You are on page 1of 7

PENGARUH FREKUENSI PENGGUNAAN PESAWAT TERBANG DENGAN KEJADIAN BAROTRAUMA THE EFFECT OF AIRPLANE TRAVEL FREQUENCY AND BAROTRAUMA

Darmafindi Ajeng1, Indriawati Ratna2 1 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2 Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ABSTRACT Barotrauma is physical damage to body tissues caused by a difference in pressure between an air space inside or beside the body. Barotrauma typically occurs to air spaces within a body when that body moves to or from a higher pressure environment, such as when a SCUBA diver, a free-diving diver or an airplane passenger ascends or descends. Researching objective are describe and analyze relationship between air travel frequency to barotrauma. This research was an observational method and cross sectional study. The samples involve is active pilot. Research instruments is a questionnaire which analyze by regretion test. According to the statistics result, shows that there was no effect between air travel frequency and barotrauma ( p > 0,05 ). It may caused by prevention habbit which is prevent barotrauma. According to the statistics result, its suggested that air travel frequency has no effected barotrauma. Prevention habbit can prevent barotrauma. Keyword : Barotrauma, airplane, frequency ABSTRAK Barotrauma adalah kerusakan fisiologis jaringan tubuh disebabkan oleh perbedaan tekanan antara udara luar atau dalam tubuh. Barotrauma biasanya terjadi saat seseorang bergerak dari atau ke lingkungan yang terdapat perbedaan tekanan udara, seperti menyelam atau menggunakan pesawat. Tujuan penelitian kali ini untuk mengetahui dan mengkaji pengaruh frekuensi penggunaan pesawat terbang terhadap kejadian barotrauma. Penelitian ini dilakukan secara observasional dengan rancangan penelitian cross sectional retrospektive. Subjek penelitian dipilih sesuai dengan kriteria inklusi yaitu penerbang aktif yang telah menyetujui surat persetujuan (informed consent). Data subjek diperoleh melalui kuisioner yang telah disusun sebelumnya. Setelah didapatkan data hasil dari kuisioner, data tersebut diolah dan dianalisis dengan uji regresi. Hipotesis pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji regresi menunjukan tidak terdapat pengaruh yang bermakna secara statistik ( p > 0,05 )

antara frekuensi penggunaan penerbangan dengan kejadian barotrauma. Hal ini mungkin disebabkan oleh tindakan preventiv yang sudah dilakukan oleh subyek. Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa frekunsi penggunaan pesawat terbang tidak berpengaruh menimbulkan kejadian barotrauma. Tindakan-tindakan preventiv dapat dilakukan untuk mencegah kejadian barotrauma.

Kata kunci : Barotrauma, pesawat terbang, frekuensi PENDAHULUAN Barotrauma adalah kerusakan fisiologis jaringan tubuh disebabkan oleh perbedaan tekanan antara udara luar atau dalam tubuh. Perbedaan antara tekanan udara luar telinga dan tekanan udara dalam telinga, dapat merusak membran timpani dan menyebabkan rasa tidak nyaman di telinga, penurunan pendengaran, dan nyeri.1 Barotrauma bersifat sementara, tetapi bila sering atau berulang-ulang dapat menjadi permanen.2 Seseorang dalam suatu penerbangan akan mengalami perubahan ketinggian yang mengakibatkan terjadinya perubahan tekanan udara sekitar. Tekanan udara akan menurun pada saat lepas landas ( naik / ascend ) dan meninggi saat pendaratan ( turun / descend ).2 Tekanan Lingkungan yang menurun, menyebabkan udara dalam telinga tengah mengembang dan secara pasif akan keluar melalui tuba auditiva. Jika perbedaan tekanan antara rongga telinga tengah dan lingkungan teralu besar, maka tuba auditiva akan menciut.3 Untuk memenuhi regulasi tekanan yang adekuat, terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dengan tekanan atmosfir yang besar selama lepas landas dan mendarat, menyebabkan ekstensi maksimal membran tympani. Keadaan ini dapat mengakibatkan pendarahan. Pada ekstensi submaksimal, akan timbul perasaan penuh dalam telinga dan pada ekstensi maksimal berubah menjadi nyeri.4 Tujuan penelitian kali ini untuk mengkaji pengaruh frekuensi penggunaan pesawat dan lama waktu tempuh penggunaan pesawat terbang terhadap timbulnya gejala barotrauma. BAHAN DAN CARA Penelitian ini dilakukan secara observasional dengan rancangan penelitian cross sectional retrospektive. Instrumen yang digunakan adalah kuisioner yang berisi sejumlah pertanyaan dengan tujuan mengungkap kondisi-kondisi subjek yang ingin diketahui.

Populasi pada penelitian ini adalah penerbang aktif Wingdikterbang Lanud Adisutjipto Yogyakarta dengan rentang usia 20 35 tahun. Subjek tidak sedang menderita flu atau riwayat kelainan tuba auditiva. Penelitian dilaksanakan selama satu minggu pada tanggal 23 30 April 2009. Jumlah sampel sebanyak 33 orang. Subjek penelitian dipilih sesuai dengan kriteria inklusi yaitu penerbang aktif, kemudian data subjek diperoleh melalui kuisioner yang telah disusun sebelumnya. Pelaksanaan penelitian dilakukan setelah peneliti memiliki surat ijin penelitian dan subjek menyetujui surat persetujuan (informed consent). Data yang diperoleh dianalisis dengan tes korelasi dan regresi. Variabel bebas adalah frekuensi penggunaan pesawat terbang, variabel tergantung adalah barotrauma sedangkan variabel perancu adalah pilek, kelainan tuba. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada penelitian kali ini, diperoleh subjek 33 orang dengan karakteristik sebagai berikut Tabel 4. Karakteristik subjek penelitian Variabel Usia ( tahun ) Tinggi badan ( cm ) Berat badan ( kg ) Lama penerbangan rata-rata ( jam) Intensitas penerbangan rata-rata (kali/minggu) Minimal 22 162 54 1 4 Maksimal 35 181 75 3 7

Tabel diatas menunjukan bahwa subjek penelitian yang digunakan adalah penerbang aktif Lanud Adisutjipto Yogyakarta berusia antara 22-35 tahun. Usia terbanyak adalah sebesar %. Tinggi badan subjek penelitian antara 162-181 cm dan berat badan berkisar antara 54-75 kg. Hasil kuisioner diperoleh lama penerbangan antara 1-3 jam dengan ratarata lama penerbangan 1 1/2 jam. Intensitas penerbangan mencapai 4-7x per minggu. Hasil uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah variabel terdistribusi secara normal atau tidak normal. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan

teknik Pearson. Hasil uji normalitas pada kedua variabel menunjukkan p = 0,303 (p>0,05) atau dapat dikatakan distribusi variabel tidak normal. Hipotesis pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji regresi menunjukan tidak terdapat pengaruh yang bermakna secara statistik ( p > 0,05 ) antara frekuensi penggunaan penerbangan dengan kejadian barotrauma. Gambar 3. Persentase gejala barotrauma

Gambar 3 menunjukan gejala yang timbul pada subjek 28% subjek mengeluh berdengung pada telinga, 36% mengeluh nyeri serta merasa terdapat sumbatan pada telinga. DISKUSI Berdasarkan uji hipotesis, diputuskan bahwa hipotesis penelitian tidak terbukti. Tidak ditemukan makna yang berarti dari frekuensi penggunaan pesawat dengan kejadian barotrauma. Hal ini mungkin disebabkan oleh tindakan preventiv yang sudah dilakukan oleh subyek. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa barotrauma juga berhubungan dengan faktor usia dan fungsi tuba auditiva. Semakin muda usia semakin tinggi resiko barotrauma. Tuba auditiva yang berfungsi baik dapat menurunkan gejala maupun resiko barotrauma.4 Volume udara dalam telinga tengah dan sinus akan mengembang sekitar 25 % pada tekanan 5000 - 8000 kaki. Bila saluran yang menghubungkan antara rongga-rongga tersebut dengan hidung baik maka tidak akan menimbulkan keluhan.5 Ketinggian tempat akan mempengaruhi tekanan udara sekitar, hal ini menimbulkan dysbarism. Bertambahnya ketinggian akan menyebabkan tekanan

dalam telinga tengah menjadi lebih besar dari tekanan di luar tubuh, sehingga akan terjadi aliran udara dari telinga tengah ke luar tubuh melalui tuba auditiva.6 Tekanan udara akan menurun pada saat lepas landas ( naik / ascend ) dan meninggi saat pendaratan ( turun / descend). Akibat perbedaan tekanan udara tersebut, timbul gejala-gejala barotrauma sesuai dengan tingkat perbedaan tekanan udara.2 Hasil kuisioner yang memperlihatkan lama penerbangan rata-rata 1 1/2 jam dengan frekuensi penerbangan 4-7x per minggu, tidak memunuhi indikasi terjadinya barotrauma. Penerbangan dalam waktu yang lama dan intensitas yang tinggi merupakan indikasi terjadinya barotrauma. Pengaruh Penerbangan pada Alat-alat Vestibular Alat-alat vestibular memiliki peran yang cukup penting pada keseimbangan tubuh. Penerbangan memberikan pengaruh pada organ-organ : 1. Canalis semicularis (saluran berisi endolymph). Tiap gerakan/akselerasi angulair (roll, pitch, yaw) menimbulkan impuls mekanis pada otak dan melaporkan bahwa sedang ada gerakan rotasi dari kepala. 2. Utriculus dan Sacculus. Gravitasi maupun akselerasi linear dapat menggerakkan membran otolith dan dengan demikian rambut-rambut sel berambut. Impuls ini diterima dan diteruskan lewat syaraf vestibular ke otak. 3. Cochlea .6 Barotrauma dibagi menjadi 3 jenis yaitu barotrauma telinga luar, tengah dan dalam ,tergantung dari bagian telinga yang terkena. Barotrauma telinga ini bisa terjadi secara bersamaan dan juga dapat berdiri sendiri insidensi paling banyak terjadi adalah barotrauma telinga tengah.7 Barotrauma telinga tengah akibat adanya penyempitan, inflamasi atau udema pada mukosa tuba mempengaruhi kepatenannya dan merupakan penyulit untuk menyeimbangkan tekanan telinga tengah terhadap tekanan ambient yang terjadi pada saat ascent maupun descent, baik penyelaman maupun penerbangan.7 Gejala barotrauma antara lain : rasa tidak nyaman atau sakit pada telinga, perasaan adanya sumbatan di telinga, pusing, penurunan pendengaran sementara, tinnitus. Jika barotrauma terjadi dalam waktu lama, dapat terjadi : rasa sangat sakit pada telinga tengah, tekanan dalam telinga sama seperti saat di bawah air, penurunan pendengaran yang permanen, pendarahan dari telinga.8 Barotrauma, gangguan terbanyak yang berhubungan dengan penggunaan transportasi udara, menyerang pada lima persen penumpang dewasa dan 25 %

anak-anak.4 Tujuh puluh lima persen penumpang pesawat merasakan nyeri telinga selama mendarat.9 Tindakan preventiv seperti tidak melakukan penerbangan dalam keadaan pilek atau sakit tenggorokan, mengunyah, menguap dan menelan sesuatu saat lepas landas dan mendarat, melakukan valsava maneuver dan frenzel maneuver, konsumsi obat-obatan 30 menit sebelum terbang apabila terdapat alergi atau sedang sakit, menggunakan penutup telinga dapat mencegah terjadinya barotrauma.2,10

KESIMPULAN Subjek penelitian ini berusia 22 35 tahun yang rutin melakukan penerbangan dengan lama penerbangan rata-rata 1 1/2 jam dan frekuensi penerbangan 4 7x per minggu. Frekuensi penggunaan pesawat terbang tidak berpengaruh terhadap kejadian barotauma. Lama penerbangan juga tidak berpengaruh terhadap kejadian barotrauma. Kejadian barotrauma lebuh dipengaruhi oleh perbedaan tekanan udara sekitar, ketinggian suatu tempat, lama penerbangan, kondisi tuba auditiva serta usia. Tindakan-tindakan preventiv barotrauma dapat membantu menghindarkan kejadian barotrauma. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. Vernick, DM., Deschler DG., & Sokol HN. (2007). Ear barotrauma. uptodate 9 (10); 16.1. Supartono, G. (1981). Trapped Gas pada Penerbangan yang Tinggi. Cermin Dunia Kedokteran, 24 Adams, GL., Boies, LR., & Higler,PA. (1997). Boies : Buku Ajar Penyakit THT (H. Effendi & R. A. K. Santoso). Jakarta: EGC. ( Buku asli diterbitkan 1989 ). of a mathematical model. Japplphysiol, 98: 1592-1602. Anonim. ( 2008 ). Bahan Bacaan Peserta Pelatihan Tim Kesehatan Haji Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Danusastro, S. (1993). Aspek Aerofisiologi dalam Penerbangan. Cermin Dunia Kedokteran. Thiritz, D., & Kadir, A. (2005). Gangguan pendengaran dan keseimbangan pada penyelam tradisional suku bajo sulawesi selatan. J Med Nus, 26 ( 3 ).

4. Kanick, SC., & Doyle, WJ. (2004). Barotrauma during air travel: predictions

5. 6. 7.

8. Bentz, BG., & Hughes CA. (2002). Barotrauma. American-hearing, 4 (4). 9. Klokker, M., Vesterhauge, S., & Jansen, EC. (2005). Pressure-equalizing

earplugs do not prevent barotrauma on descent from 8000 ft cabin altitude. Aviat Space Environ Med, 76(11):1079-82. 10. Kay, E. (2000). Prevention of Middle Ear Barotrauma. Faculty of Washington.

You might also like