You are on page 1of 24

PENDAHULUAN

Glomerulonephritis paska-streptokokus (GNAPS) merupakan infeksi yang menyerang glomerulus ginjal dengan didauhului adanya infeksi oleh Streptokokus haemoliticus grup A pada saluran nafas bagian atas atau kulit. Streptokokus haemoliticus grup A yang mampu menginfeksi glomerulus ginjal disebut juga streptokokus galur nefritogenik. Secara epidemiologi tercatat < 2% anak yang terinfeksi streptokokus galur nefritogenik dan 5 19% diantara anak yang menderita faringitis dan 20% menderita impetigo akan menderita glomerulonefritis akut. Faktor usia juga mempengaruhi insidens GNAPS. GNAPS lebih sering dijumpai pada anak usia 2 12 tahun, meskipun 5% insidens mendapatkan GNAPS dijumpai pada anak usia dibawah 2 tahun. Aspek genetik yang saat ini masih diteliti adalah genetik. Pengaruh aspek genetik ditunjang dengan laporan penelitian mengenai hubungan kuat antara GNAPS dengan HLA-DR1 dan DRw4 sedangkan pasien dengan HLA-DRw48 dan DRw8 kurang rentan terhadap glomerulonefritis primer. Glomerulonefritis dapat dibagi atas dua golongan besar, yaitu bentuk yang merata dan bentuk yang fokal. Pada bentuk yang merata perubahan tampak pada semua lobulus daripada semua glomerulus, sedangkan pada bentuk fokal hanya sebagian glomerulus yang terkena, dari pada glomerulus yang terkena itu hanya tampak kelainan setempat (hanya satu atau beberapa lobulus yang terkena). GNAPS adalah kumpulan manifestasi klinis akibat perubahan struktur dan faal dari peradangan akut glomerulus pasca infeksi Streptococcus. Sindrom ini ditandai dengan timbulnya oedem yang timbul mendadak, hipertensi, hematuri, oliguri, GFR menurun, insuffisiensi ginjal.(Enday, 1997)

1. Definisi Glomerulonefritis adalah suatu terminologi umum yang menggambarkan adanya inflamasi pada glomerulus, ditandai oleh proliferasi sel-sel glomerulus akibat proses imunologik. Istilah akut pada GNAPS menggambarkan proses yang tiba-tiba atau temporer. Secara keseluruhan GNAPS diartikan sebagai proses peradangan non-supuratif yang mengenai glomerulus dan pada umumnya didahului infeksi saluran nafas bagian atas atau infeksi kulit oleh kuman Streptococcus haemolyticus grup A dan kadang-kadang oleh grup C atau G. Galur yang dapat menyebabkan glomerulonefritis akut ini disebut streptokokus nefritogenik.

2. Epidemiologi Secara epidemiologis, <2% anak yang terinfeksi streptokokus galur nefritogenik akan menderita glomerulonefritis akut, dan sekitar 5%-19% di antara pasien yang menderita faringitis dan 20% di antara impetigo mengalami glomerulonefritis akut. Insidens GNAPS bervariasi sekitar 1%-33% bergantung pada serotipe M serta tempat infeksi. Selain faktor kuman, terjadinya GNAPS dipengaruhi juga oleh beberapa faktor pejamu seperti umur, jenis kelamin, keadaan sosioekonomi, dan genetik. Lebih sering GNAPS dijumpai pada anak berumur antara 212 tahun, meskipun didapatkan 5% pada anak berumur <2 tahun. Laki-laki lebih sering daripada perempuan dengan perbandingan 2:1. GNAPS jarang menyerang anak usia di bawah 3 tahun. Musim akan mempengaruhi kejadian GNAPS sebab infeksi tenggorokan lebih sering terjadi pada musim dingin dan awal musim semi, sedangkan piodermia lebih sering terjadi pada akhir musim panas dan musim gugur.

3. Etiologi GNAPS merupakan terminologi yang digunakan untuk menunjukkan adanya infeksi oleh streptokokus -hemolitikus grup A. Infeksi pada ginjal yang disebabkan oleh selain streptokokus -hemolitikus disebut dengan

glomerulonefritis akut paska infeksi. Streptokokus dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kemampuan menghancurkan sel darah merah, yaitu Streptococcus haemolyticus jika kuman dapat melakukan hemolisis lengkap, Streptococcus - haemolyticus jika melakukan hemolisis parsial, dan Streptococcus - haemolyticus jika tidak menyebabkan hemolisis. Streptococcus haemolyticus grup A merupakan bentuk yang paling virulen. Streptokokus grup A disebut juga dengan Streptokokus piogenes, dan termasuk kelompok Streptococcus -haemolyticus yang dapat menyebabkan GNAPS dan demam reumatik. Streptokokus merupakan mikrobakteri yang memiliki morfologi bentuk bulat, susunan seperti rantai, ukuran diameter 0,5- 1m, pewarnaan gram akan tampak ungu (gram +) dan memiliki kapsul untuk strain golongan A, B, C.

Pada kuman streptokokus grup A ini, telah diidentifikasi sejumlah konsituen somatik dan produk ekstraselular, namun peranannya dalam patogenesis GNAPS belum semuanya diketahui.

Konstituen somatik terdiri dari kapsul asam hialuronidat, dinding sel, fimbriae, dan membran sitoplasma yang menutupi sitoplasma. Komponen ini bertugas untuk menyebabkan adanya infeksi primer di saluran nafas maupun kulit yang merupakan port deentree dari perjalanan penyakit GNAPS. Kapsul asam hialuronat bekerja sebagai strain mukoid, resisten terhadap pagositosis, dan berperan dalam terjadinya infeksi. Dinding sel merupakan struktur yang kompleks, terdiri dari protein spesifik, asam lipoteikoat, peptidoglikan, dan karbohidrat polisakarida grup A. Lapisan mukopolipeptida (peptidoglikan) berperan dalam rigiditas dinding sel. Selain mengandung komponen karbohidrat yang digunakan untuk membedakan streptokokus hemolitikus menjadi grup A, dinding sel kuman juga mengandung protein spesifik yang terdiri dari protein kelas mayor yaitu protein M dan protein T serta kelas minor yaitu protein F, protein R, dan M-like protein. Streptokokus grup A mempunyai komponen dinding sel yang mempunyai peranan penting dalam perlekatan sel dan resistensi terhadap mekanisme pertahanan pejamu. Membran sitoplasma dibentuk dari lipoprotein dan protein termasuk protein-terikat-penisilin (penicillin-binding protein) yang berperan dalam sintesis dinding sel, dan endostreptosin yang penting dalam patogenesis GNAPS. Di dalam sitoplasma terdapat DNA, RNA, serta berbagai bakteriofag.

Streptococcus haemolyticus grup A, C, dan G mempunyai protein M yang diidentifikasi lebih dari 80 serotipe. Protein M merupakan faktor virulensi utama kuman Streptococcus haemolyticus. Protein M bersifat tahan panas, resisten terhadap pagositosis, dan sensitif terhadap tripsin. Kemampuan resistensi Streptokokus grup A terhadap pagositosis oleh leukosit polimorfonuklear tergantung pada protein M permukaan sel. Streptococcus haemolyticus grup A dapat mengeluarkan sejumlah produk extraselular aktif yang bekerja sebagai toksin sistemik atau sebagai enzim invasif lokal seperti hemolisin yaitu streptolisin O dan streptolisin S, streptokinase, DNAse, proteinase seperti nikotinamid adenin dinukleotidase (NADase, adenosin trifosfatase (ATPase), neuraminidase, fosfatase,
7

hialuronidase, dan lipoproteinase. Selain itu dikeluarkan juga eksotoksin pirogenik (eritrogenik) A, B, C. Streptokinase adalah protein ekstraselular yang diproduksi oleh semua strain Streptokokus grup A, dan berperan dalam patogenesis GNAPS. Streptokokus grup A dapat memproduksi 2 jenis streptokinase imunogenik yaitu streptokinase yang dapat mengubah plasminogen menjadi plasmin dan streptokinase yang mengubah C3 menjadi C3a, suatu faktor kemotaktis. Streptokinase dikenal juga sebagai fibrinolisin yang merupakan spreading factor, dan berperan dalam penyebaran kuman melalui jaringan karena kemampuannya mengubah plasminogen menjadi plasmin. Streptokinase dapat juga berikatan dengan struktur glomerulus yang normal dengan afinitas yang berbedabeda untuk setiap strain. Streptokinase terikat erat dengan glomerulus, dan deposit streptokinase glomerular dapat dideteksi dengan teknik pewarnaan tertentu. Streptokokus grup A dapat mensekresi 2 jenis hemolisin yaitu streptolisin O (oxygen-labile) dan sreptolisin S (serum-soluble). Keduanya dapat menghancurkan eritrosit, leukosit polimorfonuklear, trombosit, dan organela dengan cara membuat lubang pada membran sel. Streptolisin O bersifat imunogenik dan oxygen-labile, sedangkan streptolisin S tidak imunogenik dan oxygen-stabile. Pada GNAPS, neuraminidase streptokokus mempengaruhi imunoglobulin (IgG) dengan cara sialisasi (sialized), sehingga menjadi autoantigenik yang menjadi dasar terjadinya kompleks imun nefrotoksik. Imunoglobulin G yang bersifat autoantigenik akan menginduksi pembentukan kompleks imun komplemen yang akan mengendap di kapiler glomerulus dan akan menstimulasi anti-IgG yang berperan dalam pembentukan krioglobulin. Endostreptosin adalah protein dengan berat molekul 40-50 kDa yang berasal dari sitoplasma sel streptokokus. Protein ini berperan untuk mereabsorbsi antibodi antiglomerular dari serum pasien GNAPS. Deposit endostreptosin pada membran basalis glomerulus mungkin suatu aktivator in situ terhadap jalur
8

alternatif sistem komplemen dan secara imunologis berbeda dari enzim streptokokus yang lain atau komponen dinding sel. Endostreptosin dapat dideteksi dalam glomerulus pasien GNAPS stadium dini, dan tidak terdeteksi pada stadium lanjut. Peningkatan titer antistreptosin serum merupakan tanda diagnostik pada GNAPS. Sebagian besar Streptokokus grup A mengeluarkan satu atau lebih toksin yang disebut dengan eksotoksin pirogenik (eritrogenik) karena dapat

menyebabkan demam. Eksotoksin pirogenik (eritrogenik) streptokokus (EPS, eksotoksin pirogenik streptokokus, streptococcal pyrogenic exotoxin) merupakan faktor virulensi. Meskipun sudah dikenal sekitar 10 jenis eksotoksin pirogenik, namun baru 3 toksin yang sudah diketahui karakteristiknya yaitu EPS A, EPS B, dan EPS C. Eksotoksin B tampaknya lebih berperan pada kerusakan jaringan yang luas, dapat dideteksi di glomerulus pada 67% pasien GNAPS sedangkan pada non GNAPS hanya ditemukan 16%. Titer antibodi terhadap EPS B meningkat pada GNAPS dan berbeda dengan pada pasien demam reumatik akut, demam skarlatina, dan orang normal. Protein yang berikatan dengan strain glomerulonefritis akan menjadi protein terikat plasmin (plasmin-binding protein) dan dikenal sebagai prekursor EPS B atau streptococcal proteinase zymogen. Protease atau superantigenik yang berikatan dengan eksotoksin-protease-plasmin dapat menyebabkan aktivasi sistem imun dengan memecah banyak faktor pejamu yang menyebabkan pelepasan mediator inflamatori aktif, faktor permeabilitas vaskular, dan fragmen aktif biologik dinding sel streptokokus. Nephritis associated plasmin receptor (NAPlr) adalah suatu protein dengan berat molekul 43-kDa yang diisolasi dari streptokokus nefritogenik. Protein NAPLr merupakan antigen yang terdapat dalam glomerulus pada stadium dini GNAPS. Protein NAPlr yang larut akan berikatan dengan glomerulus dan mempengaruhi plasmin teraktivasi (activated plasmin) yang mempunyai peranan penting pada proses inflamasi lokal. Dilaporkan NAPlr juga berkontribusi langsung terhadap aktivasi komplemen melalui jalur alternatif. Antibodi terhadap
9

NAPlr dapat dideteksi dalam serum 92% pasien GNAPS dalam 3 bulan setelah awitan penyakit.

4. Patogenesis dan patofisiologi GNAPS Patogenesis Glomerulonefritis akut pasca streptokokus merupakan penyakit immunemediated yang berhubungan dengan infeksi saluran nafas akut dan infeksi kulit oleh kuman Streptokokus grup A strain nefritogenik. Berbagai macam kandungan streptokokus atau produknya bersifat antigenik dan dapat menyebabkan proses imunopatologis yang menimbulkan glomerulonefritis, tetapi mekanisme yang pasti sebagai penyebab kerusakan ginjal masih diperdebatkan. Apabila pasien yang terinfeksi Streptococcus haemolyticus grup A nefritogenik memberikan reaksi terhadap antigen streptokokus dengan membuat antibodi. Reaksi antigen antibodi ini terjadi dalam sirkulasi atau in situ dalam glomerulus, menyebabkan reaksi inflamasi yang menimbulkan kerusakan ginjal. Reaksi ini dipicu oleh aktivasi plasminogen menjadi plasmin oleh streptokinase dan diikuti oleh aktivasi komplemen, pengendapan kompleks antigen-antibodi dalam glomerulus, dan ikatan antibodi antistreptokokus dengan molekul protein ginjal (mimicry protein) yang mirip antigen streptokokus. Imunitas humoral oleh antigen streptokokus nefritogenik ditandai dengan pembentukan kompleks antigen-antibodi dan adanya deposit kompleks imun dalam glomerulus. Proses imun akan mengaktivasi komplemen melalui jalur klasik dan alternatif. Aktivasi melalui jalur klasik terutama terjadi pada fase permulaan dan akan diaktivasi oleh kompleks imun jika terjadi deposit IgG. Penelitian membuktikan bahwa aktivasi jalur alternatif juga terjadi, tampak adanya properdin glomerulus, deposit C3 yang mendahului IgG, bahkan C3 dapat ditemukan pada glomerulus tanpa IgG, dan pada fase akut GNAPS kadar C3 dan C5 serum sangat
10

rendah. Selain itu terjadi juga aktivasi jalur komplemen terminal dan pembentukan kompleks C5-9 terminal. Kompleks komplemen terminal menggambarkan kemampuan untuk menstimulasi produksi substansia vasoaktif, enzim proteolitik, dan radikal oksigen reaktif, yang kesemuanya akan merusak integritas membran kapiler glomerulus. Fase dini GNAPS mungkin berhubungan dengan faktor nefritik C3 dan penurunan kadar C3 plasma. Faktor nefritik C3 merupakan antibodi terhadap konvartase C3 yang akan menginduksi aktivasi jalur alternatif yang diikuti dengan penurunan C3. Meskipun telah dikenal berbagai faktor streptokokus, tetapi baru beberapa konsituen somatik dan produk ekstraselular yang diketahui berperan dalam patogenesis GNAPS yaitu protein M, neuraminidase, endostreptosin

(preabsorbing antigen), protein kationik (cationic proteins), streptococcal pyogenic exotoxin B, streptokinase, dan nephritis associated plasmin receptor. Sejumlah protein permukaan streptokokus dapat berikatan dengan membran basalis glomerulus (heparan sulfat, laminin, kolagen IV). Peranan protein M dalam menginduksi kerusakan ginjal didukung oleh adanya reaksi silang antara protein M dengan antigen membran basalis glomerulus. Antibodi antiglomerular terbukti bereaksi dengan protein M12 streptokokus. Protein M berikatan secara langsung dengan antigen ginjal seperti komponen membran basalis glomerulus dan antibodi IgG bersirkulasi. Penyuntikan antigen protein M atau kompleks imunoprotein M ke dalam binatang percobaan dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Protein M juga berperan dalam progresivitas kerusakan glomerulus.4 Pada pasien GNAPS, terdapat peningkatan titer IgG terhadap fraksi C terminal protein M tetapi tidak pada fraksi N terminal. Ikatan IgG dengan bakteri merupakan hal yang penting dalam terjadinya GNAPS. Ikatan IgG dan endapan IgA sering ditemukan pada streptokokus nefritogenik. Fraksi Fc IgG dan IgA dapat berikatan dengan permukaan streptokokus grup A melalui protein M atau protein M-like. Fc reseptor streptokokus nefritogenik dapat menginduksi molekul anti-IgG dan dengan

11

demikian berkontribusi terhadap patogenesis GNAPS dengan meningkatkan deposit kompleks imun di ginjal. Neuraminidase yang diproduksi streptokokus akan mengubah IgG autolog endogen menjadi autoimunogenik. IgG autoimunogenik yang dimodifikasi ini akan menstimulasi pembentukan antibodi terhadap IgG (anti-IgG), kemudian membentuk kompleks imun bersirkulasi dan mengendap membentuk deposit di glomerulus. Endostreptosin dapat dideteksi dalam glomerulus pasien GNAPS stadium dini, dan tidak terdeteksi pada stadium lanjut. Deposit endostreptosin pada membran basalis glomerulus mungkin suatu aktivator in situ terhadap jalur alternatif sistem komplemen. Protein kationik streptokokus grup A diketahui mempunyai afinitas tehadap polianionik membran basalis glomerulus. Antigen kationik menyebabkan pembentukan kompleks imun in situ dan berperan dalam terjadinya inflamasi glomerulus. Toksin EPS B merupakan proteinase sistein dan berperan pada kerusakan jaringan. Pada GNAPS, titer antibodi EPS B meningkat dan EPS B dideteksi pada glomerulus 67% pasien GNAPS. Streptokinase mengubah plasminogen menjadi plasmin dan C3 menjadi C3a. Plasmin akan mengaktivasi komplemen dan menyebabkan pemecahan protein matriks ekstraselular. Protein NAPlr akan berikatan dengan glomerulus dan mempengaruhi plasmin teraktivasi (activated plasmin) yang mempunyai peranan penting pada proses inflamasi lokal. Beberapa teori yang dikemukakan mengenai patogenesis GNAPS adalah 1. Pembentukan kompleks imun bersirkulasi (circulating immune complex) dan kemudian terperangkap pada glomerulus, 2. Terdapat kemiripan molekul antara streptokokus dengan antigen ginjal, (misalnya jaringan glomerulus normal bertindak sebagai autoantigen dan bereaksi dengan antibodi bersirkulasi yang dibentuk terhadap antigen streptokokus), 3. Pembentukan kompleks imun in situ antara antibodi streptokokus dan antigen glomerulus, 4. Aktivasi komplemen secara langsung oleh deposit antigen streptokokus dalam glomerulus.

12

Sistem koagulasi Aktivasi sistem koagulasi terlihat dengan meningkatnya kadar kompleks fibrinogen dalam plasma, terjadinya hipo- atau hiperfibrinogenemia, penurunan faktor XIII, makroglobulin -2, dan aktivasi faktor XII. Fibrinolisis meningkat yang ditandai dengan peningkatan fibrinogen atau produk penghancuran fibrin (fibrin degradation product) dalam serum dan urin. Ekskresi produk melalui urin merupakan indikasi adanya degradasi deposit fibrin glomerulus. Pada GNAPS selalu didapatkan deposit fibrin dan antigen fibrinogen di dalam glomerulus. Kemungkinan juga terjadi aktivasi trombosit karena terjadi penurunan waktu hidup trombosit serta adanya faktor aktivasi trombosit dan faktor pertumbuhan trombosit.2

Infiltrasi sel dan produksi sitokin Pada GNAPS terdapat hiperselular glomerular difus sebagai akibat akumulasi leukosit polimorfonuklear dan monosit, peningkatan sel intrinsik glomerulus, dan ekspansi patologis matriks mesangial. Proliferasi ini diinduksi oleh proliferasi sel endotel, sel mesangial, dan sel makrofag. Infiltrasi makrofag glomerulus dimediasi oleh komplemen kemotaktik dan oleh aktivasi antigen spesifik sel T. Superantigen streptokokus menyebabkan peningkatan reseptor sel T dan aktivasi sel T secara masif dengan pengeluaran limfokin sel T seperti IL-1 dan IL-6. Selain infiltrasi makrofag, terdapat juga infiltrasi neutrofil dan limfosit T pada glomerulus, tetapi tidak ada infiltrasi limfosit B. Pada glomerulonefritis proliferatif aktif, terdapat monosit dan makrofag yang mengekskresikan antigen CD16 di dalam glomerulus dan urin dan jumlah sel ini berkorelasi dengan beratnya inflamasi glomerulus. Makrofag CD16 memproduksi sitokin

proinflamatori tumor necrosis factor (TNF) dalam jumlah besar, sedangkan sitokin inflamatori IL-10 tidak diproduksi atau diproduksi dalam jumlah sedikit. Sebagai respons terhadap antigen glomerular nefritogenik, terjadi aktivasi 2 subset sel T helper. Sel T helper-1 akan memproduksi IL-2 dan interferon gamma,
13

mengaktifkan makrofag, dan menginduksi sekresi antigen MHC, sedangkan sel T helper-2 akan mensekresi IL-4, IL-5, IL-6, ko-faktor proliferasi sel B, dan stimulan untuk produksi Ig. IL-1 potensial meningkatkan inflamasi glomerulus. Sitokin inflamatori (IL-4, IL-6, IL-10, IL-13, transforming growth factor ) akan menurunkan sintesis IL-1 oleh makrofag dan menekan pembentukan radikal oksigen, nitrous intermediate, sekresi enzim proteolitik, dan ekspresi reseptor Fc. Imunoreaktivitas glomerulus terhadap IL-8 berkorelasi dengan infiltrasi neutrofil dan gambaran klinis GNAPS. Transforming growth factor 1, 2, 3 berperan terhadap akumulasi komponen matriks mesangial termasuk kolagen, proteoglikan, dan fibronektin. Pada GNAPS, kadar IL-6 dalam plasma sebanding dengan perjalanan klinik. Sitokin TNF- meningkat pasca fase akut, sedangkan kadar platelet derived growth factor selalu normal.Kerusakan atau aktivasi mesangial dapat dikontrol oleh inhibitor protease serin. Megsin yaitu salah satu kelompok inhibitor protease serin predominan dalam sel mesangial.

14

Radikal bebas oksigen Pada GNAPS, kemampuan pertahanan antioksidan akan berkurang atau hilang dan dapat terjadi stress oksidatif berkepanjangan, meningkatnya kerentanan terhadap peroksidase lemak, dan lisis osmotik sel darah merah. Peroksidase lemak meningkat yang ditandai dengan peningkatan fragilitas osmotik sel darah merah, serta peningkatan kadar dialdehid malonil, glutation teroksidasi, dan hemoglobin. Selain itu pada GNAPS aktivitas enzim antioksidan seperti superoksida dismutase, katalase, glutation peroksidase, dan glutation-S-transferase menurun. Akibatnya kadar glutation reduksi akan sangat rendah dan sistem redoks glutation reduksiglutation oksidase menurun atau tidak ada. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa bentuk Glomerulonefritis akut pasca-streptokok mempunyai prognosis pada lebih baik daripada bentuk nonstreptokok, dan prognosis pada anak lebih baik daripada orang dewasa. Pada anak lebih kurang 90% atau lebih akan menyembuh. Gejala klinik menghilang dalam beberapa minggu, namun hematuria mikroskopik dan proteinuria ringan dapat tetap ada selama lebih kurang 1 tahun.

15

Patofisiologi 1. Kelainan urinalisis Pada urinalisis akan didapatkan jumlah yang berkurang (oligouria) dengan warna yang lebih pekat dari kelabu berkabut hingga merah coklat seperti cola. Warna urin ini akibat adanya degradasi hemoglobin menjadi asam hematin. Proteinuria biasanya sesuai dengan tingkat hematuria dan bisa mencapai 2+ ( 100 mg/dL). Hampir 2% GNAPS menunjukkan proteinuria masif dengan gambaran sindrom nefrotik. Hematuria merupakan kelainan pada urinalisi yang selalu ada. 2. Edema Edema pada kelainan ginjal anak dipengaruhi 5 hal, yaitu peningkatan tekanan hidrostatik , penurunan tekanan onkotik, gangguan permeabilitas dinding kapiler, gangguan dalam aliran limfe, dan adanya retensi Natrium dan cairan dalam tubuh. Mekanisme retensi natrium Na+ dan oedem pada glomerulonefritis tanpa penurunan tekanan onkotik plasma. Hal ini berbeda dengan mekanisme oedem pada sindrom nefrotik. Edema yang terjadi pada GNAPS disebut dengan edema Nefritik, sedangkan edema yang terjadi pada SN disebut edema Nefrotik. Edema nefritik terjadi akibat adanya peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular. Peningkatan hidrostatik ini terjadi karena GFR pada ginjal GNAPS menurun sehingga eksresi Natrium menurun yang mengakibatkan terjadi retensi natrium dalam tubuh berlebih. Dua mekanisme ini merupakan penyebab edem yang menyertai GNAPS. Sedangkan pada sindrom Nefrotik, edem terjadi akibat penurunan tekanan onkotik plasma yang disebabkan adanya hipoalbumin yang merupakan efek dari proteinuria masif. Pada GNAPS juga terjadi proteinuria, tetapi jumlah protein yang keluar tidak melebihi 3g/hari. Sehingga dapat disimpulkan edema yang menyertai GNAPS akibat adanya peurunan GFR yang tiba-tiba sehingga terjadi retensi natrium dan berujung edem.

16

3. Hipertensi Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks. LEDINGHAM (1971)

mengemukakan hipotesis mungkin akibat dari dua atau tiga faktor berikut: a. Gangguan keseimbangan natrium (sodium homeostasis) Gangguan keseimbangan natrium ini memegang peranan dalam genesis hipertensi ringan dan sedang. b. Peranan sistem renin-angiotensin-aldosteron biasanya pada hipertensi berat. Hipertensi dapat dikendalikan dengan obat-obatan yang dapat menurunkan konsentrasi renin, atau tindakan drastis nefrektomi. c. Substansi renal medullary hypotensive factors, diduga prostaglandin. Penurunan konsentrasi dari zat ini menyebabkan hipertensi.

Klasifikasi hipertensi pada anak dibedakan menjadi beberapa stadium menurut National High Blood Pressure Education Program Working Group On High Blood Pressure Education In Children And Adolecents: Normal Pre-hipertensi : tekanan sistolik dan diastolik dibawah persentil 90 : tekanan sistolik dan diastolik lebih tinggi atau sama

dengan persentil 90 tetapi lebih rendah dari persentil 95, atau tekanan darah 120/80 mmHg atau lebih pada remaja. Hipertensi persentil 95. Hipertensi stage 1 : tekanan darah sistolik atau diastolik berada antara : tekanan darah sistolik atau diastolik lebih tinggi dari

persentil 95 samapi prsentil 95 + 5 mmHg. Hipertensi stage 2 95 + 5 mmHg. : tekanan darah sistolik atau diastolik lebih dari persentil

17

5. Penegakan Diagnosis Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan meenggali anamnesis, mengetahui gejala klinis dan pemeriksaan penunjang untuk memastikan

anamnesis dan gejala klinis. Anamnesis

Pada anamnesis yang perlu untuk digali dalam kasus GNAPS adalah adanya riwayat infeksi saluran nafas atau infeksi kulit, usia pasien, dan jenis kelamin pasien. Selain itu, perlu dikaji juga terkait adanya riwayat keluarga yang menderita gejala yang sama untuk membedakan dengan SN. Faktor lingkungan dan higine serta sosial ekonomi akan membantu mengarahkan diagnosis. Gejala klinis

Onset GNAPS muncul tiba-tiba. Biasanya 7-14 hari pasca infeksi saluran nafas atas dan 3-6 minggu setelah infeksi kulit. Gejala klinis yang bisa didapatkan meliputi: keadaan edem di daerah periorbita (85%). Pada keadaan edema yang berat akan menimbulkan manifestasi pada paru berupa edema paru atau efusi pleura dan jantung dengan gagal jantung kongestif. Edema paru ditandai dengan kondisi takipneu dan dipsneu. Gagal jantung kongestif ditandai dengan adanya takikardia, kongesti hepar dan irama gallop. Hipertensi yang bervariasi derajatnya. Hipertensi ringan pada anak akan disertai dengan keluhan pusing, nyeri di daerah kepala, atau berkeringat berlebih terutama di malam hari, dan rewel yang menunjukkan adanya peningkatan tekanan darah pada anak. Pada keadaan krisis hipertensi dengan adanya gangguan fungsi organ

18

bisa menunjukkan gejala kejang umum, mioklonik, dan koma pada anak. Hematuri gros yang terlihat pada urin seperti coca-cola tanpa disertai rasa sakit saat miksi. Demam pada kasus GNAPS tidak spesifik mengarah ke diagnosis. Anemia pada beberapa pasien GNAPS terkadang ikut menyertai.

Pereiksaan penunjang Pemeriksaan penunjang laboratorium yang biasanya dilakukan adalah

urinalisis lengkap, darah lengkap, faal ginjal serta uji serologi. Pada urinalisis lengkap akan didapatkan adanya hematuria makroskopik maupun mikroskopik, dengan BJ yang lebih rendah dan pH yang menurun, ditemukan toraks eritrosit dan adanya proteinuria pada beberapa kasus tidak lebih dari 2+. Pemeriksaan darah lengkap akan menunjukkan adanya anemia normokromik normositer akibat adanya hemodilusi cairan intravaskular. Penurunan GFR dengan kadar kreatinin serum dan BUN yang meningkat akan dijumpai pada kasus GNAPS. Uji serologi dilakukan untuk membuktikan adanya respon imun terhada streptolisin-O (antistreptolisin-O / ASO) yang + setelah 10-14 hari setelah terjadi infeksi streptokokus. Nilai normal ASO pada anak 6 bulan 2 tahun adalah 50 Todd unit/ml, 2-4 tahun 160 Todd unit/ml, 5-12 tahun 170-330 Todd unit/ml, dan dewasa 160 Todd unit/ml.12 Titer ASO akan meningkat pada 75- 80% GNAPS pasca faringitis dan pada 50% GNAPS pasca impetigo Pada GNAPS biopsi ginjal tidak diindikasikan. Biopsi

dipertimbangkan bila:

19

Gangguan fungsi ginjal berat khususnya bila etiologi tidak jelas (berkembang menjadi gagal ginjal atau sindrom nefrotik). Tidak ada bukti infeksi streptokokus Tidak terdapat penurunan kadar komplemen Perbaikan yang lama dengan hipertensi yang menetap, azotemia, gross hematuria setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6 minggu, proteinuria yang menetap setelah 6 bulan dan hematuria yang menetap setelah 12 bulan Azotemia merupakan manifestasi kerusakan ginjal yang ditandai dengan adanya BUN dan serum kreatinin yang meningkat akibat GFR yang turun. Penentuan GFR pada anak dapat dilakukan dengan menggunakan rumus: GFR = K x tinggi badan Kreatinin serum Konstanta K : BBLR < 1 thn Aterm < 1 thn 1-12 tahun Perempuan 13-21 tahun Lelaki 13 21 tahun : 0,33 : 0,45 : 0,55 : 0,57 : 0,70

Gambaran pada mikroskop cahaya ginjal GNAPS memiliki ciri khas, ditandai adanya pembesaran ukuran semua glomerulus tanpa disertai perdarahan, adanya proliferasi secara difus dengan penambahan matriks mesangial, dan pada keadaan awal penyakit dijumpai adanya penumpukkan leukosit polimorfonuklear. Sedangkan pada fase berat GNAPS ditandai dengan adanya bentukan bulan sabit (kresentik) dan radang interstisial. Pada pemeriksaan mikroskopi imunofluoresensi menunjukkan adanya endapan imunoglobulin dan komplemen pada
20

membrana basalis glomerulus (GBM) gumpalan-gumpalan tidak rata pada mesangium sel yang disebut dengan lumpy-bumpy

6. Diagnosis banding Jenis kelainan Perbedaan GNAPS Sindroma nefrotik Manifestasi klinis: edema anasarka hipertensi hipoalbuminemia hiperkolesterolemia Pada biopsi ginjal mutlak diperlukan, menunjukkan adanya lesi yang lebih luas tanpa terdapat kresentik sel atau sel sabit dengan Keterangan lain

manifestasi ini terjadi Patofisologi edema yang bersamaan. pengobatan: mutlak kortikosteroid Glomerulonefritis akibat (GNAPI) infeksi manifestasi klinis: adanya uji serologis Persamaan GNAPS: Manifestasi klinis dengan diberikan terjadi.

HBV positif tidak bersifat rapidly cressentic progressive glomerulonefritis. Manifestasi klinis: Edema Gros hematuria Didapatkan bising

yang muncul berupa edema, hematuria hipertensi Persamaan GNAPS: gros dan

Glomerulonefritis pada endokarditis

dengan terkadang

menunjukkan gambaran biopsi yang sama dengan

21

jantung

sifat

penyakit

rapidly

cressent

progressive

glomerulonefritis.

7. Tata Laksana Penanganan pasien adalah suportif dan simtomatik. Perawatan dibutuhkan apabila dijumpai penurunan fungsi ginjal sedang sampai berat ( klirens kreatinin < 60 ml/1 menit/1,73 m2), BUN > 50 mg, anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah, letargi, hipertensi ensefalopati, anuria atau oliguria menetap. Pasien hipertensi dapat diberi diuretik atau anti hipertensi. Bila hipertensi ringan (tekanan darah sistolik 130 mmHg dan diastolik 90 mmHg) umumnya diobservasi tanpa diberi terapi. Hipertensi sedang (tekanan darah sistolik > 140 150 mmHg dan diastolik > 100 mmHg) diobati dengan pemberian hidralazin oral atau intramuskular (IM), nifedipin oral atau sublingual. Dalam prakteknya lebih baik merawat inap pasien hipertensi 1-2 hari daripada memberi anti hipertensi yang lama. Pada hipertensi berat diberikan hidralazin 0,15-0,30 mg/kbBB intravena, dapat diulang setiap 2-4 jam atau reserpin 0,03-0,10 mg/kgBB (1-3 mg/m2) iv, atau natrium nitroprussid 1-8 m/kgBB/menit. Pada krisis hipertensi (sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg) diberi diazoxid 2-5 mg/kgBB iv secara cepat bersama furosemid 2 mg/kgBB iv. Plihan lain, klonidin drip 0,002 mg/kgBB/kali, diulang setiap 4-6 jam atau diberi nifedipin sublingual 0,250,5 mg/kgBb dan dapat diulang setiap 6 jam bila diperlukan. Retensi cairan ditangani dengan pembatasan cairan dan natrium. Asupan cairan sebanding dengan invensible water loss (400-500 ml/m2 luas permukaan tubuh/hari ) ditambah setengah atau kurang dari urin yang keluar. Bila berat badan tidak

22

berkurang diberi diuretik seperti furosemid 2mg/ kgBB, 1-2 kali/hari. Pemakaian antibiotik tidak mempengaruhi perjalanan penyakit. Namun, pasien dengan biakan positif harus diberikan antibiotik untuk eradikasi organisme dan mencegah penyebaran ke individu lain. Diberikan

antimikroba berupa injeksi benzathine penisilin 50.000 U/kg BB IM atau eritromisin oral 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bila pasien alergi penisilin. Pembatasan bahan makanan tergantung beratnya edem, gagal ginjal, dan hipertensi. Protein tidak perlu dibatasi bila kadar urea N kurang dari 75 mg/dL atau 100 mg/dL. Bila terjadi azotemia asupan protein dibatasi 0,5 g/kgBB/hari. Pada edem berat dan bendungan sirkulasi dapat diberikan NaCl 300 mg/hari sedangkan bila edem minimal dan hipertensi ringan diberikan 12 g/m2/hari. Bila disertai oliguria, maka pemberian kalium harus dibatasi. Anuria dan oliguria yang menetap, terjadi pada 5-10 % anak.

Penanganannya sama dengan GGA dengan berbagai penyebab dan jarang menimbulkan kematian. Pemberian antihipertensi oral pada anak seperti pada tabel 1.

Jenis obat ACE inhibitor Kaptopril Enalapril Lisinopril

Nama obat

Dosis 0,3-0,5 mg/kg/dosis, 3 x 0,08 mg/kg/hari, 1-2 x 0,07 mg/kg/hari sampai 5 mg/hari, 1x

ARB

Losartan

0,7 mg/kg/hari sampai 50 mg/hari, 1x

& blocker blocker

Labetalol Atenolol Propanolol

1-3 mg/Kg/hari, 2 x 0,5 1 mg/kg/hari, 1-2 x 1-2 mg/kg/hr, 2-3 x 0,1-0,2 mg/Kg/hr, 1 x

CCB

Amlodipin

23

Nifedipin HCT Diuretik Furosemide Spironolacton Hidrazide Vasodilaator Minoxidil

0,25 0,5 mg/kg/hr, 1-2 x 1 mg/kg/hr samapai 50 mg/hr, 1x 0,5 2 mg/kg/hr, 1-2 x 1 mg/kg/hr, 1-2x 0,75 mg/kg/hr, 1 x 0,2 mg/kg/hr, 1-3 x

8.

Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Fase awal glomerulonefritis akut berlangsung beberapa hari sampai 2 minggu. Setelah itu anak akan merasa lebih baik, diuresis lancar, edem dan hipertensi hilang, LFG kembali normal. Penyakit ini dapat sembuh sendiri, jarang berkembang menjadi kronik. Kronisitas dihubungkan dengan awal penyakit yang berat dan kelainan morfologis berupa hiperselularitas lobulus. Pasien sebaiknya kontrol tiap 4-6 minggu dalam 6 bulan pertama setelah awitan nefritis. Pengukuran tekanan darah, pemeriksaan eritrosit dan protein urin selama 1 tahun lebih bermanfaat untuk menilai perbaikan. Kadar C3 akan kembali normal pada 95% pasien setelah 8-12 minggu, edem membaik dalam 5-10 hari, tekanan darah kembali normal setelah 2-3 minggu, walaupun dapat tetap tinggi sampai 6 minggu. Gross hematuria biasanya menghilang dalam 1-3 minggu, hematuria mikroskopik menghilang setelah 6 bulan, namun dapat bertahan sampai 1 tahun. Proteinuria menghilang 2-3 bulan pertama atau setelah 6 bulan. Pearlman dkk, di Minnesota menemukan 17% dari 61 pasien dengan urinalisis rutin abnormal selama 10 tahun pemantauan. Ketidaknormalan tersebut meliputi hematuria atau proteinuria mikroskopik sendiri-sendiri atau bersama-sama. Dari 16 spesimen biopsi ginjal tidak satupun yang menunjukkan karakteristik

glomerulonefritis kronik. Penelitian Potter dkk, di Trinidad, menjumpai 1,8% pasien

24

dengan urin abnormal pada 4 tahun pertama tetapi hilang 2 tahun kemudian dan 1,4% pasien dengan hipertensi. Hanya sedikit urin dan tekanan darah yang abnormal berhubungan dengan kronisitas GNAPS. Nissenson dkk, mendapatkan kesimpulan yang sama selama 7-12 tahun penelitian di Trinidad. Hoy dkk, menemukan

mikroalbuminuria 4 kali lebih besar pada pasien dengan riwayat GNAPS, sedangkan Potter dkk di Trinidad, menemukan 3,5% dari 354 pasien GNAPS mempunyai urin abnormal yang menetap dalam 12 -17 tahun pemantauan. Penelitian White dkk, menemukan albuminuria yang nyata dan hematuria masing-masing pada 13% dan 21% dari 63 pasien selama 6-18 tahun pemantauan. Kemungkinan nefritis kronik harus dipertimbangkan bila dijumpai hematuria bersama-sama proteinuria yang bertahan setelah 12 bulan. Pada 95% pasien akan sembuh total. Belum ada bukti yang menunjukkan adanya perburukan penyakit ke arah kronis. Mortalitas pada fase akut dapat dihindari dengan managemen penanganan yang tepat terhadap gagal ginjal.

25

DAFTAR PUSTAKA
Rodriguez-Iturbe B, Katujar VN, Coello J. Neuraminidase activity and free sialic acid levels in the serum of patients with acute poststreptococcal glomerulonephritis. N Engl J Med 1981;304:1506-10. Shulman ST, Tanz RR. Streptococcus pyogenes (group A Streptococcus). Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke-2. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2003.h.716-8. Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritic syndrome. Dalam: Webb N, Postlethwaite RJ, penyunting. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke-3. New York: Oxford University Press; 2003.h.367-80. Makker SP. Poststreptococcal glomerulonephritis. Dalam: Kher KK, Makker SP, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi pertama. New York: MaGraw-Hll Inc; 1992.h.212-20. Sulyok E. Acute proliferative glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P. Pediatric nephrology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2004.h.601-13. Todd JK. Streptococcal infections. Dalam: Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, penyunting. Krugmans infectious diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia: Mosby Inc; 2004.h.641-54. Bisno AL. Streprococcus pyogenes. Dalam: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, penyunting. Mandell, Douglas and Bernetts, Principles and practice of infectious diseases. Edisi ke-4. New York: Churchill Livingstone; 1995. h.1786-99. Killian M. Streptococcus and enterococcus. Diunduh dari URL http://www.fleshanbones.com/readingroom/pdf/410. pdf. Diakses November 2005. Flores JP. Diunduh dari: http://www.healthatoz.com/healthatoz /Atoz/ency/streptococcalantibody-tests-html. Diakses November 2005 McIntosh RM, Kaufman DB, McIntosh JR, Griswold W. Glomerular lesions produced in rabbits by autologous serum and autologous IgG modified by treatment with a culture of -haemolytic streptococci. J Med Microbiol 1971;5:1-7. Sharma S. Streptococcus group A infections. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/med/topics2184.htm. Diakses November 2005. Gerber MA. Group A streptococcus. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Nelson textbook of pediatrics. Edisi-17. Philadelphia: Saunders; 2004.h.870-9. Noer, sjaifullah, dkk. 2011. Kompendium nefrologi anak. Jakarta : Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.

26

You might also like