You are on page 1of 84

SERBA SALAH

Listyani Gunawan 405090258

MIND MAP
Dokter

Rahasia Pasien Hak dan Kewajiban Dokter Inform consent

Istri Rujuk ke Sp OG Tes skrining HIV Gawat janin Pra-operasi HIV (+) Janin Suami menuntut Dengan dugaan Malpraktek Medikolegal Aspek Etika pada Kasus Khusus

BBN Suami diskrining HIV tanpa Diberi tahu HIV (-)

Learning Object
MM

UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan MM Medikolegal MM inform consent MM BBN MM Malpraktek MM Rahasia Kedokteran

LO 1
UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Hak dan Kewajiban


Pasal 4 Setiap orang berhak atas kesehatan. Pasal 5 (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. (2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. (3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Bagian Kesatu Hak

Pasal 6 Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. Pasal 7 Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Pasal 8 Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Bagian Kedua Kewajiban

Pasal 9 (1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan. Pasal 10 Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial. Pasal 11 Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya. Pasal 12 Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya. Pasal 13 (1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. (2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sumber Daya di Bidang Kesehatan

Pasal 21 (1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan. (2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. (3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang. Pasal 22 (1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum. (2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 23 1. Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. 2. Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. 3. Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.

Bagian Kesatu Tenaga Kesehatan

4. Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi. 5. Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
1.

2. 3.

1.

2.

3.

Pasal 24 Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi. Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 25 Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan. Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggungjawab Pemerintah dan pemerintah daerah. Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

1. 2. 3.

Pasal 26 Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan. Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:

4.

5.

Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata. Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 27 Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 28 Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kompetensi dan kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki. Pasal 29 Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat; jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada.

1. 2. 3.

1.

2.

Bagian kedua Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pasal 30 1. Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas: b. pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. b. c.

a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan

(3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta. (4) Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku. (5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah

pelayanan kesehatan tingkat pertama; pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan pelayanan kesehatan tingkat ketiga.

Pasal 31 Fasilitas pelayanan kesehatan wajib: a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan; dan b. mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah daerah atau Menteri.

1.

2. 1.

2. 1.

2.

3.

Pasal 32 Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Pasal 33 Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan. Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 34 Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan. Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

1. 2.

Pasal 35 Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya. Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan:
a. b. c. d. e. f. g.

luas wilayah; kebutuhan kesehatan; jumlah dan persebaran penduduk; pola penyakit; pemanfaatannya; fungsi sosial; dan Kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.

3.

4.

5.

Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk fasilitas pelayanan kesehatan asing. Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk jenis rumah sakit khusus karantina, penelitian, dan asilum. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

UPAYA KESEHATAN
Pasal 46 Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Pasal 47 Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Pasal 48 1. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan : a. pelayanan kesehatan; b. pelayanan kesehatan tradisional; c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit; d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan; e. kesehatan reproduksi; f. keluarga berencana; g. kesehatan sekolah; h. kesehatan olahraga; i. pelayanan kesehatan pada bencana; j. pelayanan darah; k. kesehatan gigi dan mulut; l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran; m. kesehatan mata; n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan; o. pengamanan makanan dan minuman; p. pengamanan zat adiktif; dan/atau q. bedah mayat. 2. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan.

Bagian Kesatu Umum

1. 2.

1. 2.

3.

4.

1.

2. 3.

Pasal 49 Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi. Pasal 50 Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan. Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat. Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pengkajian dan penelitian. Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas sektor. Pasal 51 Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat. Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 52 1. Pelayanan kesehatan terdiri atas: a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan b. pelayanan kesehatan masyarakat.

Bagian Kedua Pelayanan Kesehatan Paragraf Kesatu Pemberian Pelayanan

2. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
1. 2. 3.

Pasal 53 Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga. Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat. Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya. Pasal 54 Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pasal 55 Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan. Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

1. 2. 3.

1. 2.

1.

2.

Pasal 56 Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas; b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau c. gangguan mental berat.

Paragraf Kedua Perlindungan Pasien

3.

Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 57 Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal: a. perintah undang-undang; b. perintah pengadilan; c. izin yang bersangkutan; d. kepentingan masyarakat; atau kepentingan orang tersebut. Pasal 58 Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

1. 2.

1.

2.

3.

PENYIDIKAN

Pasal 189 1. Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan. 2. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang kesehatan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang kesehatan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan; d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang kesehatan; e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan; f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan; g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan. 3. Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

KETENTUAN PIDANA
1. 2.

Pasal 190 Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 191 Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 192 Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 193 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Pasal 194 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 195 Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 196 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 198 Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 199 1. Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); 2. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 200 Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

Pasal 201 1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200. 2. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum.

MENJELASKAN ASPEK MEDIKOLEGAL

UU Pradok
Sesudah diterbitkannya Undang-Undang Praktik kedokteran (UU Pradok) tahun 2004, norma disiplin menjadi hal baru yang perlu diperhatikan dan dikaji, karena didalam Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) ada lembaga yang disebut sebagai Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dengan tujuan menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran

Disiplin kedokteran
adalah norma kepatuhan aturanaturan/ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan atau lebih khusus kepatuhan menerapkan kaidah-kaidah penatalakasanaan klinis (asuhan medis) yang mencakup: penegakan diagnosis, tindakan pengobatan, menetapkan prognosis

hubungan dokter (termasuk spesialisasi) dengan pasien


1. Hubungan Kebutuhan 2. Hubungan Kepercayaan 3. Hubungan Keprofesian 4. Hubungan Hukum

Aspek medikolegal
Aspek medikolegal hubungan antara dokter-pasien ada dua hal yang perlu mendapat perhatian yaitu: 1. Komunikasi antara dokter dengan pasien 2. Persetujuan tindakan kedokteran. yang sering mengundang timbulnya masalah antara dokter dan pasien.

PIDANA

vs

PERDATA
Individu vs individu Dapat diwakili pengacara Pembuktian : penggugat Penengah : Hakim Kebenaran : formil UU: KuhPer,KUHD,DLL Sanksi: ganti rugi, rehabilitasi

Individu vs publik Publik diwakili penyidik, penuntut umum Pembuktian : P.U Penengah : hakim, sistem juri UU: KUHAP,KUHP,dll Kebenaran : materiel Sanksi : mati, SH, penjara, sita , denda

PERDATA

PIDANA

Prosedur mediko-legal
Prosedur

mediko-legal adalah tata-cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagaiaspek yang berkaitan pelayanan kedokteranuntuk kepentingan hukum untuk kepentingan hukum. Secara garis besar prosedur mediko-legal mengacu kepada peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran

Lingkup prosedur medikolegal


pengadaan visum et repertum, tentang pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka. pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan Pemberian keterangan ahli di persidangan dan pemberian keterangan ahli di dalam persidangan kaitan visum et repertum dengan rahasia kedokteran tentang penerbitan Surat Keterangan Kematian dan surat keterangan medik tentang fitness / kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik

Kriteria Pidana Seorang dokter dapat dikenakan sanksi pidana, bilamana ia berbuat kriminal seperti :

Melakukan penipuan terhadap pasien ( pasal 378 KUHP) Pembuatan surat keteranan palsu ( pasal 263 KUHP) Kesengajaan membiarkan penderita tidak tertolong ( pasal 349 KUHP) Tidak memberikan pertolongan pada orang yang berada dalam bahaya ( pasal 304 KUHP ) Euthanasia ( pasal 344 KUHP ) Melakukan pengguguran atau abortus provocatus ( pasal 346-349 KUHP ) Penganiayaan ( pasal 351 KUHP) dan luka berat ( pasal 90 KUHP )

Kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau luka luka berat pada diri orang lain ( pasal 359-361 KUHP ) Pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran ( pasal 322 KUHP ) Penyerangan seksual ( pasal 284-294 KUHP ) Pelanggaran kesopanan ( pasal 290 ayat 1, pasal 285 dan 286 KUHP ) Memberikan atau menjual obat palsu ( pasal 386 KUHP )

Kriteria Perdata

Pasal 1365 KUHPdt : penimbul ganti rugi atas diri orang lain pelakunya harus membayar ganti rugi Pasal 1366 KUHPdt : selain penimbul / kesengajaan, juga akibat kelalaian atau kurang berhati-hati Pasal 1367 KUHPdt : majikan ikut bertanggung jawab atas perbuatan orang dibawah pengawasannya Pasal 1388 KUHPdt : wanprestasi ganti rugi Pasal 58 UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan : ganti rugi Pasal 66 UU No.29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran : ganti rugi Doktrin perbuatan melawan hukum seperti tindakan tanpa informed consent, salah orang/ salah organ, product liability

Informed Consent

Definisi Persetujuan Tindakan Kedokteran

Persetujuan pasien atau yang sah mewakilinya atas rencana tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi setelah menerima informasi yang cukup dapat membuat persetujuan. Pernyataan sepihak dari pasien dan bukan perjanjian antara pasien dengan dokter atau dokter gigi, sehingga dapat ditarik kembali setiap saat. Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi merupakan proses sekaligus hasil dari suatu komunikasi yang efek tif antara pasien dengan dokter atau dokter gigi, dan bukan sekedar penandatanganan formulir persetujuan.

Jenis Consent
Expressed

(dinyatakan)

Lisan Tertulis

Implied

( tidak dinyatakan)

Tindakan pasien Aturan hukum pada situasi tertentu (misalnya pada keadaan gawat-darurat medis)

Informasi yang sebaiknya diberikan kepada pasien

Diagnosis dan prognosis secara rinci dan juga prognosis apabila tidak diobati Ketidakpastian tentang diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis banding) termasuk pilihan pemeriksaan lanjutan sebelum dilakukan pengobatan Pilihan pengobatan atau penatalaksanaan terhadap kondisi kesehatannya, termasuk pilihan untuk tidak diobati Tujuan dari rencana pemeriksaan atau pengobatan; rincian dari prosedur atau pengobatan yang dilaksanakan, termasuk tindakan subsider seperti penanganan nyeri, bagaimana pasien seharusnya mempersiapkan diri, rincian apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, termasuk efek samping yang biasa terjadi dan yang serius Untuk setiap pilihan tindakan, diperlukan keterangan tentang kelebihan/keuntungan dan tingkat kemungkinan keberhasilannya, dan diskusi tentang kemungkinan risiko yang serius atau sering terjadi, dan perubahan gaya hidup sebagai akibat dari tindakan tersebut Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut adalah upaya yang masih eksperimental

Informasi yang sebaiknya diberikan kepada pasien


Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat sampingannya akan dimonitor atau dinilai kembali Nama dokter yang bertanggungjawab secara keseluruhan untuk pengobatan tersebut, serta bila mungkin nama-nama anggota tim lainnya Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau pendidikan, maka sebaiknya dijelaskan peranannya di dalam rangkaian tindakan yang akan dilakukan Mengingatkan kembali bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya setiap waktu. Bila hal itu dilakukan maka pasien bertanggungjawab penuh atas konsekuensi pembatalan tersebut. Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat kedua dari dokter lain Bila memungkinkan, juga diberitahu tentang perincian biaya

YANG BERHAK MEMBERIKAN PERSETUJUAN

Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang yang berumur 21 tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang dewasa dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang sudah bukan anak-anak. Dengan demikian mereka dapat diperlakukan sebagaimana orang dewasa yang kompeten, dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang masih tergolong anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak individu untuk berpendapat sebagaimana juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka mereka dapat diperlakukan seperti orang dewasa dan dapat memberikan persetujuan tindakan kedokteran tertentu, khususnya yang tidak berrisiko tinggi. Untuk itu mereka harus dapat menunjukkan kompetensinya dalam menerima informasi dan membuat keputusan dengan bebas.

YANG BERHAK MEMBERIKAN PERSETUJUAN

pasien dewasa yang berada di bawah pengampuan (curate) persetujuan diberikan oleh wali / curator Dibawah pengampuan: Psikosis, retardasi mental Dicabut haknya oleh pengadilan pasien dibawah umur 16 tahun persetujuan diberikan oleh wali / curator pasien dibawah umur 16 tahun dan tidak mempunyai orang tua/wali dan atau ortu/wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga terdekat atau induk semang.

APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN KOMPETEN?


Seseorang

dianggap kompeten untuk memberikan persetujuan, apabila:


Mampu memahami informasi yang telah diberikan kepadanya dengan cara yang jelas, menggunakan bahasa yang sederhana dan tanpa istilah yang terlalu teknis. Mampu mempercayai informasi yang telah diberikan. Mampu mempertahankan pemahaman informasi tersebut untuk waktu yang cukup lama dan mampu menganalisisnya dan menggunakannya untuk membuat keputusan secara bebas.

PERSETUJUAN TIDAK DIPERLUKAN PADA

pasien tidak sadar/ pingsan, tidak ada keluarga terdekat secara medik berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya tindakan medik yg harus dilaksanakan sesuai dengan progam pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak. Bila pasien sadar, baru diberi tahu dan dimintakan persetujuannya dengan penjelasan yang logis

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 290/MENKES/PER/III/2008 TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

BAB I KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2.

Tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.

3.

4.

BAB II PERSETUJUAN DAN PENJELASAN

Pasal 2
(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.

Pasal 6
Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien

BAB II Pasal 7 PERSETUJUAN DAN PENJELASAN


(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.

(3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya mencakup: Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; Altematif tindakan lain, dan risikonya; Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Perkiraan pembiayaan.

BAB V Pasal 16KEDOKTERAN PENOLAKAN TINDAKAN


1.

Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.

2.
3.

Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis.
Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab pasien. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien

4.

BAB VI TANGGUNG JAWAB


Pasal 17
(1) Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran. (2) Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran

UU No. 29 Tahun 2004


Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi

Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurangkurangnya mencakup : a. diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan risikonya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. (6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

UU No. 29 Tahun 2004 Paragraf 7: Hak dan Kewajiban Pasien

Pasal 52:

a)

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:

b) c) d) e)

Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; Menolak tindakan medis; dan Mendapatkan isi rekam medis

Tujuan Informed Consent


Perlindungan pd pasien thdp tindakan dokter yang sebenarnya tdk diperlukan dan scr medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien Memberi perlindungan hukum kpd dokter thdp suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern tidak tanpa resiko dan setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3)

Fungsi Informed Consent

Mengemukakan hak otonomi individu Proteksi pasien Mencegah penipuan atau paksaan Rangsangan profesi medis untuk introspeksi diri sendiri Agar keputusan-keputusan medik harus rasional Keterlibatan masyarakat dlm memajukan prinsip otonomi sbg nilai sosial dan pengawasan dlm penyelidikan biomedik

Persetujuan Tindakan
Yang bertanda tangan di bawah ini , saya, nama, umur. Laki-laki/perempuan, No KTP.. Dengan ini menyatakan persetujuan untuk dilakukan tindakan. Terhadap saya/saya bernama. Umur.laki-laki/perempuan, No KTP Saya memahami perlunya dan manfaat tindakan tersebut sebagaimana telah dijelaskan kepada saya termasuk resiko/komplikasi yang mungkin terjadi. Saya menyadari bahwa ilmu kedokteran bukan ilmu pasti. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan saya tidak akan menuntut.

Jakarta,jam.
Yang menyatakan, (..) Saksi, (..)

Malpraktek

Malpraktek yang dapat terjadi dalam upaya medis transplantasi organ tubuh yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya adalah kesalahan dalam menjalankan praktek yang dilaksanakan dengan sengaja yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan pelanggaran terhadap PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Menurut pendapat Fred Ameln yang terdapat dalam buku Hukum Kesehatan, ada 3 pokok penting untuk menimbang apakah seorang dokter itu melakukan malpraktek atau tidak melakukan malpraktek yaitu:

Ada tindakan faktor kelalaian Apakah praktek dokter yang dimasalahkan sesuai dengan standar profesi medis Apakah akibat yang ditimbulkan terhadap korban fatal

Berdasarkan

hal tersebut diatas, disinggung mengenai keberadaan standar profesi medis sebagai salah satu faktor penting untuk dapat menentukan ada atau tidak adanya tindakan malpraktek yang dilakukan oleh dokter. Dalam Pasal 21 Ayat (2) PP nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan disebutkan bahwa standar profesi tenaga kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Standar profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan Pemerintah ini adalah pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik.

Definisi
Malpraktik medik : kelalaian atau kegagalan seorang dr u/ mempergunakan tingkat keterampilan & ilmu pengetahuan yg lazim digunakan dlm mengobati pasien/org cedera menurut ukuran dlm lingkungan yg sama

Klasifikasi
1.

Kriminal malpraktik terjadi, bila seorang dr dlm menangani suatu kasus tlh melanggar hukum pidana & menempatkan dirinya sbg seorang tertuduh, Co : - Seorang dr yg melupakan kewajibannya u/ melaporkan kpd polisi bahwa dia merawat seorang penjahat yg harus dilaporkan

2. Civil malpractice terjadi, bila seorang dr tlh menyebabkan pasiennya menderita luka atau mati tetapi tdk dpt dituntut scr pidana. Dlm hal ini dpt digugat scr perdata o/ pasien maupun keluarganya Co : - Alat u/ operasi yg tertinggal di tubuh pasien

Dr dikatakan melakukan mapraktik jika : 1. Dr < menguasai iptek kedokteran yg umum berlaku dikalangan profesi kedokteran 2. Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi ( lege artis) 3. Melakukan kelalaian yg berat atau memberikan pelayanan yg tdk hati2 4. Melakukan tindak medis yg bertentangan dg hukum

a) b) c)

d)

Jika dr hanya melakukan tindakan yg bertentangan dg KODEKI, maka penggugat harus dpt membuktikan 4 unsur sbg berikut : Adanya suatu kewajiban bagi dr terhadap pasien Dr tlh melanggar standar pelayanan medis yg lazim dipergunakan Penggugat tlh menderita kerugian yg dpt dimintakan ganti ruginya Scr faktual kerugian itu disebabkan o/ tindakan dibawah standar

Peniadaan hukuman dlm hukum kedokteran yg tercantum dlm bbrp pasal KUHP bagi dr yg tlh melakukan malpraktik medis : Pasal 44 (sakit jiwa) Pasal 48 (adanya unsur daya paksa) Pasal 49 (pembelaan diri terpaksa) Pasal 50 (melaksanakan ketentuan UU) Pasal 51 (melaksanakan perintah jabatan & sbg)
tertulis : Tdk ada hukuman walaupun memenuhi semua unsur delik, krn hilangnya sifat bertentangan dg hukum material Tdk ada hukuman krn tdk ada kesalahan hukuman di luar UU

Istilah & definisi MALPRAKTIK tdk ada, baik dlm KUHP (kitab UU hukum pidana) maupun dlm UU No 23 tahun 1993 tentang kes. Yg tercantum pd k2 UU tsb : KELALAIAN Sanksi hukum Sanksi pidana : u/ kelalaian yg berlaku bagi setiap org, diatur dlm pasal 359, 360 dan 361 KUHP

Pasal 359 KUHP


Barang

siapa krn kelalaiannya menyebabkan kematian org lain, diancam dg pidana penjara 5th atau kurungan plg lama 1th

Pasal 360 ayat (1) KUHP

Barang siapa krn kelalaiannya menyebabkan org lain menderita luka berat, diancam dg pidana penjara plg lama 5th atau kurungan plg lama 1th

Kriteria luka berat dlm pasal 90 KUHP :


Jatuh sakit/luka yg tdk ada harapan akan sembuh sm sx atau menimbulkan bahaya maut terus-menerus u/ menjalankan pekerjaannya Kehilangan salah 1 panca indera Mendapat cacat berat (hilangnya salah 1 anggota badan) Menderita sakit lumpuh G3 pikiran selama 1 minggu (plg cepat) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan

Pasal 360 ayat (2) KUHP


Barang

siapa krn kelalaiannya menyebabkan org lain luka sedemikian rupa sehingga menderita sakit u/ sementara wkt & menjalankan jabatan atau pekerjaannya slm wkt tertentu diancam dg pidana penjara plg lama 9 bln atau kurungan 6 bln atau denda plg tinggi Rp 4500

Sanksi perdata Sanksi hukum : Seorang dr yg telah terbukti melakukan kelalaian shg pasiennya menderita luka atau mati, dpt digugat scr perdata berdasarkan pasal 1366, 1370 atau 1371 KUHP

Pasal 1366 KUHP


Setiap

org bertanggung jawab tdk saja atas kerugian yg disebabkan krn perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yg disebabkan krn kelalaian atau < hati2

Pasal 1370 KUHP

Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya seseorang) dg sengaja/< hati2, maka suami & istri yg ditinggalkan, anak atau ortu korban yg biasanya mendapat nafkah dr pekerjaan korban, mempunyai hak u/ menuntut semua ganti rugi, yg harus dinilai menurut kedudukannya & kekayaan k2 belah pihak serta menurut keadaan

Pasal 1371 KUHP


Penyebab

luka atau cacatnya suatu anggota badan dg sengaja atau < hati2, memberikan hak kpd korban, selain penggantian biaya2 penyembuhan, jg menuntut penggantian kerugian yg disebabkan o/ luka atau cacat tsb

Pasal 1367 KUHP

Mengatur tentang kewajiban pemimpin atau majikan u/ mengganti kerugian yg disebabkan o/ kelalaian yg dilakukan o/ anak buah atau bawahannya. UU No. 23 th 1992 tentang kes; menurut pasal 55 UU tsb : Ayat (1) setiap org berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yg dilakukan tenaga kes Ayat (2) ganti rugi sebagaimana dimaksud dlm ayat (1) dilaksanakan sesuai dg peraturan UU yg berlaku

Upaya pencegahan malpraktik


1.

2.
3. 4.

5.

6.

Senantiasa berpedoman pd standar pelayanan medik & standar prosedur operasional Bekerjalah scr profesional, berlandaskan etik & moral yg tinggi Ikuti peraturan perundangan yg berlaku, terutama tentang kes & praktik kedokteran Jalin komunikasi yg harmonis dg pasien & keluarganya. Dan jgn pelit informasi baik tentang diagnosis, pencegahan & terapi Tingkatkan rasa kebersamaan, keakraban & kekeluargaan sesama sejawat & tingkatkan kerja sama tim medik demi kepentingan pasien Jgn berhenti belajar, selalu tingkatkan ilmu & keterampilan dlm bidang yg ditekuni

Rahasia kedokteran
Rahasia

: sesuatu yg disembunyikan dan hanya diketahui oleh 1 org, beberapa org, atau kalangan tertentu Rahasia kedokteran : rahasia dibidang medis dari pasien, bukan dari dokternya, bukan urusan profesi dokter yg tidak perlu diketahui pasiennya, atau rahasia yg boleh diketahui oleh sesama teman sejawat Rahasia jabatan : rahasia dokter sbg jabatan struktural Rahasia pekerjaan : rahasia dokter pd waktu menjalankan praktiknya (fungsional)

Tingkah laku dokter dlm rahasia jabatan yg ditilik dr sudut hukum : 1. Tingkah laku yg bersangkutan dg pekerjaan sehari2

Pasal 322 KUHP :


Barang siapa dg sengaja membuka rahasia yg ia wajib menyimpan oleh karena jabatan/pekerjaannya, baik yg sekarang maupun yg dulu, dihukum dg hukuman penjara selama2nya 9bln/ denda max Rp. 600 ,Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorg tertentu, ia hanya dituntut atas pengaduan org itu

Pasal 1365 KUHP perdata :


Barang siapa yg berbuat salah sehingga seorg lain menderita kerugian, berwajib mengganti kerugian itu

Tingkah laku dalam keadaan khusus

Sbg saksi/ saksi ahli seolah2 diharuskan melanggar rahasia pekerjaan

Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk : Kepentingan kesehatan pasien Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dlm rangka penegakan hukum Permintaan pasein sendiri/ berdasarkan ketentuan per-UU

Syarat utk dpt dikatakan sbg rahasia kedokteran : Keadaan kesehatan/ penyakit pasien yg memeng tidak diketahui oleh umum sebelumnya Keadaan pasien yg dianggap perlu dirahasiakan tsb tidak membahayakan masy. Keadaan penyakit/ kesehatan tsb didapat dr hub sbg pasien dam dokter ketika menjalankan profesinya Tidak ada faktor dr pasien yg menyebabkan dokter harus memberi keterangan/ penjelasan tentang keadaan pasien itu sendiri Pembantu dokter (perawat, bidan, org lain ) yg mendengar/ mengetahui keadaan pasien ketika seorg berobat ke dokter, tmsk pihak yg harus memegang rahasia kedokteran

RAHASIA KEDOKTERAN

Pasal 1 PP No. 10 Thn 1966

Pasal 2 PP No. 10 Tahun 1966

Yang dimaksud dengan Rahasia Kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran. pengetahuan tsb oleh pasal 1 hrs dirahasiakan oleh org2 tsb dlm pasal 3, kecuali oleh suatu peraturan lain yg sederajat atau lbh tinggi drpd PP ini menentukan lain. Yang diwajibkan menyimpan rahasia yg dimksd dlm pasal 1 ialah :

Pasal 3 PP No. 10 Tahun 1966

Sumpah Dokter PP no.26/1960:

a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU ttg tenaga Kesehatan b. Mahasiswa kedokteran, murid yg bertugas dlm lap pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan, dan org lain yg ditetapkan oleh menteri kesehatan.

Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter.

Pasal 2 pp Nomor 32 Tahun 1966 menyebutkan : Tenaga kesehatan terdiri dari: a. Tenaga medis ; b. Tenaga Keperawatan ; c. Tenaga Kefarmasian ; d. Tenaga Kesehatan Masyarakat ; e. Tenaga Gizi ; f. Tenaga Keterapian Fisik ; g. Tenaga Keteknisan Medik. Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiologi kesehatan, penyuluhan kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian. Tenaga gizi rneliputi nutrisionis dan dietisien. Tenaga keterapian fisik meiiputi fisioterapis, okupasiterapis, dan terapis wicara. Tenaga keteknisan medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis

Akibat yang mungkin timbul karena pembocoran rahasia ini, misalnya : Tidak jadi menerima santunan asuransi karena pihak asuransi membatalkan keputusannya setelah mendapat informasi tentang penyakit yang diderita oleh calon kliennya. Tidak jadi menikah, karena salah satu pihak mendapat informasi mengenai penyakit yang diidap oleh calon pasangannya. Terjadinya perceraian . karena salah satu pihak mengetahui penyakit yang diidap oieh pasangannya. Seorang pemimpin kalah dalam percaturan politik karena lawan politiknya mendapat inforrnasi mengenai penyakit yang diidapnya. Merugikan negara, apabila informasi yang dibocorkan itu merupakan rahasia negara.

SANKSI PIDANA

Pasal 322 Kitab Undang undang Hukum Pidana ( KUHP ) menyebutkan bahwa : Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia, yang menurut jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, ia di wajibkan untuk menyimpannya, dihukum dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu. Pasal 112 KUHP : Barang siapa dengan sengaja mengumumkan atau mengabarkan atau menyampaikan surat, kabar dan keterangan tentang suatu hal kepada negara asing, sedang diketahuinya bahwa surat, kabar atau keterangan itu harus dirahasiakan demi kepentingan negara, maka ia dihukum dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun

SANKSI PERDATA

Hal ini diatur dalam Undang Undang Tentang Kesehatan maupun dalam Kitab Undang Undang Hukum Sipil atau Perdata ( KUHS ). Pasal 55 Undang Undang Tentang kesehatan menyebutkan bahwa : Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahnya atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Pasal 1365 KUHS. Setiap perbuatan melanggar hukum yang nrengakibatkan kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya mengakibatkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut .

Pasal 1366 KUHS. Setiap orang bertanggung jawah tidak saja atas kerugian karena perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati hatinya Pasal 1367 KUHS. .Seorang tidak saja bertanggung jawah untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang di.sebabkan karena perbuatan orang orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang barang yang dibawah kekuasaannya .

SANKSI ADMINISTRATIF
Sanksi administratif untuk tenaga kesehatan sehubungan dengan peraturan tentang rekam medis diatur dalam pasal 20 PERMENKES Tentang Rekam Medis yang berbunyi : Pelanggaran terhadap ketentuan ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan sanksi administratif mulai dari teguran sampai pencabutan ijin

You might also like