You are on page 1of 34

PEMICU 1 Seorang mahasiswa fakultas kedokteran di Jakarta yang berusia 19 tahun, 70 kg, 155 cm mengeluh sesak napas dan

rasa terbakar di dada sejak 1 bulan yang lalu. Selain itu, ia juga merasa asam di lidahnya dan air liurnya menjadi lebih banyak sehingga ia harus sering menelan. Kadang-kadang ia merasa nyeri di daerah ulu hati terutama di malam hari. Dalam kesehariannya ia sering makan tidak teratur, makan makanan berminyak, minum kopi 6 gelas sehari, senang makan coklat, dan merokok 1 bungkus sehari. Ia bahkan terkadang tidak nafsu makan karena merasa kenyang. Satu bulan yang lalu ia merasa sangat sedih karena tidak lulus beberapa modul sehingga terancam drop out. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. I. Klarifikasi dan definisi: 1. Lidah: organ muscular yang dapat bergerak di dasar mulut.

II.

Keyword: 1. Laki-laki 19 tahun, IMT = 29,13. 2. Mengeluh sesak napas dan rasa terbakar di dada sejak 1 bulan yang lalu. 3. Nyeri di ulu hati terutama di malam hari. 4. Terasa asam di lidah dan air liurnya banyak. 5. Sering makan tidak teratur, riwayat merokok, stress, sering makan coklat dan makanan berminyak, minum kopi 6 gelas sehari. 6. Nafsu makan kurang karena merasa kenyang. 7. Pemeriksaan fisik tidak ada kelainan.

III.

Rumusan masalah

Seorang mahasiswa 19 tahun, BB 70 Kg, TB 155 cm, yang terancam drop out, mengeluh sesak napas dan rasa terbakar di dada sejak satu bulan yang lalu. IV. Analisis masalah Kebiasaan: Makan tidak teratur, Makan makanan berminyak, Minum kopi 6 gelas sehari, Senang makan coklat, Merokok 1 bungkus sehari
1

Sangat sedih karena tidak lulus & terancam DO

Mahasiswa 19 tahun, 70 kg, 155 cm

Pengaruh stress terhadap sistem GI

Keluhan utama: sesak napas dan rasa terbakar di dada sejak 1 bulan yang lalu

Pengaruh terhadap sistem GI

Asam di lidah & air liur lebih banyak

Nyeri epigestrium terutama malam hari

Px fisik (-)

DD: GERD, Dispepsia, Ulkus peptikum, Gastritis

Px penunjang

Dx

Terapi

Prognosis
2

V.

Hipotesis

Mahasiswa 19 tahun menderita GERD yang dipengaruhi stress dan kebiasaankebiasaan tersebut. VI. Learning issues 1. Anatomi gastrointestinal atas. 2. Fisiologi gastrointestinal atas. 3. Syndroma Dispepsia. 4. GERD. 5. Ulkus peptikum. 6. Gastritis. 7. NERD. 8. Studi kasus.

VII.

Pembahasan

A. Anatomi Gastrointestinal Atas 1. Mulut Fungsi dari mulut dan struktur yang berasosiasi dengan mulut adalah sebagai penerima pertama makanan, yang memulai pencernaan melalui proses mastikasi atau mengunyah kemudian menelan. Mulut, yang disebut juga oral cavity/rongga mulut dibentuk oleh pipi, bibir, palatum durum (keras), dan palatum molle (halus), dan lidah. Batas: Anterior: bibir; Lateral: pipi; Superior: palatum; Inferior: lidah; Posterior: isthmus faucium. Mulut dibagi menjadi vestibulum oral dan cavitas oral propria. Bukaan dari rongga mulut disebut juga orifisia oris (oral orifice).Cavitas oral propria merupakan ruang yang memanjang dari gusi dan gigi ke fauces (lubang atau pintu masuk antara rongga mulut dengan orofaring). Batas dari struktur ini: atap mulut, bagian anterior dibatasi palatum durum, posterior dibatasi palatum molle; daerah lantai dibatasi 2 / 3 lidah dan gusi; dasar mulut, frenulum lidah. Pipi membentuk dinding lateral rongga mulut dari luar oleh kulit dan dilapisi dari
3

dalam oleh membran mukosa. Membran mukosa merupakan lapisan kulit tak berkeratin dan terdiri dari epitel skuamosa. Otot-otot buccinator dan jaringan ikat berada di antara kulit dan membran mukosa pipi. Bagian anterior pipi ini kemudian menjadi bibir. Bibir atau labia merupakan lipatan daging yang mengelilingi mulut. Bibir terdiri dari otot orbicularis oris dan dilindungi dari luar oleh kulit dan dari dalam oleh membran mukosa. Permukaan dalam setiap bibir berhubungan dengan gigi melalui suatu lipatan pada garis tengah bibir yang disebut labial frenulum.. Ketika mengunyah, kontraksi dari otot buccinator yang terdapat di pipi bekerja sama dengan otot orbicularis yang terdapat pada bibir untuk mempertahankan makanan agar tetap berada di antara gigi atas dan gigi bawah, yang juga berperan ketika berbicara. Bukaan dari rongga mulut disebut juga orifisia oris (oral orifice). Palatum merupakan dinding atau septum yang memisahkan rongga mulut dari rongga nasal yang kemudian membentuk atap mulut. Struktur ini sangat penting karena memungkinkan pernapasan dan pengunyahan terjadi secara bersamaan. Palatum durum (keras), yang merupakan bagian anterior dari atap mulut terbentuk oleh tulang maksila dan palatin yang dilindungi oleh membran mukosa. Struktur ini membentuk sekat dari tulang di antara rongga mulut dan nasal. Sedangkan palatum halus, membentuk bagian posterior dari atap mulut, yang merupakan otot melengkung yang membentuk sekat di antara orofaring dan nasofaring yang dilapisi membran mukosa. Salah satu bagian dari rongga mulut, terdapat seperti organ yang mengggantung pada sisi bebas dari palatum molle yaitu otot berbentuk seperti kerucut yang disebut uvula. Selama menelan, palatum halus atau palatum molle ditarik ke arah superior, menutup nasofaring dan mempersiapkan untuk menelan makanan maupun cairan, mencegah masuk lagi ke rongga nasal. Kelenjar Saliva merupakan kelenjar pencernaan aksesoris yang menghasilkan saliva. Banyak kelenjar-kelenjar saliva minor yang berlokasi di membran mukosa daerah palatum di dalam rongga mulut, akan tetapi terdapat 3 pasang kelenjar saliva di luar rongga mulut yang memproduksi sebagian besar dari saliva yang dialirkan ke rongga mulut melalui saluran tertentu. Kelenjar parotid merupakan kelenjar saliva terbesar, yang berada di bagian depan-bawah dari daun telinga, di antara kulit dan otot masseter. Saliva yang diproduksi kelenjar inii dialirkan melalui duktus parotid (Stensens) yang keluar di rongga mulut berhadapan dengan gigi molar atas kedua. Kelenjar submandibular berada di bawah mandibula, di sisi dalam dari rahang, ditutupi otot mylohioid. Saliva dari kelenjar ini dialirkan melalui duktus submandibularis (Whartons), yang keluar di dasar mulut di bagian lateral dari frenulum lingualis. Kelenjar sublingualis berada di bawah membran mukosa dari bagian dasar mulut,
4

dangan saliva yang dikeluarkan melalui duktus sublingual (Rivinuss duct) yang keluar di dasar mulut pada area posterior dari papilla ductus submandibularis. Lidah berfungsi untuk menggerakkan makanan saat mastikasi dan membantu dalam proses menelan. Lidah berupa otot rangka yang diselubungi oleh membran mukosa. Otot ekstrinsik lidah menggerakkan lidah dari sisi-ke-sisi dan keluar-masuk. Dua per tiga bagian lidah berada di rongga mulut, sementara sepertiganya berada di faring, melekat dengan tulang hioid. Tonsila lingualis berada pada permukaan superior dari pangkal lidah, dan bagian inferior lidah berhubungan dengan garis tengah dari dasar mulut dengan frenulum lingualis. Pada permukaan lidah terdapat papilla yang memberikan permukaan kasar pada lidah yang membantu pergerakan makanan dan sebagian memiliki kuncup pengecap. Otot ekstrinsik : Terdiri dari otot hyoglosus, genioglossus dan styloglossus. Otot-otot inilah yang berfungsi untuk menggerakkan lidah pada saat gerakan mengunyah makanan, membuat makanan yang telah dikunyah menjadi suatu massa bergumpal dan mengarahkan makanan ke bagian belakang mulut untuk segera ditelan. Otot intrinsik : Terdiri dari otot longitudinalis superior, longitudinalis inferior, lingualis transversus dan lingualis vertikalis. Berfungsi untuk mengatur bentuk dan ukuran lidah pada saat berbicara dan menelan makanan. Gigi : Terdapat 4 jenis gigi, yaitu gigi seri/incisors, gigi taring/canines, dan gigi geraham premolar dan molar. Gigi geraham memiliki permukaan buccal yang bersinggungan dengan pipi, sementara gigi seri dan gigi taring memiliki permukaan labial yang bersinggungan dengan bibir. Semua gigi memiliki permukaan lingual yang bersinggungan dengan lidah. Laring ; ketika makanan ditelan pertama, itu disampaikan dari mulut ke dalam faring, tabung berbentuk corong yang membentang dari nares internal ke esofagus posterior dan anterior laring. Faring tersusun dari otot rangka dan dilapisi oleh membrane mukosa, dan terbagi menjadi tiga bagian: nasofaring, orofaring dan laringofaring. Nasofaring berfungsi hanya dalam system respirasi saja, sedangkan orofaring dan laringofaring memiliki fungsi dalam system digesti yang baik seperti fungsi respirasi. Makanan tertelan lewat dari mulut ke dalam orofaring dan laringofaring. Kontraksi otot pada area ini membantu mendorong makanan ke kerongkongan dan kemudian ke lambung. 2. Esofagus Esofagus merupakan bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan faring dengan lambung. Esofagus merupakan organ berbentuk tabung yang memiliki panjang kurang lebih 25 cm, berawal dari laring di vertebra servikal VI dan berada posterior dari
5

trakea. Esofagus berawal dari inferior laringofaring dan melalui mediastinum anterior ke kolumna vertebralis menembus diafragma dan membuat suatu lubang bernama esophageal hiatus, dan berakhir di gaster bagian superior. Terkadang terdapat bagian gaster yang menonjol ke esophageal hiatus yang disebut hiatus hernia. Daerah konstriksi esophagus: a. Trachea & n.laryngeus, 15 cm dari incisivus b. Arcus aorta, 22 cm dari incisivus c. Bronchus kiri, 27 cm dari incisivus d. Diaphragma hiatus esophagus, 37 cm dari incisivus

Selama tahap faringeal dari proses menelan, lidah terangkat sampai ke palatum, nasofaring tertutup dan laring membuka, epiglotis menutup lring dan bolus melewati esophagus. Selama tahap esophageal dari proses menelan, makanan bergerak melewati esophagus masuk ke dalam lambung melalui gerak peristaltik. Mukosa dari esophagus terdiri dari epitel gepeng berlapis tanpa keratin, lamina propia (jaringan ikat areolar) dan otot polos. Pada bagian yang dekat dengan lambung, mukosa esophagus juga terdiri atas kelenjar mukosa. Epitel gepeng berlapis tanpa keratin ini berhubungan dengan bibir, mulut, lidah, orofaring, laringofaring dan esophagus menghasilkan perlindungan atau proteksi melawan abrasi. Kelenjar submukosa terdiri dari jaringan ikat areolar pembuluh darah dan kelenjar mukosa. Esophagus memiliki dua otot sfingter. Sfingter krikofaringeus membatasi esophagus dan faring serta berfungsi untuk mencegah masuknya udara ke esophagus sewaktu inspirasi. Sfingter esogafus bawah terdiri dari otot sirkular di bagian bawah esophagus tepatnya 5 cm di atas perbatasan dengan lambung. Bagian sfingter esophagus bawah (SEB) ini berfungsi untuk menghalangi refluks cairan lambung masuk ke esophagus. 3. Lambung Terletak di bgian atas abdomen, terbentang dari permukaan bawah arcus costalis sinistra sampai region epigastrica dan umbilicalis. Sebagian besar gaster terletak di bawah costae bagian bawah. Secara kasar gaster berbentuk huruf J dan mempunyai dua lubang, ostium cardiacum dan ostium pyloricum; dua curvature, curvature major dan curvature minor, dan dua dinding, paries anterior dan paries posterior. Gaster terbagi menjadi: a. Fundus gastricum, berisi penuh udara
6

b. Corpus gastricum terbentang dari ostium cardiacum sampai incisura angularis, serta lekukan yang selalu ada pada bawah curvature minor. c. Antrum pyloricum terbentang dari incisura angularis sampai pylorus d. Pylorus merupakan bagian gaster yang berbentuk tubular. Curvature minor digantung pada hepar oleh omentum minus. Curvature major lebih panjang. Legamentum gastrolienalis terbantang dari bagian atas curvature major sampai ke lien. Ostium cardiacum merupakan tempat esophagus masuk keg aster. Ostium pyloricum dibantuk oleh canalis pyloricum yang panjangnya sekitar 1 inci (2,5 cm). Proyeksi: Cardia berada 3 cm kiri dari midline, setinggi VT X, posterior terhadap cartilago costae ke-7. Fundus berada Setinggi sulcus intercostal V. Pylorus berada Setinggi VL I; 2,5 cm kanan dari midline. Syntopy: Fundus (di dalam lengkung diafragma), Corpus (pancreas & bg descendens diafragma), Curvature major (anterior gl.suprarenal dextra & bg superior ginjal), Curvature minor (pancreas & tuber omentale hepar), Posterior (a/v.lienalis), Anterior (dinding abdomen), Kanan (lobus quadratus & sinistra hepar), Kiri (lien), Caudal curvatura major (colon trasversum). Perdarahan a. Arteri 1. Arteri gastric sinistra berasal dari truncus coeliacus, mendarahi sepertiga bawah oesophagus dan bagian kana atas gaster 2. Arteri gastric dextra berasal dari arteri hepatica communis mendarahi bagian kanan bawah gaster 3. Arteriae gastericae breves berasal dari arteri lienalis pada hilum lienalis mendarahi fundus 4. Arteria gastroomentalis sinistra berasal dari arteri splenica pada hilum lienalis mendarahi gaster sepanjang bagian atas curvature major 5. Arteria gastroomentalis dextra berasal dari arteria gastroduodenalis mendarahi gaster sepanjang bagian bawah curvature major. b. Vena Vena gastric sinistra dan dextra bermuara langsung ke vena portal hepatis. Vena gastric breves dan vena gastroomentalis sinistra bermuara ke dalam vena lienalis. Vena gastroomentalis dextra bermuara ke dalam vena mesenterica superior c. Aliran limfe Seluruh cairan limf dari gaster akhirnya berjalan melalui nodi coeliaci yang terdapat sekitar pangkal truncus coeliacus pada dinding posterior abdomen
7

d. Persarafan Terdiri dari truncus vagalis anterior dan truncus vagalis posterior. B. Fisiologi gastrointestinal atas 1. Persarafan sistem gastrointestinal Sistem GI memiliki sistem saraf enterik yang berada di sepanjang dinding saluran cerna, mulai dari esofagus hingga anus. Sistem saraf ini memiliki jumlah neuron yang sangat banyak, menyerupai jumlah neuron di korda spinalis. Oleh karena itu sistem saraf enterik sangatlah penting dalam pengaturan sistem GI. Sistem saraf enterik terdiri atas pleksus myenteric Auerbach (terletak di antara lapis longitudinal dan sirkuler) serta pleksus submukosa Meissner. Pleksus Auerbach berperan dalam pengaturan motilitas sistem GI, sedangkan pleksus Meissner lebih memiliki efek terhadap pengaturan sekresi dan perdarahan sistem ini. Hal yang unik dari sistem GI adalah ditemukannya sel yang menyerupai sel pacu jantung, yang dapat mencetuskan suatu daya kontraksi sistem GI. Sel ini disebut pula dengan sel interstisial Cajal (baca: caHal). Sel ini dapat mencetuskan suatu slow-wave potential yang menjadi dasar dari aktivitas ritmis elektrik dasar dari sistem GI. Slow-wave potential bukanlah suatu potensial aksi, melainkan menyerupai fluktuasi potensial membran secara teratur (siklik) yang menyebabkan sel-sel kontraktil menjadi lebih mudah (atau justru lebih sulit) mencapai potensial ambang yang dapat mencetuskan potensial aksi sehingga otot polos berkontraksi. Selain daripada sistem saraf tersendiri ini, sistem gastrointestinal juga mendapat pengaruh dari persarafan simpatis dan parasimpatis. Kedua sistem saraf ini bekerja dengan cara memengaruhi kedua pleksus sistem saraf enterik. Stimulasi simpatis akan menyebabkan penghambatan aktivitas sistem GI (melalui kerja neurotransmiter norepinefrin). Kontras dengan simpatis, rangsangan parasimpatis meningkatkan aktivitas sistem GI. Meskipun mempersarafi sistem GI, ketiadaan persarafan otonom ini tidak menyebabkan kelainan yang berarti pada sistem GI, karena persarafan enterik sendiri sudah cukup mumpuni dalam hal menunjang aktivitas sistem GI. Lebih lanjut lagi selain ditemukan persarafan otonom dapat pula ditemukan serabut saraf aferen (sensori) yang berasal dari epitel sistem GI. Serabut aferen ini mengirimkan informasi ke kedua pleksus, sistem saraf simpatis (melalui ganglia prevertebral), maupun ke sistem saraf parasimpatis (melalui n.vagus ke batang otak). Persarafan sistem GI berperan dalam refleks GI yang berperan dalam pengaturan kerja sistem GI. Saat ini setidaknya dikenal tiga jenis refleks GI, yakni refleks yang hanya melibatkan sistem saraf enterik; refleks yang melibatkan ganglia simpatis, serta refleks yang melibatkan pusat pengaturan sentral.
8

Selain kontrol melalui persarafan, sistem GI juga dapat dikendalikan melalui pengaruh hormonal. Hormon dapat meningkatkan atau menurunkan motilitas saluran cerna, demikian pula sekresi saluran cerna. Pada akhirnya, baik persarafan maupun hormon memberikan suatu mekanisme umpan balik (feedback) terhadap sistem GI. Keseluruhan ini mengatur sistem GI melalui reseptor yang peka baik terhadap zat kimiawi, mekanik, maupun osmolaritas. 2. Proses awal yakni mengunyah dan sekresi saliva Makanan yang dimakan akan dikunyah (proses mastikasi), yang tidak lain merupakan proses motilitas yang terjadi di rongga mulut (cavum oris). Makanan dapat terkunyah karena adanya proses oklusi (merapatnya susunan gigi geligi atas dengan bawah, yang mana pada orang-orang dengan kelainan maloklusi menyebabkan makanan tidak terkunyah dengan baik). Mengunyah adalah proses yang penting karena menghancurkan struktur dan kontur makanan menjadi halus dan mudah tertelan. Hal yang lebih penting lagi adalah dengan penghancuran, permukaan makanan yang berkontak dengan enzim akan lebih luas sehingga lebih baik tercerna. Pada dasarnya mengunyah merupakan proses volunter, walaupun pada akhirnya akan merupakan suatu proses refleks yang melibatkan otot-otot rahang, pipi, dan lidah. Makanan akan dibahasi dengan air liur untuk kemudian mengalami sedikit pencernaan. Zat-zat nutrien tidak ada yang diserap di organ ini, dan makanan selanjutnya akan melanjutkan perjalanan ke faring. Saliva (liur) adalah sekret yang dihasilkan oleh tiga kelenjar besar, yakni kelenjar submandibularis, sublingualis, dan parotis, serta oleh kelenjar pipi (buccal) yang lebih kecil.1 Hampir seluruh komponen saliva adalah H2O, dengan komposisi sisanya merupakan: a. Elektrolit, yang sebagian besar tersusun atas ion K+, bikarbonat (HCO3-). Perlu diketahui bahwa kandungan elektrolit saliva berbeda dengan cairan tubuh akibat proses transpor aktif ion-ion yang terjadi di saluran keluar kelenjar liur; b. Sekret serosa, berupa ptialin (suatu alfa-amilase) yang berperan dalam memecah pati (atau polisakarida) menjadi maltosa (suatu disakarida); c. Mucin, suatu sekresi mukus untuk melicinkan makanan dan melindungi mukosa oral; d. Enzim proteolitik, berupa lisozim yang bekerja menyerang bakteri untuk memasukkan ion tiosianat (SCN-) yang akan menjadi agen bakterisidal; e. Imunoglobulin A yang merupakan bagian dari sistem imun humoral dan mencegah bakteri agar tidak mempenetrasi epitelium maupun laktoferin yang dapat mengikat zat besi yang dibutuhkan bagi perkembangbiakan bakteri.
9

Setiap harinya sekitar 1-2 liter saliva dihasilkan (dengan volume mulai dari 0,5 ml/menit hingga maksimum 5 ml/menit). Variasi volume sekresi saliva mengisyaratkan bahwa sekresi saliva adalah suatu proses yang melibatkan pengaturan melalui persarafan baik parasimpatis maupun simpatis. Rangsangan parasimpatis akan menghasilkan saliva dengan jumlah yang cukup banyak. Rangsangan parasimpatis dikendalikan oleh nukleus salivatorius superior dan inferior yang terletak di batang otak. Melalui n.glossofaringeal dan ganglion otik-lah kelenjar parotis dipersarafi. Sementara itu kelenjar submandibular melibatkan jaras persarafan n.fasialis dan ganglion submandibularis. Perangsangan parasimpatis diakibatkan oleh rangsangan sensor rasa dan taktil dari permukaan lidah dan sekitar faring. Peranan pusat luhur (higher center) dari sistem saraf pusat dapat memengaruhi sekresi saliva. Oleh karena itu, seseorang yang mencium aroma makanan kesukaannya dapat menghasilkan saliva yang lebih banyak daripada apabila ia mendapati makanan yang ia tidak terlalu suka. Hal seperti demikian melibatkan appetite area yang berkomunikasi dengan korteks serebri dan amigdala. Proses pengeluaran saliva merupakan suatu refleks yang dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni refleks sederhana dan refleks terkondisi. Refleks sederhana terjadi ketika kemoreseptor dan baroreseptor di rongga mulut merespons keberadaan makanan yang kemudian menyampaikan informasi melalui serabut saraf aferen ke pusat saliva. Refleks terkondisi, secara kontras, tidak melibatkan stimulasi oral. Hanya dengan membayangkan atau mencium aroma makanan dapat menginisiasi pengeluaran saliva melalui jenis refleks ini. Refleks terkondisi adalah suatu refleks yang didapatkan (acquired) berdasarkan pengalaman sebelumnya (previous experience) dan melibatkan korteks serebri dan fungsi luhur lainnya. Rangsangan simpatis akan menyebabkan pengeluaran saliva dengan karakteristik kental dan dalam jumlah yang lebih sedikit. Oleh karena rangsang simpatis akan mengakibatkan rangsang parasimpatis menjadi tidak ekstensif, mulut akan terasa lebih kering. 3. Proses penelanan, serta faring dan esofagus, tempat lewat makanan sebelum memasuki lambung Makanan yang telah tercairkan dengan adanya saliva dari rongga mulut dan berbentuk seperti bola disebut dengan nama bolus. Bolus akan meninggalkan rongga mulut menuju saluran cerna berikutnya (faring) melalui suatu proses yang dinamakan menelan (deglutisi).Proses menelan terbagi menjadi tiga tahap, yakni fase volunter, fase faringeal, dan fase esofageal. Fase volunter ditandai dengan proses mengangkat lidah ke atas untuk kemudian mendorong bolus ke arah belakang. Fase ini merupakan fase yang dapat dikendalikan. Setelah bolus melewati fase volunter, bolus akan mengikuti fase involunter. Fase faringeal merupakan suatu refleks yang terpicu akibat bolus menyentuh area reseptor di bukaan faring.
10

Fase ini dimulai dengan penutupan trakea (melalui penutupan glottis, yakni bagian superior dari laring), pembukaan esofagus, serta gelombang peristaltik cepat yang timbul di faring untuk menekan bolus ke esofagus atas. Pusat pengendali dari proses penelanan merupakan pusat penelanan yang terletak di daerah medulla dan pons bagian bawah yang berjalan melalui n.vagus. Saat menelan kerja sistem respirasi terhambat akibat pusat menelan menghambat pusat respirasi di sekitarnya, namun hambatan ini tidak terlihat efeknya. Fase terakhir adalah fase esofageal yang membawa bolus dari esofageal atas ke esofageal bawah, sebelum memasuki gaster. Gerakan mendorong esofagus ini dilakukan oleh gerak peristaltik primer (yang merupakan kontinuasi dari peristaltik faring) dan gerak peristaltik sekunder (yang muncul apabila bolus yang menyangkut di esofagus meregang esofagus dan menimbulkan refleks ini). Sebelum memasuki gaster ditemukan lagi struktur sfingter gastroesofageal yang berperan untuk mencegah terjadinya refluks isi asam lambung naik ke atas melalui esofagus. Gerak peristaltik yang muncul dari esofagus turun ke bawah dan menimbulkan relaksasi reseptif yang terjadi di sfingter ini. Tonus sfinger ini berkurang, relaks, dan memperbolehkan bolus untuk masuk ke gaster. Esofagus menghasilkan sekret berupa mukus yang berguna untuk melumasi bolus selama proses penelanan. Bagian esofagus yang dekat dengan gaster memiliki kelenjar mukus yang khusus untuk melindungi mukosa dari proses perusakan jika sampai terjadi refluks sekret asam dari gaster yang dapat saja mengiritasi mukosa esofagus apabila berhasil melewati mekanisme proteksi sfingter gastroesofageal. 4. Gaster Sesaat setelah bolus tiba di bagian atas gaster (kardia), gaster mengirimkan refleks (refleks vagovagal) untuk menghambat tonus otot lambung sehingga lambung dapat menampung makanan. Mekanisme ini juag merupakan suatu relaksasi reseptif. Selanjutnya muncul gerakan-gerakan peristaltik lemah yang dimulai dari bagian atas lambung dan bergerak ke arah lambung. Sel-sel interstisial Cajal dapat ditemukan di bagian fundus atas gaster yang menghasilkan potensial gelombang lambat. Gelombang ini bergerak dan semakin kuat di bagian akhir lambung mengakibatkan timbulnya potensial aksi berupa gerakan peristaltik yang lebih kuat (bagian antrum memiliki otot yang lebih tebal dibandingkan bagian korpus dan fundus). Sfingter pilori yang masih tertutup menyebabkan gerakan bolus dengan sekret lambung tidak dapat melewati rongga yang sangat kecil ini. Dengan demikian, gerakan peristaltik lambung ini juga dapat bermanfaat sebagai suatu gerakan mengaduk dan mencampur, yang sering disebut dengan gerakan retropulsi, serta lebih dominan terjadi di bagian antrum gaster. Hasil dari pencampuran bolus dengan sekret gaster ini menghasilkan suatu kim (chyme). Sfinger pilori merupakan struktur yang terletak di ujung distal gaster, sebelum terdapat bukaan menuju duodenum. Sfingter pilori beserta dengan bagian akhir gaster dapat disebut dengan istilah pompa pilori yang berperan dalam regulasi pengosongan gaster. Banyaknya kim yang terdapat di gaster akan membuat gaster teregang dan pada akhirnya merangsang gaster untuk meningkatkan motilitas dan pengosongan gaster. Gastrin juga meningkatkan kerja pompa pilori.
11

Meskipun demikian, faktor yang lebih penting justru datang bukan dari gaster, melainkan dari duodenum. Apabila kim yang terdapat di duodenum banyak mengandung lemak, bersifat asam, hipertonik (atau hipotonik), serta mukosa duodenal teriritasi, terjadi respons reflex enterogastrik yang membuat sfingter pilori meningkatkan tonusnya. Selain melalui persarafan, enterogastron, suatu hormon yang salah satunya memiliki efek ke gaster akan menghambat kontraksi antrum dan meningkatkan tonus sfingter pilori. Contoh dari enterogastron adalah GIP (gastric inhibitory peptide), sekretin, kolesistokinin (CCK). CCK dihasilkan oleh mukosa jejenum akibat deteksi terhadap lemak (dan sedikit akibat asam amino) yang memiliki fungsi lain untuk merangsang kantung empedu mengeluarkan isinya. Di sepanjang dinding mukosa gaster terdapat sel-sel pensekresi mukus yang bermanfaat untuk melindungi gaster dari suasana asam gaster. Sekret ini agaknya bersifat agak basa dan melapisi gaster cukup tebal (sekitar 1 mm). Sifat basa ini menjelaskan bahwa sifat asam cairan lambung tidak secara langsung mengiritasi mukosa lambung karena terlindungi oleh sekret mukus ini. Selain itu dapat ditemukan pula kelenjar oksintik (disebut pula kelenjar gastrik) dan kelenjar pilorik (PGA, pyloric gland area). Jumlah sekret dari keselurhan kelenjar di gaster mencapai 2 liter setiap harinya. Sekret yang dihasilkan oleh kelenjar oksintik adalah: Mukus oleh mucous neck cells; Pepsinogen oleh chief cells (peptic cells) - pepsinogen berperan dalam pencernaan protein setelah diaktifkan oleh asam klorida menjadi pepsin; dan Asam klorida serta faktor intrinsik oleh sel parietal (atau sel oksintik). Faktor intrinsik berperan dalam penyerapan vitamin B12 yang bermanfaat untuk proses pematangan sel darah merah. 5. Hepar dan Empedu Hepar terlibat dalam proses pencernaan melalui mekanisme penghasil empedu yang membantu mencerna dan mengabsorpsi zat lemak. Hepatosit (sel hati) menghasillkan empedu dan dialirkan ke kanalikuli biliaris. Beberapa kanalikulus biliaris akan berkumpul ke ductus hepaticus, sebelum bergabung dengan ductus cysticus (yang dimiliki oleh kantung empedu) membentuk ductus biliaris communis. Saluran empedu yang menuju duodenum dikawal oleh otot sfingter lain, yakni sfingter Oddi. Apabila sfingter Oddi tertutup, empedu yang dihasilkan akan dialirkan ke vesica biliaris (fellea) atau kantung empedu yang berada dekat dengan hepar. Oleh karena itu dikatakan bahwa empedu tidak secara langsung dialirkan ke kantung empedu. Kolesistokinin menyebabkan sfinter Oddi terbuka dan mengalirkan isi empedu ke duodenum. Empedu tersusun atas garam empedu, kolesterol, lesitin, bilirubin, dan cairan basa (yang serupa dengan natrium bikarbonat yang disekresi oleh pankreas). Garam empedu merupakan struktur turunan kolesterol yang kemduain direarsoprsi di ileum terminal). Garam empedu dikembalikan ke sistem porta hepatis dan siap digunakan kembali untuk sekresi empedu berikutnya. Garam empedu membantu proses pencernaan lemak melalui sifatnya yang mengemulsi lemak. Jika tidak demikian, enzim lipase hanya dapat mencerna trigliserida di permuksaan saja, padahal molekul trigliserida ini akan membentuk gumpalan yang sangat besar akibat ketidaklarutannya dalam air. Garam empedu membantu penyerapan melalui pembentukan misel. Bersama dengan lesitin, garam empedu membentuk struktur hidrofobik di bagian dalam sementara struktur hidrofilik tampai di bagian luarnya. Oleh karena itu, misel
12

merupakan struktur larut air yang dapat menyelubungi emulsi lemak yang tidak larut air dan vitamin larut lemak. C. Sindroma Dyspepsia 1. Definisi Istilah dyspepsia menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar didada. Secara garis besar, penyebab sindrom dyspepsia ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok penyakit organic (seperti tukak peptic, gastritis, batu kandung empedu, dan lain-lain), dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostic yang konvensional atau baku (radiologi, endoskopi, dan laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis structural atau biokimiawi. Atau sebagai kata lain, kelompok ini disebut gangguan fungsional. 2. Klasifikasi a. Dispepsia Organik Dispepsia organik adalah Dispepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Dispepsia organik dapat digolongkan menjadi : 1) Dispepsia Tukak Keluhan penderita yang sering diajukan ialah rasa nyeri ulu hati. Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat menentukan adanya tukak di lambung atau duodenum. 2) Refluks Gastroesofageal Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal, yaitu rasa panas di dada dan regurgitasi asam terutama setelah makan. 3) Ulkus Peptik Ulkus peptik dapat terjadi di esophagus, lambung, duodenum atau pada divertikulum meckel ileum. Ulkus peptikum timbul akibat kerja getah lambung yang asam terhadap epitel yang rentan. Penyebab yang tepat masih belum dapat dipastikan. 4) Penyakit Saluran Empedu Sindroma dispepsia ini biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke punggung dan bahu kanan. 5) Karsinoma Karsinoma dari saluran makan (esophagus, lambung, pancreas dan kolon) sering menimbulkan keluhan sindrom dispepsia. Keluhan yang sering diajukan yaitu rasa nyeri perut. Keluhan bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia dan berat badan menurun.
13

6) Pankreatitis Rasa nyeri timbul mendadak yang menjalar ke punggung. Perut terasa makin tegang dan kembung. 7) Dispepsia pada sindrom malabsorbsi Pada penderita ini di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea, sering flatus, kembung, keluhan utama lainnya ialah timbulnya diare yang berlendir. 8) Dispepsia akibat obat-obatan Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual dan muntah, misalnya obat golongan NSAIDs, teofilin, digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin, eritromisin dan lain-lain). 9) Gangguan Metabolisme Diabetes Mellitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan lambung yang lambat sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas kenyang. Hipertiroid mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan vomitus, sedangkan hipotiroid menyebabkan timbulnya hipomotilitas lambung. b. Dyspepsia fungsional Dispepsia fungsional dapat dijelaskan sebagai keluhan dispepsia yang telah berlangsung dalam beberapa minggu tanpa didapatkan kelainan atau gangguan struktural/organik/metabolik berdasarkan pemeriksaan klinik, laboratorium, radiology dan endoskopi. Dalam consensus roma III yang khusus membicarakan kelainan gastrointestinal fungsional, dyspepsia fungsional didefinisikan sebagai 1) Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan,cepat kenyang, nyeri ulu hati/epigastrik, rasa terbakar di epigastrium 2) Tidak ada bukti kelainan structural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut 3) Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan Dispepsia fungsional dibagi menjadi 3 kelompok yaitu : a) Dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like dyspepsia) dimaana yang lebih dominan adalah nyeri epigastrik b) Dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas (dismotility like dyspepsia) dimana yang lebih dominan adalah keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang c) Dispepsia fungsional tipe non-spesifik dimana tidak ada keluhan yang dominan 3. Etiologi a. Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster/duodenum, gastritis, tumor, infeksi helicobacter pylori.
14

b. Obat-obatan: anti inflamasi non steroid (oains), aspirin, beberapa jenis antibiotik, digitalis, tiofolin dll. c. Penyakit pada hati, pankreas, sistem bilier: hepatitis, pancreatitis, kolestisis kronik. d. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, panyakit jantung koroner e. Bersifat fungsional : yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan/gangguan organik/structural biokimia. Dikenal sebagai dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus. 4. Manifestasi Klinis Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/kualitasnya pada setiap pasien, maka disarankan untuk mengklasifikasikan dispepsia fungsional menjadi beberapa subgrup berdasarkan pada keluhan yang paling mencolok / dominan. a. Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus ( ulcer like dyspepsia). b. Bila kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering ditemukan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas (dismotility like dyspepsia). c. Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non-spesifik. 5. Patofisiologi Proses patofisiologis yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral. a. Sekresi asam lambung Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempnyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak diperut. b. Helicobacter pylori (Hp). Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepnuhnya dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan, kekerapan Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda makna dengan angka kekerapan Helicobacter pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional dengan Helicobacter pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku. c. Dismotilitas Gastrointestinal Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan pngosongan lambung dan adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), tetapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung tidak dapat mutlak mewakili hal tersebut. Pada kasus dyspepsia fungsional yang mengalami perlambatan pengosongan lambung berkolerasi dengan keluhan mual, muntah dan rasa penuh di ulu hati. Sedangkan
15

kasus dengan hipersensitivitas terhadap distensi lambung biasanya mengeluh nyeri, sendawa, dan adanya penurunan berat badan. Pada gangguan akomodasi lambung dalam waktu makan menimbulkan perasaan cepat kenyang. Pada waktu normal, saat makanan masuk pada lambung terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa peningkatan tekanan dalam lambung. Dilaporkan bahwa pada penderita dyspepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus. Konsep ini yang mendasari pembagian subgroup dyspepsia fungsional menjadi; tipe dismotilitas, tipe seperti ulkus, dan tipe campuran. d. Ambang rasa persepsi Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi, tampak kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Bagaimana mekanismenya, masih belum dipahami. Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik mendapatkan hasil pada 50% populasi dengan dispepsia fungsional sudah timbul nyeri atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol. e. Disfungsi autonom Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. f. Aktivitas mioelektrik lambung Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi hal ini bersifat inkonsisten. g. Hormonal Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal. h. Diet dan faktor lingkungan Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol. i. Psikologis Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Korelasi antara faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini dibandingkan kelompok kontrol, walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia fungsional. 6. Pemeriksaan
16

Berbagai macam penyakit dapat menimbulkan keluhan yang sama, seperti halnya pada sindrom dispepsia, oleh karena dispepsia hanya merupakan kumpulan gejala dan penyakit disaluran pencernaan, maka perlu dipastikan penyakitnya. Untuk memastikan penyakitnya, maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan, selain pengamatan jasmani, juga perlu diperiksa : laboratorium, radiologis, endoskopi, USG, dan lain-lain. a. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan penyebab organik lainnya seperti: pankreatitis kronik, diabets mellitus, dan lainnya. Pada dispepsia fungsional biasanya hasil laboratorium dalam batas normal. b. Radiologis Pemeriksaan radiologis banyak menunjang dignosis suatu penyakit di saluran cerna. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran cerna bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda. c. Endoskopi (Esofago-Gastro-Duodenoskopi) Sesuai dengan definisi bahwa pada dispepsia fungsional, gambaran endoskopinya normal atau sangat tidak spesifik. d. USG (ultrasonografi) Merupakan diagnostik yang tidak invasif, akhir-akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit, apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan pada kondisi klien yang beratpun dapat dimanfaatkan e. Waktu Pengosongan Lambung Dapat dilakukan dengan scintigafi atau dengan pellet radioopak. Pada dispepsia fungsional terdapat pengosongan lambung pada 30 40 % kasus. 7. Penatalaksanaan a. Penanganan Farmakologik: 1) Obat golongan penekan asam lambung (antasida, H2 blocker, dan proton pump inhibitor) 2) Obat golongan sitoproteksi : sukralfat,rebamipid 3) Antibiotika : infeksi Helicobacter pylori (amoksisilin, Claritromisin, dan metronidazol) b. Penanganan non-farmakologik: 1) modifikasi gaya hidup & menghindari obat penyebab ulcer (aspirin & NSAIDs lain, bisphosphonat oral, KCl, pengobatan imunosupresan) 2) Menghindari stress 3) Stop merokok & alkohol 4) Stop kafein (stimulan asam lambung) 5) Menghindari makanan dan minuman soda 6) Menghindari makan malam D. GERD (Gastroesofagheal Reflux Disease) 1. Definisi
17

Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) adalah suatu keadaan patologis yang biasanya ditandai dengan atau tanpa kelainan mukosa esofagus, sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus. 2. Etiologi Refluks Gastroesofageal pada pasien GERD dapat terjadi melalui 3 mekanisme utama, yaitu : a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES (Lower Esofagus Sphincter) yang tidak adekuat. b. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan. c. Meningkatnya tekanan intra abdomen. 3. Manifestasi Klinik Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri / rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya di dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn). Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan pada serangan angina pectoris. Namun, heartburn pada GERD kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (sulit menelan makanan). Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena struktur atau keganasan yang berkembang dari barrets esofagus. Odinofagia juga bisa timbul yaitu rasa sakit waktu menelan makanan, gejala ini juga dapat timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat. Peradangan pada esofagus atau esofagitis, bisa menyebabkan perdarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah dapat dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan bagian bawah yang menghasilkan kotoran atau feses berwarna hitam gelap yang biasa dikenal sebagai melena. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofagheal apabila : a. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esophagus. b. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama. GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstraesofageal yang atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non kardiak (non-cardiac chest pain.NCCP), suara serak, laringitis, dan batuk. Batuk adalah gejala pernapasan umum yang muncul akibat aspirasi dari isi lambung ke dalam tracheobronchial atau dari refleks vagal yang mengakibatkan bronchokonstriksi. Gejala GERD biasanya perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau keadaan yang dapat mengancam nyawa pasien. 4. Diagnosis Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama yang menunjukkan manifestasi klinis dari GERD yang telah disebutkan diatas. Selain itu beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan antara lain: endoskopi Saluran cerna
18

bagian atas, esofagografi dengan barium, pemantauan pH 24 jam, manometri esofagus dan tes penghambat pompa proton (PPI Test/ Test Supresi Asam). 5. Pemeriksaan Penunjang Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus. Serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive Reflux disease (NERD). Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasi bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD. Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrets esofagus, displasia atau keganasan. Terdapat beberapa klasifikasi esofagitis pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas apada pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles, yaitu: Derajat Kerusakan Gambaran Endoskopi Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan A diameter < 5 mm Erosi pada mukosa/ lipatan mukosa dengan B diameter > 5 mm tanpa saling berhubungan Lesi yang konfluen tetapi tidak C mengenai/mengelilingi seluruh lumen Lesi mukosa esofagus yang bersifat D sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen esofagus) Esofagografi dengan Barium. Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambaran radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Walaupun pada pemeriksaan ini sangat tidak sensitif untuk diagnosis GERD namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada pasien disfagia, gangguan motilitas seperti spasme esofagus difus dan akalasia tampak lebih jelas pada pemeriksaan radiologi. Pemantauan pH 24 jam. Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal. Manometri Esofagus. Test manometri akan memberikan manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi dan endoskopi yang normal. Tes Penghambat Pompa Proton (PPI Test/ Test Supresi Asam). Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari GERD dengan memberikan PPI dosis
19

tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respons yang terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostikseperti endoskopi, pHmetri dan lain lain. Test ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50% - 75% gejala yang terjadi. Pada saat ini, terapi empirik/PPI test merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan untuk pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala alarm, yaitu BB turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker esofagus dan umur > 40 tahun. 6. Penatalaksanaan Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun Barret esofagus yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya penyakit ini mendapatkan penatalaksanaan yang adekuat. Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esofagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi. Dan pada prinsipnya penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah, serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. Modifikasi gaya hidup. Merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD. Namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks, serta mencegah kekambuhan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut : a. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus. b. Berhenti merokok dan dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mengurangi sel-sel epitel. c. Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung. d. Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen. e. Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam. f. Jika memungkinkan menghindari obat-obatan yang dapat menurunkan tonus LES, seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist beta adrenergik, dan progesteron. Terapi Medikamentosa. Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obatan yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam lambung (antagonis reseptor H2 atau golongan prokinetik), bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat (penghambat pompa proton/PPI) dengan masa terapi yang lebih lama. Sedangkan pada pendekatan step downpengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan atasida. Namun, menurut Genval
20

statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati nahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down. Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi bila perlu (on demand therapy). Yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang. Pada berbagai penelitiaan terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitis).Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD. Berikut ini adalah obat-obatan yang digunakan dalam terapi medikamentosa GERD : Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter gastroesofagus bagian bawah. Kelemahan golongan obat ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama antasid yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, serta penggunannya sangat terbatas pada apasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis : sehari 4 x 1 sendok makan. Antagonis Reseptor H2. Yang termasuk golongan obat ini adalah simetidine, ranitidine, famotidine, nizatidine. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis pemberian : Simetidine 2 x 800 mg, Ranitidine 4 x 150 mg, Famotidine 2 x 20 mg, Nizatidine 2 x 150 mg. Obat-obatan Prokinetik. Secara teoritis obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini dianggap lebig condong ke arah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada penekanan sekresi asam. Beberapa contoh obat-obatan pro kinetik : Metoklopramid, bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin. Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapt tumbuh efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor. Dosis 3x 10 mg Domperidon. Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamin dengan efek samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalu sawar darah otak. Golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung. Dosis 3 x 10 20 mg sehari. Cisapride. Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan lambunng serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektifitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esofagus lebih baik dibandingkan domperidon. Dosis 3 x 10 mg sehari. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat) . Berbeda dengan antasida dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat
21

ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan opat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi). Dosis 4 x 1 gram Penghambat Pompa Proton (PPI/Proton Pumb Inhibitor). Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat ini bekerja secara langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, KATPase yang dianggap tahap akhir sebagai proses pembentukan asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosif derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonist reseptor H2. Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu: Omeprazole 2 x 20 mg, Lansoprazole 2 x 30 mg, Pantoprazole 2 x 40 mg, Rebeprazole 2 x 10 mg, Esomeprazole 2 x 40 mg. Umumnya pengobatan diberikan selama 6 8 minggu (terapi inisial) yangdapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on demand therapy tergantung dari derajat esofagitisnya. 7. Komplikasi Komplikasi yang paling sering terjadi adalah striktur atau perdarahan. Sebagai dampak adanya rangsangan kronik asam lambung terhadap mukosa esofagus, dapat terjadi perubahan mukosa esofagus dari skuamosa menjadi epitel kolumnar yang metaplastik. Keadaan ini disebut sebagai Barrets Esofagus dan merupakan suatu keadaan premaligna. Barret Esofagus dapat di obati secara medika mentosa, Berikut ini adalah algoritme penatalaksanaan Barret Esofagus pada pasien GERD : Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi medikamentosa gagal, atau pada pasien GERD dengan striktur berulang. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah fundoaplikasi. Terapi Endoskopik. Akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu : a. Penggunaan energi radiofrekuensi b. Plikasi gastrik endoluminal c. Implantasi endoskopik, yaitu dengan menyuntikkan zat implan, dibawah mukosa esofagus bagian distal, sehingga lumen esofagus bagian distal menjadi lebih kecil. 8. Prognosis Prognosis dari GERD pada umumnya tergantung dari kondisi pasien, berat ringannya penyakit yang dialami dan ada tidaknya komplikasi. E. Ulkus Peptikum 1. Definisi Ulkus Peptikum adalah suatu luka terbuka yang berbentuk bundar atau oval pada lapisan lambung atau usus dua belas jari (duodenum). Ulkus pada lambung disebut ulkus gastrikum, sedangkan ulkus pada usus duabelas jari disebut ulkus duodenalis. Tukak lambung/gastric ulcer/maag merupakan luka/ulkus yang terjadi pada lambung yang diakibatkan oleh karena gangguan keseimbangan asam-basa pada lambung dimana terjadi peningkatan keasaman lambung dan atau penurunan daya tahan/proteksi jaringan lambung.
22

Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali dianggap juga sebagai tukak.(misalnya tukak karena stress). Tukak kronik berbeda denga tukak akut, karena memiliki jaringan parut pada dasar tukak. Menurut definisi, tukak peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal, juga jejunum. Walaupun aktivitas pencernaan peptic oleh getah lambung merupakan faktor etiologi yang penting, terdapat bukti bahwa ini hanya merupakan salah satu faktor dari banyak faktor yang berperan dalam patogenesis tukak peptik. 2. Etiologi Ulkus peptikum bisa disebabkan oleh bakteri (misalnya Helicobacter pylori) atau obat-obatan yang menyebabkan melemahnya lapisan lendir pelindung lambung dan duodenum sehingga asam lambung bisa menembus lapisan yang sensitif di bawahnya. Asam lambung dan bakteri dapat mengiritasi lapisan lambung dan duodenum serta menyebabkan terbentuknya ulkus. Helicobacter pylori biasanya ditularkan pada masa kanak-kanak, bisa melalui makanan, air atau kontak dengan penderita infeksi H. pylori. Penyakit menular ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa yang berumur lebih dari 60 tahun dan juga lebih sering ditemukan di negara-negara berkembang. Sebagian besar orang yang memiliki H. pylori baru menunjukkan gejala-gejala setelah mencapai usia lanjut, mereka bahkan tidak menyadari bahwa mereka memiliki bakteri tersebut. Meskipun H.pylori biasanya tidak menimbulkan masalah pada masa kanak-kanak, tetapi jika tidak diobati bisa menyebabkan gastritis, ulkus peptikum dan bahkan kanker lambung. Para ahli sepakat bahwa penyebab utama dari ulkus peptikum pada orang dewasa adalah bakteri Helicobacter pylori, tetapi tidak semua ahli berpendapat bahwa penyebab utama dari ulkus pada masa kanak-kanak adalah bakteri tersebut. Beberapa ahli mengemukakan perbedaan antara ulkus duodenalis dan ulkus gastrikum; ulkus duodenalis biasanya disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori, sedangkan ulkus gastrikum memiliki penyebab yang lain. 50% dari kasus disebabkan oleh Helicobacter pylori dan sisanya memiliki penyebab yang tidak diketahui secara pasti. Yang pasti, ulkus peptikum jarang ditemukan pada anak-anak yang sehat. Pada beberapa kasus, penyebabnya adalah pemakaian obat. Pemakaian NSAIDs (nonsteroid anti inflammatory drugs, obat anti peradangan non-steroid) dosis menengah bisa menyebabkan kelainan saluran pencernaan dan perdarahan pada beberapa anak. Acetaminophen tidak menyebabkan ulkus gastrikum dan merupakan pilihan NSAIDs yang baik bagi anak-anak. Diketahui bahwa ulkus peptik terjadi hanya pada area saluran GI yang terpajan pada asam hidrochlorida dan pepsin. Penyakit ini terjadi dengan frekuensi paling besar pada individu antara usia 40 dan 60 tahun. Tetapi, relatif jarang pada wanita menyusui, meskipun ini telah diobservasi pada anak-anak dan bahkan pada bayi. Pria terkenal lebih sering daripada wanita, tapi terdapat beberapa bukti bahwa insiden pada wanita hampir sama dengan pria. Setelah menopause, insiden ulkus peptikum pada wanita hampir sama dengan pria. Ulkus peptikum pada korpus lambung dapat terjadi tanpa sekresi asam berlebihan.
23

Upaya masih dilakukan untuk menghilangkan kepribadian ulkus. Beberapa pendapat mengatakan stress atau marah yang tidak diekspresikan adalah faktor predisposisi. Ulkus nampak terjadi pada orang yang cenderung emosional, tetapi apakah ini faktor pemberat kondisi, masih tidak pasti. Kecenderungan keluarga yang juga tampak sebagai faktor predisposisi signifikan. Hubungan herediter selanjutnya ditemukan pada individu dengan golongan darah O lebih rentan daripada individu dengan golongan darah A, B, atau AB. Faktor predisposisi lain yang juga dihubungkan dengan ulkus peptikum mencakup penggunaan kronis obat antiinflamasi non steroid (NSAID). Minum alkohol dan merokok berlebihan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ulkus lambung dapat dihubungkan dengan infeksi bakteri dengan agens seperti H. Pylori. Adanya bakteri ini meningkat sesuai dengan usia. Ulkus karena jumlah hormon gastrin yang berlebihan, yang diproduksi oleh tumor (gastrinomas-sindrom zolinger-ellison) jarang terjadi. Ulkus stress dapat terjadi pada pasien yang terpajan kondisi penuh stress. 3. Patofisiologi Ulkus peptikum terjadi pada mukosa yang menghasilkan alkali, biasanya pada atau di dekat curvatura minor, karena jaringan ini tidak dapat menahan kerja asam lambung pencernaan (asam hidrochlorida dan pepsin). Erosi yang terjadi berkaitan dengan peningkatan konsentrasi dan kerja asam peptin, atau berkenaan dengan penurunan pertahanan normal dari mukosa. Mukosa yang rusak tidak dapat mensekresi mukus yang cukup bertindak sebagai barier terhadap asam klorida. Sekresi lambung terjadi pada 3 fase yang serupa : a. Fase Sefalik. Fase pertama ini dimulai dengan rangsangan seperti pandangan, bau atau rasa makanan yang bekerja pada reseptor kortikal serebral yang pada gilirannya merangsang saraf vagal. Intinya, makanan yang tidak menimbulkan nafsu makan menimbulkan sedikit efek pada sekresi lambung. Inilah yang menyebabkan makanan sering secara konvensional diberikan pada pasien dengan ulkus peptikum. Saat ini banyak ahli gastroenterology menyetujui bahwa diet saring mempunyai efek signifikan pada keasaman lambung atau penyembuhan ulkus. Namun, aktivitas vagal berlebihan selama malam hari saat lambung kosong adalah iritan yang signifikan. b. Fase lambung. Pada fase ini asam lambung dilepaskan sebagai akibat dari rangsangan kimiawi dan mekanis terhadap reseptor dibanding lambung. Refleks vagal menyebabkan sekresi asam sebagai respon terhadap distensi lambung oleh makanan. c. Fase usus Makanan dalam usus halus menyebabkan pelepasan hormon(dianggap menjadi gastrin) yang pada waktunya akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia, sekresi lambung adalah campuran mukokolisakarida dan mukoprotein yang disekresikan secara kontinyu melalui kelenjar mukosa. Mucus ini mengabsorpsi pepsin dan melindungi mukosa terhadap asam. Asam hidroklorida disekresikan secara kontinyu, tetapi sekresi meningkat karena mekanisme neurogenik dan hormonal yang dimulai dari rangsangan lambung dan usus. Bila asam hidroklorida tidak dibuffer dan tidak dinetralisasi dan bila lapisan luar mukosa tidak memberikan perlindungan asam hidroklorida bersama dengan pepsin akan merusak lambung.
24

Asam hidroklorida kontak hanya dengan sebagian kecil permukaan lambung. Kemudian menyebar ke dalamnya dengan lambat. Mukosa yang tidak dapat dimasuki disebut barier mukosa lambung. Barier ini adalah pertahanan untama lambung terhadap pencernaan yang dilakukan oleh sekresi lambung itu sendiri. Faktor lain yang mempengaruhi pertahanan adalah suplai darah, keseimbangan asam basa, integritas sel mukosa, dan regenerasi epitel. Oleh karena itu, seseorang mungkin mengalami ulkus peptikum karena satu dari dua faktor ini: Hipersekresi asam pepsin dan Kelemahan barier mukosa lambung. Apapun yang menurunkan yang mukosa lambung atau yang merusak mukosa lambung adalah ulserogenik, salisilat dan obat antiinflamasi non steroid lain, alkohol, dan obat antiinflamasi masuk dalam kategori ini. Sindrom Zollinger-Ellison (gastrinoma) dicurigai bila pasien datang dengan ulkus peptikum berat atau ulkus yang tidak sembuh dengan terapi medis standar. Sindrom ini diidentifikasi melalui temuan berikut : hipersekresi getah lambung, ulkus duodenal, dan gastrinoma(tumor sel istel) dalam pancreas. 90% tumor ditemukan dalam gastric triangle yang mengenai kista dan duktus koledokus, bagian kedua dan tiga dari duodenum, dan leher korpus pancreas. Kira-kira dari gastrinoma adalah ganas(maligna). Diare dan stiatore (lemak yang tidak diserap dalam feces) dapat ditemui. Pasien ini dapat mengalami adenoma paratiroid koeksisten atau hyperplasia, dan karenanya dapat menunjukkan tanda hiperkalsemia. Keluhan pasien paling utama adalah nyeri epigastrik. Ulkus stress adalah istilah yang diberikan pada ulserasi mukosa akut dari duodenal atau area lambung yang terjadi setelah kejadian penuh stress secara fisiologis. Kondisi stress seperti luka bakar, syok, sepsis berat, dan trauma dengan organ multiple dapat menimbulkan ulkus stress. Endoskopi fiberoptik dalam 24 jam setelah cedera menunjukkan erosi dangkal pada lambung, setelah 72 jam, erosi lambung multiple terlihat. Bila kondisi stress berlanjut ulkus meluas. Bila pasien sembuh, lesi sebaliknya. Pola ini khas pada ulserasi stress. Pendapat lain yang berbeda adalah penyebab lain dari ulserasi mukosa. Biasanya ulserasi mukosa dengan syok ini menimbulkan penurunan aliran darah mukosa lambung. Selain itu jumlah besar pepsin dilepaskan. Kombinasi iskemia, asam dan pepsin menciptakan suasana ideal untuk menghasilkan ulserasi. Ulkus stress harus dibedakan dari ulkus cushing dan ulkus curling, yaitu dua tipe lain dari ulkus lambung. Ulkus cushing umum terjadi pada pasien dengan trauma otak. Ulkus ini dapat terjadi pada esophagus, lambung, atau duodenum, dan biasanya lebih dalam dan lebih penetrasi daripada ulkus stress. Ulkus curling sering terlihat kira-kira 72 jam setelah luka bakar luas. Pada kasus tukak lambung yang parah maka ulkus/lukanya dapat berdarah sehingga mengalir melalui saluran pencernaan dan dapat menyebabkan muntah bercampur darah yang berwarna coklat seperti kopi dan feses berwarna kehitaman karena bercampur darah. Tukak yang kronis menginvasi tunica muscularis, dan nantinya mengenai peritoneum sehingga gaster dapat mengalami perforasi sampai ke dalam bursa omentalis atau mengalami perlekatan pada pankreas. Erosi pancreas menghasilkan nyeri alih ke punggung. Arteri lienalis berjalan pada sepanjang margo superior pancreas, dan erosi arteria ini dapat menimbulkan perdarahan yang mengancam jiwa. Tukak yang menembus dinding anterior gaster dapat mengakibatkan isi gaster keluar ke dalam cavitas peritonealis dan menimbulkan peritonitis difusa. Namun, paries anterior gaster dapat melekat pada hepar, dan
25

ulkus kronis dapat meluas sampai ke jaringan hepar. Apabila hal ini terjadi diperlukan perawatan dokter untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. 4. Gejala klinis Pada bayi baru lahir, gejala awal dari ulkus peptikum bisa berupa adanya darah di dalam tinja. Jika ulkus menyebabkan terbentuknya lubang (perforasi) pada lambung atau usus halus, bayi bisa tampak kesakitan dan cenderung timbul demam. Pada bayi yang lebih tua dan anak kecil, selain di dalam tinjanya ditemukan darah, juga disertai muntah atau nyeri perut berulang. Nyeri seringkali semakin memburuk atau membaik jika anak makan. Nyeri juga menyebabkan anak terbangun dari tidurnya pada malam hari.Gejala-gejala ulkus dapat hilang selama beberapa hari, minggu, atau beberapa bulan dan bahkan dapat hilang hanya sampai terlihat kembali, sering tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi. Banyak individu mengalami gejala ulkus, dan 20-30% mengalami perforasi atau hemoragi yang tanpa adanya manifestasi yang mendahului. a. Nyeri Biasanya pasien dengan ulkus mengeluh nyeri tumpul, sepert tertusuk atau sensasi terbakar di epigastrium tengah atau di punggung. Hal ini diyakini bahwa nyeri terjadi bila kandungan asam lambung dan duodenum meningkat menimbulkan erosi dan merangsang ujung saraf yang terpajan. Teori lain menunjukkan bahwa kontak lesi dengan asam merangsang mekanisme refleks local yang mamulai kontraksi otot halus sekitarnya. Nyeri biasanya hilang dengan makan, karena makan menetralisasi asam atau dengan menggunakan alkali, namun bila lambung telah kosong atau alkali tidak digunakan nyeri kembali timbul. Nyeri tekan lokal yang tajam dapat dihilangkan dengan memberikan tekanan lembut pada epigastrium atau sedikit di sebelah kanan garis tengah. Beberapa gejala menurun dengan memberikan tekanan local pada epigastrium. b. Pirosis (nyeri uluhati) Beberapa pasien mengalami sensasi luka bakar pada esophagus dan lambung, yang naik ke mulut, kadang-kadang disertai eruktasi asam. Eruktasi atau sendawa umum terjadi bila lambung pasien kosong. c. Muntah Meskipun jarang pada ulkus duodenal tak terkomplikasi, muntah dapat menjadi gejala ulkus peptikum. Hal ini dihubungkan dengan pembentukan jaringan parut atau pembengkakan akut dari membran mukosa yang mengalami inflamasi di sekitarnya pada ulkus akut. Muntah dapat terjadi atau tanpa didahului oleh mual, biasanya setelah nyeri berat yang dihilangkan dengan ejeksi kandungan asam lambung. d. Konstipasi dan perdarahan Konstipasi dapat terjadi pada pasien ulkus, kemungkinan sebagai akibat dari diet dan obat-obatan. Pasien dapat juga datang dengan perdarahan gastrointestinal sebagian kecil pasien yang mengalami akibat ulkus akut sebelumnya tidak mengalami keluhan, tetapi mereka menunjukkan gejala setelahnya. 5. Evaluasi diagnostik Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya nyeri, nyeri tekan epigastrik atau distensi abdominal. Bising usus mungkin tidak ada. Pemeriksaan dengan barium terhadap
26

saluran GI atas dapat menunjukkan adanya ulkus, namun endoskopi adalah prosedur diagnostic pilihan. Endoskopi GI atas digunakan untuk mengidentifikasi perubahan inflamasi, ulkus dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara langsung dilihat dan biopsy didapatkan. Endoskopi telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat melalui pemeriksaan sinar X karena ukuran atau lokasinya. Feces dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah negatif terhadap darah samar. Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan dalam mendiagnosis aklorhidria(tidak terdapat asam hdroklorida dalam getah lambung) dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang hilang dengan makanan atau antasida, dan tidak adanya nyeri yang timbul juga mengidentifikasikan adanya ulkus. Adanya Helicobacter Pylory dapat ditentukan dengan biopsy dan histology melalui kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus. Ada juga tes pernafasan yang mendeteksi Helicobacter Pylori, serta tes serologis terhadap antibody pada antigen Helicobacter Pylori. Selain pemeriksaan fisik dapat pula dilakukan pemeriksaan endoskopi gastrointestinal serat optik. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara penderita dipuasakan sejak jam 12.00 malam dan pada saat akan dilakukan pemeriksaan diberikan sulfas atropin 0,5 mg dan 20 mg Buscopan secara intramuskuler serta anestesi lokal pada orofaring. Alat endoskopi yang dapat dipergunakan adalah Olympus CIF P2 atau GIF Q dengan cold-light source. Penilaian terhadap varises esofagus berdacarkan warna (colour), tanda wama merah (red colour sign), bentuk (form) dan lokasi varises. Diagnosis endoskopis : gastritis, bila ditemukan mukosa lambung hiperemis; "bile reflux gastritis" bila terdapat cairan empedu pada lambung yang berasal dari duodenum; gastritis kronis bila terdapat mukosa lambung hipertrofi/atrofi disertai bercak-bercak hiperemis; esofagitis bila mukosa esofagus mengalami hiperemis. 6. Pencegahan Beberapa metode dapat digunakan untuk mengontrol keasaman lambung termasuk perubahan gaya hidup (Penurunan stress dan istirahat, Penghentian merokok, dan Modifikasi diet), obat-obatan, dan tindakan pembedahan. Jika penyebabnya adalah NSAIDs, sebaiknya hindari pemakaian NSAIDs, termasuk setiap obat yang mengandung ibuprofen maupun aspirin. Jika tidak ada makanan tertentu yang diduga menjadi penyebab maupun pemicu terjadinya ulkus, biasanya tidak dianjurkan untuk membatasi pemberian makanan kepada anak-anak yang menderita ulkus. Makanan yang bergizi dengan berbagai variasi makanan adalah penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Alkohol dan merokok dapat memicu terbentuknya ulkus. Selain itu, kopi, teh, soda dan makanan yang mengandung kafein dapat merangsang pelepasan asam lambung dan memicu terbentuknya ulkus, jadi sebaiknya makanan tersebut tidak diberikan kepada anak-anak yang menderita ulkus. Langkah-langkah perawatan yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi tukak lambung antara lain: a. Istirahat yang cukup sampai gejala mereda hindari stres, tekanan emosional, dan kerja berat jangan sampai terlambat makan dan jangan makan yang berlebihan jangan biarkan lambung kosong, makan sedikit-sedikit dengan jenjang waktu yang sering.
27

b. Konsumsi makanan yang ringan dan lunak c. Hindari makanan yang pedas, asam, keras, dan lain-lain yang dapat memperparah radang lambung seperti alkohol, kopi, buah yang mentah dan masam, nangka, durian, salak. d. Hindari merokok karena rokok dapat mengiritasi dinding lambung dan duodenum. e. Hindari obat-obatan yang mengandung aspirin. f. Usahakan buang air besar secara teratur. Untuk menurunkan asam lambung yang berlebihan yang dapat mengiritasi lambung biasanya minum obat antasida. Obatobatan bersifat antasid yang banyak dijual bebas di warung berfungsi menurunkan keasaman cairan di lambung dengan cara menaikan pH, sehingga untuk sementara gejala sakit akan hilang. Namun hal tersebut hanya bersifat sementara karena luka pada lambung belum pulih dan sekresi kelenjar-kelenjar lambung belum seimbang. g. Dengan perawatan yang baik dan memperhatikan pola hidup dan pola makan yang sesuai, kebanyakan tukak lambung dapat sembuh sama sekali. Namun seringkali meninggalkan bekas jaringan parut yang dapat robek dan terjadi ulkus/luka kembali sehingga serangan dapat berulang kembali. h. Tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk mengatasi tukak lambung berfungsi untuk mengurangi peradangan dan infeksi, memperkuat dinding mukosa lambung, mengurangi kepekaan dinding lambung, dan memperbaiki fungsi pencernaan secara umum. 7. Pengobatan Tujuan pengobatan ulkus peptikum adalah: Menghilangkan rasa nyeri dan menyembuhkan ulkus serta Mencegah kambuhnya ulkus dan mencegah terjadinya komplikasi. Apabila tidak terdapat komplikasi dapat dilakukan terapi sebagai berikut: a. Suportif: nutrisi b. Memperbaiki / menghindari faktor risiko c. Pemberian obat-obatan : antasida, antagonis reseptor M2. proton pump inhibitor, pemberian obat-obatan untuk mengikat asam empedu. prokinetik. pemberian obat untuk eradikasi kuman Helicobacter pylori. d. Pemberian obat-obatan untuk meningkatakan faktor defensif. Berdasarkan patofisiologinya, terapi farmakologik ulkus peptikum ditujukan untuk menekan faktor-faktor agresif dan/ atau memperkuat faktor-faktor defensif. Sampai saat ini peng-obatan ditujukan untuk mengurangi asam lambung, yakni dengan cara menetralkannyadengan antasida atau mengurangi sekresinya dengan obat-obat antisekresi yakni : a. H2bloker : simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin. b. Muskarinik bloker : pirenzepin. c. Penghambat pompa proton (H+/K+ ATPase) : omeprazol. dan dalam kelompok obat-obat ini H2bloker pada saat ini merupakan obat standar karena efektivitas, keamanan dan kepraktisan penggunaannya dalam terapi jangka panjang untuk mencegah kambuhnya ulkus. Akhir-akhir ini, pengobatan ulkus peptikum mulai dituju-kan untuk memperkuat mekanisme defensif mukosa lambung duodenum, yakni dengan obat-obat sitoproteksi. Obat
28

sitoproteksi bermula dari prostaglandin didefinisikan sebagai obat yang dapat mencegah atau mengurangi kerusakan mukosa lam-bung atau duodenum oleh berbagai zat ulserogenik atau zat penyebab nekrosis, tanpa menghambat sekresi atau menetralkan asam lambung. Ada 2 kelompok obat sitoproteksi yakni : a. Analog prostaglandin obat sitoproteksi dengan anti sekresi, yakni misoprostol, enprostil dan rioprostil, dan b. Non-prostaglandin (obat sitoproteksi dengan proteksi lokal), yakni sukralfat, bismuth koloidal dan setraksat. Untuk terapi jangka pendek menyembuhkan ulkus, hanya sukralfat, bismuth koloidaldan rioprostil yang sebanding dengan H2bloker (sukralfat juga sebanding keamanannya), tetapi sukralfat dan bismuth tidak praktis penggunaannya. Obat-obat sitoproteksi mempunyai keuntungan dibandingkan dengan H2bloker, yakni memberi masa remisi yang lebih panjang (kelompok PG belum jelas) dan angka kesembuhan serta angka kekambuhan yang tidak dipengaruhi oleh merokok (setraksat belum jelas). Kedua efek ini dikaitkan dengan sifat sitoproteksi (untuk bismuth koloidal dihubungkan juga dengan sifat bakterisidalnya terhadap Campylobacter pylori. Efek lain yang juga dikaitkan dengan sitoproteksi adalah efektivitas misoprostol, setraksat dan sukralfat untuk mengurangi kerusakan mukosa saluran cerna, terutama lambung, akibat pemberian kronik NSAID. Untuk terapi jangka panjang mencegah kambuhnya ulkus, sukralfat dan setraksat sudah mapan penggunaannya. Garam bismuth tidak boleh dipergunakan karena toksisitasnya, sedangkan kelompok PG tampaknya tidak dianjurkan. Analog PG yang ada sekarang pada umumnya inferior dibanding H2bloker untuk terapi jangka pendek menyembuhkan ulkus, baik efektivitas (kecuali rioprostil) maupun efek sam-pingnya; tetapi penyembuhan ulkus duodenum oleh analog PG tampaknya tidak dipengaruhi oleh merokok. Efek obat-obat ini pada masa remisi masih belum jelas. Sedangkan untuk terapi jangka panjang, tampaknya analog PG tidak dapat dianjurkan. Tetapi analog PG efektif untuk mencegah/mengurangi kerusakan mukosa lambung oleh NSAID. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: a. Efek sitoproteksi saja, tanpa adanya efek lain, tidak cukup untuk menyembuhkan ulkus. b. Efek sitoproteksi dapat memperpanjang masa remisi ulkus, tetapi untuk analog PG masih belum jelas. c. Efek sitoproteksi berguna bagi perokok, karena efek ini bisa mengatasi efek merokok terhadap kesembuhan dan kekambuh-an ulkus, tetapi untuk analog PG terhadap ulkus lambung tidak jelas, sedangkan untuk setraksat tampaknya masih belum diteliti. d. Obat sitoproteksi berguna untuk mencegah atau mengurangi kerusakan lambung akibat pemberian kronik NSAID (kecuali garam bismuth). Meskipun untuk PG masih digunakan dosis sitoproteksi + anti sekresi, untuk hasil yang terbaik tampaknya efek sitoproteksinya ikut berperan. e. Obat sitoproteksi, karena mekanisme kerjanya yang ber-beda, dapat digunakan untuk mengobati ulkus yang resisten terhadap H2bloker (analog PG) dan setraksat (belum diketahui).

29

f. Obat sitoproteksi, mengingat ketintungannya dalam memperpanjang remisi pada perokok, mungkin dapat dipikirkan untuk menjadi alternatif dari H2bloker untuk menjadi pilihan pertama dalam pengobatan ulkus. g. Kombinasi obat terhadap faktor agresif dengan obat sito-proteksi diharapkan akanmemberikan efek yang sinergistik dalam menyembuhkan ulkus. Ini telah terbukti pada kombinasi simetidin dengan sukralfat dan kombinasi simetidin dengan setraksat. Analog PGE yang ada sekarang tidak memberikan efek yang lebih baik karena efek sitoproteksinya mungkin tidak ikut berperan/minimal dalam proses penyembuhan ulkus. Selain itu dapat pula dilakukan pembedahan yang dilakukan pada gastritis kronis dan ulkus duodenum (tukak duodenum) merupakan usaha untuk mengurangi sekresi asam lambung dengan memotong nervus vagus (vagotomi) dan membuang mukosa gaster yang menghasilkan gastrin, yaitu mukosa antrum (gastrektomi parsial). F. Gastritis Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus dan local. Dua jenis gastritis yang paling sering terjadi adalah gastritis superficial akut dan gastritis atrofik kronis. a. Gastritis Superfisialis Akut Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan swasirna; merupakan respons mukosa lambung terhadap berbagai iritan lokal. Endotoksin bakteri (setelah menelan makanan terkontaminasi), kafein, alkohol, dan aspirin merupakan agen pencetus yang lazim. Infeksi Helicobacter pylori lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut. Organisme tersebut melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa pelindung, meninggalkan daerah epitel yang gundul. Obat lain juga terlibat, misalnya antiinflamasi nonsteroid (NSAID; mis. indometasin, ibuprofen, naproksen), sulfonamide, steroid, dan digitalis. Asam empedu, enzim pancreas, dan etanol juga diketahui mengganggu sawar mukosa lambung. Pada gastritis superficial, mukosa memerah, edema, dan ditutupi oleh mukus yang melekat; juga sering terjadi erosi kecil dan pendarahan. Derajat pendarahan sangat bervariasi. Manifestasi klinis gastritis akut dapat bervariasi dari keluhan abdomen yang tidak jelas, seperti anoreksia, bersendawa, atau mual, sampai gejala yang lebih berat seperti nyeri epigastrium, muntah, pendarahan, dan hematemesis. Dalam beberapa kasus, bila gejala-gejala menetap dan resisten terhadap pengobatan, mungkin diperlukan tindakan diagnostic tambahan seperti endoskopi, biopsy mukosa, dan analisis cairan lambung untuk memperjelas diagnosis. Gastritis superficial akut biasanya mereda bila agen penyebabnya dihilangkan. Obat anti muntah dapat membantu menghilangkan mual dan muntah. Bila penderita tetap muntah, mungkin perlu koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit dengan memberikan infuse intravena, penggunaan obat penghambat-H2 (misalnya ranitidine untuk mengurangi sekresi asam), antacid (untuk menetralkan asam yang tersekresi), dan sukralfat (untuk melapisi daerah inflamasi atau ulserasi) dapat mempercepat penyembuhan. b. Gastritis Atrofik Kronis
30

Bisa menyebabkan keganasan dan atrofi mukosa gastrik. Terdapat infiltrate dari sel inflamasi, dan pada gastritis kronik yang aktif perdapat sel inflamasi akut. Gejala yang sering muncul adalah dyspepsia, rasa tidak nyaman di ulu hati, muntah dan anemia (pada gastritis autoimun). Komplikasi yang bisa terjadi adalah ulkus peptikus, adenokarsinoma, dan maltoma (pada gastritis kronik akibat H. pylori). Klasifikasi Gastritis kronis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan histopatologi. Gambaran endoskopi yang dapat dijumpai adalah eritema, eksudatif, falt-erosion, raised erosion, perdarahan, edematous rugae. Perubahan-perubahan histopatologi selain menggambarkan perubahan morfologi sering juga dapat menggambarkan proses yang mendasari, misalnya otoimun atau respon adaptif mukosa lambung, perubahan-perubahan yang terjadi berupa degradasi epitel, hyperplasia foveolar, infiltrasi netrofil, inflamasi sel mononuclear, folikel limpoid, atropi, intestinal metaplasia, hyperplasia sel endokrin, kerusakan sel parietal. Pemeriksaan histopatologi juga menyertakan pemeriksaan kuman H. pylori. G. NERD (Non-Erosive Reflux Disease) NERD merupakan bagian dari penyakit refluks gastroesphageal (GERD), yang dalam istilah medis lebih dikenal sebagai heartburn kronis. Terdapat dua kelompok GERD yaitu (1) GERD erosive (esofagitis erosive), yang didefinisikan sebagai GERD dengan gejala dan kerusakan mukosa esophagus distal akibat refluks gastroesofageal, (2) NERD yang juga disebut endoscopic-negative GERD, didefinisikan sebagai GERD dengan gejala-gejala refluks tipikal (heartburn dan regurgitasi asam) tanpa kerusakan mukosa esophagus saat pemeriksaan endoskopi saluran cerna. Terapi pengobatan biasanya hanya diberikan pada waktu terjadinya kekambuhan gejala (on demand) karena rendahnya resiko pasien dengan NERD untuk terjadinya Barrets esophagus. Seperti diketahui bahwa sebagian kasus dengan gejala tipikal suatu refluks, tidak didapatkan tanda esofagitis dan tanda adanya paparan asam di esophagus. Pada keadaan ini diduga terdapat proses pathogenesis adanya refluks non-asam, atau suatu hipersensitif visceral atau terdapat gangguan fungsi motorik esophagus.
31

H. Studi Kasus 1. Hubungan antara Stress dan Peningkatan Asam Lambung Seperti diketahui manusia bereaksi antara badan, jiwa dan lingkungan. Dengan sendiri setiap gangguan, tekanan pada jiwa seseorang mendapat reaksi juga dari badan dan lingkungan orang tersebut. Begitu juga adanya gangguan pada lingkungan, badan dan jiwa orang tersebut akan bereaksi . Inilah sebabnya keadaan depresi walaupun itu adalah gangguan emosi akan terdapat pula gangguan somatik. Pasien-pasien ini sering datang menghubungi dokter-dokter non psychiatrist dengan keluhan somatiknya, yang paling sering mempengaruhi susunan saraf pusat, saluran pencernaan, kardiovaskuler, dan sistim muskuloskeletal. Kira kira 80 % pasien depresi mengeluh ganguan tidur, terutama bangun terlalu dini, dan sering terbangun malam hari. Kebanyakan pasien depresi nafsu makannya berkurang dan kehilangan berat badan. Pada beberapa pasien, nafsu makan dapat bertambah, peningkatan berat badan, dan tidur yang bertambah. Keadaan depresi yang atipikal ini disebut disforia histeroid. Stress mengubah sekresi asam lambung, motilitas, dan vaskularisasi saluran pencernaan. Pada pasien depresi terjadi peningkatan asetikolin yang dilepaskan oleh ujungujung saraf parasimpatik vagus atau oleh pleksus saraf enterik gastrik mengakibatkan hipersimpatotonik sistem gastrointestinal yang akan menimbulkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas lambung (kondisi dmn lambung memproduksi terlalubnyk asam hidroklorida), kolik (kram), vomitus, dan sebagian besar gejala gastritis dan ulkus peptik. Pada prosesnya sendiri ketika asetilkolin dilepaskan akan meningkatkan produksi dari hormon gastrin oleh sel-sel gastrin di kelenjar pilorik yang kemudian dilepaskan ke dalam getah pencernaan lambung. Proses pencampuran yang hebat dari getah pencernaan membawa gastrin dengan cepat ke sel ECL (sel mirip enterokormafin) yang berada di korpus lambung dan menyebabkan pelepasan histamine langsung ke kelenjar oksintik dalam. Histamine lalu bekerja cepat merangsang asam lambung.
2. Efek Rokok Pada Sistem Gastrointestinal Bagi sistem pencernaan terutama gusi, efek rokok itu sudah dapat dilihat. Gusi seorang perokok juga cenderung mengalami penebalan lapisan tanduk. Daerah yang mengalami penebalan ini terlihat lebih kasar dibandingkan jaringan di sekitarnya dan kekenyalannya berkurang. Penyempitan pembuluh darah yang disebabkan nikotin mengakibatkan aliran darah ke gusi tidak adekuat, dan akhirnya meningkatkan kecenderungan timbulnya penyakit gusi. Tar dalam asap rokok juga memperbesar peluang terjadinya radang gusi, yaitu penyakit gusi yang paling sering terjadi yang disebabkan oleh plak bakteri dan sebarang faktor lain yang dapat menyebabkan bertumpuknya plak di sekitar gusi. Tar dapat diendapkan pada permukaan gigi dan akar gigi sehingga permukaan ini menjadi kasar dan mempermudah perlekatan plak. Dari beberapa penelitian, plak dan karang gigi lebih banyak terbentuk pada rongga mulut perokok berbanding yang bukan perokok. Rokok juga melemahkan katup esofagus distal maupun proksimal, sehingga mengakibatkan regurgitasi asam lambung ke
32

esofagus. Hal ini akhirnya memicu terjadinya erosi yang disebabkan oleh asam lambung pada esophagus. Rokok juga merupakan salah satu penyebab produksi asam lambung. Akibatnya dapat menimbulkan mual, perut kembung dan nyeri. Di dalam perut dan usus, terjadi keseimbangan antara pengeluaran asam yang dapat mengganggu lambung dengan daya perlindungan. Tembakau meningkatkan asam lambung sehingga terjadilah tukak lambung dan usus. Perokok menderita gangguan dua kali lebih tinggi dari bukan perokok. Bagi sistem saraf pusat, nikotin yang diabsorpsi dapat menimbulkan tremor tangan dan kenaikan berbagai hormon dan neurohormon dopamin di dalam plasma. berdasarkan rangsangannya terhadap chemoreceptors trigger zone dari sumsum tulang belakang dan stimulasinya dari refleks vagal, nikotin menyebabkan mual dan muntah. Di sisi lain, nikotin diterima oleh reseptor asetilkolin nikotinik yang kemudian membaginya ke jalur imbalan dan jalur adrenergik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan rasa nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya, perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Sementara di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan serotonin. Meningkatnya serotonin menimbulkan rangsangan senang sekaligus mencari tembakau lagi. Efek dari tembakau memberi stimulasi depresi ringan, gangguan daya rangkap, alam perasaan, alam pikiran, tingkah laku dan fungsi psikomotor. VIII. Kesimpulan

Mahasiswa 19 tahun menderita GERD dengan diagnosis banding yaitu NERD sehingga diperlukan pemeriksaan endoskopi untuk menegakkan diagnosis.

DAFTAR PUSTAKA
Arini Setiawati. 1992. Farmakologi dan Penggunaan Terapi Obat-obatan Sitoproteksi.
33

79:29. Barrett K, Brooks H, Bitano S, Barman S. 2010. Ganongs Review of Medical Physiology 23th Edition. New York: McGraw Hill. Bestari, Muhammad Begawan. Penatalaksanaan GERD. CDK 188/Vol. 38 no. 7/November 2011. Ikatan Dokter Indonesia. Departemen Ilmu Penyakit Dalam. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta: FKUI. Guyton, A.C. dan John E.H. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi XI. Jakarta: EGC. Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Penerbit Alumni. Kaplan H.I., Sadock B.J., Grebb J.A. 1995. Mood disorder in synopsis of Psychiatry, VIIth Edition. Baltimore: Williams and Wilkins. Nasrul Zubir, Julius. 1992. Gambaran Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas di Bagian Penyakit Dalam RSU dr. M. Jamil, Padang. 79:26. Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC. Rani, A. Aziz. 2011. Buku Ajar Gastroenterologi Edisi 1. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Sherwood L. 2010. Human Physiology: From Cells to System 7th Edition. Toronto: Brooks/Cole Cengage Learning. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC. Smeltzer Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alihbahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Tortora JG, Derrickson B. 2009. Principles of Anatomy and Physiology 12th Edition. Denver: John Wiley & Sons.

34

You might also like