama persalinan: Baringkan ibu dalam posisi miring ke kiri untuk menjamin aliran darah ke uterus. Batasi cairan IV untuk mencegah overload cairan. Berikan analgesia yang sesuai. Jika perlu Oksitosin berikan dalam konsentrasi tinggi dengan tetesan rendah dan pengawasan ketat keseimbangan cairan. Jangan berikan Ergometrin. Persalinan per-vaginam dengan mempercepat kala II. Sedapat mungkin hindari meneran, jika perlu lakukan episiotomi dan akhiri persalinan dengan ekstraksi forseps. Penanganan aktif kala III.

69

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 70/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Gagal jantung bukan merupakan indikasi seksio sesarea. Penanganan gagal jantung selama seksio sesarea dengan melakukan anestesi lokal (infiltrasi dan sedasi), jangan lakukan anestesi spinal.

Gagal jantung akibat penyakit jantung: Tangani gagal jantungnya dengan memberi obat sebagai berikut: Morfin 10 mg IM dalam dosis tunggal. Atau Furosemid 40 mg IV, diulang jika perlu. Atau Digoksin 0,5 mg IM dosis tunggal. Atau Nitrogliserin 0,3 mg sublingual, diulang setiap 15 menit jika perlu. Gagal jantung masa nifas: Hal yang dapat menimbulkan gagal jantung masa nifas adalah perdarahan, anemia, infeksi dan tromboemboli. Pada masa nifas kontrasepsi harus diberikan, pada kondisi yang stabil tubektomi dapat dilakukan. 29. Diabetes dalam Kehamilan Definisi: Kehamilan menginduksi diabetes (Gestational Diabetes Mellitus/GDM). Dijumpainya kadar gula darah pada tes pembebanan 75 g pada kehamilan (umumnya 24 hingga 30 minggu) antara 140-200 mg/dL. Diabetes Melitus dengan kehamilan: dijumpainya kadar gula darah baik dalam kehamilan maupun diluar kehamilan > 200 mg/dL. Prinsip dasar: Kadar gula darah yang melebihi ambang batas normal dapat menyebabkan: - Induksi proliferasi sel sehingga memungkinkan terjadinya makrosomia. - Toksik terhadap sel endotel sehingga terjadi kerusakkan sel endotel dan terjadi hipoperfusi yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan terhambat, preeklamsia, IUFD. - Toksik terhadap sel-sel germinal sehingga jika terjadi pada masa konsepsi dan embriogenesis dapat mengakibatkan kelainan kongenital. Kadar gula darah yang berfluktuasi tajam dapat mengakibatkan terjadinya ketoasidosis pada janin yang dapat menyebabkan kematian janin.

70

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 71/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Kadar gula yang terkontrol dalam batas normal (80-120 mg) memberikan hasil yang sama dengan populasi normal. Pengontrolan gula darah dalam kehamilan harus sesegera mungkin baik dengan diit maupun insulin.

Diagnosis: Kadar gula darah: - Tes Toleransi Glukosa beban 75 g. - Kurva darah harian. - HbA1C. Pertumbuhan janin dan kesejahteraan janin. Fungsi kardiovaskular. Toleransi fetomaternal. Indikasi pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa: Adanya riwayat keluarga yang menderita Diabetes Melitus. Pernah melahirkan bayi besar. Pernah melahirkan bayi dengan cacat bawaan. Pernah abortus atau lahir mati. Obesitas. Hipertensi. Diabetes Melitus. Komplikasi: Komplikasi pada ibu: Preeklamsia/eklamsia. Hidramnion. Distosia. Perdarahan Pascasalin. Infeksi Saluran Kemih. Kadar gula darah yang tidak terkendali. Komplikasi pada janin: Bayi besar. Kematian janin dalam rahim. Hipoglikemia. Sindroma Distres Pernafasan.

71

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 72/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Kelainan kongenital. Hipokalsemia, hipomagnesemia, trombositopenia, dan hiperbilirubinemia.

Manajemen: Skrining ibu hamil pada kunjungan pertama, hasil negatif diulang pada kehamilan 24-26 minggu. Bila hasil positif, pengawasan bersama dengan bagian yang terkait (Ilmu Penyakit Dalam, Gizi, dan Ilmu Penyakit Anak). Upayakan kadar gula darah antara 80-120 mg%, dan kadar HbA1C < 5,5% baik dengan maupun tanpa insulin. Pemeriksaan USG untuk mencari kelainan kongenital dan mengevaluasi pertumbuhan janin. Pemeriksaan kesejahteraan janin/profil biofisik janin dimulai pada minggu ke-32. Rawat pada kehamilan 34 minggu bila ada komplikasi. Pasien IDDM uji tanpa kontraksi dilakukan setiap hari. Pada pasien NIDDM dilakukan seminggu sekali. Pada pasien NIDDM bila tidak jatuh pada keadaan IDDM maka dilakukan rawat jalan. Kelahiran diupayakan pada usia gestasi 38 minggu, kecuali dijumpai: - PJT. - Hasil penilaian kesejahteraan janin kurang baik. - Preeklamsia. - Kelainan kongenital. - Ketoasidosis. - Kadar gula darah tak terkendali. Penentuan persalinan per-vaginam ataupun per-abdominam tergantung kondisi janin (misal makrosomia, gawat janin) maupun ibunya (misal hipertensi, kelainan mata). Penanganan pascasalin: Pantau keadaan umum dan kadar gula darah pascasalin. Menganjurkan memberi ASI. Memberikan nasihat untuk kontrasepsi. Prognosis: Tergantung terkontrolnya kadar gula darah.

72

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 73/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

30. TBC Paru dalam Kehamilan Definisi: TBC paru adalah penyakit pada parenkim paru yang disebabkan oleh Mikobakterium Tuberkulosis. Diagnosis: Anamnesis: - Pernah kontak dengan penderita TBC. - Batuk kronis, batuk darah. - Nyeri dada. - Keringat malam. - Berat badan menurun. - Demam. Laboratorium: pemeriksaan BTA dan kultur, LED sangat tinggi. PPD (Purified Protein Derivative), dengan interpretasi sebagai berikut: - Pada kelompok risiko sangat tinggi yaitu pasien HIV positif, pasien dengan gambaran thoraks foto abnormal, atau pasien yang kontak erat dengan pasien TBC aktif, dikatakan positif bila terjadi indurasi dengan ukuran > 5 mm. - Pada kelompok risiko tinggi yaitu orang yang berasal dari negara miskin atau negara endemis TBC, pemakai narkoba yang HIV negatif, sosial ekonomi rendah, pasien penyakit kronis yang mempunyai risiko tinggi mengidap TBC, dikatakan positif bila indurasi > 10 mm. Foto thoraks: tidak rutin dikerjakan pada kehamilan. Jika diperlukan pada usia kehamilan < 7 bulan harus menggunakan pelindung perut. Manajemen:

73

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 74/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pengobatan TBC aktif pada kehamilan hanya sedikit berbeda dengan penderita yang tidak hamil. Rekomendasi CDC (Centre for Disease Control) (1993) adalah sebagai berikut: 1. Isoniazid 5 mg/kg/hari, maksimal 300 mg/hari bersama Piridoksin 50 mg/hari. 2. Rifampisin 10 mg/kg/hari, maksimal 600 mg/hari. 3. Etambutol 5-25 mg/kg/hari, maksimal 2,5 gram/hari (biasanya 25 mg/kg/hari selama 6 minggu kemudian diturunkan menjadi 15 mg/kg/hari) Terapi diberikan minimum 9 bulan. Jika resisten terhadap obat ini dapat dipertimbangkan pengobatan dengan Pyrazinamide. Selain itu Piridoksin 50 mg/hari harus diberikan untuk mencegah neuritis perifer yang disebabkan oleh INH. Terapi pada trimester pertama harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakitnya. Pasien yang tidak sakit berat dianjurkan untuk terapi dengan INH dan Etambutol saja hingga selesai trimester pertama, kemudian mulai terapi 6 bulan penuh dengan Rifampisin, INH dan Pyrazinamide. PNC yang teratur, kegiatan fisik dikurangi, istirahat yang cukup, diit TKTP, dan koreksi anemianya. Persalinan pada kala II diperpendek bila ada indikasi obstetri.

31. Asma Bronkiale dalam Kehamilan Definisi: Kelainan saluran pernapasan yang ditandai dengan inflamasi saluran napas kronik dengan episode obstruksi saluran napas akut akibat adanya stimulus oleh berbagai macam alergen. Etiologi: Adanya bronkospasme yang diakibatkan oleh alergen spesifik, faktor intrinsik, kelelahan fisik atau komplikasi faktor-faktor tersebut. Diagnosis: Anamnesis: - sesak nafas tiba-tiba. - riwayat serangan asma sebelumnya.

74

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 75/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

- riwayat atopi pada keluarga. Gejala utama: - ekspirasi memanjang. - wheezing (+). Gejala lain: - takikardi. - retraksi suprasternal. - sianosis. Laboratorium: - Ig E meningkat. - Eosinofil meningkat.

Klasifikasi derajat beratnya asma menurut NAEF (National Asthma Education Programme): A. Asma ringan: - Periode serangan yang ringan (< 1 jam) sebanyak 2 kali seminggu. - PEFR 80%. - FEV1 80% dari yang diprediksikan saat asimtomatik. B. Asma sedang/moderat: - Eksaserbasi simtom 2 kali seminggu. - Eksaserbasi mempengaruhi tingkat aktivitas. - Eksaserbasi dapat berlangsung hingga beberapa hari. - PEFR, FEV1 berkisar antara 60-80% dari yang diprediksikan. - Memerlukan obat secara rutin untuk mengontrol gejala. C. Asma berat: - Eksaserbasi berlangsung terus-menerus/sering terjadi sehingga menghambat aktivitas. - PEFR, FEV1 < 60% dari yang diprediksikan. - Memerlukan kortikosteroid oral secara rutin untuk mengontrol gejala. Keterangan: - PEFR: Peak expiratory flow rate - FEV1: Forces expiratory volume in one second Penatalaksanaan: Perawatan bersama dengan Bagian Penyakit Dalam. A. Dalam kehamilan:

75

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 76/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Tujuan utama: Pencegahan episode hipoksia untuk ibu dan janin. Penatalaksanaan yang optimal tergantung pada 4 komponen integral di bawah ini: 1. Penilaian dan monitoring derajat asma yang obyektif. Penilaian fungsi paru-paru yang terbaik adalah dengan FEV1 yang diukur dengan spirometer. Alternatif lain bisa dengan pengukuran PEFR. 2. a. Menghindari atau mengontrol pencetus asma, seperti bulu binatang, tungau debu rumah, antigen kecoa, tepung sari dan jamur atau alergen non-imunologis seperti aroma yang kuat, polutan udara, pengawet makanan, sejumlah obat-obatan seperti beta bloker. b. Terapi sinusitis dan infeksi virus. c. Hindari merokok, Aspirin, aktifitas fisik berlebih. 3. Memberi edukasi terhadap pasien, meliputi obat yang harus digunakan dan faktor pencetus asma. 4. Terapi farmakologis: Terapi farmakologis: 1. Rawat jalan: Tahap 1: Inhalasi beta simpatomimetik seperti Salbutamol 1-2 semprotan (100-200 g). Bila pemakaian > 1 kali per-hari masuk ke tahap berikutnya. Tahap 2: Ditambahkan obat pencegahan misalnya inhalasi glukokortikoid (Beclomethasone 100-400 g 2 kali sehari). Alternatif lain adalah Sodium Kromoglikat. Tahap 3: Tambahkan inhaler dosis tinggi atau beta simpatomimetik yang long acting. Contoh: - Inhalasi short acting beta simpatomimetik + Beclomethasone 800-2000 g perhari dalam dosis terbagi. - Short acting alfa simpatomimetik + Beclomethasone 200-400 g 2 kali sehari + Salmeterol 50 g 2 kali sehari. Tahap 4: Inhalasi steroid dosis tinggi + inhalasi bronkodilator reguler. Tahap 5: Tahap 4 ditambah tablet Prednisolon. 2. Khusus (rawat inap):

76

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 77/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

a. Status asmatikus: Rawat. Oksigen 6-7 liter/menit. Koreksi dehidrasi dan keseimbangan elektrolit. Analisis gas darah. Dapat diberikan Aminofilin 0,25-0,5 g dalam 30 ml NaCl 0,9% bolus IV perlahan, dilanjutkan dengan tetes Aminofilin 0,9 mg/kg/jam. Hidrokortison suksinat 100-200 mg IV setiap 2-4 jam. b. Ringan sampai sedang: Dapat diberikan Epinefrin (1 : 1000), 0,2-0,5 mL subkutan. Dapat diulang setiap 1-2 jam. Jika Epinefrin tidak menolong, berikan Aminofilin 0,25-0,5 g dalam 10-20 mL NaCl 0,9% bolus IV perlahan, atau supositoria.

B. Dalam persalinan: Diusahakan persalinan pervaginam, bila perlu kala II diperpendek. Seksio sesarea dilakukan hanya atas indikasi obstetri.

77

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 78/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

32. Infeksi TORCH Definisi: Infeksi pada ibu hamil yang seakan-akan tanpa menimbulkan gejala yang nyata atau tidak berpengaruh terhadap ibu itu sendiri, tetapi mempunyai dampak yang serius terhadap janin yang disebabkan oleh kelompok TORCH. Etiologi: Toxoplasma gondii. Other: sifilis, Streptococcus group , listeriosis (Listeria monocytogenes), campak atau morbilli/rubeolla/measles, Varicella-zoster, Echovirus,

78

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 79/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

mumps/gondongan, vaccinia, virus polio, Coxsackie-B, Hepatitis B dan C, HIV, HPV, Human Parvovirus B 19. Rubella virus/German measles. Cytomegalo virus (CMV). Herpes simpleks viruses (HSV-1 dan HSV-2). Kelompok infeksi beberapa jenis virus dan toksoplasma memberikan sindroma dan manifestasi klinik yang hampir mirip satu dengan yang lainnya, sehingga sulit dipisahkan antara penyebab penyakit beberapa jenis virus tersebut dengan infeksi toksoplasma sendiri, maka kelompok penyakit ini dijadikan satu dalam akronim sebagai infeksi TORCH. Risiko infeksi pada kehamilan, 90% penularan terjadi pada periode perinatal. Penularan secara transplasental (intrauterin) dapat mengakibatkan abortus spontan, hidrosefalus atau anensefalus. Pembawa penyakit ini adalah hewan peliharaan di sekitar kita, seperti kucing, anjing, burung merpati, kelinci, ayam, kerbau, sapi, kambing, juga tikus. Komplikasi:
Infeksi dalam kehamilan Toksoplasma Rubella virus CMV Herpes simpleks Akibat infeksi TORCH pada ibu hamil terhadap bayinya Abortus Prematur Retardasi Cacat Penyakit fisik bawaan akut + + + + + + + + + + + + + + + + + + Penyakit menetap + + + +

Kelainan bawaan yang terjadi pada bayi akibat infeksi TORCH pada ibu hamil Infeksi Kelainan utama Kelainan lain Toksoplasma Hidro/mikrosefalus, korioretinitis, kalsifikasi Hepatosplenomegali, ikterus, intrakranial. limfadenopati, retardasi psikomotor. Rubella virus Katarak, tuli, kelainan jantung, strabismus. Hepatoslenomegali, trombositopenia, retardasi psikosomotor. CMV Mikrosefali, tuli. Kalsifikasi intrakranial, hepatosplenomegali, trombositopenia, korioretinitis, retardasi psikosomotor atau retardasi mental. Herpes Mikrosefali, stomatitis rekuren. Korioretinitis, hepatitis simpleks intrapartum, retardasi psikomotor.

79

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 80/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Diagnosis: Curiga infeksi TORCH bila ada riwayat kematian janin intrauterin, PJT, BBLR, lahir mati, cacat kongenital, atau sering infeksi subklinis tanpa tandatanda kelainan pada bayi dan terlihat kelainan kongenital yang baru muncul kemudian sebelum atau sesudah anak umur 1 tahun. Mengingat risiko kelainan bawaan, sebaiknya pemeriksaan laboratorium dilakukan sebelum kehamilan atau apabila terlambat dapat dilakukan pada kehamilan trimester pertama. Lebih baik lagi diperiksa sebelum merencanakan mempunyai anak. Deteksi kadar IgM/IgG terhadap Toksoplasma, Rubella, CMV dan HSV serta aviditasnya, sedangkan infeksi lainnya dapat menyusul bila diperlukan. Sampai sekarang hanya virus Rubella, Cytomegalovirus, dan virus Herpes hominis yang terbukti teratogenik. A. Toksoplamosis: Gejala klinis: Semakin muda usia kehamilan pada saat infeksi primer, maka semakin kecil kemungkinan transmisi vertikal, namun semakin besar defek; dan sebaliknya semakin tua usia kehamilan, maka semakin besar transmisi namun semakin kecil defek, bahkan mungkin subklinis. Kebanyakan infeksi bersifat subklinis, berupa lemah, nyeri otot dan kadangkadang limfadenopati. Infeksi pada ibu hamil trimester III dapat menimbulkan toksoplasmosis kongenital lebih tinggi prosentasenya dibandingkan dengan infeksi pada trimester I. Toksoplasmosis kongenital: berat badan lahir rendah, korioretinitis, kalsifikasi serebri, mikrosefalus, hidrosefalus, hepatosplenomegali. Anemia, kejang, pembengkakan kelenjar air liur, muntah, bisul-bisul di kulit, radang paru-paru, diare, demam, kulit kuning dan pengapuran dalam tengkorak. Gejala tersebut umumnya tampak setelah bayi berusia 1 tahun atau lebih dan terjadi keterlambatan pertumbuhan fisik dan mental. Diagnosis: Skrining serologis untuk toksoplasmosis prenatal tidak dilakukan secara rutin. Aviditas IgG tokso dan interpretasinya. Nilai standar aviditas tokso: - Hasil 2 : < 15% rendah.

80

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 81/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

- Hasil 15: 30% sedang. - Hasil 30: > 30% tinggi. Dapat membedakan infeksi baru dan lampau. - Aviditas rendah: infeksi baru terjadi (< 4 bulan). - Aviditas tinggi: infeksi lampau (> 4 bulan). Reaktivasi: bila terdapat peningkatan IgG dua kali lipat pada pemeriksaan serologi dengan jarak 4 minggu. Terapi: Memberi hasil optimal bila memakai Spiramisin pada penderita aktif. Cara pengobatan: Spiramisin 3 x 500 mg (kuur I) selama 3 minggu, kemudian 2 minggu tanpa obat; dilanjutkan kuur II selama 3 minggu, libur 2 minggu; kuur III selama 3 minggu, dstnya. Diperiksa kadar IgG-antitoksoplasma setiap 3 kuur pengobatan. Batas dihentikan obat tokso setelah IgGantitoksoplasma kurang dari 6 IU/mL. Lebih efektif lagi apabila selama pengobatan selalu dibina pula kehidupan flora usus agar pseudokista dalam limfonodus mesenterik dan villi-villi usus turut tercerna. Biasanya diberikan Vitamin B Kompleks atau obat pemacu suburnya flora usus yang lain. Kista yang dindingnya sukar ditembus setelah terpapar antibiotika, perlu ditunggu 2 minggu tanpa obat agar kista pecah lagi sehingga pemberian obat perlu menurut jadwal seperti tersebut di atas. Spiramisin tidak dianjurkan pada wanita menyusui dan kehamilan trimester pertama. Azitromisin 1 x 500 mg, selama 5 hari per-minggu, 4 minggu per-bulan sejak ditegakkan infeksi, diteruskan hingga akhir kehamilan bila janin terbukti infeksi. Klindamisin 3 x 300 mg, selama 5 hari per-minggu, 4 minggu per-bulan sejak ditegakkan infeksi, diteruskan hingga akhir kehamilan bila janin terbukti infeksi. Dapat juga diberikan Pirimetamin sejak amniosentesis memberi hasil positif pada kehamilan 16-20 minggu. - Pirimetamin (50 mg/kg/hari) + Sulfadiasin (3 g/hari) + Kalsium Folinat (50 mg/minggu) Bila infeksi janin negatif, pengobatan dihentikan. Janin yang terinfeksi pada masa neonatus hingga umur 1 tahun pertama, pengobatan diteruskan dengan Pirimetamin. Janin yang terinfeksi, pada masa bayinya harus di follow up untuk kemungkinan retinitis, hepatitis, karditis dan hidrosefalus.

81

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 82/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pencegahan: Jauhi makanan yang terkontaminasi dengan kista, ookista, dan trofozoit toksoplasma dengan mencuci bersih sayur-sayuran segar, memasak daging hingga matang, minum susu yang telah dipasteurisasi. B. Rubella/German measles: Gejala klinis: Menimbulkan eksantema dan demam. Jika timbul pada wanita hamil dalam triwulan pertama, 50% anak akan lahir dengan cacat bawaan, seperti katarak, kelainan jantung, kelainan telinga dalam yang menyebabkan tuli, atau mikrosefalus. Makin muda kehamilannya waktu ibu diserang penyakit ini, makin besar kemungkinan anak menderita cacat bawaan karena virus dapat menembus sawar plasenta. Cacat yang ditimbulkan bersifat definitif, oleh karena itu pada infeksi primer Rubella pada kehamilan muda harus diberikan konseling yang mendalam. Sindroma Kongenital: glaukoma, katarak, pengkabutan kornea dan retinopati, ketulian, stenosis pulmonale, PDA dan VSD, mikrosefali, ensefalitis, retardasi mental, kalsifikasi otak, IUGR, hepatosplenomegali, DM, trombositopenia, purpura, anemia dan perubahan pada tulang. Diagnosis: Skrining serologis untuk prenatal tidak dilakukan secara rutin. Saring diagnosis klinis dengan adanya satu atau lebih gejala klinis khusus Sindroma Rubella. Isolasi virus dari spesimen cairan otak/ LCS, usap tenggorok, kandung kemih, sekitar 1 hari sebelum keluarnya eksantema. Pemeriksaan serologi: HI test atau Fiksasi Komplemen sekarang dianggap kurang efisien karena harus tunggu 4 kali kenaikan titer antibodi dengan masa tenggang 1 bulan. Sekarang dengan memantau titer IgM/IgG dengan imunoesai (Mikro-Elisa) dari Medix Biotech, USA. Terapi: Roboransia. Terapi khusus belum ada. Vaksinasi sebelum nikah dengan vaksin MMR. Prognosis: Pada infeksi trimester pertama umumnya fatal, trimester dua cukup berat, dan setelah 20 minggu biasanya ringan.

82

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 83/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pencegahan: Melakukan imunisasi pada orang dewasa, terutama wanita usia reproduksi. Vaksinasi memberi imunitas yang bertahan hingga 10 tahun. Vaksinasikan seluruh petugas rumah sakit yang berisiko/kontak dengan pasien dan berhubungan dengan wanita yang hamil. Tidak menengok bayi dengan ibu pasca infeksi. Memakai masker penutup pernafasan. C. Cytomegalovirus: Gejala klinis: Transmisi horizontal virus secara infeksi tetes dan kontak dengan air liur dan urine, serta transmisi vertikal dari ibu ke janin dan bayi, dan secara hubungan seksual. Setelah infeksi primer, virus akan menjadi laten. Infeksi maternal bersifat asimtomatik, tetapi sekitar 15% orang dewasa mengalami demam, faringitis, limfadenopati, dan poliartritis. Infeksi kongenital, disebut sitomegalik inklusif dapat menyebabkan lahir prematur, berat badan lahir rendah, mikrosefali, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, retardasi mental dan motorik, kekurangpekaaan saraf sensoris, hepatosplenomegali, ikterus, anemia hemolitik, dan purpura trombositopenik. Risiko: Infeksi yang terjadi pada awal kehamilan akan memperbesar risiko kelainan yang timbul. Penularan dari ibu ke janin bila terinfeksi selama kehamilan adalah 40%. 10-15 % janin yang terinfeksi akan lahir disertai gejala. 90% bayi yang lahir disertai gejala (ringan-berat) akan menimbulkan sekuele, sedangkan yang tanpa gejala akan menimbulkan sekuele 5-15%. Diagnosis: Infeksi primer didiagnosis atas dasar peningkatan 4 kali lipat titer IgG dalam serum atau lebih penting bila menemukan IgM CMV antibodi pada serum maternal. Apabila titer antibodi anti-CMV: IgM < 0,5 IU/mL; IgG > 6 IU/mL menunjukkan infeksi CMV telah berlalu. Titer antibodi anti-CMV IgM optimal dicapai pada waktu 4-7 minggu setelah infeksi primer. Differensial diagnosis penderita dengan antibodi heterofil mononukleosis negatif adalah penyakit serokonversi HIV.

83

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 84/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Terapi: Tidak ada terapi yang efektif untuk infeksi maternal. Pemberian Ganciclovir oral bagi penderita dewasa tidak pernah efisien, karena bioavailabilitasnya sangat jelek. Prognosis: Pada infeksi trimester pertama umumnya fatal, trimester dua cukup berat, dan setelah 20 minggu biasanya ringan. Pencegahan: Selalu mencuci tangan setelah menolong penderita CMV. D. Virus Herpes Simpleks: Herpes Simpleks atau genitalis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh HSV2 (84% kasus) di mukosa alat kelamin dan sebagian kecil HSV1 di mukosa mulut. Gejala klinis: Infeksi Herpes pada wanita hamil dapat menimbulkan kematian pada bayi yang baru lahir pada 50% kasus. Gejala pada bayi berupa lepuh pada kulit (tidak selalu muncul), radang mata, radang hati, radang otak, dll. Wanita hamil yang terinfeksi oleh HSV2 harus ditangani secara serius, karena virus dapat menembus plasenta, sehingga menimbulkan persalinan prematur, berat badan lahir rendah, dampak kongenital dan kematian janin. Kelainan kongenital yang terjadi mikrosefali, mikrooftalmia, korioretinitis, kalsifikasi intrakranial, konjungtivitis dan katarak, hepatosplenomegali serta ikterus, vesikel dan petekie. Diagnosis: Masa inkubasi sekitar 3-7 hari atau lebih lama. Manifestasi bervariasi dari asimtomatis (50%-70%) sampai gejala yang berat. Biasanya didahului rasa terbakar dan gatal pada daerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelum timbulnya lesi. Setelah lesi timbul, baru diikuti gejala konstitusi, seperti malaise, demam, nyeri otot, serta nyeri syaraf. Pada kulit terbentuk vesikel berkelompok dengan dasar eritem, mudah pecah, dan menimbulkan erosi multipel. Penyembuhan terjadi dalam 5-7 hari dan tidak terjadi jaringan parut, kecuali terjadi infeksi sekunder. Infeksi primer dapat berkembang menjadi laten dengan rekurensi berulang.

84

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 85/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Serologi: antibodi terhadap HSV1 berupa IgM-IgG dengan tes Elisa, antibodi terhadap HSV2 berupa IgM-IgG dengan tes Elisa. Terapi: Pengobatan non-spesifik dengan imunomodulator seperti Isoprinosin, analgetika, antiseptik povidone iodine untuk mengeringkan lesi. Pengobatan spesifik dengan obat antiviral Asiklovir dengan dosis 5 x 200 mg selama 5 hari. Dapat diberikan pada penderita infeksi mukokutan dengan defisiensi imunitas, kelainan ginjal dengan dosis yang lebih rendah. Tidak mempunyai efek teratogenik tetapi tidak dianjurkan pemakaiannya pada wanita hamil Pencegahan: Proteksi individual dengan menggunakan kondom Vaksinasi dengan vaksin HSV rekombinan.

33. Ketuban Pecah Dini Definisi: Pecahnya selaput ketuban (amnion dan khorion) tanpa diikuti persalinan pada kehamilan aterm atau pecahnya ketuban pada kehamilan preterm. Dibedakan PPROM (Preterm Premature Rupture of Membrane) yaitu ketuban pecah pada saat usia kehamilan < 37 minggu; PROM (Premature Rupture of Membrane) yaitu ketuban pecah pada saat usia kehamilan 37 minggu. Prinsip dasar: 60-70% ketuban pecah dini (KPD) berhubungan dengan infeksi. Air ketuban berfungsi untuk memberi ruang kepada janin untuk bergerak sehingga tidak terjadi flaksiditas otot ekstremitas dan berkembangnya paru. Air ketuban penting untuk menghilangkan friksi kinetik yang terjadi pada persalinan akibat tidak bullet shape-nya janin. Pada kehamilan preterm, pecahnya ketuban akan merangsang persalinan dan kelahiran (50% persalinan preterm dengan KPD akan berakhir dengan kelahiran).

85

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 86/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Diagnosis: Umur kehamilan > 20 minggu. Keluar cairan ketuban dari vagina. Pemeriksaan spekulum: terlihat cairan keluar dari ostium uteri eksternum. Kertas nitrazin merah akan jadi biru (lakmus merah akan jadi biru). Mikroskopis: terlihat lanugo dan verniks kaseosa. Diagnosis banding: Fistula vesikovaginal dengan kehamilan. Stres inkontinensia. Pemeriksaan penunjang: USG: menilai jumlah cairan ketuban, menentukan usia kehamilan, berat janin, letak janin, kesejahteraan janin, dan letak plasenta. Manajemen: A. Konservatif: Pengelolaan konservatif dilakukan bila tidak ada penyulit, baik pada ibu maupun janin, pada umur kehamilan 28-36 minggu, dirawat selama 2 hari. Selama perawatan dilakukan: 1. Observasi kemungkinan adanya amnionitis/tanda-tanda infeksi. Ibu: suhu > 38C, takikardi ibu, lekositosis, tanda-tanda infeksi intrauterin, rasa nyeri pada rahim, sekret vagina purulen. Janin: takikardi janin. 2. Pengawasan timbulnya tanda-tanda persalinan. 3. Pemberian antibiotika: Ampisilin 4 x 500 mg, atau Eritromisin 4 x 500 mg dan Metronidasol 2 x 500 mg selama 3-5 hari. 4. USG untuk menilai kesejahteraan janin. 5. Bila ada indikasi untuk melahirkan janin, dilakukan pematangan paru janin. Deksametason 5 mg tiap 12 jam sampai 4 dosis secara IM. Betametason 12 mg sampai 2 dosis dengan interval 24 jam secara IM. Kriteria diagnosis amnionitis: Febris. Lekositosis.

86

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 87/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Takikardi. Cairan ketuban mungkin berbau.

B. Aktif: Pengelolaan aktif pada KPD dengan umur kehamilan 20-38 minggu dan 37 minggu. Ada tanda-tanda infeksi. Timbulnya tanda-tanda persalinan. Gawat janin. Komplikasi: Infeksi dan sepsis. Kematian janin karena infeksi atau prematuritas. Prognosis: Sangat variatif bergantung maturitas paru dan ada atau tidaknya infeksi, pada usia kehamilan < 32 minggu semakin muda kelahiran semakin buruk prognosisnya.

87

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 88/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

34. Kematian Janin dalam Rahim Definisi: Kematian janin ketika masih dalam rahim yang beratnya lebih dari 500 gram atau umur kehamilan lebih dari 20 minggu. Etiologi: Kelainan kromosom. Infeksi. Diabetes Melitus. Gemelli. Anomali organ reproduksi. Rhesus iso-imunisasi. Insufisiensi plasenta. Trauma psikis/fisik. Tidak diketahui. Diagnosis: Uterus yang hamil tidak bertambah besar, bahkan semakin mengecil. Tidak lagi merasakan gerakan janin. Tidak ditemukan bunyi jantung janin pada pemeriksaan. Bentuk uterus menjadi tidak tegas sebagaimana suatu kehamilan normal. Bila kematian janin telah berlangsung lama, dapat dirasakan krepitasi, yakni akibat penimbunan gas dalam tubuh janin. Diagnosis banding:

88

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 89/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Mioma uteri. Mola Hidatidosa.

Pemeriksaan penunjang: USG: tidak ditemukan bunyi jantung janin dan gerakan janin, seringkali tulang-tulang letaknya tidak teratur atau tidak tegas, khususnya tulang tengkorak sering dijumpai overlapping (spalding sign). Foto rontgen abdomen polos: ditemukan tanda spalding dan tulang punggung lebih melengkung, posisi janin abnormal dan penimbunan gas dalam tubuh janin. Pemeriksaan darah lengkap, karena kemungkinan adanya gangguan pembekuan darah (DIC), terutama kadar fibrinogen. Manajemen: Lahirkan janin setelah dilakukan pemeriksaan lengkap untuk mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul. Pilihan utama adalah terminasi secara pervaginam. Pasif: menunggu persalinan spontan dalam waktu 2-4 minggu dan harus dilakukan pemeriksaan kadar fibrinogen setiap minggu. Aktif: dilakukan induksi persalinan dengan menggunakan infus Oksitosin, bila perlu dilakukan pembukaan serviks dengan memasang batang laminaria atau pemasangan kateter Foley intrauterin selama 24 jam. Indikasi tindakan aktif adalah: - Permintaan penderita. - Janin diketahui telah meninggal 4 minggu atau lebih. - Kadar fibrinogen rendah kurang dari 150 mg/dL. - Telah memasuki persalinan. Patologi: Rigor mortis (tegang mati): Berlangsung 2,5 jam setelah kematian, kemudian lemas kembali. Stadium maserasi I: Timbulnya lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh ini mula-mula terisi cairan jernih, tetapi kemudian menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah anak mati. Stadium maserasi II: Timbul lepuh-lepuh yang pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat. Terjadi 48 jam setelah anak mati.

89

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 90/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Stadium maserasi III: Terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan janin sangat lemas dan hubungan antara tulang-tulang sangat longgar. Edema di bawah kulit.

Komplikasi: Terjadi gangguan pembekuan darah akibat penurunan kadar fibrinogen. Perforasi sebagai akibat tindakan waktu melahirkan janin secara embriotomi. Informed consent: Perlu dilakukan secara tertulis.

90

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 91/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

35. Infeksi Intrauterin dalam Kehamilan dan Persalinan Definisi: Infeksi rahim (korioamnionitis, amnionitis, infeksi intraamnion) yang terjadi dalam kehamilan atau persalinan, yang ditandai oleh suhu tubuh meningkat (> 38 C), lekositosis, dan sisa cairan ketuban yang berbau busuk dan keruh. Faktor predisposisi: KPD. Distosia/partus lama. Pemeriksaan dalam yang terlalu sering. Anemia. Kurang gizi. Servisitis. Vaginitis. Manajemen: Pemberian antibiotika spektrum luas, biasanya Amoksisilin 3 x 1 gram IV, Gentamisin 2 x 80 mg IV dengan syarat fungsi ginjal baik, dan Metronidasol 2 x 500 mg IV selama 3 hari. Terminasi kehamilan. Persalinan sedapat mungkin per-vaginam. Seksio sesarea hanya atas indikasi obstetri, misal CPD, letak lintang. Jika dilakukan seksio sesarea, dipasang drain intraperitoneal di kavum Douglasi. Bayi dapat menyusui dan rawat gabung bila syarat terpenuhi. Observasi kemungkinan adanya sepsis pascasalin. Komplikasi: Sepsis/syok septik bahkan kematian. Perdarahan pascasalin. Subinvolusi rahim. Luka episiotomi atau operasi seksio sesarea terbuka sampai dengan burst abdomen.

91

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 92/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Informed consent: Perlu dilakukan secara tertulis dan jelaskan pelbagai alternatif tindakan yang akan dilakukan serta kemungkinan keberhasilan dan kegagalannya (prognosis). Prinsip pemulangan pasien dilakukan setelah bebas febris tiga hari.

36. Plasenta Previa Definisi: Implantasi plasenta pada segmen bawah uterus, lebih rendah dari bagian terbawah janin pada usia kehamilan > 20 minggu. Prinsip dasar: Etiologi masih belum diketahui, insiden meningkat sesuai usia, paritas, riwayat seksio sesarea 1 kali 0.65%, 3 kali 2,2% dan 4 kali 10%. Plasenta letak rendah terdapat pada 28% kehamilan < 24 minggu, karena segmen bawah uterus belum terbentuk. Sesuai dengan membesarnya segmen atas uterus dan terbentuknya segmen bawah uterus maka plasenta akan berpindah posisinya ke atas (migrasi plasenta). Maka USG harus diulang pada kehamilan 32-34 minggu. Risiko terhadap maternal dan janin: perdarahan pascasalin, komplikasi anestesi dan bedah, emboli udara, sepsis pascasalin, plasenta akreta, rekurensi 4-8%, prematuritas, IUGR, malformasi kongenital, malpresentasi, anemia janin. Perdarahan awal ringan, perdarahan ulangan lebih berat sampai syok, umumnya perdarahan awal terjadi pada 33 minggu. Pada perdarahan < 32 minggu waspada infeksi traktus urinarius, vaginitis, dan servisitis.

92

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 93/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Faktor predisposisi: Grande multipara. Riwayat kuretase berulang. Klasifikasi: Plasenta letak rendah: plasenta pada segmen bawah uterus dengan tepi tidak mencapai ostium uteri internum. Plasenta previa marginalis: tepi plasenta letak rendah mencapai ostium uteri internum tetapi tidak menutupi ostium uteri internum. Plasenta previa parsialis: plasenta menutupi sebagian ostium uteri internum. Plasenta previa totalis (komplit): plasenta menutupi seluruh ostium uteri internum. Diagnosis: Perdarahan per-vaginam yang merah terang/segar, tanpa disertai nyeri/kontraksi rahim pada kehamilan trimester II-III, puncak insiden pada kehamilan 34 minggu. Perdarahan dari jalan lahir biasanya berulang. Bagian terendah janin belum memasuki PAP. Sering disertai malpresentasi (letak sungsang atau lintang). USG, plasentografi, MRI. Pemeriksaan spekulum: tampak perdarahan dari ostium uteri internum, perabaan fornises dan periksa dalam di meja operasi (PDMO) (double set up). Pemeriksaan penunjang: Laboratorium: golongan darah, kadar Hb, hematokrit, waktu perdarahan dan waktu pembekuan. USG: untuk mengetahui jenis plasenta previa dan taksiran berat badan janin. Manajemen: Ekspektatif: Syarat: keadaan umum ibu dan anak baik. Perdarahan sedikit. Usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau taksiran berat badan janin kurang dari 2500 gram. Tidak ada his persalinan.

93

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 94/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Penatalaksanaan: pasang infus dan tirah baring; bila ada kontraksi prematur bisa diberi obat tokolitik; pemantauan kesejahteraan janin dengan USG dan CTG setiap minggu, pematangan paru pada janin 28-34 minggu.

Aktif: Persalinan per-vaginam: Dilakukan pada plasenta letak rendah, plasenta marginalis, atau plasenta previa lateralis di anterior (dengan anak letak kepala). Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan USG, perabaan fornises atau PDMO. Dilakukan pemecahan ketuban dan disertai drip Oksitosin. Perhatian khusus pada plasenta previa pada bekas seksio sesarea untuk kemungkinan terjadinya plasenta akreta/inkreta/perkreta (insidens meningkat 30%). Persalinan per-abdominam: Terminasi per-abdominam dilakukan bila terjadi perdarahan per-vaginam yang masif/banyak atau mengancam keselamatan terutama ibu dan janin. Seksio sesarea elektif pada kehamilan 37 minggu atau taksiran berat badan janin 2500 gram, terutama pada plasenta previa totalis, plasenta previa lateralis di posterior, plasenta letak rendah dengan anak letak sungsang. Perhatian khusus pada plasenta previa dengan bekas seksio sesarea untuk kemungkinan terjadinya plasenta akreta/inkreta/perkreta (insidens meningkat 30%). Komplikasi: Anemia. Syok akibat perdarahan banyak. Lost coagulopathy karena perdarahan banyak. Informed consent: Perlu dilakukan secara tertulis dan jelaskan pelbagai alternatif tindakan yang akan dilakukan serta kemungkinan keberhasilan dan kegagalannya (prognosis). Prognosis: Bervariasi, tergantung kondisi ibu dan janin, dan komplikasi.

94

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 95/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

37. Plasenta Akreta Definisi: Terdapatnya villi korionik yang berhubungan langsung dengan miometrium tanpa desidua diantaranya. Prinsip dasar: Desidua endometrium merupakan barier atau sawar untuk mencegah invasi villi plasental ke miometrium uterus. Pada plasenta akreta, tidak terdapat desidua basalis atau perkembangan tidak sempurna dari lapisan fibrinoid. Jaringan ikat pada endometrium dapat merusak barier desidual, misalnya skar uterus sebelumnya, kuretase traumatik, riwayat infeksi sebelumnya dan multiparitas. Klafisikasi: Plasenta inkreta: invasi ke miometrium. Plasenta prekreta: invasi ke serosa uterus atau organ yang berdekatan seperti kandung kemih. Diagnosis: Pada kala III persalinan plasenta belum lahir setelah 30 menit dan perdarahan banyak, atau jika dibutuhkan manual plasenta dan sulit. Antenatal dengan USG: hilangnya zona hipoekoik normal miometrium antara plasenta previa anterior dan serosa uterus, penipisan area fokal atau terputusnya kesinambungan ekhodens serosa uterus dan dinding posterior kandung kemih, massa nodular plasenta meluas ke serosa uterus, gambaran vaskular yang menonjol dalam parenkim plasenta. Manajemen: Jalur intravena besar (no. 16 atau 18). Tipe dan tes silang darah: 4 unit PRC.

95

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 96/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Bila persalinan per-vaginam, double set up untuk kemungkinan laparotomi histerektomi. Jika tidak perlu preservasi uterus atau perdarahan banyak, histerektomi pilihan terbaik. Jika diperlukan preservasi uterus: - Manual plasenta, uterotonik dan antibiotika pada akreta fokal. - Reseksi lokal dan repair. - Kuretase kavum uterus dan meninggalkan plasenta insitu pada kasus dengan perdarahan tidak aktif. Pada kasus plasenta previa, tanpa invasi ke kandung kemih dapat dilakukan tampon pada segmen bawah uterus selama 24 jam atau dengan folley kateter besar, jahitan sirkular satu-satu segmen bawah uterus pada permukaan serosa uterus, atau embolisasi pembuluh darah pelvik.

Prognosis: Bervariasi tergantung invasinya dan jumlah perdarahan yang terjadi.

38. Vasa Previa Definisi: Pembuluh darah plasenta dari sirkulasi janin yang melintasi ostium uteri internum serviks. Prinsip dasar: Dilatasi serviks dan pecahnya membran amnion dapat membuat laserasi pembuluh darah janin ini dengan kematian janin sampai 50-90%. Vasa previa dapat terjadi pada 3 kondisi: 1. Pembuluh darah yang menghubungkan lobus suksenturiata ke segmen utama plasenta melintasi serviks. 2. Insersi vilamentosa tali pusat. 3. Insersi tali pusat marginal pada tepi plasenta letak rendah. Diagnosis: Palpasi pembuluh darah pada membran janin yang menonjol saat pemeriksaan dalam.

96

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 97/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Tes Apt. Sel darah merah dengan nukleasi secara mikroskopik. USG transvaginal dengan Doppler dan color flow imaging.

Manajemen: Seksio sesarea emergensi. Prognosis: Mortalitas janin mencapai 50-90% dengan laserasi vasa previa.

39. Solusio Plasenta Definisi: Lepasnya sebagian atau seluruh plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada dinding uterus sebelum janin lahir.

97

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 98/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Prinsip dasar: Etiologi primer masih belum diketahui. Insidennya meningkat berkaitan dengan faktor-faktor predisposisi seperti usia ibu lanjut, multiparitas, riwayat syok maternal, nutrisi buruk, hipertensi, korioamnionitis, dekompresi mendadak setelah ketuban pecah pada uterus yang overdistensi seperti persalinan kembar dan polihidramnion, gemelli anak kedua, trauma abdomen, versi sefalik eksternal, plasenta sirkumvalata, defisiensi asam folat, kompresi vena cava inferior dan antikoagulan lupus. Pada pengguna rokok dan kokain, nekrosis desidual pada tepi plasenta. Rekurensi 5-17% setelah 1 episode pada kehamilan sebelumnya dan 25% setelah 2 episode kehamilan sebelumnya. Risiko terjadinya syok hipovolemik, gagal ginjal akut, DIC, perdarahan pascasalin dan perdarahan fetomaternal. Klasifikasi: Ringan: - Perdarahan sedikit, baik per-vaginam maupun retroplasenter. - Perdarahan yang keluar kurang dari 100-200 cc. - Uterus tidak tegang. - Belum ada renjatan. - Ibu dan janin dalam keadaan baik. - Kadar fibrinogen plasma lebih dari 250 mg%. Sedang: - Perdarahan lebih dari 200 cc. - Uterus tegang. - Terdapat tanda renjatan. - Gawat janin atau janin mati. - Kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%. Berat: - Perdarahan per-vaginam banyak. - Uterus tegang dan kontraksi tetanik. - Terdapat renjatan. - Janin biasanya sudah mati. Diagnosis: Gejala klinik:

98

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 99/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Perdarahan dari jalan lahir dengan atau tanpa disertai nyeri (tergantung derajat solusio plasenta). Trias Virchows yaitu nyeri uterus fokal atau umum, tonus meningkat, dan perdarahan vaginal (85%), dan 15 % pada tipe concealed. Palpasi bagian-bagian janin biasanya sulit karena uterus pada umumnya tegang. Janin bisa dalam keadaan baik, takikardi janin, gawat janin atau IUFD (tergantung derajat solusio plasenta). Pada pemeriksaan dalam bila ada pembukaan teraba ketuban yang tegang dan menonjol.

Pemeriksaan penunjang: USG: membantu pada tipe concealed yaitu area sonolusen retroplasenter (implantasi plasenta normal dengan gambaran hematom retroplasenter), serta dapat menentukan lokasi plasenta untuk membedakan dengan plasenta previa. Laboratorium: 1. Bed side clotting test (clot retraction test), untuk menilai fungsi pembekuan darah/penilaian tidak langsung kadar fibrinogen. Cara: - Ambil 2 cc darah vena dan masukkan kedalam tabung kemudian di observasi. - Genggam bagian tabung yang berisi darah. - Setelah 4 menit, miringkan tabung untuk melihat lapisan koagulasi di permukaan tabung. - Lakukan hal yang sama setiap menit. Interpretasi: - Bila bagian permukaan tidak membeku dalam waktu 7 menit, maka diperkirakan titer fibrinogen di bawah nilai normal (kritis). - Bila terjadi pembekuan tipis yang mudah robek saat tabung dimiringkan, keadaan ini juga menunjukkan kadar fibrinogen di bawah ambang normal. 2. Pemeriksaan darah untuk fibrinogen, trombosit, waktu perdarahan dan waktu pembekuan. Manajemen: Solusio derajat ringan:

99

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 100/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Sangat jarang ditemukan di RS. Pada umumnya didiagnosis secara kebetulan pada pemeriksaan USG oleh karena tidak memberikan gejala klinis yang khas. Biasanya perdarahan berhenti, kontraksi uterus tidak ada, janin hidup. Tirah baring. Atasi anemia. Pematangan paru hingga kehamilan 35 minggu. USG serial untuk evaluasi ketat jumlah perdarahan retroplasenter. CTG serial bila keadaan memungkinkan. Tunggu persalinan spontan. Solusio derajat sedang/berat: Perbaikan keadaan umum: - Resusitasi cairan/transfusi darah. Berikan darah lengkap segar. Jika tidak tersedia, pilih salah satu dari plasma beku segar, PRC, kriopresipitat, konsentrasi trombosit. - Atasi kemungkinan gangguan perdarahan. Melahirkan janin: Janin hidup (biasanya gawat janin) segera dilakukan seksio sesarea, kecuali bila pembukaan sudah lengkap. Pada keadaan ini, dilakukan amniotomi dan drip Oksitosin. Janin mati dapat dilakukan persalinan per-vaginam dengan cara melakukan amniotomi dan drip Oksitosin 1 labu saja. Bila bayi belum lahir dalam waktu 6 jam, dilakukan tindakan seksio sesarea. Komplikasi: Anemia. Syok karena perdarahan dan nyeri. DIC. Uterus Couvellaire yang kemudian seringkali mengakibatkan atonia uteri dan kemungkinan perlunya tindakan histerektomi supravaginal. Prognosis: Bervariasi, tergantung derajat beratnya solusio dan komplikasinya. Informed consent: Perlu dibuat sehubungan dengan kemungkinan tindakan yang akan diambil (tindakan operatif) seperti seksio sesarea dan histerektomi, maupun kemungkinan bayi lahir dalam keadaan asfiksia berat ataupun meninggal.

100

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 101/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

101

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 102/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

40. Inversio Uteri Definisi: Komplikasi kala III persalinan dimana lahirnya sebagian plasenta diikuti lahirnya sebagian maupun seluruh fundus uteri yang dapat mengakibatkan perdarahan banyak dan syok pada ibu. Prinsip dasar: Etiologinya belum diketahui secara lengkap. Dapat juga disebabkan kesalahan manajemen kala III, manuver Crede, manual plasenta yang terlalu cepat, tali pusat pendek dengan insersi fundal pada plasenta, peningkatan tekanan intraabdominal dengan relaksasi uterus. Klasifikasi: Inkomplit: korpus tidak melewati serviks. Komplit: korpus melewati serviks. Prolapsus: korpus keluar melalui introitus vagina. Inversi subakut: korpus telah menonjol ke serviks dimana serviks dan segmen bawah uterus telah berkontraksi. Manajemen: Atasi syok dengan resusitasi cairan. Relaksasi uterus dengan anestesi Halotan atau betamimetik, atau Nitrogliserin atau MgSO4 pada keadaan hipotensi. Reposisi uterus ke posisi normal secara manual tanpa melahirkan plasenta lebih dahulu. Bila gagal dapat dilakukan metode OSullivan dengan tekanan hidrostatik. Setelah koreksi uterus, diberikan uterotonik Oksitosin 40 IU dalam 1.000 cc kristaloid dan Prostaglandin. Jika reposisi secara manual gagal atau pada inversio uteri subkronik, dilakukan laparotomi dengan teknik Haultain. Teknik reposisi: Reposisi Manual menurut Metode Johnson : Reposisi manual dengan metode Johnson terutama dilakukan pada kasus inversio akut. Reposisi dilakukan dalam anestesi umum. Obat anestesi yang digunakan sebaiknya Halotan karena memberikan efek relaksasi uterus.

102

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 103/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Setelah dilakukan anestesi umum, tangan operator masuk ke dalam vagina dengan ujung jari pada sambungan uterus serviks, telapak tangan memegang dan mengangkat uterus sehingga masuk ke dalam rongga abdomen di atas umbilikus. Seluruh ligamentum menjadi teregang sehingga akan membuka serviks lebih lebar dan uterus dapat masuk melalui serviks yang terbuka tersebut. Uterus dipertahankan dalam posisi elevasi ini selama 3-5 menit. Jika plasenta masih melekat jangan diganggu sampai uterus selesai direposisi, kecuali reposisi tidak mungkin dilakukan tanpa pelepasan plasenta. Bila plasenta sudah terlepas atau terlepas sebagian, maka dilakukan pelepasan plasenta. Sebelumnya darah sudah tersedia karena dapat terjadi perdarahan. Selanjutnya tangan operator dikepalkan dan didorong perlahan-lahan ke arah atas pada fundus uteri yang mengalami inversi. Reposisi ini akan berhasil bila uterus relaksasi dan cincin kontriksi belum terbentuk. Selanjutnya tangan operator yang di dalam uterus tetap dipertahankan, sedangkan tangan luar melakukan masase uterus. Bersamaan dengan itu oksitosin dapat diberikan untuk menjamin kontraksi uterus. Setelah reposisi berhasil obat anestesi segera dihentikan dan kontraksi uterus dipantau terus. Selanjutnya dipasang tampon uterovagina dan diangkat setelah 24 jam. Tindakan operatif Pada inversio kronis reposisi manual tidak mungkin dilakukan karena cincin kontriksi sudah mengecil, menghalangi masuknya korpus uteri yang terbalik. Pada keadaan ini reposisi dilakukan dengan tindakan operatif. Teknik operasi dapat dilakukan dengan cara perabdominal atau pervaginal. Teknik Perabdominal: 1. Huntington: penarikan korpus uteri. 2. Haultain: dilakukan pemotongan bagian belakang segmen bawah uterus kemudian korpus uteri ditarik ke posisi normal. 3. Histerektomi. Teknik Pervaginal: 1. Spinelli: melakukan pemotongan cincin di bagian depan (kolpotomi anterior). 2. Kustner: melakukan pemotongan cincin di bagian belakang (kolpotomi posterior). 3. Histerektomi vaginal. Teknik Huntington:

103

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 104/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Setelah rongga abdomen dan peritoneum dibuka, dilakukan eksplorasi, ligamentum rotundum serta adneksa kiri dan kanan diidentifikasi. Dinding uterus dipegang dengan beberapa klem Allis atau lainnya, kemudian ditarik ke atas secara perlahan-lahan sampai ke posisi normal. Selanjutnya luka operasi ditutup lapis demi lapis.

Teknik Haultain: - Setelah rongga abdomen dan peritoneum dibuka, dilakukan eksplorasi ligamentum rotundum serta adneksa kiri dan kanan diidentifikasi. - Dilakukan sayatan pada cincin serviks posterior sampai bagian bawah segmen uterus. - Fundus uteri dipegang dengan tenakulum dan ditarik sambil dibantu dengan dorongan dari bawah. - Luka sayatan pada serviks dan bagian bawah segmen uterus dijahit dengan dua lapisan. - Luka operasi ditutup lapis demi lapis. Teknik Spinelli: - Pada teknik ini setelah vulva dibeberkan dengan jahitan tegel, uterus ditarik kebawah. - Kemudian bibir depan serviks diidentifikasi selanjutnya disayat melintang dan dibebaskan dengan hati-hati menghindarkan kandung kencing. - Plika vesiko uterina diidentifikasi dan disayat. - Dinding depan uterus dipotong memanjang sampai korpus uteri. - Uterus diluksir melalui lubang kolpotomi anterior. - Perdarahan dirawat, lubang kolpotomi dijahit. Teknik Kustner: - Dilakukan pembukaan kavum Douglas dengan teknik kolpotomi posterior, yaitu dilakukan sayatan melintang pada forniks posterior dekat perbatasan mukosa vagina dan epitel serviks. - Serviks diangkat dengan tenakulum yang dipasang pada bagian posterior, mukosa vagina diregangkan ke atas dengan menggunakan pinset bedah dan disayat dengan gunting bengkok. - Dilakukan sayatan memanjang serviks dan dinding belakang uterus mencapai korpus uteri. - Uterus diluksir melalui lubang kolpotomi posterior. - Selanjutnya sayatan dinding belakang uterus dijahit.

104

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 105/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Perdarahan dirawat, lubang kolpotomi dijahit.

Prognosis: Pada umumnya baik.

105

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 106/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

41. Ruptura Uteri Definisi: Robeknya dinding rahim pada saat kehamilan atau persalinan dengan atau tanpa robeknya peritoneum. Prinsip dasar: Insiden 0.7% dalam persalinan. Faktor risiko, termasuk riwayat pembedahan uterus, hiperstimulasi uterus, multiparitas, versi internal atau ekstraksi, persalinan operatif , CPD, pemakai kokain. Klasifikasi: Ruptura uteri inkomplit: tidak termasuk peritoneum/perimetrium. Ruptura uteri komplit: kalau semua lapisan dinding rahim robek, termasuk peritoneum viseral. Ruptura uteri iminens (Kerobekan Rahim Mengancam): suatu keadaan dimana rahim telah menunjukkan tanda-tanda yang jelas akan mengalami ruptura, yakni dengan dijumpai lingkaran retraksi Bandl yang semakin tinggi melewati batas pertengahan antara simfisis pubis dan pusat. Ruptura uteri dehisens: terpisahnya skar pada segmen bawah uterus tidak mencapai serosa dan jarang menimbulkan perdarahan banyak. Predisposisi: Luka robekan uterus sebelum terjadinya kehamilan sekarang. - Seksio sesarea atau histerotomi. - Histerorafi. - Miomektomi. - Reseksi kornu. - Metroplasti. - Trauma oleh alat pada saat tindakan/pertolongan abortus (sondase, kuretase). Cidera uterus pada saat kehamilan sekarang:

106

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 107/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

a. Sebelum persalinan: trauma luar, berupa trauma tajam dan tumpul, serta versi luar. b. Saat persalinan: pemberian Oksitosin/Prostaglandin, ekstraksi forseps, tindakan embriotomi, tindakan Kristeller/dorongan pada fundus yang berlebihan, hidrosefalus yang menyebabkan segmen bawah rahim sangat teregang, CPD. Diagnosis: Identifikasi faktor risiko atau predisposisi seperti parut operasi, multiparitas, stimulasi uterus, persalinan operatif, CPD, dll. Nyeri perut mendadak dengan tanda-tanda adanya perdarahan intraabdominal. Tanda-tanda akut abdomen: nyeri perut spontan, nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan disertai dinding perut tegang seperti papan (wooden abdomen). Perdarahan per-vaginam bisa sedikit atau banyak. Syok dengan gambaran klinis yang biasanya tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar, karena adanya perdarahan intraabdominal. Kadang-kadang disertai sesak nafas/nafas cuping hidung atau nyeri bahu akibat penekanan dan perangsangan diafragma oleh darah intraabdominal yang banyak. His negatif. Bagian janin teraba langsung di bawah kulit dinding perut. Gawat janin atau bunyi jantung janin tidak terdengar. Urine bercampur darah/hemoragis, bila dinding vesika urinaria sudah ikut terlibat dengan robekan tersebut. Diagnosis banding: Akut abdomen pada kehamilan abdominal/ektopik lanjut. Pemeriksaan penunjang: Pemeriksaan darah lengkap: Hb, Ht dan urine. USG: bila keadaan memungkinkan.

107

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 108/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Manajemen: Jalur intravena besar (no. 16 atau 18) untuk mengatasi syok dengan resusitasi cairan dan darah. Berikan antibiotika dan Oksigen. Laparotomi: tindakan histerektomi subtotalis atau histerorafi bergantung pada bentuk, jenis dan luas robekan. - Histerektomi subtotalis: bila fungsi reproduksi tidak diharapkan, kondisi buruk yang membahayakan ibu. Histerektomi subtotalis/supravaginal merupakan tindakan hemostasis segera karena ruptura uteri merupakan keadaan akut/emergensi sehingga tidak dianjurkan melakukan histerektomi totalis. - Repair uterus/histerorafi: bila wanita muda, masih mengharapkan fungsi reproduksinya, kondisi klinis stabil, ruptur yang tidak komplikasi. Rekurensi 4-10%, disarankan seksio sesaria elektif pada kehamilan 36 minggu atau maturitas paru janin telah terbukti. Ruptura uteri iminens: - Hentikan/kurangi kontraksi rahim (hentikan drip Oksitosin), berikan Oksigen 4-6 liter/menit. - Berikan analgetika yang reaksinya cepat (misalnya Ketoprofen supositoria), sekaligus dapat berfungsi sebagai tokolitik (anti prostaglandin). - Melahirkan bayi secepatnya, bila memenuhi syarat diusahakan agar dapat melahirkan per-vaginam dan bila syarat tidak terpenuhi dapat segera dilakukan tindakan seksio sesarea. Komplikasi: Syok ireversibel sampai dengan kematian. Sepsis. Luka yang meluas sampai ke kandung kemih dan vagina. Hematom pada daerah parametrium. Bisa terjadi fistula vesikovaginal. Prognosis: Bervariasi, tergantung kondisi klinis ibu dan banyaknya perdarahan. Informed consent:

108

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 109/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Harus dibuat dengan cermat dan hati-hati, karena tindakan operatif yang dilakukan terutama untuk menyelamatkan jiwa ibu, sedangkan bayi tidak termasuk prioritas penyelamatan.

109

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 110/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

42. Prolapsus Tali Pusat Definisi: Keadaan dimana tali pusat berada di samping atau melewati bagian terendah janin lahir setelah ketuban pecah. Disebut Tali Pusat Terkemuka/Terdepan, bila ketuban masih utuh. Prinsip dasar: Pada presentasi kepala, prolapsus uteri lebih berbahaya bagi janin. Terjadi gangguan adaptasi bagian bawah janin terhadap panggul, sehingga pintu atas panggul tidak tertutup oleh bagian bawah janin tersebut. Sering ditemukan pada partus prematurus, letak lintang, dan letak sungsang. Diagnosis: Tampak tali pusat yang keluar dari jalan lahir pada ketuban yang sudah pecah. Pada periksa dalam: adanya denyut tali pusat pada tali pusat menumbung yang pada umumnya diketahui setelah ketuban pecah. Bila ketuban belum pecah, maka didapatkan tali pusat terkemuka yang harus diperhatikan pada saat ketuban pecah. Bila janin telah mati, tidak akan teraba denyut tali pusat. Periksa dalam wajib dilakukan pada ketuban pecah dengan bagian terbawah janin belum masuk. Manajemen: Seksio sesarea segera pada janin hidup. Resusitasi janin terhadap kemungkinan hipoksia janin/gawat janin. Reposisi tali pusat dengan cara ibu ditidurkan dalam posisi Trendelenberg atau meninggikan bokong ibu dengan bantal sehingga tidak terjadi penekanan tali pusat.

110

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 111/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Partus per-vaginam pada janin mati.

Prognosis: Untuk ibu baik. Untuk janin dubia.

43. Letak Sungsang Definisi: Kehamilan dengan letak anak memanjang dimana bokong/kaki menjadi bagian yang terendah. Prinsip dasar: 25% pada kehamilan 28 minggu dijumpai sungsang namun hanya 3-5% yang tetap sungsang hingga kehamilan aterm. Setiap kelainan presentasi cari penyebabnya dengan melakukan pemeriksaan fisik maupun ultrasonografi. Klasifikasi: Presentasi bokong murni. Presentasi bokong kaki. Presentasi kaki.

111

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 112/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Faktor predisposisi: Umumnya penyebab letak sungsang tidak jelas, tapi ada beberapa faktor predisposisi: Multiparitas. Bayi kembar. Hidramnion. Oligohidramnion. Hidrosefal. Anensefal. Letak sungsang pada kehamilan sebelumnya. Anomali uterus. Tumor-tumor dalam panggul. Diagnosis: Dengan pemeriksaan luar/Leopold. Pemeriksaan penunjang: USG dilakukan pada usia kehamilan 32-34 minggu untuk mengetahui kelainan janin dan kelainan di luar janin yang menyebabkan letak sungsang tsb. Manajemen: Jika tidak dijumpai penyebab definitif sungsang dan telah dilakukan informed consent pasien maka dapat dicoba versi luar pada kehamilan 36 minggu (mencegah komplikasi preterm dan dengan keberhasilan 40-60%). Pada primigravida yang tidak dapat diversi luar metode kelahiran terpilih adalah seksio sesarea ( Evidence Based Medicine: 2B). Pemantauan jalannya persalinan dengan partograf, jika melambat/distosia sebaiknya dilakukan pengakhiran per-abdominam. Dalam kehamilan: Dilakukan versi luar pada usia kehamilan 37 minggu. Dalam persalinan: Bisa dicoba dilakukan versi luar. Bila versi luar tidak berhasil, perhatikan keadaan sbb: - Panggul sempit. - Anak mahal.

112

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 113/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Primi tua. Taksiran Berat Badan Janin 3.500 gram. Presentasi kaki, kecuali TBBJ < 1.800 gram. Bila didapatkan salah satu keadaan tersebut di atas, maka persalinan dilakukan per-abdominam. Bila keadaan di atas tidak ada, persalinan direncanakan per-vaginam dengan memperhatikan keadaan sbb: - Persalinan harus lancar. - Awasi kemungkinan tali pusat menumbung pada ketuban yang sudah pecah. - Drip Oksitosin dibatasi hanya 1 labu. - Dilakukan penilaian skor Zatuchni Andros. Dalam kala II: Dapat dilakukan persalinan spontan Bracht. Dalam keadaan tertentu dapat dilakukan Manual aid sesuai dengan keadaan dan kompetensi penolong. Manual aid: Manual aid (partial breech extraction/assisted breech delivery) atau ekstraksi parsial diartikan janin dilahirkan sebagian dengan tenaga dan kekuatan ibu dan sebagian lagi dengan tenaga penolong. Biasanya letak sungsang dapat lahir spontan sampai pusat lahir karena rintangan baru timbul pada kelahiran bahu. Jika pusat sudah lahir dan tidak ada kemajuan, misalnya karena his lemah atau karena rintangan bahu, kita tidak boleh menunggu terlalu lama karena pada saat ini kepala mulai masuk ke dalam rongga panggul dan tali pusat akan tertekan di antara kepala dan dinding panggul hingga anak harus dilahirkan dalam waktu 8 menit setelah tali pusat lahir. Dalam hal ini, untuk melahirkan anak kita pergunakan ekstraksi parsial. Ekstraksi total pada persalinan sungsang sudah ditinggalkan. Persalinan sungsang melalui tiga tahap. Tahap pertama: lahirnya bokong sampai pusar yang dilahirkan dengan kekuatan tenaga ibu sendiri. Tahap kedua: lahirnya bahu dan lengan yang memakai tenaga penolong. Cara untuk melahirkan bahu dan lengan ialah: - Cara Klasik (Deventer): melahirkan lengan dan bahu belakang lebih dahulu. Sebaiknya dipergunakan jika bahu masih tinggi.

113

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 114/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Cara Mueller: melahirkan lengan dan bahu depan lebih dahulu. Sebaiknya dipergunakan jika bahu terhenti di pintu bawah panggul. - Cara Lovset: memutar badan janin dalam setengah lingkaran bolak-balik sambil dilakukan traksi curam ke bawah sehingga bahu yang sebelumnya berada di belakang akhirnya lahir di bawah simfisis. Tahap ketiga: melahirkan kepala. Cara untuk melahirkan kepala ialah: - Cara Mauriceau. - Cunam Piper.

Prognosis: Bergantung kondisi ibu dan janin serta pertolongan persalinan. 44. Letak Muka Definisi: Letak muka adalah letak kepala dengan defleksi maksimal. Etiologi: Panggul sempit. Bayi besar. Multiparitas. Lilitan tali pusat di leher. Pembesaran leher yang mencolok. Anensefalus. Diagnosis: Biasanya ditegakkan dalam persalinan: 1. Pemeriksaan luar: - Tonjolan kepala sepihak dengan bokong. - Ditemukan sudut Fabre. - Bunyi jantung janin sepihak dengan bagian kecil. 2. Pemeriksaan dalam: - Teraba pinggir orbita, hidung, tulang pipi, mulut dan dagu. Dikatakan engagement: bila bagian terendah sampai di station + 4. Manajemen:

114

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 115/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Kala I: observasi sampai pembukaan lengkap. KalaII: setelah dipimpin meneran kemudian didapatkan - Bila dagu di depan: persalinan pervaginam (lahir spontan atau ekstraksi forseps). - Bila dagu tetap di belakang: lakukan seksio sesarea.

45. Letak Dahi Definisi: Letak dahi adalah letak kepala dengan defleksi sedang. Etiologi: Hampir sama dengan etiologi letak muka, biasanya merupakan keadaan sementara dan sering berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala. Diagnosis: Biasanya ditegakkan dalam persalinan:

115

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 116/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

1. Pemeriksaan luar: - Tonjolan kepala sepihak dengan bagian kecil. - Bunyi jantung janin sepihak dengan bagian kecil. 2. Pemeriksaan dalam: - Teraba sutura frontalis, ubun-ubun besar, pinggir orbita, dan pangkal hidung. Manajemen: Pada letak dahi janin tidak mungkin lahir per-vaginam, sehingga persalinan diakhiri dengan seksio sesarea, kecuali bila janin sangat kecil (TBBJ < 1.800 gram).

116

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 117/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

46. Presentasi Ubun-Ubun Kecil di Belakang Definisi: Ubun-ubun kecil di belakang adalah suatu keadaan yang disebabkan karena kegagalan rotasi interna. Etiologi: Kelainan panggul, kesempitan panggul tengah, CPD, fleksi kepala yang kurang, serta inersia uteri. Diagnosis: Pada pemeriksaan dalam sampai kala II persalinan didapatkan ubun-ubun kecil berada di belakang. Komplikasi: Kala II lebih panjang. 6-10% pertolongan persalinan dilakukan secara operatif. Manajemen: Partus per-vaginam, baik spontan maupun buatan. Seksio sesarea, bila ada indikasi obstetri.

117

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 118/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

47. Presentasi Majemuk Definisi: Presentasi majemuk merupakan presentasi dengan terabanya anggota badan (umumnya ekstremitas) di samping kepala atau bokong. Etiologi: Letak majemuk terjadi kalau pintu atas panggul tidak tertutup dengan baik oleh bagian depan janin, misalnya pada: Multiparitas, karena kepala sering tinggi pada permulaan persalinan. CPD. Kehamilan kurang bulan. Hidramnion. Komplikasi: Gangguan putaran paksi. Gangguan turunnya bagian terendah janin. Tali pusat menumbung. Manajemen: Pada tangan menumbung dicoba dilakukan reposisi. Partus buatan dilakukan atas indikasi.

118

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 119/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

48. Letak Lintang Definisi: Letak lintang adalah keadaan sumbu panjang janin tegak lurus terhadap sumbu panjang ibu. Etiologi: Multiparitas. Bayi kembar. Hidramnion.

119

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 120/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Oligohidramnion. Letak lintang pada kehamilan sebelumnya. Anomali uterus. Tumor-tumor dalam panggul.

Manajemen: Dalam kehamilan: dilakukan versi luar pada usia kehamilan 34 minggu. Dalam persalinan: - Bila syarat terpenuhi dan tidak ada kontraindikasi dilakukan versi luar. - Bila versi luar berhasil, persalinan dilakukan per-vaginam. - Bila versi luar tidak berhasil: 1. Pada janin hidup: partus per-vaginam bila usia kehamilan < 28 minggu dan seksio sesarea bila usia kehamilan 28 minggu. 2. Pada janin mati, bila: a. TBBJ < 1.700 gram: persalinan spontan dengan cara konduplikasio korpore dan evolusi spontan, bisa dibantu dengan traksi beban. b. TBBJ > 1.700 gram: dilakukan embriotomi bila syarat terpenuhi dan harus dilakukan eksplorasi jalan lahir. c. TBBJ 2.500 gram dan bagian terendah janin mati masih tinggi dilakukan seksio sesarea. d. Letak lintang kasep dilakukan embriotomi dengan dekapitasi atau eviserasi.

120

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 121/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

49. Letak Lintang pada Gemelli Anak Kedua Definisi: Bila setengah jam atau lebih setelah janin pertama lahir, janin kedua belum lahir disebut retensi gemelli janin kedua. Manajemen: Bila syarat terpenuhi dan tidak ada kontraindikasi dapat dilakukan versi luar menjadi letak kepala atau letak sungsang. Bila versi luar berhasil, dilakukan persalinan per-vaginam. Bila versi luar tidak berhasil dan janin hidup, dilakukan seksio sesarea. Pada pembukaan lengkap dan ketuban masih utuh dapat dilakukan versi luar. Bila tidak berhasil, dapat dilakukan versi ekstraksi setelah ketuban dipecahkan. Bila pembukaan lengkap dan ketuban baru pecah/dipecahkan, bisa dilakukan versi ekstraksi.

121

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 122/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

50. Distosia Bahu Definisi: Kepala janin telah dilahirkan tetapi bahu tersangkut dan tidak dapat dilahirkan. Faktor predisposisi: Umumnya terjadi pada makrosomia. Angka kejadian pada bayi dengan berat badan > 4.000 gram adalah 1,7%. Obesitas. Diabetes Melitus. Kehamilan Lewat Waktu. Anensefalus. Diagnosis: Distosia bahu tidak dapat diprediksi. Bila dalam persalinan terdapat pemanjangan kala II, hati-hati kemungkinan adanya makrosomia. Kepala janin dapat dilahirkan tetapi tetap berada dekat vulva. Dagu tertarik dan menekan perineum.

122

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 123/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Tarikan pada kepala gagal melahirkan bahu yang terperangkap di belakang simfisis.

Pemeriksaan penunjang: USG: Menurut Elliot dkk. kemungkinan besar akan terjadi distosia bahu bila: - Didapatkan diameter transtorakal pada bayi dari ibu yang diabetes 1,4 cm lebih besar daripada diameter biparietal. - Selisih diameter toraks dengan diameter kepala 1,6 cm dan atau selisih diameter bahu dengan diameter kepala 4,8 cm. Karena prognosis bagi janin dengan distosia bahu buruk, maka dianjurkan untuk melakukan seksio sesarea bila ditemukan keadaan di atas. Manajemen: Siapkan beberapa orang untuk membantu. Buatlah episiotomi yang cukup luas untuk mengurangi obstruksi jaringan lunak dan memberi ruangan yang cukup luas untuk tindakan. Lakukan penekanan di daerah suprapubis (perasat Resnick) oleh asisten, sementara penolong menggerakkan kepala anak ke bawah ke arah sakrum ibu untuk melepaskan bahu depan yang tersangkut di bawah simfisis. Perasat Mc Roberts (hiperfleksi panggul): dalam posisi ibu berbaring telentang, mintalah ia untuk menekuk kedua tungkainya dan mendekatkan lututnya sejauh mungkin ke arah dadanya. Mintalah bantuan 2 orang asisten untuk menekan fleksi kedua lutut ibu ke arah dada. Sementara penolong berusaha membebaskan bahu depan anak yang tersangkut dengan menggerakkan kepala anak ke bawah. Mintalah seorang asisten untuk melakukan tekanan secara simultan ke arah bawah pada daerah suprapubis untuk membantu persalinan bahu. Hindari tarikan yang berlebihan pada kepala yang dapat mengakibatkan trauma pada Pleksus Brakhialis. Jangan lakukan tekanan pada fundus uteri karena dapat mengakibatkan ruptura uteri. Perasat Wood: memutar bahu depan 180 derajat sehingga bahu depan menjadi bahu belakang dan bahu belakang yang sudah diputar ke depan akan lahir di bawah simfisis. Hal ini dapat terjadi karena bahu belakang sudah turun lebih jauh dari bahu depan. Bila anak sudah mati dapat dilakukan kleidotomi.

123

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 124/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Prognosis: Angka morbiditas dan mortalitas pada anak cukup tinggi. Dapat terjadi fraktur humeri, klavikula, dan Erbs palsy, serta kematian janin.

124

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 125/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

51. Polihidramnion Definisi: Suatu kondisi kehamilan dimana volume cairan amnion lebih dari 2.000 ml. Prinsip dasar: Penyebab utama adalah adanya defek pada sirkulasi cairan amnion fetomaternal. Terdapat defek pada plasenta, terutama bila plasenta besar dan edema. Ketidakmampuan janin untuk menelan cairan, bila terdapat anomali gastrointestinal dimana cairan tidak dapat masuk ke dalam traktus intestinal, atau kerusakkan otak dimana terjadi gangguan penyerapan cairan pada sistem absorpsi fetomaternal. Keadaan dimana reaksi miometrium lebih relaks dan berkurangnya tekanan cairan amnion yang disebabkan berkurangnya tension otot uterus. Bisa terjadi pada anensefalus, spina bifida dan harus dicurigai pada atresia esofagus. Faktor predisposisi meningkatnya cairan amnion adalah Diabetes Melitus, preeklamsia, Eristoblastosis Fetalis, Plasenta Korioadenoma, dan kehamilan gemelli monozigot. Kematian perinatal cukup tinggi (50%) karena berhubungan dengan prematuritas dan kelainan kongenital. Diagnosis: USG untuk mendeteksi adanya abnormalitas janin (20-40%) dan jumlah cairan ketuban dengan AFI/Amniotic Fluid Index/Indeks Cairan Amnion 25 cm atau pada kantong vertikal tunggal > 8 cm. Manajemen: Bila keadaan pasien sesak dapat dilakukan abdominal parasentesis, tidak lebih dari 500 cc/hari.

125

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 126/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Faktor predisposisi yang ada harus diterapi seperti Diabetes Melitus, preeklamsia, Eritroblastosis Fetalis, dan lain-lain. Adanya polihidramnion yang disertai adanya kelainan kongenital harus segera diterminasi dengan cara konservatif. Mencegah komplikasi yang mungkin ditemukan seperti solusio plasenta, disfungsi uterus, perdarahan post partum. Bila janin normal dapat lahir spontan. Cairan amnion yang terus bertambah secara perlahan-lahan merupakan metode efektif untuk induksi persalinan. Penilaian secara seksama terhadap janin, plasenta dan tali pusat untuk menyingkirkan adanya anomali.

Prognosis: Untuk ibu baik. Untuk janin, tergantung pada kelainan kongenital yang ada serta onset hidramnion, makin dini makin buruk prognosisnya.

52. Oligohidramnion Definisi: Suatu kondisi kehamilan dimana volume cairan amnion di bawah normal, kurang dari 500 cc. Prinsip dasar: Kejadian oligohidramnion lebih dini berakibat lebih berat terhadap janin. Adhesi antara amnion dan janin menyebabkan pertumbuhan janin terganggu dan dapat menimbulkan abnormalitas yang cukup serius. Bila diketahui pada kehamilan muda, efek terhadap janin lebih disebabkan akibat efek penekanan seperti deformitas janin dan amputasi ekstremitas. Berhubungan dengan adanya abnormalitas traktus genitourinaria, seperti agenesis ginjal, obstruksi traktus urinarius. Insufisiensi plasenta dapat merupakan faktor predisposisi. Dapat menyebabkan hipoplasia pulmoner paru janin, karena kompresi akibat tidak ada cairan, terjadi inhalasi cairan yang menghambat pertumbuhan paruparu dan terjadi defek paru intrinsik.

126

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 127/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Sering ditemukan janin dengan presentasi bokong, dengan posisi fleksi ekstrim dan rapat. Sering menyebabkan persalinan prematur.

Diagnosis: Ultrasonografi: oligohidramnion berat bila indeks cairan amnion 5 cm atau diameter kantong terbesar < 1-2 cm. Manajemen: Jika tanpa kelainan kongenital mayor dapat dicoba amnio infusi. Pada umumnya persalinan tidak berbeda bila janin dalam keadaan normal. Seksio sesarea atas indikasi obstetri atau deselerasi berulang setelah amnioinfusi. Resusitasi jantung pulmoner untuk kemungkinan hipoplasia paru. Bila terdapat kelainan kongenital upayakan lahir per-vaginam. Prognosis: Untuk ibu baik. Untuk bayi buruk.

53. Pertumbuhan Janin Terhambat

127

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 128/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Definisi: Terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim, sehingga beberapa parameter janin berada di bawah 10 persentil (< 2 SD) dari umur kehamilan yang seharusnya. Prinsip dasar: Pertumbuhan janin terhambat dapat disebabkan faktor genetik, hipoksia dan malnutrisi janin. Pada pertumbuhan janin terhambat terjadi Brain sparring effect. Etiologi: Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian PJT dapat dibedakan atas: Faktor plasenta: - Infark plasenta. - Solusio plasenta. - Plasenta previa. - Kelainan pembuluh darah plasenta. - Insersi vilamentosa. - Korioangioma. - Plasenta sirkumvalata. Faktor ibu: - Faktor konstitusi . - Faktor nutrisi. - Kondisi hipoksia. - Problem vaskuler: hipertensi kronis, preeklamsia, APS (Anti Phospholipid Syndrome), IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus), penyakit kolagen. - Penyakit ginjal. - Faktor lingkungan: merokok, penggunaan obat-obatan, dataran tinggi. - Riwayat obstetri buruk: riwayat PJT, riwayat lahir mati, riwayat prematur. Faktor janin: - Kelainan kromosom: trisomi 13, 18 dan 21, Sindroma Turner. - Malformasi janin: anensefalus, kelainan jantung, hernia diafragmatika, kelainan ginjal. - Kehamilan multifetus. - Infeksi janin: TORCH. Klasifikasi klinik:

128

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 129/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

PJT tipe I (PJT tipe simetris): umumnya disebabkan kelainan genetik, infeksi intrauterin, zat-zat teratogenik, cacat bawaan. PJT tipe II (PJT tipe asimetris): umumnya disebabkan penyakit ibu dan insufisiensi plasenta, seperti hipertensi, penyakit ginjal, penyakit jantung, anemia berat, kehamilan kembar. PJT tipe kombinasi: disebabkan oleh kombinasi faktor ibu dan janin, seperti malnutrisi, obat-obatan, rokok dan alkohol.

Diagnosis: Usia kehamilan harus diketahui secara pasti Anamnesis: ada riwayat ataupun faktor-faktor risiko. - Hipertensi. - Penyakit paru kronik. - Penyakit jantung sianotik. - Pemakaian obat-obatan. - Merokok. - Infeksi janin. - Riwayat PJT sebelumnya. Pemeriksaan untuk mencari faktor risiko. Pemeriksaan klinis: pengukuran tinggi fundus uteri (TFU) dan lingkaran perut (LP). Kecurigaan PJT ditegakkan apabila TFU ditemukan menetap pada 2 kali pemeriksaan dengan selang 1-2 minggu atau menurun di bawah garis 10 persentil pada grafik pertumbuhan janin (gravidogram). Penambahan berat badan ibu: kecurigaan adanya PJT apabila tidak didapatkan penambahan berat badan ibu pada 2 kali pemeriksaan dengan selang waktu 1 atau 2 minggu. USG serial: untuk menentukan biometri dan keadaan fungsi organ janin. - Diameter biparietal. - Panjang femur. - Lingkaran kepala. - Lingkaran perut. - TBBJ. - Doppler. - Cairan amnion. Evaluasi:

129

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 130/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Evaluasi kesejahteraan janin untuk mendiagnosis keadaan hipoksia janin, dengan melakukan pemeriksaan: Pemantauan gerakan janin (fetal kick count) setiap hari. USG Doppler setiap minggu. NST (Uji Tanpa Kontraksi) setiap minggu. OCT (Uji Dengan Kontraksi) bila NST non reaktif. Cairan amnion, untuk mendiagnosis oligohidramnion (diameter kantong terbesar < 2 cm atau nilai AFI 5). Profil Biofisik Janin/BPP setiap minggu. Manajemen: Terapi kausal terhadap penyebab atau penyulit yang mendasari. Konservatif: tirah baring, pemberian kalori 2.600 kalori/hari per-oral atau parenteral (asupan nutrisi tinggi kalori, mudah cerna), pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru pada kasus-kasus preterm. Pertimbangkan pemberian Aspirin bila tidak ada kontraindikasi. Jika terdapat oligohidramnion berat, disarankan untuk persalinan perabdominam. Pada kehamilan aterm tergantung kondisi janin, jika memungkinkan dapat dicoba lahir per-vaginam. Terminasi kehamilan juga tergantung pada perkembangan hasil terapi. Terminasi kehamilan dilakukan apabila ditemukan satu dari hal-hal di bawah ini: - Hamil aterm ( 37 minggu). - Sudah mendapat terapi kortikosteroid (kehamilan 24-34 minggu) yang disertai tanda-tanda Skor Profil Biofisik janin < 2 (terutama bila ditemukan oligohidramnion), deselerasi lambat atau deselerasi variabel yang berulang dan pada Doppler Arteri Umbilikalis didapatkan RED (Reversed End Diastolic-flow velocity blood flow) atau AED (Absent of End Diastolic-flow velocity blood flow). Prognosis: Ibu umumnya baik. Janin tergantung keadaannya.

130

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 131/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

131

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 132/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

54. Persalinan Preterm Definisi: Persalinan preterm ialah proses kelahiran pada ibu dengan usia gestasi 20 minggu sampai < 37 minggu dari hari pertama haid terakhir dengan berat badan lahir janin kurang dari 2.500 gram. Sebanyak 5% kehamilan akan berakhir dengan preterm. Prinsip dasar: Persalinan preterm mempunyai banyak penyebab, namun infeksi korioamnionitis kini menjadi dominan. Infeksi ini mempunyai potensi untuk cidera pada bayi baru lahir. Semakin muda kehamilan semakin buruk prognosisnya. Upaya pemberian obat tokolitik hanyalah upaya penundaan sementara bagi pematangan paru. Bila infeksi telah nyata sebaiknya persalinan preterm dibiarkan berlangsung. Selain itu obat-obat tokolitik tidak dibenarkan pada usia kehamilan > 35 minggu, kelainan bawaan janin, dan preeklamsia. Peningkatan Interleukin-6 11 pg/mL merupakan risiko terjadinya reaksi radang (inflammatory response) dengan akibat periventricular leucomalacia (PVL). Pemberian kortikosteroid lebih dari 2 hari dan berulang-ulang dapat memberi risiko pertumbuhan bayi terhambat. Faktor risiko: Penyebab yang pasti tidak diketahui. Faktor risiko terjadinya persalinan preterm adalah: KPD, korioamnionitis, bakteriuria, kolonisasi mikroorganisme pada genital (Streptococcus grup beta, dll). Riwayat persalinan preterm atau kontraksi persalinan preterm sebelumnya. Riwayat abortus sebelumnya (abortus 2 kali pada trimester kedua). Riwayat abortus iminens pada kehamilan ini. Perdarahan antepartum: plasenta previa dan solusio plasenta. Hipertensi dalam Kehamilan. Serviks inkompeten atau riwayat tindakan konisasi. Serviks memendek < 3 cm, dan/atau membuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu. Kelainan uterus (jarang).

132

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 133/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Operasi abdomen waktu kehamilan. Janin mati dan kelainan kongenital. Kerentanan uterus yang bertambah. Penyakit ibu terutama penyakit infeksi sistemik yang berat. Kehamilan dengan IUD insitu. Pielonefritis. Kehamilan ganda, polihidramnion, oligohidramnion. Kelainan letak janin. Diabetes Melitus. Penyalahgunaan/kecanduan narkotik dan zat adiktif lainnya. Trauma fisik dan psikis.

Diagnosis: Kontraksi/his yang reguler pada kehamilan < 37 minggu merupakan gejala pertama, pastikan dengan pemeriksaan inspekulo adanya pembukaan dan servisitis. Pengobatan terhadap servisitis dan vaginitis perlu dilakukan dengan pemberian antibiotika (misalnya Metronidasol 3 x 500 mg). Pemberian Betametason 12 mg/hari menunjukkan penurunan risiko PVL. Gejala infeksi intrauterin ialah: takikardi janin, gerakan janin lemah, oligohidramnion, pireksia ibu, cairan amnion berbau. Sebagai upaya pencegahan ada baiknya pemeriksaan dalam dilakukan untuk deteksi vaginitis dan servisitis. Kelainan serviks (inkompetensi) merupakan indikasi untuk serklase. Pemeriksaan klinik dan USG (tebal serviks < 1,5 cm) merupakan risiko tsb. Gejala awal yang dapat timbul adalah: Rasa nyeri/tegang pada perut bawah (low abdominal pain/cramps). Nyeri pinggang (low backache). Rasa penekanan pada jalan lahir. Bertambahnya cairan vagina. Perdarahan/perdarahan bercak/lendir bercampur darah. Gejala definitif: Memenuhi kriteria persalinan preterm, seperti: kontraksi uterus yang teratur (satu kali atau lebih dalam 10 menit), terjadi perubahan serviks yaitu pembukaan serviks 2 cm dan pendataran serviks.

133

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 134/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Perlu dilakukan penilaian terhadap ada tidaknya faktor etiologi dan kemungkinan komplikasi seperti: Ada tidaknya plasenta previa. Keadaan ketuban (intak atau sudah pecah). Ada tidaknya korioamnionitis. Ada tidaknya infeksi sistemik. Ada tidaknya polihidramnion. Riwayat obstetri sebelumnya. Manajemen: Konfirmasi umur kehamilan dengan berbagai cara. Penilaian kontraksi uterus (lamanya, intensitasnya, frekuensinya dan pengaruhnya terhadap pembukaan serviks). Pemantauan tanda-tanda vital ibu dan bunyi jantung janin. Tirah baring (lateral ke kiri atau semi Fowler). Bila diduga ada korioamnionitis, lakukan kultur dan berikan antibiotika. Setelah pemberian informed consent yang baik, cara persalinan dan kemampuan klinik merawat preterm harus dipertimbangkan. Bila kehamilan > 35 minggu dan presentasi kepala, maka persalinan per-vaginam merupakan pilihan. Namun bila kehamilan 32-35 minggu, maka pertimbangan seksio sesarea menjadi pilihan. Menjadi kesulitan pilihan, bila bayi dengan berat lahir sangat rendah karena risiko kematian tinggi (50%). Bila tidak ditemukan infeksi, maka upaya pemberian obat tokolitik dapat dilakukan. Obat yang dianjurkan ialah: - Nifedipine 10 mg, diulang tiap 30 menit, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya hanya diperlukan 20 mg, dan dosis perawatan 3 x 10 mg. - mimetik: Terbutalin atau Salbutamol. Pemberian kortikosteroid diperlukan untuk pematangan paru pada wanita hamil antara 24-34 minggu: Betametason 12 mg/hari IM, untuk 2 hari saja dengan interval 24 jam. Bila tak ada Betametason dapat diberikan Deksametason 2 x 5 mg tiap 12 jam IM sampai 4 dosis (2 hari saja). Persiapan untuk perawatan bayi kecil perlu dibahas dengan dokter anak, untuk kemungkinan perawatan intensif. Bila ternyata bayi tidak mempunyai kesulitan (minum, nafas, tanpa cacat) maka perawatan cara kanguru dapat diberikan agar lama perawatan di rumah sakit dapat dikurangi.

134

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 135/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pemeriksaan penunjang: USG: untuk menilai presentasi, biometri janin, anomali, velositas Arteri Umbilikalis (Doppler), indeks cairan ketuban, pemeriksaan plasenta, morfologi serviks (panjang, diameter kanalis servikalis dan ada tidaknya funelling). Diagnosis diferensial: Kontraksi Braxton Hicks yang sifatnya tidak teratur, tidak ritmis, tidak begitu sakit dan tidak menimbulkan perubahan serviks.

135

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 136/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

55. Kehamilan Lewat Waktu Definisi: Kehamilan yang berlangsung selama 294 hari (42 minggu) atau lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir pada siklus 28 hari atau 280 hari (40 minggu) dari hari terjadinya konsepsi. Disebut juga kehamilan Post-term. Kehamilan Post-date: kehamilan yang telah melewati hari perkiraan kelahiran (280 hari) atau EDC (Expected day of confinement). Kehamilan Post-mature: lebih mengacu pada janinnya, dimana dijumpai tanda-tanda seperti kuku panjang, kulit keriput, plantar creases yang sangat jelas, tali pusat layu dan terwarnai oleh mekoneum. Ketetapan usia gestasi sebaiknya mengacu pada hasil ultrasonografi pada trimester I. Kesalahan perhitungan dengan rumus Naegele dapat mencapai 20%. Saat ini dipercaya bahwa hasil persalinan yang buruk sudah meningkat pada usia kehamilan 41 minggu. Penentuan usia kehamilan yang akurat sangat penting. Keadaan ini akan menghindarkan intervensi yang tidak diperlukan atau bahkan berbahaya apabila kehamilan ini tidak lewat waktu; dan memberikan pelayanan yang efektif pada kehamilan yang benar-benar lewat waktu. Anamnesis ulang, evaluasi status dan pemeriksaan USG pada 16-20 minggu dapat juga membantu akurasi diagnosis. Insidensi: Insidensi kehamilan 41 minggu lengkap: 27%. Insidensi kehamilan 42 minggu lengkap: 4-14%. Insidensi kehamilan 43 minggu lengkap: 2-7%. Insidensi kehamilan lewat waktu tergantung pada beberapa faktor: tingkat pendidikan masyarakat, frekuensi kelahiran preterm, frekuensi induksi persalinan, frekuensi seksio sesarea elektif, pemakaian USG untuk menentukan usia kehamilan, dan definisi kehamilan (41 atau 42 minggu lengkap). Secara spesifik, insidens kehamilan akan rendah jika frekuensi kelahiran preterm tinggi, bila angka induksi persalinan dan seksio sesarea elektif tinggi, dan bila USG dipakai lebih sering untuk menentukan usia kehamilan.

136

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 137/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Prinsip dasar: Kehamilan mempunyai risiko lebih tinggi daripada kehamilan aterm, pada kematian perinatal (antepartum, intrapartum, dan postpartum) berkaitan dengan aspirasi mekoneum, dan asfiksia. Kehamilan mempunyai risiko lebih tinggi pada morbiditas neonatal (makrosomia, distosia bahu, sindroma aspirasi mekoneum, perawatan pada neonatal intensive care unit, penatalaksanaan dengan Oksigen tekanan positif, intubasi endotrakheal, distress nafas, persisten fetal circulation, pneumonia, dan kejang). Dianjurkan melakukan pencegahan post-term dengan melakukan induksi persalinan pada kehamilan 41 minggu. Diagnosis: Menentukan taksiran persalinan merupakan bagian yang penting dari perawatan antenatal, karena akan berpengaruh pada tindakan selanjutnya. Menentukan saat persalinan lebih tepat dan dapat dipercaya bila dilakukan pada kehamilan dini. Penilaian janin: Bila kehamilan lewat waktu direncanakan untuk tidak segera dilahirkan, maka kita harus mempunyai keyakinan bahwa janin dapat hidup terus di dalam lingkungan intrauterin. 1. Pemeriksaan USG: pemeriksaan biometri janin untuk menentukan berat janin, derajat kematangan plasenta, kalsifikasi, dan keadaan cairan ketuban serta diagnosis kemungkinan PJT. 2. Pemeriksaan CTG dimulai dari umur kehamilan 41 minggu. a. Uji Tanpa Kontraksi (NST): bila hasil uji NST tidak reaktif, memerlukan pemeriksaan lanjut, seperti Uji Dengan Kontraksi ( OCT) atau profil biofisik janin. NST dilakukan 2 kali seminggu. b. Uji Dengan Kontraksi (CST): - Dilakukan apabila hasil NST non reaktif. - Hendaknya dilakukan 1 minggu satu kali. - Hasil uji positif merupakan indikasi untuk melahirkan janin. - Apabila hasil tidak memuaskan atau mencurigakan, uji diulangi 24 jam kemudian. c. Menilai kematangan serviks dengan menggunakan skor Bishop. Serviks belum matang bila skor Bishop < 6.

137

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 138/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Manajemen: Pengelolaan kehamilan lewat waktu kita awali dari umur kehamilan 41 minggu. Prinsip: pemantauan fetus, induksi persalinan, prognosis untuk janin lebih baik dibanding dengan manajemen ekspektatif, induksi sebaiknya dilakukan pada kehamilan 41 minggu. A. Pengelolaan antepartum: 1. Bila sudah dipastikan umur kehamilan 41 minggu, pengelolaan tergantung dari derajat kematangan serviks. a. Bila serviks matang (Skor Bishop 6): 1. Dilakukan induksi persalinan, bila tidak ada kontraindikasi. 2. Seksio sesarea hendaknya diputuskan bila berat janin ditaksir 4.000 gram. b. Pada serviks yang belum matang (Skor Bishop < 6), kita perlu menilai keadaan janin lebih lanjut apabila kehamilan tidak akan diakhiri. 1. Pemeriksaan Profil Biofisik: Bila profil biofisik 0-2 atau ditemukan oligohidramnion (< 2 cm pada kantong terbesar atau Indeks Cairan Amnion < 5) atau dijumpai deselerasi variabel pada NST, maka dilakukan induksi persalinan dengan pemantauan CTG kontinyu. 2. Bila volume cairan amnion normal dan NST tidak reaktif, Uji Dengan Kontraksi (CST) harus dilakukan. Bila hasil CST positif, janin perlu dilahirkan, sedangkan bila hasil CST negatif maka kehamilan dibiarkan berlangsung dan penilaian janin dilakukan lagi 3 hari kemudian. 3. Keadaan serviks (Skor Bishop) harus dinilai ulang setiap kunjungan pasien, dan kehamilan harus diakhiri bila serviks matang. 4. Semua pasien harus diakhiri kehamilannya bila telah mencapai 308 hari (44 minggu) tanpa melihat keadaan servik. 2. Pasien kehamilan lewat waktu dengan komplikasi seperti Diabetes Melitus, preeklamsia, PJT, kehamilannya harus diakhiri tanpa memandang keadaan serviks. B. Pengelolaan intrapartum: 1. Pasien tidur miring ke sebelah kiri. 2. Pemantauan dengan CTG kontinyu. 3. Bila perlu, lakukan resusitasi intrauterin.

138

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 139/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

4. Pemantauan intrapartum dengan mempergunakan CTG dan kehadiran Dokter Spesialis Anak mutlak diperlukan. 5. Segera setelah anak lahir, anak harus diperiksa akan kemungkinan hipoglikemi, hipovolemi, hipotermi dan polisitemi. Mencegah aspirasi mekoneum: Apabila ditemukan cairan ketuban yang terwarnai mekoneum harus segera dilakukan resusitasi bayi sebagai berikut: 1. Pengisapan nasofaring dan orofaring posterior secara agresif dan hati-hati sebelum dada janin lahir. 2. Bila mekoneum tampak pada pita suara, pemberian ventilasi dengan tekanan positif ditangguhkan dulu sampai trakea telah diintubasi dan pengisapan yang cukup. 3. Intubasi trakea harus dilakukan rutin bila ditemukan mekoneum yang tebal. Komplikasi: Kelainan kongenital. Sindroma Aspirasi Mekoneum. Gawat janin dalam persalinan. Bayi besar (makrosomia) atau PJT. Kelainan jangka panjang pada bayi. Informed consent: Diperlukan karena kemungkinan prognosis yang buruk untuk bayi.

139

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 140/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

56. Emboli Paru Definisi: Emboli paru adalah keadaan tersumbatnya arteri atau salah satu cabang arteri di paru oleh trombus, udara atau cairan amnion. Emboli udara jarang terjadi, keadaan emboli udara dapat terjadi misalnya pada persalinan, proses persalinan ini disertai dengan masuknya udara ke dalam sinus dari tempat implantasi plasenta. Emboli cairan amnion jarang terjadi, umumnya bersifat fatal/kematian yang mendadak, sering merupakan komplikasi persalinan. Lanugo, verniks kaseosa, dan mekoneum dapat menyumbat kapiler paru dan menimbulkan infark paru serta dilatasi jantung kanan. Prinsip dasar: Sumbatan arteri di paru akan menyebabkan penurunan aliran darah pada bagian distal sumbatan. Sumbatan ini akan menyebabkan beberapa kelainan, antara lain: penurunan sirkulasi melalui paru-paru sehingga aliran darah ke sisi kiri jantung menurun. Sumbatan tersebut menyebabkan peningkatan tekanan pulmonal. Timbulnya iskemia yang dapat berlanjut menjadi nekrosis. Fungsi paru-paru menurun. Gejala klinik yang timbul sangat tergantung pada luasnya daerah yang mengalami iskemia, bila sumbatan luas (60% dari pembuluh darah paru) akan menyebabkan dilatasi ventrikel kanan disertai dengan pelebaran vena dan peningkatan central venous pressure yang akan menyebabkan penurunan venous return sehingga menyebabkan penurunan cardiac output secara mendadak yang akan menimbulkan syok dan henti jantung. Diagnosis: Penderita umumnya mengeluh sesak napas yang sekonyong-konyong, nyeri dada, sedangkan gejala lainnya sangat tergantung pada luasnya jaringan yang terkena pengaruh obstruksi tersebut. Gejala lain diantaranya gelisah, pingsan, kolaps kardiovaskuler.

140

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 141/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Klinis didapatkan takipnea, takikardi, hipotensi, sinkop, sianosis, dan pada keadaan lanjut terjadi henti jantung. Pada pemeriksaan paru-paru tidak terdengar suara pernapasan. Dapat terjadi relaksasi otot-otot rahim dengan perdarahan pascasalin, juga dapat terjadi koagulopati karena DIC (Disseminated intravascular coagulation).

Diferensial diagnosis: Aspirasi paru-paru, pneumonia, atelektasis, asma, efusi pleura, infark miokard, gagal jantung, edema pulmonum, pneumothoraks. Manajemen: Terapi suportif: - Pernapasan: pemberian Oksigen yang adekuat, kateter diberikan melalui nasal, atau melalui sungkup, bila perlu Oksigen diberikan dengan tekanan. - Sirkulasi: pemberian cairan parenteral (Dekstrosa 5%) dengan perlahanlahan. Bila terjadi syok maka dapat diberikan Dopamin, Isoproterenol untuk meningkatkan cardiac output. - Sedasi yang mempunyai efek analgesi dapat diberikan, misalnya Morfin. Pencegahan emboli berulang: - Dapat diberikan Heparin secara IV, bila perlu Heparin diberikan secara infus. - Antikoagulan oral dapat diberikan bila emboli telah dapat diatasi.

141

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 142/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

57. Perdarahan Pascasalin Definisi: Perdarahan yang lebih dari 500 cc setelah janin lahir. Klasifikasi: Perdarahan pascasalin dini: perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama sesudah janin lahir.

142

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 143/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Perdarahan pascasalin lambat: perdarahan yang terjadi dalam 24 jam setelah janin lahir.

Etiologi: Trauma traktus genitalia: episiotomi yang luas, laserasi jalan lahir, dan ruptura uteri. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta: a. Perdarahan atonis: anestesi umum, overdistensi uterus pada kehamilan kembar, hidramnion, atau anak besar, partus lama, partus presipitatus, induksi persalinan dengan Oksitosin, paritas tinggi, infeksi korioamnionitis, riwayat atonia uteri. Perdarahan atonis dapat terjadi pada kala III maupun kala IV. b. Retensio plasenta: kotiledon tertinggal/sisa plasenta, plasenta suksenturiata, plasenta akreta, inkreta, dan perkreta. c. Gangguan koagulopati. A. Perdarahan pascasalin dini: Etiologi: Atonia uteri. Perlukaan jalan lahir. Retensio plasenta. Sisa plasenta. Gangguan pembekuan darah. Kriteria diagnosis: Atonia uteri: Kontraksi rahim buruk, perdarahan banyak, tidak ada perlukaan jalan lahir, tidak ada sisa plasenta, pada umunya disertai tandatanda syok hipovolemik. Perlukaan jalan lahir: perdarahan banyak, umumnya kontraksi rahim baik, kecuali pada robekan rahim. Retensio plasenta: perdarahan banyak dan plasenta belum lahir jam sesudah anak lahir. Sisa plasenta: perdarahan, kontraksi rahim baik, pada pemeriksaan teraba sisa plasenta. Gangguan pembekuan darah: kontraksi rahim baik, tidak ada perlukaan jalan lahir, tidak ada sisa jaringan, terdapat gangguan faktor pembekuan darah.

143

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 144/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pemeriksaan penunjang: Hb dan Ht. Faktor pembekuan darah. Waktu perdarahan. Masa pembekuan. Trombosit. Fibrinogen. Pengelolaan: Segera setelah diketahui perdarahan pascasalin, tentukan ada syok atau tidak, bila ada segera berikan transfusi darah, infus cairan, kontrol perdarahan dan berikan Oksigen. Bila syok tidak ada, atau keadaan umum telah optimal, segera lakukan pemeriksaan untuk mencari etiologi perdarahan pascasalin tsb. Atonia uteri: Penanganan aktif kala III sebaiknya dilakukan pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pascasalin akibat atonia uteri. Manajemen aktif kala III meliputi pemberian Oksitosin 10 IU IM dengan segera dalam waktu 2 menit setelah kelahiran bayi, pengendalian tarikan pada tali pusat (PTT/Penegangan Tali pusat Terkendali) untuk melahirkan plasenta, dan pemijatan uterus segera setelah plasenta lahir. Pada penanganan atonia uteri perlu teruskan pemijatan/masase uterus, pemberian Oksitosin 20 IU dalam 500 cc Dekstrosa 5% atau 1.000 cc NaCl 0,9% dan Ergometrin IM atau IV, atau Misoprostol. Jenis Uterotonika dan Cara Pemberiannya
Jenis dan Cara Dosis dan cara pemberian awal. Dosis lanjutan. Oksitosin IV: Infus 20 IU dalam 1 liter larutan NaCl 0,9% dengan 60 tetes/menit. IM: 10 IU. IV: Infus 20 IU dalam 1 liter larutan NaCl 0,9% dengan 40 tetes/menit. Ergometrin IM atau IV (secara perlahan): 0,2 mg. Ulangi 0,2 mg IM setelah 15 menit. Jika masih diperlukan beri Misoprostol Oral 600 mcg atau rektal 400 mcg. 400 mcg 2-4 jam setelah dosis awal.

144

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 145/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Dosis maksimal perhari. Kontraindikasi atau hati-hati.

Tidak lebih dari 3 liter larutan dengan Oksitosin. Tidak boleh memberi IV secara cepat atau bolus.

IM/IV setiap 2-4 jam. Total 1 mg atau 5 dosis. Preeklamsia, vitium kordis, hipertensi.

Total 1.200 mcg atau 3 dosis. Nyeri kontraksi, dan asma. Prostaglandin sebaiknya tidak diberikan secara IV karena dapat berakibat fatal.

Bila ada perbaikan dan perdarahan berhenti, Oksitosin atau Misoprostol diteruskan. Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual internal atau kompresi Aorta Abdominalis. Bila tetap tidak berhasil, lakukan laparotomi, kalau mungkin lakukan ligasi Arteri Uterina atau Hipogastrika (khusus untuk pasien yang belum punya anak), bila tidak mungkin lakukan histerektomi. Tamponade uterus merupakan tindakan tidak bermanfaat dan membuang waktu yang berharga. Luka jalan lahir: Segera lakukan penjahitan atau laparotomi pada ruptura uteri. Retensio plasenta dan sisa plasenta: Teknik pelepasan plasenta secara manual adalah vulva didesinfeksi, begitu pula tangan dan lengan bawah si penolong. Setelah tangan memakai sarung tangan, labia dibeberkan dan tangan kanan masuk ke dalam jalan lahir secara obstetrik. Tangan luar menahan fundus uteri. Tangan dalam sekarang menyusuri tali pusat, yang sedapat-dapatnya diregangkan oleh asisten. Setelah tangan dalam sampai ke plasenta, tangan pergi ke pinggir plasenta dan sedapat-dapatnya mencari pinggir yang sudah terlepas. Kemudian dengan sisi tangan sebelah kelingking, plasenta dilepaskan antara bagian plasenta yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dinding rahim. Setelah plasenta terlepas seluruhnya, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik keluar. Bila ada persangkaan plasenta akreta, dilakukan histerektomi.

145

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 146/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Bila hanya ada sisa plasenta, lakukan pengeluaran secara digital/manual atau kuretase dengan kuret besar dan tajam secara hati-hati. Gangguan pembekuan darah: Rawat bersama dengan Bagian Penyakit Dalam. Perlu transfusi darah segar, kontrol DIC dengan Heparin. Komplikasi: Syok ireversibel. DIC. Sindroma Sheehan. Patologi anatomi: Bila ada persangkaan plasenta akreta, uterus yang diangkat perlu di Patologi Anatomi-kan. B. Perdarahan pada masa nifas: Etiologi: Sisa plasenta. Kriteria diagnosis: Perdarahan berulang. Pemeriksaan fisik, kadang-kadang didapatkan pasien febris, nadi cepat dan syok. Pemeriksaan obstetri, didapatkan fundus uteri masih tinggi, subinvolusi. Uterus lembek dan nyeri tekan bila ada infeksi, teraba ada sisa plasenta dalam kavum uteri. Pemeriksaan penunjang: Hb, Ht, dan lekosit. USG untuk melihat sisa plasenta. Manajemen: Uterotonika: Ergometrin 1 x 1 ampul IM selama 3 hari. Antibiotika berspektrum luas: Amoksisilin 3 x 1 gram IV (skin test dulu), Metronidasol 2 x 500 mg IV, dan Gentamisin 2 x 80 mg IV (fungsi ginjal baik).

146

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 147/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Transfusi darah bila perdarahan banyak atau anemia berat. Kuretase dilakukan 3 hari setelah pemberian antibiotika dan uterotonika, bila tidak berhasil lakukan histerektomi.

Komplikasi: Syok ireversibel. Lama perawatan: Bila dapat diatasi selama 5-6 hari. Bila dilakukan tindakan operatif 7-10 hari. Informed consent: Perlu dibuat dengan cermat dan hati-hati, khususnya mengenai kemungkinan pengangkatan rahim.

147

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 148/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

58. Asuhan Nifas Definisi: Perawatan dan penatalaksanaan setelah persalinan. Prinsip dasar: Kelainan yang berhubungan dengan infeksi. Kelainan yang berhubungan dengan perdarahan. Kelainan yang berhubungan dengan trombosit. Kelainan yang berhubungan dengan payudara dan menyusui. Diagnosis: Anamnesis. Pemeriksaan fisik. USG dan Doppler. CT-Scan (khusus tersangka Sindroma Sheehan pada perdarahan post-partum berat). Selama asuhan nifas perlu: - Mensuport involusi sempurna. - Mensuport ASI eksklusif selama 6 bulan. - Mensuport sistem kardiovaskuler, GIT, traktus urinarius kembali ke normal. - Mensuport estetik perempuan. - Kewaspadaan post-partum blues. Manajemen: Keluhan yang berhubungan dengan infeksi: - Antibiotika. - Perawatan luka terinfeksi.

148

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 149/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

- Drainase. - Laparotomi. - Perawatan intensif pada keadaan lanjut (sepsis). Kelainan yang berhubungan dengan perdarahan: - Preparat Ergometrin/Oksitosin. - Kuretase. - Laparotomi. - Antibiotika. Kelainan yang berhubungan dengan tromboemboli: - Obat antikoagulan. - Antibiotika. - Ambulasi dini.

1. Gangguan Haid Definisi: Gangguan haid (haid abnormal) dan perdarahan yang menyerupai haid pada interval siklus haid normal (21-35 hari). Bentuk: Ritme/irama abnormal (normal 28 7 hari): - Polimenorea: haid terlalu sering, interval < 21 hari. - Oligomenorea: haid terlalu jarang, interval > 35 hari. - Amenorea: tidak haid 3 bulan berturut-turut. - Perdarahan tidak teratur, interval datangnya haid tidak tentu. - Perdarahan prahaid, pertengahan siklus, dan pascahaid dalam bentuk spotting. Jumlah atau banyaknya darah (normal ganti pembalut 2-5 kali/hari):

149

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 150/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Hipermenorea: darah haid terlalu banyak, ganti pembalut > 6 pembalut/hari dimana setiap pembalut basah seluruhnya. - Hipomenorea: darah haid terlalu sedikit, ganti pembalut < 2 pembalut/hari. - Perdarahan bercak (spotting). Lamanya perdarahan (normal 2-5 hari): - Menoragia: lamanya lebih dari 6 hari. - Brakhimenorea: lamanya < 2 hari. Perdarahan sebelum dan sesudah haid. - Premenstrual spotting dan postmenstrual spotting.

Perdarahan menyerupai haid yang terjadi di luar siklus haid normal disebut metroragia. Penyebab: Gangguan haid dapat disebabkan oleh kelainan organik maupun bukan kelainan organik (fungsional). - Tidak ditemukan kelainan organik disebut sebagai Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD): 1. PUD pada usia reproduksi. 2. PUD pada usia perimenars. 3. PUD pada usia perimenopause. - Didapatkan kelainan organik. Hipoplasia uteri, mioma submukosum, endometriosis, polip serviks, adenoma endometrium, adneksitis, karsinoma endometrium, hipertensi, vitium kordis, trombositopenia, Terapi Sulih Hormon (TSH), kontrasepsi hormonal dan non hormonal, faktor pembekuan darah. Diagnosis: Setiap wanita dengan keluhan gangguan haid dan perdarahan, maka terlebih dahulu harus dicari penyebabnya. Anamnesis: usia menars, konsumsi obat, stres, riwayat TBC. Pemeriksaan fisik: tinggi badan, berat badan, seks sekunder, pembesaran hati, kelenjar getah bening, limpa. Pemeriksaan ginekologi: genitalia interna dan eksterna. Laboratorium: darah perifer lengkap, kimia darah, T 3 , T4, Tiroid Stimulating Hormone/TSH, hemostasis.

150

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 151/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pemeriksaan penunjang: USG dan pemeriksaan tambahan lain seperti MRI, dan laparoskopi.

Manajemen: Tergantung penyebab gangguan haid tersebut. Polimenorea: gangguan hormonal yang mengakibatkan gangguan ovulasi, atau menjadi pendeknya masa luteal, kongesti ovarium karena peradangan, endometriosis, dll. Oligomenorea: seringkali mempunyai dasar yang sama dengan amenorea, perbedaannya terletak dalam tingkat. Pada kebanyakan kasus oligomenorea kesehatan wanita tidak terganggu, dan fertilitas cukup baik. Amenorea: secara umum dibedakan amenorea fisiologik, seperti prapubertas, hamil, laktasi, pascamenopause, dan amenorea patologik, yaitu amenorea primer dan sekunder. Amenorea primer, misal kelainan kongenital dan genetik, sedangkan amenorea sekunder, misal gangguan gizi, metabolisme, tumor-tumor, penyakit infeksi, dll. Hipermenorea: kelainan ini terletak pada kondisi dalam uterus, misalnya mioma uteri submukosum dengan permukaan endometrium lebih luas dari biasanya, polip endometrium, dll. Hipomenorea: biasanya berhubungan dengan konstitusi penderita, sesudah miomektomi, gangguan endokrin, dll.

151

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 152/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

2. Amenorea A. Amenorea primer Definisi: Seorang wanita yang telah mencapai usia 14 tahun, pertumbuhan seksual sekunder belum tampak, haid belum muncul, atau telah mencapai usia 16 tahun, telah tampak pertumbuhan seksual sekunder, namun haid belum juga muncul. Diagnosis: Anamnesis yang cermat: tanyakan penyakit-penyakit, seperti penyakit paru (TBC, asma), penggunaan obat-obat penenang jangka panjang, obatobat penurun/penambah berat badan, kemoterapi, dan obat glukokortikoid. Juga tanyakan apakah pasien sedang menderita stres berat. Pemeriksaan klinis: berat badan, tinggi badan, tanda-tanda pertumbuhan seks sekunder seperti payudara, bulu ketiak dan pubis. Pemeriksaan ginekologik: genitalia interna dan eksterna. Pemeriksaan laboratorik: FSH, LH, E2 dan Prolaktin. Pada semua wanita dengan amenorea primer harus dilakukan pemeriksaan kromosom (kariotip). Pemeriksaan endokrinologik hanya dilakukan bila ingin mencari penyebab amenorea primer tersebut. Amenorea primer sangat jarang disebabkan oleh kelainan hormonal. Jenis-jenis kelainan amenorea primer: 1. Aplasia uterus dan vagina (Sindroma Mayer-Kustner-V Rokitansky). 2. Sindroma Feminisasi Testikuler/Pseudohermaphroditismus masculinus/Androgen Insensitivity.

152

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 153/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

3. Sindroma Adrenogenital (Adrogenital Syndrome/AGS). 4. Hipogenesis/ Agenesis Gonad: - Sindroma Ulrich-Turner. - Agenesis Gonad Murni (Sindroma Sweyer). - Sindroma Turner Atipikal. 5. Sindroma Kallmann. B. Amenorea sekunder Definisi: Wanita usia reproduksi yang pernah mengalami haid, namun haidnya berhenti untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut. Prinsip dasar: Amenorea patologik sebenarnya bukan merupakan gambaran klinis dari suatu kumpulan penyakit, melainkan harus dilihat sebagai suatu simptom suatu penyakit, yang harus mendapat perhatian serius. Penyebab tidak munculnya haid dapat disebabkan oleh organ yang bertanggung jawab terhadap proses terjadinya siklus haid, dan proses pengeluaran darah haid. Organ-organ tersebut adalah: 1. Hipotalamus-hipofisis: amenorea yang terjadi adalah amenorea sentral (amenorea hipotalamik, amenorea hipofisis). 2. Ovarium (amenorea ovarium). 3. Uterus (amenorea uteriner). 1. Amenorea sentral: Amenorea hipotalamik Prinsip dasar: Terjadi gangguan organik maupun fungsional pada hipotalamik. Penyebab: - Organik: kraniofaringeoma, infeksi: meningoensefalitis, kelainan bawaan: Sindroma olfaktogenital. - Fungsional: paling sering ditemukan gangguan psikis. Terjadi gangguan pengeluaran Gn-RH, sehingga pengeluaran hormon gonadotropin berkurang. Sering dijumpai pada pengungsi, wanita dalam penjara, perasaan takut/gelisah, stres. Menolak untuk makan (gangguan makan), atau diet yang berlebihan, yang dikenal dengan anoreksia nervosa. Hal ini dapat menyebabkan gangguan psikis, neurotis, dan gangguan pada organ-

153

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 154/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

organ tertentu, sehingga dapat terjadi kerusakan organ (atrofi). Bentuk gangguan makan lain adalah bulimia. - Obat-obatan: Fenotiazin, Simetidin, Domperidon, Metoklopromid HCl. Menghambat Prolactin Inhibiting Factor (PIF), sehingga terjadi hiperprolaktinemia dengan atau tanpa galaktorea. Manajemen: Penyebab organik ditangani sesuai dengan penyebab organik tersebut. Penyebab fungsional: konsultasi atau konseling. Psikoterapi ataupun penggunaan obat-obat psikofarmaka hanya pada keadaan yang berat saja, seperti pada anoreksia nervosa dan bulimia. Penting diketahui, bahwa obat-obat psikofarmaka dapat meningkatkan Prolaktin. Agar merasa tetap sebagai seorang wanita, dapat diberikan Estrogen dan Progesteron siklik. Kekurangan Gn-RH: diberikan Gn-RH pulsatif (bila mungkin), atau pemberian FSH-LH dari luar. Amenorea hipofisis Prinsip dasar: Penyebab terbanyak adalah kelainan organik, seperti Sindroma Sheehan. Sindroma Sheehan terjadi akibat iskemik/nekrotik adenohipofisis postpartum (trombosis vena hipofisis). Adenohipofisis sangat sensitif dalam kehamilan. Produksi FSH dan LH terganggu akibat kekurangan stimulasi oleh Gn-RH. Gejala: biasanya baru muncul, bila dari adenohipofisis rusak, dan biasanya hampir semua hormon yang diproduksi oleh adenohipofisis terganggu, sehingga terjadi: amenorea, lemah otot, hipotermi, berkurangnya produksi air susu, tidak ada rambut pubis/ketiak, gangguan libido, gejala hipotiroid. Tumor hipofisis Prinsip dasar: Beberapa tumor hipofisis dapat menyebabkan amenorea akibat tekanan masa tersebut terhadap hipofisis, ataupun akibat gangguan dalam produksi hormon. Kraniofaringeoma merupakan tumor yang tidak memproduksi hormon. Adenoma eosinofil, memproduksi hormon somatotropin. Prapubertas terjadi penutupan tulang lebih awal, sedangkan setelah pubertas terjadi akromegali. Adenoma basofil menyebabkan Morbus Cushing.

154

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 155/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Manajemen: Substitusi hormon yang kurang (FSH, LH), atau pemberian steroid seks secara siklik. Pengangkatan tumor. Sindroma Amenorea Galaktorea Prinsip dasar: Hampir 20% wanita dengan amenorea sekunder dijumpai hiperprolaktinemia. Pengeluaran Prolaktin dihambat oleh Prolactin Inhibiting Factor (PIF), yang identik dengan Dopamin. Hiperprolaktinemia terjadi, bila PIF tidak berfungsi, seperti pada: - Gangguan di hipotalamus, dimana sekresi PIF berkurang. - Kerja PIF dihambat oleh obat-obat tertentu, seperti: Fenotiazine, transquilaizer, psikofarmaka dan Estrogen, Domperidon, dan Simetidin. - Kerusakkan pada sistem vena portal hipofisis. - Prolaktinoma, hipertiroid, akromegali. Hiperprolaktinemia dapat menyebabkan: - Sekresi FSH dan LH berkurang. - Sensitivitas ovarium terhadap FSH dan LH berkurang. - Memicu produksi air susu. - Memicu sintesis Androgen di suprarenal. - Hiperprolaktinemia dan hiperandrogenemia dapat menyebabkan osteoporosis. Gejala: - Pada umumnya terjadi amenorea dengan atau tanpa galaktorea. - Pematangan folikel terganggu, dan ovulasi tidak terjadi. Produksi Estrogen berkurang. Kesemua ini akan mengakibatkan infertilitas. Bila seorang wanita mengeluh sakit kepala, disertai dengan amenorea, serta gangguan penglihatan, maka harus dipikirkan adanya prolaktinoma. Diagnosis: Dijumpai kadar Prolaktin yang tinggi di dalam serum (normal 5-25 ng/mL). Pemeriksaan darah sebaiknya dilakukan antara jam 8-10 pagi. Kadar Prolaktin > 50 ng/mL, perlu dipikirkan adanya prolaktinoma. Sehingga dianjurkan untuk pemeriksaan kampimetri, dan foto sela tursika. Untuk melihat mikroprolaktinoma, dianjurkan penggunaan CT-scan, atau MRI.

155

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 156/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Untuk mengetahui, apakah hiperprolaktinemia tersebut disebabkan oleh prolaktinoma, atau oleh penyebab yang lain, dapat dilakukan uji provokasi atau untuk mengetahui apakah operasi prolaktinoma berhasil atau tidak. Kadang-kadang dengan CT scan-pun mikroadenoma tidak dapat ditemukan. Berikut ini beberapa uji provokasi yang dapat digunakan: 1. Uji dengan TSH (berikan Thyroid Stimulating Hormone). TSH diberikan intravena dengan dosis antara 100-500 ug. 15-25 menit kemudian terjadi peningkatan Prolaktin serum. Pada wanita yang tidak menderita prolaktinoma terjadi peningkatan Prolaktin 4-14 kali harga normal, sedangkan wanita dengan prolaktinoma pemberian TSH tidak dijumpai perubahan kadar Prolaktin serum. 2. Uji dengan Simetidin (Tagamet). Simetidin adalah histamin-reseptor antagonis. Pemberian 200 mg intravena terjadi peningkatan Prolaktin serum, dan mencapai maksimum 15-20 menit setelah suntikan. Pada penderita prolaktinoma, uji ini tidak meningkatkan Prolaktin serum. 3. Uji dengan Domperidon (Motillium). Pemberian 10 mg intravena meningkatkan kadar Prolaktin serum 8-11 kali nilai normal. Pada penderita prolaktinoma tidak dijumpai peningkatan Prolaktin serum.
Uji Provokasi Prolaktinoma Kadar Prolaktin Uji TSH tidak meningkat. Uji Simetidin tidak meningkat. Uji Domperidon tidak meningkat. Tanpa Prolaktinoma Kadar Prolaktin Meningkat 4-14 kali. Meningkat dari kadar normal. Meningkat 8-11 kali nilai normal.

Manajemen: Obat yang paling banyak digunakan untuk menurunkan kadar Prolaktin adalah Bromokriptin. Dosis obat sangat tergantung dari kadar Prolaktin yang ditemukan saat itu. Kadar Prolaktin 25-40 ng/mL, dosis Bromokriptin cukup 1 x 2,5 mg/hari, sedangkan kadar Prolaktin serum > 50 ng/mL, diperlukan dosis 2 x 2,5 mg/hari. Efek samping yang sering adalah mual, serta hipotensi (pusing). Apakah dosis yang diberikan telah efektif, sangat tergantung dari kadar Prolaktin serum. Setiap selesai satu bulan pengobatan, kadar Prolaktin serum harus diperiksa. Jangan sampai kadar Prolaktin berada di bawah nilai normal, karena dapat mengganggu fungsi

156

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 157/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

korpus luteum. Bila wanita tersebut hamil, pemberian Bromokriptin harus dihentikan (teratogenik ?), dan perlu dilakukan kampimetri secara teratur. Hormon Estrogen yang tinggi dalam kehamilan dapat menyebabkan prolaktinoma membesar, sehingga sebelum merencanakan kehamilan, perlu dipikirkan untuk pengangkatan tumor terlebih dahulu. Wanita harus mengikuti kontrasepsi (Progestogen saja, IUD). Tidak semua wanita dengan hiperprolaktinemia dijumpai galaktorea. Pemberian Bromokriptin pada wanita dengan galaktorea tanpa hiperprolaktinemia tidak memberikan efek apapun. Amenorea ovarium Pengertian: Kedua ovarium tidak terbentuk, atau hipoplasia, seperti pada Sindroma Turner, atau ke dua ovarium masih ada, namun tidak ditemukan folikel (Menopause Prekoks) atau folikel tersedia, namun resisten terhadap gonadotropin (Sindroma Ovarium Resisten Gonadotropin). Pasien umumnya infertil, dan meskipun masih ada folikel, tetap tidak bereaksi terhadap pemberian gonadotropin. Gambaran seks sekunder kurang terbentuk. Untuk membedakan Menopause Prekoks dan Sindrom Ovarium Resisten Gonadotropin, perlu dilakukan biopsi ovarium. Hasil PA: Menopause Prekoks tidak ditemukan folikel. Sindrom Ovarium Resisten Gonadotropin masih ditemukan folikel. Manajemen: Untuk menekan sekresi FSH dan dapat diberikan Estrogen dan Progesteron, atau Estrogen saja secara siklik. Selain itu untuk menekan sekresi FSH dan LH yang berlebihan dapat juga diberikan Gn-RH analog selama 6 bulan. Pada Menopause Prekoks maupun Sindroma Ovarium Resisten Gonadotropin, steroid seks diberikan sampai terjadi haid. Kemungkinan menjadi hamil sangat kecil. Tumor ovarium Pengertian: Tumor ovarium yang tidak memproduksi hormon. Tumor jenis ini merusak seluruh jaringan ovarium. Tumor ovarium yang memproduksi hormon:

157

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 158/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Tumor yang menghasilkan Androgen. Androgen yang tinggi akan menekan sekresi gonadotropin. Selain itu ditemukan hirsutisme, hipertropi klitoris, perubahan suara, akne dan seborea. Tumor yang memproduksi Estrogen. Sebenarnya jarang ditemukan amenorea. Paling sering terjadi perdarahan yang memanjang, akibat hiperplasia endometrium. Penyebab terjadi amenorea belum jelas.
Bilateral jarang 10-15% jarang jarang jarang 15% 35-40% -

Tumor ovarium yang memproduksi Androgen dan Estrogen Jenis tumor Jenis hormon Usia maksimum Keganasan Arhenoblastoma Androgen 20-40 100% Granulosa sel tumor Androgen 30-70 100% Lipoid sel tumor Androgen 25-35 jarang Tumor sel hilus Androgen 40 jarang Tumor sisa sel adrenal Androgen 11-40 jarang Disgerminoma Androgen 3-40 100% Gonadoblastoma Androgen 10-30 100% Granulosa sel tumor Estrogen 25%

Menopause Prekoks: Pengertian: Menopause yang terjadi sebelum wanita mencapai usia 40 tahun. Prinsip dasar: Kelainan pada folikel primordial di kedua ovarium, berupa kelainan bawaan maupun kelainan yang didapat. Kelainan dapat berupa infeksi, radiasi, pemberian sitostatika, gangguan aliran darah pada ovarium (komplikasi tubektomi), atau pengangkatan kedua ovarium karena alasan-alasan tertentu (tumor ovarium), kelainan imunologik, obat-obat penurun berat badan yang menyebabkan kerusakkan dan gangguan pada hipotalamus-hipofisis. Diagnosis: Anamnesis: ditemukan riwayat sedang menggunakan obat-obat penurun berat badan, atau obat-obat psikofarmaka, maka wajib dilakukan pemeriksaan hormon Prolaktin. Peningkatan sekresi LH dan FSH. FSH meningkat 10-20 kali lipat, sedangkan LH naik 5-10 kali lipat, Estrogen sangat rendah (< 30 pg/mL). Kadar Prolaktin umumnya normal.

158

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 159/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Manajemen: Berikan Estrogen dan Progesteron, paling sederhana pil kontrasepsi kombinasi, yang merupakan pengobatan jangka panjang. Dapat juga diberikan analog Gn-RH selama 6 bulan dan boleh diberikan lagi setelah 1 tahun. Tujuan pemberian Estrogen-Progesteron maupun analog Gn-RH adalah untuk menekan sekresi FSH dan LH. Prognosis: Untuk mendapatkan anak tidak begitu baik. Amenorea uteriner Prinsip dasar: Andaikata telah diberikan stimulasi dengan steroid seks (Estrogen dan Progesteron) tetap saja tidak terjadi perdarahan, maka perlu dipikirkan: - Aplasia uteri: uterus dan endometrium tidak ada (amenorea uteriner primer). - Kerusakkan pada endometrium akibat perlengketan (Sindroma Asherman), atau adanya infeksi berat (TBC) disebut sebagai amenorea uteriner sekunder. - Endometrium ada dan normal, tetapi tidak bereaksi sama sekali terhadap hormon. Pemeriksaan dan Penanganan Amenorea Berikut ini akan dibahas secara menyeluruh tentang pemeriksaan dan penanganan amenorea. Anamnesis: Usia menars, gangguan psikis, stres berat (ujian, masalah keluarga), aktivitas fisik berlebihan, menderita penyakit Diabetes Melitus, penyakit liver atau riwayat penyakit liver, gangguan tiroid (riwayat operasi), penambahan, atau pengurangan berat badan yang mencolok, sedang atau riwayat penggunaan obat psikofarmaka, obat-obat penurun/penambah berat badan, obat-obat tradisional. Pemeriksaan fisik: Berat badan, tinggi badan, pertumbuhan payudara, pertumbuhan rambut pubis dan ketiak, perut membesar, akne, seborea, pembesaran klitoris, deformitas torak.

159

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 160/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pemeriksaan ginekologik: singkirkan kemungkinan kehamilan, pemeriksaan genitalia interna dan eksterna. Mencari penyebab amenorea dapat dilakukan secara sederhana, yaitu dengan melakukan beberapa tes atau uji. Setelah selesai anamnesis, pemeriksaan fisik dan ginekologik, selanjutnya dilakukan Uji Progesteron (Uji P). Uji P dilakukan pada wanita yang diyakini tidak hamil. Jenis-jenis Progesteron yang dapat digunakan untuk Uji P adalah Medroksiprogesteron Asetat (MPA), Noretisteron, Didrogesteron, atau Nomegestrol Asetat (NGA). Dosis Progesteron untuk Uji P adalah 5-10 mg/hari dengan lama pemberian 7 hari. Pada umumnya perdarahan akan terjadi 3-4 hari setelah obat habis, dan dikatakan Uji P pada wanita ini positif. Bila perdarahan terjadi 2 atau 3 hari setelah pasien menggunakan Progesteron, maka tidak perlu dilanjutkan lagi dengan sisanya. Terjadinya perdarahan lucut setelah penggunaan Progesteron berbeda-beda pada setiap wanita, sehingga jangan terlalu cepat mengatakan Uji P negatif. Andaikata 10 hari setelah obat habis dan belum juga terjadi perdarahan, maka baru dikatakan Uji P negatif. Arti Uji P positif: - Perdarahan terjadi, berarti wanita tersebut memiliki uterus dan endometrium normal. - Perdarahan dapat keluar, artinya wanita tersebut memiliki vagina dan himen yang normal. - Perdarahan terjadi karena adanya efek Estrogen terhadap endometrium (proliferasi). Pemberian P menyebabkan sekresi endometrium. Kadar P turun, terjadilah perdarahan. - Estrogen diproduksi di ovarium, tepatnya di folikel. Artinya wanita tersebut memiliki ovarium, maupun pertumbuhan folikel yang normal. Folikel dapat berkembang dan menghasilkan Estrogen karena ada rangsangan dari FSH dan LH, artinya wanita tersebut memiliki fungsi hipofisis yang normal. Hipofisis dapat memproduksi FSH dan LH akibat adanya rangsangan Gn-RH dari hipotalamus, artinya wanita tersebut memiliki hipotalamus yang normal. Uji P positif: Bagi wanita yang belum menginginkan anak, cukup diberikan Progesteron dari hari ke-16 sampai hari ke-25 siklus haid. Setiap habis obat pada umumnya akan terjadi perdarahan. Pengobatan berlangsung selama 3 siklus berturut-turut. Setelah itu dilihat, apakah siklus haid menjadi normal kembali, atau tidak. Kalau masih belum terjadi juga siklus haid normal, maka pengobatan dilanjutkan lagi, sampai terjadi siklus haid yang normal lagi. Perlu diingat, bahwa akibat pengaruh

160

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 161/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

E yang terus menerus dapat menyebabkan hiperplasia endometrium, dan risiko terkena kanker endometrium lebih besar. Pemberian P pada wanita ini sekaligus mencegah kanker endometrium. Masalah akan muncul, bila wanita tersebut telah mendapat siklus haid normal, namun belum ingin punya anak. Untuk itu, perlu dianjurkan penggunaan kontrasepsi, seperti IUD, atau yang paling sederhana adalah pemberian pil kontrasepsi kombinasi dosis rendah. Uji P negatif: Wanita dengan uji P negatif, dilakukan Uji Estrogen dan Progesteron (Uji E+P) Diberikan Estrogen, seperti Etinilestradiol (50 ug), atau Estrogen Valerianat (2 mg), atau Estrogen Konjugasi (0,625 mg) selama 21 hari, dan dari hari ke-12 sampai hari ke-21 diberikan Progesteron 5-10 mg/hari. Paling sederhana adalah pemberian pil kontrasepsi kombinasi. Uji E+P dikatakan positif, bila 2 atau 3 hari setelah obat habis terjadi perdarahan (bervariasi), dan bila tidak terjadi perdarahan, Uji E+P dikatakan negatif, yang artinya ada gangguan di uterus (Sindroma Asherman), atau Atresia Genitalia Distal. Uji E+P positif: Uji E+P yang positif artinya wanita tersebut hipoestrogen. Terjadi gangguan pembentukan Estrogen di folikel. Selanjutnya perlu dicari penyebabnya dengan analisis hormonal. FSH dan LH rendah/normal, serta Prolaktin normal, maka diagnosisnya adalah amenorea hipogonadotropik dengan penyebabnya adalah insufisiensi hipotalamus-hipofisis. Insufisiensi tersebut disebabkan oleh tumor di hipofisis. Bila hasil analisis hormonal ditemukan FSH dan LH yang tinggi, Prolaktin normal, maka penyebab amenoreanya adalah di ovarium (insufisiensi ovarium), misalnya Menopause Prekoks. Diagnosisnya adalah amenorea hipergonadotropik. Selanjutnya perlu dilakukan biopsi ovarium per-laparoskopi. Bila hasil hormon FSH dan LH sangat rendah berarti tidak terjadi pematangan folikel, atau ovarium tidak memiliki folikel-folikel lagi, maka perlu dilakukan Uji Stimulasi dengan HMG (Uji HMG) untuk memicu fungsi ovarium. Ovarium yang normal akan memproduksi E, yang dapat diperiksa melalui urine atau darah (Uji HMG positif). Uji HMG positif: amenorea yang terjadi karena kurangnya produksi gonadotropin di hipofisis, atau produksi Gn-RH di hipotalamus. Amenorea disebabkan karena gangguan sentral berupa hipogonadotropik-hipogonadism. Uji HMG negatif: ovarium tidak memiliki folikel, atau masih memiliki folikel, tetapi tidak sensitif terhadap gonadotropin, seperti pada kasus Sindroma Ovarium Resisten.

161

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 162/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Bila ditemukan kadar FSH dan LH normal sampai rendah, maka perlu di periksa Prolaktin. Kadar serum Prolaktin melebihi kadar normal, termasuk kasus dengan hiperprolaktinemia. Pemeriksaan radiologik mungkin dapat menemukan atau tidak menemukan tumor di hipofisis yang disebut Prolaktinoma. Diagnosis wanita ini adalah amenorea hiperprolaktinemia, dan bila ditemukan tumor hipofisis, maka penyebabnya mikro/makroprolatinoma, sedangkan yang tanpa tumor hipofisis, penyebabnya tidak diketahui. Kadar Prolaktin, FSH dan LH normal (amenorea normoprolaktin), maka tindakan selanjutnya dapat dilakukan Uji Stimulasi dengan Klomifen Sitrat (Uji Klomifen). Klomifen diberikan 100 mg/hari, selama 5-10 hari. Uji Klomifen dikatakan positif, bila selama penggunaan Klomifen dijumpai peningkatan FSH dan LH serum dua kali lipat, dan 7 hari setelah penggunaan Klomifen, didapatkan peningkatan serum Estradiol paling sedikit 200 pg/mL. Darah untuk pemeriksaan FSH, LH dan E 2 diambil pada hari ke-7 penggunaan Klomifen Sitrat. Peningkatan hormon gonadotropin menunjukkan hipofisis normal. Pada Uji Klomifen Sitrat negatif yang berarti terjadi gangguan di hipotalamus, dapat dilakukan Uji Stimulasi dengan Gn-RH (Uji Gn-RH). Uji ini untuk mengetahui fungsi parsial adenohipofisis, apakah sel-sel yang memproduksi FSH dan LH mampu mengeluarkan FSH dan LH, bila diberikan Gn-RH dari luar. GnRH diberikan dengan dosis 25-100 ug intravena. Tiga puluh menit setelah pemberian Gn-RH, dilakukan pengukuran kadar LH dan FSH serum. Uji Gn-RH dikatakan positif, bila dijumpai kadar FSH dan LH yang normal, ataupun tinggi. Disini dapat disimpulkan adanya gangguan di hipotalamus, sedangkan bila tidak dijumpai peningkatan, berarti ada kelainan di hipofisis.

Manajemen amenorea pada wanita dengan uji P negatif dan uji E-P positif: Pada wanita dengan hiperprolaktinemia, ditangani dengan pemberian Bromokriptin. Pada normoprolaktinemia cukup pemberian Estrogen-Progesteron siklik, meskipun cara ini tidak mengobati penyebab dari amenorea tersebut. Bila diduga kelainan di hipofisis, maka untuk memicu ovarium dapat diberikan HMG + hCG, sedangkan kelainan di hipotalamus dapat diberikan Gn-RH. Manajemen amenorea pada wanita dengan uji P negatif dan E-P negatif: Pemeriksaan FSH, LH, Prolaktin serum, dan bila normal, maka diagnosisnya adalah normogonadotrop amenorea, dengan penyebabnya defek endometrium (aplasia uteri, Sindroma Asherman, TBC).

162

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 163/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

3. Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD) Definisi: Perdarahan abnormal dari uterus (lama, frekuensi, jumlah) yang terjadi di dalam dan di luar siklus haid, tanpa kelainan organ, hematologi, dan kehamilan, dan merupakan kelainan poros hipotalamus-hipofisis-ovarium. Diagnosis: Terjadinya perdarahan per-vaginam yang tidak normal (lamanya, frekuensi dan jumlah) yang terjadi di dalam maupun di luar siklus haid. Tidak ditemukan kehamilan, kelainan organ, maupun kelainan hematologi (faktor pembekuan). Ditemukan kelainan fungsi poros hipotalamus-hipofisis-ovarium. Usia terjadinya: - Perimenars (usia 8-16 tahun). - Masa reproduksi (usia 16-35 tahun). - Perimenopause (usia 45-65 tahun). Pemeriksaan penunjang: Pemeriksaan hematologi. Pemeriksaan hormon reproduksi: FSH, LH, Prolaktin, E2, Progesteron. Biopsi, dilatasi dan kuretase (D&K) bila tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan USG. PUD pada siklus anovulasi Prinsip dasar: Perdarahan interval abnormal, dengan intensitas perdarahan normal, banyak, atau sedikit. Bisa amenorea sampai ke polimenorea, atau hipomenorea sampai hipermenorea. Tidak terjadi ovulasi dan tidak ada pembentukan korpus luteum. Penyebab belum diketahui secara pasti. Analisis hormonal umumnya normal. Diduga terjadi gangguan sentral (disregulasi), akibat gangguan psikis. Diagnosis : Anovulasi: suhu basal badan, sitologi vagina, serum Progesteron (bila mungkin).

163

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 164/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Manajemen: Tujuannya adalah menghentikan perdarahan akut; dilanjutkan dengan pengaturan siklus haid, sampai terjadi ovulasi spontan, dan sampai persyaratan untuk induksi ovulasi tercapai. Perdarahan akut: Hb < 8 gr%. Perbaiki keadaan umum (transfusi darah). Berikan sediaan Estrogen-Progesteron kombinasi 17 beta Estradiol 2 x 2 mg, atau Estrogen Equin Konjugasi 2 x 1,25 mg, atau Estropipate 1 x 1,25 mg, dengan Noretisteron 2 x 5 mg, Didrogesteron 2 x 10 mg, atau MPA 2 x 10 mg. Pemberian cukup 3 hari saja. Yang paling mudah adalah pemberian pil kontrasepsi kombinasi selama 3 hari saja. Bila perdarahan benar disfungsional, maka perdarahan akan berhenti, atau berkurang, dan 3-4 hari setelah penghentian pengobatan akan terjadi perdarahan lucut. Pada wanita yang dijumpai gangguan psikis, pengobatan serupa dapat diteruskan selama 18 hari lagi. Andaikata perdarahan tidak berhasil dengan terapi di atas, kemungkinan besar wanita tersebut memiliki kelainan organik, selanjutnya dicari faktor penyebabnya. Setelah perdarahan akut dapat diatasi, maka tindakan selanjutnya adalah pengaturan siklus: cukup pemberian Progesteron 1 x 10 mg (MPA, Didrogesteron), atau 1 x 5 mg Noretisteron dari hari ke-16 sampai hari ke-25, selama 3 bulan. Dapat juga diberikan pil kontrasepsi kombinasi. Selesai pengobatan 3 bulan, perlu dicari penyebab anovulasi. Selama siklus belum berovulasi, PUD akan kembali lagi. Wanita dengan faktor risiko keganasan (obesitas, DM, hipertensi) perlu dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi. PUD pada siklus ovulasi Diagnosis: Ovulasi: suhu basal badan, sitologi vagina, analisis hormonal FSH, LH, Prolaktin (PRL), E2 dan P (bila mungkin). Manajemen: Pada pertengahan siklus: berikan 17 beta Estradiol 1 x 2 mg, atau Estrogen Konjugasi 1 x 1,25 mg, atau Estropipate 1,25 mg, hari ke-10 sampai ke-15 siklus.

164

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 165/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pada premenstrual spotting: berikan MPA, atau Noretisteron 1 x 5 mg, atau Didigesteron 1 x 10 mg dari hari ke-16 sampai ke-25 siklus. Pada postmenstrual spotting: berikan 17 beta Estradiol 1 x 2 mg, atau Estrogen Equin Konjugasi, atau Estropipate 1 x 1,25 mg dari hari ke-2 sampai ke-8 siklus. Pada keadaan sulit mendapatkan tablet Estrogen dan Progesteron, dapat diberikan pil kontrasepsi hormonal kombinasi yang diberikan sepanjang siklus.

PUD pada usia perimenars Prinsip dasar: PUD ini umumnya terjadi pada siklus anovulatorik, yaitu sebanyak 95-98%. Diagnosis anovulasi, dan analisis hormonal tidak perlu dilakukan. Selama perdarahan yang terjadi tidak berbahaya atau tidak mengganggu keadaan pasien, maka tidak perlu dilakukan tindakan apapun. Namun andaikata terpaksa dan perlu diobati, misalnya terjadi gangguan psikis, atau permintaan pasien, maka diberikan antiprostaglandin, antiinflamasi nonsteroid, atau Asam Traneksamat. Pemberian E + P, kontrasepsi hormonal, Gn-RH analog (agonis/antagonis) hanya bila dengan obat-obatan di atas tidak memberikan hasil. Pada PUD perimenars akut, maka penanganannya seperti PUD usia reproduksi, dan pengaturan siklus juga seperti PUD usia reproduksi. Selama siklus haidnya masih belum berovulasi, kemungkinan terjadi perdarahan akut berulang tetap ada. Tidak dianjurkan pemberian induksi ovulasi. Tindakan dilatasi dan kuretase (D&K) hanya merupakan pilihan terakhir. PUD pada usia perimenopause Prinsip dasar: Kejadian anovulasi sekitar 95%. Diagnosis ovulasi tidak perlu. Pemeriksaan hormonal FSH, E2, PRL, untuk mengetahui, apakah wanita tersebut telah memasuki usia menopause, bila tersedia laboratorium. FSH yang tinggi, berarti usia perimenopause, E2 yang tinggi, berarti terjadi penebalan endometrium. Untuk menyingkirkan keganasan, dilakukan dilatasi dan kuretase (D&K).

165

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 166/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Manajemen: Pada keadaan akut, lakukan tindakan seperti PUD usia perimenars. Pengaturan siklus juga seperti PUD usia reproduksi. Setelah keadaan akut diatasi perlu dilakukan dilatasi dan kuretase. Pada wanita yang menolak dilakukan D&K, dilakukan USG endometrium, dan bila ketebalan endometrium > 4-6 mm, menandakan adanya hiperplasia, tetap diperlukan D&K. Ketebalan endometrium < 1,5 cm, dapat diberikan E dan P untuk pengaturan siklus, dan apabila pengaturan siklus tidak juga diperoleh hasil, maka perlu tindakan D&K. Apabila hasil D&K ditemukan hiperplasia simpleks atau kelenjar adenomatosa, dapat dicoba dengan pemberian MPA 3 x 10 mg, selama 3 bulan; atau pemberian depo MPA setiap bulan, selama 6 bulan berturut-turut, atau pemberian Gn-RH analog 6 bulan. Tiga sampai 6 bulan setelah pengobatan, dilakukan D&K ulang. D&K ulang dilakukan setelah pasien mendapat haid normal. Apabila tidak ditemukan hiperplasia lagi, cukup pemberian MPA 3 x 10 mg, 2 kali/minggu. Tidak sembuh, atau muncul perdarahan lagi, sebaiknya dianjurkan untuk histerektomi. Bila tidak ada respon dengan pengobatan hormonal, pemberian penghambat enzim (aromatase inhibitor). Aromatase inhibitor menghambat perubahan Androgen menjadi Estron (E1). Hasil D&K hiperplasia atipik, sebaiknya di histerektomi. Apabila pasien menolak histerektomi, dapat diberikan Progesteron (MPA, depo MPA, atau Gn-RH analog 6 bulan), atau penghambat enzim; dan diperlukan observasi ketat, dan D&K perlu diulang. Bila hasil D&K tidak ditemukan hiperplasia, maka dilakukan pengaturan siklus, dengan E dan P, seperti pada PUD usia reproduksi Metroragia Definisi: Perdarahan tak teratur, kadang di pertengahan siklus, sering pada usia menopause. Paling sering adalah kelainan organik. Penyebab: - Penyebab organik: karsinoma korpus uteri, mioma submukosum, polip, dan karsinoma serviks. Pengobatannya adalah operatif.

166

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 167/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Penyebab endokrinologik sangat jarang. Dijumpai pada usia perimenars, reproduksi, dan perimenopause. Manajemen seperti PUD usia perimenars, reproduksi dan perimenopause.

Manajemen: D&K dan sesuai hasil Patologi Anatomi. 4. Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) Definisi: SOPK merupakan kumpulan gejala, bukan merupakan suatu penyakit. Penyebab pasti belum diketahui. Perlu dibedakan antara ovarium polikistik (OPK), tanpa sindroma; dan Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK). Prinsip dasar: SOPK berkaitan dengan anovulasi kronik. Gangguan hormonal merupakan penyebab terbanyak. Pemeriksaan hormon sesuai dengan keluhan yang dimiliki pasien. Setiap wanita gemuk perlu dipikirkan adanya resistensi insulin. SOPK merupakan faktor risiko kanker payudara, endometrium dan penyakit jantung koroner. Diagnosis: Amenorea, oligomenorea, infertilitas, adipositas, hirsutismus (pertumbuhan rambut berlebihan di muka, di atas bibir, dada, linea alba), akne, seborea, pembesaran klitoris, pengecilan payudara. USG dan atau laparoskopi merupakan alat utama untuk diagnosis. Dengan USG, hampir 95% diagnosis dapat dibuat. Terlihat gambaran seperti roda pedati, atau folikel-folikel kecil berdiameter 7-10 mm. Baik dengan USG, maupun dengan laparoskopi, kedua, atau salah satu ovarium pasti membesar. Wanita SOPK menunjukkan kadar FSH, PRL, dan E normal, sedangkan LH sedikit meninggi (nisbah LH/FSH > 2,5). LH yang tinggi ini akan meningkatkan sintesis T di ovarium, dan membuat stroma ovarium menebal (hipertekosis). Kadar T yang tinggi membuat folikel atresia. Bila ditemukan hirsutismus, perlu diperiksa testosteron, dan umumnya kadar T tinggi. Untuk mengetahui, apakah hirsutismus tersebut berasal dari ovarium, atau kelenjar suprarenal, perlu diperiksa DHEAS.

167

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 168/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Kadar T yang tinggi selalu berasal dari ovarium (> 1,5 ng/mL), sedangkan kadar DHEAS yang tinggi selalu berasal dari kelenjar suprarenal (> 5-7 ng/mL). Indikasi pemeriksaan T maupun DHEAS dapat dilihat dari berat ringannya pertumbuhan rambut. Bila pertumbuhan rambut yang terlihat hanya sedikit saja (ringan), maka kemungkinan besar penyebab tingginya Androgen serum adalah akibat gangguan pada ovarium, berupa anovulasi kronik, sedangkan bila terlihat pertumbuhan rambut yang mencolok, maka peningkatan Androgen kemungkinan besar berasal dari kelenjar suprarenal, berupa hiperplasia, atau tumor. Menurut konsensus National Institute of Child Health and Human Development pada tahun 1977, maka kriteria untuk mendiagnosis SOPK ditetapkan paling sedikit terdapat 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. - Kriteria mayor adalah: anovulasi dan hiperandrogenemia. - Kriteria minor adalah: resistensi insulin, hirsutismus, obesitas, nisbah LH/FSH > 2,5 dan pada USG terbukti ditemukan ovarium polikistik. Kriteria minimal untuk mendiagnosis SOPK adalah 1 kriteria mayor berupa anovulasi dan 2 kriteria minor berupa LH/FSH > 2,5 dan terbukti adanya ovarium polikistik dengan menggunakan USG. Manajemen: Pengobatan pada wanita yang belum ingin anak Pada wanita yang belum menginginkan anak dapat diberikan pil kontrasepsi yang mengandung Estrogen-Progesteron sintetik. Pil kontrasepsi menekan fungsi ovarium, sehingga produksi Testosteron menurun. Selain itu, pil kontrasepsi menekan sekresi LH, sehingga sintesis Testosteron-pun berhenti. Estrogen sintetik memicu sintesis SHBG di hati, dan SHBG ini akan mengikat lebih banyak lagi Testosteron dalam darah. Pada wanita dengan hirsutismus lebih efektif pemberian anti androgen, seperti Siprosteronasetat (SPA). SPA menghambat kerja Androgen langsung pada target organ. SPA yang termasuk jenis Progesteron alamiah, juga memiliki sifat glukokortikoid, sehingga dapat menghambat ACTH, dan dengan sendirinya pula menekan produksi Androgen di suprarenal. Bila belum tersedia sediaan SPA, maka dapat digunakan pil kontrasepsi yang mengandung SPA. Prognosis pengobatan dengan SPA sangat tergantung dari: - Wanita dengan kadar T yang tinggi, memiliki respon yang baik. - Bila hirsutismus sudah berlangsung lama, prognosis jelek. - Wanita muda keberhasilannya lebih baik.

168

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 169/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

- Rambut/bulu di daerah dada dan perut memiliki respon baik. SPA diberikan 1-2 tahun. Bila ternyata hirsustismus tetap juga tidak hilang, maka perlu dipikirkan adanya kelainan kongenital adrenal. Dianjurkan untuk pemeriksaan hormon 17 alfa Hidroksiprogesteron. Kadar yang tinggi, menunjukkan adanya defisiensi enzim 21 Hidroksilase. Dewasa ini mulai di gunakan Gn-RH analog (agonis atau antagonis) untuk menekan fungsi ovarium

Pengobatan pada wanita yang ingin anak Diberikan pemicu ovulasi, seperti Klomifen Sitrat, atau Gonadotropin yang mengandung FSH/LH atau LH saja. Klomifen Sitrat meningkatkan aromatisasi T menjadi Estradiol (E2), dan E2 ini menekan sekresi LH. Gonadotropin mengembalikan keseimbangan FSH/LH. Hati-hati terjadi hiperstimulasi ovarium. Bila belum juga berhasil mendapatkan anak, maka diberikan pil kontrasepsi, atau Gn-RH analog (agonis/antagonis) sampai nisbah LH/FSH 1, dan baru kemudian diberikan induksi ovulasi. Dewasa ini tindakan pembedahan reseksi baji tidak dilakukan lagi. Dengan berkembangnya laparoskopi, dapat dilakukan drilling pada ovarium. Tujuannya untuk mengeluarkan cairan folikel yang banyak mengandung T. Jumlah lubang lebih kurang 10 buah.

5. Menopause Definisi: Pramenopause: masa antara usia 40 tahun dan dimulainya siklus haid tidak teratur, terkadang ada menoragia dan dismenorea; disertai atau tidak disertai

169

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 170/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

keluhan vasomotorik, atau keluhan premenstrual syndrome (PMS); dengan kadar FSH, dan E normal atau meninggi. Perimenopause (klimakterium): masa perubahan antara premenopause dan postmenopause (sampai 12 bulan setelah menopause); haid mulai tidak teratur, oligomenorea, menoragia, dismenorea; muncul keluhan klimakterik, PMS. Kadar FSH, LH, dan E bervariasi. Menopause: haid berakhir secara permanen. Pascamenopause: waktu setelah menopause sampai senium (dimulai setelah 12 bulan amenorea). Muncul keluhan klimakterik, kadar FSH, LH tinggi, E rendah. Menopause prekok: menopause sebelum usia 40 tahun. Keluhan, maupun profil hormon FSH, LH, E2 sama seperti menopause alami. Senium: pascamenopause lanjut sampai usia > 65 tahun.

Diagnosis: Usia wanita: 40-65 tahun. Tidak haid > 12 bulan, atau haid tidak teratur. Setiap amenorea, singkirkan kemungkinan kehamilan. Anamnesis: haid tidak teratur, atau tidak haid sama sekali. Bila ternyata keluhan sudah ada, sebelum wanita memasuki usia menopause, maka perlu dipikirkan penyebab lain. Keluhan klimakterik: - Vasomotorik: gejolak panas, jantung berdebar-debar, sakit kepala, keringat banyak (malam hari). - Psikologik: perasaan takut, gelisah, mudah tersinggung, lekas marah, tidak konsentrasi, perubahan perilaku, depresi, gangguan libido. - Urogenital: nyeri sanggama, vagina kering, keputihan, infeksi, perdarahan pasca sanggama, infeksi saluran kemih, gatal pada vagina/vulva, iritasi. Prolapsus uteri/vagina, nyeri berkemih, inkontinensia urine. - Kulit: kering, menipis, gatal-gatal, keriput, kuku rapuh, berwarna kuning. - Tulang: nyeri tulang dan otot. - Mata: keratokonjungtivitis sika, kesulitan menggunakan kontak lensa. - Mulut: kering, gigi mudah rontok. - Rambut: menipis, hirsutismus. - Metabolisme: kolesterol tinggi, HDL turun, LDL naik.

170

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 171/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Namun terdapat wanita yang tidak terdapat keluhan, tetapi jangka panjang akan terkena osteoporosis, penyakit jantung koroner, aterosklerosis, stroke, demensia, kanker usus besar.

Pemeriksaan penunjang: Laboratorium Apabila tersedia fasilitas laboratorium, lakukan analisis hormonal. Pra dan perimenopause: periksa FSH, LH, dan E 2 pada hari ke 3 siklus haid. Kadar hormon tersebut sangat bervariasi. Pasca menopause, atau menopause prekok: periksa FSH dan E 2 saja. Biasanya kadar FSH > 30 mIU/mL, dan kadar E2 < 50 pg/mL. Ikhwal ini khas untuk klimakterium, atau pasca menopause. Beberapa catatan: - Kadang-kadang pada awal klimakterium dijumpai FSH tinggi, dan E juga tinggi. Keluhan vasomotorik banyak dijumpai pada kadar E tinggi. Pengobatannya jangan diberikan E, tetapi cukup P saja. - Bisa juga dijumpai FSH dan E normal, namun wanita ada keluhan. Pada keadaan seperti ini dianjurkan pemeriksan T3, T4, dan Tiroid Stimulating Hormone, karena baik hipertiroid, maupun hipotiroid menimbulkan keluhan mirip dengan keluhan klimakterik. Bila ternyata pemeriksaannya normal, maka kemungkinan besar adanya fluktuasi E dalam darah. Pada wanita ini dapat dicoba pemberian Terapi Sulih Hormon (TSH) untuk satu bulan, dan kemudian dihentikan. Ditanyakan apakah keluhan hilang atau tidak. Bila keluhan hilang dan muncul lagi, maka sebenarnya kadar E wanita tersebut saat itu rendah; wanita tersebut telah memasuki usia perimenopause, namun setelah TSH dihentikan dan keluhan tidak muncul lagi, berarti kadar E telah normal kembali diproduksi di ovarium, dan wanita tersebut belum menopause. - Pada wanita yang menggunakan psikofarmaka kronis, perlu diperiksa PRL darah. Kadar PRL > 50 ng/mL, perlu dipikirkan adanya mikro atau makroadenoma hipofisis. Pemeriksaan dengan Densitometer Hanya dilakukan pada wanita dengan risiko osteoporosis, seperti: menopause dini, pasca menopause, terlambat datangnya menars, kurus, kurang olah raga, imobilisasi, merokok, banyak minum kopi dan alkohol, diit rendah kalsium, nyeri tulang, pemakaian kortikosteroid jangka panjang, dan hipertiroid.

171

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 172/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Hasil densitometer berupa T-score dan Z-score. T-skor adalah skor yang memfasilitasi klasifikasi wanita ke dalam risiko untuk berkembang menjadi osteoporosis, sedangkan Z-skor adalah skor yang digunakan untuk memperkirakan risiko fraktur dimasa akan datang. Z-skor menentukan perbedaan nilai simpang baku (SD) wanita dibandingkan wanita seusia yang sama tanpa osteoporosis. T-skor 1 (1 < T), masa tulang normal. 2,5 < T < 1, artinya masa tulang rendah, T < 2,5, artinya osteoporosis. T < 2,5 dan telah terjadi fraktur, artinya osteoporosis berat. Nilai Z-skor < 1, berarti wanita tersebut memiliki risiko terkena osteoporosis.

Manajemen Prinsip dasar: Wanita dengan uterus, E selalu dikombinasikan dengan P. Wanita tanpa uterus cukup diberikan E saja. E diberikan kontinyu (tanpa istirahat). Wanita perimenopause yang masih menginginkan haid, TSH diberikan sekuensial. P diberikan 12-14 hari. Wanita pasca menopause yang masih ingin haid, TSH diberikan sekuensial. Wanita pasca menopause yang tidak inginkan haid, TSH diberikan secara kontinyu. Yang lebih diutamakan E dan P alamiah. Mulailah selalu dengan dosis E dan P rendah. E dapat dikombinasikan dengan Androgen (DHEAS) pada wanita dengan gangguan libido. Pada wanita dengan risiko atau dengan kanker payudara diberikan SERM (Raloksifen). Terapi Sulih Hormon (TSH)/Hormone Replacement Therapy (HRT) Bila telah dianggap perlu pemberian TSH, maka jelaskan kepada wanita tersebut kegunaan TSH, seperti menghilangkan keluhan klimakterik, dan dapat mencegah patah tulang, penyakit jantung koroner, stroke, demensia, kanker usus besar, dan mencegah gigi rontok. Kepada wanita yang tidak ada keluhan, TSH diberikan untuk pencegahan. Jelaskan, bahwa TSH harus digunakan jangka panjang, yaitu 5-10 tahun, bahkan untuk sisa hidup wanita. Perlu di terangkan tentang efek samping TSH, seperti perdarahan, gemuk, risiko kanker payudara.

172

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 173/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Sebelum diberikan TSH lakukan anamnesis tentang obat yang sedang di gunakan, merokok, minum kopi, alkohol, dan cocacola, pola hidup (lifestyle). Apakah pernah atau sedang menggunakan kontrasepsi hormonal, berapa lama, dan jenisnya. Apakah sedang menderita DM, dan menggunakan pengobatan atau tidak. Apakah dikeluarga ada yang menderita kanker payudara. Apakah sejak kecil telah menderita hiperlipidemia (herediter), apakah telah di histerektomi. Pemeriksaan fisik dan ginekologik: tekanan darah, berat badan, tinggi badan, palpasi payudara, dan kelenjar tiroid. Pemeriksaan genitalia eksterna dan interna, dan bila perlu lakukan Pap smear dan USG sebelumnya. Mamografi harus dilakukan. Laboratorium: kimia darah, hanya bila ada indikasi, seperti penyakit liver, atau ginjal. Apabila wanita tersebut memenuhi persyaratan untuk menggunakan TSH, maka perlu diketahui kontraindikasi pemberian TSH (HRT) antara lain: - Sedang/dugaan hamil. - Kanker payudara, atau riwayat kanker payudara. - Kanker endometrium (kecuali sudah histerektomi). - Perdarahan per-vaginam yang belum jelas penyebabnya. - Kerusakan hati berat. - Porfiria. - Tromboemboli/tromboplebitis aktif. - Hiperlipidemia herediter. - Meningioma (terutama untuk Progesteron). Wanita setuju untuk menggunakan TSH: - Wanita menopause dengan uterus, atau tanpa uterus. - Wanita perimenopause.

Kontrol selama penggunaan TSH (HRT) Setelah satu bulan, wanita diminta datang: diukur tekanan darah, berat badan. Ditanyakan tentang keluhannya, apakah hilang/tidak. Efek samping TSH. Keluhan vasomotorik umumnya hilang setelah satu bulan TSH, sedangkan keluhan-keluhan lain, baru akan hilang setelah 6 bulan TSH. Bila keluhan vasomotorik tidak hilang: - Apakah wanita tersebut sedang menggunakan obat-obat yang dapat mengganggu metabolisme Estrogen, seperti Tetrasiklin, Amoksisillin, Kloramfenikol, Tuberkulostatika.

173

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 174/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Gangguan resorbsi (diare). Dosis E rendah: naikkan dosis E. Setiap menaikkan dosis E, dapat disertai dengan efek samping: nyeri payudara, sakit kepala, perdarahan, keputihan, berat badan bertambah. Bila keluhan/efek samping tidak ada, TSH diteruskan seperti semula. Wanita tersebut diminta datang 3 bulan lagi. Setelah 3 bulan: diukur tekanan darah, berat badan. Ditanyakan tentang keluhan, dan efek samping. Wanita diminta datang rutin setiap 6 bulan. Diukur tekanan darah, berat badan, tanyakan keluhan, efek samping TSH. Pemeriksaan ginekologik ( Pap smear). Pemeriksaan kimia darah hanya atas indikasi. Riwayat kanker payudara dikeluarga: perlu mamografi, atau USG payudara setiap tahun. Pada yang tidak ada riwayat kanker payudara, mamografi cukup 2 tahun/sekali. Perlukah analisis hormonal untuk memonitor pengobatan ? - Tidak perlu, cukup dilihat dan dipantau dari keluhan pasien saja. - Namun apabila belum memberikan hasil yang diharapkan, seperti pada gangguan resorbsi, perlu dipertimbangkan untuk memeriksa kadar serum hormon tersebut. Yang diperiksa hanya 17 beta Estradiol, sedangkan jenis Estrogen lain seperti Estrogen Konjugasi, Estriol, atau Micronized Estrogen tidak dapat dicacah oleh alat pencacah. Perlu juga diingat, bahwa kadar E dalam darah setiap individu sangat fluktuatif. Untuk memeriksa Estrogen jenis ini diperlukan spesial kit. Darah diambil 2-5 jam setelah pemberian secara oral. Bila dijumpai kadar E 200 pg/mL dan keluhan tetap ada, berarti dosis E berlebihan, sedangkan bila dosis E < 50 pg/mL dan keluhan belum hilang, berarti dosis E rendah, dan disini terjadi gangguan pada resorbsi dan metabolisme E.

Jenis sediaan hormonal dan dosis TSH (HRT) Estrogen alamiah: 17 beta Estradiol (1-2 mg/hari), Estradiol Valerat (1-2 mg/hari), Estropipate (0,625-1,25 mg/hari), Estrogen Ekuin Konjugasi (0,3mg-0,625 mg/hari), Estriol (4-8 mg/hari). Progestogen alamiah: Medroksiprogesteron Asetat. Cara sekuensial dosisnya adalah 10 mg/hari, cara kontinyu dosisnya 5 mg/hari. Siprosteron Asetat cara sekuensial dan kontinyu dosisnya 1 mg/hari. Didrogesteron, cara sekuensial 10 mg/hari, kontinyu 5 mg/hari.

174

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 175/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Cara pemberian TSH (HRT) Yang utama adalah pemberian secara oral. Transdermal berupa plester (koyok), atau krem yang dioles di tangan: di berikan pada wanita dengan penyakit hati, batu empedu, darah tinggi, kencing manis. Vaginal krem: hanya untuk pengobatan lokal pada vagina. Implan atau suntikan sangat jarang digunakan. Pada wanita yang masih memiliki uterus mudah terjadi perdarahan (hipermenorea). Efek samping dan penanganan TSH (HRT) Nyeri payudara: akibat dosis E atau dosis P tinggi. Turunkan terlebih dahulu dosis E. Bila masih tetap nyeri, maka turunkan dosis P. Masih juga nyeri, tetapi tidak menggganggu, TSH diteruskan. Tidak ada perubahan, ganti dengan sistem transdermal. Tidak berhasil juga, stop pemberian TSH. Untuk pencegahan osteoporosis diberikan Kalsium dan Vitamin D3, untuk nyeri sanggama, diberikan vaginal krem. Peningkatan berat badan: hal ini membuat kepatuhan wanita untuk menggunakan TSH menjadi rendah. E menyebabkan rehidrasi cairan di jaringan kulit, sehingga kulit tidak keriput. Peningkatan berat badan hanya bersifat sementara. P dapat memicu pusat makan di hipotalamus. Turunkan dosis P. Perlu dijelaskan, bahwa bukan TSH yang membuat gemuk, melainkan pola hidup yang berubah. Setelah keluhan hilang, umumnya wanita mulai senang makan, kurang olah raga, dll. Keputihan dan sakit kepala: disebabkan dosis E tinggi, turunkan dosis E, naikkan dosis P. Perdarahan: hal ini juga membuat kepatuhan wanita menjadi rendah. Pada pemberian sekuensial selalu terjadi perdarahan lucut, dan ini hal normal. Namun tidak jarang pula 8 sampai 10 hari sebelum obat habis telah terjadi perdarahan lucut, maka diatasi dengan penambahan dosis P. Bila perdarahan lucut yang terjadi banyak (hipermenorea), dan memanjang, hal ini disebabkan oleh dosis E tinggi dan dosis P rendah. Diatasi dengan menurunkan dosis E, dan menaikkan dosis P, dan bila juga tidak berhasil, maka dipikirkan adanya kelainan organik di uterus, sehingga perlu dilakukan D&K. Selanjutnya jangan diberikan TSH sekuensial lagi, dan diganti dengan TSH kontinyu. Setiap pemberian secara sekuensial seharusnya terjadi perdarahan lucut, dan bila tidak terjadi, maka kemungkinan dosis E terlalu rendah, sehingga tidak

175

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 176/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

mampu mencegah osteoporosis, penyakit jantung koroner, dan menghilangkan keluhan klimakterik. Untuk itu perlu diberikan TSH dengan dosis E tinggi. Pada pemberian secara kontinyu dapat terjadi perdarahan bercak, terutama pada 6 bulan pertama penggunaan TSH. Hal ini masih dianggap normal, namun bila setelah 6 bulan masih terjadi perdarahan bercak, maka hal tersebut disebabkan dosis E tinggi. Dengan menurunkan dosis E, dan menaikkan dosis P, masalah ini biasanya sudah dapat diatasi. Kalau ternyata masih terjadi perdarahan, bahkan abnormal, maka perlu D&K. Hasil PA hiperplasia glandularis sistika, atau adenomatosa diatasi terlebih dahulu dengan pemberian P siklik selama 6 bulan, dengan dosis 3 x 10 mg. Setelah itu dilakukan D&K ulang, dan bila sembuh, dapat dilanjutkan lagi dengan TSH. Tidak juga sembuh, lebih baik dianjurkan untuk histerektomi. Pada hiperplasia atipik sebaiknya langsung dianjurkan histerektomi.

6. Osteoporosis Definisi: Pengeroposan tulang, tulang menjadi tipis, rapuh dan keropos, serta mudah patah. Diagnosis: Anamnesis faktor risiko: - Pasca menopause, menopause prekok. - Pengurangan tinggi badan > 4 cm. - Postur tubuh yang kecil. - Keluarga ada osteoporosis. - Merokok, nulipara.

176

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 177/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Kurang bergerak, kurang paparan. Pengobatan dengan Heparin dan kortikosteroid jangka panjang, diuretika, kemoterapi, antasid, kafein berlebihan. DM tipe I, hipertiroid, hiperparatiroid primer. Pengobatan dengan Tiroksin, obat tidur (Barbiturat). Minuman beralkohol (4 gelas/hari).

Pemeriksaan penunjang: Densitometer. USG transdermal (pengukuran ketebalan kulit). CT-Scan. Rontgen. Laboratorium darah (C-terminal telopeptid, N terminal telopeptid) bermanfaat hanya untuk penilaian hasil pengobatan, bukan untuk uji saring. Hanya pemeriksaannya sangat mahal. Manajemen: Pada wanita yang tidak ada keluhan: TSH untuk pencegahan, dan TSH merupakan pilihan utama. Efek pencegahan baru terlihat > 5 tahun. Olah raga teratur (jalan, atau berenang atau senam osteoporosis). Pada wanita dengan keluhan nyeri tulang; hilangkan nyeri terlebih dahulu (obat, korset). Setelah itu baru diberikan TSH. Pada wanita yang tidak boleh diberikan TSH, maka diberikan Alendronat atau Bifosfonat. Alendronat/Bifosfonat bukan digunakan untuk pencegahan osteoporosis. Setiap pemberian Alendronat/Bifosfonat, harus selalu dikombinasikan dengan Kalsium 1.000 mg/hari. Kalsium saja tidak bermanfaat untuk pencegahan osteoporosis, kecuali dikombinasikan dengan TSH. SERM (Raloksifen) sangat efektif mencegah osteoporosis. Paparan matahari yang cukup. Prognosis: Pemberian TSH dapat menurunkan kejadian patah tulang hingga 50-70%.

177

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 178/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

7. Terapi Sulih Hormon (HRT) Definisi: Terapi Sulih Hormon diberikan pada perempuan yang menderita gejala kekurangan Estrogen. Prinsip dasar: Pemberian Estrogen mempunyai manfaat mengurangi gejala vasomotor. Dipihak lain Terapi Sulih Hormon mempunyai risiko tromboemboli. TSH yang menggunakan transdermal ternyata tak banyak mempengaruhi sistem koagulasi. TSH masih memberikan keuntungan terhadap penurunan risiko osteoporosis dan kanker usus berdasarkan survei WHI, namun terbukti meningkatkan risiko stroke, jantung koroner dan kanker payudara. TSH dapat diberikan sampai 5 tahun. Setelah 5 tahun, pemberiannya sangat tergantung dari kebutuhan pasien. Risiko kanker payudara meningkat setelah 5 tahun. SERM (Raloksifen) merupakan TSH pada wanita dengan risiko kanker payudara. Penggunaan SERM menyebabkan vagina kering, gangguan tidur, gejolak panas (hot flushes) dan meningkatkan risiko tromboemboli. Diagnosis: Pasien yang memerlukan TSH harus sangat selektif, dan diberikan penjelasan kerugian mengenai tromboemboli. Mereka yang mempunyai riwayat keluarga dengan stroke, penyakit jantung dan thrombosis, kiranya sangat tidak layak dan mempunyai risiko besar. Manajemen: TSH saat ini mempunyai derajat rekomendasi berdasarkan pengalaman dan pendapat. Penapisan terhadap thrombofilia tidak ada buktinya, namun riwayat keluarga merupakan kontraindikasi. Mengingat transdermal mempunyai risiko kecil, TSH sebaiknya menggunakan cara tersebut. Kejadian kanker payudara antara yang menggunakan TSH dengan yang tidak menggunakan secara statistik tidak berbeda bermakna.

178

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 179/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

8. Infertilitas Definisi: Pasangan suami-isteri pada usia reproduksi, melakukan kohabitasi sebagai mana layaknya (2-3 kali seminggu), tanpa menggunakan kontrasepsi, tidak hamil selama 1 tahun masa usaha untuk menjadi hamil. Prinsip dasar: Suami dan isteri merupakan satu kesatuan biologik. Kehendak untuk mendapatkan anak merupakan kehendak bersama. Faktor penyebab biasanya adalah: suami 40%, isteri 40%, suami dan isteri 20%. Tidak ada jaminan bahwa pemeriksaan dan pengobatan selalu berhasil. Pemeriksaan dasar bergantung dari fasilitas yang dimiliki. Merujuk pasien ke tempat yang mempunyai fasilitas yang lebih baik, atau menghentikan pemeriksaan dan pengobatan (sesuai dengan fasilitas yang dimiliki, dan kemampuan finansial pasien), apabila dalam 2 tahun, paling lama 3 tahun pengobatan tidak membuahkan hasil kehamilan. Faktor penyebab utama antara lain: analisis mani yang buruk, hormonal termasuk endometriosis, infeksi, dengan segala dampaknya, seperti oklusi tuba, dan perlekatan genitalia interna. Pengobatan dilaksanakan berdasarkan faktor penyebab.

179

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 180/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Prognosis bergantung faktor penyebab, lama kawin, dan lama usaha untuk mendapatkan kehamilan.

Diagnosis: Suami: Anamnesis seperti lazimnya, termasuk riwayat penyakit dan seksual. Pemeriksaan jasmani, termasuk genitalia eksterna. Pemeriksaan laboratorium dasar, darah, dan urine. Analisis mani. Pemeriksaan hormonal, bila mungkin. Sedapat mungkin bekerjasama dengan ahli Andrologi atau Urologi. Isteri: Anamnesis seperti lazimnya, termasuk riwayat penyakit dan seksual. Pemeriksaan jasmani, payudara (kolostrum, galaktorea, benjolan), dan genitalia sebagaimana lazimnya. Pemeriksaan laboratorium dasar, darah dan urine, bila mungkin hormon Prolaktin. Pemeriksaan Suhu Basal Badan (SBB), selama 3 bulan berturut-turut. Biopsi endometrium pada haid hari ke 20-24, bila mungkin. Pemeriksaan hormon reproduksi, bila mungkin. Pemeriksaan ultrasonografi daerah pelvis. Pemeriksaan histerosalpingografi. Pemeriksaan histero-laparoskopi diagnostik, yang dilanjutkan dengan histerolaparoskopi-operatif, bila mungkin. Manajemen: Bergantung faktor penyebab. Pengobatan bertujuan untuk meningkatkan fungsi reproduksi. Berbagai cara pengobatan antara lain: konseling kejiwaan, pemberian antibiotika, inseminasi mani (suami) dengan berbagai modifikasi, kuretase, induksi ovulasi, induksi spermatogenesis, koreksi defek anatomi dan fisiologi dari organ genitalia (al: miomektomi, kistektomi, salpingo-pelviolisis), dan pengobatan khusus seperti pada endometriosis. Invitro fertilisation-Embryo Transfer (IVF-ET)/bayi tabung dengan berbagai modifikasi, apabila usaha di atas tidak menghasilkan kehamilan.

180

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 181/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

181

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 182/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

9. Endometriosis Definisi: Jaringan yang menyerupai endometrium ektopik. Lokasi lesi endometrium: sekitar pelvik, ligamentum latum, ligamentum sakrouterina, tuba fallopi, uterus, ovarium, usus, kandung kemih, dinding vagina, otak, paru-paru, ginjal, mata. Di daerah rektovaginal merupakan jaringan adenomiotik, bukan yang berasal dari lesi endometrium yang berada di peritonem, termasuk lesi ekstra peritoneal. Etiologi: Penyebab pasti belum diketahui. Namun dalam suatu hal para ahli sepakat, bahwa pertumbuhan endometriosis sangat dipengaruhi oleh hormon steroid, terutama Estrogen. Diagnosis: Gejala: nyeri pelvik hebat pada saat haid. Datangnya menjelang haid, dan mencapai puncaknya hari 1 dan 2 haid. Nyeri pelvik kronik baik siklik, maupun asiklik hampir 70-80% disebabkan oleh endometriosis. Selain nyeri pelvik, dapat juga muncul nyeri sanggama, premenstrual spotting, nyeri berkemih dengan/tanpa darah dalam urine, nyeri defekasi dengan/tanpa darah, nyeri dada, nyeri kepala, dan muntah darah. Sering dijumpai abortus berulang. Prinsipnya, setiap nyeri yang berhubungan dengan siklus haid perlu diduga adanya endometriosis. Perlu diketahui, bahwa terdapat juga wanita tanpa memiliki gejala apapun, meskipun dijumpai cukup banyak lesi endometriosis, sehingga pada wanita infertilitas yang sudah ditangani, dan belum juga hamil, perlu dipikirkan adanya endometriosis. Pemeriksaan fisik: nyeri pada tulang belakang, nyeri ketok pada ginjal. Jika ada infertilitas perlu juga diperiksa berat badan, tinggi badan, tanda-tanda maskulinisasi/virilisasi, pertumbuhan payudara, pertumbuhan rambut pubis dan ketiak. Pemeriksaan ginekologik:

182

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 183/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Inspekulo: lihat apakah ada lesi endometriosis di porsio, dan bila perlu kolposkopi, juga lesi di forniks posterior, vagina. - Perabaan uterus: dugaan mioma uteri (tidak nyeri), dugaan adenomiosis (nyeri). Apakah satu atau kedua ovarium membesar dan nyeri pada penekanan. Apakah terdapat nyeri tekan daerah kavum Douglasi dan ligamentum sakrouterina. - Pada dugaan endometriosis harus selalu dilakukan colok rektal untuk meraba adanya lesi endometriosis di kavum Douglasi dan ligamentum sakrouterina. Yang terpenting adalah untuk mengetahui adanya lesi rektovaginal. Pemeriksaan tambahan: ultrasonografi dan laparoskopi.

Manajemen: Endometriosis minimal ringan, aktif Eliminasi lesi dengan koagulasi dengan kauter bipolar, atau vaporisasi dengan laser. Namun lesi yang terletak di daerah vital, atau tidak dapat melakukan koagulasi secara maksimal perlu dilanjutkan dengan pengobatan hormonal. Perlu dibedakan antara lesi aktif dan nonaktif. Lesi aktif biasanya berwarna merah, kehitaman, kecoklatan, kuning tua. Lesi nonaktif biasanya pucat, fibrotik, abu-abu. Secara PA: aktif banyak kelenjar, nonaktif banyak stroma. Hanya endometriosis aktif yang memiliki respon terbaik dengan pengobatan hormonal. Bila lesi telah dapat dieliminasi semua, maka apakah perlu dilanjutkan lagi dengan hormonal, masih terjadi silang pendapat. Sebagian ahli memberikan Progesteron seperti MPA 3 x 10mg/hari, atau Danazol 3 x 200 mg/hari, selama 6 bulan. Pada wanita ingin anak dapat dilanjutkan langsung dengan penanganan infertilitas (tanpa perlu pengobatan dengan Progesteron). Endometriosis minimal ringan, nonaktif Kauterisasi lesi, atau vaporisasi dengan laser, dan bila setelah tindakan wanita mengeluh nyeri kembali, perlu diberikan analgetika/antiprostaglandin. Progesteron juga memiliki antiprostaglandin, namun harus diberikan dosis tinggi (2 x 50mg) selama 6 bulan. Pada wanita yang ingin anak dapat dilanjutkan lagi dengan penanganan infertilitas. Endometriosis minimal ringan, kombinasi aktif dan non aktif Pengobatannya diperlakukan seperti pengobatan endometriosis aktif.

183

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 184/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Endometriosis sedang-berat, aktif Pada saat laparoskopi, dilakukan aspirasi kista atau lesi endometriosis dan biopsi dinding kista (terutama pada wanita infertilitas), kemudian tindakan dihentikan. Berikan pengobatan hormonal 6 bulan. Tujuannya untuk mengurangi proses inflamasi dan proses vaskularisasi pada ovarium, sehingga kista tidak mudah pecah, mudah mengupasnya, jumlah perdarahan sedikit, kerusakan pada jaringan ovarium menjadi minimal. Jenis sediaan hormonal yang dipilih adalah Gn-RH analog, atau Danazol, lama pemberian adalah 6 bulan. Setelah pengobatan hormonal selesai, baru dilakukan tindakan pembedahan. Setelah tindakan pembedahan, dilanjutkan lagi dengan terapi hormonal seperti semula. Atau, pada saat laparoskopi langsung dilakukan pengangkatan kista dan baru kemudian diberikan terapi hormonal 6 bulan. Bila dilakukan USG dan diyakini adanya kista coklat, pada wanita infertilitas dilakukan terlebih dahulu pengobatan hormonal 6 bulan dan baru kemudian dilakukan tindakan operasi. Pascaoperasi dilanjutkan lagi dengan terapi hormonal 6 bulan lagi. Pada wanita yang tidak menginginkan anak dapat langsung dilakukan tindakan operatif, dan setelah itu dilanjutkan dengan terapi hormonal. Pada wanita yang ingin anak ditangani dengan cara yang sesuai. Endometriosis sedang berat, nonaktif Tindakan operatif segera, kauterisasi, atau vaporisasi, kistektomi. Dilanjutkan dengan pemberian analgetik, atau Progesteron. Endometriosis tersembunyi Kadang-kadang pada laparoskopi tidak terlihat lesi endometriosis, namun wanita mengeluh nyeri haid hebat. Sebenarnya lesi tersebut ada, tetapi tidak terlihat oleh operator, karena lesi tersebut infiltrasi ke jaringan melebihi 10 mm. Saat laparoskopi, semprotkan cairan metilen blue ke peritoneum, ligamentum sakrouterina, dinding vesika, kemudian cairan tersebut diisap. Lesi endometriosis akan terlihat berupa bintik-bintik biru. Semua lesi dikauter, atau vaporisasi. Setelah itu terapi hormonal 6 bulan (Progesteron, atau Gn-RH analog).

184

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 185/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pada wanita usia muda yang terbaik tetap dilakukan laparoskopi. Namun kadang-kadang dapat diberikan pil kontrasepsi kombinasi atau tablet Progesteron pada wanita muda yang tidak mau dilakukan laparoskopi. Lesi rektovaginal: berikan terapi dengan Gn-RH analog 6 bulan, dan baru kemudian dilakukan tindakan operatif (laparoskopi operatif).

Prinsip dasar penggunaan Gn-RH analog: Pada endometriosis berat dengan infertilitas sebaiknya Gn-RH analog diberikan 6 bulan. Selama pemberian Gn-RH analog selalu diberikan addback therapy dengan Estrogen + Progestogen. Pada pemberian Gn-RH agonis terjadi perdarahan (flare up) beberapa hari setelah suntikan pertama. Pada penggunaan Gn-RH agonis, dapat terjadi amenorea beberapa bulan setelah suntikan terakhir. Adenomiosis Prinsip dasar: Lesi endometriosis yang berada didalam miometrium, menyebabkan nyeri haid dan infertilitas (seperti pada endometriosis). Rekurensi tinggi. Responnya tidak baik dengan pemberian Gn-RH analog. Diagnosis: Anamnesis: mirip dengan endometriosis. USG. Laparoskopi. MRI. Manajemen: Reseksi adenomiosis, atau Aromatase inhibitor selama 6 bulan. Prognosis: Kurang memuaskan.

185

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 186/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

10. Metode Kontrasepsi Definisi: Kontrasepsi ialah alat untuk mencegah terjadinya kehamilan, baik yang bersifat sementara maupun yang permanen. Prinsip dasar: Kontrasepsi yang ideal mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: - Dapat dipercaya. - Tidak menyebabkan efek yang menganggu kesehatan. - Daya kerjanya dapat diatur menurut kebutuhan. - Tidak menimbulkan gangguan sewaktu melakukan sanggama. - Tidak memerlukan motivasi terus-menerus. - Mudah pelaksanaannya. - Murah harganya. - Dapat diterima penggunaannya oleh pasangannya. Konseling merupakan bagian penting dalam pelayanan Keluarga Berencana. Melalui konseling pemberi pelayanan membantu klien memilih cara KB yang cocok dan membantunya untuk terus menerus menggunakan cara tersebut dengan benar. Perlu dilakukan seleksi klien sebelum pemberian suatu metode kontrasepsi modern (misalnya kontrasepsi oral, suntik, atau AKDR). Perlu diterapkan prinsip prosedur pencegahan infeksi yang benar pada pelayanan kontrasepsi. Metode Kontrasepsi Kontrasepsi Alamiah Disebut juga Metode Pantang Berkala, adalah suatu metode untuk merencanakan dan mencegah kehamilan melalui pengamatan tanda-tanda dan

186

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 187/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

gejala-gejala alamiah yang timbul pada fase fertil dan infertil dari siklus menstruasi, dengan menghindari sanggama selama fase fertil bila kehamilan hendak dihindari. Metode tersebut mencakup metode lendir serviks, suhu tubuh basal, simto-termal, dan metode ritme. Kontrasepsi Masa Laktasi/Metode Amenorea Laktasi (MAL) Laktasi akan menyebabkan anovulasi dan amenorea. Walaupun amenorea laktasi dapat berfungsi sebagai kontrasepsi, tetapi tidak dapat diandalkan sebagai salah satu metode kontrasepsi. Metode kontrasepsi yang dianjurkan pada masa laktasi harus memenuhi syarat: - Tidak mempengaruhi produksi ASI. - Tidak mempengaruhi kesehatan anak. - Daya gunanya tidak dipengaruhi ukuran rahim. MAL sebagai kontrasepsi bila ibu menyusui secara penuh/eksklusif, belum haid setelah melahirkan, umur bayi kurang dari 6 bulan. MAL efektif sampai 6 bulan dan harus dilanjutkan dengan pemakaian metode kontrasepsi lainnya. Kontrasepsi Barier Yang umum dipakai saat ini ialah kondom, diafragma, dan spermisida. Kontrasepsi Oral Yang umum dipakai saat ini ialah pil kombinasi, mini pil, dan pil pasca sanggama. Kandungan Estrogen dalam pil biasanya menghambat ovulasi dan menekan perkembangan ovum yang dibuahi. Mungkin juga dapat menghambat implantasi. Sedangkan komponen Progestin akan mengentalkan lendir serviks sehingga akan mencegah sperma masuk. Hormon ini juga mencegah konsepsi dengan cara memperlambat transportasi ovum disamping menghambat ovulasi. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) Dewasa ini AKDR yang tersedia berupa: inert, mengandung tembaga, dan mengandung hormon steroid. Cara kerja AKDR terutama mencegah terjadinya pembuahan dengan cara memblok bersatunya ovum dengan sperma, mengurangi jumlah sperma yang mencapai tuba, dan menginaktifkan sperma.

187

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 188/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Kontrasepsi Suntik Hormon Progestin yang diberikan akan menyebabkan masa ovulasi memanjang dan mengentalkan lendir serviks. Kontrasepsi Susuk Melalui tabung silastik, zat kontrasepsi dilepaskan ke dalam tubuh dalam takaran yang relatif rendah secara berkesinambungan. Lokasi pemasangan umumnya pada lengan atas melalui suatu tindakan operasi kecil. Kontrasepsi Mantap Merupakan metode yang permanen, tergolong aman dan relatif bebas efek samping. Dilakukan dengan cara membuat oklusi pada vas deferens pria/vasektomi atau tuba falloppii wanita/tubektomi. Syarat-syarat untuk menjadi akseptor Kontap meliputi syarat sukarela, syarat bahagia, dan syarat medik. Syarat sukarela dipenuhi apabila pada konseling telah dibicarakan hal-hal berikut: 1. Bahwa selain Kontap masih ada kontrasepsi lainnya yang dapat digunakan untuk menjarangkan kehamilan, tetapi mereka tetap memilih Kontap untuk menciptakan keluarga kecil. 2. Telah dijelaskan bahwa Kontap merupakan tindakan bedah dan setiap tindakan bedah selalu ada risiko, walaupun dalam hal ini kecil, tetapi mereka yakin akan kemampuan dokter yang melaksanakannya. 3. Bahwa Kontap adalah kontrasepsi permanen dan tidak dapat dipulihkan kembali, oleh karena itu sulit untuk mempunyai keturunan lagi, tetapi mereka dengan sadar tidak ingin menambah jumlah anak lagi untuk selamanya. 4. Bahwa mereka telah diberi kesempatan untuk mempertimbangkan maksud pilihan kontrasepsinya, tetapi tetap memilih Kontap. Syarat bahagia: bila suami-isteri terikat dalam perkawinan yang sah, harmonis, dan telah mempunyai sekurang-kurangnya 2 orang anak hidup, dengan umur anak terkecil 2 tahun dan umur isteri sekurang-kurangnya 25 tahun. Syarat medik: bila tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan fisik, ginekologik dan laboratorik. 11. Kontrasepsi Darurat

188

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 189/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Definisi: Kontrasepsi yang dapat mencegah kehamilan bila digunakan segera setelah hubungan seksual yang tidak terlindungi. Kontrasepsi darurat tetap kurang efektif dibandingkan dengan cara KB yang sudah ada, oleh karena itu tidak dapat digunakan secara rutin. Indikasi: Indikasi kontrasepsi darurat adalah untuk mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki: - Bila terjadi kesalahan dalam pemakaian kontrasepsi, seperti kondom bocor, lepas atau salah menggunakannya; diafragma pecah, robek atau diangkat terlalu cepat; kegagalan sanggama terputus. - Salah hitung masa subur. - AKDR ekspulsi. - Lupa minum pil KB lebih dari 2 tablet. - Terlambat lebih dari 2 minggu untuk suntik KB. - Perkosaan. - Tidak menggunakan kontrasepsi. Kontraindikasi: Hamil atau tersangka hamil. Jenis:
Cara I. Mekanik: AKDR II. Medik: Pil kombinasi dosis tinggi Jenis-jenis kontrasepsi daraurat Merek dagang Dosis Copper T Multiload Nova T Microgynon 50 Ovral Neogynon Nordiol Eugynon Microgynon 30 Mikrodiol Nordette Postinor-2 Satu kali pemasangan. Waktu pemberian Dalam waktu 7 hari pasca sanggama. Dalam waktu 3 hari pasca sanggama, dosis kedua 12 jam kemudian. Dalam waktu 3 hari pasca sanggama, dosis kedua 12 jam kemudian. Dalam waktu 3 hari

2 x 2 tablet.

Pil kombinasi dosis rendah Progestin

2 x 4 tablet.

2 x 1 tablet.

189

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 190/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS. pasca sanggama, dosis kedua 12 jam kemudian. Dalam waktu 3 hari pasca sanggama, 2 x 1 dosis selama 5 hari. Dalam waktu 3 hari pasca sanggama. Dalam waktu 3 hari pasca sanggama, dosis kedua 12 jam kemudian.

Estrogen Mifepristone Danazol

Lynoral Premarin Progynova RU-486 Danocrine Azol

2,5 mg/dosis. 10 mg/dosis. 10 mg/dosis. 1 x 600 mg. 2 x 4 tablet.

Manfaat: Sangat efektif (tingkat kehamilan < 3%). AKDR juga bermanfaat jangka panjang. Keterbatasan: Pil kombinasi hanya efektif jika digunakan dalam 72 jam sesudah hubungan seksual tanpa perlindungan. Pil kombinasi dapat menyebabkan nausea, muntah, atau nyeri payudara. AKDR hanya efektif jika dipasang dalam 7 hari sesudah hubungan seksual tanpa perlindungan. Pemasangan AKDR memerlukan tenaga terlatih dan sebaiknya tidak digunakan pada klien yang terpapar dengan risiko Penyakit Menular Seksual. Komplikasi: Mual, muntah: perlu konseling. Jika muntah terjadi dalam 2 jam sesudah penggunaan pil pertama atau kedua, dosis ulangan perlu diberikan. Perdarahan/bercak: sekitar 8% klien dengan kontrasepsi oral kombinasi mengalami bercak-bercak. Sekitar 50% mendapat haid pada waktunya bahkan lebih awal.

190

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 191/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

12. Translokasi AKDR Definisi: Translokasi alat kontrasepsi dalam rahim ialah suatu keadaan dimana AKDR berada di luar kavum uteri pada akseptor AKDR. Diagnosis: Tidak dijumpai filamen/benang AKDR pada pemeriksaan inspekulo maupun pemeriksaan dalam. AKDR juga tidak teraba pada pemeriksaan sondase. Tidak ada gambaran ekogenik dalam rahim pada USG. Pemeriksaan penunjang: USG.

191

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 192/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Histereskopi. Radiologik.

Manajemen: Laparotomi eksplorasi mengangkat AKDR. Laparoskopi untuk mengambil AKDR. Komplikasi: Obstruksi atau kadang-kadang perforasi usus. Perlekatan-perlekatan. Informed consent: Perlu dibuat secara tertulis mengenai rencana tindakan operasi.

192

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 193/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

13. Deteksi Dini Kanker Ginekologi Definisi: Deteksi dini adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi suatu penyakit sehingga dapat dilakukan intervensi dan penatalaksanaan lebih dini. Prinsip dasar: Skrining untuk deteksi dini kanker ginekologi mempunyai kelemahan, mungkin terjadi positif palsu, atau negatif palsu. Positif palsu: hasil pemeriksaan menunjukkan adanya suatu penyakit, tetapi sebenarnya orang tersebut tidak sakit. Negatif palsu: pemeriksaan menunjukkan normal, tetapi sebenarnya orang tersebut sedang menderita suatu penyakit. Pemeriksaan skrining dilakukan bila pemeriksaan tersebut membawa manfaat. Pemeriksaan skrining seharusnya diikuti suatu intervensi/terapi, agar skrining tersebut membawa manfaat. Kanker mulut rahim (selanjutnya disebut kanker serviks) dan kanker indung telur (ovarium) adalah yang terbesar menyebabkan mortalitas dan morbiditas (79% dan 10%), dibanding kanker ginekologi lainnya, seperti kanker rahim (korpus uteri), kanker selaput lendir rahim (endometrium), kanker vagina, kanker vulva, dan kanker tuba falopii. Angka kematian kanker ginekologi di Indonesia tinggi, karena keterlambatan penanganan penderita. Penyebab kematian kanker serviks & kanker korpus uteri seringkali karena uropati obstruktif, sedangkan kanker ovarium lebih sering akibat metastasis ke berbagai organ tubuh sehingga terjadi kegagalan organ ganda (multiple organ failure). Kanker serviks dapat diketahui dini yaitu pada stadium prakanker, dan jika dilakukan tindakan pada tahap ini hasil pengobatannya hampir 100 persen.

Pencegahan dan deteksi dini: Pencegahan primer untuk kanker serviks adalah pencegahan hubungan seksual dini dan pelaksanaan hubungan yang monogamis; sedangkan kanker ovarium dan kanker korpus uteri lebih sulit, tetapi secara tidak langsung bila

193

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 194/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

terjadi pengangkatan organ atas indikasi selain keganasan, misal kista ovarium, mioma uteri. Pencegahan sekunder (deteksi dini) untuk kanker serviks meliputi pemeriksaan Papanicolaou (Pap smear), IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat), Servikografi, Gineskopi, Kolposkopi, tes DNA HPV, Pap Net dan Thin Prep. Masing-masing pemeriksaan memiliki kelebihan dan kekurangan. Sedangkan kanker ovarium yang lebih silent killer memerlukan pemeriksaan ginekologi secara teratur, teknik pencitraan, khususnya USG. Untuk kanker endometrium, dapat dilakukan kuretase bertahap atas dasar gejala klinik dan pemeriksaan kadar tumor marker Ca 125, cara lain adalah sitologi bilasan kavum uteri, histeroskopi, dan USG. Tetapi deteksi dini untuk kanker endometrium tersebut tidak definitif. Pencegahan tersier: mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat. Untuk kanker serviks, ovarium maupun korpus; umumnya dengan perawatan suportif dan paliatif.

Manajemen: Deteksi dini kanker ginekologi yang paling banyak dan mudah dilakukan adalah terhadap kanker serviks, yaitu dengan Pap smear, IVA dan/atau kolposkopi. Pada kanker ovarium, deteksi dini dapat diupayakan melalui pemeriksaan ginekologi secara teratur dan dengan bantuan teknik pencitraan; sedangkan pada karsinoma korpus jika terdapat gejala klinik yang mengarah, dapat dilakukan kuretase bertahap. Untuk diagnostik kanker serviks invasif dapat dilakukan biopsi ( punch biopsy), stadium ditentukan secara klinis. Penentuan diagnosis dan stadium kanker ovarium dilakukan melalui staging laparotomy, yang memerlukan keterampilan khusus untuk mengangkat kelenjar retroperitoneal sampai sejauh paraaorta. Untuk karsinoma endometrium perlu kuretase bertahap untuk mendiagnosisnya. Deteksi dini kanker serviks: Ada tiga jenis cara deteksi dini kanker serviks: - Visual: pemeriksaan pandang langsung ( down staging) yaitu dengan aplikasi Asam Asetat (Tes IVA), dengan aplikasi Lugol (VILI), dengan alat (spekuloskopi), dengan alat pembesar (VIAM, gynescope, servikografi, kolposkopi ).

194

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 195/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Sitologi: Tes Pap, Pap Net, Thin prep. Tes DNA HPV: PCR, Metode Hybrid Capture (tes DNA HPV HC II).

14. Apusan Pap Definisi: Merupakan pemeriksaan sitologi apusan serviks untuk deteksi dini kanker serviks. Prinsip dasar:

195

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 196/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Apusan Pap dianjurkan untuk dilakukan pada setiap wanita sejak aktif secara seksual sampai usia 65 tahun.

Cara pemeriksaan: Persiapan: pemeriksaan dilakukan di luar masa haid dan tidak dilakukan irigasi vagina sebelumnya. Teknik pemeriksaan: - Pasien dalam posisi litotomi. - Porsio ditampilkan dengan pertolongan spekulum. - Tanpa tindakan antiseptik, dan tanpa menggunakan larutan pelumas atau pembilas, di vagina dan porsio diambil apusan/kerokan bahan untuk pemeriksaan. Sediaan hendaknya mengandung sel-sel dari daerah sambungan skuamokolumner. Sebaiknya menggunakan sikat serviks khusus seperti cervix brush atau cytobrush. - Bahan apusan kemudian dihapuskan pada gelas objek dan segera difiksasi dengan alkohol 95%, atau cairan fiksatif khusus seperti cytofix atau dengan hairspray.

196

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 197/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Evaluasi sitologi: Hasil pemeriksaan Apusan Pap biasanya dilaporkan berdasarkan Klasifikasi Papanicolaou sebagai berikut: - Kelas I: sel-sel normal. - Kelas II: sel-sel menunjukkan kelainan ringan, biasanya disebabkan oleh infeksi. - Kelas III: mencurigakan ke arah keganasan. - Kelas IV: sangat mencurigakan adanya keganasan. - Kelas V: pasti ganas. Sekarang direkomendasikan laporan Apusan Pap menurut Sistem Bethesda. Hal-hal yang dapat mempengaruhi sensitifitas Apusan Pap: Haid. Hubungan seks kurang dari 48 jam. Obat-obat vagina. Pemeriksaan dalam sebelumnya. Membersihkan vagina dengan medikasi. Infeksi serviks dan vagina. Interpretasi dan tindak lanjut hasil pemeriksaan sitologi: Vaginitis dan servisitis yang aktif dapat mengganggu interpretasi sitologi. Jika reaksi peradangannya hebat, pasien harus diobati dulu. Setelah infeksi diatasi dilakukan pemeriksaan Apusan Pap ulang 6 minggu kemudian. Jika hasil pemeriksaan sitologi tidak memuaskan atau tidak dapat dievaluasi, harus dilakukan Apusan Pap ulang 6 minggu kemudian. Jika hasil pemeriksaan sitologi mencurigakan keganasan (Kelas III-IV), selanjutnya dilakukan Kolposkopi dan biopsi untuk menegakkan diagnosis definitif. Pasien dengan hasil evaluasi sitologi negatif dianjurkan untuk ulang pemeriksaan Apusan Pap setahun sekali, sampai usia 40 tahun. Selanjutnya 23 tahun sekali sampai usia 65 tahun.

197

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 198/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

15. Tes IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) Definisi: Tes Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA ) adalah teknik pemeriksaan dengan mengamati mulut rahim yang telah diberi asam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo (mata telanjang). Prinsip dasar: Cara kerja asam cuka adalah mempengaruhi sel-sel abnormal pada daerah mulut rahim, sehingga mulut rahim akan menampakkan warna putih. Warna ini timbul karena pada sel abnormal inti sel lebih besar dan cairan sel lebih sedikit, sehingga asam cuka membuat cairan dalam sel tertarik keluar. Akibatnya inti-inti sel akan merapat dan menimbulkan warna putih. Pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai alternatif deteksi dini di daerah yang tidak mempunyai sarana pemeriksaan lainnya. Keuntungan pemeriksaan IVA adalah sangat murah, mudah, hasil segera diketahui, dan tidak membutuhkan tenaga skriner seperti Apusan Pap.

198

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 199/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Teknik pemeriksaan Tes IVA: Klien dalam posisi litotomi. Dipasang spekulum cocor bebek dengan penerangan lampu 100 W. Pemeriksa menampakkan serviks untuk mengenali tiga hal: curiga kanker, curiga infeksi, serviks normal dengan daerah transformasi yang dapat atau tidak dapat ditampakkan. Bila serviks tampak normal dengan daerah transformasi yang dapat dikenali seluruhnya maka permukaan serviks dibasahi dengan asam asetat 5%. Tunggu 1-2 menit sambil mengamati perubahan yang terjadi pada serviks. Hasil negatif bila tidak didapatkan gambaran epitel putih pada daerah transformasi. Hasil positif bila didapatkan gambaran warna putih pada daerah transformasi.

Normal: Atipik: Abnormal (indikasi serviks): Kanker serviks: lesi

Kategori temuan IVA Licin, merah muda, bentuk porsio normal. Servisitis (inflamasi, hiperemis), banyak fluor, ektropion polip atau ada cervical wart. prakanker Plak putih, epitel acetowhite (bercak putih). Pertumbuhan seperti bunga kol, mudah berdarah.

16. Kolposkopi Definisi:

199

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 200/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pemeriksaan dengan menggunakan kolposkop, yaitu suatu alat yang dapat disamakan dengan mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di dalam dan pembesaran 10-15 kali.

Prinsip dasar: Alat kolposkopi dilengkapi sumber cahaya dan filter hijau, serta dapat dihubungkan dengan televisi. Biasanya digunakan untuk memeriksa serviks dan kadang-kadang vagina serta vulva. Cara ini merupakan cara pemeriksaan klinik dengan melakukan pemeriksaan adanya perubahan permukaan epitel serviks/vagina/vulva dan ujung-ujung pembuluh darah di daerah tersebut. Dengan bantuan kolposkop banyak tindakan konisasi serviks dapat dihindarkan karena biopsi betul-betul dapat di arahkan. Bahan dan alat-alat yang diperlukan: Larutan NaCl 0,9%. Larutan asam cuka 3%. Larutan Albotil pekat. Larutan Formalin 10%. Tang tampon. Pinset anatomi panjang. Kain kasa dan tampon vagina. Alat biopsi. Spekulum cocor bebek daun lebar. Spekulum endoserviks. Kolposkop. Prosedur pemeriksaan: Pasien dalam posisi litotomi. Sesudah vulva dibersihkan, dipasang spekulum cocor bebek secara perlahanlahan. Serviks dan vagina dilihat dengan kolposkop tanpa dibersihkan lebih dulu. Kemudian mukus yang ada di serviks dibersihkan dengan asam asetat 3%.

200

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 201/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Secara sistematis serviks diperiksa dengan kolposkop mulai dari posisi jam 12.00 berputar menurut arah jarum jam sampai kembali ke daerah semula. Serviks berulang kali dibasahi dengan larutan NaCl fisiologis agar tidak menjadi kering, jaringan lebih transparan, dan pembuluh darah terlihat jelas. Jika sambungan skuamokolumner tidak terlihat sebagian atau seluruhnya gunakan spekulum endoserviks untuk membuka kanalis servikalis. Bila diperlukan biopsi harus dilakukan secara baik dengan menggunakan alat biopsi Eppendoorf atau modifikasinya. Bahan harus segera difiksasi dengan larutan Formalin 10% atau Alkohol 70%.

Tingkatan hasil pemeriksaan kolposkopik: 1. Normal: epitel skuamosa asli, ektopi, epitel kolumner, daerah transformasi tipik. 2. Abnormal: daerah transformasi atipik. Pada daerah ini dapat ditemukan gambaran epitel putih, pungtasi, mosaik, pembuluh darah abnormal. Berdasarkan gambaran tersebut dikenal 3 tingkatan daerah transformasi atipik, yaitu: - Tingkat I: epitel putih atau pungtasi atau mosaik halus. - Tingakt II: epitel putih dengan pungtasi dan mosaik yang kasar, tidak teratur. Tingkat III: epitel putih kasar, permukaan tidak teratur, pembuluh darah abnormal.

Pada keadaan ini harus dilakukan biopsi. 3. Gambaran kolposkopik tidak memuaskan, dalam hal ini sambungan skuamokolumner tidak terlihat seluruhnya karena masuk ke dalam kanalis servikalis. Pada keadaan ini harus dilakukan biopsi. 4. Distropi misalnya peradangan, epitel atrofik, polip serviks, papiloma, kondiloma akuminata, dll. Pada keadaan ini harus dilakukan biopsi. Indeks kolposkopi (modifikasi):
Penampakan Nilai 0 Nilai 1

201

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 202/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS. Dalam daerah peralihan. Batas tegas. Putih tegas dan kusam. Pungtasi, mosaik. Kuning mostar.

Lesi: Di luar daerah peralihan. Tepi: Tak tegas, samar-samar. Warna: Putih kelabu, samar-samar. Pembuluh darah: Tak teratur, mikropapil. Lugol: Coklat utuh/bercak. Penilaian: 0-2: Lesi Intraepitelial Serviks/LIS derajat ringan. 3-5: LIS derajat berat.

17. Lekore Definisi: Cairan bukan darah yang keluar berlebihan dari vagina.

202

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 203/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Sumber cairan: Vulva. Vagina. Serviks. Uterus. Tuba. Etiologi: Fisiologis. Benda asing. Infeksi. Hormon. Neoplasma. Vaginitis atrofikans. Penyebab terbanyak dari lekore adalah infeksi. Kuman penyebab terjadinya infeksi antara lain: 1. Infeksi bakteri: - Neisseria gonorrhoea: Gonore. - Chlamydia trachomatis: Klamidiasis. - Gardnerella vaginalis: Vaginosis. - Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum: Mikoplasmosis. 2. Infeksi virus: - Herpes virus: Herpes simpleks, H. zoster, Varicella. - Pox virus: Moluskum kontagiosum. - Papova virus: Kondiloma akuminata. 3. Infeksi jamur: - Candida albicans: Kandidiasis. 4. Infeksi protozoa: - Trichomonas vaginalis: Trikomoniasis. - Entamoeba histolytica: Amubiasis vagina. 5. Infeksi parasit: - Enterobius vermicularis. Diagnosis:

203

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 204/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Anamnesis: harus terungkap, apakah lekore yang terjadi fisiologis atau patologis. Selain infeksi, harus dipikirkan juga kemungkinan ada benda asing atau neoplasma. Pemeriksaan spekulum: perhatikan sifat cairan/lendir seperti kekentalan, warna, dan bau. Kemungkinan adanya benda asing, ulkus, dan neoplasma. - Cairan yang encer, berbusa, berbau, warna kuning-kehijauan: suspek Trikomoniasis, Vaginosis bakterialis. Gejala lain gatal dan terasa panas. - Cairan yang putih kental, seperti susu basi/yoghurt: suspek kandidiasis. Gejala lain gatal, terasa panas, disuria sampai dispareunia. - Cairan yang bernanah dan serviks tampak purulen: suspek Gonore, Klamidiasis. Pemeriksaan dalam dilakukan setelah pengambilan sediaan untuk pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan penunjang: Laboratorium: dibuat sediaan basah - NaCl 0,9% untuk Trikomoniasis. - KOH 10% untuk Kandidiasis (melihat hifa), juga bakteri anaerob dan Gardnerella melalui reaksi bau ikan. - Pemeriksaan sediaan dengan pewarnaan Gram untuk membantu mengenal organisme gram positif/negatif, termasuk adanya infeksi Gonore. Bahan pemeriksaan bisa diambil dari sekret vagina. - Pemeriksaan tambahan bila diperlukan, misalnya ada kecurigaan keganasan. - Kultur dilakukan misalnya pada keadaan klinis ke arah Gonore, tetapi pewarnaan Gram tidak diketemukan. - Pemeriksaan serologi dilakukan bila kecurigaan misalnya ke arah Klamidia. Terapi: Pemberian terapi jangan semata-mata bertumpu hasil-hasil pemeriksaan laboratorium. Pada pengalaman klinik, ternyata kebanyakan lekore disebabkan oleh infeksi campuran sehingga harus diberikan terapi kombinasi. Selain terapi untuk pasien dan pasangannya, pada waktu bersamaan harus juga diberikan konseling bahwa obat harus dimakan sesuai anjuran, tidak melakukan hubungan selama pengobatan dan harus melakukan pemeriksaan ulang sesuai anjuran.

204

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 205/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Obat-obatan: 1. Trikomoniasis: - Pilihan utama: Metronidasol 3 x 250 mg/hari, oral selama 7 hari. Jangan diberikan pada wanita hamil, terutama trimester I. - Pilihan lain: Klotrimasol 100 mg/hari, intravagina selama 7 hari. Dapat diberikan pada wanita hamil. 2. Vaginosis bakteri/Gardnerella vaginalis/vaginitis non-spesifik: - Pilihan utama: Metronidasol 3 x 250 mg/hari, oral selama 7 hari. Jangan diberikan pada wanita hamil, terutama trimester I. - Pilihan lain: Ampisilin 4 x 500 mg/hari, oral selama 7 hari. 3. Kandidiasis: - Pilihan utama: Klotrimasol 100 mg/hari, intravagina selama 7 hari. Dapat diberikan pada wanita hamil. Nistatin 100.000-200.000 unit/hari, intravagina selama 14 hari. - Pilihan lain: Tiokonasol 300 mg, oral, dosis tunggal atau 100 mg/hari selama 3 hari. Mikonasol 100 mg/hari, intravagina selama 7 hari. 4. Gonore: - Pilihan utama: Doksisiklin 2 x 100 mg/hari, oral selama 7 hari. - Pilihan lain: Tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, oral selama 7 hari. Penisilin prokain 4,8 juta U/IM + Probenesid 1 gram, oral. Ampisilin 3,5 gram + Probenesid 1 gram, oral. Amoksisiln 3 gram + Probenesid 1 gram, oral. 5. Klamidiasis: - Pilihan utama: Doksisiklin 2 x 100 mg/hari, oral selama 7 hari. - Pilihan lain: Tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, oral selama 7 hari. Eritromisin 4 x 500 mg/hari, oral selama 7 hari atau 4 x 250 mg/hari, oral selama 14 hari.

Pengawasan:

205

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 206/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pada waktu kunjungan ulang, dilakukan pemeriksaan klinis dan laboratorium untuk menilai keberhasilan terapi dan menentukan langkah selanjutnya. Bila lekore masih ada, sedangkan tanda klinis sudah hilang, perlu dipikirkan sebab lain, misalnya hormonal. Bila keadaan memburuk atau timbul reinfeksi harus dicari penyebabnya, bila perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas.

206

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 207/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

18. Penyakit Radang Panggul Definisi: Penyakit radang panggul/PID (Pelvic Inflammatory Disease) merupakan penyakit infeksi pada traktus genitalia bagian atas. Prinsip dasar: Penyakit radang panggul sebagian besar (90%) terjadi karena infeksi asenden, selebihnya dapat terjadi karena tindakan medis, atau penyebaran limfogen atau hematogen. Infeksi asenden berasal dari infeksi alat genitalia bagian bawah, seperti sistitis, uretritis, vulvitis, vaginitis, vaginosis bakterial, servisitis, infeksi kelenjar Bartholin, serta terjadi karena pemasangan IUD, tindakan biopsi, sondase, kuretase, pascasalin dan pasca operasi yang tidak memperhatikan upaya-upaya pencegahan infeksi. Bisa juga terjadi penyakit radang panggul karena penularan dari infeksi traktus intestinalis, paling sering karena apendisitis. Infeksi yang terjadi meliputi uterus, tuba fallopi, ligamentum-ligamentum uteri, serta peritoneum pelvis viseral, seperti endoservisitis, endometritis, miometritis, salpingitis, oophoritis, piosalping, tuboovarial abses, abses Douglas, dan pelvioperitonitis, Dapat juga terjadi perihepatitis dan kolitis. Paling sering penyakit radang panggul adalah salpingitis. Pengobatan infeksi genitalia bagian bawah perlu dilakukan secara adekuat sehingga dapat mengurangi terjadinya infeksi asenden. Etiologi: Chlamydia trachomatis: 40-60%. Neisseria gonorrhoea: 15-18%. Mycoplasma species: 10-15%. Anaerob: 3-5%. Tidak diketahui: 15-20%.

207

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 208/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Diagnosis: Gejala: sangat bervariasi, tergantung lokasi, intensitas, serta daya tahan tubuh. Dasar diagnosis penyakit radang panggul: Kriteria mayor: - Ketegangan abdomen, rebound di bagian bawah. - Tegang-kaku saat pergerakan serviks atau uterus. - Adneksa tegang, kaku, dan nyeri. Kriteria tambahan: - Panas badan > 38 C. - Lekositosis > 10.000/mL. - Pembentukan massa pada adneksa. Laboratorium: - Bakteria pada endoserviks. - Cairan bernanah pada kavum Douglas. Selain itu juga, CDC (Center for Disease Control) menetapkan tuntunan untuk dapat menegakkan diagnosis penyakit radang panggul: 1. Kriteria minimal: - Tegang-nyeri abdomen bagian bawah. - Tegang-nyeri pada adneksa unilateral atau bilateral. - Tegang-nyeri pada pergerakan serviks. 2 Kriteria tambahan yang lebih menegaskan diagnosis penyakit radang panggul: - Temperatur > 38 C. - Pengeluaran cairan serviks atau vagina abnormal. - Laju endap darah meningkat. - Peningkatan C-reaktif protein. - Pada pemeriksaan lendir serviks dijumpai Chlamydia trachomatis atau Neisseria gonorrhoea. 3. Kriteria diagnosis yang lebih akurat: - Terjadi endometritis pada endometrium. - Terdapat abses pada pemeriksaan USG atau pemeriksaan lain. - Pemeriksaan laparoskopi menunjukkan terdapat keadaan abnormal adneksa yang menyertai penyakit radang panggul. Dapat juga terjadi penyebaran infeksi ke arah atas sehingga liver ikut serta dalam infeksi dengan gejala menurut Fitz-Hugh Curtis Syndrome:

208

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 209/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Nyeri sekitar liver, tegang saat liver diraba. Enzim transaminase liver meningkat. Terdapat penyebaran infeksi transperitoneal atau melalui pembuluh darah dari kuman Chlamydia trachomatis atau Neisseria gonorrhoea. Pada pemeriksaan laparoskopi akan dijumpai perlekatan membentang antara kapsul liver dengan peritoneal parietal di bawah diafragma.

Pemeriksaan penunjang: Laboratorium: lekositosis, laju endap darah meningkat, pewarnaan Gram, kuldosentesis purulenta, kultur. USG: massa di adneksa, misal abses Douglas, hidrosalping. Diferensial diagnosis: Kehamilan ektopik terganggu. Torsi kista ovarium. Ruptur kista ovarium. Apendisitis akuta. Perforasi tifus abdominalis. Endometriosis. Manajemen: Petunjuk pengobatan PID menurut CDC sebagai berikut: - Untuk pasien yang rawat jalan: Ofloksasin 2 x 400 mg per-oral untuk 14 hari, atau Levofloksasin 1 x 500 mg per-oral untuk 14 hari. Dengan atau tanpa Metronidasol 2 x 500 mg per-oral untuk 14 hari. - Alternatif untuk pasien rawat jalan: Sefoksitin 2 g IM + Probenesid 1 g oral secara bersamaan, atau Seftriakson 250 mg IM, atau Sefalosporin yang ekuivalen, Ditambahkan lagi Doksisiklin 2 x 100 mg per-oral untuk 14 hari. Dengan atau tanpa Metronidasol 2 x 500 mg per-oral untuk 14 hari. - Untuk pasien rawat inap: Sefoksitin 2 gram IV setiap 6 jam, atau Sefotetan 2 gram IV setiap 12 jam, Ditambahkan Doksisiklin 2 x 100 mg per-oral atau IV setiap 12 jam. Diberikan sampai pasien dinyatakan sembuh, selanjutnya Doksisiklin diberikan 2 x 100 mg per-oral sehingga total pemberian menjadi 14 hari.

209

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 210/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Alternatif untuk pasien rawat inap: Klindamisin 900 mg IV setiap 8 jam. Dengan Gentamisin, berikan loading dose IV atau IM (2 mg/kg bb) selanjutnya berikan dosis maintenance (1,5 mg/kg) setiap 8 jam, dengan syarat fungsi ginjal baik. Diberikan sampai pasien dinyatakan sembuh.

Komplikasi: Infertilitas. Kehamilan ektopik. Nyeri abdomen/pelvis.

210

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 211/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

19. Mioma Uteri Definisi: Tumor jinak otot polos uterus yang dilipat oleh pseudokapsul, yang berasal dari sel otot polos yang imatur. Prinsip dasar: Merupakan tumor terbanyak dari uterus. Prevalensinya mencapai 20% populasi wanita > 30 tahun dan 35-40% pada wanita > 50 tahun. Berhubungan dengan Estrogen. Jarang dijumpai sebelum menars, tidak tumbuh lagi setelah menopause atau kastrasi; membesar selama kehamilan atau mendapat Estrogen eksogen, sering dijumpai pada tumor yang menghasilkan Estrogen, dapat dijumpai bersamaan dengan hiperplasia endometrium. Lokasi terbanyak pada intramural (menyebabkan uterus berbenjol-benjol). Mioma submukosum jarang (5-10%) tetapi secara klinik sangat penting karena hampir selalu menimbulkan gejala. Mioma subserosum dapat timbul retroperitoneal/intraligamenter. Ada pula mioma uteri yang bertangkai (pedunculated). Mioma uteri submukosum bertangkai seringkali sampai keluar melewati ostium uteri eksternum dan disebut sebagai mioma terlahir (myoom geburt). Dapat mengalami perubahan seperti degenerasi hialin (tersering), degenerasi kistik, infeksi, kalsifikasi dan degenerasi maligna. Diagnosis: Pemeriksaan fisik: pembesaran rahim, bisa simetris ataupun berbenjol-benjol, kenyal, padat, berbatas tegas, bisa disertai dengan keluhan perdarahan per-

211

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 212/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

vaginam (menometroragia), dismenorea, disuria, polakisuria, retensi urine dan konstipasi akibat penekanan tumor. Pemeriksaan USG. Kuretase pada pasien yang disertai gangguan haid terutama pada usia agak tua, untuk menyingkirkan kemungkinan adanya hiperplasia endometrium atau adenokarsinoma endometrium.

Diferensial diagnosis: Hamil. Keganasan ovarium. Adenomiosis. Keganasan uterus. Manajemen: Observasi: bila ukuran uterus lebih kecil dari ukuran uterus kehamilan 12 minggu, tanpa disertai penyulit lain, lakukan pengawasan berkala setiap 6 bulan. Ekstirpasi: biasanya untuk mioma submukosum bertangkai/ myoom geburt, dilanjutkan dengan tindakan D&K. Konservatif: miomektomi. Histerektomi. Pemilihan cara manajemen tergantung pada keadaan: - Gejala yang timbul: perdarahan yang terus menerus dan tidak sembuh dengan pengobatan, maka sebagai tindakan hemostasis dilakukan histerektomi. - Besar dan lokasi mioma: mioma intramural, subserosa dan subserosa bertangkai dapat dilakukan miomektomi. - Umur pasien. - Fungsi reproduksi. Komplikasi: Perdarahan. Anemia. Infeksi atau degenerasi. Mioma subserosa bertangkai kadang-kadang terpuntir (twisted) yang mengakibatkan akut abdomen.

212

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 213/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Perlekatan pasca miomektomi. Robekan rahim saat hamil pada pasien pasca miomektomi.

Prognosis: Umumnya baik, bervariasi tergantung besar dan lokasi mioma. Informed consent: Perlu dibuat dan informasikan kemungkinan kambuhnya mioma uteri lagi, robekan rahim saat hamil, kemungkinan histerektomi totalis pada pasien yang tadinya direncanakan miomektomi, kemungkinan infertilitas, tidak lagi haid bila dilakukan histerektomi.

20. Kista Ovarium

213

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 214/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Definisi: Pembesaran ovarium yang bersifat fungsional atau disfungsional, berupa kistik, padat atau campuran kistik-padat dan dapat bersifat neoplastik maupun non-neoplastik. Prinsip dasar: Insidennya 7% dari populasi wanita. Delapan puluh lima persen kista ovarium bersifat jinak. Klasifikasi: Tumor non-neoplastik - Tumor akibat radang. - Tumor lain: kista folikel, kista korpus luteum, kista lutein, kista inklusi germinal, kista endometrium, kista Stein-Leventhal (SOPK). Tumor neoplastik jinak 1. Kistik: - Kistoma ovarii simpleks. - Kistadenoma ovarii serosum. - Kistadenoma ovarii musinosum. - Kista endometrioid. - Kista dermoid. 2. Padat: - Fibroma, leiomioma, fibroadenoma, papiloma, angioma, limfangioma. - Tumor Brenner. - Tumor sisa adrenal (maskulinova-blastoma). Diagnosis: Anamnesis: timbul benjolan di perut dalam waktu yang relatif lama. Gejala yang timbul tergantung besar tumor, lokasi, dan adanya komplikasi. Umumnya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang timbul dan patognomonik adalah: - Penekanan terhadap vesika urinaria atau rektum. - Perut terasa penuh. - Pembesaran perut. - Perdarahan (jarang). - Nyeri (pada putaran tangkai/kista pecah/terinfeksi).

214

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 215/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

- Sesak napas, edema tungkai (pada tumor yang sangat besar). Pemeriksaan fisik: - Ditemukan tumor di rongga perut bagian bawah, di samping uterus dengan ukuran > 5 cm. - Pada pemeriksaan dalam letak tumor di sebelah kiri/kanan uterus atau mengisi kavum Douglasi. - Konsistensi seringnya kistik, mudah digerakan, permukaan tumor umumnya rata, kecuali uterus miomatosus dapat berbenjol-benjol.

Pemeriksaan penunjang: Laboratorium: lekosit, laju endap darah; kemungkinan adanya kista terinfeksi, tes kehamilan negatif. USG: adanya tumor adneksa yang kistik/padat. Laparoskopi. Manajemen: Perlu ditentukan apakah merupakan kista fungsional (diameter kista < 5 cm) atau bukan. Perlu ditentukan apakah termasuk golongan neoplastik atau non-neoplastik. Pengangkatan kista/ovarium tergantung jenis kista dan besar kista. Pengangkatan kista dapat dilakukan dengan laparoskopi atau laparotomi. Pembedahan: kistektomi bila masih ada jaringan ovarium yang sehat. Ovarektomi atau salpingoovarektomi unilateral, bila sudah tidak ada jaringan ovarium yang sehat. Histerektomi totalis dan salpingoovarektomi bilateral (HTSOB) bila ditemukan tumor pada usia 50 tahun atau sudah menopause. Pada usia muda uterus dapat ditinggalkan dengan rencana terapi substitusi hormon. Pada pasien yang muda dengan ovarium tersangka ganas, dalam informed consent harus dijelaskan kemungkinan perlu dilakukan histerektomi.

215

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 216/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Komplikasi: Akibat penyakit: kista pecah, kista terpuntir/torsi, kista terinfeksi. Akibat pembedahan: perdarahan, cidera usus, cidera vesika urinaria, komplikasi cidera ureter bila tumor intraligamenter atau dengan perlekatan. Sindroma Meigs: Fibroma ovarii dengan asites dan hidrothoraks. Dengan pengangkatan tumor, sindroma akan hilang. Sindroma Meigs harus dibedakan dari asites dengan atau tanpa hidrothoraks, yang ditemukan pada tumor ganas ovarium. Pada tumor ganas ovarium, ditemukan sel-sel ganas pada cairan asites.

21. Penyakit Trofoblas Gestasional Definisi:

216

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 217/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Penyakit Trofoblas Gestasional adalah sekumpulan penyakit yang berkaitan dengan villi korialis, terutama sel trofoblasnya dan berasal dari suatu kehamilan.

Prinsip dasar: Pada umumnya, setiap kehamilan berakhir dengan lahirnya anak yang cukup bulan dan tidak cacat. Namun, hal ini tidak selalu terjadi. Kadang-kadang terjadi kegagalan kehamilan, bergantung pada tahap dan bentuk gangguannya. Kegagalan itu bisa berupa abortus, kehamilan ektopik, prematuritas, kematian janin dalam rahim, atau cacat. Ada bentuk kegagalan kehamilan lain, yaitu villi korialis yang seluruhnya atau sebagian berkembang tidak wajar, berbentuk gelembung-gelembung seperti anggur, disebut Mola Hidatidosa. Lima belas sampai dua puluh persen penderita Mola Hidatidosa dapat berubah menjadi ganas, dikenal sebagai Tumor Trofoblas Gestasional. Jadi Penyakit Trofoblas Gestasional meliputi Mola Hidatidosa yang jinak dan Tumor Trofoblas Gestasional yang ganas. Klasifikasi: Penyakit Trofoblas Gestasional terdiri dari: - Mola Hidatidosa: Mola Hidatidosa Komplit. Mola Hidatidosa Parsial. - Tumor Trofoblas Gestasional: Mola Invasif. Koriokarsinoma. Placental Site Trophoblastic Tumor (PSTT). Persistent Trophoblastic Disease (PTD)/Tumor Trofoblas Gestasional Klinis. Stadium: Stadium I terbatas di rahim. Stadium II metastasis ke vulva, vagina dan parametrium. Stadium III metastasis ke paru-paru. Stadium IV metastasis ke organ lain, misal otak. Mola Hidatidosa Definisi:

217

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 218/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Mola Hidatidosa: suatu kehamilan yang sebagian (Parsial) atau seluruh villi korialisnya (Komplit) mengalami degenerasi hidropik berupa gelembung yang menyerupai anggur. Pada Mola Hidatidosa Komplit, tanpa embrio/unsur janin. Sedangkan Mola Hidatidosa Parsial ditemukan embrio yang biasanya mati pada masa dini, sebelum trimester pertama, walaupun pernah dilaporkan adanya Mola Hidatidosa Parsial dengan bayi aterm.

Faktor risiko: Etiologi belum diketahui secara pasti, namun faktor risiko: - Umur: banyak ditemukan pada wanita hamil < 20 tahun dan > 35 tahun. - Etnik: lebih banyak pada ras Mongoloid daripada Kaukasus. - Genetik: wanita dengan balance translocation mempunyai risiko lebih tinggi. - Gizi: banyak ditemukan pada wanita yang kekurangan protein, asam folat, histidin, dan -karotin. Diagnosis: 1. Anamnesis: amenorea, mual muntah, perdarahan per-vaginam, perut terasa lebih besar dari usia kehamilan, tidak terasa pergerakan anak, sudah keluar gelembung mola. 2. Pemeriksaan ginekologis: uterus lebih besar dari lamanya amenorea, tandatanda pasti kehamilan negatif. 3. Laboratorium: kadar -hCG lebih dari normal. Saat ini kadar -hCG mempunyai nilai prognostik dibandingkan nilai diagnostik. 4. USG: tidak tampak kantung janin, maupun bagian dari janin. Seluruh kavum uteri berisi gambaran vesikuler. 5. Diagnosis pasti: berdasarkan hasil pemeriksaan Patologi Anatomi. Pada Mola Hidatidosa Parsial, umumnya diagnosis dibuat secara kebetulan dari hasil Patologi Anatomi atau dengan USG pada bayi yang cukup besar. Komplikasi: Preeklamsia/eklamsia. Tirotoksikosis. Emboli paru-paru (jarang). Untuk kepentingan prognostik dan tindakan selanjutnya, perlu diperiksa:

218

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 219/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Hemodinamik/keadaan umum. Darah lengkap. Fungsi hepar dan ginjal. T3, T4, dan Tiroid Stimulating Hormone/TSH. Foto thoraks. Persiapan operasi, bila perlu. Konsultasi dengan bagian lain: Bagian Penyakit Dalam, Syaraf. Kadar -hCG, untuk menentukan nilai prognostik.

Manajemen: 1. Stabilisasi/perbaikan keadaan umum: - Transfusi darah. Untuk mengatasi syok hipovolemik atau anemia. Antihipertensi/antikonvulsi. Untuk mengatasi penyulit seperti preeklamsia/eklamsia. - Obat anti tiroid. Untuk mengatasi penyulit tirotoksikosis. Tindakan yang dilakukan sebelum penderita dalam keadaan stabil, dapat merangsang terjadinya syok ireversibel, eklamsia atau krisis tiroid yang dapat menyebabkan kematian. Untuk emboli paru-paru tidak ada pengobatan spesifik, hanya suportif saja, terutama oksigenisasi dan antikoagulan sampai gejala akutnya hilang, kalau perlu dirawat di ICU. 2. Evakuasi jaringan: Setelah penderita stabil, dilakukan evakuasi. - Kuretase vakum. Pada umumnya evakuasi jaringan mola dilakukan dengan kuretase vakum, kemudian sisanya dibersihkan dengan kuret tajam. Tindakan kuret dilakukan sekali saja. Kuret ulangan hanya dilakukan bila ada indikasi. Kuretase vakum dapat langsung dikerjakan, bila gelembung mola sudah keluar dan keadaan umum pasien stabil. Pada kasus Mola Hidatidosa yang belum keluar gelembungnya, harus dipasang dahulu batang laminaria selama 12 jam sebelum kuret. Saat kuretase vakum, dipasang infus Dekstrosa 5% + uterotonika, bila perlu narkoleptik. Untuk -

219

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 220/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

kepentingan pemeriksaan Patologi Anatomi, diambil jaringan yang melekat pada dinding uterus. Histerektomi

Hanya untuk golongan risiko tinggi (umur > 35 tahun, anak hidup cukup). Dapat dilakukan dengan jaringan mola intoto atau pasca kuretase vakum. Kalau ada kista lutein, jangan diangkat, cukup dekompresi saja. 3. Profilaksis: Tujuan: mencegah terjadinya keganasan di uterus. Cara: - Histerektomi, seperti tersebut di atas. - Kemoterapi: untuk golongan risiko tinggi yang menolak histerektomi atau penderita muda dengan hasil Patologi Anatomi yang mencurigakan. Jenis kemoterapi: - Metotreksat (MTX): 20 mg/hari IM, Asam Folat 3 x 10 mg per-oral (sebagai antidot MTX), dan Cursil: 2 x 35 mg per-oral (sebagai hepatoprotektor), selama 5 hari. - Aktinomisin D: 1 flakon/hari IV, selama 5 hari, tidak perlu antidot, maupun hepatoprotektor. Tindakan profilaksis dapat menurunkan persentase keganasan pasca Mola Hidatidosa Komplit, tetapi hanya terhadap keganasan di uterus saja, tidak terhadap kemungkinan metastasis di tempat lain, karena itu penderita harus di follow up seperti biasa. 4. Follow up: Tujuan: menentukan adanya proses keganasan secara dini. Durasi: satu tahun. Jadwal: - 3 bulan pertama: 2 minggu sekali. - 3 bulan kedua: 1 bulan sekali. - 6 bulan terakhir: 2 bulan sekali Hal-hal yang perlu dicatat: - Keluhan penderita: ada tidaknya perdarahan per-vaginam. - Status ginekologi: ada tidaknya pembesaran uterus. - Kadar -hCG: Kurva regresi kadar -hCG secara normal sbb: 1. Setelah 4 minggu kadar -hCG 1.000 mIU/mL.

220

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 221/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

2. Setelah 6 minggu kadar -hCG 100 mIU/mL. 3. Setelah 8 minggu kadar -hCG 20-30 mIU/mL. 4. Setelah 12 minggu kadar -hCG 5 mIU/mL. - Pemeriksaan foto thorak, jika curiga metastasis ke paru-paru; CT-scan, jika ada kecurigaan metastasis ke otak. Syarat: tidak boleh hamil selama satu tahun. Kontrasepsi: Kondom, atau pil KB setelah kadar -hCG dan haid kembali normal. Akhir follow up: hamil lagi sebelum satu tahun, setelah satu tahun tidak ada keluhan. Untuk Mola Hidatidosa Parsial, karena diagnosis biasanya dibuat secara kebetulan pasca kuretase, maka tidak perlu dilakukan tindakan lain. Histerektomi dan upaya profilaksis lainnya tidak dianjurkan. Walaupun persentase keganasan pasca Mola Hidatidosa Parsial lebih rendah, tetapi follow up tetap harus dilakukan seperti pada Mola Hidatidosa Komplit. Faktor risiko untuk terjadinya keganasan pasca Mola Hidatidosa Komplit: Umur 35 tahun. Besar uterus Mola Hidatidosa Komplit 20 minggu. Kadar -hCG 100.000 mIU/mL. Kista lutein bilateral positif. Mola Invasif: Definisi: Keganasan pasca Mola Hidatidosa, ditandai dengan adanya villi korialis atau gelembung mola yang terletak di antara lapisan otot-otot miometrium. Prinsip dasar: Mola Invasif selalu didahului oleh Mola Hidatidosa, tidak oleh jenis kehamilan lain seperti abortus atau kehamilan aterm. Masa laten Mola Invasif biasanya pendek, umumnya kurang dari 4 bulan. Mola Invasif lebih sering ditemukan pada penderita yang berumur lebih dari 35 tahun. Di samping ke dalam kavum uteri, perforasi dapat juga terjadi ke arah parametrium. Walaupun derajat keganasannya rendah, kasus Mola Invasif bisa fatal akibat perforasi, terutama bila perforasinya ke arah parametrium.

221

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 222/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Adanya perforasi, tidak selalu disertai gejala akut karena daerah perforasi sering tertutup oleh omentum atau usus. Hal ini disebut Silent perforation . Mola Invasif jarang bermetastasis. Karena derajat keganasan Mola Invasif rendah, bila pasca operasi kadar hCG turun sesuai dengan kurva regresi normal, maka penderita tidak perlu diberi kemoterapi.

Diagnosis: Pernah menderita Mola Hidatidosa beberapa bulan sebelumnya, biasanya Mola Hidatidosa Komplit. Perdarahan per-vaginam. Subinvolusi uteri. Gejala akut abdomen, akibat perforasi uterus. Diagnosis pasti: durante operationum tampak perforasi uterus disertai perdarahan dan gelembung mola di dalam kavum abdominalis, serta hasil Patologi Anatomi. Pemeriksaan penunjang: Bila keadaan tidak akut, lakukan semua pemeriksaan dan persiapan seperti pada Mola Hidatidosa Komplit, termasuk kadar -hCG dan USG. Pada kadar -hCG biasanya meninggi, dan USG tampak gambaran vesikuler yang khas di antara otot-otot miometrium. Manajemen: Perbaiki keadaan umum. Bila perlu konsul Penyakit Dalam dan Anestesi. Persiapkan operasi darurat. Bila tidak akut: - Umur di atas 35 tahun, anak hidup cukup, disarankan histerektomi. - Bila menolak operasi, berikan kemoterapi sesuai skoring FIGO. - Umur muda, paritas rendah, kemoterapi sesuai skoring FIGO. Bila akut: - Umur di atas 35 tahun, anak hidup cukup, lakukan histerektomi. - Umur muda, paritas rendah, lakukan evakuasi jaringan mola melalui lubang perforasi, kemudian dilakukan histerorafi dengan/tanpa sterilisasi, tergantung luasnya perforasi.

222

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 223/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Follow up: Seperti pada Mola Hidatidosa Komplit. Koriokarsinoma Definisi: Koriokarsinoma adalah Tumor Trofoblas Gestasional yang terjadi pasca kehamilan mola atau non-mola, ditandai dengan adanya sel-sel sito dan sinsitio trofoblas yang atipik, tanpa villi korialis di uterus atau jaringan lain. Koriokarsinoma adalah tumor ganas yang berasal dari jaringan yang mengandung trofoblas, seperti lapisan trofoblas ovum yang sedang tumbuh, villi dari plasenta, gelembung mola, dan emboli sel-sel trofoblas di mana saja di dalam badan. Prinsip dasar: Koriokarsinoma merupakan varian terganas dari Tumor Trofoblas Gestasional. Banyak menimpa penderita muda dengan paritas rendah. Mempunyai masa laten dan petanda tumor (-hCG) yang bernilai prognostik. Dapat diobati secara tuntas tanpa kehilangan fungsi reproduksi, asal diketahui secara dini. Disebut The Great Immitator karena sering memberikan gejala non ginekologik seperti: hematemesis, hemoptoe, ikterus, atau gejala neurologik. Prognosis penyakit tidak ditentukan oleh jauhnya penyebaran penyakit, melainkan oleh Skor Faktor Risiko FIGO. Diagnosis: Anamnesis dan klinis. Kriteria Acosta Sison HbEs positif, yaitu: H: having expelled a product of conception/pernah hamil mola/non-mola. B: bleeding/perdarahan per-vaginam. Es: enlargement and softness of the uterus/subinvolusi uteri. Untuk menegakkan diagnosis dan menentukan prognosis, perlu diperiksa lebih lanjut: - Kadar -hCG. - USG daerah pelvis, kalau perlu hepar, limpa, dan ginjal.

223

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 224/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Metastasis di vulva/vagina, paru-paru (foto thoraks), otak (CT-scan, MRI kalau ada indikasi). Diagnosis pasti: hasil pemeriksaan Patologi Anatomi.

Manajemen: Tujuan: Mempertahankan fungsi reproduksi. Mengurangi massa tumor.

- Menjaga Quality of Life (QOL). - Mengurangi/menghilangkan efek samping. - Memberi dukungan psikis (konseling). Cara terapi: 1. Kemoterapi: Merupakan pilihan pertama, terutama untuk penderita muda dengan paritas rendah. Besar uterus kurang dari 14 minggu. Tidak ada tanda-tanda perforasi atau ancaman perforasi. Pemilihan obat dan dosis, sesuai dengan Skor Faktor Risiko FIGO.

2. Operasi: Untuk menghilangkan massa tumor: histerektomi atau ekstirpasi metastasis vagina. Untuk mengurangi massa tumor atau sebagai tindakan dekompresi: reseksi parsial uterus, lobektomi, atau kraniotomi. Histerektomi sebaiknya dihindarkan pada penderita muda dengan paritas rendah. Harus selalu diikuti dengan kemoterapi.

3. Radiasi: Sesuai dengan kebijakan Bagian Radiologi.

224

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 225/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Follow up: Tahun pertama: seperti pada Mola Hidatidosa Komplit. Selanjutnya: pemeriksaan -hCG setiap 6 bulan, seumur hidup. Tidak boleh hamil selama setahun. Jenis kontrasepsi kondom. Prognosis: Skor rendah: dubia ad bonam. Skor tinggi, terutama bila disertai metastasis ke hepar dan otak: dubia ad malam. Skor Faktor Risiko pasca operasi: skor pre-operasi (-hCG lama + massa tumor) + -hCG baru.

Skor Faktor Risiko FIGO 0 1 Age 40 Antecedent pregnancy HM Abortion Interval (months) <4 4-6 Pre-therapy -hCG (mIU/mL) < 103 103-104 Largest tumor size, including uterus 3-4 cm Site of metastasis Spleen/kidney Number of metastasis identified 0 1- 4 Previous failed chemotherapy 0-6: low risk 7: high risk FIGO soring

2 > 40 Term 7-12 104-105 5 cm GI tract 5- 8 Single drug

4 > 12 > 105 Brain/liver >8 2 drugs

Placental Site Trophoblastic Tumor (PSTT) Definisi: Varian terbaru dari Tumor Trofoblas Gestasional yang biasanya didahului oleh kehamilan non-mola. Cirinya yang khas adalah pada gambaran Patologi Anatomi, hampir seluruh sel trofoblas terdiri dari jenis intermediet, sedikit hCG dan banyak sekali Human Placental Lactogen.

225

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 226/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Diagnosis: Sukar dibuat diagnosis pra-tindakan karena keluhan dan gejala klinis yang tidak khas. Diagnosis sering dibuat tanpa disengaja, pasca kuretase atau histerektomi. Mungkin harus dicurigai PSTT bila: - perempuan dalam masa reproduksi. - pernah melahirkan atau keguguran. - mengalami amenorea sekunder, kemudian diikuti dengan perdarahan pervaginam. - -hCG positif, tetapi kadarnya rendah. Diagnosis pasti: hasil pemeriksaan Patologi Anatomi.

Terapi: Tanpa metastasis: histerektomi. Dengan metastasis: histerektomi + kemoterapi. Prognosis: Tanpa metastasis: baik. Dengan metastasis: buruk, karena dianggap sama dengan Koriokarsinoma risiko tinggi, sedangkan PSTT sering tidak responsif terhadap kemoterapi. Persistent Trophoblastic Disease Definisi: Tumor Trofoblas Gestasional yang diagnosisnya tidak berdasarkan hasil pemeriksaan Patologi Anatomi. (Istilah Indonesia: TTG Klinis). Prinsip dasar: Diagnosis PTD lebih disenangi karena pemeriksaannya tidak invasif, sehingga kemungkinan untuk mempertahankan fungsi reproduksi lebih besar. Karena tidak dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi, mungkin saja PTD itu suatu Mola Invasif, Koriokarsinoma atau PSTT dengan prognosis yang sangat bervariasi.

226

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 227/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

PTD yang didahului oleh kehamilan mola, penegakkan diagnosisnya lebih dini karena ada keharusan untuk follow up pasca mola. PTD pasca kehamilan non-mola, diagnosisnya sering terlambat karena tidak ada keharusan follow up.

Diagnosis: HBEs positif, baik pasca kehamilan mola maupun non-mola. Kadar -hCG meninggi. USG. Tanda-tanda metastasis lainnya.

Manajemen: Hanya ada satu jenis terapi yaitu kemoterapi. Prognosis: PTD pasca mola: baik, karena dengan follow up yang baik, kemungkinan masa laten pendek dan bentuk TTG-nya Mola Invasif. PTD pasca non-mola: buruk, karena tidak follow up, masa laten panjang dan bentuk TTG-nya kemungkinan besar Koriokarsinoma. Kemoterapi pada TTG Keuntungan: Sangat efektif termasuk untuk golongan risiko tinggi. Dapat menghilangkan massa tumor, baik yang di dalam maupun di luar uterus. Dapat mengembalikan fungsi reproduksi perempuan, khususnya fungsi menstruasi dan fertilitas.

Kerugian: Biaya mahal dan perawatan lama, terutama untuk golongan risiko tinggi.

227

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 228/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Cara pemberian yang tidak nyaman, seperti infus atau intratekal. Efek samping yang mengganggu, baik fisik dan psikis.

Prinsip dasar: Perhatikan efek samping berupa mual/muntah, stomatitis dan gangguan hemopoetik. Bila muntah-muntah hebat, dapat diberikan obat anti muntah secara parenteral, satu jam sebelum kemoterapi. Bila terjadi gangguan hemopoetik seperti lekopeni atau trombositopenia, pengobatan ditangguhkan, penderita diberi Prednison 3 x 5 mg per-oral selama 5 hari, kemudian diperiksa lagi hemopoetiknya. Cursil diberikan selama pengobatan dan masa interval. Interval kemoterapi: 2 sampai 3 minggu, tergantung kepada efek samping. Persyaratan: Hanya boleh dilakukan di RS yang mempunyai fasilitas laboratorium pendukung untuk memantau efektifitas pengobatan dan efek samping. Hanya boleh dilakukan oleh dokter-dokter yang betul-betul menguasai protokolnya, karena undertreatment tidak akan efektif dan bisa menyebabkan resistensi obat, sedangkan overtreatment merupakan pemborosan dan bisa menyebabkan efek samping yang fatal. Sebelum terapi dimulai, harus dilakukan proses informed choice, informed consent dan konseling tentang jenis dan khasiat obat, cara dan lamanya pemberian obat, efek samping, biaya, serta lamanya perawatan. Persyaratan laboratorium sebelum kemoterapi: SGOT/SGPT 2 kali angka normal. Hemoglobin 10 gr%. Lekosit 4.000/mm3. Trombosit 100.000/mm3.

228

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 229/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

- Ureum/kreatinin harus normal. Terapi harus berdasarkan falsafah pelayanan biomedispsikososiospiritual, berupa cure dan care yang proporsional. Terapi dianggap berhasil dan dihentikan bila kadar -hCG tiga kali berturutturut normal (< 5 mIU/mL). Bila baru satu kali pemberian kemoterapi tapi hCG sudah normal, maka masih diberikan lagi dua kali terapi konsolidasi dengan dosis yang sama.

Kemoterapi yang banyak digunakan pada TTG: Methotrexate (MTX) Actinomycin D (Act D) Etoposid (E) Cyclophosphamide (C) Oncovin (O) Antidot: Asam Folat atau citrovorum rescue, adalah antidot terhadap MTX, diberikan 24 jam setelah pemberian MTX dengan dosis 10-15 mg IV, atau tablet 3 kali 10 mg. Hepatoprotektor: Cursil (Curcuma domestica val, Curcuma xanthirriza roxb dan Silybium marianum L Gaetari) digunakan sebagai hepatoprotektor pada pemberian MTX dan Etoposid dengan dosis 3 kali 35 mg (kapsul) per-oral bersamaan dengan pemberian kemoterapi. Protokol kemoterapi Kemoterapi tunggal Skor rendah: 1-3 MTX dosis rendah 1 MTX 20 mg Asam folat 2x1 Cursil 2x1 Interval: 1 minggu Skor sedang: 4-6 Obat 2 20 mg 2x1 2x1 Hari 3 20 mg 2x1 2x1 4 20 mg 2x1 2x1 5 20 mg 2x1 2x1 Cara IM per-oral per-oral

229

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 230/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

MTX dosis tinggi


Obat MTX Asam folat Cursil 1 50 mg 3x1 2 15 mg 3x1 3 50 mg 3x1 Hari 4 5 50 mg 15 mg 3x1 3x1 6 15 mg 3x1 7 50 mg 3x1 8 15 mg 3x1 Cara IM per-oral per-oral

Interval: 1 minggu Etoposid (E) Cara 1 2 3 4 5 Etoposid + + + + + per-infus Cursil 3x1 3x1 3x1 3x1 3x1 per-oral Interval: 1 minggu Dosis Etoposid: 100 mg per-luas permukaan badan/hari, selama 5 hari. Cara: 100 mg Etoposid dilarutkan dalam 275 cc NaCl 0,09%, diinfuskan dalam satu jam. Actinomycin D (Act-D) Cara 1 2 4 5 Act-D + + + + IV Interval: 1 minggu Dosis: 1 flakon/hari, selama 5 hari. Cara: 1 flakon Act-D, dilarutkan dalam 1,1 cc aquabidest, kemudian disuntikkan IV. Tidak perlu antidot, maupun hepatoprotektor. Hati-hati, tidak boleh ada yang masuk dalam jaringan, karena dapat menyebabkan nekrosis. Skor tinggi 7 Kemoterapi ganda
Obat Etoposid MTX Asam folat Cursil Hari 1 + 50 mg 3x1 2 + 15 mg 3x1 3 + 50 mg 3x1 4 + 15 mg 3x1 5 + 50 mg 3x1 6 15 mg 3x1 7 50 mg 3x1 8 15 mg 3x1 Cara IV IM per-oral per-oral

Obat

Hari

Obat

Hari 3 +

Interval: 1 minggu

230

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 231/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Kriteria Hammond (1973): A. Tidak ada metastasis. B. Metastasis: Risiko rendah: - hCG < 100.000 IU/urine 24 jam atau < 40.000 mIU/mL serum. - Adanya gejala yang timbul kurang dari 4 bulan. - Tidak ada metastasis ke otak atau liver. - Tidak mendapat kemoterapi sebelumnya. - Kehamilan sebelumnya tidak merupakan persalinan aterm (misal mola, ektopik, abortus). Risiko tinggi: - hCG > 100.000 IU/urine 24 jam atau > 40.000 mIU/mL serum. - Adanya gejala yang timbul lebih dari 4 bulan. - Metastasis ke otak atau liver. - Adanya kegagalan kemoterapi sebelumnya. - Kehamilan sebelumnya aterm.

22. Kanker Vulva Kanker Vulva hanya menempati 4% dari kanker pada traktus genitalia wanita. Etiologi: Belum diketahui secara pasti. Diagnosis: Gejala: dimulai dengan adanya bengkak atau timbulnya massa di vulva yang sebelumnya dirasakan adanya pruritus yang lama. Kadang-kadang disertai luka dan perdarahan, serta mungkin keluhan disuria. Tampak luka yang ulseratif, lekoplakia atau seperti kutil. Sebagian banyak tumbuh di labia mayora, tetapi juga bisa tumbuh primer di labia minora, klitoris, dan perineum. Sebagian tumor tumbuh secara multifokal. Sebagian sudah terjadi pembesaran kelenjar getah bening pada inguinal. Biopsi (bila memungkinkan). FNAB (fine needle aspiration biopsy) pada kelenjar inguinal yang dicurigai.

231

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 232/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pap smear serviks. Radiologi. - Foto thoraks. - Foto pelvis bila ada kecurigaan melibatkan tulang. - CT-scan bila kelenjar getah bening pelvik terlibat. Laboratorium: darah lengkap, tes fungsi ginjal, tes fungsi liver, tes gula darah.

Stadium Kanker Vulva (FIGO, revisi 1995) dan TNM klasifikasi: FIGO TNM Klinis Stadium 0 Tis Karsinoma insitu. Stadium I T1N0M0 Terbatas pada vulva 2 cm, tidak teraba kgb. Ia Invasi stroma < 1 mm. Ib Invasi stroma 1 mm. Stadium II T2N0M0 Terbatas pada vulva/perineum > 2 cm, tidak teraba kgb. Stadium III T3N0M0 Berapapun ukuran tumor, tidak teraba kgb inguinal. T3N1M0 Berapapun ukuran tumor, invasi uretra distal, anus. T1N1M0 Berapapun ukuran tumor, kgb +. T2N1M0 Stadium IVa T1N2M0 Berapapun ukuran tumor dengan: T2N2M0 Infiltrasi ke uretra proksimal, mukosa vesika, rektum, tulang pelvik, kgb bilateral +. T3N2M0 T4NxM0 Stadium IVb TxNxM1 Metastasis jauh, kgb pelvik +.

Terapi: VIN I/II asimptomatik: ekspektatif. VIN I/II simptomatik: bedah laser atau eksisi lokal. VIN III (lesi insitu): bedah laser atau eksisi lokal. Stadium IA (invasif superfisial): eksisi lokal luas. Karsinoma vulva lanjut (atau rekurens): - Bila kelenjar getah bening tidak dapat direseksi, tetapi tumor primer dapat direseksi, berikan radioterapi pasca vulvektomi. - Tumor primer tidak dapat direseksi diberikan terapi kemoradioterapi. Bila secara klinik kelenjar getah bening negatif, pertimbangkan reseksi kelenjar terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan radioterapi. - Bila vulva dan kelenjar getah bening tidak dapat direseksi, terapi kemoradiasi setelah pembedahan.

232

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 233/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Bila berkaitan dengan VIN luas atau distrofi vulva atau suspek lesi multifokal, vulvektomi radikal lebih dipilih daripada eksisi radikal. Butir penting: - Bila batas eksisi tidak adekuat, perlu re-operasi. - Pengamatan pasca operasi sangat penting. - Potong beku kelenjar inguinal perlu dipertimbangkan. - Indikasi radiasi pasca operasi : Bila batas sayatan < 8 mm bebas (Formalin). Kelenjar getah bening positif. 5 mm atau kelenjar positif dengan penyebaran ekstra kapsular.

233

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 234/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

23. Kanker Vagina Kanker Vagina merupakan jenis kanker yang relatif jarang dari seluruh jenis kanker pada traktus genitalia wanita. Etiologi: Belum diketahui secara pasti. Adanya hubungan dengan perjalanan penyakit pada kanker serviks dianggap ada peran HPV sebagai penyebabnya. Diagnosis: Perdarahan per-vaginam yang tidak nyeri dan keputihan merupakan gejala yang paling umum. Pada tingkat yang lanjut, dapat terjadi retensi urine, hematuria, inkontinensia urine, bahkan tenesmus, konstipasi, atau hematosesia. Hasil pemeriksaan Apusan Pap. Biopsi lesi tumor pada vagina. Lesi tumor lebih sering ditemukan pada sepertiga proksimal vagina bagian posterior.

234

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 235/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Stadium berdasarkan FIGO: Stadium 0 Karsinoma insitu. Stadium I Terbatas pada dinding vagina. Stadium II Invasi ke jaringan sub-vagina, belum ke dinding pelvik. Stadium III Invasi ke dinding panggul. Stadium IVA Invasi ke organ sekitarnya. Stadium IVB Metastasis ke organ jauh. Terapi: Lesi insitu (NIVA III): Bedah laser, eksisi lokal, radioterapi. Stadium I: Radioterapi, tergantung pada situasi tumor di vagina. Radiasi seluruh pelvis dilanjutkan insersi Radium. Stadium II dan Stadium III: Terapi radiasi eksternal dilanjutkan insersi radium. Dilakukan bersamaan dengan implantasi Iridium sebagai booster jaringan para vaginal. Tumor di orifisium vagina diterapi sebagai kanker vulva. Kanker vagina sepertiga distal, stadiumnya sama dengan bila lesi di dua pertiga atas. Namun karena secara embriologik perkembangannya seperti di vulva; oleh sebab itu apabila sepertiga distal vagina terlibat, maka kelenjar inguinal dan femoral pun mempunyai risiko penyebaran. Sebelum radioterapi, lakukan limfadenektomi inguinal dan femoral. Pembedahan: Tergantung individual. Tumor di vagina bagian atas meluas ke serviks, dapat diterapi sebagai kanker serviks.

24. Kanker Serviks Sampai saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak akibat penyakit kanker di negara berkembang. Sesungguhnya penyakit ini dapat dicegah bila program skrining sitologi dan pelayanan kesehatan diperbaiki.

235

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 236/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Etiologi: Infeksi virus HPV dan beberapa kondisi lain seperti perilaku seksual, merokok akan mempromosikan terjadinya kanker serviks. Prinsip dasar: Penanganan kanker serviks dibagi menjadi 3 kelompok yaitu lesi prakanker dan prainvasif, kanker invasif dan residif. Cara diagnosis dan terapi disesuaikan dengan perkembangan saat ini, fasilitas yang tersedia dan keadaan pasien. Kanker Serviks Praklinik/Prainvasif Definisi: Kanker serviks praklinik/prainvasif disebut juga Neoplasia Intraepitelial Serviks (NIS), merupakan gangguan diferensiasi sel pada lapisan skuamosa, dan mempunyai potensi menjadi karsinoma serviks. Neoplasia intraepitelial serviks ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu : - NIS I, disebut juga displasia ringan. - NIS II, atau displasia sedang. - NIS III, atau displasia berat. Secara biologik dengan karsinoma insitu tidak ada perbedaan. Terminologi Apusan Pap menurut The New Bethesda System 2001 Adekuasi spesimen. Kategori umum. Diagnosis deskriptif. Evaluasi hormonal. Padanan hasil pelaporan Apusan Pap:
Derajat Pap Derajat Displasia Normal NIS Batas normal Perubahan seluler jinak Atipik Kelas I Normal Kelas II Inflamasi Kelas III Displasia ringan Displasia sedang NIS I - NIS II Koilositosis Lesi derajat rendah - Lesi derajat tinggi Kelas IV Displasia berat Karsinoma insitu NIS III Lesi derajat tinggi Kelas V Karsinoma

Karsinoma Karsinoma

Sistem Bethesda

236

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 237/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

ASCUS

Diagnosis: Pemeriksaan Apusan Pap merupakan cara efektif untuk mendeteksi NIS. Bila Apusan Pap abnormal, selanjutnya dilakukan pemeriksaan kolposkopi. Bila gambaran abnormal berupa atipia, displasia ringan/infeksi (pemeriksaan sekret vagina) maka infeksi diobati dahulu dan Apusan Pap diulang 2 minggu kemudian. - Kalau gambaran kolposkopi normal, sitologi ulang mencurigakan/ abnormal, kelompok lesi intraepitelial derajat tinggi, atau karsinoma, maka selanjutnya dilakukan konisasi diagnostik. - Kalau gambaran kolposkopi abnormal, memuaskan maka dilakukan biopsi loop diatermi dan kuretase endoserviks. - Kalau gambaran kolposkopi abnormal, tidak memuaskan, sitologi abnormal/mencurigakan, maka dilakukan konisasi diagnostik. Manajemen: Hasil konisasi NIS I/II cukup dengan pengamatan lanjut saja. Hasil konisasi NIS III: - Ingin anak, pengamatan lanjut. - Cukup anak, histerektomi total. Hasil biopsi terarah/kuretase endoserviks. - NIS II, krioterapi/elektrokoagulasi. - NIS III, maka pengobatan sama dengan bagan 3. Hasil biopsi/kuretase endoserviks/konisasi karsinoma serviks invasif, maka pengobatan seperti pada kanker serviks yang invasif. Penatalaksanaan Lesi Pra Kanker Serviks. - Fase Laten: belum jelas diduga dapat dengan suatu imunomodulator. - Fase Subklinik: diagnosis harus berdasarkan biopsi histopatologi. - Lesi derajat rendah: krioterapi, prosedur eksisi loop elektrokauter (LEEP). - Lesi derajat tinggi: LEEP, LLETZ (Large Loop Excision Tranzformation Zone), konisasi, histerektomi. - Fase Klinik: a. Lesi jinak (Kondiloma akuminatum): larutan Podofilin 25%, krim 5 FU, elektrokauter. b. Lesi ganas (Kanker Serviks): lihat penanganan Kanker Serviks.

237

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 238/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Penatalaksanaan lanjut pada Apusan Pap abnormal: lihat bagan penanganan Lesi Prakanker.

Prognosis: Pada tahap lesi prakanker bila penatalaksanaan tepat, angka mendekati kesembuhan 100%.

Algoritma:
Manajemen wanita dengan hasil Apusan Pap AS-CUS (Atypical Squamous Cells of Undetermined Significance)

Ulang sitologi

Tes DNA HPV

Negatif

ASC

Positif HPV risiko tinggi

Negatif HPV

Ulang sitologi @ 4-6 bln Negatif ASC

Kolposkopi

Ulang sitologi @ 12 bln

Tidak ada LIS

LIS/Kanker

238

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 239/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Tidak ada kanker Tes Pap rutin HPV negatif HPV positif tipe risiko tinggi Manajemen sesuai panduan

Ulang sitologi @ 12 bln

Sitologi @ 6-12 bln atau Tes DNA HPV

Manajemen wanita dengan hasil Apusan Pap ASC-US pada keadaan tertentu

Wanita pasca menopause (atrofi dan tidak ada kontra indikasi terapi Estrogen)

Segera kolposkopi atau Tes DNA HPV

Terapi Estrogen intravagina

Ulang sitologi (1minggu setelah terapi)

Negatif

> ASC

Ulang sitologi 4-6 bln Negatif > ASC

Kolposkopi

Skrining rutin

Manajemen wanita dengan hasil Apusan Pap AGC (Atypical Glandular Cells) Semua kategori (kecuali sel endometrial atipik ) Sel endometrial atipik

239

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 240/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS. Sampling endometrial

Kolposkopi (dengan sampling endoserviks) Sampling endometrial (bila > 35 tahun atau perdarahan abnormal) Tidak ada invasif Invasif

Rujuk Onkologi Ginekologi

Tes Pap AGC-NOS

Tes Pap AGC cenderung neoplasia atau AIS

Konisasi

Neoplasia

Tidak ada neoplasia

Manajemen sesuai panduan

Ulang sitologi @ 4-6 bulan (4X) ASC/LIS-DR LIS-DT

Kolposkopi

Konisasi

Manajemen wanita dengan Apusan Pap LIS-DR (Lesi Intraepitelial Sel SkuamosaDerajat Rendah ) Pemeriksaan Kolposkopi

Kolposkopi memuaskan dan lesi teridentifikasi Kolposkopi memuaskan dan lesi TIDAK teridentifikasi Kolposkopi TIDAK memuaskan Tidak ada LIS/Kanker Sitologi @ 6 & 12 bln atau Tes DNA HPV @ 12 bln ASC atau HPV (+) Negatif

Sampling endoserviks acceptable Sampling endoserviks preferred Sampling endoserviks preferred

LIS/Kanker Manajemen sesuai panduan

240

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 241/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Ulang kolposkopi

Skrining rutin

Manajemen wanita dengan hasil Apusan Pap LIS-DT (Lesi Intraepitelial Sel SkuamosaDerajat Tinggi ) Kolposkopi memuaskan Tidak ada LIS atau LIS-DR Review Tidak berubah Konisasi Biopsi LIS-DT Kolposkopi TIDAK memuaskan Tidak ada lesi Biopsi sesuai LIS-DR/DT

Manajemen sesuai panduan Berubah diagnosis Manajemen sesuai panduan

Review ulang Berubah diagnosis Manajemen sesuai panduan

Tidak berubah Konisasi

Kanker Serviks Invasif Gejala klinik: Pada stadium awal belum timbul gejala klinik. Sering timbul sebagai perdarahan sesudah bersenggama yang kemudian bertambah menjadi metroragia hingga menoragia. Dapat timbul fluor albus berbau. Gejala lain tergantung dari luasnya proses seperti nyeri, edema, dan gejala yang sesuai dengan organ yang terkena. Stadium Kanker Serviks( FIGO 2000):
Stadium 0 Stadium I Stadium Ia Karsinoma insitu, karsinoma intraepitelial. Karsinoma masih terbatas di serviks (penyebaran ke korpus uteri diabaikan). Invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara mikroskopik, lesi yang dapat dilihat secara langsung walau dengan invasi yang sangat superfisial dikelompokkan sebagai stadium Ib. Kedalaman invasi ke stroma tidak lebih dari 5 mm dan lebarnya lesi tidak lebih dari 7 mm. Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm dan lebar tidak lebih dari 7

Stadium Ia1

241

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 242/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Stadium Ia2 Stadium Ib Stadium Ib1 Stadium Ib2 Stadium II Stadium IIa Stadium IIb Stadium III Stadium IIIa Stadium IIIb Stadium IV Stadium IVa Stadium IVb

mm. Invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3 mm tapi kurang dari 5 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm. Lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari Ia. Besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm. Besar lesi secara klinis lebih dari 4 cm. Telah melibatkan vagina, tetapi belum sampai 1/3 bawah atau infiltrasi ke parametrium belum mencapai dinding panggul. Telah melibatkan vagina tapi belum melibatkan parametrium. Infitrasi ke parametrium, tetapi belum mencapai dinding panggul. Telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya perluasan sampai dinding panggul. Kasus dengan hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal dimasukkan dalam stadium ini, kecuali kelainan ginjal dapat dibuktikan oleh sebab lain. Keterlibatan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium belum mencapai dinding panggul. Perluasan sampai dinding panggul atau adanya hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal. Perluasan ke luar organ reproduktif. Keterlibatan mukosa kandung kemih atau mukosa rektum. Metastasis jauh atau telah keluar dari rongga panggul.

Histologik: sebagian besar jenis epitelial (karsinoma sel skuamosa), sisanya dapat merupakan adenokarsinoma atau jenis lain. Diagnostik: Klinik: anamnesis keluhan dan tanda-tanda seperti perdarahan, lekore dan yang berhubungan dengan penyebaran; pemeriksaan fisik dan ginekologik. Histologik: Diagnosis harus dikonfirmasikan dengan pemeriksaan histologik: - Biopsi diambil dari tumor primer jaringan yang segar, direndam dalam buffer Formalin. - Sediaan operasi yaitu uterus dengan atau tanpa adneksa, kgb paraaorta, iliaka komunis, iliaka eksterna, iliaka interna dan obturatoria. - Deskripsi mencakup jenis histologi, diferensiasi, reaksi limfosit, nekrosis, invasi ke saluran limfe dan vaskuler, invasi parametrium, batas sayatan vagina, dan metastasis kgb termasuk ukuran dan jumlah kgb. Radiologik: Pemeriksaan foto thoraks, BNO-IVP (optional: CT-scan abdomen dengan kontras/rektum, USG, dan MRI, bone scanning/bone survey). Endoskopi:

242

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 243/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pemeriksaan sistoskopi dan rektoskopi pada stadium lanjut (> II b). Laboratorium: Pemeriksaan darah tepi dan kimia darah lengkap (optional: SCC, untuk karsinoma skuamosa dan CEA untuk adenokarsinoma).

Manajemen: Pemeriksaan darah tepi lengkap, kimia darah, urinanalisis. Konsultasi dengan bagian yang terkait bila ditemukan kelainan medik, termasuk pemeriksaan kardiologi. Stadium 0: Bila fungsi uterus masih diperlukan: cryosurgery, konisasi, terapi laser atau LLETZ (Large Loop Electrocauter Transformasion Zone). Histerektomi diindikasikan pada patologi ginekologi lain, sulit pengamatan lanjut, dsb). Pengamatan Pap smear lanjut pada tunggul serviks dilakukan tiap tahun, dengan kekambuhan 0,4%. Stadium Ia: Skuamosa: a). Ia1: dilakukan konisasi pada pasien muda, histerektomi vaginal/abdominal pada pasien usia tua. b). Ia2: histerektomi abdomen dan limfadenektomi pelvik, modifikasi histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvik. c). Keadaan di atas dengan tumor anaplastik atau invasi vaskuler dan limfatik, dilakukan histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvik. Bila ada kontraindikasi operasi, dapat diberikan radiasi. Stadium Ib/IIa: - Bila serviks berbentuk barrel, usia < 50 tahun, lesi primer < 4 cm, indeks obesitas (I0) < 0,70 dan tidak ada kontraindikasi operasi, maka pengobatan adalah operasi radikal. Satu atau dua ovarium pada usia muda dapat ditinggalkan dan dilakukan ovareksis keluar lapangan radiasi sampai diatas Lumbal IV. Pasca operasi dapat diberikan ajuvan terapi (kemoterapi, radiasi, atau gabungan) bila: Radikalitas operasi kurang. Kgb pelvis/paraaorta positif. Histologik: smal cell carcinoma. Diferensiasi sel buruk.

243

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 244/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Invasi dan/atau limfotik vaskuler. Invasi mikroskopik ke parametria. Adenokarsinoma/adenoskuamosa. - Bila usia 50 tahun, lesi > 4 cm, I0 > 0,70, atau penderita menolak/ada kontraindikasi operasi maka diberikan radiasi. Bila kemudian ada resistensi, maka pengobatan selanjutnya adalah histerektomi radikal. Stadium IIb-IIIb: - Diberikan radiasi. Pada risiko tinggi, kemoterapi dapat ditambah untuk meningkatkan respons pengobatan, dapat diberikan secara induksi atau simultan. Secara induksi: bila radiasi diberikan 4-6 minggu sesudah kemoterapi. Secara simultan: bila radiasi diberikan bersamaan dengan kemoterapi. - Dilakukan CT-scan dahulu, bila kgb membesar 1,5 cm dilakukan limfadenektomi dan dilanjutkan dengan radiasi. - Dapat diberikan kemoterapi intra-arterial dan bila respon baik dilanjutkan dengan histerektomi radikal atau radiasi bila respon tidak ada. Stadium IVa: - Radiasi diberikan dengan dosis paliatif, dan bila respons baik maka radiasi dapat diberikan secara lengkap. Bila respons radiasi tidak baik maka dilanjutkan dengan kemoterapi. Dapat juga diberikan kemoterapi sebelum radiasi untuk meningkatkan respons radiasi. Stadium IVb: - Bila ada gejala, dapat diberikan radiasi paliatif dan bila memungkinkan dilanjutkan dengan kemoterapi. - Bila tidak ada gejala, tidak perlu diberikan terapi, atau kalau memungkinkan dapat diberikan kemoterapi. - Catatan: bila terjadi perdarahan masif yang tidak dapat terkontrol, maka dilakukan terapi embolisasi (sel form) intra arterial (iliaka interna/hipogastrika). Pengamatan lanjut: - Pengamatan lanjut dilakukan setiap 3 bulan selama 2 tahun pertama, kemudian setiap 6 bulan sampai 5 tahun dan 1 tahun sekali sesudahnya. - Pemeriksaan meliputi: Anamnesis, terutama berkaitan dengan kemungkinan residif. Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan ginekologik termasuk Apusan Pap.

244

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 245/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Foto thoraks setiap 6 bulan dalam tahun pertama dan 1 tahun sekali sesudahnya. BNO-IVP 6 bulan pertama dan setahun sesudahnya. Bone scanning bila ada kecurigaan penyebaran ke tulang. Hematologi dan kimia darah 6 bulan pertama, dan setahun sesudahnya. Pemeriksaan petanda tumor (tumor marker) bila ada kecurigaan residif (SCC untuk karsinoma skuamosa, CEA untuk adenokarsinoma).

Kanker Serviks Residif Definisi: Untuk keseragaman pengertian perlu diketahui definisi sebagai berikut: Sembuh primer post radiasi: Bila serviks ditutup oleh epitel normal atau obliterasi vagina tanpa adanya ulkus atau cairan yang keluar. Pada pemeriksaan rektovaginal kalau ada indurasi teraba licin, tidak berbenjol. Serviks besarnya tidak lebih dari 2,5 cm, dan tidak ada metastasis jauh. Persisten post radiasi: Bila ada persisten dari tumor asal atau tumbuhnya tumor baru di pelvis dalam 3 bulan post radiasi. Residif post radiasi: Bila tumor tumbuh kembali di pelvis atau distal setelah serviks dan vagina dinyatakan sembuh. Persisten post operatif: Bila dalam lapangan operasi masih terlihat massa tumor secara makroskopik atau terjadi residif lokal dalam waktu 1 tahun post operatif. Residif post operatif: Bila ditemukan massa tumor post operatif dimana massa tumor sudah terangkat secara makroskopik dan tepi sayatan dinyatakan bebas secara histologik. Kegagalan sentral atau lokal: Bila terdapat lesi yang atau residif di vagina, uterus, vesika urinaria, rektum, dan bagian medial dari parametrium. Kanker baru: Timbul lesi lokal setelah paling sedikit 10 tahun sesudah radiasi pertama. Bila setelah pengobatan (radiasi/operasi) tumor hilang kemudian timbul kembali

245

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 246/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

maka disebut residif. Proses residif dapat terjadi lokal yaitu, bila mengenai serviks, vagina 2/3 atau 1/3 proksimal parametrium, regional bila mengenai distal vagina/panggul atau organ disekitarnya yaitu rektum atau vesika urinaria. Metastasis jauh bila timbul jauh di luar panggul. Diagnosis: Anamnesis: gejala-gejala perdarahan/fluor albus. Bila sudah lanjut dapat timbul nyeri, edema, atau timbul gejala-gejala sesuai dengan organ yang terkena. Gejala-gejala tersebut dikonfirmasi dengan pemeriksaan: - Laboratorium. - Biopsi. - Kolposkopi. - Radiologik: foto thoraks, bone survey/scan, CT-scan atau MRI (optional). - Sistoskopi, rektoskopi bila ada indikasi. - Prosedur spesial. Manajemen: Pengobatan: Residif post radiasi: - Lokal: kemoterapi atau operasi histerektomi total/histerektomi radikal modifikasi. - Regional: Rektum/vesika/parametria (tulang panggul bebas) dilakukan eksenterasi. Distal vagina/vulva, radiasi dengan elektron atau interstisial. Panggul di dalam lapangan radiasi, dilakukan kemoterapi. Panggul di luar lapangan radiasi, dapat diberikan kemoterapi atau radiasi. - Jauh: Paru, bila soliter dapat dilakukan reseksi atau radiasi, bila multipel diberikan kemoterapi. Otak/kgb/tulang, diberikan radiasi atau kemoterapi. Intra-abdominal, diberikan kemoterapi. Residif post operatif: - Regional: radiasi atau kemoradiasi. Bila residif urinaria/rektum dapat dipertimbangkan untuk eksenterasi. pada vesika

246

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 247/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Metastasis jauh: pengobatan sama pada residif post radiasi.

25. Kanker Korpus Uteri

247

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 248/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Kanker endometrium merupakan kanker ginekologi yang paling sering terjadi di dunia barat, menempati urutan keempat kanker pada wanita setelah kanker payudara, kolon, dan paru. Stadium klinik (1971, Non Surgical Staging):
Stadium 0 Stadium I Stadium Ia Stadium Ib Stadium II Stadium III Stadium IV Stadium IVa Stadium IVb Hiperplasia endometrium atipik, karsinoma insitu. Temuan histopatologik dicurigai ganas. Kasus stadium 0 tidak dimasukkan dalam statistik pengobatan. Kanker terbatas di korpus. Panjang kavum uteri 8 cm. Panjang kavum uteri > 8 cm. Proses kanker di korpus dan serviks, belum keluar uterus. Proses kanker keluar dari uterus, tetapi belum keluar dari pelvis minor. Proses kanker keluar dari pelvis minor, atau meliputi mukosa kandung kemih atau rektum. Penyebaran ke kandung kemih, rektum, sigmoid, atau usus halus. Penyebaran ke organ jauh.

Batasan Stadium (Surgical Staging):


Stadium Ia Stadium Ib Stadium Ic Stadium IIa Stadium IIb Stadium IIIa Stadium IIIb Stadium IIIc Stadium IVa Stadium IVb Tumor terbatas di endometrium. Invasi < miometrium. Invasi > miometrium. Keterlibatan kelenjar endoservikal saja. Invasi stroma serviks. Tumor infiltrasi ke serosa dan/atau adneksa, dan/atau sitologi peritoneal positif. Metastasis vagina. Metastasis ke kelenjar getah bening pelvik dan/atau paraaorta. Tumor menginvasi kandung kemih dan/atau mukosa rektum. Metastasis jauh meliputi kelenjar getah bening intraabdomen atau inguinal.

Histopatologi: Kasus kanker endometrium dikelompokkan pada derajat diferensiasi adenokarsinoma sebagai berikut: Grade 1 : 5% atau < non-skuamous atau pertumbuhan non-glandular. Grade 2 : 6-50% dari non-skuamous atau pertumbuhan non-glandular. Grade 3 : > 50% non-skuamous atau pertumbuhan non-glandular. Prosedur berkaitan dengan penentuan stadium: - Penentuan stadium kanker korpus uteri kini adalah surgical staging, karena peranan dilatasi & kuretase (D&K) bukan prosedur final (kecuali

248

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 249/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

untuk sekelompok kecil kanker korpus uteri yang diberi terapi primer radiasi). Tebal infiltrasi proses ke endometrium harus dinilai.

Diagnosis: Diagnosis histologi ditegakkan berdasarkan hasil dilatasi & kuretase (D&K), atau histeroskopi positif; sampling endometrium dilakukan dengan alat Acurete, Endopap, VABRA, Endorette, Pipelle. Pencitraan: foto thoraks, USG, IVP. Laboratorium: darah lengkap, fungsi liver, fungsi ginjal, gula darah. Manajemen: Pembedahan: - Bilasan peritoneum, untuk pemeriksaan sitologi. - Sampling kelenjar getah bening. - Eksplorasi rongga abdomen: Apabila tumor dapat direseksi: histerektomi totalis dan SOB. Apabila tumor tak dapat direseksi (misal stadium III luas), bila mungkin histerektomi totalis dan SOB. - Pada kasus praoperatif dicurigai stadium II (ada keterlibatan serviks), histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvik perlu dipertimbangkan. Terapi adjuvan: - Setelah ada penilaian histologi, dengan informasi invasi miometrium, derajat diferensiasi dan keterlibatan serviks perlu pilihan terapi adjuvan. - Indikasi radiasi post operatif: Stadium I: - usia > 60 tahun. - derajat diferensiasi III (G III). - invasi > 0,5 miometrium (Ic). Stadium IIa G I ,II, III. Stadium IIb G I, II, III. Stadium IIIa, terapi individual. - Metode radiasi adjuvan: Radiasi vaginal cuff 6000-6500 cGy dosis mukosal, dan dosis seluruh pelvis 4500-5000 cGy.

249

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 250/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

26. Kanker Ovarium Definisi: Kanker ovarium adalah tumor ganas berasal jaringan ovarium, dengan tipe histologi sangat beragam sesuai dengan susunan embriologi dasar yang membentuknya. Prinsip dasar: Penanganan utama adalah surgical staging untuk kasus-kasus kanker ovarium stadium I dan II (early stage), radical debulking dan dilanjutkan dengan kemoterapi yang mengandung Platinum, sekarang dikenal kemoterapi berbasis Taxane.

250

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 251/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pembedahan dikecualikan pada kasus-kasus tertentu yang sudah sangat lanjut dan sangat berisiko tinggi untuk dilakukan pembedahan. Dewasa ini pada stadium yang sangat lanjut (stadium IV, dengan metastasis ke paru), dipertimbangkan untuk pemberian kemoterapi neo-adjuvan, artinya kemoterapi diberikan mendahului pembedahan. Kondisi yang terakhir ini perlu pemilihan kasus yang sangat selektif.
Pertumbuhan terbatas pada ovarium. Pertumbuhan terbatas pada 1 ovarium; tidak ada asites yang berisi sel ganas, tidak ada pertumbuhan di permukaan luar, kapsul utuh. Pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium; tidak ada asites berisi sel ganas, tidak ada tumor di permukaan luar, kapsul utuh. Tumor dengan stadium Ia atau Ib tetapi ada tumor di permukaan luar satu atau kedua ovarium; atau dengan kapsul pecah; atau dengan asites berisi sel ganas atau dengan bilasan peritoneum positif. Pertumbuhan pada satu atau kedua ovarium dengan perluasan ke panggul. Perluasan dan/atau metastasis ke uterus dan/atau tuba. Perluasan ke jaringan pelvis lainnya. Tumor stadium IIa atau IIb tetapi dengan tumor pada permukaan satu atau kedua ovarium; kapsul pecah; atau dengan asites yang mengandung sel ganas atau dengan bilasan peritoneum positif. Tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implan di peritoneum di luar pelvis dan/atau kgb retroperitoneal atau inguinal positif. Metastasis permukaan liver masuk stadium III. Tumor terbatas dalam pelvis kecil, tetapi secara histologik terbukti meluas ke usus besar atau omentum. Tumor terbatas di pelvis kecil dengan kgb negatif tetapi secara histologik dan dikonfirmasi secara mikroskopik adanya penumbuhan (seeding) di permukaan peritoneum abdominal. Tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implan di permukaan peritoneum dan terbukti secara mikroskopik, diameter tidak melebihi 2 cm, dan kgb negatif. Implan di abdomen dengan diameter > 2 cm dan/atau kgb retroperitoneal atau inguinal positif. Penumbuhan mengenai satu atau kedua ovarium dengan metastasis jauh. Bila efusi pleura dan hasil sitologinya positif dimasukkan dalam stadium IV. Begitu juga metastasis ke parenkim liver.

Stadium Kanker Ovarium (FIGO, 1987):


Stadium I Stadium Ia Stadium Ib Stadium Ic Stadium II Stadium IIa Stadium IIb Stadium IIc Stadium III

Stadium IIIa Stadium IIIb Stadium IIIc Stadium IV

Diagnosis: Gejala kanker ovarium: Pada stadium awal gejala tidak khas. Pada usia perimenopause, dapat timbul haid tidak teratur. Bila tumor telah menekan kandung kemih atau rektum,

251

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 252/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

keluhan sering berkemih dan konstipasi akan muncul. Lebih lanjut timbul distensi perut, rasa tertekan dan rasa nyeri perut. Dapat timbul sesak napas akibat efusi pleura karena proses metastasis. Karena pada stadium dini gejala-gejala kanker ovarium tersebut tidak khas, lebih dari 70% penderita kanker ovarium ditemukan sudah dalam stadium lanjut. Tanda-tanda kanker ovarium: - Tanda terpenting kanker ovarium adalah ditemukannya massa tumor di pelvis. Bila tumor ada bagian padat, ireguler dan terfiksir ke dinding panggul, keganasan perlu dicurigai. Saat diagnosis ditegakkan 95% kanker ovarium berdiameter lebih dari 5 cm. Bila tumor sebesar ini ditemukan di pelvis, evaluasi lanjut perlu dilakukan untuk menyingkirkan keganasan, khususnya pada wanita usia > 40 tahun. - Pada saat operasi, perhatikan beberapa penampilan makroskopis dari tumor ovarium yang mengarah tanda ganas.
Tampilan makroskopis tumor ovarium jinak dan ganas Jinak Unilateral Kapsul utuh Bebas Permukaan licin Tidak ada asites Peritoneum licin Seluruh permukaan tumor viable Tumor kistik Ganas* Bilateral Kapsul pecah Ada perlekatan dengan organ sekitarnya Berbenjol-benjol Ada asites Ada metastasis di peritoneum Ada bagian-bagian yang nekrotik Padat atau kistik dengan bagianbagian padat

* Tanda-tanda ini tidak patognomonik untuk keganasan

USG (ultrasonografi): - Pemakaian USG transvaginal (transvaginal color flow doppler) meningkatkan ketajaman diagnosis. - Dapat dibuat suatu indeks morfologi yaitu suatu jumlah nilai-nilai yang diberikan terhadap masing-masing kategori temuan.
Indeks morfologi tumor ovarium

252

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 253/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

0 Volume (cm ) Tebal dinding (mm) Septum


3

1 10-50 Tipis > 3 mm

< 10 Tipis < 3 mm Tidak ada

2 50-200 Papiler < 3 mm

3 200-500 Papiler > 3 mm

4 > 500 Dominan padat

Tebal < 3 Tebal 3 Padat > 1 Dominan mm mm-1 cm cm padat Volume: lebar x tinggi x tebal x 0,523. Kemugkinan ganas bila indeks morfologi 5 (nilai prediksi positif 0,45) atau volume 10 cm3, atau kelainan struktur dinding tumor.

Pemakaian USG transvaginal color Doppler dapat membedakan tumor ovarium jinak dengan ganas. Hal ini didasarkan analisis gelombang suara Doppler (resistance index atau RI, pulsality index atau PI, dan Velocity). Keganasan dicurigai jika RI < 0,4. CT-scan dan MRI merupakan pemeriksaan optional. Pemeriksaan penanda tumor (tumor markers): Ca-125, sebaiknya diperiksa sejak awal penegakkan diagnosis. Pada pasien usia muda, periksa AFP, sebagai penduga tumor ovarium germinal (tumor sinus endodermal)

Manajemen: Epitelial: - Diagnosis: diagnosis final tergantung pada penemuan operatif dan histopatologi. - Persiapan prabedah: laboratorium darah lengkap, penanda tumor Ca 125, foto thoraks, USG, persiapan usus, barium enema bila ada indikasi (15-26 % kanker ovarium lanjut ada metastasis ke kolon). - Prosedur pembedahan: surgical staging yaitu suatu tindakan bedah laparotomi eksplorasi yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perluasan suatu kanker ovarium dengan melakukan evaluasi daerahdaerah yang potensial akan dikenai perluasan atau penyebaran kanker ovarium. Temuan surgical staging akan menentukan stadium penyakit dan pengobatan ajuvan yang perlu diberikan. Langkah-langkah surgical staging: Insisi mediana melewati umbilikus sampai diperoleh kemudahan untuk melakukan eksplorasi rongga abdomen atas.

253

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 254/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Contoh asites atau cairan di kavum Douglas, fosa parakolika kanan dan kiri dan subdiafragma, diambil sebanyak 20-50 cc untuk pemeriksaan sitologi. Pengambilan asites atau cairan ini harus dilakukan segera sebelum terkontaminasi dengan darah. Pengambilan dapat menggunakan alat suntik 20 cc atau 50 cc yang ujungnya telah disambung dengan kateter. Bila tidak terdapat asites atau cairan yang cukup dalam rongga peritoneum, pembilasan (peritoneal washing) harus dilakukan dengan memasukkan 50-100 cc larutan NaCl 0,9%. Pembilasan rongga peritoneum dengan larutan NaCl fisiologis dilakukan pada 5 lokasi, yaitu Cul de sac, parakolika kanan dan kiri, hemidiafragma kanan dan kiri. Kemudian cairan tersebut diambil kembali dengan alat suntik yang ujungnya telah disambung dengan kateter. Lakukan eksplorasi sistematik (staging) semua permukaan dalam abdomen dan visera. Eksplorasi dimulai dari sekum ke arah kepala se arah jarum jam menelusuri fosa parakolika kanan, kolon asenden, ginjal kanan, permukaan liver dan kandung empedu, dan hemidiafragma kanan. Daerah paraaorta, kolon transversum, hemidiafragma kiri, lien dan ginjal kiri, fosa kolika kiri dan kolon desenden sampai ke sigmoid dan rektum. Kemudian jejunum dan mesenteriumnya mulai dari ligamentum Treitz terus ke ileum dan mesenteriumnya sampai ke sekum. Eksplorasi di lanjutkan pada genitalia interna. Lokalisasi dan ukuran tumor primer serta hubungannya dengan organ sekitar dicatat dengan baik. Demikian juga jika terdapat metastasis ke organ intraabdomen lainnya. Bentuk dan ukurannya dicatat dengan rinci. Jika terdapat penyebaran tumor di luar pelvis, maka stadium kanker tersebut telah lanjut, kira-kira stadium III, karenanya bilasan rongga peritoneum untuk sitologi dan biopsi peritoneum tidak diperlukan lagi. Sebaliknya, jika tidak ada penyebaran ke luar pelvis, bilasan rongga peritoneum untuk sitologi, biopsi peritoneum, dari kavum Douglas, parakolika kanan dan kiri, paravesika urinaria, mesenterium intestin, subdiafragma dan pengangkatan kgb retroperitoneal menjadi penting. Tumor ovarium diangkat sedapatnya intoto (utuh) dan dikirim untuk pemeriksaan potong beku (frozen section). Adakalanya tumor sedemikian besarnya sehingga tidak dapat diangkat segera. Dalam hal

254

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 255/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

ini hanya sebagian tumor yang dikirim untuk pemeriksaan potong beku. Bila hasil potong beku ternyata ganas, surgical staging dilanjutkan ke langkah berikutnya. Pengangkatan seluruh genitalia interna dengan histerektomi totalis dan salpingingoooforektomi bilateral. Untuk mengetahui adanya mikrometastasis, dilakukan: Biopsi peritoneum: kavum Douglas, paravesika urinaria, parakolika kanan, dan subdiafragma. Biopsi perlengketan-perlengkatan organ intraperitoneal. Limfadenektomi sistemik kelenjar getah bening pelvis dan paraaorta. Omentektomi. Apendektomi jika tumor jenis musinosum. Jika tindakan surgical staging dilakukan sesuai dengan langkah-langkah di atas, tindakan tersebut disebut complete surgical staging. Sebaliknya, jika ada langkah-langkah yang ditinggalkan, tindakan tersebut disebut incomplete surgical staging. Langkah-langkah yang sering ditinggalkan adalah omentektomi, limfadenektomi, biopsi peritoneum pelvis dan diafragma. Insisi mediana pada saat memulai surgical staging, khususnya pada wanita berusia muda, sebaiknya tidak melewati umbilikus. Perluasan insisi baru dilakukan jika hasil pemeriksaan potong beku menunjukkan keganasan. - Penanganan pasca bedah: Segera/jangka pendek: penanganan pasca bedah rutin. Jangka panjang: Stadium 1a + b (derajat 1 + 2 ): tidak ada penanganan lanjut. Stadium Ia + b (derajat 3) + stadium Ic: dilanjutkan kemoterapi (optional). Stadium IIb-IV: dilanjutkan kemoterapi. Pemeriksaan berkala untuk monitoring: pemeriksaan pelvik, Ca 125. Non epitelial: - Tumor sel germinal: Diagnosis dan persiapan praoperatif: lihat tumor epitelial. Prinsip pembedahan: untuk setiap pembedahan salpingoooforektomi unilateral dan bila perlu debulking. Bila proses meliputi kedua ovarium perlu dilakukan histerektomi totalis dan salpingoooforektomi

255

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 256/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

bilateral. Kecuali bila proses di satu ovarium minimal, maka ovarium masih dikonservasi, karena pada kajian pembedahan radikal tidak meningkatkan survival, dan fertilitas dapat dikonservasi setelah kemoterapi. Tumor Stroma: penanganan individual.

Tumor Ovarium Borderline Prinsip dasar: Prinsip pengobatan secara prinsip sebagaimana halnya kanker invasif. Pada perempuan yang masih membutuhkan fungsi reproduksi salpingoooforektomi unilateral dianggap memadai. Bila hanya ooforektomi yang dilakukan pada pembedahan dan kemudian penilaian hasil histopatologinya bordeline, maka pembedahan lanjut tidak diperlukan. Namun dibutuhkan pengamatan ketat. Pemberian kemoterapi tidak rutin diberikan pada kasus borderline. Manajemen: Prosedur pembedahan: - Lihat prosedur surgical staging. - Lakukan operasi: Radikal: histerektomi totalis, salpingoooforektomi bilateral, limfadenektomi, biopsi sampel peritoneum dari paracolic gut kirikanan, kavum Douglas, subdiafragma, pravesikal. Konservatif: salpingoooforektomi unilateral, limfadenektomi kgb pelvik ipsilateral, omentektomi, biopsi-biopsi sampel dari paracolic gut kiri-kanan, kavum Douglas, subdiafragma, pravesikal. - Usahakan mencapai residu tumor minimal (< 1,5 cm). Pembedahan konservatif dilakukan pada kanker ovarium stadium I, dengan persyaratan : - stadium Ia, organ pelvis lain bebas tumor, tidak ada perlekatan, sitologi bilasan peritoneum terbukti negatif. - diferensiasi baik. - wanita muda dengan paritas rendah. - pasien akan patuh kontrol. - setelah paritas tercapai, penderita siap dioperasi lagi. Kemoterapi - Kanker ovarium epitelial:

256

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 257/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Pilihan pertama: Cyclophosphamide Platinum (CP). Cyclophosphamide Adriamycin Platinum (CAP). Platinum dapat diganti Carboplatin. Pilihan kedua: berbasis Taxane (Paclitaxel atau Doxetaxel). - Kanker ovarium germinal: Pilihan pertama: Vincristin Dactinomycin Cyclophosphamide (VAC). Cisplatin Vinblastin Bleomycin (PVB). Pilihan kedua: Bleomycin VP.16-213 Cisplatin (BEP). - Kanker ovarium mesenkimal: Pilihan pertama: Vincristin Dactinomycin Cyclophosphamdie (VAC). Cisplatin Vinblastin Bleomycin (PVB). Pilihan kedua: Bleomycin VP.16-213 Cisplatin (BEP). Radiasi - Prioritas terapi adjuvan kanker ovarium setelah pembedahan adalah kemoterapi. Pada beberapa situasi pemberian kemoterapi tidak dapat dilaksanakan, karena itu pilihan terapi adjuvan jatuh pada radiasi. Hanya kasus dengan residu tumor < 2 cm yang dapat dipertimbangkan radiasi whole abdomen. 27. Prolapsus Genitalia

Definisi: Turunnya alat genitalia akibat hilangnya penunjang anatomi dari diafragma pelvis dan/atau vagina. Prinsip dasar: Berbagai faktor risiko seperti: usia lanjut, defisiensi Estrogen, trauma persalinan, genetik dan peningkatan tekanan intraabdomen kronik merupakan faktor predisposisi dalam hal hilangnya penunjang anatomi dari diafragma pelvis dan/atau vagina, hanya prolapsus genitalia yang menyebabkan gejala subjektif seharusnya dipertimbangkan untuk diobati, dan dikenal dengan berbagai kondisi, seperti: - Sistokel. - Rektokel. - Enterokel. - Prolapsus uterus. - Prolapsus vaginal.

257

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 258/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Klasifikasi: Stadium I: di dalam vagina dengan manuver Valsava. Stadium II: di introitus vagina dengan manuver Valsava. Stadium III: di luar introitus dengan manuver Valsava. Diagnosis: Pasien-pasien dengan prolapsus genitalia seringkali menderita sindroma saluran kemih bawah, selain rasa malu. Sindroma saluran kemih bawah juga dapat merupakan konsekuensi dari suatu perbaikan vagina. Pemeriksaan sebelum operasi: Selain rekam medis ajukan pertanyaan mengenai inkontinensia urine dan aktifitas seksual. - Urine sisa: Mengevaluasi masalah-masalah dalam pengosongan kandung kemih. - Tes provokasi: Mengevaluasi stres inkontinensia serta mengobservasi meatus eksternal, sementara pasien batuk dengan kondisi kandung kemih penuh. - Tes pengganti: Mengevaluasi stres inkontinensia laten serta mengobservasi meatus eksternal dengan prolapsus yang direduksi dengan suatu spekulum atau pesarium, sementara pasien tersebut batuk dengan kondisi kandung kemih penuh. Seorang pasien dapat membiarkan pesarium di tempat selama 1 minggu atau lebih, agar memungkinkan pasien mengalami stres inkontinensia potensial yang merupakan konsekuensi dari repair vagina. - Tekanan uretra: Urethra pressure profile sebaiknya dibuat dalam kasus inkontinensia. Tekanan penutupan yang sangat lambat (< 20 cm H 2O) dapat punya arti penting dalam memutuskan atas prosedur bedah. Informasi untuk pasien mengenai hasil yang diharapkan dan kemungkinan risiko prosedur ini. Masalah saluran kemih bawah khususnya stres inkontinensia pasca operasi, dispareunia adalah risiko yang paling penting. Manajemen: Seluruh wanita pasca menopause dengan prolapsus genitalia sebaiknya mendapat pengobatan Estrogen selama 8 minggu vagitories Estrogen, yang dapat merupakan metode pengobatan yang cukup memadai untuk prolapsus

258

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 259/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

stadium I. Estrogen lokal dapat bermanfaat bila prolapsus genitalianya terjadi karena kekurangan relatif dari Estrogen. Prolapsus yang terjadi setelah persalinan tidak membutuhkan pembedahan karena biasanya pulih selama bulan-bulan pertama setelah persalinan bahkan tanpa pengobatan. Pesarium dapat digunakan bila perlu. Pada kasus-kasus yang jarang terjadi, pembedahan merupakan pilihan pengobatan, tetapi sebaiknya ditunda sekurang-kurangnya satu tahun. Yang sangat penting pada kasus ini adalah menekankan faktor risiko stres inkontinensia dan dispareunia. Pesarium: - Ukuran pesarium harus benar. Apabila terlalu kecil, alat ini dapat terlepas. Apabila terlalu besar, alat ini dapat menyebabkan erosi. - Follow up setiap 6 bulan atau bila timbul masalah. - Pesarium sebaiknya dilepaskan dan dibersihkan dan dinding vagina diperiksa bila terjadi erosi. Dalam kasus erosi, pasien sebaiknya tidak mempergunakan pesarium dan diobati dengan Estrogen selama dua minggu. Pembedahan: - Bertujuan untuk memperbaiki anatomi dan mengembalikan fungsi. - Hanya kerusakkan yang ada sebaiknya diperbaiki, karena prosedur untuk mencegah terjadinya prolapsus di kemudian hari baru dapat menyebabkan stres inkontinensia. - Prolapsus genitalia sebaiknya diperbaiki menurut prinsip-prinsip berikut ini:
Jenis Sistokel/rektokel dan prolapsus uteri: Prolapsus uteri yang berat: Elongatio serviks: Sistokel: Rektokel: Enterokel: Badan perineal sempit: Prolapsus vagina: Prolapsus uteri total: Tindakan Prosedur Manchester (Fothergill). Histerektomi Vagina (fiksasi sakrospinosus bila memungkinkan). Amputasi serviks. Kolporafi anterior. Kolporafi posterior. Operasi untuk enterokel. Kolpoperineorafi. Fiksasi sakrospinosus atau kolpokleisis. Prosedur LeForts.

259

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 260/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Prolapsus genitalia tanpa stres inkontinensia atau stres inkontinensia laten: defek genitalia harus diperbaiki. Prolapsus genitalia dan stres inkontinensia yang manifes atau laten: prosedur inkontinensia sebaiknya dilakukan pada waktu yang sama ketika perbaikan genitalia (prosedur Burch atau prosedur Sling).

Follow-up pasca operasi: Tidak ada upaya fisik dan hubungan intim selama 6 minggu pertama. Kunjungan pasca operasi 3 bulan setelah pembedahan. Ajukan pertanyaan mengenai inkontinensia, kesulitan berkemih, aktifitas seksual dan dispareunia. Stres inkontinensia seharusnya dievaluasi secara objektif. Prognosis: Sangat bergantung kepada ketepatan diagnosis dan pemilihan jenis operasi serta pengalaman operator.

260

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 261/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

28. Inkontinensia Urine Definisi: Inkontinensia urine adalah keluarnya urine yang tidak terkontrol dimana secara objektif dapat terlihat dan merupakan masalah sosial atau higienis. Prinsip dasar: Tekanan kandung kemih meningkat melewati tekanan leher kandung kemih dan uretra. Sistem persarafan parasimpatik dan stimulasi kolinergik menentukan kontraksi otot detrusor kandung kemih dan relaksasi leher kandung kemih. Klasifikasi:

261

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 262/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Genuine stress incontinence: adalah keluarnya urine yang tidak terkontrol, terjadi bila tanpa suatu kontraksi detrusor, tekanan intravesikal melebihi tekanan uretral maksimum. Urge incontinence: adalah keluarnya urine yang tidak terkontrol terkait dengan hasrat berkemih yang kuat. Unstable detrusor: adalah suatu detrusor yang terlihat secara objektif berkontraksi, secara spontan, atau dengan provokasi, selama tahap pengisian sementara pasien mencoba menghambat proses micturition tersebut. Tidak terdapat bukti adanya gangguan neurologis. Mixed incontinence: merupakan genuine stress incontinence maupun urge incontinence. Detrusor hyperreflexia: didefinisikan sebagai aktifitas yang berlebihan karena gangguan mekanisme kontrol syaraf. Istilah detrusor hyperreflexia sebaiknya hanya digunakan bila terdapat bukti objektif tentang suatu gangguan neurologis yang relevan. Overflow incontinence: ialah keluarnya urine yang tidak terkontrol, yang terkait dengan penggelembungan yang berlebihan dari kandung kemih. Iatrogenic incontinence: adalah inkontinensia urine yang disebabkan oleh pengobatan medis, seperti Doxazosin, Parazosin. Detrusor sphincter dyssynergia: kontraksi detrusor yang terjadi bersamaan dengan kegagalan membukanya leher kandung kemih yang terlihat secara objektif (bladderneck opening).

Diagnosis: Pasien seharusnya membuat catatan harian berkemih. Keluarnya urine seharusnya ditampung dengan Test pad selama 24 jam yang sama. Aktifitas fisik yang terkait dengan leakage tersebut seharusnya dicatat. Sudah ada rekam medis. Dilakukan pemeriksaan ginekologik, pemeriksaan celup urine dan kultur urine. Jadi keluhan berkemih sebaiknya diperiksa dan diobati sebelum pemeriksaan urodinamik. Bila terdapat hanya stres inkontinensia berdasarkan anamnesis, maka jumlah urine yang keluar dalam ukuran gram dicatat dengan mempergunakan sebuah stress test yang standar (misalnya, 20 lompatan di tempat, dengan 300 ml volume kandung kemih). Kekuatan otot dasar panggul, kepekaan perineum dan refleks anokutan dievaluasi. Sebelum pengobatan operatif flowmetry dilakukan dan urine sisa diukur. Tiga profil tekanan uretra dicatat, sedangkan

262

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 263/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

rata-rata tekanan uretral maksimum, tekanan kandung kemih dan tekanan penutup juga dicatat. Bila terlihat urge atau mixed incontinence berdasarkan anamnesis, maka stationary atau ambulatory cystourethrometry dimasukkan dalam pemeriksaan yang dilakukan untuk genuine stress incontinence. Cystourethrometry seharusnya dilakukan dengan provokasi, sementara pasien berdiri. Insiden keluarnya urine seharusnya dicatat di grafik. Apabila stationary cystourethrometry tidak mendeteksi mekanisme keluarnya urine maka pencatatan ambulatoar seharusnya dilakukan. Pasien-pasien dengan kondisi normal dan sistokel dapat menjadi inkontinensia setelah operasi vagina. Sebelum intervensi bedah, pasien-pasien ini seharusnya dilakukan pengujian stres, sedangkan kandung kemih dalam kondisi penuh dan sistokel terkompensasi. Hal ini dapat dilakukan selama pemeriksaan ginekologik dengan mempergunakan spekulum yang mengimbangi sistokel tanpa mengkompres uretra atau dengan mempergunakan suatu pesarium vaginal pada pasien rawat jalan.

Manajemen: Pasien-pasien pasca menopause seharusnya mendapatkan Estrogen yang diberikan baik dengan aplikasi oral maupun lokal. Genuine stress incontinence dan mixed incontinence: - Latihan otot-otot pelvic floor yang diawasi oleh dokter ahli fisioterapi yang kompeten. - Pengobatan dengan mempergunakan vaginal cones, balls atau vaginal tampon (kurang terdokumentasi dengan baik). - Electrostimulation: durasi yang panjang (6-8 jam) atau maksimal (20 menit) 3-6 bulan (25-50 Hz). - Retropubic colposuspension. Ingat bahwa pertemuan (junction) antara kandung kemih dan uretra dianggap tetap, tidak ter-relevansi! - Retropubic sling operations. Pasien-pasien pada waktu sebelumnya menjalani operasi untuk stress incontinence yang dideritanya dan pasienpasien dengan penurunan closure pressure (kurang dari 20 cm H2O), menurut pengalaman menderita poor prognosis dalam kasus re-operasi. Operasi ini sebaiknya tidak dilakukan oleh operator yang kurang berpengalaman karena suatu overcorrection dapat memberikan pasien suatu masalah yang berat berkenaan dengan residual urine, urinary tract

263

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 264/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

infection dan motor urge incontinence. Sling surgery sebaiknya dilakukan oleh sejumlah dokter dengan tingkat kemampuan yang tinggi dan mahir. - Artificial sphincter (urologi). Pasien-pasien dengan genuine stress incontinence dan sistokel: - Operasi retropubic colposuspension dan vaginal cystocele pada satu langkah. Incontinence cure setelah Kelly sutures buruk. Motor urge incontinence dan mixed incontinence: Electrostimulation maksimal 20 menit, minimum sekali seminggu dan sekurang-kurangnya 10 kali (5-10 Hz). Emeproniumbromide 200-800 mg x 3. Oxybutine chloride 2,5-5 mg x 3. Enterocystoplastic surgery (urologi). Deviasi urine (continent cutaneous urostomy) (urologi). Incontinence pads. Nasehat: - Pasien-pasien sebaiknya menghindari mengangkat beban berat dan tekanan dinding abdominal yang penting meningkat selama 5-6 minggu setelah pembedahan. - Apabila pasien tersebut melakukan pekerjaan berat, maka dia sebaiknya mengambil cuti sakit selama 5-6 minggu. Apabila dia melakukan pekerjaan kurang berat, maka periode cuti sakit itu dapat diperpendek.

Follow up: Seluruh pengobatan sebaiknya dikontrol melalui metode subjektif dan objektif. Standardisasi 20 jam test pad. Pengobatan genuine stress incontinence sebaiknya dikontrol dengan tes stres yang menerapkan standardisasi volume kandung kemih dan provokasi fisik. Uroflowmetry setelah intervensi bedah. Dapat mencatat perbaikan yang berlebihan. Prognosis: Sangat bergantung kepada ketepatan diagnosis dan pemilihan jenis operasi dan pengalaman operatornya.

264

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 265/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

29. Fistula Urogenital Pendahuluan: Di negara sedang berkembang fistula urogenital sebagian besar disebabkan kasus obstetrik, sedangkan di negara maju sebagian besar disebabkan kasus ginekologik. Penyulit ini dapat saja terjadi pada setiap dokter ahli obstetri dan ginekologi, sekalipun yang sudah sangat berpengalaman.

265

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 266/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Yang perlu mendapat perhatian adalah dampak sosial yang ditimbulkan seperti penderita fistula urogenital tidak jarang dijauhi lingkungannya dan yang banyak terjadi adalah ditinggalkan suaminya.
Fistula karena kasus obstetrik Cepat muncul Besar Letak rendah Kotor Negara berkembang Multipel Fistula karena kasus ginekologik Lambat muncul (5-14 hari pasca operasi) Kecil Letak tinggi Bersih Negara maju Tunggal

Perbedaan:

Epidemiologi: Sulit diketahui secara pasti angka kejadiannya. Adanya perasaan malu. Fistula kecil sembuh sendiri. Tidak dilaporkan oleh operator. Diagnosis: Urine keluar tidak normal, pasca apa? partus /operasi/radiasi. Tentukan letak, besar, mobilisasi fistula. Tes metilen biru: 3 tampon dimasukkan ke dalam vagina, kemudian kandung kemih diisi metilen biru melalui kateter dari uretra sebanyak 100-150 cc. Setelah 3-5 menit, tampon dalam vagina diangkat satu-satu, dan dengan mudah akan dilihat adanya cairan metilen biru mengenai tampon tersebut, dan sekaligus dapat diketahui lokasi fistula. Kadang-kadang penderita disuruh berjalan-jalan 10-15 menit setelah kandung kemih diisi metilen biru, agar metilen biru keluar melalui fistula. Bila fistula berasal dari ureter, maka tidak akan terlihat ada cairan metilen biru pada tampon. - Tampon I positif: fistula uretrovaginal. - Tampon II positif: fistula vesikovaginal. - Tampon III positif: fistula vesikovaginal, fistula vesikoservikovaginal. Bila tes metilen biru negatif, pada sistoskopi tidak ada fistula, maka lakukan tes indokarmin/adona. Caranya: masukkan 2 cc intravena. Bila ada divaginal:

266

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 267/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

ureterovaginal fistula. Bila negatif dan hanya divesika pikirkan fisiologis, infeksi, cairan asites. Fistula kecil lanjutkan dengan sistoskopi untuk mengetahui letak, besar, jumlah dari fistula. IVP penting sekali untuk mengetahui adanya fistula uterovagina; anatomi dan fungsi ginjal.

Persiapan operasi: Dilakukan setelah 3 bulan, karena vaskularisasi baik, infeksi hilang, edema hilang, dan nekrosis hilang. Perbaiki keadaan umum penderita. Daerah genitalia eksterna serta fistula dirawat, bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika oral dan lokal. Sebelum operasi dilakukan, tentukan besar, letak, serta mobilisasi dari fistula, kalau perlu dalam anestesi. Pemeriksaan urograf, untuk mengetahui ada tidaknya hidronefrosis atau hidroureter. Manajemen: Pemilihan pendekatan operasi: transvaginal, transabdominal, transvesika, dan kombinasi. Prinsip operasi: insisi defek fistula, tidak melukai mukosa, dinding vagina dibebaskan, penjahitan lapis demi lapis, tidak boleh ada ketegangan jaringan. Pasang kateter: triway, water suction pump. Koitus: 2 bulan pasca repasi. Boleh hamil, partus sebaiknya seksio sesarea. Pada fistula yang akut dan kecil sekali, segera setelah diketahui, dipasang kateter melalui uretra, dilakukan drainase urine dengan mempertahankan kateter selama 10 hari, dan diberikan Kortison 100 mg setiap hari. Setelah 10 hari kateter diangkat, diharapkan fistula menutup sendiri, bila tidak menutup dilakukan tindakan operasi. Perawatan pasca operasi: Bed rest. Lama 10 hari.

267

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 268/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Minum 2,5-3 liter per-hari. Awasi tanda perdarahan. Mencegah regangan jahitan. Kateter harus lancar. Antibiotika.

Prognosis: Sangat bergantung kepada ketepatan diagnosis dan pemilihan jenis operasi dan pengalaman operatornya.

30. Retensio Urine Pendahuluan: Retensio urine merupakan salah satu komplikasi yang bisa terjadi pasca bedah, baik bedah obstetri maupun ginekologi. Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih secara spontan. Insiden 0,07% per 1.000 populasi wanita. Retensio urine akut: nyeri, tidak bisa BAK 24 jam, kateterisasi, produksi urine yang keluar lebih kurang 50% kapasitas kandung kemih. Retensio urine kronik: kegagalan pengosongan kandung kemih > 50 % kapasitas kandung kemih.

268

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 269/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Definisi: Retensio urine: tidak adanya proses berkemih spontan 6 jam setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan dengan urine sisa > 200 ml (kasus obstetri) dan urine sisa > 100 ml (kasus ginekologi). Stanton: tidak bisa berkemih dalam 24 jam membutuhkan pertolongan kateter urine tidak keluar > 50% kapasitas kandung kemih.

Angka kejadian: Pasca TVH (Total Vaginal Histerektomi): 15% Pasca TVH + Kolporafi anterior: 29% Post partum: 1,7-17,9% Pasca seksio sesarea dengan kateter 6 jam: 17,1% Pasca seksio sesarea dengan kateter 24 jam: 7,1% Pencegahan: Selama prosedur operasi: dilakukan pemasangan kateter transuretra menetap, supaya k andung kemih tetap kosong, menghindari cidera kandung kemih, memperluas lapangan operasi. Lama kateter pasca bedah: berapa lama kateter dipertahankan pasca bedah ? Kateter dipertahankan bervariasi, ada yang menggunakan selama 6 jam, 12 jam, 24 jam. Anatomi dan fisiologi berkemih: Anatomi: - Otot polos kandung kemih: otot detrusor, tiga lapis longitudinal-sirkulerlongitudinal. - Pusat pengaturan kandung kemih di Area Detrusor piramidal pada lobus frontalis - daerah pusat berkemih pontin dan Pusat Berkemih Sakralis. Sistem saraf perifer-otonom: parasimpatik-kontraksi detrusor melalui transmisi kolinergik, nervus pelvikus dari S2-S4. Simpatik-transmisi adrenergik, nervus hipogastrikus dari T10-L2. Fisiologi berkemih:

269

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 270/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Fase pengisian: mekanisme akomodasi, inhibisi parasimpatis, stimulasi simpatis, stimulasi nervus somatik.

Fase pengosongan: stimulasi parasimpatis, inhibisi simpatis, inhibisi nervus somatik. Patofisiologi: Pada post partum kapasitas kandung kemih meningkat, tonus menurun, kurang sensitif terhadap tekanan intravesikal dan pengisian yang cepat. Akan menjadi retensio bila terdapat edema periuretra, laserasi obstetrik, atau desensitifitas oleh anestesi epidural. Pada post operasi ginekologi terdapat nyeri, edema dan spasme otot-otot pubokoksigeus. Penyebab retensio urine: Secara umum retensio urine dapat disebabkan oleh karena: - Gangguan persarafan. - Kelainan otot. - Iatrogenik. - Obstruksi. - Peradangan (inflamasi). - Psikis. - Umur yang tua. Retensio urine pasca seksio sesarea disebabkan oleh: Anestesia. Rasa nyeri luka insisi dinding perut: reflek menginduksi spasme otot levator, pasien enggan untuk mengkontraksikan dinding perut guna memulai pengeluaran urine. Manipulasi kandung kemih. Jika seksio sesarea akibat distosia persalinan kala II (iritasi, edema).

270

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 271/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Retensio urine pasca bedah ginekologi biasanya disebabkan oleh: Anestesia. Rasa nyeri. Edema. Spasme otot-otot pubokoksigeus.

Diagnosis: Gejala retensio urine: kencing tidak lampias, waktu BAK lama, frekuensi BAK lebih sering, tidak bisa BAK, kandung kemih terasa penuh, dan distensi abdomen. Anamnesis: gejala retensio urine. Pemeriksaan fisik: teraba massa di atas simfisis, pemeriksaan bimanual. Pemeriksaan urine sisa (dengan kateter) setelah 6 jam kateter dilepas, diukur sisa urine. Retensio urine jika pasca bedah ginekologik urine sisa > 100 ml dan pasca bedah obstetrik urine sisa > 200 ml. USG: dapat memeriksa secara non-invasif. Pemeriksaan uroflowmetry, normal jika flow rate > 15-20 mL/detik. Gangguan berkemih bila terjadi penurunan flow rate, perpanjangan waktu berkemih.

Manajemen: Kateterisasi. Obat-obatan: Obat-obat yang meningkatkan kontraksi kandung kemih dan menurunkan resistensi uretra: a. Yang bekerja pada sistem saraf parasimpatis: obat kolinergik ~ asetik kolik bekerja di end organ menimbulkan efek muskarinik. Contoh: Betanekhol, Karbakhol, Metakholin. b. Yang bekerja pada sistem saraf simpatis.

271

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 272/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Contoh: Fenoksibenzamin. c. Obat yang bekerja pada otot polos: mempengaruhi kerja otot otot detrusor. Contoh: Prostaglandin E2. Pemberian cairan: banyak minum 3 liter/24 jam, gunanya mencegah kolonisasi bakteri.

Algoritma:
Retensio Urine Pasca Bedah Kateterisasi urinanalisis, kultur urine Antibiotika, banyak minum (3 liter/24 jam), Betanekhol, Prostaglandin Urine < 500 ml Intermiten Urine 500-1000 ml Dauer kateter 1 x 24 jam Urine 1000-2000 ml Dauer kateter 2 x 24 jam Urine > 2000 ml Dauer kateter 3 x 24 jam

Buka-tutup kateter/4jam Selama 24 jam (kecuali dapat BAK dapat dibuka segera) Kateter dilepas pagi hari 4-6 jam kemudian Dapat BAK Spontan Tidak dapat BAK Spontan

Urine residu > 200 ml (obstetri) Urine residu > 100 ml (ginekologi)

Urine residu < 200 ml (obstetri) Urine residu < 100 ml (ginekologi) Pulang

Keterangan: intermiten adalah kateterisasi tiap 5 jam selama 24 jam

272

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 273/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

Daftar Pustaka 1. Moeloek FA, Nuranna L, Wibowo N, Purbadi S. Standar pelayanan medik obstetri dan ginekologi. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia 2003. 2. Wijayanegara H, Suardi A, Wirakusumah FF, Permadi W. Pedoman diagnosis dan terapi obstetri dan ginekologi RSUP dr. Hasan Sadikin. Bagian pertama (obstetri). Bandung: Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin 1998. 3. Krisnadi SR, Mose JC, Effendi JS. Pedoman diagnosis dan terapi obstetri dan ginekologi RS dr. Hasan Sadikin, Bagian pertama (obstetri). Ed. 2. Bandung: Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin 2005. 4. Wijayanegara H, Suardi A, Permadi W, Judistiani TD. Pedoman diagnosis dan terapi obstetri dan ginekologi RSUP dr. Hasan Sadikin. Bagian II (ginekologi). Bandung: Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin 1997. 5. Achadiat CM. Prosedur tetap obstetri dan ginekologi. Jakarta: EGC 2004. 6. Haksohusodo S. Infeksi TORCH, patogenesis, infeksi maternal-kongenital dan pengobatannya. Ed. 1. Yogyakarta: Medika Fakultas Kedokteran UGM dan Yayasan Inovasi Biomolekuler Kedokteran Haksohusodo 2002. 7. Tobing MDL. Penyakit dan penyulit yang menyertai kehamilan. Dalam: Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF, ed. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi FK UNPAD. Ed. 2. Jakarta: EGC 2005; h. 99 120.

273

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 274/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

8. Mose JC. Perdarahan antepartum. Dalam: Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF, ed. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi FK UNPAD. Ed. 2. Jakarta: EGC 2005; h. 83 98. 9. Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. Kelainan telur, plasenta, air ketuban, cacat, dan gangguan janin. Dalam: Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF, ed. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi FK UNPAD. Ed. 2. Jakarta: EGC 2005; h. 28 63. 10. Bratakoesoema DS. Distosia. Dalam: Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF, ed. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi FK UNPAD. Ed. 2. Jakarta: EGC 2005; h. 121 70. 11. Setjalilakusuma L. Angsar MD. Persalinan sungsang. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, ed. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 1989; h. 104 22. 12. Moeloek FA, Muhiman M. Kontrasepsi mantap wanita. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, ed. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 1989; h. 239 60. 13. Saifuddin AB, Wiknjosastro GH, Biran A, Waspodo D. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 2002; h. M 25 32, M 69 71. 14. Simanjuntak P. Gangguan haid dan siklusnya. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, ed. Ilmu Kandungan. Ed. 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 1994; h. 203 34. 15. Badziad A. Endokrinologi ginekologi. Ed. 2. Jakarta: Media Aesculapius FKUI 2003; h. 1 58, 65 7, 82 102. 16. Saifuddin AB, Affandi B, Lu ER. Buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 2003; h. U 54 6, MK 1 5, MK 72 85. 17. Martaadisoebrata D. Protokol pengelolaan penyakit trofoblas gestasional. Bandung: Pusat Pengelolaan Penyakit Trofoblas Gestasional Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin 2005. 18. Goh J, Flynn M. Examination obstetrics & gynaecology. Australia: MacLennan & Petty Pty Limited 1996; pp 45 7. 19. Manuaba IDG. Penuntun kepaniteraan klinik obstetri & ginekologi. Ed. 2. Jakarta: EGC 2004; h. 272 95. 20. Kampono N. Skrining dan penanda tumor. Dalam: Aziz MF, Andrijono, Saifuddin AB, ed. Buku acuan nasional onkologi ginekologi. Ed. 1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 2006; h. 101 - 10.

274

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 275/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

21. Nuranna L. IVA (Inspeksi visual dengan asam asetat). Dalam: Aziz MF, Andrijono, Saifuddin AB, ed. Buku acuan nasional onkologi ginekologi. Ed. 1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 2006; h. 111 - 23. 22. Purwoto G. Kanker vagina dan vulva. Dalam: Aziz MF, Andrijono, Saifuddin AB, ed. Buku acuan nasional onkologi ginekologi. Ed. 1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 2006; h. 433 41. 23. Edianto D. Kanker serviks. Dalam: Aziz MF, Andrijono, Saifuddin AB, ed. Buku acuan nasional onkologi ginekologi. Ed. 1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 2006; h. 442 55. 24. Sofian A. Kanker endometrium. Dalam: Aziz MF, Andrijono, Saifuddin AB, ed. Buku acuan nasional onkologi ginekologi. Ed. 1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 2006; h. 456 67. 25. Busmar B. Kanker ovarium. Dalam: Aziz MF, Andrijono, Saifuddin AB, ed. Buku acuan nasional onkologi ginekologi. Ed. 1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 2006; h. 468 527. 26. Santoso BI. Fistula urogenital. Dalam: Junizaf, ed. Buku ajar: Uroginekologi. FKUI/RSPN-CM: Subbagian Uroginekologi-Rekonstruksi 2002; h. 6 13. 27. Junizaf. Fistula vesiko vagina. Dalam: Junizaf, ed. Buku ajar: Uroginekologi. FKUI/RSPN-CM: Subbagian Uroginekologi-Rekonstruksi 2002; h. 14 9. 28. Sukarsa MRA. Kuliah uroginekologi: fistula urovaginal. FK UNPAD/RSHS: Subbagian Uroginekologi-Rekonstruksis 2005. 29. Sasotya RMS. Kuliah uroginekologi: Penatalaksanaan retensio urin pada kasus obstetri dan ginekologi. FK UNPAD/RSHS: Subbagian UroginekologiRekonstruksis 2005.

275

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 276/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

STANDAR PELAYANAN MEDIS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


1. Pemeliharaan Kehamilan (1) 2. Versi Luar (2) 3. Partograf (4) 4. Tes Tanpa Kontraksi ( NST ) (7) 5. Tes Dengan Kontraksi (CST) atau Tes Dengan Oksitosin (OCT) (10) 6. Pemberian Obat-Obatan Tokolitik (13) 7. Asfiksia Intrauterin (15) 8. Resusitasi Intrauterin (16) 9. Terminasi Kehamilan (18) 10. Induksi Persalinan (20) 11. Pemberian Tetes Oksitosin (21) 12. Kelainan His (22) 13. Skor Bishop / Pelvik (23) 14. Skor Zatuchni Andros (24) 15. Episiotomi (25) 16. Ekstraksi Forseps (26) 17. Ekstraksi Vakum (27) 18. Embriotomi (28) 19. Panggul Sempit (29) 20. Partus Percobaan (31) 21. Hiperemesis Dalam Kehamilan (32) 22. Abortus (34) 23. Kehamilan Ektopik (37) 24. Persalinan Normal (39) 25. Grande Multiparitas (40) 26. Bekas Seksio Sesarea (41) 27. Hipertensi Dalam Kehamilan (43) 28. Penyakit Jantung Dalam Kehamilan (50) 29. Diabetes Dalam kehamilan (52) 30. TBC Paru Dalam Kehamilan (54) 31. Asma Bronkiale Dalam Kehamilan (55) 32. Infeksi TORCH (58) 33. Ketuban Pecah Dini (63)

276

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 277/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

34. Kematian Janin Dalam Rahim (65) 35. Infeksi Intrauterin Dalam Kehamilan Dan Persalinan (67) 36. Plasenta Previa (68) 37. Plasenta Akreta (70) 38. Vasa Previa (71) 39. Solusio Plasenta (72) 40. Inversio Uteri (75) 41. Ruptura Uteri (78) 42. Prolapsus Tali Pusat (81) 43. Letak Sungsang (82) 44. Letak Muka (84) 45. Letak Dahi (85) 46. Presentasi Ubun-Ubun Kecil di Belakang (86) 47. Presentasi Majemuk (87) 48. Letak Lintang (88) 49. Letak Lintang Pada Gemelli Anak Kedua (89) 50. Distosia Bahu (90) 51. Polihidramnion (92) 52. Oligohidramnion (93) 53. Pertumbuhan Janin Terhambat (94) 54. Persalinan Preterm (97) 55. Kehamilan Lewat Waktu (100) 56. Emboli Paru (103) 57. Perdarahan Pascasalin (105) 58. Asuhan Nifas (109) 59. Gangguan Haid (110) 60. Amenorea (112) 61. Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD) 62. Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) 63. Menopause (125) 64. Osteoporosis (130) 65. Terapi Sulih Hormon (HRT) (131) 66. Infertilitas (132) 67. Endometriosis (134) 68. Metode Kontrasepsi (137) 69. Kontrasepsi Darurat (139) 70. Translokasi AKDR (141) 71. Deteksi Dini Kanker Ginekologi (142)

277

No.Dokumen STANDAR PELAYANAN MEDIS Tanggal Terbit

No.Revisi

Halaman 278/ Ditetapkan Oleh: Direktur RS.

72. Apusan Pap (144) 73. Tes IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) (146) 74. Kolposkopi (147) 75. Lekore (149) 76. Penyakit Radang Panggul (152) 77. Mioma Uteri (155) 78. Kista Ovarium (157) 79. Penyakit Trofoblas Gestasional (159) 80. Kanker Vulva (169) 81. Kanker Vagina (171) 82. Kanker Serviks (172) 83. Kanker Korpus Uteri (181) 84. Kanker Ovarium (183) 85. Prolapsus Genitalia (188) 86. Inkontinensia Urine (191) 87. Fistula Urogenital (194) 88. Retensio Urine (196)

278

You might also like