You are on page 1of 8

Tugas Individu Makalah Pengendalian Vektor

NAMA: STAMBUK KELAS JURUSAN

AKSA AFRIANDI : : : 14120100261 LW1 KESEHATAN LINGKUNGAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2012/2013

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Filariasis di dunia dilaporkan menghabiskan dana 5 juta US $ setiap tahun untuk penanggulangannnya dan menduduki ranking 3 setelah malaria dan tubercolosis (ANONIM, 2002a). Pada daerah tropis dan subtropis kejadiannya terus meningkat disebabkan oleh karena perkembangan kota yang cepat dan tidak terencana, yang mencetak berbagai sisi perkembangbiakan nyamuk yang akan menularkan penyakit ini. Penyakit ini menjadi persisten karena kurangya alat control dan strategi yang efektif dan mudah diterapkan pada negara endemis (ANONIM., 2000). Tiga spesies cacing filaria penyebab filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Wuchereria bancrofti merupakan spesies yang paling umum ditemukan pada kasus infestasi oleh cacing ini (SCHMIDT dan ROBERT, 2000). Penyebaran penyakit diperantarai oleh nyamuk sebagai vektor. Cacing dewasa filaria hidup pada pembuluh limfasedangkan microfilaria hidup dalam darah (MCMAHON dan SIMONSEN, 1996). Cacing betina melepaskan microfilaria dalam pembuluh darah tepi dan dihisap oleh nyamuk yang selanjutnya agen infeksi ini disebarkan dari hewan ke manusia atau dari manusia ke manusia (ANONIM., 1996; SCHMIDT dan ROBERT, 2000). Filariasis di Indonesia sepanjang tahun 2004-2005 ini telah dilaporkan terjadi di Sumatera Selatan sebanyak 48 kasus (ANONIM., 2005a), Tangerang 32 kasus (ANONIM., 2005b), Depok 1 kasus, dan lebih 17 Kabupaten di Jawa Barat termasuk Bogor (5 kasus), Sukabumi (6), Cianjur (6), Garut (7), Tasikmalaya (7), Ciamis (7), Kuningan (4), Cirebon (4), Majalengka (1), Subang (6) , Purwakarta (5), Krawang (2), Bekasi (61), kota bekasi (18), kota Sukabumi (4), kota Bandung (1) (ANONIM., 2004).

B. RUMUSAN MASALAH Bagaimana kebiasaan masyarakat tersebut menyebabkan peluang kontak antara manusia dengan vektor filariasis menjadi semakin besar sehingga potensi untuk menularkan filariasis. C. TUJUAN Untuk mengetahui bionomik nyamuk pembawa cacing Brugia malayi dan bagaimana perkembangbiakan nyamuk dan cacing tersebut di lingkungan.

BAB II PEMBAHASAN

A. HASIL DAN PEMBAHASAN Penangkapan nyamuk dilakukan dengan umpan manusia di luar dan di dalam rumah, serta penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah pada malam hari. Setiap kali penangkapan dilakukan selama 12 jam (mulai jam 18.0006.00), kegiatan penangkapan dilakukan 10 kali, setiap dua minggu sekali dilakukan penagkapan. Semua nyamuk yang tertangkap dipelihara selama 12 hari di dalam paper cup masing-masing dan diberi makan larutan gula 10 %. Selanjutnya pada hari 11-12 nyamuk diidentifikasi, dibedah tubuhnya dan dihitung populasinya sesuai spesies masing-masing. Identifikasi dilakukan seacara individu dengan mikroskop stereo dan dicocokkan dengan kunci identifikasi O'Connor dan Soepanto (1979). Pembedahan nyamuk dilakukan secara individu terhadap ovarium dan seluruh tubuhnya, untuk mengetahui parous dan nulliparous dan mengetahui larva cacing filarial stadium L1, L2 dan L3. Karena mikrofilaria tidak ditemukan di daerah penelitian, maka infeksi percobaan dilakukan dengan cara mengambil nyamuk dari daerah penelitian kemudian digigitkan pada penderita filaria di daerah Bekasi, Jawa Barat. Cara melakukan infeksi percobaan adalah : nyamuk dimasukkan ke dalam kurungan nyamuk kemudian di bawa ke tempat penderita filaria untuk digigitkan pada malam hari antara pukul 20.00 sampai 24.00, sampai perut nyamuk penuh darah. Selanjutnya nyamuk dipelihara selama 14 hari dengan diberi makan larutan gula 10 % dan tempat bertelur nyamuk berupa cawan atau gelas berisi air. Pada hari ke 14 nyamuk dibedah secara individu, diidentifikasi dan dihitung populasinya. Pembedahan dilakukan untuk mengetahui adanya larva cacing filaria dalam tubuh nyamuk pada stadium L1, L2 dan L3. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dan pelacakan kasus ditemukan lima penderita elefantiasis, dan kelima penderita tersebut secara epidemiologi bersifat indigenous (penularan setempat), yaitu tidak pernah tinggal di tempat lain sebelum dan selama menderita elefantiasis. Hasil pemeriksaan klinis terhadap 323 penduduk kontak serumah dan di sekitar penderita elefantiasis ditemukan penderita

klinis filariasis akut sebanyak 24 orang, dengan tanda-tanda berupa peradangan kelenjar getah bening pada lipat paha dan ketiak, yang disertai demam berulang atau tidak, peradangan pada kelamin dan skitarnya serta radang pada payudara. Sedangkan tanda-tanda klinis kronis yang ditemukan berupa pembengkakan pada kaki bagian bawah dan kaki bagian bawah lutut, yang sebelumnya ditandai adanya limfadenitis berupa peradangan pada lipat paha atau ketiak yang disertai demam berkala, dan limfangitis berupa peradangan pada saluran getah bening di paha dengan tanda kemerahan dan rasa nyeri sampai ke bagian bawah kaki. Berdasarkan hasil temuan di atas diketahui bahwa angka kesakitan akut (AKA) sebesar 7,4 % dan angka kesakitan kronis (AKK) sebesar 1,55 % Berdasarkan tanda-tanda klinis akut yang ditemukan, maka filariasis di desa Gondanglegi Kulon dapat dikategorikan filariasis bancrofti (WHO, 1984), yang ditandai dengan gejala khas berupa peradangan pada lipat paha, alat kelamin dan sekitarnya serta payudara yang disertai demam berkala atau tidak. Dari gejala klinis kronis yang ditemukan, maka jenis elefantiasis ini dapat dikategorikan filariasis bancrofti dan filariasis malayi, yang ditandai adanya limfodema pada kaki bagian bawah dan bagian bawah lutut. Gejala tersebut sebelumnya didahului tanda-tanda limfadenitis atau peradangan pada kelenjar getah bening dan limfangitis atau peradangan pada saluran getah bening dan setiap terjadi serangan selalu disertai demam berkala 3-5 hari, serta serangan tersebut dialami 4-7 kali setiap tahunnya. Secara epidemiologis penyebaran kasus elefantiasis menurut kelompok umur dan lokasi menunjukan telah terjadi penularan filariasis pada waktu yang lalu di desa Gondanglegi Kulon. Berdasarkan hasil penangkapan nyamuk dengan berbagai cara penangkapan ditemukan nyamuk sebanyak 3310 ekor, yang terdiri atas empat genus dan 11 spesies, yaitu tempat spesies dari genus Culex, lima spesies Anopheles, satu spesies Aedes dan satu spesies Armigeres. Dari hasil penangkapan nyamuk dengan umpan manusia di dalam rumah , diketahui bahwa angka kelimpahan nisbi yang paling tinggi adalah Cx. quinquefasciatus (70,63 %), diikuti oleh Cx. tritaeniorhynchus (18,76 %), An. vagus (3,93 %), Ae. aegypti (3,63 ), selanjutnya spesies lain angka kelimpahan nisbinya antara 1,08 % - 0,0 %. Angka kekerapan tertangkap yang tertinggi juga pada Cx. quinquefasciatus (91,53 %),

selanjutnya Cx. tritaeniorhynchus (62,71 %), Ae. aegypti (26,27 %) dan An. vagus (20,34 %), sedangkan spesies lainnya angka kekerapan tertangkap antara 9,3 % 0,0 %. Dari hasil penangkapan nyamuk dengan umpan manusia di luar rumah , diketahui bahwa angka kelimpahan nisbi yang paling besar pada Cx.

quinquefasciatus (64,51 %), diikuti oleh Cx. tritaeniorhynchus (22,36 %), An. vagus (6,24 %), Ae. aegypti (2,88 %), selanjutnya spesies lain angka kelimpahan nisbinya antara 1,36 % - 0,0 %. Angka kekerapan tertangkap yang tertinggi juga pada Cx. quinquefasciatus (93,22 %), selanjutnya Cx tritaeniorhynchus (58,47 %), An. vagus (28,81 %) dan Ae. aegypti (22,88 %), sedangkan spesies lainnya angka kekerapan tertangkap antara 10,17 %-0,0 %. Dari hasil penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah, diketahui bahwa angka kelimpahan nisbi yang tertinggi adalah Cx. quinquefasciatus (65,61 %), diikuti oleh Cx. tritaeniorhynchus (19,40 %), An. vagus (7,01 %), Ae. aegypti (4,13 %), diikuti spesies lain angka kelimpahan nisbinya antara 1,54 %-0,10 %. Angka kekerapan tertangkap yang paling tinggi adalah Cx. quinquefasciatus (91,53 %), diikuti Cx. Tritaeniorhynchus (58,47 %), Ae. aegypti (27,12 %) dan An. vagus (25,42 %), sedangkan spesies lainnya angka kekerapan tertangkap antara 9,32 %-0,85 %. Perkiraan umur nyamuk dapat diketahui berdasarkan angka nyamuk pernah bertelur (parous rate) dan angka peluang hidup nyamuk per hari. Angka parous rate menunjukkan angka besarnya nyamuk yang pernah bertelur dari semua nyamuk yang diperiksa, Pembedahan dilakukan terhadap semua nyamuk yang tertangkap dengan berbagai cara penangkapan secara alami, sebanyak 3310 ekor, yang terdiri atas 11 spesies. Hasil pembedahan menunjukkan tidak ditemukan adanya larva filariasis secara alami di dalam tubuh nyamuk namun karena ada kematian selama diperjalanan pulang pergi ke Bekasi, sehingga sampai di Surabaya dan dipelihara selama 14 hari, maka nyamuk yang masih hidup atau yang dapat dibedah sebanyak 126 ekor yang terdiri dari enam spesies, diantaranya 60 Cx. quinquefasciatus, 30 Cx. tritaeniorhynchus, 27 An. vagus, 5 Ae. aegypti, 2 An. indefinitus dan 2 An. subpictus. Dan dari nyamuk yang dibedah ditemukan 8 nyamuk Cx.

Quinquefasciatus positif mengandung larva filariasis bancrofti stadium L2 dan L3 (

Tabel 8). Angka infeksi dan angka infektif Cx. quinquefasciatus sama yaitu 13,33, hal ini karena nyamuk yang ditemukan L2 dan L3 maupun L3 saja jumlahnya sama, yaitu 8 ekor dari semua nyamuk yang dibedah. Hasil penelitian menunjukkan Cx. quinquefasciatus menggigit manusia di dalam rumah ditemukan pada jam penangkapan pertama (18.009.00) sampai penangkapan terakhir (05.0006.00). Pola menggigit nyamuk Cx. quinquefasciatus di dalam maupun di luar rumah menunjukkan fluktuasi yang relatif sama, yaitu mulai meningkat kepadatan menggigitnya pada jam 21.00 sampai 02.00 (48,4 %) dan mencapai puncaknya pada jam 24.00. Jam 02.00 04.00 menurun dan meningkat lagi jam 04.0006.00.

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Desa Gondanglegi Kulon merupakan daerah endemis filariasis klinis yang dibuktikan adanya penderita filariasis klinis akut dan kronis 2. Melihat tanda-tanda gejala klinis akut dan kronis yang ada, maka filariasis di desa Gondanglegi Kulon dapat di kategorikan filariasis bancrofti dan filariasis malayi. 3. Di Desa Gondanglegi Kulon diduga telah terjadi penularan filariasis pada waktu yang lalu, yang ditunjukkan dengan semakin bertambahnya jumlah penderita elefantiasis dari satu orang manjadi lima orang dan ditambah beberapa penderita klinis akut yang ditemukan
4.

Vektor filariasis utama yang diduga menjadi penular penyakit adalah Cx.

quinquefasciatus yang ditujukkan dengan angka padat populasi, angka kelimpahan nisbi dan angka dominasi semuanya tertinggi, sedangkan vektor potensialnya adalah Cx. bitaeniorhynchus, An. vagus dan An. subpictus. B. SARAN 1. Dengan adanya pengobatan terhadap penderita elefantiasis yang cukup berhasil dilakukan di Desa Gondanglegi Kulon dan sekitarnya maka sebaiknya dapat dilanjutkan dan dikembangkan pada penderita elefantiasis lain yang sejenis yang ada di Jawa Timur. 2. Untuk memutus mata rantai penularan filariasis disamping dilakukan pengobatan penderita filariasis, juga perlu dilakukan pengendalian vektor terhadap nyamuk dewasa maupun pradewasa, dengan upaya-upaya secara biologi, pengendalian lingkungan ataupun secara kimiawi secara terbatas. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memastikan spesies filariasis dan vektor yang diduga agar betul-betul terbukti dialam tentang adanya filariasis dan terjadinya penularan, dengan memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan karakteristik parasit dan vektornya.

You might also like