You are on page 1of 30

PERKEMBANGAN ISLAM DI KALIMANTAN

Diajukan untuk memenuhi tugas Dalam mata kuliah Sejarah Perkembangan Islam Indonesia

Oleh:

Irmanita Listhiany Uliah Darojah

10030110015 10030110029

FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2013

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni al-quran dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia di program studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Bandung. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dra.Khairat,Msi selaku dosen pembimbing mata kuliah Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini. Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, Mei 2013

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

Ketika perebutan kekuasaan pada Kerajaan negara Daka di Kalimantan Selatan, R.Samudera merasa ia lebih berhak menjadi raja dari Pangeran Tumenggung. Akhirnya timbul pertentangan dan perang saudara. R.Samudera meminta bantuan dari kerajaan Islam Demak dan ia menang dan dapat berkuasa memegang pucuk pimpinan kerajaan di Daha yang ada di Banjarmasin pada tahun 1550. R.Samudera memeluk agama Islam dan bergelar Suryanullah.Dengan Islamnya raja Suryanullah maka rakyat pun banyak yang memeluk agama Islam.Daerah-daerah lain pun banyak yang menyatakan masuk Islam.

Bantuan yang diberikan kerajaan Demak kepada R.Samudera juga mengandung tipuan membendung pengaruh Portugis yang telah menguasai Malaka.Mereka ingin menguasai daerah jalur perniagaan dan pelayaran di Indonesia.

Selanjutnya dalam makalah ini saya akan mengemukakan proses lahirnya Kerajaan Islam di Kalimantan, yang dapat dkatakan sebagai langkah pertama dimulainya penyebaran Islam di Kalimantan. Di samping itu akan dikemukakan pula perihal masuknya Islam dan perkembangannya di masyarakat, serta usaha-usaha penyebaran yang lakukan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sehingga Islam berakar sampai ke pelosok-pelosok di daerah Kalimantan

BAB II PEMBAHASAN

A. Perkembangan Islam Di Kalimantan Selatan Sampai Akhir Abad Ke 18 Lahirnya Kerajaan Banjarmasin Kerajaan Banjarmasin pada hakekatnya adalah lanjutan dari Kerajaan Negara Daha. Maharaja Sukarama yang menggantikan Sekar Sungsang raja pertama di Negara Daha telah mewasiatkan kepada Patih Aria Tarenggana bahwa apabila ia meninggal maka yang berhak menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera.1).

Sepeninggalnya Maharaja Sukarama di Negara Daha terjadi kekacauan. Pangeran Mangkubumi salah seorang putranya berusaha untuk naik tahta.Maka untk keselamatan Raden Samudera, Patih Aria Terenggana menyuruhnya agar meninggalkan istana.Karena itu Raden Samudera kemudian harus hidup menyamar sebagai anak nelayan di daerah orang Serapat, orang Balandian, orang Banjarmasin atau orang Kuwin. 2)

Pangeran Mangkubumi yang naik tahta menggantikan Maharaja Sukarama, karena suatu fitnah kemudian dibunuh oleh Pangeran Tumenggung, adiknya sendiri.3) Sementara itu Patih Masih penguasa bandar di Banjarmasih (Banjarmasin) yang mengetahui perihal nasib Raden Samudera kemudian mencarinya untuk dirajakan. Selanjutnya terdapat kesepakatan lima orang Patih, yakni Patih Masih, Patih Muhur, Patih Balit, Patih Kuwin dan Patih Balitung untuk merajakan Raden Samudera di daerah Banjar. Kesepakatan itu didasari pertimbangan-pertimbangan: Raden Samudera mempunyai hak atas kerajaan, karena wasiat Maharaja Sukarama agar cucunya (Raden Samudera) yang menggantikannya.4). Patih Masih dan patih-patih lainnya di daerah Banjar, hendak melepaskan diri terhadap kewajiban senantiasa mengantar upeti ke Negara Daha.5).

Sehubungan dengan kepentingan perekonomean daerah, Patih Masih hendak memindahkan kegiatan perdagangan dari bandar muara Bahan ke daerah Banjar.6).

Tindakan para Patih yang bersepakat merajakan Raden Samudera tersebut, menyebabkan timbulnya pertentangan antara Negara Daha dengan Banjarmasih.Dalam usaha menyeleikan pertentangan tersebut, Raden Samudera atas anjuran Patih Masih meminta bantuan kepada Kerajaan Islam Demak. Sultan Demak mau membantu Raden Samudera dengan syarat apabila menang Raden Samudera bersedia masuk islam.

Berikut ini kutipan dari Hikayat Banjar sehubungan dengan hal tersebut di atas: .maka kata Pangeran Samudera baiklah kita minta bantu pada raja Demak itu, maka disuruh Patih Balit serta aturan. membawa surat salam Pangeran Samudera pada Sultan Demak itu.. Surat yang ditulis dalam bahasa Melayu menggunakan aksara Arab tersebut berbunyi: Salam sembah putra andika di Banjarmasin sampai kapada Sultan Demak, putra andika manjatu nugraha tatolong bantu tandingan sampian, karana putra andika barabut karajaan lawan papaku itu nama Pangeran Tumenggung, tiada dosa-dosa putra andika menjatu nugraha tatolong bantu tandingan sampian. Adapun lamun manang putra andika mangaula kapada andika, maka sasambah putra andika intan sapuluh, paikat saribu galong, tatudung saribu buah, damar saribu kindai, jaranang sapuluh pikul, lilin sapuluh pikul Maka kata Sultan Demak mau aku mambantu lamun anakku raja Banjarmasin masuk agama Islam itu lamun tiada mau Islam tiada aku mau bertolong. Sudah itu maka Patih Balit kambali, tiada tersebut di tangah jalan maka ia datang ke Banjar, maka manghadap lawan Patih Masih kepada Pangeran Samudera itu, maka diturnyalah sakalian pemblas itu, dan seperti kata Sultan Demak banyak parkara itu, maka Pangeran Samudera itu mau Islam, dan Patih Balit, Patih Mohor, Patih Kuin, Patih Balitung sama handak masuk Islam itu mufakat 7).

Dalam Hjkayat Banjar disebutkan bahwa kelompok-kelompok yang membantu Raden Samudera dalam prang melawan Pangeran Tumenggung adalah: Seribu orang Demak; Rakyat daerah-daerah yang dahulu menjadi taklukan Maharaja Sukarama, daerah-daerah itu adalah: Sambas, Batang Lawai, Sukadana,

Kotawaringin, Pambuang, Sampit, Mandawai, Sabangau, Biaju Besar, Biaju Kecil, Karasikan, Kutai, Berau, Pasir, Pamukan, Pulau Laut, Satui, Hasam-hasam, Kintap, Sawarangan, Tambangan Laut, dan Tabanio; Kelompok pedagang, yakni orang Melayu, orang Cina, orang Bugis, orang Makasar, orang Jawa yang ada di Banjarmasih.8). Disebutkan bahwa akhir dari pertentangan antara Raden Samudera dengan Pangeran Tumenggung tersebut terjadi dalam suatu insiden di atas perahu telangkasan, di mana Pangeran Tumenggung menyerahkan tahtanya kepada Raden Samudera, karena tergetar hatinya menyaksikan kemanakannya merelakan dirinya dan menyatakan dirinya tidak mau melawannya. Peristiwa tersebut dikuti dengan penyerahan peralatan kerajaan untuk dibawa ke Banjarmasin.Selanjutnya Raden Samudera menyerahkan daerah Batang Amandit dan Batang Alai untuk tetap diatur oleh pamannya Pangeran Tumenggung. Raden Samudera menetapkan pusat kerajaan itu di Banjarmasin.Ia kemudian diislamkan oleh seorang Penghulu dari Demak. Dan oleh seorang Arab ia diberi nama Sultan Suriansyah.9). Dari peristiwa di atas tampak bahwa penggantian raja-raja yang memerintah di Kerajaan Negara Daha sampai berdirinya Kerajaan Banjarmasin, tidak merupakan pergantian yang teratur dari ayah kepada anak. Raja-raja yang memegang tahta di Negara Daha sampai berdirinya Kerajaan Banjarmasin adalah: Raden Sekar Sungsang Maharaja Sukarama Pangeran Mangkubumi Pangeran Tumenggung Raden Samudera (Sultan Suriansyah).

Menurut Hikayat Banjar bahwa sesudah Majapahit terdapat Kerajaan Demak yang diperintah oleh Sultan Surya Alam.10). Hageman menyebutkan bahwa Surya Alam

sama dengan Raden Trenggono.11). Tetapi Surya Alam dapat pula diidentikkan dengan nama Alam Akbar gelar Raden Fatah raja Demak pertama.12). Sementara itu Hikayat Banjar tidak menyebutkan nama Sultan Demak yang telah mengirimkan bantuan ke Banjarmasin tersebut. J.C. Noorlander berpendapat bahwa umur kuburan Sultan Suriansyah dapat dihitung sejak kurang lebih tahun 1550 13).Ini berarti Sultan Suriansyah meninggal pada sekitar tahun 1550. Raja-raja Demak yang masyhur sesudah Raden Fatah, adalah Pati Unus (15181521) dan Sultan Trenggono (1521-1546).14).Sesudah itu di Demak terjadi pertentanganpertentangan dalam memperebutkan mahkota.Kalau Sultan Suriansyah meninggal pada kurang lebih tahun 1550, maka raja Demak yang pemerintahannya dekat dengan tahun itu adalah Sultan Trenggono. Sehubungan dengan uraian di atas maka permulaan pemerintahan Sultan Suriansyah dapat dicari pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, dalam tahun 15211546.Dr. J. Eisenberger menulis masa pemerintahan Sultan Suriansyah kurang lebih 25 tahun.15).Berdasarkan sumber-sumber tersebut di atas masa pemerintahan Sultan Suriansyah dapat diperkirakan berlangsung sekitar tahun 1525/1526-1550. Kerajaan yang dibangun Sultan Suriansyah dan berpusat di Banjarmasin (Kuin) tersebut oleh Sultan Banjar ke empat (Sultan Mustainullah) ibu kota kerajaan dipindahkan ke Martapura. Schrieke menulis bahwa perpindahan ibu kota ke Martapura itu sejak tahun 1612.16). Perpindahan tersebut didasari pertimbangan-pertimbangan bahwa di tempat itu selain tanahnya bertuah, maka karena tempatnya jauh di pedalaman akan sukar didatangi oleh orang-orang yang tidak beragama Islam,17). Selanjutnya pada masa pemerintahan pemerintahan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah (1761-1801) penyebaran Islam mengalami kemajuan pesat. Pada waktu itu di ibu kota Kerajaan Banjar hidup seorang ulama besar bernama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Salah seorang Sultan Banjar yang dalam masa pemerintahannya berusaha menanamkan ajaran Islam kepada rakyatnya adalah Sultan Adam (1825-1857). Melalui Undang-Undang kerajaan yang terkenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam, ia

menyuruh sekalian rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan agar ber-itiqad Ahlussunnah wal Jamaah dan melarang ber-itiqad ahlal bidaat.18). Kerajaan ini akhirnya diproklamirkan dihapus oleh Belanda pada tanggal 11 Juni 1860 setelah Sultan Hidayatullah yang sebelumnya bersama Pangeran Antasari mencetuskan Perang Banjar. Sultan Hidayatullah kemudian diasingkan oleh Belanda ke Cianjur (Jawa Barat), sedangkan Pangeran Antasari meninggal pada masa perang karena sakit.19).

Masuknya Islam Ke Kalimantan Selatan Di muka telah disebutkan bahwa Sultan Suriansyah diislamkan oeh seorang Penghulu dari Demak.Peritiwa ini terjadi pada awal abad ke 16, yakni pada masa awal pemerintahannya.Pengislaman Sultan ini diikuti pula oleh para Patih dan rakyatnya. Dalam hikayat Banjar tidak disebutkan siapa nama Penghulu dari Demak yang mengislamkan/melaksanakan pengtahbisan Raden Samudera sebagai raja Islam pertama di Kerajaan Banjar. Drs. Hasan Muarif Ambary dalam prasarannya yang berjudul: Catatan Tentang Masuk dan Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan, pada Seminar Sejarah Kalimantan Selatan di Banjarmasin tahun 1976, mengemukakan ada lima Imam (Penghulu) Demak selama Kerajaan Demak berdiri, yaitu: Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, dari 1490 sampai 1506/12. Makdum Pembayun dari 1506/12 hingga 1515. Kiayi Pembayun dari 1515 sampai 1521. Penghulu Rahmatullah dari 1521 hingga 1524. Sunan Kudus 1524.

Menurut beliau jika dilihat masa pemerintahan Raden samudera atau berdirinya Kerajaan Banjar, maka ketika Imam terakhir itulah salah satu di antara mereka munkin merupakan tokoh yang hadir untuk mentahbiskan Raden Samudera.20). Sementara itu dalam sejarah Banjar terkenal seoang Penghulu bernama Khatib Dayyan.Bagi masyarakat Banjar Khatib Dayyan dikenal sebagai penyebar Islam pertama di Kalimantan Selatan.Ia juga dikatakan sebagai seorang yang berjasa dalam mengislamkan Raden Samudera dan rakyatnya. Makamnya terdapat di dalam Kompleks Makam Sultan Suriansyah.

Dalam Hikayat Banjar disebutkan bahwa Mantri Demak dan Penghulu Demak tersebut setelah mengislamkan Sultan Suriannyah mereka kembali ke Demak.21).Oleh karena itu bukan tidak mungkin bahwa Khatib Dayyan adalah orang Banjar sendiri yang lebih banyak peranannya dalam menyebarkan Islam di Kerajaan Banjar sesudah Mantri dan Penghulu Demak kebali ke negeri mereka. Di samping itu ada data-data yang menunjukkan bahwa Islam telah masuk dan dikenal orang Banjar jauh sebelum peristiwa datangnya Penghulu dari Demak tersebut: Pada abad ke 15 ketika permintaan cengkih bertambah besar, maka tanaman ini yang dahulunya hanya merupakan hasil hutan kemudian ditanam di perkebunanperkebunan. Usaha perkebunan cengkih yang mula-mula terdapat di Ternate, kemudian seram dan Ambon. Para pedagang Gujarat yang beragama Islam, kemudian juga dengan para pedagang Cina yang menurut berita Jing Yai Sheng Lan tahun 1416 sudah banyak yang beragama islam, dalam perjalanan itu mereka singgah di bandar-bandar kalimantan Selatan dan Makasar. 22) H. Abdul Muis dalam prasarannya yang berjudul: Masuk dan Tersebarnya Islam di Kalimantan Selatan, pada Pra Seminar Sejarah Kalimantan Selatan tahun 1973 mengemukakan bahwa Raden Paku (Sunan Giri) putra Sayid Ishak pada waktu berumur 23 tahun berlayar ke Pulau Kalimantan di pelabuhan Banjar, membawa barang dagangan dengan 3 buah kapal bersama dengan juragan Kamboja yang terkenal dengan nama Abu Hurairah (Raden Burereh). Sesampainya di pelabuhan Banjar datanglah penduduk berduyun-duyun membeli barang dagangannya, kepada pendudk fakir miskin barang-barang itu diberikannya dengan Cuma-Cuma. 23). Seperti telah disebutkkan di muka dalam rangka menghadapi pangeran Tumenggung, Patih Masih telah menasihatkan kepada Raden Samudera untuk meminta bantuan kepada Kerajaan Islam Demak. Tindakan Patih Masih tersebut menunjukkan adanya simpati terhadap orang-orang Islam yang sedikit banyaknya sebagai seorang penguasa bandar telah mengetahui perihal kehidupan pedagang-pedagang Islam yang pernah datang ke Bandar Masih sebelumnya. Data-data tentang adanya pedagang Gujarat dan pedagang Cina yang sudah beragama Islam, yang pada sekitar awal abad ke 15 dalam perjalanan mereka singgah di

pelabuhan-pelabuhan Kalimantan Selatan, demikian juga adanya berita tentang pedagang Islam dari Jawa (Raden Paku) yang pernah singgah dan berdagang dan berdagang di pelabuhan Banjarmasin, juga adanya anjuran Patih Masih agar Raden Samudera meminta bantuan kepada Sultan Demak, serta adanya kelompok pedagang dari luar seperti orang Melayu, orang Cina, orang Bugis, orang Makasar, orang Jawa, yang menyatakan membantu raden Samudera ketika timbul perlawanan terhadap Pangeran Tumenggng, semua itu menunjukkan bahwa agama Islam sudah masuk ke kalimantan Selatan melalui para pedagang jauh sebelum bantuan dan Penghulu yang dikirimkan Sultan Demak sampai di Banjarmasin. Perkembangan Islam Di Kalimantan Selatan Penduduk asli Pulau Kalimantan disebut orang Dayak.Orang Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan tersebut terdiri atas beberapa suku.Masing-masing suku mempunyai kepercayaan masing-masing.Tetapi pada dasarnya kepercayaan mereka itu mempunyai persamaan-persamaan yang banyak.Istilah yang populer menyebut kepercayaan mereka adalah kepercayaan Kaharingan.24). Penduduk asli tersebut kemudian terdesak ke arah pedalaman.Di pesisir barat terdesak oleh orang-orang Melayu dan Cina, di selatan terdesak oleh orang-orang Melayu dan orang-orang Jawa, dan di bagian tenggara terdesak oleh orang-orang Bugis, Makasar dan Sulu.25). Orang Dayak yang mendiami daerah-daerah pedalaman Kalimantan tersebut dapat dibagi atas 7 macam suku, yakni: Suku Dayak Kenya dan Bahau yang mendiami pedalaman Mahakam. Suku Dayak Punan, yang mendiami pedalaman daerah Berau. Suku Dayak Siang, yang mendiami pedalaman Barito Hulu. Suku Dayak Kayan, yang mendiami perbatasan Serawak. Suku Dayak Iban dan Kalemantan, yang mendiami pedalaman Kalbar dan utara. Suku Dayak Ngaju, yang mendiami pedalaman Kapuas, dengan suku-suku kecilnya, yakni: Dayak Lawangan, yang mendiami pedalaman Barito Timur.

Dayak Manyan, yang mendiami pedalaman Balangan dan Barito Selatan. Suku Dayak Ot Danum, yang mendiami pedalaman Tumbang Siang, Tumbang Miri, Tumbang Lahang dan sekitarnya.26). Selanjutnya sehubungan dengan telah terdesaknya penduduk asli tersebut ke daerah pedalaman oleh suku-suku pendatang, maka ada beberapa pendapat mengatakan suku yang kemudian mendiami di daerah-daerah pesisir tersebut adalah perpaduan dari orang-orang dari suku pendatang. Seorang sejarawan Banjar Drs. M. Idwar Saleh berpendapat bahwa timbulnya suku Banjar kemudian yang mendiami daerah Kalimantan Selatn adalah keturunan yang lahir dari percampuran orang-orang Melayu dan Jawa serta Olo (orang) Ngaju yang telah bercampur dan kawin-mawin selama beberapa generasi di daerah tersebut. Percampuran itu ditambah lagi dengan pendatang-pendatang lain seperti orang-orang Bugis, Cina, India dan Arab.27). Unsur-unsur animisme, dynamisme dan spiritisme atau daemonisme yakni serba semangat yang terdapat dalam kepercayaan Kaharingan 28), merupakan unsur-unsur yang ternyata masih berpengaruh dalam tradisi dalam kehidupan masyarakat orang Banjar kemudian. Sementara itu ada juga data yang menunjukkan adanya hubungan Kerajaan Majapahit dengan daerah Banjar, yakni terdapatnya nama beberapa tempat di daerah Kalimantan Selatan dalam daftar daerah-daerah yang menjadi bagian dari kerajaan Majapahit tersebut. Dalam daftar itu terdapat nama-nama daerah; seperti: Pasir, Baritu (Barito), Tabalung (Tabalong), dan lain-lain.29). Di samping itu dalam Hikayat Banjar disebutkan bahwa Pangeran Suryanata yang menjadi suami Putri Junjung Buih, adalah putra raja Majapahit.30). Adanya hubungan antara Majapahit dengan daerah ini, merupakan petunjuk bahwa agama Syiwa-Budha sampai pula ke daerah Kalimantan Selatan.Hal ini dikuatkan dengan adanya situs candi-candi di daerah ini, seperti Candi Agung di Negara Dipa (Amuntai) dan Candi Laras di Negara Daha (Margasari-Rantau). Ditemukannya lingga dan arca-arca berupa Nandi dan Batar Guru di situs Candi Laras, menunjukkan adanya unsur-unsur Syiwa yang pernah berkembang di daerah ini.

Dengan demikian agama Islam yang masuk ke Kalimantan Selatan ini, berkemban pada masa permulaannya di kalangan masyarakat yang sebelumnya telah dipengaruhi oleh unsur-unsur Kaharingan dan Syiwa-Budha. Agama Islam yang masuk itu kemudian dianut oleh sebagian besar masyarakat Kalimantan Selatan, yang sebelumnya telah menganut kepercayaan Kaharingan, agama Syiwa-Budha atau syncritisme dari agamaagama tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa ajaran-ajaran Islam yang mula-mula berkembang di daerah Kalimantan Selatan ini, menghadapi pengaruh dari unsur-unsur kepercayaan tersebut. Untuk itu dapat diikuti kutipan berikut, yakni kebiasaan lama yang dikenal oleh masyarakat di daerah Banjar: Orang meminta selamat ketika mendirikan rumah, sembuh dari sakit, berlindung dari bahaya yang ditakuti atau ada hajat yang ingin dikabulkan dan sebagainya, lalu dibutlah nasi ketan yang ditempa-tempa seperti bentuk stupa dengan inti di puncaknya, bentuk stupa seperti yang pertama kali dibangun oleh Asoka, atau bentuk gunung mythologis perlambang pusat dunia dan keindahan, suatu yang dianggap keramat oleh pemeluk Hindu-Budha. Upacara sajenan seperti itu tidak diberantas oleh penyiar Islam di waktu iti, hanya mantera-mantera yang semula ditujukan kepda roh gaib dan dewa-dewa diganti dengan doa dan zikir kepada Allah. Upacara seperti ini di Kalimantan Selatan dikenal dengan sebutan halarat, demikian juga batumbang, baanjur-anjur dengan 40 macam juadah, adalah sesajen zaman pra Islam. Acara badudus, mandi-mandi, dan baayun anak adalah adat di zaman Hindu yang kemudian dituang dalam tuangan Islam dengan bacaan shalawat kepada Nabi. 31) Kehidupan Islam yang berkembang di masyarakat Banjar seperti yang digambarkan di atas menjalani masa yang cukup lama.Orang Banjar pada umumnya menjunjung tinggi ajaran-ajaran Islam, tetapi dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ibadah dan amaliah masih banyak yang belum dapat melepaskan diri dari tradisi-tradisi kepercayaan dan agama yang berkembang sebelumnya. Memasuki abad ke 17 Banjarmasin telah menjadi bandar perdagangan yang ramai.Hal ini terjadi sehubungan dengan tindakan Kerajaan Mataram yang telah menyerang dan menghancurkan kota-kota pantai di utara Jawa, sehingga pedagang-

pedagang pindah secara besar-besaran ke Makasar dan Banjarmasin.32). Dan pada waktu itu pula terjadi perubahan jalan dagang ke Maluku melalui Makasar, Kalimantan Selatan, Patani dan Cina, atau dari Makasar dan Banten ke India.33) Pada waktu itu orang Banjar sudah banyak yang melakukan pelayaran berdagang ke luar daerah.Tradisi berlayar ini memberikan kemungkinan kepada orang Banjar untuk melakukan ibadah haji ke Mekah dengan menggunakan kapal-kapal sendiri. Mereka yang pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah tersebut, biasanya tinggal beberapa tahun di sana sambil belajar pengetahuan agama. Mereka itu kemudian pulang dengan membawa pengetahuan dan kitab-kitab dari Mekah.Semakin banyak orang Banjar yang datang dari Mekah semakin banyak pandangan-pandangan baru yang masuk ke daerah ini. Di antara pandangan-pandangan baru yang masuk tersebut terdapat ajaran Sofi Al Hallaj, yang pernah diajarkan oleh Abdul Hamid di daerah ini. 34). Selain itu telah masuk pula faham Syiah bersama para pedagang Arab dari suku Baalwi ke daerah ini. Sisa-sisa dari faham tersebut masih terdapat tradisi orang Islam di daerah ini, seperti pemakaian gelar Sayyid, penghormatan yang khusus terhadap turunan Ali dngan melakukan acaraacara tertentu, dan lain sebagainya.Di samping hal-hal tersebut di atas, maka pada waktu orang-orang Banjar telah banyak yang pergi haji tersebut, masuk juga nilai-nilai baru dalam aliran Ahlussunnah wal Jamaah aliran Islam yang telah berkembang sebelumnya.35). Tetapi sampai pada awl abad ke 18 nilai-nilai baru yang masuk bersama orangorang yang datang dari Mekah tersebut tidak banyak tampak dalam masyarakat. Usaha pembaharuan dan penybaran agama Islam yang bersumber langsung dari Mekah tersebut baru dimulai pada pertengahan abad ke 18, yakni oleh seorang ulama kelahiran Martapura yang lebih 30 tahun memperdalam ilmu agama di Mekah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Penyebaran Islam Oleh Syekh Muhammad Arsyad Muhammad Arsyad dilahirkan pada tahun1122H atau 1710M di desa Lok Gabang, Martapura. Pada waktu berumur kurang lebih 8 tahun ia dipungut oleh Sultan Banjar untuk diasuh dan dididik di istana. Kemudian ia dikawinkan dan menjelang umur 30 tahun diberangkan belajar memperdalam ilmu agama Islam di Mekah.

Muhammad Arsyad tiba kembali di Martapura ibu kota Kerajaan Banjar, pada bulan Ramadhantahun 1186 H (1772 M). Ia kembali setelah memperoleh keahlian khusus dalam ilmu Tauhid, Fiqh, ilmu Falak dan ilmu Tasauf. 36). Usahanya dalam menyebarkan Islam di daerah Kerajaan Banjar pada waktu itu dimulai dengan melakukan pengajian, kemudian menyebarkan anak cucunya (muridnya) yang telah memperoleh kealiman ke daerah-daerah pedalaman, di samping itu menulis kitab-kitab agama dalam bahasa Melayu dengan aksara Arab. Sistem pengajian yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad mula-mula mengajari 2 orang cucunya yang bernama Muhammad Asad dan Fatimah, sehingga dalam waktu yang tidak lama keduanya telah mewarisi kealimannya. Keduanya kemudian membantu usaha kakeknya. Dalam Syajaratul Arsyadiah disebutkan bahwa Muhammad Asad kemudian menjadi guru sekalian murid laki-laki, dan Fatimah menjadi guru sekalian murid perempuan. Dalam tulisan yang berjudul Riwayat Syekh Muhammad Arsyad al Banjari, Zafry Zamzam (almarhum) mengemukakan bahwa dalam pengajian yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad bukanlah semata-mata belajar ilmu pengetahuan agama, tetapi disertai bekerja bersama dan memasuki kehidupan masyarakat melalui kegiatan bertani. Sistem pengajian yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad itu mmerupakan perwujudan dari ajarannya yang menyeimbangkan antara hakekat dan syariat. Sehingga dengan demikian segala peristiwa dalam kehidupan ini tetap terjadi menurut hukum sebab akibat. Bukti besarnya perhatian Syek Muhammad Arsyad dalam usaha pertanian tersebut adalah telah diwariskannya sebuah saluran air sepanjang kurang lebih 8 km yang digali atas gagasan dan pimpinan beliau, untuk mengalirkan air yang menggenangi tanah luas, sehingga kemudian dapat dijadikan tanah persawahan yang subur. Saluran air itu sekarang dikenal dengan nama Sungai Tuan, artinya sungai yang penggaliannya digariskan oleh Tuan Guru Haji Besar, yakni gelar dari Syekh Muhammad Arsyad. 37). Kegiatan Syekh Muhammad Arsyad membimbing dan melatih anak didiknya dalam lapangan pertanian tersebut merupakan tindakan untk memberi bekal anak didiknya agar bisa menyusun penghidupan kelak. Dipihnya lapangan tersebut dapat

dikaitkan karena murid-muridnya tersebut umumnya berasal dari keluarga tani, dan kemanapun nantinya mereka hidup dan berkeluarga mereka akan menemui jenis usaha ini, terutama dalam daerah Kalimantan Selatan sebagai daerah agraris. Selanjutnya Syekh Muhammad Arsyad menempuh suatu cara untuk

menyebarluaskan sistem pengajian tersebut, dengan mengharuskan setiap anak cucu dan muridnya yang sudah mencapai kealiman untuk hidup berkeluarga dan tinggal menyebar ke daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Di mana mereka tinggal maka di tempat itupun kemudian berlangsung pula pengajian.Demikianlah kemudian pengajian-pengajian yang diselenggarakan anak cucu Syekh Muhammad Arsyad tidak hanya terdapat dalam wilayah Kalimantan Selatan, tetapi juga terdapat di Pontianak Kalimantan Barat, bahkan ada cucu beliau yang bernama Syekh Haji Abdurrahman Siddiq yang menyelenggarakan pengajian sambil melakukan pembukaan tanah tanah pertanian/perkebunan di SapatTambilahan.38). Cara penyebaran Islam denagn menganjurkan anak cucu dan murid-muridnya yang telah mencapai kealiman untuk tinggal dan kawin-mawin di ddaerah-daerah yang jauh dari ibu kota Kerajaan Banjar waktu itu dapat dilihat dari: a. Cucu beliau yang bernama Haji Mouhammad Asad, yang kemudian juga diangkat sebagai Mufti pertama di Kerajaan banjar, kawin dengan seorang penduduk desa Balimau di Kandangan. b. Alimul Alamah Haji Abu Talhah bin Haji Muhammad Asad beristeri dan mengajar di Pagatan. c. Alimul Alamah Haji Abu Hamid bin HAJI Muhammad Asad berister i dan mengajar di Pontianak. d. Alimul Alamah Haji Ahmad beristeri dan mengajar di Amuntai, kemudian juga di desa Balimau-Kandangan. e. Alimul Alamah Haji Muhammad Arsyad bin Haji Muhammad Asad beristeri dan mengajar di desa Muara Sungai Pamintangan-Amuntai. f. Alimul Alamah haji Muhammad Thaib (Haji Saduddin) beristeri dan mengajar di desa HamawangKandangan. 39). Dengan sistem pengajian dan cara penyebarannya seperti tersebut di atas, maka di mana bermukim anak cucu turunan Syekh Muhammad Arsyad, di tempat itu berkembang

Ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah menurut Mazhab Imam Syafii. Usaha-usaha yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad bersama anak cucunya tersebut telah berhasil menanamkan pandangan-pandangan baru dalam Islam, baik masalah hubungan dengan kepercayaan lama mapun dalam persoalan mazhab. Selanjutnya seperti disebutkan di muka bahwa di samping menyelenggarakan pengajian Syekh Muhammad Arsyad dalam usahanya menyebarkan Islam di daerahnya, ia juga telah menulis beberapa buah kitab agama dalam bahasa Melayu dengan aksara Arab. Kitab-kitab karyanya tersebut dapat dibedakan atas 3 kelompok: Kitab-kitab Tauhid , yakni yang bertujuan memantapkan keyakinan iman dan aqidah yang benar. Kitab-kitab itu adalah: a. Usuluddin, b. Tuhfatur Raghibin. Kitab-kitab Fiqh, yang membicarakan masalah-masalah ibadah dan amaliah, yakni tentang segala tindakan manusia baik yang mempunyai hubungan dengan Tuhan maupun sesama manusia. Kitab-kitab ini adalah: a. Sabilal Muhtadin lit tafaqquh fi amriddin, b. Kitabun Nikahi, c. kitabul Faraid, d. Nuqtatul Ajlan, e. Hasyiah Fathil Jawab. Kitab-kitab Tasauf, untuk mendapatkan kedamaian bathin dalam berhubungan dengan Tuhan. Kitab-kitab ini adalah: a. Kanzul Marifah, b. Al Qauulul Mukhtashar. 40). Di antara kitab-kitab tersebut ada beberapa yang besar fungsinya dalam rangka pengembangan dan penyebaran Islam, kitab-kitab tersebut antara lain: a. Kitab Tuhfatur Raghibin. Ktab ini ditulis pada tahun 1188 H (1774M) 41). Terdiri atas 28 halaman, menggunakan huruf Arab dan berbahasa Melayu. Dengan demikian dapat dipelajari oleh banyak orang di daerah ini yang pada umumnya dapat membaca huruf Arab. Isinya menerangkan hal-hal yang merusak Iman, yang menyebabkan orang menjadi syirik atau murtad.42). Dengan demikian melalui kitab ini Syekh Muhammad Arsyad berusaha menghindarkan/memperbaiki kekeliruan yang mungkin terjadi pada setiap pemeluk Islam di kalimantan Selatan waktu itu. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa sampai datangnya Syekh Muhammad Arsyad di daerah ini agama Islam baru saja menerima unsur-unsur baru yang yang dibawa orang-orang yang kembali dari Mekah. Praktik-praktik ibadah dan muamalah masih banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan yang pernah berkembang

sebelmnya. Ini merupakan bagian dari usaha syekh Muhammad Arsyad dalam melakukan pembaharuan dan pemurnian agama Islam di daerah ini. b. Kitab sabilal Muhtadin. Lengkapnya adalah Sabilal Muhtadin lit tafaqquh fi amriddin. Kitab ini ditulis berdasarkan permintaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah pada tahun 1193 H (1779 M). 43). Seperti disebutkan di atas bahwa kitab Sabilal Muhtadin ini adalah sebuah kitab Fiqh, yaitu yang membicarakan segala hukum agama, baik yang berhubungan dengan kepercayaan ataupun yang berhubungan dengan muamalat. Kitab-kitab agama yang digunakan dalam pengajian-pengajian pada waktu itu umumnya menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab yang tadinya dibawa sendiri oleh Syekh Muhammad Arsyad dari Mekah. Kitab-kitab dalam bahasa Arab tersebut dikenal dengan istilah Kitab Kuning.Penggunaan kitab-kitab tersebut dalam pengajian menemui kesulitan karena untuk dapat mengerti isinya orang lebih dahulu mengerti bahasa Arab. Di samping itu alam Kalimantan Selatan khususnya dan juga Indonesia pada umumnya mempunai kehidupan fauna dan flora yang berbeda sekali dengan negeri Arab. Sehingga dengan kitab-kitab Fiqh dari negeri Arab tersebut, mungkin akan menimbulkan beda pendapat dalam menetapkan hukum terhadap sesuatu yang hanya ada ditemukan di daerah atau alam Indonesia ini. Sebenarnya pda waktu itu sudah ada sebuah Kitab Fiqh Melayu di daerah ini, yakni Kitab Siratul Mustaqim karangan Nuruddin Ar Raniry, seorang ulama besar dari Aceh. Kitab tersebut ditulis dalam tahun 1044-1054 H (1634-1644 M).44) Sehubungan dengan hal itu Syekh Muhammad Arsyad menulis dalam Mukaddimah kitabnya, bahwa: Lebih dahulu dari kitabnya itu telah ada sebuah kitab Fiqh atas mazhab Imam Syafii bernama Siratul Mustaqim yang ditulis oleh seorang alim yang lebih, bernama Nuruddin ar Raniry;Akan tetapi karena sebagian ibaratnya mengandung bahasa Aceh maka sulit bagi orang yang bukan ahlinya untuk mengambil pengertiannya;

Lagi pula ada bagian dari ibaratnya yang diubah dari pada asalnya dan digantikan dengan yang lainnya atau gugur atau kurang disebabkan kelalaian penyalin-penyalinnya yang tidak berpengatahuan, sehingga menjadi rusak dan berselisih anatara naskah-naskah dan

ibaratnya, sehingga hampir tidak diperoleh lagi naskah-naskah yang saheh dari penulisnya. 45). Kitab Sabilal Muhtadin terdiri atas 2 juz.Yang pertama tebalnya 252 halaman, dan juz kedua 272 halaman. Kedua juz ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan Penyebaran Kitab sabilal Muhtadin ini dimulai dari ruang pengajian Desa Dalam Pagar sendiri, yakni dengan mengadakan salin menyalin dari naskah aslinya oleh muridmuridnya. Kemudian dibawa orang ke Mekah, di sana dilakukan salin menyalin pula, bahkan kemudian dijadikan kitab pelajaran Fiqh bagi orang-orang berbahasa Melayu, sehingga kitab ini dikenal luas oleh penuntut-penuntut ilmu di Mekah yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan Asia Tenggara. Mereka itulah yang akan mengajarkannya pula di daerah atau di negeri mereka kemudian. 46) Penlisan Kitab sabilal Muhtadin ini selesai pada tahun 1195 H (1780 M). Pertama kali dicetak pada tahun 1300 H atau 1882 m setentak di tiga tempat, yakni Mekah, Istambul dan Mesir, dengan pentasheh Syekh Ahmad bin Muhmmad Zain al Fathany, ulama berasal dari Fatani (Muang Thay) yang mengajar di Mekah pada waktu itu. Dengan adanya cetakan ini maka Sabilal Muhtadin lebih tersiar dan terkenal luas di Asia Tenggara.Bahkan penuntut-penuntut ilmu di Mekah umumnya lebih dahulu mempelajari Sabilal Muhtadin sebelum dapat membaca kitab berbahasa Arab. 47) c. Perukunan Besar. Buku ini hasil dari dekti yang diberikan Syekh Muhammad Arsyad kepada cucunya yang bernama Ffatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis. Dalam buku ini yang tebalnya kurang lebih 100 halaman tercakup pengetahuan pokok yang harus dimiliki oleh seorang Muslim dan Muslimat. Di dalamnya terdapat pengetahuan dan cara-cara praktik segala yang menyangkut Rukun Islam dan Rukun Iman Buku ini juga disebut Perukunan Besar, karena Syekh Muhammad Arsyad disebut juga dengan gelar Haji Besar. Serta karena adanya tindakan salin menyalin sehingga buku ini tidak hanya tersebar di Kalimantan, Jawa, Sumatera, tetapi bahkan sampai ke Malaya. 48)

Kitab Perukunan Besar ini pertama kali dicetak di Singapura pada tahun 1325 H atau tahun 1907 M, atas usaha dari seorang pedagang dari Negara (Kandangan), atas nama Haji Abdurrasyid Banjar. 49) Karena seperti disebutkan di atas terhadap kitab Perukunan ini terjadi tindakan salin menyalin, bahkan dilakukan pula penterjemahan ke dalam bahasa daerah lainnya, maka timbullah kemudian nama-nama Perukunan Sunda, Perukunan Jawa, Perukunan Melayu, dengan nama pengarang yang berbeda-beda.50) Demikianlah dari sejumlah karya-karya Syekh Muhammad Arsyad yang tersebar luas itu, kita dapat mengukur sammpai di mana andil ulama besar ini dalam mengembangkan dan menyebarkan ajaran Islam tersebut. Ulama besar ini meninggal pada tahun 1227 H (1812 M) dan dimakamkan di Desa Kelampayan (Martapura), dengan meninggalkan barisan ulama sebagai suatu kelompok sosial yang mempunyai kedudukan khusus dalam masyarakat Banjar yang mempunyai perasaan keagamaan yang kuat.

B. Perkembangan Islam di Kalimantan Barat


Istana Kadriah Pontianak Sebagaimana kita ketahui bersama Islam masuk ke Indonesia melalui pendekatan kultural.Para pakar berbeda pendapat tentang tahun masuknya Islam ke

Indonesia.Pendapat pertama mengatakan abad ke-7 sampai 8 M. pendapat kedua mengatakan abad ke-13, pendapat ini dipelopori sarjana-sarjana Belanda sedangkan pendapat ketiga mengkompromikan diantara dua pendapat di atas yang dipeloporo Taufiq Ismail dan Konto Wijoyo. Masuknya Islam ke Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan sesuai dengan kondisi sosial politik ketika Islam tersebut datang. Sebagai contoh Islam datang ke Palembang ketika Sriwijaya mengalami kemajuan yang sangat pesat dengan demikian para pedaganga muslim menjadi duta-duta Sriwijaya dalam berdiplomasi dengan kerajaan Cina, begitu sebaliknya ketika Islam datang ke Jawa, kerajaan Singasari dan Majapahit mengalami kemunduran dan Islam memberikan solosi yang tepat terhadap

problematika yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Dari teori konflik inilah, para muballigh muslim mampu memenej problematikan sosial menjadi gerakan dakwah Islamiyah dengan pendekatan budaya, perkawinan, kesenian, tradisi, dan sosial politik. Dari kasus politik, penulis mengambil contoh kogkrit Islam masuk ke Kalimantan Selatan melalui pendekatan cultural dan struktural.Secara cultural, Islam masuk Kekalimantan Selatan dibawa oleh Sunan Giri.Sedangkan secara structural melaui bargaining politik antara Pangeran Samudra dengan Sultan Trenggono dari Demak. Awal Masuknya Islam di Kalimantan Barat Daerah pertama di Kalimantan Barat yang diperkirakan terdahulu mendapat sentuhan agama Islam adalah Pontianak, Matan dan Mempawah.Islam masuk ke daerahderah ini diperkirakan antara tahun 1741, 1743 dan 1750. Menurut salah satu versi pembawa islam pertama bernama Syarief Husein, seorang Arab.1 versi yang lebih lengkap menyatakan, nama beliau adalah Syarif Abdurrahman al-Kadri, putra dari Svarif Husein. Diceritakan bahwa Syarief Abdurrahman Al-Kadri adalah putra asli Kalimantan Barat.Ayahnya Sayyid Habib Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab yang telah menjadi warga Matan.Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri Dayak yang telah menganut agama Islam, putri Kerajaan Matan.Syarif Abdurrahman al-Kadri lahir di Matan tanggal 15 Rabiul Awal 1151 H (1739 M). Jadi ia merupakan keturunan Arab dan Dayak dan Ayahnya Syarief Husein (Ada yang menyebutnya Habib Husein) menjadi Ulama terkenal di Kerajaan Matan hampir selama 20 tahun.2 Melihat keterangan di alas tampak bahwa islam masuk di Kalimantan Barat dibaw-a oleh juru dakwah dari Negeri Arab. Ini sejalan dengan teori beberapa sejarawan Belanda diantaranya Crawford (1820), Keyzar (1859), Neiman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Menurut mereka penyiar Islam di Indonesia (Nusantara) berasal dari arab, tepatnya dari Hadramat, Yaman. Teori ini didukung pula oleh

Ahmad Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan (sejarh masuknya Islam di Kalimantan), (Surabaya: Bina Ilmu, 1986) h. 10 2 Anshar rahman, et al., Syarif Abdurrahman al-Kadri, Perspektif sejarah beridirinya kola Pontianak, (Pontianak: Pemerintah Kota Pontianak, 2000) h. 3

sejarawan dan ulama Indonesia modern, seperti Hamka, Ali Hasyim, Muhammad Said dan Syed Muhammad Naquib a( atlas (Malaysia).3 Memang ada teori lain yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari anak Benua India, yaitu dari Gujarat dan Malabar yang bermazhab Syafii. Teori ini dekemukakan oleh Pijnapel, seorang ahli sejarah melayu dari Universitas Leiden, Belanda, yang mengemukakan teorinya tahun 1872, yang menurut Azyumardi Azra diperkirakan diadopsi dari catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo dan Ibnu Baturiah. Teori lainnya, menyatakan Islam di Nusantara disebarkan oleh pedagang dan juru dakwah dari Benggala (Bangladesh) sekarang, yang titian dakwahnya melalui Cina (Kanton), Pharang (Vietnam), Lerang dan trengganu, Malasia. Teori ini dianut oleh Tome Pieres dan SQ Fatimi.4 Teori-teori diatas mungkin saja ada benarnya, mengingat banyaknya wilayah pantai Nusantara yang menjadi pusat perdagangan dan sekaligus penyiaran Islam. Tetapi melihat nama syarif Husein Al-Kadri dan putranya Syarif Abdurrahman al-Kadri yang pertama kali membawa dan menyiarkan Islam di Kalimantan Barat, maka tidak diragukan lagi untuk wilayah Kalimantan barat saat itu pembawanya adalah juru dakwah dari Arab. Tidak dijelaskan secara pasti apakah Syarif Husein seorang pedagang atau Ulama karena diatas disebutkan aktifitasnya sebagai Ulama mencapai 20-an tahun. Tetapi diperkirakan, mulanya ia memang seorang pedagang, sebagaimana tipologi orang Arab pada umumnya, tetapi dimasa tuanya lebih memfokuskan sebagai Ulama atau juru dakwah. Sedangkan aktivitas dan bakat sebagai pedagang diwariskan kepada putranya, Syarif Abdurrahman al-kadri. Terbukti sewaktu mudanya Syarif Husein al-Kadri aktif berdagang mengelilingi daerah-daerah di Sumatera seperti Tambilahan, Siantan, Siak, Riau dan Palembang, juga dikawasana Kalimantan, seperti Banjar Kalimantan Selatan dan Pasir di Kalimantan Timur. Bahkan ia juga berhubungan dagang dengan para pedagang Indonesia lainnya dan
3

Khairi Syaf`ani, Meneladani Kearifan Ulama Terdahulu, Buletin al -Harakah Edisi 5l, (Banjarmasin: LK3. 2006). h. 1. 4 Anshar Rahmat- et al., Op. cit., h. 4.

pedagang mancanegara, seperti dari Arab, India, Cina, Inggris, perancis dan belanda. Dari pengalaman dan kesuksesannya berdagang, ia membangun armada dagang yang kuat yang dilengkapi persenjataan serta kapal-kapal yang tangguh, yang dipimpin seorang sahabatnya bernama Juragan Daud. Jadi masuknya Islam di Kalimantan Barat berjalan secara alami: Habib Husein alKadri sebagai juru dakwah pertama, dilanjutkan oleh putranya Syarif Abdurrahman alkadri bersama para kader dakwah lainnya. Disebut alami disini karena selain tugas dakwah dijalankan, aktivitas ekonomis juga digerakkan sehingga para juru dakwah perintis ini memiliki kekuatan ekonomi yang kuat. Dengan kekuatan ekonomi ini pula dakwah menjadi semakin berhasil, ditambah relasi yang luas dengan para pedagang lainnya.5Walaupun bagi Kalimantan barat, datangnya Islam yang dibawa oleh Syarif Husein alKadri, Kalimantan barta bukan merupakan daerah pertama yang

didatanginva.Dan rentetan kronologi sampai akhirnya beliau menetap dan memusatk~ul dakwah di Kalimantan Barat. Beliau sendiri lahir tahun 1118 H di Trim Hadramat Arabia. Tahun 1142 H setelah menamatkan pendidikan agama yang memadai, atas saran gurunya berangkat menuju negeri-negeri timur bersama tiga orang kawannya untuk mendakwah islam. Tahun 1145 H mulanya mereka tiba di Aceh.Sambil berdagang mereka mengajarkan Islam disana. Lalu perjalanan di lanjutkan ke Betawi (Jakarta) sedanglan temannya Sayyid Abubakar Alaydrus menetap di Aceh, Sayyid Umar Bachasan Assegaf berlayar ke Siak dan Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Quraisy ke Trenggano. Syarif Husein al-kadri tingggal di betawi selama 7 bulan, kemudian di Semarang selama 2 tahun bersama Syekh Salam Hanbali.Tahun 1149 beliau berlayar dari Semarang ke Matan (ketapang) Kalimantan Barat dan diterima di Kerajaan Matan. Seiring dengan usaha dakwahnya, penganut Islam semakin bertambah dan Islam memasyarakat sampai ke daerah pedalaman. Maka antara Tahun 1704-1755 M iadiangkat
5

bila diteliti jejak sukses dakwah Rasulullah, beliau memang tidak mengabaikan dukungan kekuatan ekonomi. Terbukti istri pertama beliau Khadijah adalah seorang hartawan yang siap mengorbankan harta bendanya untuk kepentingan dakwah.Selain itu beliau juga aktif menjalin hubungan dengan pihak luar untuk kepentingan dakwah. Lihat antara lain Muhammad Husein Haekal, Sejarah hidup Muhammad- alih bahasa Ali Audah, (Jakarta Litera Antamusa, 1990),.H . 4

sebagai Mufti (hakim Agama Islam) dikerajaan Matan. Selepas togas sebagai Mufti, beliau sekeluarga diminta oleh raja Mempawah Opo Daeng Menambun untuk pindah ke Mempewah dan mengajar agama disana sampai kemudian diangkat menjadi Tuan Besar Kerajaan Mempewah, sampai wafatnya tahun 1184 dalam usia 84 tahun.6 Konsolidasi Politik Islam di Kalimantan Barat tidak saja disebarkan dikalangan masyarakat grassproots (akar rumput) atau rakyat jelata, tetapi juga dikalangan bangsawan.Cara yang digunakan pada awalnya adalah dengan, mengawini putri-putri bangsawan.Syarif Husein mulanya kawin dengan Nyai tua seorang putri keluarga kerajaan Matan.Belakangan beliau juga kawin dengan Nyai tengah dan Nyai Bungsu juga dari lingkungan kerajaan Matan. Dari Nyai Tua lahir Syarif Abdurrlhnrm Al-Kadri yang belakangna menjadi pendiri Kesultanan Pontianak, Dari Nyai Tengah ia memiliki tiga anak, yaitu Syarifah Aisyah Syarif Abu Baikar dan Syarif Muhammad. Sedangkan dari Nyai_ Bungsu memperoleh tiga anak pula, yaitu Syarif Ahmad, Svarifah Marjanaj, Syarifah Noor.Ketiga istrinya itu bersaudara, namun dikawini secara ganti tikar setelah isiri yang ada meninggal.7 Melihat sepak terjang Syarif Husein diatas, tampak beliau membangun kekuatan dakwah. selain politik dengan mendekati keluarga Kerajaan yaitu mengawini putri-putri bangsawan Kerajaan dayak yang sudah masuk Islam. Cara seperti ini memang banyak dilakukan para Ulama terdahulu, seperti para Ulama Walisongo dijawa dan Ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.Dikalangan Ulama Walisongo tercatat diantaranya Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel dari hasil perkawinannya dengan Dewi Candrawati putri Brawijaya Kertabumi, cucu raja Majapahit8.Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari pernah kawin dengan Bajut (istri pertama) seorang putri Istana. Istri beliau yang lain, Ratu Aminah putri Pangeran Toha bin Sultan Tahmidillah, raja Banjar Islam yang ke-16 tampak disini, pintu perkawinan merupakan cara ampuh untuk mendekati lembaga kekuasaan. Terbukti kemudian Syarif Husein diangkat sebagai Mufti
6 7

Anshar Rahman, et al., Op. cit., h. 5-6 Ibid. , h. 25 8 Muhammad Ridwan, Kisah Wali Songo, (Surabaya: Bintang usaha Jay a, 1990) , h. 54.

di Kerajaan Matan. Dan hal sama juga Syekh Muhammad Arsyad diangkat menjadi mufti dikerajaan Banjar. Pengangkatan tersebut tentu saja tidak semata karena adanya pertalian darah melalui perkawinan, tetapi didukung oleh keutamaan mereka juga. Hal sama dilakukan oleh putra Syarif Husein, yaitu Syarif Abdurrahman alKadri. Ketika ayahnya diminta oleh Raja Mempawah Opo Daeng Menambun untuk pindah ke Mempawah dan diangkat untuk menjadi tuan Besar Mempawah, Abdurrahman dikawinkan dengan Utin Candra Midi, putri Raja Opu Daeng Menambun. Jadi ada keberlanjutan pertalian darah antara darah Ulama dengan darah raja.Pertalian inilah yang membuat posisi Syarif Husein dan Syarif Abdurrahman AlKadri beserta keturunannya semakin kuat. Sebelum memperkuat karir politiknya, Syarif Abdurrahman Al-Kadri menjadi pedagang antar pulau. Sebagai mana disebutkan terdahulu ia memiliki armada dagang yang dilengkapi persenjataan di laut. Pernyataan ini seolah bertentagan dengan pernyataan terdahulu bahwa para pedagang Arab tidak tertair menggunakan senjata, dalam berdakwah.Sebenarnya tidak ada yang bertentangan dalam hal ini.Senjata yang digunakan oleh Syarif Abdurrahman al-Kadri adalah untuk mengawal armada dagangnya, sebab saat itu sudah terjadi persaingan antar kapal dagang, terutama kapal dagang asing dan juga untuk mengantisipasi serangan perompak laut (bajak laut).Kemungkinan besar angkatan bersenjata yang mengawal armada dagangnya tidak semata miliknya tetapi juga dibantu oleh Kerajaan Matan dan Kerajaan Mempawah yang sudah Islam ketika itu.Jadi Senjata bukan untuk dakwah, hanya mengawal dagang. Mendirikan Kesultanan Pontianak Setelah Syarif Abdurrahman Al-Kadri mengurangi aktifitas dagangnya. ia kemudian lebih memfokuskan untuk mendirikan suatu kerajaan atau kesultanan Islam. Mulanya tahun 1185 H (1771 M) ia meninggalkan Mempawah menuju Pontianak. Setelah 4 hari berlayar disungai Kapuas, rombongannya mendarat di Istana Kadriah yang sekarang dinamai Pontianak. Di sini ia membangun perumahan dan balai serta masjid. Di

tahun yang sama ia balik ke Mempawah untuk membawa serta keluarga dan mengambil armada Tiang Sambung ke Pontianak. Tahun 1777 dengan dibantu Raja Haji dari Riau, ia berlayar ke Tayan dan Sanggau untuk menaklukkannya dibawah kekuasaan Pontianak Selanjutnya tahun 1778 dengan dihadiri oleh para sultan dan penambahan dari Landang. simpang, Sukadana, Malay dan Mempawah, raja haji mengangkat dan menobatkan Syarif Abdurrahman alKadri menjadi Sultan dari kesultanan Pontianak. Setelah itu kesultanan Pontianak terus menguat dan menguasai Mempawah, Sambas, dll, baik dengan jalan perang maupun damai.[10] Setelah Sultan Syarif Abdurrahman AI-Kadri wafat tahun 1808 M, berturutturut sejumlah sultan keturunannya berkuasa di Kesultanan Pontianak, yaitu: Sultan Syarif Kasim Al-Kadri (1808-1819) Sultan Syarif Usman AI-Kadri (1819-18SS) Sultan Syarif Hamid Al-Kadri (1855-1872) Sultan Syarif Yusuf Al-Kadri (1872-1895) Sultan Syarif Muhammad Al-Kadri (185-1944) Sultan Syarif Thaha Al-Kadri (1944-1945)

Sultan Syarif Hamid Al-Kadri (Sultan Hamid), (1945-1950) Adanya Kesultanan Pontianak yang dibangun oelh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Kadri, putra Syarif Husein al-Kadri ini menarik untuk dikomentari. Sebelumnya disebutkan pedagang Arab atau Ulama asal Arab yang datang ke Indonesia tidak teriarik untuk membangun kekuatan Politik (political power) dengan cara mendirikan kerajaan sendiri yang dikuasai oleh keturunan Arab. Mereka lebih senang menjadi Ulama yang bersekutu dengan pihak kerajaan.Itu sebabnva tidak banyak diketahui orang Arab atau keturunan Arab yang menjadi pengusaha di Nusantara.Dari sedikit itu tercatat misalnya Fatahillah (Syarif Hidayatullah) yang berkuasa di Banten dan berhasil mengusir Poriugis dari Sunda Kelapa (Jayakarta) menguasainya.sehingga ia dianggap sebagai pendiri kota Jayakarta atau Jakarta sekarang, dan namanya diabadikan sebagai nama Universitas Islam negeri (UIN/ sebelumnya IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Mengapa Syarif Abdurrahman AI-Kadri tertarik terjun kedua politik dan selanjutnya menjadi sultan Pontianak Pertama, ini tidak terpisahkan dari darah yang mengalir pada dirinya. Walaupun ayahnya yarif Husin seorang Ulama Besar yang pernah diangkat menjadi Mufti dan tuan besar dan Syarif Abdurrahman pun diberikan pendidikan agama yang kuat oleh ayahnya, amun pada diri Syarif al-Kadri juga mengalir darah bangsawan kerajaan, sebab ibunya (Nyai Tua) adalah putri raja Matan, dan istrinya sendiri (Utin Chandra Midi) adalah putri raja Mempawah. Patutu juga dicatat, salah satu istri Syarif Abdurrahman AI-Kadri adalah ratu Syacharanom, putri dari kerajaan banjar, sehingga is sempat digelari Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam.9 Dalam keadaan mengalir darah raja dan banyak bergaul dengan lingkungan kerajaan, bahkan kawin dengan putri-putri raja dapat dimaklumi jika Syarif Abdurrahman AI-Kadri punya naluri berkuasa yang besar sehingga berhasil membangun kesultanan Pontianak yang sangat besarnya dalam mengembangkan Islam di Kalimantan Barat. Pilihan politik ini, walaupun sepintas menyimpang dari tradisi orang Arab dan keturunannya di Indonesia yang lebih tertarik berdagang dan berdakwah, namun pilihan itu tidak dapat dikatakan salah. Dengan memiliki power politik sesudah power ekonomi melalui keberhasilan berdagang, agama Islam akan semakin berkembang dan memiliki kekuatan politik di Kalimantan Barat. Sebab dakwah Islam atau agama Islam akan kuat apabila ditopang oleh kekuasaan dan ekonomi. Lagi pula kekuasaan Syarif Abdurrahman Al-Kadri bukan semata karena ambisi politiknya, tetapi juga didukung oleh para Sultan dari kerajaan lain, jugs dukungan rakyat. Salah satu kekuatan politik Kesultanan Pontianak adalah adanya toleransi beragama yang tinggi. Kepercayaan agama lain diluar Islam seperti Animisme, Khonghucu, dll, tetap dihormati. sehingga tidak terjadi konflik antaragama atau hal-hal negative lainnya. Bahkan di Kalimantan Barat bukan hal aneh bila mesti berdampingan atau berdekatan letaknya dengan klenteng, balai slot Dayak, dll.10 Adanya toleransi yang tinggi ini, membuat masyarakat non muslim tidak berkeberatan dikuasai oleh Kesultanan

10

Anshar Rahman, Loc. Cit. Anshar Rahman, Loc. Cit.

Pontianak yang Islam. Konflik politik Dengan Kolonial Belanda Sebagai pemerintah penjajah belanda sangat berambisi Indonesia, tidak terkecuali daerah Kalimantan Barat yang dikuasai Kesultanan Pontianak. Beberapa hal yang mendorong belanda ingin mengembangkan sayap kekuasaan politiknya di Kalimantan barat adalah Belanda kuatir akan didahului oleh Sir Anthony Brooke yang berkuasa di Brunei dan Serawak dibawah kekuasaan Inggris, yang lebih dekat dengan Kalimantan Barat ketimbang kekuasaan Belanda yang berpusat di Batavia.

Adanya sumber daya Islam di Kalimantan barat seperti emas.Mulanya didatangkan banyak pekerja kasar cina ke Sambas dan Mempawah untuk menjadi buruh pertimbangan emas.Tetapi kemudian diantara pekerja itu ada yang membandel dan melawan aturan Kerajaan, sehingga colonial Belanda merasa campur tangan.

Banyaknya penyamun dan bajak laut di perairan Kalimantan Barat; Selat Karimata, taut Cina selatan dan sekitarnya yang mengganggu lalu lintas kapal-kapal dan Belanda dan pedagang lain. Karena itu belanda merasa perlu mengamankan diri sekaligus menguasai daerah setempat.11 Dengan beberapa latar belakang di atas, belanda melakukan pendekatan dengan kesultanan Pontianak. Mulanya, tahun 1779 M Presiden belanda Willem Adrian Palm mewakili VOC. Ditahun itu diikat perjanjian kedua pihak dan VOC diberi ijin membuka kantornya di Pontianak Tahun 1792-1808 Sultan Syarif Abdurrahman Al-kadri bersamasama Belanda membangun Pontianak, dan kewenagan Belanda dipusatkan disebelah barat Sungai Kapuas. Karena kekuasaan Belanda semakin kuat maka Sultan Svarif berada dalam tekanan, dan terpaksa menyerahkan kekuasaan politiknya kepada

Belanda.Penyerahan itu diperhalus bahasanya menjadi meminjam, tetapi dalam tafsiran Belanda, jusiru Sultan yang harus rneminjam kepada Mereka dengan beberapa konsesi. Isi Acte Van Investiture antara Nederlanche st Indische Compagnie dengan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Kadri pontinak tanggal 5 juli 1779.diantaranya:

11

Pemerintah Daerah Kalimantan Barat, Sejarah perjuangan Rakyat Kalimantan Barat, (Pontianak: Pemda Tk Kalbar, 1990), h.10.

Komponi belanda meminjamkan wilayah kekuasan kepada sultan Pontianak

Bila sultan wafat, para menteri mengusulkan kepada kompeni calon sultan yang patut di angkat atas persetujuan kompeni.

Sultan hanya boleh mengangkat menteri dan pejabat tinggi atas seizin kompeni Sultan berkewajiban menyerahkan hasil-hasil hutan, emas, intan, lada, sarang burung, sisik ikan, bide dan sage kepada kompeni dengan harga yang di tentukan sendiri oleh kompeni. Mata uang Belanda (Golden) yang diberlakukan di Batavia juga harus diberlakukan di Kalimantan barat.12 Banyak sekali dictum isi perjanjian tersebut, mencapai 18 macam, yang intinya mengebiri kedaulatan dan kekuasaan sultan-sultan Pontianak.Sultan Syarif Abdurrahman A1-Kadri dan keturunanya terpaksa menuruti.Sebagai imbalannya, Kesultanan Pontianak tidak dihapus tetap di ijinkan berkuasa, tetapi dengan kewenangan yang sudah jauh dikurangi. Jadi konflik politik dengan Belanda tidak secara langsung diwarnai dengan perang fisik, namun sultan mendapat tekanan berat sehingga merelakan kedaulatannya di preteli. Ini berbeda dengan kesultanan lain yang melakukan perang fisik seperti Aceh dan Banjar, begitu kalah langsung dihapus kerajaan tersebut dari daerah yang dikuasinva Itulah sebabnya, konflik politik dengan Belanda, walaupun merugikan sultan dan rakyat, tetapi tidak terlalu tajam. Bahkan sultan pontianak terakhir, yaitu sultan Syarif Hamid Al-Kadri yang lebih dikenal dengan Sultan Hamid II pernah disekolahkan Belanda ke Koningkelijk Militair Academic (KMA) di Belanda dan diangkat Belanda menjadi Perwira KNIL di Balikpapan, Malang dan beberapa daerah lainnya di Jawa. Di era-era kemerdekaan, nama Sultan Abdul Hamid II cukup terkenal karena ia dianggap memihak Belanda (MICA) dalam kapasitasnya sebagai perwira KNIL. Bahkan Van Mook membebaskannya dari penjara karena sempat ditahan saat jepang dan sekutu

12

Ibid h. 12

datang, dan mengangkatnya kembali sebagai Sultan Pontianak.Semangat kemerdekaan yang tumbuh dihati rakyat membuat Sultan Hamid serba salah antara memihak Belanda dengan rakyat (pemerintah RI).la setuju mereka, tetapi menghendaki Negara federal. Tetapi setelah konferensi meja bundar dan penyerahan kedaulatan kepada RI tanggal 27 Desember 1949, Sultan Hamid II mengalami banyak kekecewaan. Selain gagal dengan tujuannya berkuasa di Negara Federal Kalimantan Barat, ia juga diangkat sebagai Menteri Pertahanan karena berpengalaman di akademi militer dan tugas-tugas lapangan.13 Karena berbagai kekecewan politik akhirnya ia menjauhi dunia politik dan kembali ketengah keluarga sambil pensiun dan menjadi Presiden Komisaris PT. Indonesia Air Transport, sampai wafatnya tanggal 30 Maret l 968

13

Anshar Rahman, Op. h. 95-96

BAB III PENUTUP KESIMPULAN 1. Masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan tidak identik dengan berdirinya Kerajaan Banjar (Banjarmasin): Islam masuk ke Kalimantan Selatan setidak-tidaknya pada awal abad ke 15, bersama datangnya pedagang-pedagang Gujarat dan Cina yang singgah berdagang di bandar-bandar Kalimantan Selatan; Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam pertama di Kalimantan selatan. Rajanya berna Raden Samudera, yang setelah beragama Islam bernama Sultan Suriansyah. Memerintah sekitar tahun 1526-1550; Sejak berdirinya Kerajaan Banjar penyebaran Islam dilakukan lebih giat dan meluas. Pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah terkenal seorang yang berjasa dalam penyebaran Islam di Kalimantan Selatan bernama Khatib Dayyan. 2. Masyarakat Kalimantan selatan yang mula-mula menerima ajaran Islam tersebut, masih tidak dapat melepaskan diri dari unsur-unsur kepercayaan lama (Kaharingan, Syiwa-Budha). Kegiatan-kegiatan mereka yang berhubungan dengan ibadah dan amaliah dalam keagamaan masih dipengaruhi oleh tradisitradisi kepercayaan yang pernah berkembang sebelumnya. 3. Pembaharuan-pembaharuan dan penyebaran ajaran Islam yang langsung bersumber dari Mekah baru dimulai pada awal abad ke 18, yakni oleh Syekh Muhammad Arsyad al Banjari. Dalam usaha penyebaran ajaran Islam tersebut beliau melakukan pengajian dan penyebaran anak cucu /murid-muridnya ke daerah-daerah pedalaman Kalimantan Selatan, di samping juga menulis bukubuku agama yang kemudian tersebar di beberapa daerah di Nusantara bahkan sampai dan digunakan di beberapa negara Asia tenggara.-

You might also like